Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

BRONKHIEKTASIS

DISUSUN OLEH:
Tamara Ramadhan Suharto (1102015236)

PEMBIMBING :
dr. H. Edy Kurniawan Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD ARJAWINANGUN – KAB. CIREBON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 11NOVEMBER 2019 - 17 JANUARI 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bronkiektasis adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan dilatasi


bronkus dan bronkiolus yang bersifat menetap serta penebalan dinding bronkus.
Keadaan ini disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang kronis, dan inflamasi
yang diikuti dengan pelepasan mediator (Nataprawira, 2012). Riwayat bronkiektasis
pertama kali dikemukakan oleh Rene Theophile Hyacinthe Laennec pada tahun 1819
pada pasien dengan flegmon supuratif. Tahun 1922, Jean Athanase Sicard dapat
menjelaskan perubahan distruktif saluran respiratorik. Pada gambaran radiologis
melalui penemuannya, yaitu bronkografi dengan kontras. Dengan pemberian
imunisasi terhadap pertusis, campak dan juga regimen pengobatan penyakit TB yang
lebih baik, maka diduga pravalens penyakit ini semakin rendah. Hal ini dikarenakan
penyakit TB dan pertusis merupakan salah satu penyebab dari bronkiektasis
(Emmons, 2008).

Di negri barat, kasus bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% di antara


populasi. Kekerapan setinggi itu ternyata sudah dapat ditekanannya frekuensi kasus-
kasus infeksi paru dengan pengobatan memakai antibiotik.
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka yang pasti mengenai penyakit
ini. Kenyataanya penyakit ini cukup sering ditemukan di klini-klinik dan diderita oleh
laki – laki ataupun perempuan. Penyakit ini dapat diderita mulai dari anak, bahkan
dapat merupakan kelainan kongenital.

Penelitian pada tahun 2005 didapatkan sekitar 110.000 pasien dengan


bronkiektasis di Amerika serikat. Pada tahun 2005 penyakit ini sering terjadi pada
usia tua dengan dua pertiga adalah wanita. Weycker et al melaporkan prevalensi
bronkiektasis di amerika serikat 4,2 per 100.00 orang dengan usia 18-34 tahun dan
272 per 100.000 orang dengan usia 75 tahun. Sedangkan di Auckland, New Zealand
terdapat 1 per 6.000 penderita bronkiektasis (Syahrul,2011).
Indonesia sendiri belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai
penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di rumah sakit dan di
klinik-klinik dan diderita oleh laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini dapat
diderita mulai sejak anak-anak, bahkan dapat merupakan kelainan konginetal.

1.2 Tujuan Penelitian


Penyajian laporan kasus ini bertujuan untuk menjelaskan kasus bronkhiektasis
dan penyebab bronkhiektasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik,
persisten atau ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan –
perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen – elemen elastis, otot –
otot polos bronkus, tulang rawan dan pembuluh – pembuluh darah. Bronkus yang
terkenan umumnya adalah bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar
umumnya jarang.

2. ETIOLOGI
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Pada
kenyataannya kasus bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat.
KELAINAN KONGENITAL
Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor
genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran penting.
Bronkiektasis yang timbul kongenital mempunyai ciri sebagai berikut.
Pertama, bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau
kedua paru.
Kedua, bronkiektasis kongenital sering menyertai penyakit-penyakit kongenital
lainnya, misalnya: Mucoviscidosis (Cystic pulmonary fibrosis), Sindrom Kartegener
(Bronkiektasis kongenital, sinusistis, paranasal dan situs inversus), hipo atau
agamaglobulinemia,bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu
dengan bronkiektasis, ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis).
Bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut: tidak adanya
tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan, dan kifoskoliosis kongenital.
KELAINAN DIDAPAT
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan merupakan akibat
proses berikut:
Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seseorang anak menderita pneumonia yang sering
kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi
pertussis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberculosis paru, dan
sebagainya.
Obstruksi Bronkus
Obstruksi bronkus yang dimaksudkan disini dapat disebabkan oleh berbagai macam
sebab: korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap
bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi ataupun
obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata (automatis) menimbulkan bronkiektasis.
Oleh karenanya diduga mungkin masih ada factor intrinsic (yang sampai sekarang
belum diketahui) ikut berperan terhadap timbulnya bronkiektasis.

Tabel 1. Etiologi Bronkiektasis


Keterlibatan Etiologi Lokasi Penanganan
Paru-Paru Tersering
Fokal Obstruksi Lapangan Ro Thorax, CT Scan Thorax, dan
 Intrinsik: tumor di dalam jalan tengah paru Bronkoskopi
napas, aspirasi benda asing,
stenosis/jaringan parut pada jalan
napas, atresia bronkus akibat
perkembangan tidak
sempurna(kongenital
 Ekstrinsik: limfadenopat, tumor
panrenkimal

Difus Infeksi: bakteri, mikobakterium non Lapangan Kultur pewarnaan gram, BAL
tuberculosis [Mycobacterium avium tengah paru (Bronchoalverolar lavage) jika
intracellulare complex (MAC)] tidak ditemukan kuman patogen
Imunodefisiensi: hipogamaglobulinemia, Lapangan DPL, Imunoglobulin, Tes HIV
HIV, Bronkiolitis setelah transplantasi paru bawah paru
Pengukuran kadar klorida dalam
Genetik: Cystic fibrosis, sindroma keringat, kadar α-1 antitripsin,
Kartegener, defisiensi α-1 antitripsin. atau biopsi saluran napas.
 Autoimun atau rematalogi: artritis Daerah Pemeriksaan sendi, serologis
rematoid, sindrom sjorgen, sentral paru (factor rematoid)
inflammatory bowel disease.
 Penyakit terkait imun: allergic
bronchopulmonary aspergillosis
(ABPA)

