Anda di halaman 1dari 64

EPILEPSI Pendahuluan Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa,

segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi. Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin. Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin. Dalam menghadapi kehamilan resiko tinggi seperti ini maka ibu hamil dengan epilepsi sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu antara ahli kebidanan dan ahli saraf agar dapat bebas dari serangan epileptik, serta ahli anak untuk memantau adanya gangguan perkembangan dan kelainan kongenital.

Definisi Kata epilepsi berasal dari kata Yunani yaitu epilambanein yang berarti serangan dan menunjukkan bahwa sesuatu dari luar badan seseorang menimpanya, sehingga ia jatuh. Secara umum, epilepsi dapat didefinisikan sebagai gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam seranganserangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000). Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam etiologi. Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi.

Epidemiologi Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi. Agak sulit mengestimasi jumlah kasus epilepsy pada kondisi tanpa serangan, pasien terlihat normal dan semua data lab juga normal, selain itu ada stigma tertentu pada penderita epilepsy malu/enggan mengakui Insiden paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dg kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovasular Pada 75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 th

Etiologi Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%

Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi. Epilepsi mungkin disebabkan oleh: aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak pada saat lahir atau cedera lain pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak, atau infeksi pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-6 tahun disebabkan karena febril pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena birth trauma, cedera kepala, tumor

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

1. kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alkohol, atau mengalami cidera. 2. kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan. 3. cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak 4. tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak. 5. penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak 6. radang atau infeksi pada otak dan selaput otak 7. penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang. 8. kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.

Secara umum, etiologi epilepsi dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu epilepsi primer dan epilepsi sekunder. 1. Epilepsi Primer (Idiopatik) Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya serta tidak ditemukan adanya kelainan pada jaringan otak. Pada penderita epilepsi tipe ini diduga terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Epilepsi ini meliputi sekitar 50% dari penderita epilepsi anak, awitan biasanya pada usia lebih dari 3 tahun. 2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik) Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

Faktor Pencetus Ada berbagai faktor pencetus terjadinya serangan pada penyandang epilepsi, diantaranya adalah sbb. Kurang tidur, dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan serangan. Stres emosional, dapat meningkatkan frekuensi serangan. Penyandang epilepsi sudah seharusnyalah perlu belajar menghadapi stres. Stres fisik yang berat juga dapat menimbulkan serangan. Infeksi, biasanya disertai dengan demam. Dan demam inilah yang merupakan pencetus serangan karena demam dapat mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi di otak, sehingga mengaktifkan sel-sel otak yang menimbulkan serangan. Obat-obat tertentu, seperti penggunaan obat-obatan antidepresan trisiklik, obat tidur (sedatif) atau fenotiasin. Alkohol, dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan. Perubahan hormonal, biasanya terjadi pada masa haid dan pada saat kehamilan. Terlalu lelah, dapat menimbulkan hiperventilasi di mana terjadi peningkatan kadar CO2 dalam darah yang mengakibatkan terjadinya penciutan pembuluh darah otak yang dapat merangsang terjadinya serangan epilepsi. Fotosensitif, seperti pada lampu diskotik, pesawat televisi dan benda lain yang dapat menimbulkan kelipan atau kilatan sinar dapat merupakan pencetus serangan.

Klasifikasi

Menurut Commision of Classification and Terminology of the international League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981, epilepsi diklasifikasikan sebagai berikut. 1. Sawan Parsial (lokal, fokal) a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal Dengan gejala motorik - Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja - Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson. - Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh. - Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu - Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo. - Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum. - Visual : terlihat cahaya - Auditoris : terdengar sesuatu - Olfaktoris : terhidu sesuatu - Gustatoris : terkecap sesuatu - Disertai vertigo Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil). Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur) - Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat. - Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi. - Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah. - Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut. - Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar. - Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.

b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran) Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun. - Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.

- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll. Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran. - Hanya dengan penurunan kesadaran - Dengan automatisme

c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik) Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif) a. 1. Sawan lena (absence) Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama menit dan biasanya dijumpai pada anak. Hanya penurunan kesadaran Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral. Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai. Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang. Dengan automatisme Dengan komponen autonom.

2. Lena tak khas (atipical absence) Dapat disertai: Gangguan tonus yang lebih jelas. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Sawan Mioklonik Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

c. Sawan Klonik

Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

d. Sawan Tonik Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.

e. Sawan Tonik-Klonik Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

f. Sawan Atonik Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.

3. Sawan Tak Tergolongkan Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana. Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak. Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak.

Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 1. Berkaitan dengan letak fokus a. Idiopatik - Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro tem - Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital b. Simptomatik - Lobus temporalis - Lobus frontalis - Lobus parietalis

- Lobus oksipitalis 2. Umum a. Idiopatik - Kejang neonatus familial benigna - Kejang neonatus benigna - Kejang epilepsi mioklonik pada bayi - Epilepsi Absans pada anak - Epilepsi Absans pada remaja - Epilepsi mioklonik pada remaja - Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga - Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak b. Simptomatik - Sindroma West (spasmus infantil) - Sindroma Lennox Gastaut 3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2) - Serangan neonatal 4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi - Kejang demam - Berkaitan dengan alkohol - Berkaitan dengan obat-obatan - Eklampsia - Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)

Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman

elektroensefalografi (EEG).

Berbagai jenis sindrom epilepsy yang dikenal, di antaranya: Absence Epilepsy, Epilepsi dengan generalized tonic-clonic seizure, Juvenile Myoclonic epilepsy, Lennox-Gastaut Syndrome, dan West syndrome. Absence Epilepsy Dulu sindrom ini disebut petit mal epilepsy atau epilespi lena. Tetapi sekarang sering disebut dengan absense/absans saja. Onset atau awitan biasanya dimulai pada usia awal sekolah, sekitar 5-7 tahun dengan kasus lebih sering ditemukan pada anak perempuan. Sindrom ini merupakan kasus tersering, mencapai 2-8%

dari semua kasus. Termasuk jenis epilepsi idiopatik, artinya ada riwayat keluarga. Anak dengan sindrom jenis ini memiliki tingkat intelegensi (IQ) normal. Salah satu ciri sindrom ini adalah frekuensi serangan absanse-nya sangat sering, dalam satu periode bisa 10 kali. Anak tampak tidak sadar atau tampak seperti melamun. Dari pemeriksaan EEG tampak gambaran yang sangat khas, 3 Hz atau 3 siklus per detik. Kejang pada sindrom ini bisa diprovokasi oleh hiperventilasi. Secara umum, remisi sindrom absence epilepsy baik. 80% gejala akan hilang saat dewasa. Namun 20-40% akan berkembang menjadi generalized tonic-clonic seizure saat dewasa. Obat lini pertama untuk sindrom ini adalah valproate.

Epilepsi dengan generalized tonic-clonic seizure Sindrom ini memiliki rentang onset yang panjang, mulai usia 5 hingga 25 tahun. Tipe kejangnya adalah general tonik klonik seizure. Prognosis sangat baik dan sangat responsif dengan valproate, carbamazepine, fenobarbital, maupun topiramate. Kejang ini biasanya sangat menakutkan untuk orangtua. Biasanya setelah kejang anak tertidur lemas. Namun meski menakutkan, sindrom ini cukup baik terhadap pengobatan.

Juvenile Myoclonic epilepsy Ini termasuk sindrom yang sulit. Onset mulai 12-16 tahun. Jenis ini juga termasuk epilepsi idiopatik. Kasusnya mencapai 5-10% dari seluruh kasus. Gejala khasnya adalah gerakan mioklonik seperti terkejut pada saat bangun tidur yang diikuti kejang general tonik klonik. Mioklonok ini dipicu oleh kelelahan, gangguan tidur atau pengaruh alkohol. Manajemen epilepsi jenis ini adalah mengubah lifestyle. Pengobatan paling efektif dengan valproate. Lamotrigine juga efektif tetapi biasanya dikombinasi dengan valproate karena valproate sangat efektif untuk kejang mioklonik.Kondisi epilepsi jenis ini merupakan kondisi seumur hidup. Artinya, kejang kembali datang dalam hitungan minggu atau bulan bila pengobatan dihentikan.

Lennox-Gastaut Syndrome Sindrom ini juga termasuk yang sulit ditangani. Lennox-Gastaut Syndrome termasuk dalam bentuk epilepsi general yang simtomatik dengan prevalensi sekitar 2-3% dari seluruh kasus epilepsi. Puncak onset terjadi di usia 3-5 tahun. Secara umum sindrom ini berkaitan dengan tipe kejang yang multipel. Tetapi yang paling khas adalah adanya axial tonic seizure yang menyebabkan cedera. Sedangkan kejang atypical absence , atonic atau drop attack serta kejang mioklonik dan tonik klonik, juga bisa ditemui. Hasil EEG secara umum lambat (< 2 Hz). Biasanya penderita memiliki IQ rendah dan ada kemunduran mental. Prognosis sindrom ini juga sangat buruk, lebih dari 80% tidak bisa disembuhkan. Untuk mengatasi sindrom ini diperlukan politerapi yaitu kombinasi topiramate, lamotrigine dan valproate.

West syndrome Sindrom ini sering juga disebut infantile spasms. West Syndrom bisa dibedakan menjadi dua jenis yaitu simptomatik dan cryptogenik. Jenis simptomatik disebabkan karena ada kelainan neurologis sebelumnya. Sedangkan jenis cryptogenic tidak diketahui penyebabnya. Jenis spasmenya adalah

berkelompok (kluster) dan dalam satu kluster bisa mencapai 125 spasme. Biasanya gejala timbul setelah bangun tidur. Pada saat terjadi spasme biasanya anak menangis dan spasme ini bisa terus berlangsung. Gambaran EEG sangat tidak beraturan. Pengobatan infantile spasms sampai saat ini belum memuaskan. ACTH diyakini lebih efektif dibandingkan penggunaan kortikosteroid sehingga rekomendasi lini pertama adalah ACTH sedini mungkin. Namun efek samping ACTH harus diwaspadai. Sedangkan melalui penelitian, topiramate cukup efektif untuk monoterapi pada anak di atas 2 tahun. Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).

PETIT MAL Petit mal adalah serangan epileptic ysng berups ilsng kesadaran sejenak. Serangan biasanya timbul pada anak-anak yang berumur antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang untuk beberapa detik itu, tonus otot-otot skeletal tidak hilang, sehingga penderita tidak jatuh. Lamanya serangan petit mal ialah antara 5 sampai 10 detik. Serangan yang berlangsung sampai 30 detik jarang dijumpai. Adakalanya dapat timbul gerakotot setempat pada wajah (facial twitching). Pada waktu serangan petit mal berlangsung kedua mata dapat menatap secara hampa ke depan atau kedua mata berputar-putar ke atas sambil melepaskan benda yang sedang dipegangnya atau berhenti berbicara. Setelah sadar krmbali penderita sama sekali lupa akan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Juga pembicaraan yang dihentikan sewaktu petit mal bangkit tidak dapat diingat kembali. EEG petit mal adalah khas. Polanya adalah satu-satunya pola EEG yang mempunyai arti diagnosis mutlak. EEg tersebut memperlihatkan kompleks spike wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh. Dengan adanya pola tersebut, maka diagnosis satu-satunya adalah petit mal. Serangan petit mal dapat berhenti untuk seterusnya sampai penderita berusia 20 tahun atau selambatlambatnya berusia 30 tahun. Tetapi ada kemungkinan petit mal dapat berkembang menjadi grand mal pada usia 20an. Petit mal yang dapat berhenti diramalkan berdasarkan 4 kriteria: a. b. Mula timbulnya pada usia 4 8 tahun dengan anak intelegensi normal Seragna petit malnya harus terdiri hanya dari hilang kesadaran sebentar, tanpa gejala motorik seperti fascial twitching, bibir yang komat-kamit atau tonus postural yang hilang c. d. Serangan petit malnya dapat dikelola dengan 1 jenis obat saja Poal EEGnya harus berupa kompleks spike-wave yang tepat 3 siklus perdetik, tanpa adanya pola abnormal lainnya. Petit mal yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut diatas cendrung menjadi grand mal dalam perkembangan selanjutnya. Perawatan

10

Obat pilihan utama untuk pemberantasan petit mal ialah ethosuximide (Zarontin, Parke Davis). Dosis yang dipergunakan sehari ialah 20-40 mg/Kg/BB dan diberikan dalam 2 atau 3 angsuran. Dosis permulaan (20mg/Kg/BB/hari) dapat dinaikkan secara berangsur-angsur setiap seminggu sekali sampai orang sakit bebas serangan atau sampai gejala efek samping timbul. Adapun gejala efek samping itu ialah mulas, mual, ataksi dan ngantuk Ethosuximide mempunyai kecenderungan untuk membangkitkan serangan grand aml. Bila seranmgan grand mal timbul maka orang sakit dapat diberi orang tambaghan yang dapat memberantas serangan grand mal, yaitu luminal. Antikonvulsan lain yang lain digunakan untuk pemberantasan petit mal ialah clonozepam (Rivotril, Roche) dalam dosis 0,01-0,03 mg/Kg/BB/hari. Bilamana obat-obat tersebut di atas masih belum sempurna, maka acetazolamide (Diamox, Lederide) dalam dosis 10-25 mg/Kg/BB/hari dapat diberikan sebagai obat rambahan. Jangan dilupakan untuk meneliti faktor-faktor di luar obat bilamana serangan epileprtik masih belum dapat diatasi.

