Anda di halaman 1dari 25

EPILEPSI

A. PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di
masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial
dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan
sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk
menjauhi penderita epilepsi. Bagi orang awam, epilepsi dianggap sebagai
penyakit menular (melalui buih yang keluar dari mulut), penyakit keturunan,
menakutkan dan memalukan.1
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan
pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis
epilepsi harus ditegakkan dulu Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat
dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan
diagnosis epilepsi yang tepat pula.2
Diagnosis epilesi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik,
jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil
pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru informasi diperoleh sesudah
melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang
mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan
pemeriksaan fisik & neurologi . Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah
dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis
dengan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang
dan sindrom epilesi.2
B. DEFINISI EPILEPSI
Kata epilepsi berasal dari bahasa Yunani epilepsia yang berarti dirampas atau
direbut (seized). Nama epilepsi sudah ada sejak 700 tahun sebelum Masehi.
Bangsa Yunani Kuno menganggap epilepsi sebagai fenomena supranatural atau
akibat masuknya roh jahat. Pada saat manusia mengenal infeksi, epilepsi
dipandang sebagai suatu bentuk infeksi pada tubuh khususnya otak. Kejangkejang dianggap sebagai upaya tubuh untuk mengeluarkan racun atau bisa
1

penyebab infeksi tersebut. Infeksi ini dianggap menular sehingga ada anggapan
bahwa penderita epilepsi tidak boleh didekati, bahkan harus dikucilkan.3
Epilepsi merupakan suatu gejala kompleks yang disebabkan oleh berbagai
proses patologik pada otak. Hal ini ditandai dengan lepasnya muatan listrik secara
bersamaan dan tidak terprogram dari sekumpulan sel otak atau bahkan dari
seluruh sel otak. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi (epileptic
seizure) adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang
abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Seseorang dikatakan menderita
epilepsi bila mengalami suatu bangkitan epilepsi berulang yang berselang lebih
dari 24 jam dan timbul tanpa provokasi.3
Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena
fungsi sel neuron terganggu.Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan
fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal maupun general. 6
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik
yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilesi
(ILAE) dan International Bureau for Epilesi (IBE) pada tahun 2005 merumuskan
kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya
faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/
gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau
sinkron yang terjadi di otak.4
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan
oleh ILAE dan IBE yaitu4 :
a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya

c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,


psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana
seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu
diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan
seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah
penyakit menular, dan sebagainya.4
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas
listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit
otak akut (unprovoked).4
C. EPIDEMIOLOGI
Ditaksir bahwa 0,1-0,4 % dari masyarakat umum menderita epilepsi dan 77%
dari semua epilepsi adalah idopatik. Yang idiopatik bisanya mulai antara usia 1020 tahun. Permulaan yang timbul sebelum dan sesudah usia-usia ini sering
merupakan epilepsi simtomatik dan diperlukan pemeriksaan yang seksama.2
Prevalensi epilepsi berbeda diseluruh dunia dimana diperkirakan 2 sampai 5%
dan umumnya lebih rendah dinegara-negara maju. Pengaruh perbedaan ras tidak
terlihat secara konsisten, dan kelihatannya pengaruh lingkungan dan perbedaan
sosial berperan penting. Prevalensi pada anak dibawah usia 16 tahun dilaporkan
lebih besar yaitu 7/1000 dibandingkan pada kelompok dewasa yang 3/1000.4 Dari
pemeriksaan elektroensefalogram diketahui bahwa 5-10 % dari orangorang
normal menunjukkan kelainan pada EEG seperti pada epilepsi. Diperkirakan
bahwa orang-orang ini mempunyai faktor predisposisi untuk epilepsi.5
D. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebabnya epilepsi dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1. Epilepsi

primer atau epilepsi idiopatik, yang hingga kini tidak diketahui


3

penyebabnya dan dibuktikan adanya lesi pada otak.