Aspirasi berulang Lapangan Tes fungsi menelan dan kekuatan


bawah paru neuromuskular
Lain-lain: yellow nail syndrome Kondisi klinis, singkirkan
idiopatik (25-50%) penyakit lain
(Sumber: Harrison, 2015; PPK PAPDI, 2017)
3. PERUBAHAN PATOLOGI ANATOMIS
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya
bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.

II. 3. 1. Tempat Predisposisi Bronkiektasis


Bronkiektasis dapat mengenai bronkus pada satu segmen paru, bahkan secara
difus mengenai kedua paru. Bagian paru yang sering terkena dan merupakan tempat
predisposisi bronkiektasis adalah lobus tengah paru kanan, bagian lingua paru kiri
lobus atas, segmen basal pada lobus bawah kedua paru.
II. 3. 2. Bronkus yang Terkena
Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus ukuran sedang (medium
size), sedangkan bronkus besar jarang terkena. Bronkus yang terkena dapat hanya
pada satu segmen paru atau difus mengenai bronkus kedua paru.

II. 3. 3. Perubahan Morfologis Bronkus yang Terkena


 Dinding bronkus. Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami
perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan
reversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan
berbagai tingkat keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses
fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot – otot
polos bronkus juga elemen elastis, pembuluh darah dan tulang rawan
bronkus.
 Mukosa Bronkus. Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal,
silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia
squamosa dan terjadi sebukan hebat sel – sel inflamasi. Apabila terjadi
eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan,
ulserasi, dan penanahan.
 Jaringan Paru Peribronkial. Pada parenkim paru peribronkial dapat
ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau
pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat,
jaringan paru distal bronkiektasis akan diganti oleh jaringan fibrotik
dengan kista kista berisi nanah. Arteri bronkialis disekitar
bronkiektasis dapat mengalami pelebaran (aneurysma Rasmussen) atau
membentuk anyaman/anastomosis dengan pembuluh sekitar pulmonal.

II. 3. 4. Variasi Kelainan Anatomis Bronkiektasis


Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis, yaitu; a)
bentuk tabung ( tubular, cylincdrical, fusiform bronchiectasis ). b) bentuk kantong (
saccular bronchiectasis ) Bentuk ini merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik
ditandai dengam adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat iregular.
Bentuk ini kadang – kadang berbentuk kista ( Cystic bronchiectasis ). c) Varicose
bronchiectasis. Bentuknya merupakan bentuk antara diantara bentuk tabung dan
bentuk kantong.
Pseudobronkiektasis
Bentuk ini tidak termasuk bronkiektasis yangs sebenarnya, karena terdapat
pelebaran bronkus yang bersifat sementara, umunya berbentuk silindris dan tidak
terdapat kerusakan dinding bronkus. Kelainan ini bersifat sementara karena dalam
beberapa bulan akan menghilang. Bentuk ini biasanya merupakan komplikasi
pneumonia.
Gambar 1. Kelainan pada bronkiketasis5

4. PATOGENESIS
Patogenesis bronkiektasis tergantung faktor penyebabnya. Apabila
bronkiektasis timbul karena kelainan kongenital patogenesisnya tidak diketahui,
diduga erat kaitannya dengan faktor genetik serta faktor pertumbuhan dan
perkembangan fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang didapat
patogenesisnya diduga melalui beberapa mekanisme.
Ada beberapa faktor yang diduga ikut berperan, antara lain; 1) faktor obstruksi
bronkus 2) faktor infeksi pada bronkus paru 3) faktor adanya beberapa panyakit
tertentu seperti fibrosis paru 4) faktor intrinsik dalam bronkus atau paru.
Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat, diduga melalui dua
mekanisme dasar
1. Permulaanya didahului adanya faktor infeksi bakterial. Mula – mula karena
adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian timbul bronkiektasis.
Mekanisme kejadiannya sangat rumit. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti proses destruksi dinding bronkus
daerah infeksi dan kemudian timbul bronkiektasis.
2. Permulaanya didahului adanya obstruksi bronkus. Adanya obstruksi bronkus
oleh beberapa penyebab ( misalnya tuberkulosis kelenjar limfe pada anak,
karsinoma bronkus, korpus alineum dalam bronkus ) akan diikuti terbentuknya
bronkiektasis. Pada bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan
destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis.
Pada bronkiektasis didapat, dapat terjadi atau timbul sesudah masuknya bahan
kimia korosif ( biasanya bahan hidrokarbon ) ke dalam saluran napas, dan
karena terjadinya aspirasi berulang/bahan cairan lambung ke dalam paru.
Bronkiektasis merupakan penyakit paru yang mengenai bronkus dan sifatnya
kronik. Keluhan – keluhan yang timbul juga berlangsung kronik dan menetap.
Keluhan tersebut berhubungan erat dengan; 1) luas atau banyaknya bronkus
yang terkena. 2) tingkatan beratnya penyakit. 3) lokasi bronkus yang terkena
dan 4) ada atau tidak adanya komplikasi lanjut.
Pada bronkiektasis, keluhan – keluhan timbul umumnya sebagai akibat adanya
beberapa hal berikut : 1) adanya kerusakan dinding bronkus, 2) adanya
kerusakan fungsi bronkus, 3) adanya akibat lanjut bronkiektasis atau
komplikasi dan sebagainya. Kerusakan dinding bronkus berupa dilatasi dan
distrosi dinding bronkus, kerusakan elemen elastis, tulang rawan, otot – otot
polos, mukosa dan silia, kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum,
gangguan ekspektorasi, gangguan refleks batuk dan sesak napas.

Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronkiektasis dapat


dijelaskana sebagai berikut :
 Infeksi pertama (primer). Kecuali pada bentuk bronkiektasis kongenital, tiap
bronkiektasis kejadiannya didahlui oleh infeksi bronkus (bronkitis) maupun
jaringan paru (pneumonia). Menurut hasil penelitian ditemukan bahwa infeksi
yang mendahului bronkiektasis adalah infeksi bakterial, yaitu mikroorganisme
yang menyebabkan pneumonia atau bronkitis yang mendahuluinya.
 Infeksi sekunder. Tiap pasien bronkiektasi tidak selalu disertai infeksi
sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis). Secara praktis apabila sputum
pasien bronkiektasis bersifat mukoid dan putih jernih menandakan tidak atau
belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya apabila sputum pasien bronkiektasis
semula berwarna jernih kemudian menjadi berwarna kuning atau kehijauan
atau berbau busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder. Untuk menentukan
jenis kumannya dapat dilakukan pemeriksaan mikrobiologis. Sputum berbau
busuk dapat menandakan adanya infeksi sekunder oleh kuman anaerob.
Contoh kuman anaerob adalah; Fusifornis fusiformis, Treponema vincenti,
anaerobic streptococci. Kuman aerob yang sering ditemukan dan meng-
infeksi bronkiektasis misalnya; Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenza, Klabsiella ozaena.

5. PERUBAHAN FAAL PARU


Kelainan fungsi paru yang terjadi pada pasien bronkiektasis sangat
bervariasi dan tingkatan beratnya tergantung pada luasnya kerusakan parenkim paru
dan seberapa jauh beratnya komplikasi yang telah terjadi. Akibatnya dapat dijumpai
pasien bronkiektasis ringan tanpa kelainan fungsi paru atau hanya kelainan paru
ringan saja. Selain itu perlu dinyatakan bahwa kelainan fungsi paru (faal ventilasi)
yang terjadi selain jenisnya tidak sama, jenis kelainannya juga tidak khas. Jenis
kelainan fungsi paru tergantung pada macam kerusakan jaringan paru atau saluran
napas yang terjadi, sehingga pengaruhnya pada fungsi paru dapat berbeda – beda.

6. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada
luas dan beratnya penyakit. Ciri khas penyakit ini adalah batuk kronik disertai
produksi sputum, adanya hemoptisis dan pneumonia berulang.
Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas memberikan gejala

1. Batuk Kronik
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif
berlangsung kronik dan frekuens mirip seperti pada bronchitis kronik
(bronchitis-like symptoms). Jumlah sputum bervariasi, umumnya
jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi
tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak ad infeksi sekunder sputumnya
mucoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulent, dapat
memberikan bau mulut yang tidak sedap (fetor ex ore). Apabila terjadi
infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan menimbulkan sputum sangat
berbau busuk. Pada kasus yang ringan, pasien dapat tanpa batuk atau
hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder.
Pada kasus yang sudah berat, misalnya pada saccular type bronchiectasis,
sputum jumlahnya banyak sekali, purulent dan apabila ditampung
beberapa lama, tanpak terpisah menjadi 3 lapisan, yaitu:
1) Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mucus,
2) Lapisan tengah jernih, terdiri atas saliva(ludah),
3) Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis
dari bronkus yang rusak (cellular debris).
2. Hemoptisis
Hemoptysis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis.
Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus
mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul perdarahan. Perdarahan
yang terjadi bervariasi, mulai yang paling ringan (streaks of blood) sampai
perdarahan yang cukup banyak (massif) yaitu apabila nekrosis yang
mengenai mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang
arteri bronkialis (daerah berasal dari peredaran darah sistemik).
Pada dry bronchiectasis (bronkiektasis kering), hemoptysis justru
merupakan gejala satu-satunya, karena bronkiektasis jenis ini letaknya di
lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk dan
kurang menimbulkan refleks batuk. Pasien tanpa batuk atau batuknya
minimal dapat diambil pelajaran, bahwa apabila ditemukan kasus
hemoptysis hebat tanpa kelainan fisis yang jelas hendaknya di ingat dry
bronchiectasis ini. Hemoptysis pada bronkiektasis walaupun kadang-
kadang hebat jarang fatal. Pada tuberculosis paru, bronkiektasis (sekunder)
ini merupakan penyebab utama komplikasi hemoptysis.
3. Sesak Nafas (dyspnea)
Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan sesak nafas.
Timbul dan beratnya sesak napas tergantung pada seberapa luasnya
bronchitis kronik yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru
dan destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang
(ISPA), yang biasanya menimbulkan fibrosis paru dan emfisema yang
menimbulkan sesak napas tadi. Kadang- kadang ditemukan pula suara
mengi (Wheezing), akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat lokal
atau tersebar tergantung pada distribusi kelainannya.
4. Demam
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami
infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul
demam (demam berulang).

7. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik mungkin pasien sedang mengalami batuk – batuk
dengan pengeluaran sputum, sesak napas, demam atau sedang batuk darah. Tanda
fisik umum dapat ditemukan seperti sianosis jari tubuh.
Kelainan paru yang timbul tergantung pada beratnya serta tempat kelainan
bronkiektasis terjadi, dan kelainanya lokal ataukah difus. Pada pemeriksaan fisik
kelainannya harus dicara berdasarkan tempat predisposisi nya. Pada bronkiektasis
biasanya ditemukan rhonki basah yang jelas pada lobus bawah paru yang
terkenaapabila bagian paru yang diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat
menimbulkan kelainan seperti ini: terjadi retraksi dinding dadadan berkurangnya
gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi pergerakan mediastinum ke
daerah paru yang terkena.
Sindrom Kartgener
Sindrom ini terdiri atas gejala berikut; 1) bronkiektasis kongenital, sering disertai
dengan silia bronkus imotil, 2) situs inversus atau pembalikan letak organ, dalam hal
ini terjadi dekstrokardia, 3) sinusitis paranasal atau tidak terdapatnya sinus frontalis.

Bronkolitiasis
Kelainan ini merupakan kalsifikasi kelenjar limfe yang biasanya merupakan gejala
sisa kompleks primer tuberkulosis paru primer. Kelainan ini sering mengakbatkan
erosi bronkus di dekatnya dan dapat masuk ke dalam bronkus menimbulkan sumbatan
dan infeksi. Selanjutnya terjadilah bronkiektasis.

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Kelainan laboratorium biasanya tidak khas. Pada keadaan lanjut dan sudah
mulai ada insufisiensi paru dapat ditemukan polisitemia sekunder. Bila
penyakitnya ringan gambaran darahnya normal. Sering ditemukan anemia,
yang menunjukan adanya infeksi kronik atau ditemukannya leukositosis yang
menunjukan adanya infeksi supuratif.
Urin umumnya normal kecuali bila sudah ada komplikasi berupa amiloidosis
akan ditemukan proteiuria.
Pemeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat dilakukan untuk
menentukan kuman apa yang terdapat dalam sputum. Pemeriksaan kultur
sputum dan uji sensitivitas terhadap antibiotik perlu dilakukan, apabila ada
kecurigaan adanya infeksi sekunder.
2. Radiologi
Gambaran foto dada pasien bronkiektasis posisi berdiri sangat bervariasi,
tergantung berat ringannya penyakit dan letak kelainannya. Gambaran
radiologis khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukan kista – kista kecil
dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon ( honey comb
appearance ) pada daerah yang terkena. Kadang- kadang gambaran radiologis
tampak bercak – bercak pneumonia, fibrosis atau atelektasis. Gambaran paru
akan jelas pada pemeriksaan bronkogram.
3. Faal Paru
Fungsi ventilasi masih baik apabila kelainannya ringan, pada keadaan lanjut
dan difus, kapasitas vital ( KV ) dan kecepatan aliran udara ekspirasi satu
detik pertama ( VEP1) terdapat tendensi penurunan, karena terjadinya
obstruksi aliran udara pernapasan. Pada pbronkiektasis terjadi perubahan gas
berupa penurunan PaO2 derajat ringan sampai berat. Penurunan PaO2 ini
menunjukan adanya abnormalitas regional ( maupun difus ) distribusi
ventilasi.

9. TINGKATAN BERATNYA PENYAKIT

Bronkiektasis Ringan : batuk – batuk dan sputum warna hijau hanya terjadi
sesudah demam ( ada infeksi sekunder ), produksi sputum terjadi dengan adanya
perubahan posisi tubuh, biasanya ada hemoptisis sangat ringan, pasien tampak sehat.
Fungsi paru normal. Foto rontgen dada normal.

Bronkiektasis sedang : batuk – batuk produktif terjadi tiap saat, sputum


timbul setiap saat ( umumnya berwarna hijau serta terdapat bau mulut busuk ), sering
ada hemoptisis, pasien umumnya masih tampak sehat dan fungsi paru normal, jarang
terdapat jari tabuh. Pada pemeriksaan fisis paru sering ditemukan rhonki basah kasar
pada daerah paru yang terkena, gambaran fiti dada boleh dikatakan masih normal.

Bronkiektasis berat : batuk – batuk produktif dengan sputum banyak


berwarna kotor dan berbau. Sering ditemukan adanya pneumonia dengan hemoptisis
dan nyeri pleura. Sering ditemukan jari tabuh. Bila ada obstruksi saluran napas akan
dapat ditemukan adanya dispneu, sianosis atau tanda kegagalan paru. Umumnya
kondisi pasien kurang baik. Sering ditemukan infeksi piogenik pada kulit, infeksi
mata dan sebagainya. Pasien mudah timbul pneumonia, septikemia, abses metastasis
dan terkadang terjadi amiloidosis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan rhonki basah
kasar pada daerah yang terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan ; 1)
penambahan broncovascular marking, 2) multiple cyst contai-ning fluid levels ( honey
comb appearance ).

10. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis dapat ditempuh melewati proses anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang terutama pemeriksaan radiologik (bronkografi) dan CT
scan paru.
Diagnosis pasti bronkiektasis dapat ditegakan apabila telah ditemukan adanya
dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur pemeriksaan bronkografi,
melihat bronkogram yang didapatkan dan CT-scan. Computed tomography (CT) scan
paru menjadi alternatif pemeriksaan yang paling sesuai untuk evaluasi bronkiektasis,
karena sifatnya non – invasif dan hasilnya akurat bila menggunakan potongan yang
lebih tipis dan mempunyai sensitivitas dan spesifitas lebih dari 95%.
Gambar 2. CT-Scan bronkiektasis A) Dilatasi dan hilangnya (normal meruncing) dari
tengah kanan lobus bronkus (panah) atau ; B) dilatasi saccular bilateral bronkus
dengan jaringan yang rusak dan hancuranya parenkim.

12. DIAGNOSIS BANDING

 Bronkitis Kronik
 Tuberkulosis Paru
 Abses Paru
 Karsinoma Paru, Adenoma Paru
 Fistula bronkopleural dengan empyema

13. TATALAKSANA

 Mengontrol infeksi dan meningkatkan sekresi sputum dan higienitas bronkus


untuk menurunkan jumlah mikroba dalam jalan napas dan risiko infeksi
berulang
 Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien:
o Membuat ruangan hangan, udara ruangan kering
o Menghentikan rokok
o Mencegah/menghindari debu, asap
 Memperbaiki drainase secret bronkus dan menjaga higienitas bronkus
o Drainase postural: dikerjakan 10-20menit 2-4 kali setiap hari, atau
sampai sputum tidak keluar lagi, dibantu dengan memberikan tepukan
pada punggung pasien
o Mencairkan sputum yang kental: hidrasi, mukolitik, inhalasi uap air
panas/ dingin.
o Mengatur posisi tempat tidur pasien
o Nebulisasi dengan bronkodilator dan cairan hyperosmolar (Saline
hypertonic)  ketika nebulisasi dengan cairan Saline hypertonic,
sebelumnya diberikan bronkodilator pada pasien yang mempunyai
hipereaktivitas bronkus. Sebelum dan 5 menit setelah dilakukan
nebulisasi, FEV1 atau PEF harus diperiksa untuk menilai adanya
bronkokonstriksi.
o Fisioterapi dada: drainase postural, chest flapping, oscillatory positive
expiratory pressure flutter valve, atau high-frequency chest wall
oscillation vest.
o Sebelum dilakukan fisioterapi dapat diberikan nebulisasi dengan beta 2
agonis untuk meningkatakan pengeluran sputum
o Setiap 3 bulan harus dinilai keefektifan terapi
 Latihan rehabilitasi paru
o Jika ada kesulitan bernapas ketika melakukan aktivitas sehari-hari
o Latihan kekuatan otot pernapasan
 Antiinflamasi
o Glukokortikoid oral/sistemik: jika disebabkan ABPA, kondisi
autoimun
o Glukokortikoid inhalasi: tidak dianjurkan secara rutin, kecuali pada
pasien asma
 Anti jamur
o Jika disebabkan ABPA: itrakonazol
 Antibiotic
o Eksaserbasi akut: pathogen terduga paling sering adalah Haemophilus
influenza dan P.aeruginosa. Antibiotik diberikan selama 7-10 hari
o Pada kasus infeksi MAC dan HIV negative: makrolid dengan
rifampisin dan etambutol
o Kombinasi antibiotic tidak diberikan jika infeksi disebabkan H.
influenza, Moraxella catarhalis, Staphylococus aureus, dan
Streptococus pneumonia.
o P.aeruginosa yang sensitive terhadap siproflokasasin dapat diberikan
secara oral sebagai antibiotic lini pertama, dan diganti ke intravena jika
tidak membaik.
o Nebulisasi dengan antibiotic: jika eksaserbasi ≥ 3 kali setahun atau
episode eksaserbasi yang jarang tetapi diperkirakan menyebabkan
morbiditas yang signifikan. Antibiotic disesuaikan dengan hasil kultur
sensitivitas.

 Operasi
o Tujuan: mengangkat/reseksi segmen atau lobus paru yang terkena\
o Indikasi :
 Bronkiektasis terbatas dan dapat tereseksi, yang tidak berespon
terhadap tindakan-tindakan konservatif yang adekuat
 Bronkiektasis terbatas tetapi sering mengalami infeksi berulang
atau hemoptysis yang berasal dari daerah tersebut
o Kontraindikasi:
o Bronkiektasis dengan PPOK
o Bronkiektasis Berat
o Bronkiektasis dengan komplikasi CPCD
 Jenis operasi: elektif dan paliatif (pada keadaan gawat darurat dan tidak
terdapat kontraindikasi)
o Persiapan operasi:
 Pemeriksaan faal paru: spirometry, AGD, bronkospirometri
 CT Scan atau USG
 Meneliti ada tidaknya kontraindikasi operasi
 Memperbaiki keadaan umum pasien
 Pada kasus refrakter:
 Operasi dengan reseksi bagian paru yang mengalami supurasi
 Transplantasi paru: sesuai indikasi
 Pada kasus eksaserbasi (3 episode dalam setahun):
 Antibiotic oral: siprofloksasin selama 1-2 minggu/bulan
 Merotasi jadwal pemberian antibiotic untuk menurunkan risiko
resistensi
 Makrolid setiap hari atau 3 kali seminggu
 Inhalasi antibiotic: tobramycin inhalation solution (TOBI)
dengan jadwal rotasi 30 hari pemakaian, 30 haru penghentian.
 Antibiotic intravena intermitten: pada kasus bronkiektasis berat
dan/atau resistensi kuman.