GRAND MAL Serangan epileptik berupa penderita jatuh tiba-tiba sambil mengeluarkan jeritan atau teriakkan. Untuk sejenak pernapasan berhenti dan seluruh tubuh menjadi kaku, kemudian bangkit gerakan-gerakan yang dinamakan gerakan tonik klonik. Apa yang dimaksud dengan itu ialah gerakan tonik yang sejenak diselingi oleh relaksasi, sehingga selama serangan grand mal lengan dan tungkai tetap dalam sikap lurus, secara ritmik terjadi fleksi ringan dan ekstensi kuat pada semua persendian anggota gerak. Juga otot wajah dan badan melakukan gerakan tonik yang diselingi dengan relaksasi sejenak secara ritmik. Gerakan tonik itu kuat sekali, sehingga tulang dapat patah dan bibir atau lidah dapat tergigit sampai putus. Kesadaran hilang saat penderita jatuh. Air kemih dikeluarkan karena kontraksi tonik involunter dan air liur yang berbusa keluar dari mulut hasil kontraksi tonik klonik otot-otot wajah, mulut dan orofaring. Setelah berkontraksi tonik klonik secara kuat dan gencar selama beberapa puluh detik sampai 1-2 menit, frekuensi dan intensitas konvulsi berkurang secara berangsur-angsur hingga akhirnya berhenti. Penderita belum sadar, tapi tidak lama kemudian, yaitu dalam waktu beberapa menit sampai setengah jam, dia membuka mata, tampak letih sekali dan tertidurlah dia. Tergantung pada berat dan ringannya konvulsi, penderita dapat tidur selama setengah sampai enam jam. Setelah tidur pasca grand mal, penderita merasakan sakit kepala dan tidak ingat atau tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Sebelum serangan grand mal timbul, banyak penderita sudah memperlihatkan gejala-gejala prodromal yang terdiri dari irritabilitas ( cepat marah atau tersinggung), pusing, sakit kepala, atau bersikap depressed Pada pemeriksaan dpat diketahui bahwa penderita grand mal sejak kecil mendapat serangan. Grand mal juga dapat timbul pada umur 20-30 tahun. Tetapi jika konvulsi umum bangkit untuk pertama kali pada usia 30 tahun ke atas, maka tumor serebri yang dapat mendasarinya harus dicurigai dan diselidiki. Serebrovaskuler disease dapat juga menimbulkan konvulsi umum pada orang-orang yang berusia tua. Setiap kasus konvulsi umum tidak boleh dianggap sebagai manifestasi grand mal saja. Konvulsi dapat menyusul suatu aura, bahkan menyusul serangan Jackson motorik. Maka dari itu, pada introgasi

11

anamnesis adanya aura dalam bentuk apa pun harus diselidiki dengan teliti sekali. Karena penyususnan anamnesa tidak selalu mudah, maka seringkali anamnesa kurang lengkap, sehingga konvulsi umum yang menyusul timbulnya serangan epilepsy local dapat dianggap sebagai manifestasi grand mal. Bila terdapat informasi bahwa konvulsi umum yang dihadapai merupakan manifestasi epilepsy local, apa lagi jika penderita yang bersangkutan sudah berusia lebih dari 30 tahun, maka pemeriksaan neurologi umum dan khusus harus dilakukan dengan teliti. Bila mana penderita yang bersangkutan sudah lama dikenal sebagai seorang epileptic, maka pemeriksaan tersebut tidak perlu dilakukan seluruhnya. Dalam hal ini cukuplah dengan pemeriksaan klinis umum saja yang dilengkapi dengan EEG. Berbeda dengan pola EEG petit mal yang khas itu, pola EEG grand mal tidak patognomonik. Serangan grand mal secara EEG adalah sebagai berikut : letupan-letupan spike ( multiple spike ) yang gencar bangkit secara difus dan paroksismal atau sekali letupan-letupan spike atau gelombang tajam bangkit secara difus dan paroksismal. Perawatan Obat pilihan utama terdiri dari phenobarbital atau phenytoin. Dua-duanya baik sekali dan murah harganya. Phenytoin (Dliantin, Parke Davis) mempunyai sifat-sifat yang unggul, yaitu tidak membikin orang mengantuk, tidak akan menimbulkan manifestasi overdose yang fatal dan bila dihentikam tidak akan membangkitkan status epileptikus. Efek samping yang kurang enak ialah sakit epigastrik, dermatitis, anemia, hipertrofi gusi, hirsutismus, nistagmus, dan ataksia. Bila pilihan jatuh pada phenytoin daan penderita tidak mau diraawat di rumah sakit, maka mulailah langsung dengan dosis tinggi, yaitu 5-10mg/Kg/BB/hari untuk orang dewasa dan 5-8 mmg/Kg/BB/hari untuk anak-anak dibawah 6 tahun. Khasiat phenytoin dengan dosis rendah baru efektif pada hari pengobatan ke 5 sampai 15. Anak-anak, bayi, wanita lebih baik diobati dengan phenobarbital, mengingat efek buruk kosmetik dari phenytoin. Efek samping phenobarbital hanya ngantuk saja. Oleh karena harganya lebih murah dari phenytoin, maka phenobarbital sangat cocok untuk masyarakat kurang mampu. Akan tetapi oleh karena para penderita dari lapisan ini kurang berdisiplin untk menggunakan antikonvulsan, maka para pemakai phenobarbnital dari masyarakat lapisan rendah sering mendapat konvulsi withdrawal. Orang tua dari lapisan masyarakat kurang mampu tidak mempunyai waktu dan pembantu untuk mengawasi anak yang harus menggunakna phenobarbital secara teratur dan sinambung. Maka dari itu, pilihan untuk menggunakan phenobarbital atau phenytoin lebih tepat ditentukan oleh peryimbangan-pertimbangan yang menyeluruh dan jangan ditentukan berdasarkan status kaya atau tidak saja. Dosis phenobarbital untuk anak-anak dibawah umur 6 tahun ialah 3-5 mg/Kb/BB/hari yaitu kira-kira 60-120 mg./hari. Walaupun biological half-life dari phenobarbital cukup lama (95 jam), naman mengingat efek samping yang membikin orang mengantuk, maka pemberiannya sebaiknya diatur dalam 3 atau 4 angsuran. Orang dewasapun mudah mengatuk dengan dosis 3dd 30-50 mg phenobbarbital. Interaksi yang buruk hasil kombinsi kedua obat itu tidak ada. Bilamana serangan grand mal masih belum dapat diberantas dengan obat-obat tersebut di atas, baik secara kombinasi maupun obat tunggal, boleh dicoba primidone (Mysolin, ICI). Primidone adalah sangat dekat pada phenobarbital dalam struktur kimianya. Karena itu secara teoritik kombinasi phenobarbital dengan primidone tidak dianjurkan. Tetapi menurut pengalaman pribadi, kombinasi phenobarbial dengan

12

primidone adaah efektif juga. Dosis primidone untuk anak di bawah umur 6 tahun adalah 10-25 mg/kg/BB/hari, dibagi dalam 2 atau 3 angsuran. Anak-anak dapat memulai dengan dosis 50-100 mg/hari. Orang dewasa memerlukan dosis yang relatif jauh lebih rendah, yaitu 300-600 mg/hari. Dosis permulaan harus rendah, misalnya 100-150 mg/hari. Secara berangsur-angsur dosis permulaan dapat ditinggikan sesuai dengan keadaan yang dilaporkan pada follow up. Efek samping primidone dapat berupa ngantuk, vertigo, ataksia, dermatitis dan anemia (megalobastik). Juga primidone mengakibatkan timbulnya konvulsi umum withdrawal. Obat pilihan ke-4 ialah carbazepine (Tegretol, Geigy), yang sering digunakan juga untuk pemberantasan neuralgia idiopatik. Dosis untuk anak-anak ialah 150-300 mg/hari dan untuk orang dewasa 200-800 mg/hari, diberi dalam 2 sampai 3 angsuran. Efek sampingnya dapat berupa dermatitis, ngantuk, mulut kering, rasa tidak enak epigastrik, ikterus dan aplastik anemia. Carbazepine dapat digunakan sebagai obat antikonvulsi tunggal atau dalam kombinasi dengan phenytoin atau phenobarbital atau dengan keduaduanya atau pun juga dalam kombinasi dengan primidone.

MIOKLONIK EPILEPSI Mioklonus ialah gerakan involunter sekelompok otot skeletal yang timbul tiba-tiba dan berlangsung sejenak. Mioklonus merupakan manifestasi bermacam-macam penyakit, baik yang bersifat neurologis (degenerasi prontoserebelar, mielitis) maupun yang non neurologic (uremia, hepatic failure). Tetapi antara mioklonus dengan mioklonus terdapat perbedaan pokok yaitu mioklonus dengan EEG yang memperlihatkan spikedan mioklonus yang berasosiasi dengan EEG yang normal. Dua jenis mioklonus dengan EEG abnormal dikenal sebagai manifestasi epilepsy idiopatik, yaitu spasmus infantile dan epilepsy mioklonik anak-anak. 3 A. Spasmus Infantil Spasmus infantil ialah fleksi spastik anggota gerak dan badan yang timbul sebagai serangan pada bayi antara 4 sampai 9 bulan dengan pola EEG yang dikenal sebagai hipsaritmia. Dari anamnesa dapat diketahui bahwa pada partus ada sedikit kesulitan atau terdapat tandatanda gangguan perkembangan intrauterin (mikrosefaus, lisensefalus, phenylketonuria). Tetapi kebanyakan bayi dengan spasmus infantil tidak didapati anamnesa yang abnormal. Juga seara badaniah adalah normal. Akan tetapi setelah timbul serangan-serangan spasmus infantil, bayi-bayi yang tadinya tampak sehat dan normal itu cepat menunjukkan kemunduran mental dan badaniah. Serangan spasmus infantil dapat rjadi berkali-kali sampai 50 kali sehari. Letupan-letupan spasmus infantil dalam satu serangan bangkit dengan interval 2-5 detik. Jenis epilepsi umum idiopatik ini dikenal juga sebagai salaam spasm atau West syndrome. Lukisan serangan spasmus infantil adalah khas. Juga umur dan kemunduran mental/badanlah merupakan tanda-tanda yang relevan bagi sindroma yang dilengkapi oleh pola EEG hipsaritmia harus didiagnosa sebagai spasmus infantil. Adapun pola hipsaritmia itu ialah pola yang seluruhnya kacau dimana spike soliter dan letupan spike timbul secara difus bersama -sama dengan gelombang lambat dan kompleks spike wave, tanpa adanya aktivitas dasar yang normal, atau hanya secara episodik saja aktivitas dasar itu agak normal. Perawatan

13

Jenis epiepsi ini paling sulit untuk diatasi dengan obat antikonvulsan. Clonazepam (Rivotril, Roche) dan nitrazepam (Mogadon, Roche; Sedatin, Kimia Farma; Dumoid, Dumex) mempunyai efek yang lumayan. Tetapi oabt yang merupakan pilihan utama untuk spasmus infantil adalah ACTH. Dosisnya adalah 30 unit/hari yang dapat dibagi dalam 1 atau 2 kali suntikan i.m. selama 46 minggu. Dengan ACTH hipsaritmia dapat berubah dan pola EEG menjadi lebih normal. Akan tetai manifestasi kliniknya tidak selamanya sesuai dengan perubahan baik EEG itu. Kira-kira 20% meninggal sebelum umur 4 tahun dan kira-kira 35% sembuh dengan ACTH, sehingga dapat berkembang normal dan dapat mengikuti pelajaran sekolah biasa. Kriteria untuk mendapatkan hasil yang baik adalah diagnosa yang dini, mula timbulnya pada usia di atas 4 bulan dan serangan spasmus tidak berlangsung lama. Mayoritas para penderita mula timbul sebeum usia 4 bulan dengan kemunduran mental yang jelas, tidak dapat diperbaiki lagi.

3 B. Epilepsi Mioklonik Anak-Anak Serangan epileptik jenis ini beraneka ragam. Ada yang menyerupai spasmus infantil, ada juga yang disertai oleh konvulsi umum atau menyerupai petit mal namun dengan hilangnya tonus postura sehingga penderita jatuh lunglai dan tidak sadar untuk sejenak. Oleh karena itu berbagai julukan dikenal, yaitu Lennox-Gastaut syndrome, akinetic drop attacks, epilepsi mioklonik anak-anak, petit mal myoclonus, dan seterusnya. Pada dasarnya epilepsi mioklonik pada anakanak erarti epilepsi mioklonik yang mula timbulnya pada umur 3 tahun. Sebagian mencakup anakanak yang tadinya memperlihatkan serangan jenis spasmus infantil atau petit mal yang tidak murni. Sebagaimana sudah disinggung di muka, petit mal dapat memperlihatkan juga manifestasi lain, seperti muscular twitching pada wajah, mulut yang berkomat -kamit atau pun yang disertai mioklonus. Pada petit mal ini telah dinyatakn, bahwa pola EEG-nya tidak murni 3 sampai dengan kompleks spike-wave, lagi pula memperlihatkan abnormalitas lain. Jenis petit mal inilah yang tidak hilang, melainkan menetap hingga anak menjadi orang dewasa. Dan perkembangan selanjutnya sesuai dengan sindroma Lennox-Gastaut. Menurut para ahli elektroensefalografi, istilah-istilah yang merupakan sinonim diagnosa epilepsi mioklonik anak-anak adalah tidak tepat. Adapun istilah-istilah itu ialah petit mal akinetik, petit mal mioklonik, epilepsi akinetik, petit mal akinetik, dan sebagainya. Pada hakekatnya argumentasi mereka didasarkan atas ciri-ciri EEG. Predikat tidak tepat dan tepat tidak banyak mempengaruhi pengenalan dan perawatan, maka secara praktis argumentasi mereka adalah akademik. Jika pola EEG penderita sindroma Lennox-Gastaut diteliti secara kritis, maka semua pola abnormal dapat ditemukan. Spike yang timbul secara tersendiri dapat berdampingan dengan letupan spike (polvspikes), kompleks spike-wave yang tak khas dan gelombang lambat. Sebagaimana telah dibedakan spasmus infantil yang timbul pada bayi yang sejak dilahirkan memang sudah memperlihatkan tanda-tanda abnormal mental dan fisik di satu pihak dan spasmus infantil yang berkembang setelah bayi mengidap trauma atau infeksi post-natal di lain pihak, demikian juga halnya dengan epilepsi mioklonik anak-anak. Yang dinamakan epilepsi mioklonik

14

anak-anak idiopatik ialah epilepsi yang mulai timbul pada umur 1-3 tahun dengan konvulsi umum, dimana di antaranya bersifat serangan mioklonus, spasmus infantil dan hilang kesadaran sejenak yang menyerupai petit mal. Sebaliknya yang dijuluki epilepsi mioklonik anak-anak simtomatik, ialah jenis serangan epileptik yang serupa, namun para penderitanya memperlihatkan menifestasi penyakit lain, misalnya lipidosis, sklerosis tuberosa dan lain-lain penyakit herediter. Penderita epilepsi mioklonik anak-anak baik yang idiopatik maupun yang simtomatik, kedua-duanya adalah cacat mental dan fisik. Perawatan Oleh karena serangan epileptiknya beraneka ragam, ialah konvulsi umum, hilang kesadaran sejenak (absence) dengan tonus postural yang hlang sejenak pula, mioklonus dan muscular twitching, maka obat yang digunakan untuk memberantas manifestasi epilepsi mioklonik anak anak (sindroma Lennox-Gastaut) adalah phenytoin, phenobarbital, clonazepam, carbazepine, acetazolamide, dan ethosuximide. Dosis masing-masing obat sudah diuraikan di atas. Hasil yang lumayan diperoleh dengan kombinasi 2 atau 3 obat antikonvulsan. Pada umumnya prognosa sindroma Lennox-Gastaut adalah buruk.

EPILEPSI NEONATAL Serangan epilesi neonatal ialah konvulsi pada neonatus yang secara berkala bangkit sampai bayi berusia 30 hari. Serangan ini tidak mudah dikenal karena sifatnya ringan dan mudah dianggap sebagai kejadian yang normal. Serangan itu dapat berupa 1. Defiasi tonik kedua bola mata yang cepat yang sekali-sekali diselingi deviasi tonik 2. Kelopak mata berkedip-kedip untuk beberapa puluh detik 3. Wajah meringis-ringis 4. Sekali-kali timbul gerakan tonik klonik sejenak pada salah satu anggota gerak. 5. Sekali-kali timbul gerakan tonik sejenak pada salah satu anggota gerak. 6. Serangan apneu yang disertai dengan kejang tonik, seluruh tubuh slama beberapa puluh detik. 7. Konvulsi umum Perawatan Serangan epilepsy neonatal tidak membutuhkan pengobatan segera, yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu evaluasi factor etiologi. Darah dan urin diperiksa secara lengkap. Adapun obat-obatan yang diperlukan antara lain Obat Dextrose 25% Piridoxin Calcium Glucoat 10% MgSO4 3% *fenobarbital *phenytoin *diazepam Dosis 2-4 mg/kg/BB 50 mg sampai 10cc sampai 3cc 10-20 mg/kg/BB 10-15 mg/kg/BB sampai 3 mg Cara Iv cepat Iv cepat Iv lambat 10 menit Iv lambat 10 menit Iv lambat 5 menit Iv 25 mg/menit Iv lambat 5 menit

15

Patofisiologi Menurut para peneliti, sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi). Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat

merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan

menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

Otak ialah rangkaian berjuta-juta neron yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena ini elektrik ini adalah wajar. Manifestasi biologiknya berupa gerakan otot atau suatu modalitas sensorik, tergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya. Bila neuron di daerah somatosensorik yang melepaskan muatannya, timbullah perasaan propriotif atau proprioseptif. Demikian pula akan timbul perasaan pancaindera apabila neuron daerah korteks yang melepaskan muatan listriknya. Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan

16

listriknya karena potensial membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat di ruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran. Potensial aksi itu disalurkan melalui akson yang bersinaps dengan dendrit neuron lain. Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak. Pada keadaan patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya. Beberapa penyelidikan mengungkapkan bahwa neurotransmitter acetylcholine merupakan zat yang merendahkan potensial membran postsinaptik. Jika jumlah zat tersebut telah cukup tertimbun pada permukaan otak, maka pelepasan muatan oleh neuron-neuron kortikal dipermudah. Pada jejas otak terdapat lebih banyak acetylcholine daripada otak yang sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikatris setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau trauma, dapat terjadi penimbunan setempat dari acetylcholine, sehingga pada tempat tersebut akan terjadi pelepasan muatan listrik neuron-neuron. Penimbunan acetylcholine setempat harus mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga dapat memicu lepasnya muatan listrik. Oleh karena itulah fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi secara berkala.