2. Epilepsi sekunder, yang diakibatkan oleh adanya kelainan pada jaringan
otak.Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan kejang sekunder antara lain :
cedera kepala, gangguan metabolisme dan nutrisi , faktor-faktor toksik,
ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang yang
muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik
jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak.
Keadaan ini bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak. Gangguan fungsi otak yang
bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat,
bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau
gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu
fungsi otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya
bangkitan kejang atau serangan epilepsi.5
Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia
serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor
penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat,
struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit
trauma kepala, dan lain-lain. Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh
berbagai kelainan dan macam-macam penyakit diantaranya ialah trauma lahir,
trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran
darah, hipoksia, anomali kongenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf
pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksis-alergis,
keracunan obat atau zat kimia, dan faktor hereditas.5
E. PATOFISIOLOGI
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan
muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah
muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian
intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui

akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat,
kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi
cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan
dikirimsepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain,
sehingga terjadilah epilepsi.6
Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi
dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak
terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak,
namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang
mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental.6
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia
tertentu. Beberapa diantaranya adalah:
1. Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan.
2. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah
terangsang secara berlebihan.
3. Mungkin terjadi polarisasi yang abnormal (polarisasi yang berlebihan,
hiperpolarisasi atau terhentinya repolarisasi)
4. Ketidakseimbangan ion Natrium dan Kalium yang mengubah lingkungan
kimia neuron. Pada waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada tingkat
neuronal mengalami perubahan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan
membran neuron mengalami depolarisasi.
5. Ketidakseimbangan antara neuron-neuron eksitasi dan inhibisi serta sinkroni
dari pelepasan neuronal.
6. Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat waktu kejang.
Output sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat, merekrut
system neuronal yang berhubungan dengan sinap, sehingga terjadi pelepasan
yang berlebihan.
7. Gangguan genetik yang mungkin mendasari epilepsi umum idiopatik ialah
sebagai berikut. Ada suatu gen yang menentukan sintesis dan metabolisme
asam glutamik yang menghasilkan gamma aminobutyric acid (GABA). Zat
5

tersebut merupakan zat penghambat kegiatan neuronal alamiah. Orang-orang


yang secara genetik kurang cukup membuat GABA merupakan orang-orang
yang mempunyai kecenderungan untuk mendapat epilepsi, baik epilepsi fokal
maupun epilepsi umum.
8. Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi sesudah suatu gangguan pada otak,
dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada
mesensefalon, thalamus dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat
epileptogenik, sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak
menimbulkan serangan epilepsi.6

Gambar 1. Patofisiologi terjadinya epilepsi oleh karena meningkatnya faktor


eksitatorik atau menurunnya faktor inhibisi
F. KLASIFKASI EPILEPSI DAN GEJALA KLINIS
Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindrom epilesi adalah :
1. Berkaitan dengan lokasi kelainan (localized related)
a. Idiopatik (primer)

Epilepsi

benigna

dengan

gelombang

paku

di

daerah

sentrotemporal

Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah

oksipital

Epilepsi membaca primer

b. Simtomatik (sekunder)

Epilepsi parsial kontinyu yang kronik pada anak anak (sindrom


kojenikow)

Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu


rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat obatan, hiperventilasi,
epilepsi refleks, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)

c.

Epilepsi lobus temporal

Epilepsi lobus frontal

Epilepsi lobus parietal

Epilepsi lobus oksipital.

Kriptogenik

1. Epilepsi umum dengan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan


peningkatan umur.
a. Idiopatik (primer):

Kejang neonatus familial benigna

Kejang neonatus benigna

Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

Epilepsi lena pada remaja.

Epilepsi mioklonik pada remaja

Epilepsi dengan bangkitan tonik klonik pada saat terjaga.

Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di


atas

Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan akitivitas tertentu.

b. Kriptogenik atau simtomatik berurutan sesuai dengan peningkatan usia

Sindrom west (spasme infantil dan spasme salam)


7

sindrom Lennox Gastaut

Epilepsi mioklonik ataktik

Epilepsi lena mioklonik

c. Simtomatik

Etiologi non spesifik :


- Ensefalopati mioklonik dini
- Ensefalopati infatil dini dengan burstsupression
- Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas

Etiologi spesifik:
- Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakitlain

2. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal

Bangkitan neonatal

epilepsi mioklonik berat pada bayi

epilepsi dengan gelombang paku kontinyuselama tidur dalam

epilepsi afasia yang didapat

epilepsi yang tidak terklasifikasikan selain yang di atas.