14. KOMPLIKASI

1. Perdarahan sampai hemoptysis massif karena kerusakan mukosa pembuluh


darah akibat infeksi berulang
2. Resistensi terhadap antibiotic karena infeksi berat, berulang, atau pemakaian
antibiotic terlalu sering.
3. Pneumonia dengan/atau tanpa atelectasis
4. Pleuritic
5. Efusi pleura atau empiema
6. Abses metastatis di otak
7. Sinusitis
8. Cor Pulmonum Chronicum / Cor Pulmonum Chronicum Decompensata
9. Gagal napas

Amilodosis
15. PENCEGAHAN
Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah, kecuali pada
bentuk kelainan konginetal. Terdapapt beberapa cara pencegahan bronkiektasis
didapat, yaitu :
Pengobatan dengan antibiotik atau cara cara lain dengan tepat terhadap segala bentuk
pneumonia yang timbul pada anak, dan tindakan vaksinasi terhdap pertusis dll (
influenza, pneumonia ) pada anak.

16. PROGNOSIS
Prognosis pasien bronkiektasis bergantung pada berat ringan serta luas
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan obat secara tepat dapat
memperbaiki prognosis. Pada kasus – kasus yang berat dan tidak diobati,
prognosisnya jelek. Survivalnya tidak akan lebih dari 5 – 15 tahun. Kematian pasien
tersebut biasanya dikarenakan pneumonia, empiema, payah jantung kanan,
hemoptisis.
BAB III
PRESENTASI KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Nn. Nelly
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 16 Tahun
Alamat : Kliwed
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Tgl. Masuk : 02-12-2019

II. Anamnesis
Diambil dari : Autoanamnesa
Keluhan Utama:
Sesak Nafas sejak 2 hari yang lalu SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan sesak nafas sejak ± 2

hari sebelum masuk Rumah Sakit. Sesak diperberat saat pasien istirahat dalam posisi

tidur. Pasien merasa sesaknya berkurang saat tidur dengan 2 bantal. Sesak tidak

diperberat dengan cuaca dingin maupun debu. Keluhan ini disertai dengan batuk

berdahak ± 1 bulan, dahak berwarna putih. Tidak terdapat darah maupun perubahan

warna dahak. Pasien mengeluh adanya bengkak pada kedua tungkai bawah dari lutut

hingga mata kaki. Bengkak terjadi hilang timbul sejak 1 minggu lalu. Pasien tidak

mengeluh adanya keringat malam. Tidak adanya penurunan berat badan yang

signifikan.tidak adanya demam.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah terkena penyakit TB Paru 1 tahun yang lalu dengan pengobatan
kategori 1 selama 6 bulan dengan tuntas. Pasien menyangkal pernah menderita sakit
kuning, kontak dengan penderita sakit kuning, hipertensi, riwayat alergi pemakaian
obat-obatan atau makanan. Tidak ada riwayat mengalami trauma.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang menderita tuberkulosis,


hipertensi, ginjal, kencing manis,dan alergi.

Riwayat Kebiasaan

Pasien tidak memiliki riwayat merokok, minum alkohol dan menggunakan


NAPZA.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. GCS : E4V5M6
4. Tanda-tanda Vital :
Tekanan Darah : 100/80 mmHg
Laju Nadi : 119x/menit reguler
Laju Pernapasan : 24x/menit regular, tidak terdapat pernapasan patologis.
Suhu : 36,6OC
Saturasi O2 : 91% dengan O2
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 39 kg
BMI : 16.2 kg/m2

Status Generalis
a. Kulit: Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit baik,
teraba hangat.
b. Kepala: Normosefali, rambut berwarna putih.
i. Mata: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor.
ii. Hidung: Deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), deviasi septum (-),
sekret (-/-).
iii. Telinga: Normotia (+/+), nyeri tekan (-/-), nyeri tarik (-/-), sekret (-/-)
iv. Mulut : bibir tidak sianosis, gusi dalam batas normal, lidah dalam batas
normal, mukosa dalam batas normal.
v. Tenggorokan: Trismus (-), arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula di
tengah.
c. Leher
i. Inspeksi : Tidak terdapat tanda trauma maupun massa
ii. Palpasi : Tidak terdapat pembesaran KGB, trakea ditengah tidak
terdapat deviasi.
d. Thoraks
Thoraks Anterior
i. Inspeksi
Bentuk pectus excavatum, pergerakan dan ukuran dinding dada kanan dan
kiri simetris, retraksi (-), otot bantu pernapasan lain (-), bekas luka (-)
deformtas (-), iktus cordis tidak tampak.
ii. Palpasi
Nyeri tekan (-), Fremitus taktil dan vokal pergerakan dinding dada
simetris, krepitasi (-), iktus cordis teraba di ICS V linea midklavikula
sinistra.
iii. Perkusi
Sonor seluruh lapang paru, peranjakan paru (+), batas paru-hepar di ICS
V, batas kanan jantung di ICS V linea parasternalis dextra, apeks jantung
di ICS VI linea midclavicula sinistra, dan pinggang jantung di ICS III line
parasternalis sinistra
iv. Auskultasi
Vesikuler +/+, Ronki +/+, Wheezing -/-, bunyi jantung 1-2 reguler,
murmur (-), gallop (-).