17

Kejang fokal dapat berubah menjadi jenis kejang lain melalui beberapa tingkatan, hal ini menunjukan adanya penyebaran lepasan listrik ke berbagai bagian otak. Jika kejang bersifat generalisata, lepas muatan listrik yang berlebihan akan menyebar ke bagian otak secara luas. Penyebaran yang mencapai 2/3 bagian otak akan mengakibatkan penurunan kesadaran. Pada serangan parsial yang berlanjut menjadi serangan umum sekunder seringkali serangan umum tidak bersifat umum dari mulanya, tetapi berkembang dari serangan yang pada awalnya bersifat parsial. Serangan parsial ini mungkin sederhana atau kompleks dan dalam waktu singkat menjadi bersifat umum. Pada kasus demikian ini, serangan parsial mungkin dialami sebagai suatu aura (peringatan).

Gejala Kejang parsial simplek Dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal, tergantung kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami dejavu (merasa pernah mengalami keadaan sekarang dimasa yang lalu).

Kejang Jacksonian Gejalanya dimulai pada satu bagian tubuh tertentu (misalnya tangan atau kaki) dan kemudian menjalar ke anggota gerak, sejalan dengan penyebaran aktivitas listrik di otak.

Kejang parsial (psikomotor) kompleks Dimulai dengan hilangnya kontak penderita dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita menjadi goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak bantuan.Kebingungan berlangsung selama beberapa menit, dan diikuti dengan penyembuhan total.

Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) Biasanya dimulai dengan kelainan muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi.

18

Epilepsi Parsial/fokal Epilepsi parsial adalah serangan epileptik yang bangkit akibat lepas muatan listrik di suatu daerah korteks serebri. Lepas muatan regional ini dapat : a. Tetap bersifat fokal (parsial) b. Menggalakkan daerah yang berdampingan, sehingga lepas muatan meluas, atau c. Seluruh korteks serebri melepaskan muatan listrik secara menyeluruh.

Pada jenis C lepas muatan listrik regional merupakan aura konvulsi umum. Setelah serangan konvulsi fokal berlalu, dapat timbul paralisis yang dikenal sebagai paralisis Todd. Paralisis ini bersifat sementara. Manifestasi epilepsi parsial dapat bersifat sederhana atau kompleks. 1. Manifestasi sederhana. Yang dimaksud dengan manifestasi sederhana ialah perasaan pokok, gerakan otot setempat yang klonik-tonik atau gangguan bicara. Gejala-gejala tersebut dapat timbul sebagai manifestasi epilepsy parsial sendiri atau sebagai aura konvulsi umum. Adapun gejala-gejala tersebut yang sering dijumpai ialah: a. Motorik : Gerakan nvolunter otot-otot salah satu anggota gerak, wajah,rahang bawah (mengunyah), pita sara (vokalisasi) dan kolumna vertebralis (badan berputar, torsi leher/kepala = adversif). b. Sensorik : Merasakan nyeri, panas/dingin, hipestesia/parastesia pada daerah kulit setempat, skotoma, tinnitus, mencium bau barang busuk, mengecap perasa logam, vertigo, mual, mntah, perut mules atau afasia. c. Autonom: Muntah/mual dan hiperhidrosis setempat dapat dianggap sebagai manifestasi susunan saraf autonom. 2. Manifestasi kompleks. Gejala-gejala yang dijuluki kompleks itu ialah gejala sensorik, motorik dan autonom yang memperlihatkan cirri yang tampaknya bertujuan dan terintegrasi. Adapun gejala kompleks yang dimaksud itu ialah: a. Halusinasi b. Ilusi yang dinamakan dj vu, yaitu perasaan pernah melihatnya, tapi dalam situasi yang asing: jamais vu, yaitu perasaan tidak pernah melihatnya, tapi dalam situasi yang tidak asing baginya. Demikian juga dapat timbul perasaan pernah dan belum pernah mendengar / (dj/jamais entendu) dan pernah dan belum pernah mengalami (dj/jamais vecu). Gejala-gejala tersebut dikenal juga sebagai dreamy state. c. Perasaan curiga, perasaan seolah-olah pikirannya memaksakan sesuatu an perasaan kesal sehingga marah-marah. d. Autimastimus, yaitu gerakan yang tampaknya bertujuan, namun dilakukan dalam keadaan tak sadar. Misalnya: tangan mengusap-usap baju atau kain sprei; membuka kancing baju baju; memindah-mindahkan barang; lidah dan bibir mengecap-ngecap seolah-olah sedang menikmati makanan yang enak.

19

Manifestasi kompleks tersebut di atas merupakan gejala sindroma epilepsi parsial lobus temporalis. Sindroma ini dapat terdiri dari: a. Manifestasi kompleks tersebut di atas yang langsung disusul dengan konvulsi umum. Disini automastismus, dreamy state, rage dan ilusi merupakan aura konvulsi umum epilepsy lobus temporalis. Peristilahan lain yang sering digunakan untuk manifestasi kompleks yang timbul sebelum konvulsi umum bangkit ialah gejala pre ictal. b. Hanya manifestasi kompleks saja. Dalam hal ini halusinasi, automastimus, rage, dreamy state bangkit sebagai serangan utama. Oleh karena itu gejala kompleks itu dijuluki sebagai manifestasi ictal. c. Konvulsi umum yang setelah berhenti, lalu langsung disusul dengan timbulnya dreamy state, automastimus, rage, atau ilusi. Dalam hal ini gejala-gejala itu dikenal sebagai manifestasi post ictal.

Gejala ictal dan pre ictal merupakan manifestasi lepas muatan suatu fokus epileptogenik di lobus temporalis. Sedangkan gejala post ictal dianggap sebagai manifestasi lepas muatan sekelompok neuron di lobus temporalis akibat gaya listrik dari focus epileptogenik luas disekitar lobus temporalis. Sisa gaya listrik itu menyasar ke suatu kelompok neuron yang menyusun suatu sirkuit kompleks tertentu. Perawatan Oleh karena epilepsy fokal merupakan suatu symptom dari gangguan serebral, maka penyakit primernya adalah proses sisa, misalnya ensefalitis/meningitis atau trauma lahir, maka pemeriksaan yang mendalam tidak usah diselenggarakan. Akan tetapi bilamana terdapat tanda-tanda defisit neurologi yang progresif, orang sakit sebaiknya dirujukkan ke dokter ahli penyakit saraf atau bagian neurologi yang mempunyai fasilitas yang cukup lengkap. Pemeriksaan yang akan dilakukan mencakup : a. b. c. d. e. f. g. h. Pemeriksaan neurologic umum EEG Pungsi lumbal X-toraks dan X-tengkorak Pemeriksaan darah dan urin lengkap Elektrolit serum, berikut kalsium dan fosfat. Pemeriksaan enzim, BUN, kreatinin serum, glukosa Arteriografi, pneumo-ensefalografi, dan brain scan bila diperlukan

Tergantung dari hasil evaluasi, maka tindakan terapeutiknya dapat bersifat medicinal atau operatif, jika diputuskan untuk menyelenggarakan terapi medicinal, maka obat-obat antikonvulsif yang digunakan utnuk pemberantasan epilepsy umum idiopatik dapat diberikan juga sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi untuk epilepsy fokal.

Gejala Klinis dari epilepsi berdasarkan klasifikasinya Kejang Umum Grand Mal Terdiri atas 4 fase : Petite Mal Tidak Myoklonik Kejang Parsial Simpel Kompleks Diawali oleh aura

ada Kontraksi otot Lobus Frontalis

20

a. Prodormal (kram

aktivitas perut, motorik

nyata

yang Kejang bersifat tonik dan klonik Unilateral

Hilang kesadaran Jika parah dapat

berlangsung singkat

wajah merah / Berhenti pucat, kepala)

dan Tanpa penurunan kesadaran

menjadi amnesia

sakit berbicara tiba- intermiten tiba (elevasi Jika kornea distimulasi semi tidak memberi Juvenile siku, respon krn Klonik Kejang umum pada saat tidur 50-100 milisekon

Onsetnya dimulai dari tangan, Halusinasi visual (dj wajah, dan jari kaki Afasia bicaranya) 20-30 detik vu), auditori (jamais olfaktori, dan

b. Tonik
lengan, keatas, fleksi sianosis

(berulang-ulang etendu), gustatory vertiginous

Rasa curiga berlebihan Somatosensorik Gangguan tingkah laku

penutupan vocal kelopak mata, Myoklonik cord, midriasis, pupil pupil otot wajah dan pada pagi hari dan jari Tidak tidak Terpaku pada berpengaruh pada kecerdasan bisa progresif dan orang dan

Sensasi rasa tersengat ataupun dan psikiatrik (karena bergetar atau rasa panas dan gangguan nyeri (jarang) Kehilangan rasa sensorik amigdala) pada

bereaksi dengan posisinya cahaya), selama 2-10 detik 10-20 detik Pada dewasa dan diawali

terutama bibir dan jari Visual (melihat kilatan cahaya,

tidak gelap, kabur, atau tidak bisa membedakan warna terutama

c. Klonik
(kontraksi relaksasi bergantian, spasme otot dan ritmisitas, takikardia, peningkatan tekanan darah,

warna pokok (merah, biru, hijau, kuning), bilateral) Auditori (merasa mendengar bisa unilateral /

diakhiri kejang tonik-klonik

suara orang atau berbisik atau musik) Sensasi vertigo (karena

terganggunya auditori sehingga merasa pusing) Halusinasi olfaktori (merasa

peningkatan saliva), 30 detik

d. Terminal (tidak
sadarkan napas tenang, diri, mulai sakit

mencium bau) Halusinasi gustatory

(peningkatan penghasilan saliva) Sensasi viseral (terutama pada thoraks, abdomen) epigastrium dan

kepala pulsatil)

A. Manifestasi Klinik I. Epilepsi umum : 1. Major : Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).

21

a. Primer b. Sekunder. Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. Bangkitkan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncangguncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatip seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatip, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 45 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.

2. Minor a. Petit mal. Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi. Umumnya tmbul pada anak sebelum pubertas (4 -- 5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri : 1. Timbul pada usia 4 -- 5 tahun dengan taraf kecerdasanyang normal. 2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik. 3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat. 4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 per detik. b. Bangkitan mioklonus Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang teijadi berulangulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. c. Bangkitan akinetik.

22

Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut. d. spasme infantile Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.

3. Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi). a) Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche b) Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. c) Epilepsi lobus temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: 1. Kesadaran hilang sejenak. 2. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran antara sadar dan mimpi(twilight state). 3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : a. Halusinasi dengan automatisme pengecap.

23

b. Halusinasi dengan automatisme membaca. 4. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh

Diagnosis Salah satu masalah dalam penanggulangan seorang penyandang epilepsi adalah menentukan dengan pasti diagnosis epilepsi. Sebelum pengobatan dimulai diagnosis harus ditegakkan. Salah diagnosis akan berakibat cukup luas pada pasien. Selain harus minum obat untuk jangka waktu yang lama ia juga harus hidup dengan dianggap menderita epilepsi. Seorang diberi terapi epilepsi jika terjadi 2 kali serangan atau lebih dalam satu tahun. Apabila baru pertama kali kejang biasanya tidak diberikan terapi epilepsi. Tapi jika dalam waktu satu tahun kejang lagi dipertimbangkan untuk mendapat obat anti epilepsi. Dalam mendiagnosis dimulai dari anamnesis lengkap (terutama menggali etiologi atau kemungkinan lesi otak yang terjadi), tentang gambaran serangan, hasil pemeriksaan umum dan neurologic serta elektroensefalografi (EEG). Untuk memastikan bisa melakukan heteroanamnesis kepada saksi yang melihat saat penderita kejang atau keluarga penderita yang sehari-hari bersama penderita. Bila tidak terdapat EEG dapat didiagnosis dari serangan dan kejangnya. Pastikan apakah itu benar-benar kejang, atau psikogenik atau sinkop. Untuk itu dilakukan pemeriksaan fisik dasar (vital sign), dan pemeriksaan neurologis. EEG adalah suatu alat yang mengukur gelombang listrik otak tanpa melakukan tindakan invasif dan dengan menempelkan 25 elektroda pada kepala. EEG pada grand mal terdiri atas spike atau polispike pada gelombang lambat otak. Pada petite mal tipikal, EEG abnormal tidak bisa diinterupsi dengan mengajak bicara atau berhitung. Pada petite mal atipikal, abnormalitas EEG dapat diinterupsi dengan mengajak bicara atau berhitung. Abnormalitas petite mal terletak pada adanya 3 gerakan myoklonik yang sejalan dengan 3 spike pada EEG. Pada myoklonik juvenile EEG 4-6 Hz dan spikenya irregular. Selain EEG dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, CT scan dan MRI untuk melihat kelainan organik yang menyebabkan epilepsi.

Anamnesis Tahap pertama mengevaluasi penderita dengan kemungkinan epilepsy adalah menetapkan apakah penderita menderita kejang atau tidak. Sering penderita datang dalam keadaan tidak sadar,sehingga gambaran bangkitan sebagian besar berdasarkan pada anamnesis. Ini sering bergantung pada kepandaian pemeriksa untuk menentukan pola bangkitan dan kepandaian saksi mata dalam melukiskan bangkitan. Untuk penentuan penyebab dari kejang, dokter harus menentukan apakah ada anamnesa family dengan epilepsy, trauma kepala, kejang demam, infeksi telinga tengah atau sinus atau gejala dari keganasan. Anamnesa yang baik dan terarah sangat penting untuk mendiagnosa epilepsy, meliputi : Bentuk bangkitan Gejala sebelum, sewaktu, dan setelah bangkitan Suasana waktu bangkitan terjadi Waktu bangkitan Berapa lama bangkitan terjadi Apakah setiap kejadian bangkitan bentuknya sama/stereotipik?

24

Factor pencetus bamngkitan Usia pertama kali mengalami bangkitan Apakah ada deficit neurologist yang progresif/frekuensi bangkitan bertambah. Riwayat perinatal dan perkembangan Riwayat keadaan/penyakit yang mungkin menjadi penyebab (misalnya trauma kepala atau infeksi otak) Riwayat pengobatan sebelumnya Adakah anggota keluarga lainnya yang menderita penyakit serupa?

