Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT

DARURAT NEUROSENSORI
“MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN KEGAWATAN
EPILPESI”
 
OLEH KELOMPOK 3
 
Ani Liyana P07220222169
Surya Wijaya P07220222158
Tria Novita Sari P07220222191
 LATAR BELAKANG
Otak merupakan organ maha penting dalam tubuh kita, sebab dapat dikatakan segala aktifitas tubuh dikoordinir oleh
organ ini. Anggapan dewasa ini ialah bahwa setelah kelahiran, tidak terjadi lagi penambahan jumlah sel otak. Tidak
adanya regenerasi dari jaringan otak ini merupakan sebab utama mengapa kerusakan dari otak pada umumnya tidak
dapat sembuh sempurna seperti organ-organ lain.
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik yang relative sering terjadi. Epilepsi merupkan suatu gangguan
fungsional kronik dan banyak jenisnya dan ditandai oleh aktivitas serangan yang berulang. Serangan Kejang merupakan
gejala atau manifestasi utama epilepsi dapat diakibatkan kelainan fungsional. Serangan tersebut tidak terlalu lama, tidak
terkontrol serta timbul secara episodik. Serangan ini mengganggu kelangsungan kegiatan yang sedang dikerjakan pasien
pada saat itu. Serangan ini berkaitan dengan pengeluaran implus neuron serebral yang berlebihan dan berlangsung local.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian
epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup.
Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya
telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta
penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi (2004 Epilepsy.com)
 TINJAUAN TEORI

Pengertian
Epilepsi adalah kompleks gejala dari beberapa kelainan fungsi otak yang ditandai dengan terjadinya
kejang secara berulang. Dapat berkaitan dengan kehilangan kesadaran, gerakan yang berlebihan, atau
kehilangan tonus atau gerakan otot, dan gangguan prilaku suasana hati, sensasi dan persepsi (Brunner dan
suddarth, 2000).

 Klasifikasi Epilepsi
 Kejang Parsial Sederhana
 Kejang Parsial Kompleks
 Kejang Umum
 ETIOLOGI
1. Penyebab pada kejang epilepsi Sebagian besar belum diketahui (Idiopatik) Sering terjadi pada:
 Trauma Lahir, Asphyxia Neonatorum
 Cedera Kepala, Infeksi Sistem Syaraf
 Keracunan CO, Intoksikasi Obat/Alcohol
 Demam, Ganguan Metabolik (Hipoglikemia, Hipokalsemia, Hiponatremia)
 Tumor Otak
 Kelainan Pembuluh Darah (Tarwoto, 2007)

2. Acquerit : kerusakan otak, keracunan obat, metabolik, bakteri.


Trauma Lahir
Trauma Kepala (5-50%)
Tumor Otak
Stroke
Cerebral Edema (bekuan darah pada otak)
Hypoxia
3. Penyebab spesifik epilepsi
 Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu
yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol, atau mengalami cidera.
 Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia),
kerusakan karena tindakan.
 Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
 Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.
 Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
 Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak, yaitu encephalitis dan meningitis. Organ-organ dari CNS
(otak dan medulla spinalis) dilapisi oleh tiga lapisan jaringan konektif yang disebut dengan meningen dan
berisikan pia meter, arachnoid, dan durameter. Meningen ini membantu menjaga aliran darah dan cairan
cerebro spinal. Struktur-struktur ini merupakn yang dapat terjadi meningitis, inflamasi meningitis, dan jika
terjadi keparahan maka dapat menjadi encephalitis, dan inflamasi otak.
 Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat
menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
 Kecerendungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan
yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.
 Gangguan mekanisme biologis : abnormalitas dalam otak  yang menyebabkan sejumlah sel-sel syaraf dan
kortex serebral menjadi aktif secara serempak, memancarkan secara tiba-tiba, dan peledakan yang
PATOFISIOLOGI

Mekanisme terjadinya serangan epilepsi ialah :

a. Adanya focus yang bersifat hipersensitif (focus epilesi) dan timbulnya keadaan depolarisasi parsial di
jaringan otak

b. Meningkatnya permeabilitas membran.