Thoraks Posterior
i. Inspeksi
Bentuk normal tidak skoliosis, lordosis, kifosis, bekas luka (-).
ii. Palpasi
Nyeri tekan (-), Fremitus taktil dan vokal pergerakan dinding dada
simetris, krepitasi (-).
iii. Perkusi
Sonor seluruh lapang paru.
iv. Auskultasi
Vesikuler +/+, Ronkhi +/+, Wheezing -/-
e. Abdomen
i. Inspeksi : Perut datar, massa (-), tidak terdapat distensi abdomen.
ii. Auskultasi : Bising usus (+) normal.
iii. Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen.
iv. Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan dan pembesaran organ.
k. Ekstremitas
i. Superior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
(-/-) akral hangat (+/+), edema (-/-)
ii. Inferior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
(-/-) akral hangat (+/+), edema (+/+)

3.1 Pemeriksaan Penunjang


3.1.1 Pemeriksaan Darah Lengkap (Tanggal 05 Desember 2019)
Hemoglobin : 9.3 g/dl (L)
Leukosit : 7000/µL
Trombosit : 343000/µL
Hematokrit : 34.2% (L)
Eritrosit : 4.54 juta/µL
MCV : 75.4 fL (L)
MCH : 20.4 pg (L)
MCHC : 27.1 g/dL (L)
Hitung Jenis
Segmen : 82% (H)
Limfosit : 10.2% (L)
Monosit : 5.5%
Eosinofil : 1.2%
Basophil : 1.1%
Luc : 0%
Kimia Klinik
SGOT : 42 U/L (H)
SGPT : 11 U/L
Albumin : 3.09 g/DL (L)

3.1.2 Foto Thorak (Tanggal 02 Desember 2019)

Gambar 1. Foto Thorak Pasien Nn. Nelly

Foto Thorak:
a. Corakan bronkovaskuler kasar di paracardial bilateral, air
bronchogram (+)
b. Sinus costophrenicus dextra tumpul . Diafragma lancip.
c. Cor CTR>0.5
d. Sistema tulang intact

Kesan:
Bronkhitis kronis dengan bronkhiektasis disertai secunder infection
3.1.3 Pemeriksaan Sputum BTA (Tanggal 07 Desember 2019)
Hasil BTA (-)
MTB not detected

3.1.4 Pemeriksaan pengumpulan Sputum ( Tanggal 03 Desember 2019)


Sputum 3 lapis : 1. Mukus
2. Saliva
3. Pus / nanah

Sputum khas pada kasus Saccular Type Bronchiectasis

Diagnosis Kerja : Bronkiektasis


Diagnosis Banding :
- Bronkiektasis
- Bronkitis kronik
- Tuberkulosis
- keganasan pada paru
- abses paru.

Penatalaksanaan
 Umum

Tirah baring

Oksigen

 Medikamentosa

- IVFD RL 500 cc 20 gtt/menit

- Inj. Omeprazole 1x 40mg ( 1 ampul )

- Inj. Antrain 3x 1 ampul


- Inj. Cefobactam 2x1 ampul

- Inj. Levofloxacin 1x750mg

- Ambroxol 3x1 tab

- Inhalasi Meptin 0,3ml

Pemeriksaan anjuran

- Foto Radiologi thorak (lampiran 1)

- Lab : Darah lengkap

- CT- Scan

3.11 Catatan Perkembangan Harian Pasien


Tabel 2. Catatan Perkembangan Harian Pasien
Tanggal Catatan Perkembangan Harian Pasien
02 S/ sesak nafas (+), batuk berdahak (+), udem tugkai bawah (+)
Desember pernah pengobatan OAT 1 tahun lalu (+) clubbing finger (+)
2019 (IGD) O/
TD: 110/80 mmHg
HR: 138x/menit
O2 : 80%
S : 37,8oC
RR: 38x/menit
Pemeriksaan Fisik Paru
Inspeksi : simetris pergerakan dan ukuran dada kanan dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan kiri, tidak ada
bagian yang tertinggal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikular (+), Rh+/+, Wh-/-
A/ Dyspnea ec TB relaps putus obat
P/ Infus NS 20 tpm
O2 NK 3-4 lpm
Injeksi Omeprazole 1x1 amp iv
antran 3x1 tab
ambroxol 3x 1 mg
03 S/ batuk berdahak (+), udem tugkai bawah (+), susah BAB (+)
Desember clubbing finger (+)
2019 O/
(Ruang Cut TD: 110/70 mmHg
Nyak Dien) HR: 95x/menit
O2 : 99%
S : 36,1oC
RR: 20x/menit
Pemeriksaan Fisik Paru
Inspeksi : simetris pergerakan dan ukuran dada kanan dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan kiri, tidak ada
bagian yang tertinggal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikular (+), Rh+/+, Wh-/-
A/ Bronkitis kronis dengan bronkhektasis
P/ Infus RL 20 tpm
O2 NK 3-4 lpm
Injeksi Omeprazole 1x1 amp iv
antran 3x1 tab
ambroxol 3x 1 mg
04 S/ sesak nafas terutama saat posisi istirahat (+), batuk berdahak
Desember (+), udem tugkai bawah (+) clubbing finger (+)
2019 O/
(Ruang Cut TD: 110/60 mmHg
Nyak Dien) HR: 110x/menit
O2 : 97%
S : 36,3oC
RR: 20x/menit
Pemeriksaan Fisik Paru
Inspeksi : simetris pergerakan dan ukuran dada kanan dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan kiri, tidak ada
bagian yang tertinggal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikular (+), Rh +/+, Wh-/-
Foto Thorak
Kesan:
Bronkitis kronis dengan bronkiektasis disertai secunder
infection
Besar cor normal
A/ Bronkitis kronis dengan bronkhektasis
P/
Infus RL 20 tpm
Omeprazole 1x40mg
Antran 3x1 tab
Cefobactam 2x1
Levofloxacin 1x750mg
Ambroxol 3x1
Meptin 0.3 ml