Selain ditujukan pada penderita, anamnesis sebaiknya juga didapat dari keluarga atau orang terdekat yang menyaksikan saat serangan terjadi (saksi mata)

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, termasuk tanda-tanda trauma kepala, infeksi dari telinga atau sinus ataupun keganasan.

Pemeriksaan Penunjang EEG (elektroensefalogram) merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko. Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam otak. Setelah terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menentukan penyebab yang biasa diobati. Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Ada kelainan berupa epilepsiform discharge atau epileptiform activity), misalnya spike sharp wave, spike and wave dan sebagainya. Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal, kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12 % pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal)

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk : mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah menilai fungsi hati dan ginjal menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).

25

EKG (elektrokardiogram) EKG dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai akibat dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang mengalami pingsan.

CT scan dan MRI CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke, jaringan parut dan kerusakan karena cedera kepala.

Kadang dilakukan pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak. Radiologis Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika dan sebagainya. Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel, sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak. Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma / hematome/ abses.

A CT or CAT scan (computed tomography)is a much more sensitive imaging technique than X-ray, allowing high definition not only of the bony structures, but of the soft tissues

Komplikasi A. Medik I. Cacat Fisik : - Otak Rusak - Luka-luka - Lidah tergigit - Gangguan Pernafasan II. Cacat Mental : - Akibat dari Pasien - Akibat dari keluarga - Akibat dari lingkungan B. Sosial - Penolakan / Isolasi - Problem sekolah

26

Diagnosis Banding Sinkop, gangguan jantung, gangguan sepintas peredaran darah otak, hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, hysteria, narkolepsi, pavor nokturnus, paralisis tidur, migren.

SYNCOP Definisi Pingsan (sinkop) adalah kehilangan kesadaran yang terjadi secara mendadak dan dalam waktu yang singkat.

Penyebab Pingsan merupakan gejala dari tidak memadainya suplai oksigen dan zat makanan lainnya ke otak, yang biasanya disebabkan oleh berkurangnya aliran darah yang bersifat sementara. Berkurangnya aliran darah ini dapat terjadi jika tubuh tidak dapat segera mengkompensasi suatu penurunan tekanan darah, seperti yang terjadi pada: a) Gangguan irama jantung Pada seseorang yang memiliki irama jantung abnormal, jantungnya tidak mampu meningkatkan curah jantung untuk mengkompensasi menurunnya tekanan darah. Ketika sedang dalam keadaan istirahat, orang tersebut akan merasakan baik-baik saja; mereka akan pingsan jika sedang melakukan aktivitas karena kebutuhan tubuh akan oksigen meningkat secara tiba-tiba. Keadaan ini disebut sinkop eksersional. b) Aktivitas fisik yang berat Seseorang sering pingsan setelah melakukan aktivitas. Jantung hampir tidak mampu mempertahankan tekanan darah yang adekuat selama aktivitas. Jika aktivitas dihentikan, denyut jantung mulai menurun tetapi pembuluh darah dari otot-otot tetap melebar untuk membuang hasil limbah metabolik. Berkurangnya curah jantung dan meningkatnya kapasitas pembuluh, menyebabkan tekanan darah turun dan pingsan. c) Penurunan volume darah Volume darah akan berkurang pada: perdarahan dehidrasi akibat diare, keringat berlebihan dan berkemih berlebihan (yang sering terjadi pada diabetes yang tidak diobati dan penyakit Addison).

Mekanisme kompensasi terhadap sinyal yang berasal dari bagian tubuh lain Kram usus bisa mengirim sinyal ke jantung melalui saraf vagus yang akan memperlambat denyut jantung sehingga seseorang pingsan. Keadaan ini disebut sinkop vasomotor atau sinkop vasovagal. Berbagai sinyal lainnya bisa menyebabkan pingsan jenis ini (misalnya nyeri, ketakutan, melihat darah).

Pingsan karena batuk (sinkop batuk) atau karena berkemih berlebihan (sinkop mikturisi) biasanya terjadi jika jumlah darah yang mengalir kembali ke jantung berkurang selama mengedan. Hal ini sering terjadi pada orang tua.Sinkop karena menelan dapat menyertai penyakit pada kerongkongan.

Pingsan juga dapat disebabkan oleh:

27

Berkurangnya jumlah sel darah merah (anemia) Berkurangnya kadar gula darah (hipoglikemi) Berkurangnya kadar karbondioksida dalam darah (hipokapni) karena hiperventilasi.

Weight lifter's syncope merupakan akibat dari hiperventilasi sebelum mengangkat beban pada atlet angkat besi. Pada orang tua, pingsan bisa merupakan bagian dari stroke ringan, dimana aliran darah ke salah satu bagian otak tiba-tiba menurun.

Gejala Pingsan bisa didahului oleh pusing atau perasaan melayang, terutama pada saat seseorang sedang dalam keadaan berdiri. Setelah terjatuh, tekanan darah akan kembali meningkat karena penderita telah berbaring dan karena penyebab pingsan telah hilang. Berdiri terlalu cepat dapat memnyebabkan penderita kembali pingsan. Jika penyebabnya adalah gangguan irama jantung, pingsan akan terjadi dan berakhir secara tiba-tiba. Sesaat sebelum pingsan, kadang penderita mengalami palpitasi (jantung berdebar). Pingsan ortostatik terjadi jika seseorang duduk atau berdiri terlalu cepat. Parade ground syncope terjadi jika seseorang berdiri untuk waktu yang lama pada cuaca yang panas. Otot kaki tidak digunakan sehingga tidak mendorong darah ke arah jantung, karena itu darah terkumpul di pembuluh balik tungkai dan tekanan darah turun. Sinkope vasovagal dapat terjadi ketika seseorang duduk atau berdiri, dan sering didahului oleh mual, kelemahan, menguap, penglihatan kabur dan berkeringat. Penderita terlihat pucat, denyut nadi menjadi sangat lambat dan kemudian pingsan. Pingsan yang dimulai secara bertahap disertai gejala pendahulu dan juga menghilang secara bertahap, menunjukkan adanya perubahan di dalam kimia darah misalnya penurunan kadar gula darah (hipoglikemi) dan penurunan kadar karbondioksida darah (hipokapni) karena hiperventilasi. Hipokapni sering didahului oleh perasaan tertusuk jarum dan rasa tidak nyaman didada. Pingsan histeris bukan merupakan pingsan yang sesungguhnya. Penderita hanya berpura-pura tidak sadar tetapi tidak memiliki kelainan denyut jantung maupun tekenan darah dan tidak berkeringat serta tidak tampak pucat.

Diagnosa Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Elektrokardiogram dapat menunjukkan adanya penyakit jantung atau penyakit paru-paru. Untuk menemukan penyebabnya, dokter bisa memasang monitor Holter pada penderita untuk merekam irama jantung selama 24 jam dan penderita melakukan kegitannya seperti biasa. Jika irama jantung yang tidak teratur terjadi bersamaan dengan pingsan,

kemungkinan penyebabnya adalah suatu kelainan jantung. Ekokardiogram bisa menunjukkan kelainan struktur maupun kelainan fungsi jantung. Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya kadar gula darah yang rendah (hipoglikemi) atau kekurangan sel darah merah (anemia). Untuk mendiagnosis epilepsi, yang kadang dikelirukan dengan pingsan, dilakukan pemeriksaan EEG.

28

Pengobatan Biasanya berbaring mendatar merupakan satu-satunya cara untuk mengembalikan kesadaran penderita. Mengangkat kaki dapat mempercepat pemulihan karena bisa meningkatkan aliran darah ke jantung dan otak. Jika penderita terlalu cepat duduk atau disangga/digendong dalam posisi duduk, dapat terjadi episode pingsan lain. Pada orang muda yang tidak memiliki penyakit jantung, pingsan biasanya tidak serius, dan jarang diperlukan pemeriksaan diagnostik maupun pengobatan yang lebih lanjut. Pada usia lebih tua, pingsan bisa disebabkan oleh beberapa keadaan yang berhubungan dengan terhambatnya kemampuan jantung dan pembuluh darah dalam menyesuaikan fungsinya terhadap penurunan tekanan darah. Pengobatan tergantung kepada penyebabnya misalnya Denyut jantung yang terlalu lambat dapat diperbaiki dengan pencangkokan alat pacu jantung, suatu alat listrik yang merangsang denyut jantung. Pada denyut jantung yang terlalu cepat, bisa diberikan obat untuk memperlambat denyut jantung. Jika denyut jantung tidak teratur, dicangkokkan suatu defibrilator untuk menyentak jantung agar kembali ke iramanya yang normal. Penyebab lain dari pingsan (misalnya hipoglikemi, anemia atau volume darah yang rendah), dapat diobati. Pada penderita kelainan katup jantung mungkin perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan.

NARKOLEPSI Dalam bahasa awam, bisa dikatakan sebagai serangan tidur, dimana penderitanya amat sulit mempertahankan keadaan sadar. Hampir sepanjang waktu ia mengantuk. Rasa kantuk biasanya hilang setelah tidur selama 15 menit, tetapi dalam waktu singkat kantuk sudah menyerang kembali. Sebaliknya di malam hari, banyak penderita narkolepsi yang mengeluh tidak dapat tidur. Serangan tidur siang hari tersebut terjadi seperti tanpa tanda apapun seperti menguap atau yang lain dan kejadian tersebut terjadi berulang kali dalam satu hari. Penderita narkolepsi sering kesulitan untuk tetap terjaga dalam jangka waktu lama. Bagi penderita, Narkolepsi dapat menyebabkan gangguan serius dalam rutinitas harian. Penderita narkolepsi terfragmentasi sering tidur di malam hari dengan singkat dan sering terbangun. Penyebab pasti narkolepsi tidak diketahui. Namun dipercaya bahwa genetika kemungkinan mempengaruhi terjadinya gangguan ini. Tetapi pengaruh yang lebih besar kemungkinan karena infeksi yang mengakibatkan kerusakan sel-sel otak tertentu yang mengatur bagian tidur. Gangguan terjadi pada mekanisme pengaturan tidur. Tidur, berdasarkan gelombang otak, terbagi dalam tahapan-tahapan mulai dari tahap 1, 2, 3, 4 dan Rapid Eye Movement (REM.) Tidur REM adalah tahapan dimana kita bermimpi. Pada penderita narkolepsi gelombang REM seolah menyusup ke gelombang sadar. Akibatnya kantuk terus menyerang, dan otak seolah bermimpi dalam keadaan sadar. Untuk mengenali penderita narkolepsi, terdapat 4 gejala klasik (classic tetrad): 1. Rasa kantuk berlebihan (EDS) 2. Katapleksi (cataplexy) 3. Sleep paralysis 4. Hypnagogic/hypnopompic hallucination.

29

Tanda-tanda dan gejala dari narkolepsi meliputi: Kantuk di siang hari yang berlebihan. Karakteristik utama narkolepsi adalah mengantuk luar biasa dan tak terkendali di siang hari. Orang dengan narkolepsi tertidur secara tiba-tiba, di mana saja dan kapan saja. Sebagai contoh, penderita mungkin tiba-tiba tertidur untuk beberapa menit di tempat kerja atau ketika sedang berbicara dengan teman. Penderita tidur hanya beberapa menit atau sampai setengah jam sebelum bangun dan merasa segar, tapi kemudian tertidur lagi. Selain tidur di waktu dan tempat yang tidak tepat, penderita juga mengalami penurunan kewaspadaan sepanjang hari. Tiba-tiba lemas Kondisi tiba-tiba lemas (seperti tak berotot) disebut cataplexy, dapat menyebabkan berbagai perubahan fisik, dari cadel ketika berbicara untuk melengkapi kelemahan dari sebagian besar otot, dan dapat berlangsung selama beberapa detik hingga beberapa menit. Cataplexy yang tidak terkontrol dan sering dipicu oleh emosi yang kuat, biasanya yang positif seperti tertawa atau kegembiraan, tapi kadang-kadang ketakutan, kejutan atau kemarahan. Misalnya, kepala penderita dapat terkulai tak terkendali atau lutut tiba-tiba lemas ketika tertawa. Beberapa orang dengan pengalaman narkolepsi hanya satu atau dua episode cataplexy setahun, sementara yang lain memiliki banyak episode setiap hari. Dari data Mayoclinic diperkirakan 70 persen orang dengan pengalaman narkolepsi mengalami cataplexy. Tidur Lumpuh Orang-orang dengan narkolepsi sering mengalami ketidakmampuan untuk bergerak atau berbicara saat jatuh tertidur atau saat terjaga dalam beberapa menit. kejadian ini biasanya singkat- yang berlangsung satu atau dua menit. Penderita merasa hilang kendali atas tubuhnya. Halusinasi Halusinasi inidisebut hypnagogic halusinasi, mungkin terjadi ketika seseorang dengan narkolepsi dengan cepat jatuh ke tidur sementara, seperti yang dia lakukan pada permulaan tidur di malam hari dan secara berkala sepanjang hari, atau setelah bangun. Karena penderita setengah sadar ketika mulai bermimpi. Karakteristik lainnya dari narkolepsi meliputi gelisah ketika tidur di malam hari dan melakukan gerakan otomatis. Gerakan otomatis itu seperti meletakkan barang, berbicara, atau perilaku lain. Namun ketika terbangun, penderita tidak sadar dengan perilaku yang dilakukan sebelumnya. Orang dengan narkolepsi juga melakukan gerakan seperti gerakan dalam mimpi mereka. Penderita bisa menggapai-gapai lengan atau menendang mereka, bahkan berteriak-teriak. Katapleksi merupakan gejala khas narkolepsi yang ditandai dengan melemasnya otot secara mendadak. Otot yang melemas bisa beberapa otot saja sehingga kepala terjatuh, mulut membuka, menjatuhkan barang-barang, atau bisa juga keseluruhan otot tubuh. Keadaan ini dipicu oleh lonjakan emosi, baik itu rasa sedih maupun gembira. Biasanya emosi positif lebih memicu katapleksi dibanding emosi negatif. Pada sebuah penelitian penderita narkolepsi diajak menonton film komedi, dan saat ia terpingkalpingkal tiba-tiba ia terjatuh lemas seolah tak ada tulang yang menyangga tubuhnya.

30

Kondisi mimpi yang menyusup ke alam sadar bermanifestasi sebagai halusinasi. Penderita narkolepsi biasanya berhalusinasi seolah melihat orang lain di dalam ruangan. Orang lain tersebut bisa orang yang dikenal, teman, keluarga, sekedar bayangan, hantu atau bahkan makhluk asing, tergantung pada latar belakang budaya penderita. Dengan gejala-gejala yang tidak biasa ini, tidak jarang keluarga menganggap penderita narkolepsi mengidap gangguan jiwa.

