A. PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di
masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial
dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan
sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk
menjauhi penderita epilepsi. Bagi orang awam, epilepsi dianggap sebagai
penyakit menular (melalui buih yang keluar dari mulut), penyakit keturunan,
menakutkan dan memalukan.1
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan
pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis
epilepsi harus ditegakkan dulu Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat
dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan
diagnosis epilepsi yang tepat pula.2
Diagnosis epilesi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik,
jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil
pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru informasi diperoleh sesudah
melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang
mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan
pemeriksaan fisik & neurologi . Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah
dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis
dengan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang
dan sindrom epilesi.2
B. DEFINISI EPILEPSI
Kata epilepsi berasal dari bahasa Yunani epilepsia yang berarti dirampas atau
direbut (seized). Nama epilepsi sudah ada sejak 700 tahun sebelum Masehi.
Bangsa Yunani Kuno menganggap epilepsi sebagai fenomena supranatural atau
akibat masuknya roh jahat. Pada saat manusia mengenal infeksi, epilepsi
dipandang sebagai suatu bentuk infeksi pada tubuh khususnya otak. Kejangkejang dianggap sebagai upaya tubuh untuk mengeluarkan racun atau bisa
1
penyebab infeksi tersebut. Infeksi ini dianggap menular sehingga ada anggapan
bahwa penderita epilepsi tidak boleh didekati, bahkan harus dikucilkan.3
Epilepsi merupakan suatu gejala kompleks yang disebabkan oleh berbagai
proses patologik pada otak. Hal ini ditandai dengan lepasnya muatan listrik secara
bersamaan dan tidak terprogram dari sekumpulan sel otak atau bahkan dari
seluruh sel otak. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi (epileptic
seizure) adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang
abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Seseorang dikatakan menderita
epilepsi bila mengalami suatu bangkitan epilepsi berulang yang berselang lebih
dari 24 jam dan timbul tanpa provokasi.3
Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena
fungsi sel neuron terganggu.Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan
fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal maupun general. 6
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik
yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilesi
(ILAE) dan International Bureau for Epilesi (IBE) pada tahun 2005 merumuskan
kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya
faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/
gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau
sinkron yang terjadi di otak.4
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan
oleh ILAE dan IBE yaitu4 :
a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat,
kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi
cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan
dikirimsepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain,
sehingga terjadilah epilepsi.6
Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi
dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak
terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak,
namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang
mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental.6
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia
tertentu. Beberapa diantaranya adalah:
1. Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan.
2. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah
terangsang secara berlebihan.
3. Mungkin terjadi polarisasi yang abnormal (polarisasi yang berlebihan,
hiperpolarisasi atau terhentinya repolarisasi)
4. Ketidakseimbangan ion Natrium dan Kalium yang mengubah lingkungan
kimia neuron. Pada waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada tingkat
neuronal mengalami perubahan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan
membran neuron mengalami depolarisasi.
5. Ketidakseimbangan antara neuron-neuron eksitasi dan inhibisi serta sinkroni
dari pelepasan neuronal.
6. Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat waktu kejang.
Output sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat, merekrut
system neuronal yang berhubungan dengan sinap, sehingga terjadi pelepasan
yang berlebihan.
7. Gangguan genetik yang mungkin mendasari epilepsi umum idiopatik ialah
sebagai berikut. Ada suatu gen yang menentukan sintesis dan metabolisme
asam glutamik yang menghasilkan gamma aminobutyric acid (GABA). Zat
5
Epilepsi
benigna
dengan
gelombang
paku
di
daerah
sentrotemporal
oksipital
b. Simtomatik (sekunder)
c.
Kriptogenik
c. Simtomatik
Etiologi spesifik:
- Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakitlain
2. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
Bangkitan neonatal
belum tentu dapat dikatakan epilepsi. Berikut gambaran klinis berdasarkan tipe
kejangnya9 :
1. Kejang parsial (fokal/lokal)
Kejang ini terjadi pada salah satu atau lebih lokasi yang spesifik pada
otak. Dalam beberapa kasus, kejang parsial dapat menyebar luas di otak.
Kejang ini terkadang disebabkan terjadinya trauma spesifik, namun dalam
banyak kasus penyebabnya tidak dapat diketahui (idiopatik).9
1) Kejang parsial sederhana
Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian epilesi), pasien
tidak mengalami kehilangan kesadaran, namun dapat mengalami
kebingungan, jerking movement, atau kelainan mental dan emosional.