05 S/ sesak nafas terutama saat posisi istirahat (+), batuk berdahak


Desember (+), udem tugkai bawah (+)clubbing finger (+)
2019 O/
(Ruang Cut TD: 120/80 mmHg
Nyak Dien) HR: 94x/menit
O2 : 98%
S : 37,5oC
RR: 24x/menit
Pemeriksaan Fisik Paru
Inspeksi : simetris pergerakan dan ukuran dada kanan dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan kiri, tidak ada
bagian yang tertinggal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikular (+),Rh +/+, Wh+/+
A/ Bronkitis kronis dengan bronkhektasis
P / Infus RL 20 tpm
Omeprazole 1x40mg
Antran 3x1 tab
Cefobactam 2x1
Levofloxacin 1x750mg
Ambroxol 3x1
Meptin 0.3 ml

06 S/ Batuk berdahak (+), sesak (+), badan terasa panas (+), udem
Desember ekstremitas inferior (+)
2019 O/
(Ruang Cut TD: 100/70 mmHg
Nyak Dien) HR: 114x/menit
O2 : 97%
S : 36,6oC
RR: 28x/menit
Pemeriksaan Fisik Paru
Inspeksi : simetris pergerakan dan ukuran dada kanan dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan kiri, tidak ada
bagian yang tertinggal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikular (+), Rh+/+, Wh-/-
A/ Bronkitis kronis dengan bronkhektasis
P/ Infus RL 20 tpm
Omeprazole 1x40mg
Antran 3x1 tab
Cefobactam 2x1
Levofloxacin 1x750mg
Ambroxol 3x1
Meptin 0.3 ml
07 S/ Udem ekstremitas inferior (+)
Desember O/
2019 TD: 100/80 mmHg
(Ruang Cut HR: 119x/menit
Nyak Dien) O2 : 91%
S : 36,6oC
RR: 28x/menit
Pemeriksaan Fisik Paru
Inspeksi : simetris pergerakan dan ukuran dada kanan dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan kiri, tidak ada
bagian yang tertinggal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikular (+), Rh+/+, Wh-/-
Hasil BTA
BTA (-)
MTB not deteced

A/ Bronkitis kronis dengan bronkhektasis


P/ Infus RL 20 tpm
Omeprazole 1x40mg
Antran 3x1 tab
Cefobactam 2x1
Levofloxacin 1x750mg
Ambroxol 3x1
Meptin 0.3 ml

ACC Rawat Jalan


Resume:
Seorang wanita usia 16 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak ± 2 hari
sebelum masuk Rumah Sakit. Sesak diperberat saat pasien istirahat dalam posisi tidur.
Pasien merasa sesaknya berkurang saat tidur dengan 2 bantal.Keluhan ini disertai
dengan batuk berdahak ± 1 bulan, dahak berwarna putih. Pasien mengeluh adanya
bengkak pada kedua tungkai bawah dari lutut hingga mata kaki. Bengkak terjadi
hilang timbul sejak 1 minggu lalu. Terdapat riwayat tuberkulosis pada pasien 1 tahun
yang lalu dengan pengobatan kategori 1 selama 6 bulan dengan tuntas.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 100/80 mmHg, terdapat
dispneu dan konjungtiva pucat. Pada thorak ditemukan suara bunyi tambahan berupa
rhonki
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan hasil hemoglobin 9,3
g/dL (11-12 gr/dL) ,pada pemeriksaan radiologi terlihat gambaran honey comb
appearance dikedua lapang paru.

Diagnosis Kerja:
Bronkhiektasis: Batuk kronik, sesak nafas, cubbing finger, gambaran radiologi honey
comb appearance
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/brn/atrisk.html
2. Rahmatullah, P. Bronkiektasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta;EGC;II;1035-1039.
3. Maguire, M. A Guide for primary Care Bronchiectasis. Australian Physican
Family. Volume 41, No.11, November 2012 Pages 842-850.
4. http://www.nhs.uk/Conditions/Bronchiectasis/Pages/Introduction.aspx
5. http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/brn/printall-index.html
6. Loscalzo J, et al. 2015. Harrison’s Pulmonary and Critical Care Medicine 2nd
Edition. USA: Mc Graw Hill; 172-176

Anda mungkin juga menyukai