Penatalaksanaan Terapi epilepsi bersifat khas, berbeda dengan terapi terhadap gejala atau penyakit lainnya. Sifat khas tadi diwarnai oleh program minum obat jangka waktu yang lama, bertahun-taun, bahkan mungkin seumur hidup. Strategi awal Sebelum memberikan OAE kepada penderita, maka diagnosis epilepsi harus ditegakkan terlebih dahulu. Serangan yang bersifat tunggal tidak dapat dipakai sebagai alasanuntuk menegakkan diagnosis epilepsi, karena banyak orang hanya memperoleh serangan sekali saja dan untuk seterusnya tidak mendapat serangan lagi. Apabila dalam pengambilan kesimpulan terdapat keragu-raguan apakah kasus yang sedang ditangani merupakan kasus epilepsi atau bukan epilepsi, maka dreifuss memberi petunjuk untuk dipakai sebagai pegangan dalam praktek. Pemberian OAE dapat ditunda atau sama sekali dihindarkan pada kasus-kasus : a) serangan tunggal dengan resiko serangan ulang yang rendah, b) serangan ulang yang berjarak beberapa tahun, c) kejang demam sederhana, d)epilepsi parsial benigna pada anak-anak, e) epileppsi dengan faktor presipitasi yang spesifik, diketahui secara persis dan dapat dihindarkan, misalnya obat-obatan psikotropik dan kurang tidur. Tatalaksana farmakoterapeutik Setiap kali memutuskan untuk memberikan OAE kepada penderita epilepsi, hal-hal ini berikut ini harus selalu diperhatikan: a) Risk benefit rasio, harus selalu dievaluasi secara terus-menerus, b) penggunaan OAE harus sehemat mungkin dan sedapat mungkin dalam jangka waktu lebih pendek, dan c) memilih obat yang paling spesifik untuk jenis serangan yang akan diobati. Setelah OAE diberikan kepada penderita secara teori, maka kadar OAE serum harus selalu dipantau, dengan alasan sebagai berikut : a) untuk mengevaluasi kepatuhan penderita minum obat, b)menilai faktor farmakokinetika dan farmakodinamika obat, c) mengidentifikasi kadar obat yang efektif, d)menentukan obat apa yang bertanggung jawab atas munculnya efek toksik. Strategi pemberian obat Tujuan utama terapi farmakologi untuk epilepsi adalah mengendalikan serangan epilepsi dengan satu jenis obat (monoterapi). Setelah serangan epilepsi benar-benar terkendali dengan dosis yang konstan dalam periode tertentu, serangan epilepsi dapat muncul kembali. Hal demikian ini sering disebabkan oleh induksi enzim yang dapat diperlihatkan dengan menurunnya kadar obat dalam serum. Menghadapi hal yang demikian ini maka tindakan yang tepat adalah menaikkan dosis obat dan bukan dengan memberi obat baru. Peningkatab dosis diizinkan sampai mendekati dosis toksis. Dalam keadaan demikian ini, pemberian obat jenis kedua, yang sebenarnya tidak perlu, dapat meningkatkan induksi enzim dan akan meningkatkan kadar subterapeutik kedua jenis OAE tadi. Lagi pula, efek anti epilepsi kedua jenis OAE biasanya tidak saling

31

menguatkan dan efek sampingnya justru dapat lebih nyata. Akibatnya, penderita dapat mengalami serangan yang lebih sering atau lebih hebat dan dapat pula mengalami intoksikasi. Pemilihan OAE Nama obat Jenis serangan Dosis mg/kg/hari Kadar dlm serum: ug/ml fenobarbital P & KU 2-4 15-40 96 Mengantuk,hiperaktivitas, bingung, perasaan hati perubahan Waktu paruh (jam) Efek samping

fenitoin

P & KU

3-8

10-30

24

Ataksia, perubahan hiperplasi

ruam

kulit,

kosmetika, ginggiva,

osteomalasia karbamazepin P & KU 15-25 8-12 12 Ataksia, gangguan GIT, pandangan kabur,

gangguan fungsi hepar valproat semua 15-60 50-100 14 Gangguan GIT, hepatitis, ataksia, mengantuk klonazepam A&M 0,03-0,30 0,010,05 primidon P & KU 10-20 5-15 12 30 Mengantuk, GIT, ruam kulit Mengantuk, hiperaktivitas. Perubahan perasaan hati gangguan alopesia,

Pemberian OAE pada anak Berdasarkan penilaian neuropsikologik terhadap anak-anak dengan epilepsi memperlihatkan masalah akademik muncul dari defisiensi kognitif spesifik dan bukan disfungsi kognitif secara umum. Gangguan kognitif berhubungan dengan jenis serangan, sindrom epilepsy, factor etiologi, munculnya serangan pada usia dini, sering mengalami serangan, focus epilepsi, dan OAE. Anak yang menerima politerapi pada umumnya mengalami gangguan kognitif yang berat dari anak yang menerima monoterapi. Defisiensi kognitif pada anak dengan epilepsi cukup bervariasi, missal gangguan memori, penurunan kapasitas untuk memperlihatkan sesuatu, penurunan efisiensi dalam proses informasi, gangguan persepsi pendengaran dan berbahasa. Pemberian OAE pada anak harus dipertimbangkan scara benar, dengan menghadapi efek berbeda terhadap fungsi kognitif dan perilaku. Pada anak pengaruh fenobarbital terhadap fungsi kognitif tidak begitu

32

nyata tetapi dapat membuat anak menjadi hiperaktif. Sementara itu fenitoin dalam kadar serum yang tinggi dapat menimbulkan enselopati yang progresif, retardasi mental, dan penurunan kemampuan membaca. Karbamazepin dan valproat mengakibatkan gangguan kognitif yang ringan. Pada kadar yang tinggi, valproat dapat mengganggu fungsi motorik, sementara karbamzepin justru memperbaiki kecepatan kinerja pada gerakan selektif tertentu. Lagi pula karbamzepin dapat memperbaiki koordinasi mata-tangan dan keterampilan tangan. Orang tuan penderita harus benar-benar mengetahui persoalan anaknya. Maka orang tua harus diberikan pengertian yang cukup dari berbagai masalah yang bersangkutan dengan epilepsy, agar diperoleh kerjasama yang baik. Dan dokter harus bersikap terbuka dan siap member informasi bila diperlukan orang tua penderita.

Pemberian OAE pada wanita hamil Sebagian penderita mengalami kenaikan frekuensi serangan selama hamil. Fenomena ini karena berbagai factor dan yang paling mencolok adalah perubahan konsentrasi OAE dalam serum. Dengan bertambahnya kehamilan maka konsentrasi OAE makin menurun. Hal ini karena perubahan dalam ikatan protein plasma. Untuk memelihara konsentrasi OAE dalam serum dari penderita hamil, dosis OAE harus dinaikkan. Untuk fenitoin, dosisnya dinaikkan pada 85% penderita ; sementara itu kenaikan karbamazepin terjadi pada 70% penderita dan fenobarbital sebanyak 70% pula. Perubahan disposisi OAE dalam serum biasanya mulai terjadi pada umur kehamilan 10 minggu. Satu bulan sesudah melahirkan, konsentrasi dan dosis fenotoin akan kembali ke situasi sebelum terjadi kehamilan. Dan untuk karbamazepin dan fonobarbital memerlukan waktu yang lama. Strategi monoterapi ternyata menurunkan insidensi malformasi congenital pada bayi yang ibunya mengalami epilepsy. Efek teratogenik karbamazepin atau valproat lebih rendah daripada apabila kedua jenis obat tadi tidak diberikan bersama-sama. Fenitoin bersama fenobarbital lebih bersifat teratogenik daripada Fenobarbital saja. Semetara itu efek teratogenik OAE dapat bersifat tidak langsung, yaitu melalui defisiensi asam folat. Dengan semikian dianjurkan agar pemberian OAE kepada wanita hamil selalu diberi tambahan asam folat. Status sosialekonomu yang rendah, umur penderita yang cukup tua untuk hamil, dan riwayat keluarga positif malformasi neonatus. Malformasi pada janin dapat diketahui lebih din, umur kehamilan 1522 minggu, dengan menggunakan pemeriksaan alfa fetoprotein dan ultrasoografi. wanita hamil yang epilepsy harus diberi nasehat (teutama sebelum konsepsi) bahwa insiden malformasi pada bayi, yang ibunya epilepsy dan diobati dengan OAE, lebih tinggi (2-3 kali lipat) daripada bayi yang ibunya tidak mengalami epilepsy. Lagi pula, anak-anak yang ibunya epilepsy, diobati atau tidak dengan OAE, cenderung lebih banyak mengalami anomaly minor daripada anak-anak yang ayahnya mengalami epilepsy atau yang tidak mengalami epilepsy. Dari OAE yang termasuk golongan first-line (fenitoin, karbamzepin, valproat, dan fenobarbital) maka belum diketahui secara pasti obat mana yang paling bersifat teratogenik. Apabila pemberian OAE tidak dihindari, maka obat pilihan pertama harus disesuaikan dengan jenis serangan dan diberikan secara monoterapi dengan dosis efektif yang paling rendah. Diet sebelum konsepsi dan organogenesis harus

33

dilengkapi dengan asam folat yang cukup. Kemungkinan adanya malformasidideteksi secara dini (prenatal). Penderita harus diawasi secara ketat selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Lebih dari 90% penderita menerima OAE selama kehamilan akan melahirkan anak normal, tanpa cacat bawaan. Petunjuk penatalaksanaan wanita dengan epilepsi yang merencanakan hamil 1. Resiko terjadinya malformasi berat, anomali minor dan dysmorphic pada bayi2 yang ibunya menderita epilepsi dan menerima OAE adalah 2-3 kali lipat daripada resiko pada bayi-bayi yang ibunya tidak menderita epilepsi

2. Ada kemungkinan bahwa resiko tadi disebabkan oleh predisposisi genetik


pada keluarga tertentu. Perlu dilakukan anamnesis yang cermat terhadap kedua belah pihak orang tua perihal cacat bawaan.

3. Perlu dilakukan pembicaraan tentang kemungkinan diagnosis prenatal


sehubungan dengan adanya malformasi berat. Apabila digunakan valproat atau karbamazepin maka kemungkinan pemeriksaan amniosintesis dan ultrasonografi untuk berbagai jenis malformasi berat dapat dikerjakan pada umum kehamilan 18-22 minggu

4. Efek kejang tonik-klonik terhadap janin selama kehamilan belum diketahui


jelas. Bagaimanapun juga, kejang tonik-klonik dapat mengganggu janin, mencederai ibu dan dapat pula mengakibatkan abortus atau persalinan prematur

5. Diaet sebelum konsepsi harus dilengkapi dengan folat 6. Apabila penderita bebas serangan, minimal selama 2 tahun, misalnya bebas
dari absence, parsial kompleks dan kejang tonik-klonik, maka perlu dipertimbangkan untuk menghentikan OAE

7. Apabila memang diperlukan OAE, maka berila OAE secara monoterapi 8. Usahakan, apabila mungkin, untuk memberi OAE dengan dosis dan kadar
dalam serum yang paling rendah tetapi cukup efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik-klonik, mioklonik, parsial kompleks, atau absence.

Petunjuk pemberian OAE selama hamil

1. Gunakanlah obat pilihan pertama yang sesuai dengan jenis serangan dan
sindrom epilepsi

2. Laksanakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam seru, yang
paling rendah dan efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik-klonik

3. Hindari penggunaan valproat atau karbamazepin apabila ada riwayat


keluarga tentang defek neural-tube

4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproat, karbamazepin,


dan fenobarbital

5. Pantaulah kadar OAE dalam serum secara teratur dan apabila mungkin, 34

periksalah kadar OAE bebas atau tak terikat

6. Teruskanlah pemberian tambahan folat setiap harinya, dan pastikanlah


bahwa kadar folat dalam serum dan eritrosit dalam batas normal selama periode organogenesis pada trimester pertama

7. Apabila diberikan valproat, hindarilah kadar dalam serum yang tinggi.


Bagilah obat tadi 3-4 kali pemberian setiap harinya

8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau karbamazepin, tawarkanlah


untuk pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 18-19 minggu, untuk mencari defek neural tube. Ultrasonografi pada kehamilan 22-24 minggu dapat mendeteksi sumbing dan kelainan jantung

Obat terpilih Tentang OAE yang akan dipilih, didasarkan atas aspek farmakologiknya, sudah ada standar tertentu sebagai pedoman umum untuk diterapkan di klinik. Dalam praktek tidak jarang dijumpai penyimpangan yang telah diperoleh perlu dikombinasikan dengan sebaik-baiknya. Akhirnya semuanya tadi akan membentuk kearifak kita dalam menghadapi setiap kasus epilepsy. Di Indonesia telah telah tersedia berbagai jenis OAE dengan berbagai merk dagang dengan harga yang cukup lebar. Fenitoin dalam bentuk bahan baky mempunyai harga yang paling murah, kemudian disusul harga fenobarbital. Obat-obat jadi dengan merk dagang tertentu pada umumnya cukup mahal. Bagaimanapun factor harga perlu dipertimbangkan. Program jangka panjang, dosis obat terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi merupakan factor penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal penting untuk serangan. Harga obat murah dikaitkan dengan obat generic. Obat generic terdapat masalah yang perlu diperhatikan. Khususnya fenitoin, maka harus dipertimbangkan : a. Resiko terjadinya perubahan konsentrasi obat dalam serum b. Bila terjadi perubahan konsentrasi obat dalam serum dapat menimbulkan efek samping dan hilangnya kemanjuran obat. c. Perbandingan obat generic dengan obat jadi yang memakai merk dagang tertentu d. Biaya pemeriksaan laboratorium untuk memantau konsentrasi obat e. Resiko untuk memperoleh obat yang berbeda sediaannya, antara resep yang pertama, kedua, dan seterusnya f. Efek obat generic yang mempengaruhi kepatuhan penderita

g. Motivasi penderita untuk menerima obat generic Konsekuensi dari pemilihan OAE adalah a. Paham sepenuhnya tentang aspek farmakologik OAE yang dipilih

b. Mampu member penjelasan kepada penderita ataupun keluarganya tentang OAE tadi secara sederhana, program yang akan dijalani, dan berbagai kemungkinan yang dapat timbul sehubungan

35

dengan obat yang akan diminum. Disamping itu efek OAE terhadap kondisi tertentu perlu dimengerti, contoh pada anak-anak, wanita yang sedang atau merencanakan hamil.

Epilepsi yang sukar diobati Dalam literature dikenal istilah intractable epilepsy atau refractory epilepsy, yang berarti bahwa serangan yang ada sulit untuk tak dapat dikendalikan dengan OAE bahwa dengan dosis yang mendekati dosis toksik. Kasus demikian ini merupakan 20-30% dari seluruh penderita epilepsy. Apabila menghadapi keadaan maka ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan, antara lain : a. Apakah diagnosisnya sudah benar b. Apakah penderita patuh minum obat secara teratur c. Apakan OAE yang diberikan sudah sesuai dengan jenis serangan yang ada d. Apakah ada gangguan absorbs pada saluran pencernaan e. Apakah ada interaksi dengan obat yang lain f. Apakah ada kelainan struktur otak, misalnya massa, tumor, infark, kalsifikasi difus, hidrosefalus dan

g. Apakah ada factor presipitasi misalnya kurang tidur, kelelahan, cahaya berkedip-kedip dan emosi Beberapa jenis obat (OAE dan bukan OAE) telah dicoba untuk mengatasi epilepsy yang sukar dikendalikan serangannya. Flunarizin dan nefepin, dua jenis kalsium antagonist yang berbeda, pernah dicoba sebagai adjuvant untuk mengatasi serangan epilepsy yang refrakter. Kedua obat tadi menunjukkan hasil yang lumayan baik, namun demikian ada pula penderita yang tetap mengalami serangan.

Terapi operatif Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE. Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi, dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.

Penghentian pengobatan Keputusnan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan memulai pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya menanyakan : berapa lama atau sampai kapan harus minum obat ?untuk memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belu, atau tidak dapat dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tuanya tadi memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis (termasuk serangannya) dan prognosis epilepsy. Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah adalah jenis serangan absence yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi tingkat kekambuhannyaadalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer, parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang lebih dari satu jenis, dan epilepsy Jackson.