Manifestasi klinis dari kejang parsial sederhana ini yaitu klonik
(repetitif, gerakan kepala dan leher menengok ke salah satu sisi).
Beberapa pasien dapat pula terjadi gejala somatosensorik berupa aura,
halusinasi, atau perasaan kuat pada indra penciuman dan perasa.
Setelah kejang, pasien biasanya mengalami kelemahan pada otot
tertentu. Umumnya kejang terjadi selama 90 detik9.
2) Kejang parsial kompleks
Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian otak
yang berdekatan dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran atau dapat terjadi perubahan
tingkah laku misalnya automatisme. Pasien kemungkinan mengalami
kehilangan kesadaran secara singkat dan tatapan kosong. Kejang ini
seringkali diawali dengan aura. Episode serangan biasanya tidak lebih
dari 2 menit. Sakit kepala yang berdenyut kemungkinan terjadi pada
kejang tipe ini.9
3) Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder
Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan
kehilangan kesadaran dan kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti
periode kontraksi otot bertukar dengan relaksasi (klonik). Seringkali
sulit dibedakan dengan kejang umum. Hal ini karena kejang parsial
Gambar 2. Cetusan yang terjadi pada epilepsi partial dan manifetasi kliniknya
10
2. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi
pada daerah otak yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial.
1)
Oleh karena itu, kejang ini memiliki efek yang lebih serius pada pasien. 9
Kejang absence (petit mal)
Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung
sangat singkat sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang dijumpai dan
umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja.
Sekitar 15-20% anak-anak menderita kejang tipe. Penderita tiba-tiba
melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai. Kejang
ini kemungkinan tidak disadari oleh orang di sekitarnya. Petit mal
terkadang sulit dibedakan dengan kejang parsial sederhana atau
kompleks, atau bahkan dengan gangguan attention deficit. Selain itu
terdapat jenis kejang atypical absence seizure, yang mempunyai
perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh atipikal mempunyai
jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang, serangan terjadi
tidak dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi diikuti dengan
tanda gejala motorik yang jelas. Kejang ini diperantarai oleh
ketidaknormalan yang menyebar dan multifokal pada struktur otak.
Kadangkala diikuti dengan gejala keterlambatan mental. Kejang tipe
ini kurang efektif dikendalikan dengan antiepilepsi dibandingkan tipe
2)
11
4)
yang terkulai.
Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat,
bilateral, dan terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot tertentu.
Biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur, pasien mengalami
5)
12
13
aura dimana suatu aura itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial
sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian aura dapat membantu dimana
letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis
dilaporkan adanya dj vu dan atau ada sensasi yang tidak enak di
lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan
gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi
lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan
aura hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika
aura dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya
dicari sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien
tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan
dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah
ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang
terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah
pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata
berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan
automatism pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak
tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol? Serangan kejang
yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan
mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari
lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan
mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan
gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah
tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang
umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah post
14
ictal period Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien
lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap
sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks.
Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut Todds
Paralysis yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia
dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan
berbahasa di hemisfer dominan. Pada Absens khas tidak ada gangguan
disorientasi setelah serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang
tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan
pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu
malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan
minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat,
stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,
drug abuse, reading & eating epilesi. Dengan mengetahui faktor
pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat
membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekuensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat
obat anti kejang .
8. Apakah sejak dari awal ada periode bebas serangan kejang ? Pertanyaan ini
mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti
kejang atau belum ? dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang
digunakan bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan
menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan
setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
15
16
tidak
mengemudikan
kendaraan
bermotor. Hal
ini
bisa
kontrasepsi
oral?
Apakah
pasien
18
pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher
untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular
sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh
karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi
penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit
juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus. Juga perlu dilihat
apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh
akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat
terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens
contractures yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka
lama. 2,7
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait , koordinasi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit
neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang,
papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur
di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin
oleh
karena
efek
toksis
dari
obat
anti
epilepsi
seperti
menegakkan
diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan sindrom
19
epilepsi. EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi
prognosis pasien. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.9
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam
keadaan istirahat dan pada waktu tidur. Gambaran EEG pasien epilepsi
menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya gelombang tajam (spike), pakuombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.9
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging)
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada
pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan
CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan menggambarkan lesi epileptogenik.