b. Tanda gambaran tegas fokal atau umum


3. Sindrom khusus
Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu:
a. Kejang demam
b. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali
c. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut,
atau toksis, alkohol, obat obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
d. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)7
Serangan epilepsi tidak selalu disertai dengan kejang dan sebaliknya,kejang

belum tentu dapat dikatakan epilepsi. Berikut gambaran klinis berdasarkan tipe
kejangnya9 :
1. Kejang parsial (fokal/lokal)
Kejang ini terjadi pada salah satu atau lebih lokasi yang spesifik pada
otak. Dalam beberapa kasus, kejang parsial dapat menyebar luas di otak.
Kejang ini terkadang disebabkan terjadinya trauma spesifik, namun dalam
banyak kasus penyebabnya tidak dapat diketahui (idiopatik).9
1) Kejang parsial sederhana
Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian epilesi), pasien
tidak mengalami kehilangan kesadaran, namun dapat mengalami
kebingungan, jerking movement, atau kelainan mental dan emosional.
Manifestasi klinis dari kejang parsial sederhana ini yaitu klonik
(repetitif, gerakan kepala dan leher menengok ke salah satu sisi).
Beberapa pasien dapat pula terjadi gejala somatosensorik berupa aura,
halusinasi, atau perasaan kuat pada indra penciuman dan perasa.
Setelah kejang, pasien biasanya mengalami kelemahan pada otot
tertentu. Umumnya kejang terjadi selama 90 detik9.
2) Kejang parsial kompleks
Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian otak
yang berdekatan dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran atau dapat terjadi perubahan
tingkah laku misalnya automatisme. Pasien kemungkinan mengalami
kehilangan kesadaran secara singkat dan tatapan kosong. Kejang ini
seringkali diawali dengan aura. Episode serangan biasanya tidak lebih
dari 2 menit. Sakit kepala yang berdenyut kemungkinan terjadi pada
kejang tipe ini.9
3) Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder
Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan
kehilangan kesadaran dan kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti
periode kontraksi otot bertukar dengan relaksasi (klonik). Seringkali
sulit dibedakan dengan kejang umum. Hal ini karena kejang parsial

dengan generalisata sekunder mempunyai onset fokal yang seringkali


tak teramati. Onset fokal kejang diidentifikasi melalui analisis riwayat
kejang dan EEG secara cermat. 9

Gambar 2. Cetusan yang terjadi pada epilepsi partial dan manifetasi kliniknya

10

2. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi
pada daerah otak yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial.
1)

Oleh karena itu, kejang ini memiliki efek yang lebih serius pada pasien. 9
Kejang absence (petit mal)
Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung
sangat singkat sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang dijumpai dan
umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja.
Sekitar 15-20% anak-anak menderita kejang tipe. Penderita tiba-tiba
melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai. Kejang
ini kemungkinan tidak disadari oleh orang di sekitarnya. Petit mal
terkadang sulit dibedakan dengan kejang parsial sederhana atau
kompleks, atau bahkan dengan gangguan attention deficit. Selain itu
terdapat jenis kejang atypical absence seizure, yang mempunyai
perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh atipikal mempunyai
jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang, serangan terjadi
tidak dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi diikuti dengan
tanda gejala motorik yang jelas. Kejang ini diperantarai oleh
ketidaknormalan yang menyebar dan multifokal pada struktur otak.
Kadangkala diikuti dengan gejala keterlambatan mental. Kejang tipe
ini kurang efektif dikendalikan dengan antiepilepsi dibandingkan tipe

2)

kejang absence tipikal. 9


Kejang tonik-klonik (grand mal)
Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Fase
awal dari terjadinya kejang biasanya berupa kehilangan kesadaran
disusul dengan gejala motorik secara bilateral, dapat berupa ekstensi
tonik beberapa menit disusul gerakan klonik yang sinkron dari otototot yang berkontraksi, menyebabkan pasien tiba-tiba terjatuh dan
terbaring kaku sekitar 10-30 detik. Beberapa pasien mengalami
pertanda atau aura sebelum kejang. Kebanyakan mengalami

11

kehilangan kesadaran tanpa tanda apapun. Dapat juga terjadi sianosis,


keluar air liur, inkontinensi urin dan atau menggigit lidah. Segera
sesudah kejang berhenti pasien tertidur. Kejang ini biasanya terjadi
3)

sekitar 2-3 menit. 9


Kejang atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba
mengalami kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien
terjatuh, namun dapat segera pulih kembali. Terkadang terjadi pada
salah satu bagian tubuh, misalnya mengendurnya rahang dan kepala

4)

yang terkulai.
Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat,
bilateral, dan terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot tertentu.
Biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur, pasien mengalami

5)

hentakan yang terjadi secara tiba-tiba.