36

Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari seranganpada umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya.

Terapi Non farmakologi: Amati faktor pemicu

37

Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : stress, OR, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.

Farmakologi : menggunakan obat-obat antiepilepsi

Obat-obat antiepilepsi Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+: Inaktivasi kanal Na menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan listrik Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat

Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik: agonis reseptor GABA meningkatkan transmisi inhibitori dg mengaktifkan kerja reseptor GABA . contoh: benzodiazepin, barbiturat menghambat GABA transaminase konsentrasi GABA meningkat contoh: Vigabatrin menghambat GABA transporter memperlama aksi GABA .contoh: Tiagabin meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien mungkin dg menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikularpool. contoh: Gabapentin

Prognosis o o o o Prognosis umumnya baik, 70 80% pasien yang mengalami epilepsy akan sembuh, dan kurang lebih separo pasien akan bisa lepas obat 20 - 30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis pengobatan semakin sulit 5 % di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari Pasien dg lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, dan gangguan psikiatri dan neurologik prognosis jelek Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yg lebih tinggi daripada populasi umum

STRATEGI TERAPI EPILEPSI. Secara keseluruhan, terapi epilepsi memerlukan suatu strategi yang tepat. Strategi ini sangat diperlukan mengingat sifat-sifat epilepsi yang kompleks dan pemberian OAE dalam jangka panjang dengan segala konsekuensinya. Diagnosis Sebelum memberi OAE pada penderita maka diagnosis epilepsi harus ditegakkan terlebih dahulu.serangan yang bersifat tunggal tidak dapat dipakai sebagai alasan sebagai diagnosis epilepsi, karena banyak orang yang hanya memperoleh serangan sekali saja dan untuk seterusnya tidak dapat serangan lagi.disamping itu sehubungan dengan upaya menegakkan diagnosis epilepsi. Masih ada beberapa hal yang perlu di perhatikan antara lain keterbatasan informasi baik pemderita maupun dari saksi mata, jenis epilepsi, epilepsi yang bersifat idiopatik atau simptomatik. Serta penyakit lain yang menyerupai epilepsi misalnya narkolepsi, migren, hipersonatik.

38

Sementara itu ada beberapa jenis serangan epilepsi yang sering kali tek dikenali sebagai serangan epilepsi yang terkenal adlah epilepsi parsial dan refleks epilepsi. Epilepsi parsial memiliki jenis serangan yang bervariasi . bisa bersifat tunggal dan bisa bisa pula dalam bentuk kombinasi. Jenis seringan meliputi sensasi epigastrik, halusinasi, gangguan memori dan keadaan seperti mimpi , otomatisme, hipergrafia dan gangguan efektif. Dengan demikian jelas bhwa untuk meneggakkan diagnosis epilepsi di perlukan pertimbangan yang cukup luas karena terapi epilepsi bergantung pada diagnosis yang benar.

Diagnosis etiologik dan jenis serangan Dalam rangka menelusuri diagnosis epilepsi maka dikenal dua hal pokok yang harus selalu diperhatikan. Pertama diagnosis yang mendasar, yang biasa di sebut diagnosis etiologik. Diagnosis ini mengandung kepastian penyebab timbulnya serangan epilepsi. Kedua. Adalah diagnosa yang superfisial, cukup dengan memastikan jenis serangan yang ada. Diagnosis ini sehubungan dengan farmakoterapi. Dua hal tersebut sangat diperlukan untuk terapi rasional. Kegagalan mengenal jenis serangan berarti bahawa penderita akan terus mengalami serangan karena obat yang diterima tidak cocok untuknya. Kegagalan mengetahui faktor etiologi bahwa penderita dapat terus mengalami serangan karena, misalnay tumor otak tidak terdiagnosis. Apaabila dalam pengambilan kesimpulan terdapat keragu-raguan apakah kasus yang sedang di tangani merupakan kasus epilepsi, maka ada petunjuk sebagai berikut : pemberian OAE ditunda atau sama sekali dihindarkan pada kasus- kasus, (b). Serangan ulang yang berjarak beberapaa tahun, (c). Kejang demam sederhana.(d). Epilepsi parsial benigna pada anank-anak,(e). Epilepsi dengan faktor presipitasi yang spesifik, diketahui secara persis daan dapat di hindarkan, misalnya obat-obat psikotropik dan kurang tidur.

Tata laksana farmakoterapeutik Apabila diagnosis epilepsi telah diketahui kebenaaraannya, maka langkah berikutnya adalaah membuat rancangan tata laksana farmakoterapeutik dengan segala macam konsekuensinya. Pada prinsipnya, OAE harus segera diberikan dengan tetap memperhatikan apakah ada hal-hal lain yang harus dilaksanakan secara bersama-sama misalnya opertasi tumor otak, pemasangan ventriculoperitoneal shunt, dan sebagainya. Tata laksana farmakoterupetik berjangka panjang. Di dasarkan atas pemberian OAE yang

sebenarnya memiliki potensi toksik. Dengan demikian dapat memutuskan memberikan OAE kepada penderita epilepsi, hal-hal berikut ini harus selalu di perhatikan : (a). Risk beneffit ratio, harus dievaluasi secara terus- menerus. (b). Penggunaan OAE harus sehemat mungkin dan sedapat mungkin dalam jangka waktu yang lebih pendek, (c).dan pemilihan obat yang paling spesifik untuk jenis serangan yang akan diobati. Setelah OAE diberikan kepada penderita, maka kadar OAE dalam serum harus di pantau, dengan alasan-alasan sebagai berikut: (a). Untuk mengevaluasi kepatuhan penderita minum obat, (b). Menilai faktor farmakokinetika dan farmakodinamika, yang mungkin dapat memberi sumbangan dalam hal terjadinya kegagalan terapi, (c).untuk mengidentfikasi kadar obat yang efektif, dengan demikian dapat mengenali perubahan-perubahan dikemudian hari yang mungkin berupa munculnya serangan ulang atau efek samping,

39

dan (d).

Untuk menentukkan obat apa yang bertanggung jawab atau munculnya efek toksik apabila

dipergunakan obat lebih dari satu macam. Namun demikian, dalam praktek upaya tersebut sulit dilaksnakan karena dua alasan utama : (1). Fasilitas laboratprium belum lengkap, sehingga belum dapat memeriksa kadar seluruh jenis OAE yang kini beredar di indonesia, dan (b). Biaya pemeriksaan laboratorium memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun bagaimana pun juga, anjuran untuk memantau kadar OAE dalam serum tetap merupakan anjuran yang sangat berharga.

Pendekatan mono terapi Dewasa ini strategi yag dipilih ialah monoterapi. Yang paling sesuai dengan jenis epilepsi yang sedang dihadapi. Obat tadi harus diberikan dengan dosis yang cukup, serta bertahap dari dosis yan g rendah, untuk dapat mengendalikan. Serangan epilepsi. Terapi dengan adanya OAE campuran lebih dari satu jenis OAE biasanya kurang efektif karena interaksi OAE tadi justru akan mengganggu efektivitas, dan efek sampingnya bdapat berakumulasi. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa dari bernagai jenis OAE yang ada maka seluruhnya mempunyai efek samping dan tidak samping dan tidak satupun yang mempunyai keunggulan yang jelas dalam hal pengendalian serangan epilepsi. Dengan demikian pilihlah obat yang mempunyai efek samping atau toksik yang minimal dan kerjanya cukup efektif. Dan justru disinilah letak ekstensi dari strategi monoterapi. Sehubungan dengan strategi monoterapi maka diperlukan pendekatan agar strategi yang diterapkan dapat efektifitas terkendali. Pendekatannya adalah sebagai berikut : 1. tujuan utama terapi farmakologik untuk epilesi adalah untuk mengendalikan serangan epilepsi dengan satu jenis obat tertentusetelah serangan epilepsi terkendali dengan dosis yang konstan dalam periode tertentu, serangan epilepsi dapat muncul kembali. 2. obat yang dipilih adalah obat yang terbaik dan paling sesuai untuk serangan tertentu dan juga untuk penderita itu sendiri. Dosis dinaikkan secara bertahap sampai seranga terkendali atau sampai efek samping yang benar-benar terganggu.apabila gejala-gejala toksik yang berhubungan dengan dosis maka dosis diturunkan secara bertahap. 3. apabila obat pilihan pertama jelas-jelas tidak efektif, maka obat jenis kedua harus diberikan. Pemberian kedua ini harus memenuhi ketentuan sebagaimana diberlakukan terhadap pilihan

pertama.. apabila terjadi efek toksik maka keadaan ini dapat disebabkan oleh inhibisi enzim. 4. penghentian obat pertama tidak dianjurkan berhenti mendadak karena akan menimbulkan serangan berulang. Penurunan dosis dianjurkan 20% dari dosis harian total setiap 5 kali waktu-paruh. Serangan berulang-ulang sebagai akibat penghentian obat secara mendadak. Dalam praktek, pendekatan monoterapi tersebut mungkin sulit diterapkan secara konsisten mengingat diperlukannya tenaga yang benar-benar profesional. Fasilitas laboratorium yang mampu mendukungnya serta kerjasama yang sebaik-bauknya denagn penderita serta keluarganya. Namun demikian, strategi monoterapi memang lebih rasional dan ekonomis daripada politerapi.

40

Tatalaksana epilepsy Obat-obat anti epilepsi Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi. Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap monoterapi.Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang dapat ditoleransi). Tentang OAE yang akan dipilih, didasarkan atas aspek farmakologiknya, sudah ada standar tertentu sebagai pedoman umum untuk diterapkan di klinik. Dalam praktek tidak jarang dijumpai penyimpangan yang telah diperoleh perlu dikombinasikan dengan sebaik-baiknya. Akhirnya semuanya tadi akan membentuk kearifak kita dalam menghadapi setiap kasus epilepsy. Di Indonesia telah telah tersedia berbagai jenis OAE dengan berbagai merk dagang dengan harga yang cukup lebar. Fenitoin dalam bentuk bahan baky mempunyai harga yang paling murah, kemudian disusul harga fenobarbital. Obat-obat jadi dengan merk dagang tertentu pada umumnya cukup mahal. Bagaimanapun factor harga perlu dipertimbangkan. Program jangka panjang, dosis obat terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi merupakan factor penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal penting untuk serangan. Harga obat murah dikaitkan dengan obat generic. Obat generic terdapat masalah yang perlu diperhatikan. Khususnya fenitoin, maka harus dipertimbangkan : a. Resiko terjadinya perubahan konsentrasi obat dalam serum b. Bila terjadi perubahan konsentrasi obat dalam serum dapat menimbulkan efek samping dan hilangnya kemanjuran obat. c. Perbandingan obat generic dengan obat jadi yang memakai merk dagang tertentu d. Biaya pemeriksaan laboratorium untuk memantau konsentrasi obat e. Resiko untuk memperoleh obat yang berbeda sediaannya, antara resep yang pertama, kedua, dan seterusnya f. Efek obat generic yang mempengaruhi kepatuhan penderita

g. Motivasi penderita untuk menerima obat generic Konsekuensi dari pemilihan OAE adalah a. Paham sepenuhnya tentang aspek farmakologik OAE yang dipilih

b. Mampu member penjelasan kepada penderita ataupun keluarganya tentang OAE tadi secara sederhana, program yang akan dijalani, dan berbagai kemungkinan yang dapat timbul sehubungan dengan obat yang akan diminum. Disamping itu efek OAE terhadap kondisi tertentu perlu dimengerti, contoh pada anak-anak, wanita yang sedang atau merencanakan hamil.

Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi : 1. Menentukan diagnosis yang tepat

41

Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi. Penderita juga dinilai oleh masyarakat sebagai penderita epilepsi yang menurut penilaian masyarakat penyakit tersebut adalah penyakit kutukan. Sangat disayangkan apabila penderita sinkop yang berulang, diterapi dengan obat antiepilepsi. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang baik bagi seorang dokter untuk mendiagnosis epilepsi. Jangan pernah coba-coba dalam terapi epilepsi.

2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien dengan serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan. Keputusan ini seharusnya dibuat setelah mendiskusikan dan mengevaluasi keadaan pasien, menimbang manfaat dan kerugian pengobatan. Setelah kejang pertama Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah menilai risiko terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan bangkitan non epileptik, pengobatan harus ditujukan pada faktor penyebab yang mendasari. Jika bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi dengan glukosa, bangkitan karena putusnya alcohol dapat dikontrol paling baik dengan perubahan perilaku adiktif dan jika bangkitan karena masalah psikogenik dapat diatasi dengan konseling yang tepat. Terapi bangkitan epilepsi ditentukan oleh penilaian dua hal, risiko pengobatan dan manfaat pengobatan. Sebagai contoh, anak penderita epilepsi benigna dengan spikes di sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan terapi dengan obat karena penelitian -penelitian menunjukkan bahwa setelah mengalami hanya sedikit serangan nokturnal, mereka jarang mengalami kondisi ini. Jika terdapat lesi struktural, biasanya bangkitan akan berulang (termasuk tumor otak, displasia kortikal dan malformasi arteriovenosa). Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan pertama jangan ragu-ragu untuk memberikan terapi untuk memulai terapi farmakologi dan mempertimbangkan dilakukannya tindakan bedah. Namun demikian, pada banyak kasus, penggalian faktor penyebab spesifik seringkali gagal. Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.

Tabel 1 A. Treat : 1. Jika didapatkan lesi struktural : a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik b. Malformasi arteiovenosa c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika 2. Tanpa lesi struktural, namun dengan : a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua) b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)

42

c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada masa kanak-kanak) d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat e. Todds postical paresis f. Status epileptikus B. Possibly : Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami bangkitan kedua. C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) : a. Putusnya alkohol b. Penyalahgunaan obat c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala) e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes sentrotemporal. f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian

Setelah kejang lebih dua kali atau lebih Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat putusnya alcohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama s eperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya. Kejang akibat hal-hal di atas sebaiknya ditangani sesuai kausanya. Pada pasien yang mengalami kejang pertama namun tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka kemungkinan terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir tahun kedua setelah kejang yang pertama. Keputusan untuk memulai terapi diambil dengan pertimbangan risk and benefit setelah sebelumnya dokter berdiskusi dengan pasien. Sebagai contoh terapi diindikasikan untuk pasien yang bekerja sebagai sopir karena jika terjadi kekambuhan sewaktuwaktu maka akan membahayakan pasien bahkan mengancam nyawa pasien. Pengobatan yang dilakukan pada penderita yang mempunyai sedikit bahkan tidak mempunyai risiko terjadinya kejang kedua biasanya hanya terapi jangka pendek. Risiko terjadinya kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun pertama. Seandainya pasien diputuskan untuk diobati, maka penghentian pengobatan dilakukan setelah tahun kedua dari kejang yang pertama.