Pencitraan fungsional seperti Single Photon Emission Computerised Tomography
(SPECT), Positron Emission Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan
lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan
jika pencitraan
Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan
struktural di otak.
20
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan.
Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang
sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini
biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan
axial, irisan coronal dan irisan saggital.12
H. PENATALAKSANAAN
Monoterapi merupakan pilihan dalam terapi epilepsi meskipun laporan
sebelumnya mengindikasikan bahwa politerapi terkadang merupakan standar
dalam perawatan epilesi dan diberikan sebagai terapi inisial. Penggunaan
politerapi menjadi dipertanyakan setelah hasil studi menunjukkan bahwa 50%
sampai 75% pasien yang memulai terapi menggunakan monoterapi memberikan
hasil bahwa kejang terkendali sedikitnya 1 tahun dan monoterapi terbukti lebih
efektif, dapat ditoleransi, dan sedikit kemungkinan untuk terjadinya interaksi jika
dibandingkan dengan politerapi. Namun sekitar 30-40 % pasien tidak mencapai
kontrol kejang dengan obat antiepilepsi tunggal. Dengan munculnya obat-obat
antiepilepsi baru dalam 15 tahun terakhir ini politerapi rasional dipertimbangkan
kembali.
Pengobatan epilepsi yang diberikan pada pasien epilepsi di RSUP Dr. Sardjito
meliputi monoterapi dan politerapi. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk
membandingkan hasil dari politerapi dan monoterapi pada terapi epilesi terhadap
pengendalian kejang (frekuensi kejang dan keadaan bebas kejang) dan kejadian
efek samping obat. Dengan penelitian ini diharapkan mampu memberikan
informasi terhadap pengendalian kejang pada terapi epilepsi baik monoterapi
ataupun politerapi.10
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan
dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya.
21
Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan
pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul
Antikonvulsan Utama
1. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari
2. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari
3. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari
4. Valproate : 30-80 mg/kgBB/hari
Keputusan pemberian pengobatan setelah bangkitan pertama dibagi dalam 3
kategori:
1. Definitely treat (pengobatan perlu dilakukan segera)
Bila terdapat lesi struktural, seperti :
a. Tumor otak
b. AVM
c. Infeksi : seperti abses, ensefalitis herpes
Tanpa lesi struktural :
a. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang
2.
tua)
b. EEG dengan gambaran epileptik yang jelas
c. Riwayat bangkitan simpomatik
d. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP
e. Status epilepstikus pada awitan kejang
Possibly treat (kemungkinan harus dilakukan pengobatan)
Pada bangkitan yang tidak dicetuskan (diprovokasi) atau tanpa disertai
factor resiko diatas.
3. Probably not treat (walaupun pengobatan jangka pendek mungkin
diperlukan)
a. Kecanduan alcohol
b. Ketergantungan obat obatan
c. Bangkitan dengan penyakit
akut
(demam
tinggi,
dehidrasi,
hipoglikemia)
d. Bangkitan segera setelah benturan di kepala
e. Sindroma epilepsi spesifik yang ringan, seperti kejang demam, BECT
f. Bangkitan yang diprovokasi oleh kurang tidur11
I. PROGNOSIS
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat.Prognosis
epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat
22
23
2. Bagi masyarakat dan terutama orang tua yang memiliki anak riwayat kejang
dan telah didiagnosis epilesi mengobservasi kejang tersebut dan segera
menghubungi dokter terdekat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Raharjo T, Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Pada Anak Di Bawah Usia 6 Tahun.
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf universitas
Diponegoro.semarang.2007
2. Sunaryo U. Diagnosis Epilepsi. Bagian neurologi Fakultas UKWS rsud dr
moh saleh kota probolinggo. Januari 2007
3. Amalina N. Perbedaan Iq Pada Pasien Epilepsi Lobus Temporal Sebelum
Dan Sesudah Bedah Epilepsi.
of
Diagnosis.
Diakses
di
http://ww.w.turner-
Pathophysiology.
Diakases
di
24
11. Duncan
R.
Diagnosis
of
Epilesi
in
Adults,
Diakses
di
Kedokteran
25