Simply tonic atau clonic seizures
Kejang kemungkinan terjadi secara tonik atau klonik saja. Pada kejang
tonik, otot berkontraksi dan gangguan kesadaran terjadi sekitar 10
detik, tetapi kejang ini tidak berkembang menjadi klonik atau jerking
phase. Kasus kejang klonik yang jarang ditemukan, terutama terjadi
pada anak-anak, yang mengalami spasme otot tetapi bukan kekakuan
tonik.
b. Kejang yang tak terklasifikasikan
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung
oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang
yang sering terjadi pada neonatus. Hal ini kemungkinan disebabkan
adanya perbedaan fungsi dan hubungan saraf pada sistem saraf pusat
di bayi dan dewasa. 9

12

Gambar 3. Cetusan yang mengenai kedua hemisfer secara bersamaan


G. DIAGNOSIS
a) Anamnesis
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan
kejang atau bukan, dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan
wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata
yang. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk menggambarkan
kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung. Dengan
mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya dapat
memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus ,
dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami pasien. 2,7
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut : 2,7
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder
gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik da malformasi kongenital.
Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja.
Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya ada
kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor
otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak
pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan
yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan

13

aura dimana suatu aura itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial
sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian aura dapat membantu dimana
letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis
dilaporkan adanya dj vu dan atau ada sensasi yang tidak enak di
lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan
gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi
lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan
aura hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika
aura dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya
dicari sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien
tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan
dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah
ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang
terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah
pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata
berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan
automatism pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak
tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol? Serangan kejang
yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan
mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari
lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan
mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan
gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah
tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang
umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah post

14

ictal period Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien
lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap
sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks.
Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut Todds
Paralysis yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia
dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan
berbahasa di hemisfer dominan. Pada Absens khas tidak ada gangguan
disorientasi setelah serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang
tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan
pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu
malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan
minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat,
stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,
drug abuse, reading & eating epilesi. Dengan mengetahui faktor
pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat
membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekuensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat
obat anti kejang .
8. Apakah sejak dari awal ada periode bebas serangan kejang ? Pertanyaan ini
mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti
kejang atau belum ? dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang
digunakan bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan
menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan
setiap jenis serangan kejang secara lengkap.

15

10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan


kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka
ditubuh akibat nserangan kejang ada yang diawali dengan aura tetapi tidak
ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh
akibat serangan kejang atau mungkin tidak ada aura , sehingga dalam hal ini
informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya - upaya untuk mengurangi
bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat
mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum
obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai. 2,7
Riwayat medik dahulu.
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi
yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan
serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat
membantu untuk pengobatan selanjutnya. 2,7
1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses
persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau respiratory
distress?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah
serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam
kompleks 13 %.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis? Atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang
disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat
adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,
perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?

16

8. Apakah ada riwayat stroke?


Riwayat sosial.
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi
dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus
untuk bahan evaluasi. 2,7
1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilesi
mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola
dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan
masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien
tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang
serangan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan
produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu.
Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk
memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan
tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai
kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang
bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko
tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu
agar supaya tidak membahayakan dirinya.
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi
yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran
sebaiknya

tidak

mengemudikan

kendaraan

bermotor. Hal

ini

bisa

membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa Negara


mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang boleh tidaknya
mengemudikan kendaraan bermotor.
4. Apakah pasien menggunakan

kontrasepsi

oral?

Apakah

pasien

merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi


wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik
obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat
menurun efektivitasnya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral,
17

contohnya seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien


yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk
mengurangi risiko terjadinya neural tube defects pada bayinya.
5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko
terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkanminumminuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi dapat
juga menimbulkan eksaserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum
alkohol . 2,7
Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada
sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya
dengan faktor genetic dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai
contohJuvenile myoclonic epilesi (JME), familial neonatal convulsion,
benign rolandic epilesi dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik
disertai kejang demam plus. 2,7
Riwayat alergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu
dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi
hipersensitif. Bila terdapat semacam rash perlu dibedakan apakah ini
terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari
atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? 2,7
Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu
ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari
dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak
efek sampingnya. 2,7
Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.
Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI2,7
b) Pemeriksaan fisik dan neurologi.
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab-sebab terjadinya serangan kejang
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada

18

pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher
untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular
sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh
karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi
penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit
juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus. Juga perlu dilihat
apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh
akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat
terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens
contractures yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka
lama. 2,7
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait , koordinasi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit
neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang,
papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur
di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin
oleh

karena

efek

toksis

dari

obat

anti

epilepsi

seperti

karbamasepin,fenitoin,lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu


serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar mungkin ada
kelainan kromosom, dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus
yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif.
Automatism unilateral kemungkinan bisa menunjukkan kelainan focus di
lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan
kelainan focus kontralateral dilobus temporalis.2,7
c) Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang

yang paling sering dilakukan untuk

menegakkan

diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan sindrom

19

epilepsi. EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi
prognosis pasien. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.9
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam
keadaan istirahat dan pada waktu tidur. Gambaran EEG pasien epilepsi
menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya gelombang tajam (spike), pakuombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.9
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging)
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada
pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan
CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan menggambarkan lesi epileptogenik.
Pencitraan fungsional seperti Single Photon Emission Computerised Tomography
(SPECT), Positron Emission Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan
lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan
jika pencitraan

struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu

menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan.9


Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan
struktural diotak.12
Indikasi CT Scan kepala adalah:
-

Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan
struktural di otak.

Perubahan serangan kejang.

Ada defisit neurologis fokal.

Serangan kejang parsial.

Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.

Untuk persiapan operasi epilepsi.12

20

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan.
Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang
sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini
biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan
axial, irisan coronal dan irisan saggital.12
H. PENATALAKSANAAN
Monoterapi merupakan pilihan dalam terapi epilepsi meskipun laporan
sebelumnya mengindikasikan bahwa politerapi terkadang merupakan standar
dalam perawatan epilesi dan diberikan sebagai terapi inisial. Penggunaan
politerapi menjadi dipertanyakan setelah hasil studi menunjukkan bahwa 50%
sampai 75% pasien yang memulai terapi menggunakan monoterapi memberikan
hasil bahwa kejang terkendali sedikitnya 1 tahun dan monoterapi terbukti lebih
efektif, dapat ditoleransi, dan sedikit kemungkinan untuk terjadinya interaksi jika
dibandingkan dengan politerapi. Namun sekitar 30-40 % pasien tidak mencapai
kontrol kejang dengan obat antiepilepsi tunggal. Dengan munculnya obat-obat
antiepilepsi baru dalam 15 tahun terakhir ini politerapi rasional dipertimbangkan
kembali.
Pengobatan epilepsi yang diberikan pada pasien epilepsi di RSUP Dr. Sardjito
meliputi monoterapi dan politerapi. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk
membandingkan hasil dari politerapi dan monoterapi pada terapi epilesi terhadap
pengendalian kejang (frekuensi kejang dan keadaan bebas kejang) dan kejadian
efek samping obat. Dengan penelitian ini diharapkan mampu memberikan
informasi terhadap pengendalian kejang pada terapi epilepsi baik monoterapi
ataupun politerapi.10
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan
dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya.

21

Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan
pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul
Antikonvulsan Utama
1. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari
2. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari
3. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari
4. Valproate : 30-80 mg/kgBB/hari
Keputusan pemberian pengobatan setelah bangkitan pertama dibagi dalam 3
kategori:
1. Definitely treat (pengobatan perlu dilakukan segera)
Bila terdapat lesi struktural, seperti :
a. Tumor otak
b. AVM
c. Infeksi : seperti abses, ensefalitis herpes
Tanpa lesi struktural :
a. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang

2.

tua)
b. EEG dengan gambaran epileptik yang jelas
c. Riwayat bangkitan simpomatik
d. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP
e. Status epilepstikus pada awitan kejang
Possibly treat (kemungkinan harus dilakukan pengobatan)
Pada bangkitan yang tidak dicetuskan (diprovokasi) atau tanpa disertai
factor resiko diatas.
3. Probably not treat (walaupun pengobatan jangka pendek mungkin
diperlukan)
a. Kecanduan alcohol
b. Ketergantungan obat obatan
c. Bangkitan dengan penyakit

akut

(demam

tinggi,

dehidrasi,

hipoglikemia)
d. Bangkitan segera setelah benturan di kepala
e. Sindroma epilepsi spesifik yang ringan, seperti kejang demam, BECT
f. Bangkitan yang diprovokasi oleh kurang tidur11
I. PROGNOSIS
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat.Prognosis
epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat

22

berhenti minum obat.21 Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi


serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status
neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun
bebas serangan (kejang) dengan terapi.Pada pasien yang telah mengalami remisi 2
tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara
berkala.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko
kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal.Risiko kematian yang
paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat
penyakit kongenital.Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering
disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya
bangkitan epilepsi.
J. Kesimpulan
Epilesi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan gangguan fungsi otak oleh
berbagai etiologi , namum dengan gejala tunggal khas yakni serangan berkala
yang disebabkan lepasnya muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan
dan paroksismal.
Epilesi dapat menyerang segala kelompok usia, Penderita laki-laki lebih
banyak dari pada penderita wanita dan dapat terjadi pada semua umur, insiden
paling tinggi adalah pada masa kanak-kanak.
Pasien epilesi 50% - 70% dapat dicegah dengan obat-obatan, sedangkan 50%
suatu waktu dapat berhenti minum obat, sedangkan serangan epilepsi primer, baik
yang bersifat umum atau lena mempunyai prognosis baik. Epilepsi yang serangan
pertamanya mulai usia 3 tahun atau disertai kelainan neurologik atau retardasi
mental mempunyai prognosis relatif jelek.
K. Saran
1. Perlunya upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit epilepsi itu sendiri dan sikap masyarakat tentang upaya pencegahan
dan penanggulanggan penyakit epilepsi melalui penyuluhan-penyuluhan yang
intensif.

23

2. Bagi masyarakat dan terutama orang tua yang memiliki anak riwayat kejang
dan telah didiagnosis epilesi mengobservasi kejang tersebut dan segera
menghubungi dokter terdekat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Raharjo T, Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Pada Anak Di Bawah Usia 6 Tahun.
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf universitas
Diponegoro.semarang.2007
2. Sunaryo U. Diagnosis Epilepsi. Bagian neurologi Fakultas UKWS rsud dr
moh saleh kota probolinggo. Januari 2007
3. Amalina N. Perbedaan Iq Pada Pasien Epilepsi Lobus Temporal Sebelum
Dan Sesudah Bedah Epilepsi.

Program Pendidikan Sarjana Kedokteran

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012


4. Henry Thomas R., MD. Seizures and Epilepsi: Pathophysiology and
Principles

of

Diagnosis.

Diakses

di

http://ww.w.turner-

white.com/pdf/brm_EPI_V1P1.pdf. pada tanggal 7 Mei 2016


5. Yayan A. Psikosis Pada Penderita Epilepsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Riau. 2009
6. Pal DK. Methodotogic Issues ln Assessing Risk Factors for Epilesi in an
Epidemiologic Study in India. Neurology. 2002; 53(9): 2058 63
7. Harsono. Buku Ajar Neurologis Klinis . Edisi pertama. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press. 2007
8. Vezzani Annamaria, PhD. Epilepsi and Inflammation in the Brain: Overview
and

Pathophysiology.

Diakases

di

http://emedicine.medscape.com/article/1155295-overview pada tanggal 8 Mei


2016
9. Penatalaksanaan Epilepsi. Diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjahmada. Diakses di http.Etd.Repository.Ugm.Ac.Id. pada tanggal 8 Mei
2016.
10. Jurnal manajemen dan pelayanan farmasi.Ikatan Apoteker Indonesia. Volume
3 no 2. Juni 2013

24

11. Duncan

R.

Diagnosis

of

Epilesi

in

Adults,

Diakses

di

http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilesi supplement/E Duncan.pdf.


pada tanggal 8 Mei 2016
12. World Health Organization. Epilesi : Historical Overview. 2008. Fact Sheet.
Diakses di : http://www.who.int/inf-fs/en/fact168.html pada tanggal 8 Mei
2016
13. Bate L, Gardiner M. Moleculer Genetics of Human Epilepsies. 2008 Diakses
di http://www.ermm.cbcu.cam.uk pada tanggal 8 Mei 2016
14. Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap

Kedokteran

Berkelanjutan. Jakarta .FK UI .2007


15. David Y Ko, MD; Chief Editor: Selim R Benbadis, MD. Epilesi And
Seizures Workup.2008.Diakses;http://emedicine.medscape.com/article/118484
6-workup pada tanggal 8 Mei 2016.

25

Anda mungkin juga menyukai