43

3. Memilih obat yang paling sesuai Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien a) Tipe serangan Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005) Tipe serangan First-line Second-line/ add on Parsial simple & Karbamazepine kompleks dengan Fenitoin atau tanpa general Fenobarbital sekunder Okskarbazepin Lamotrigin Topiramat Gabapentin Tonik klonik Asam valproat Karbamazepine Fenitoin Fenobarbital Mioklonik Asam valproat Topiramat Levetiracetam Zonisamid Lamotrigin Okskarbazepin Topiramat Levetiracetam Zonisamid Pirimidon Lamotrigin Clobazam Clonazepam Fenobarbital Absence (tipikal Asam valproat Lamotrigin Asam valproat Lamotrigin Topiramat Tonik Asam valproat Fenitoin Fenobarbital Epilepsy juvenil Epilepsy mioklonik juvenil absence Asam valproat Etosuksimid Asam valproat Fenobarbital Clonazepam Etosuksimid Clonazepam Clonazepam Clobazam Etosuksimid Levetiracetam Zonisamid Felbamat Asam valproat Levetiracetam Zonisamid Pregabalin Third line/ add on Tiagabin Vigabatrin Felbamat Pirimidon

dan atipikal) Atonik

b) karakteristik pasien Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi

44

atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita, khususnya wanita yang masih dalam usia subur.

4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi). Perlu dilakukan evaluasi respon klinik pasien terhadap dosis obat yang diberikan dengan melihat respon setelah obat mencapai kadar yang optimal dan kemudian memutuskan apakah selanjutnya dibutuhkan penyesuaian atau tidak. Setelah evaluasi dilakukan, baru kemudian dipertimbangkan adanya penambahan dosis. Dosis awal : Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis awal : Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin, pirimidone, tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada penggunaan lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan efek samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.

Pemberian obat mulai dari dosis terapetik Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang direkomendasikan. Evaluasi ulang Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat antiepilepsi dengan obat lain, factor-faktor berikut harus dievaluasi kembali : Diagnosis epilepsi Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi Adanya lesi aktif Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis terpaksa diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?apakah pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai kondisi optimal?)

45

e. Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang paling umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya bangkitan).

Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005) Obat Dosis awal (mg/hari) Dosis yang Dosis paling umum (mg/hari) maintenance (mg/hari) Frekuen Efek samping si pemberi an (kali/har i) Fenitoin 200 300 100-700 1-2 Hirsutisme, hipertrofi gusi, distres lambung, vertigo, makrositik Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4 Depresi sumsum tulang, distress lambung, sedasi, penglihatan kabur, konstipasi, ruam kulit Okskarbazepi n Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 150-600 900-1800 900-2700 2-3 Gangguan GI, sedasi, diplopia, penglihatan hiperglikemia, kabur, anemia

hiponatremia, ruam kulit Hepatotoksik, steven-johnson, ruam, nyeri sindrom kepala,

pusing, penglihatan kabur Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen, anoreksia, leukopenia Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2 Mual, muntah, BB , konstipasi, diare, gangguan tidur Felbamat 1200 2400 1800-4800 3 gg. GI, BB , anoreksia, nyeri kepala, insomnia, hepatotoksik Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis, insomnia, BB , ataksia, pusing, kelelahan, batu ginjal,

konstipasi, mulut kering, sedasi, anoreksia Clobazam Clonazepam 10 1 20 4 10-40 2-8 1-2 1-2 Mengantuk, kebingungan, nyeri

kepala, vertigo, sinkop Fenobarbital Pirimidon Tiagabin 60 125 4-10 120 500 40 60-240 250-1500 20-60 1-2 1-2 2-4 Mulut kering, pusing, sedasi, Sedasi, distress lambung

langkah terhuyung, nyeri kepala,

46

eksaserbasi kejang generalisata Vigabatrin Gabapentin 500-1000 300-400 3000 2400 2000-4000 1200-4800 1-2 3 Leukopenia,mulut penglihatan kabur, kering, mialgia,

penambahan berat, kelelahan Pregabalin Valproat Levetiracetam 150 500 1000 300 1000 2000-3000 150-600 500-3000 1000-4000 2-3 2-3 2 Mual, hepatotoksik

5. Penggantian Obat Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika : a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus segera dipilih. b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien. Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan. c) Monoterapi Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah dilakukan evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam darah, (3) efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien) (Pellock, 1995), dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat pada penderita epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995). Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah: (1) klasifikasi epilepsi menurut International League Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari.tc "Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995). Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah\: (1) klasifikasi epilepsi menurut

47

International League Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari." Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai target. Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan satu OAE untuk tiap target (Gram, 1995).tc "Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai target. Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan satu OAE untuk tiap target (Gram, 1995)." d) Politerapi Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt (1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik dan sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut menggunakan vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5 macam obat. Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah, sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik. Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam farmakologi klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya aditif (Goldsmith & de Biitencourt,1995). Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan, misalnya: valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter. Dibandingkan dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional, memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang: (1) mempunyai mekanisme aksi berbeda; (2) efek samping relatif ringan; (3) indeks terapi lebar, dan (4) interaksi obat terbatas atau negatif. Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali (Ferrendelli, 1995). Fong (1995) mengatakan bahwa kombinasi obat hanya dipakai apabila semua upaya monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua macam obat lini pertama tidak menolong, obat yang mempunyai efek lebih besar dan efek samping lebih kecil tetap diteruskan, sementara obat yang lain diganti diganti dengan obat dari kelompok lini kedua. Apabila obat lini kedua tersebut efektif, dipertimbangkan untuk menarik obat

48

pertama. Sebaliknya, obat lini kedua tersebut harus dihentikan apabila ternyata tidak juga efektif. Apabila upaya tersebut di atas gagal, kasus tersebut mungkin tergolong dalam epilepsi refrakter, kasus epilepsi yang sulit disembuhkan. Berbagai obat antiepilepsi (OAE) dapat terus dicoba pada kasus itu, atau dipertimbangkan untuk tindakan bedah.

6. Pemantauan terapi Manajemen umum epilepsi : 1. Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat 2. Menentukan dan mengobati penyebab 3. Mengobati serangan : a. Menilai perlunya terapi obat : b. Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang reversible c. Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang diketahui dengan pasti ( kejang demam, rolandic epilepsy) d. Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai apakah banyak manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien dengan risiko tinggi. e. Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai f. Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alcohol, kurang tidur, stress emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain) g. Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan implantasi stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati dengan obat antiepilepsi. 4. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi : a. Hentikan kejang b. Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien c. Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.

7. Ketaatan pasien Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley (1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan, durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain yang tidak dianjurkan. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi ,

49

pengaruh biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas, 2001, Buck et al, 1997; cit Lukman,2006). Sedangkan penelitian yang dilakukan Hakim (2006) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi adalah dukungan keluarga, dukungan dokter, motivasi yang baik, kontrol teratur dan tidak ada stigma akibat epilepsi. Dengan demikian, pada pengobatan epilepsi kita harus memperhatikan faktor-faktor apa saja yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan, disamping tentunya faktor obat yang efikasius, dosis yang tepat dan cara pemberian obat yang tepat juga harus diperhatikan.

STATUS EPILEPTIKUS Definisi Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

Klasifikasi Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi. Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).

Etiologi dan patofisiologi Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal (tabel 1). Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.

50

Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut. Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. Komplikasi terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari tabel 2. Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

Tabel 1. Etiologi status epileptikus


Alkohol Anoksia Antikonvulsan-withdrawal Penyakit cerebrovaskular Epilepsi kronik

Infeksi SSP Toksisitas obat-obatan Metabolik Trauma tumor

Tabel 2. Komplikasi status epileptikus

Otak

Hipersekresi, hiperpireksia

Peningkatan Kranial

Tekanan

Intra

Jantung

Hipotensi,

gagal

jantung,

Oedema serebri Trombosis arteri dan vena otak Disfungsi kognitif


tromboembolisme Metabolik dan Sistemik Dehidrasi Asidosis Hiper/hipoglikemia Hiperkalemia, hiponatremia Kegagalan multiorgan

Gagal Ginjal

Myoglobinuria, rhabdomiolisis

Gagal Nafas

Apnoe Pneumonia Hipoksia, hiperkapni Gagal nafas

Idiopatik

Fraktur, tromboplebitis, DIC

Pelepasan Katekolamin

Hipertensi Oedema paru Aritmia Glikosuria, dilatasi pupil

51

Penatalaksanaan Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam ( Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari gaminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat. Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen. Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama. Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

Protokol Pelaksanaan Status Epileptikus (EFA, 1993) Pada : awal menit 1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)

52

a. Periksa tekanan darah b. Mulai pemberian Oksigen c. Monitoring EKG dan pernafasan d. Periksa secara teratur suhu tubuh e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis 2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri) 3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat 4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty 5. Lakukan rekaman EEG (bila ada) 6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.

Pada : 20-30 menit, jika kejang tetap berlangsung 1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur 2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per menit Pada : 40-60 menit, jika kejang tetap berlangsung Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil. -atauBerikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG. -atauBerikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.

STATUS EPILEPTIKUS Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan aktivitas kejang yang kontinu atau intermiten yang berlangsung selama 20 menit atau lebih saat pasien kehilangan kesadarannya. Status epileptikus harus dianggap sebagai kedaruratan neurologik. Dapat terjadi kerusakan saraf yang bermakna akibat aktivitas listrik abnormal yang berkelanjutan. Aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 60 menit dan usia lanjut adalah faktor yang berperan memperburuk prognosis. Kematian pada sttus epileptikus disebabkan oleh hiperpireksia dan obstruksi ventilasi, aspirasi muntahan, dan kegagalan mekanisme kompensasi dan regulatorik.

53

Terdapat dua jenis status epileptikus, yaitu : Status Epileptikus Konvulsif dan Status Epileptikus Non-Konvulsif. Kejang tonik-klonik pada status epileptikus konvulsif menandakan keberlanjutan aktivitas kejang. Hal ini tidak terjadi pada status epileptikus non-konvulsif. Tidak ada tanda klinis kejang yang menandai status epileptikus tipe ini, tetapi pasien tetap tumpul atau tidak sadar selama lebih dari 30 menit setelah kejang tonik-klonik yang nyata telah berhenti. Satu-satunya alat untuk mendiagnosis status epileptikus nonkonvulsif adalah EEG. Karena kesalahan diagnosis sangat sering, maka angka kematian sangat tinggi. Kematian disebabkan oleh dekompensasi dan kolapsnya fungsi kardiovaskuler sehingga terjadi disritmia letal dan memburuknya fungsi otonom. Pada status epileptikus, baik konvulsif maupun nonkonvulsif, tujuan pengobatannya adalah menghentikan secepatnya aktivitas kejang. Diperlukan penatalaksanaan yang agresif. Obat yang sering digunakan adalah golongan benzodiazepin, fosfenitoin, dan fenobarbital. The American Academy of Neurology merekomendasikan bahwa semua pasien status epileptikus juga mendapat tiamin (Vitamin B1) dan dekstrosa 50%. Semua pasien dengan kejang yang rekalsitran memerlukan intubasi dan bantuan pernapasan. Apabila semua tindakan gagal, maka dokter dapat mempertimbangkan sedasi dalam dengan infus midazolam (versed) atau koma barbiturat. Pada keaadaan status epileptikus, penderita mengalami serangan sawan yang berkepanjangan atau mengalami sawan berturut-turut tanpa diselingi oleh pulihnya kesadaran. Sawan tonik klonik merupakan sawan yang paling sering mengalami status. Penyebab status ini karena tidak minum obat dengan teratur atau adanya kelainan sistemik misalnya hipoglikemi. Bahaya status ini ialah terjadinya aritmia kordis, kegagalan respirasi, edema paru, rabdomiolisis dengan mioglobinuri, asidosis metabolic, dan hiperpireksia. Urutan penatalaksanaan penderita dewasa dengan status epileptikus sebagai berikut: 1. 0-5 menit Evaluasi fungsi kardiorespiratorik, anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologik, periksa kadar glukosa, BUN, elektrolit, PaO2, PaCO2, beri oksigen. 2. 6-9 menit Pasang infus dengan dekstrose 5%, beri 50 ml glukosa 40 % intravena 3. 10-30 menit Diazepam 10 mg intravena dan dapat diulang - 1 jam kemudian bila masih ada kejang, atau difenilhidantoin 20 mg/kg dg kecepatan tidak lebih dari 50 mg/menit intravena. Selama pemberian difenilhidantoin dilakukan pemantauan EKG dan tekanan darah.

Cara lainnya ialah pemberian 50 mg diazepam dalam 250 ml dekstrosa 5% intravena kecepatan 20 tetes/menit selama 2-3 jam dan 100 mg fenobarbital intramuskularis. Bila sawan menetap beri nerkosis umum, penderita dirawat di ICU agar dapat dilakukan pemantauan sistem kardiorespirasinya dan bila terjadi kegagalan respirasi sebagai efek samping pengobatan dapat segera dilakukan resusitasi. Terdapat 2 jenis status epileptikus yaitu status epileptikus konvulsif dan status epileptikus non konvulsif. Kejang tonik pada status epileptikus konvulsif menendakan keberlanjutan aktivitas kejang. Hal ini tidak terjadi pada status epileptikus non konvulsif. Tidak ada tanda klinis kejang yang menandai status epileptikus tipe ini. Tetapi pasien tetap tumpul atau tidak sadar selama 30 menit selama kejang tonik-klonik yang nyata telah terhenti.

54

Keadaan hematosa ini sering disangka disebabkan oleh efek sedatif obat-obat yang diberikan selama kejang.satu-satunya alat untuk mendiagnosis status epileptikus non konvulsif adalag EEG. Karena sering salah diagnosis, maka angka kematoian sangat tinggi. Kematian disebabkan oleh dekompensasi dan kolapsnya fungsi kardiovaskular sehingga terjadi disritmia letal dan memburuknya fungsi otonom. Pada kasus epileptikus konvulsif dan non konvulsif tujuan pengobatannya adalah menanggulangi kejang

STATUS EPILEPTIKUS Status epileptikus atau status konvulsikus ialah keadaan konvulsi umum yang berlangsung terusmeneru atau timbul secara berturut-turut dengan interval sejenak tanpa diselingi oleh pulihnya kesadaran. Diagnose keadaan ini tidak sukar, akan tetapi perawatannya memerlukan lebih banyak perhatian. Status epileptikus dapat timbul karena berbagai sebab. Penyebab status ini karena penderita tidak minum obat dengan teratur atau adanya kelainan sistemik misalnya hipoglikemi. Bahaya status ini adalah terjadinya aritmia kordis, kegagalan respirasi, edema paru, rabdomiolisis dengan mioglobinuria, asidosis metabolic dan hiperpireksia. Bilamana dokter dipanggil untuk menolong penderita, maka ia tidak perlu langsung memberi obat untuk menghilangkan kejang umum yang hebat itu. Dengan tenang, ia harus menyelidiki dahulu penyakit yang mendasarinya. a. Penderita dapat dikenal sebagai penderita grand mal atau epilepsy fokal. Status epileptikus pada penderita dengan epilepsy fokal berarti bahwa kesadarannya memburuk dan menandakan progresivitas penyakit yang mendasarinya. Pemakaian obat antikonvulsan harus diselidiki dengan teliti. Penggantian jenis antikonvulsan atau kombinasinya dapat menimbulkan efek withdrawl yang dapat berupa status epileptikus. b. Jika penderita belum pernah mendapat konvulsi umum (bukan epileptikus), maka kemungkinan trauma kapitis, diabetes, penggunaan insulin dan obat-obatan harus diselidiki.

Tindakan terapeutik pada status epileptikus penderita non-epileptik Disini pemberantasan konvulsi umum bukan suatu keharusan yang darurat. Oleh karena pemberian obat antikonvulsan untuk menghilangkan konvulsi umum secara simtomatik dapat mencapai dosis yang tinggi sekali, sehingga keadaan penderita dapat dibahayakan oleh overdose. Bila pada penderita status epileptikus tersebut didapati tanda-tanda hipoksia dan asidosis, maka pemberantasan konvulsi harus dilakukan dengan segera (tindakan D/F). Adapun tindakan yang harus dilakukan jika tidak ada tanda-tanda asidosis dan hipoksia adalah : 1. Masukkan di dalam mulut guide airway. Lidah harus berada diantara lantai mulut dan guide airway. Dengan demikian lintasan jalan pernafasan sudah terjamin. 2. Letakkan penderita dalam posisi tengkurap dengan kepala lebih rendah daripada badan untuk mencegah aspirasi. 3. Tempat tidur untuk penderita status epileptikus harus didindingi kasur tipis agar penderita tidak akan melukai dirinya karena konvulsi tonik-klonik itu.

55

4. Lakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan elektrolit, BUN, kalsium, magnesium, glukosa dan pemeriksaan darah rutin. Setelah itu lanjutkan dengan terapi medikamentosa.

Tindakan

Obat

Dosis Dewasa Anak 1-2 mg/kg/BB Dextrose 50%

Cara pemberian

Glukosa

25-50 gram

i.v. cepat

Thiamine B C Phenobarbital Phenobarbital

100 mg 100-120 mg 30-60 mg 5-10 mg/kg/BB 5-10 mg/kg/BB

i.v. cepat i.m. i.m. setiap 15 menit

Jika dosis phenobarbital total sebesar 500 mg untuk orang dewasa dan 20 mg/kg/BB untuk anak sudah diberikan dan orang sakit masih saja dalam status epileptikus, maka tindakan berikut harus dilakukan. D Diazepam 5-10 mg 5-10 mg i.v. lambat 2 menit

Jika konvulsi masih belum hilang dalam waktu 15 menit, maka tindakan E harus dikerjakan. E Chloral hydrat 10% 20 cc 10 cc Intra-rektal

Jika pemberian chloral hydrat masih belum menolong, maka harus dilakukan tindakan F. F Narkosis

Tindakan terapeutik pada status epileptikus penderikta epileptic Seorang epileptic yang berada dalam status epileptikus dapat disebabkan oleh penghentian obat antikonvulsan secara mendadak atau sudah lama tidak makan obat. Pada umumnya suntikan intravena dengan 5 mg diazepam sudah cukup untuk menghentikan konvulsi umum. Bila dosis diazepam masih belum dapat menghilangkan konvulsi umum, maka 5 mg diazepam dapat diberikan lagi secar intravena dan bila perlu diberikan 30-60 mg phenobarbital (untuk orang dewasa) atau 5-10 mg/kg/BB phenobarbital (untuk anak) setiap 15 menit sampai dosis maksimal tercapai (untuk dewasa 50 mgdan untuk anak 20 mg/kg/BB). Jika konvulsi umum masih belum hilang, maka tindakan E dan F tersebut di atas perlu dilakukan.

KEJANG DEMAM Definisi Kejang demam adalah bangkitan dkejang yang diakibat kan kenaikan suhu tubuh (yang diukur adalah suhu rectal yang diatas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

Etiologi 1. disebabkan oleh suhu yang tinggi 2. timbul pada permulaan penyakit infeksi (extra Cranial), yang disebabkan oleh banyak macam agent: a. Bakteriel:

56

Penyakit pada Tractus Respiratorius: Pharingitis Tonsilitis Otitis Media Laryngitis Bronchitis Pneumonia

Pada G. I. Tract: Dysenteri Baciller

Sepsis.Pada tractus Urogenitalis: Pyelitis Cystitis Pyelonephritis

b. Virus: Terutama yang disertai exanthema: Varicella Morbili Dengue Exanthemasubitung

57

Patofisiologi Untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu sel atau organ diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan denagn perantaraan fungsi paru dan diteruskan keotak melalui sistem kardiovaskular. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium tetapi sangat susah dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi kalium intrasel sangat tinggi sedangkan konsentrasi natrium rendah, dan diluar sel neuron terjadi hal yang sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut dengan potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya : 1. perubahan konsentrasi ion diruang ekstraselular 2. rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya 3. perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan naik 20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari keseluruhan tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas kesel sekitarnya dengan bantuan suatu substansi kimia yang disebut dengan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak denagn ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu 380C sedangkan pada anak denagn ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi jika terjadi pada suhu 400C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangan perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama, biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tak teratur dan suhu makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang menyebabkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan rusaknya sel neuron otak.

58

Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat seranagn kejang yang berlangsung lama dapat menjadii matang dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak sehingga terjadi epilepsi.

Belum jelas, kemungkinan dipengaruhi faktor keturunan atau genetik Penyakit Infeksi (extra cranial)

Kenaikan Suhu

Disfungsi Neorologis Pada Jaringan Serebral

Episode Paroksisimal Berulang (Kejang)

Suplay O2 menurun

Potensial cidera otak

Resiko Cidera

Manifestasi klinis Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disbabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat. Serangan kejang biasanya terjadi pada 24 jam pertama sedemam dan berlanwaktu gsung singkat dengan sifat bangkitan berbentuk tonik-klonok, tonik, klonik, fokal atau akinetik.umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejng berapa berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.Livingstone membuat kriteria dan membagi kejang atas 2 golongan yaitu : 1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut : Kejang berlangsung singkat, < 15 menit Kejang umum tonik dan atau klonik Umumnya berhenti sendiri Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam

2. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan cirri-ciri gejala klinis sebagai berikut: Kejang lama > 15 menit Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Tetapi, kriteria Livingstone ini telah dimodifikasi dan dipakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosa kejang demam sederhana yaitu: 1. umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun 2. kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih daripada 15 menit 3. kejang bersifat umum

59

4. kejang timbul setelah 16 jam pertama sesudah demam 5. pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal. 6. pemeriksaan EEG yang dibuat 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan 7. frekuensi bagkitan kejang didalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali apabila kejang demam tidak memenuhi salah satu dari kriteria Livingstone diatas, maka dapat digolongkan epilepsi yang diprovokasi oleh demam..

Pemeriksaan Dan Diagnosis Anamnesis: Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lainnya (ayah, ibu, atau saudara kandung). Pemeriksaan Neurologis : tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan Laboratorium : pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan gula darah). Pemeriksaan Radiologi : X-ray kepala, CT scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) : tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Bayi < 12 bulan : diharuskan. 2. Bayi antara 12 18 bulan : dianjurkan. 3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis. Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) : tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.

Diagnosa banding Menghadapi seorang anak yang menderita kejang demam, harus dipikirkan apakah penyebabnya didalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan didalam otak biasanya karena infeksi. Oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kellainan organis atau tidak. Meningitis Ensefalitis Abses otak

Prognosis Dengan penanggulangan yang baik, prognosisnya baik dan tak perlu menyebabkan kematian. Dari penyelidikan yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25%-50% yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat adanya umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal mendapatkan : 1. pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50% dan pada pria 33%

60

2. pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25% risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor : 1. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga 2. kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam. 3. kejang yang berllangsung lama atau kejang fokal. Bila terdapat sedikitnya 2 dari 3 faktor diatas, maka dikemudian hari akan didapatkan serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2%-3% saja. Hemiparesis biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama baik bersifat secara umum atau fokal. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas. Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosa baik dan tidak menyebabkan kematian.Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi : Kejang demam berulang Epilepsi Kelainan motorik Gangguan mental dan belajar

Penanggulangan Dalam penanggulangan, kejang demam, terdapat 4 faktor yang perlu dikerjakan yaitu: 1. Memberantas kejang secepat mungkin Bila penderita datang dalam keadaan status konvulsif, obat utama adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Keampuhan diazepam yang diberikan secara intravena ini sudah tak perlu dipersoalkan lagi karena keberhasilannya untuk menekan kejang adalah sekitar 80%-90% Lumbantobing dan Ismael, 1970; ismael dkk; 1971. efek terapeutiknya sangan cepat, yaitu antara 30 detik 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tak ditemukan apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mm persuntikan. Dosis tergantung dari BB, yaitu < 10 kg : 0,5-0,75 mg/kgBB dengan minimal dalam semprit 2,5 mg; 10-20 kg : 0,5 mg/kgBB. Dosis rata-rata yang dipakai adalah 0,3 mg/kgBB/kali dengan maksimum 5 mg pada anak berumur < 5 tahun dan 10 mg pada anak yang lebih besar. Setelah suntikan I secara IV ditunggu 15 menit, bila masih tedapat kejang diulangi suntikan II dengan dosis yang sama. Setelah 15 menit suntikan II masih kejang, diberikan suntikan III tetapi pemberiannya IM. Bila belum berhenti berikan fenobarbital atau paraldehide 4 % secara IV. Efek samping diazepam yaitu mengantuk, hipotensi, penekanan pusat pernapasan, laringospasme, dan henti jantung. Diazepam diberikan langsung tanpa pelarut dengan perlahan kira-kira 1 ml/menit. Pemberian diazepam lebih mudah diberikan melalui rektum. Dosis tergantung dari BB, yaitu < 10 kg : 5 mg dan > 10 kg

61

: 10 mg. rata-ratanya 0,4-0,6 mg/kgBB. Bila kejang belum berhenti dengan dosis I, diberikan lagi setelah 15 menit bila belum berhenti tunggu lagi selama 15 menit dengan dosis 0,3 mg/kgBB. Apabila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan fenobarbital secara IM dengan dosis awal neonatus 30 mg/kali, 1 bulan 1 tahun : 50 mg/kali dan > 1 tahun 75 mg/kali. Bila kejang belum berhenti tunggu selama 15 menit dan ulangi lagi dengan dosis neonatus 15 mg, 1 bulan 1 tahun 30 mg dan > 1 tahun 50 mg secara IM. Hasil yang terbaik apabila diberikan secara IV dengan dosis 5 mg/kgBB pada kec. 30 mg/menit.

2. Pengobatan Penunjang Semua pakaian ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi lambung. Membebaskan jalan nafas. Pengisapan lendir secara teratur dan pengobatan ditambah pemberian oksigen. Seluruh fungsi vital harus diawasi secara ketat. Cairan IV sebaiknya diberikan dengan monitoring. Bila terdapat tekanan intrakranial yang meninggi jangan diberikan cairan yang kadar natriumnya tinggi. Bila suhu tinggi dilakukan hibernasi dengan kompres atau alkohol. Obat untuk hibernasi adalah klorpomazin 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis; prometazin 4-6 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis secara suntikan. Untuk mencegah terjadinya edema otak, berikan kortikosteroid, yaitu dengan dosis 20-30 mg/kgBB/hari atau glukokortikoid.

3. Pengobatan Rumat Pengobatan ini terbagi menjadi 2 : o Profilaksis Intermiten

Untuk mencegah terjadinya kejang kembali, penderita diberikan obat campuran antikonsulvan dan antipiretika. Antikonsulvan yang diberikan adalah fenobarbital dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dengan efek samping sedikit dibandingkan dengan antikonsulvan lainnya. Antipiretika yang dipakai adalah aspirin. Dosisnya 60 mg/tahun/kali, sehari diberikan 3 kali atau untuk bayi < 6 bulan diberikan 10 mg/bulan/kali, sehari 3 kali. o Profilaksis jangka panjang

Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan cukup didalam darah penderita untuk mencegah terulang nya kejang di kemudian hari. Diberikan pada keadaan : Epilepsi yang di provokasi oleh demam Terdapatnya gangguan perkembangan saraf Bila kejang berlangsung > 15 menit, bersifat fokal atau diikuti kelainan saraf yang sementara atau menetap Bila terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik Bila terdapat kejang berulang atau kejang demam pada bayi berumur di bawah 12 bulan. Bila diperhatikan keempat faktor tersebut di atas tidaklah berbeda dengan kriteria modifikasi livingstone untuk kejang demam. Obat yang dipakai untuk propilaksis dengan jangka panjang adalah : Fenobarbital

62

Dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari fenobarbital jangka panjang ialah perubahan sifat anak menjadi hyperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur Sodium valproat / asam valproat

Dapat menurunkan resiko terulangnya kejang dengan memuaskan, bahkan lebih baik jika dibandingkan dengan fenobarbital. Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dan dibagi dalam 3 dosis. Kekurangannya ialah harganya lebih mahal dibanding dengan fenobarbital dan gejala toksis berupa rasa mual, destruksi hepar dan penkreatitis. Fenitoin/dilantin

Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukan gangguan sifat berupa hyperaktif sebagai penganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan. Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun seperti mengobati epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsan kelak harus perlahan-lahan dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan. Mencari dan mengobati penyebab

Penyebab dari kejang demam sederhana maupun epilepsi yang diprovokasi oleh demam biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara akademis pada anak yang kejang demam yang datang I kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan fungsi lumbal hal ini untuk mennyingkirkan faktor infeksi didalam otak misalnya meningitis. Apabila mengahadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan intensif perlu dilakukan yaitu pemeriksaan fungsi lumbal, darah lengkap dan faal hati. Selanjutnya bila belum memberikan hasil yang diinginkan dan untuk melengkapi data, dapat dilakukan pemeriksaan khusus yaitu X-foto tengkorak, EEG, ekoencepalografi, Brain Scan, pneumoencepalografi dan arteriografi.

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan kejang demam meliputi : Penanganan pada saat kejang Menghentikan kejang : Diazepam dosis awal 0,3 0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,4 0,6 mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit kemudian. Turunkan demam : Anti Piretika : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5 10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3 4 kali per hari. Kompres : suhu > 39 C dengan air hangat, suhu > 38 C dengan air biasa. Pengobatan penyebab : antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya. Penanganan suportif lainnya meliputi : bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, menjaga keseimbangan air dan elektrolit, pertahankan keseimbangan tekanan darah.

63

Pencegahan Kejang Pencegahan berkala ( intermiten ) untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan anti piretika pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 15 40 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2 3 dosis.

KEPERAWATAN 1. Resiko terjadi kerusakan sel otak akibat kejang Tindakan pada saat kejang : Baringkan ditempat yang rata, miringkan kepala Singkirkan benda-benda yang berbahaya di sekitar pasien Lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan Isap lendir sampai bersih Berikan oksigen Bila suhu tinggi berikan kompres secara intensif Setelah pasien sadar penuh berikan minum hangat Jika kejang masih berlangsung dengan tindakan ini segera hubungi dokter

2. Suhu tubuh meningkat diatas normal berhubungan dengan infeksi Tindakan yang dilakukan : Berikan minum yang banyak Berikan suasana yang nyaman Observasi tanda-tanda vital Berikan selimut yang tipis dan pakaian yang menyerap keringat

3. Resiko terjadi bahaya / injury Tindakan yang dilakukan : Tempatkan pasien kejang pada tempat yang datar dan aman Hindarkan benda-benda yang berbahaya di sekitar pasien Monitor ketat keadaan umum pasien setelah pemberian konvulsan

4. Kurangnya pengetahuan orang tua,mengenai penyakit Menjelaskan pada orang tua tentang : Menyediakan obat antipiretika dan anti konvulsan sesuai petunjuk dokter Anak segera diberikan obat antipiretik bila demam Penanganan kejang sederhana di rumah : dibaringkan di tempat yang rata dan aman, melonggarkan baju, memberikan kompres dingin, memberi minum setelah pasien sadar penuh. Bila kejang berlangsung lama segera bawa ke rumah sakit Bila diberikan diazepam rectal, ajarkan pemakaian. Jika anak mendapat imunisasi beritahukan orang tua agar menjelaskan pada petugas kesehatan jika anaknya penderita kejang demam dan diberikan imunisasi yang tidak mengakibatkan demam.

64

Anda mungkin juga menyukai