c. Meningkatnya senstitif terhadap asetilkolin, L-glutamate dan GABA (gama-amino-butiric-acid)


bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps.
Fokus epilepsi dapat menjalar ke tempat lain dengan lepasnya muatan listrik sehingga terjadi ekstasi,
perubahan medan listrik dan penurunan ambang rangasang yang kemudian menimbulkan letupan listrik
masal. Bila fokus tidak menjalar kesekitarnya atau hanya menjalar sampai jarak tertentu atau tidak melibatkan
seluruh otak, maka akan terjadi bangkitan epilepsi lokal (parsial).
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang
abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang
abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum
maupun yang lokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-
anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia
melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron di serebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla
spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan
tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa
yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya
epilepsi).
Mekanisme yang pasti dari aktivitas kejang pada otak tidak semuanya dapat dipahami.
Beberapa pemicu menyebabkan letupan abnormal mendadak stimulasi listrik,
menganggu konduksi syaraf normal otak. Pada otak yang tidak rentan terhadap
kejang, terdapat keseimbangan antar sinaptik eksitatori dan inhibitori yang
mempengaruhi neuron postsinaptik. Pada otak yang rentan terhadap kejang,
keseimbangan ini mengalami gangguan, menyebabkan pola ketidakseimbangan
konduksi listrik yang disebut perpindahan depolarisasi paroksismal. Perpindahan ini
dapat terlihat baik ketika terdapat pengaruh eksitatori yang berlebihan atau pengaruh
inhibitori yang tidak mencukupi (Hudak dan Gallo, 1996). Ketidakseimbangan
asetilkolin dan GABA. Asetilkolin dalam jumlah yang berlebihan menimbulkan
bangkitan kejang, sedangkan GABA menurunkan eksitabilitas dan menekan timbulnya
kejang.
 TANDA & GEJALA

1. Kejang Parsial Sederhana


Hanya jari atau tangan yang bergetar, atau mulut yang bergergerak tak terkontrol, bicara tidak
dapat dimengerti, mungkin pening, dapat mengalami perubahan penglihatan, suara, bau atau
pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan.
2. Kejang Parsial Kompleks

Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak bertujuan, dapat
mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau peka rangsang yang
berlebihan, tidak mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.

3. Kejang Umum (kejang grand Mal)


Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan perubahan
kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum
4. Kejang berdasarkan sisi otak yang terkena :
Sisi otak yang terkena dan gejalanya :
Lobus frontalis : Kedutan pada otak tertentu
Lobus oksipitalis : Halusinasi kilauan cahaya
Lobus parientalis : Mati suri atau kesemutan di bagian tubuh tertentu
Lobus temporalis : Halunisasi gambaran atau perilaku relaktif yang kompleks
misalnya jalan berputar-putar
Lobus temporalis anterior : Gerakan mengunyah
Lobus temporior anterior sebelah dalam : Halunisasi bau, baik yang menyenangkan
maupun yang tidak menyenangkan
 KOMPLIKASI
1. Dampak pada anak-anak
 Long-Term General Effects
 Effect on Memory and Learning
 Social and Behavioral Consequence
2. Dampak pada dewasa
 Effect on Mental Functioning in Adults
 Psychological Health.
 Overall Health

3. Dampak pada kesehatan seksual dan reproduksi


 Effects on Sexual Function
 Epilepsi pada childhood dapat mengakibatkan gangguan pada pengaturan hormone puberitas.
 Kejang yang persisten pada adult dapat dihubungkan dengan hormonal-hormonal lain dan perubahan neurologi
yang berkontribusi terhada disfungsi seksualitas.
 Emosi negatif yang mengarah pada epilepsi dapat mengurangi perjalanan seksual.
Algoritma tatalaksana Epilepsi (American Epilepsy Society, 2016)

0-5 MENIT •Stabilisasi pasien dengan ABC


•Tandai waktu kejadian bangkitan, monitor vital sign
FASE STABILISASI •Berikan oksigen melalui nasal canul/mask, intubasi jika diperlukan
•Inisiasi pemasangan ECG Apakah kejang Lanjutkan
•Tes glukosa, jika kadar glukosa < 60mg/dl maka yes berlanjut? No perawatan
Dewasa : 100mg thiamine iv kemudian 50 ml D50W iv symtomatis
Anak > 2 thn : 2ml/kg D25W IV
Anak < 2 thn : 4ml/kg D12.5W IV

Benzodiazepin adalah pilihan terapi lini pertama, pilih satu dari 3


5-20 MENIT pilihan lini pertama dengan dosis tertentu
•Im midazolam (10mg untuk >40kg, 5mg untuk 13-40kg, single dose)
FASE TERAPI AWAL
atau
•Iv lorazepam (0.1 mg/kg/dosee, max: 4mg/dose, bias diulang dosis satu
kali, atau Apakah kejang Lanjutkan
•Iv diazepam (0.15-0.2 mg/kg/dose, max : 10mg/dosee, bias diulang sekali yes berlanjut? No perawatan
Jika dari 3 pilihan diatas tidak tersedia, maka symtomatis
•Iv phenobarbital (15 mg/kg/dose, single dose atau
•Rectal diazepam (0.2-0.5 mg/kg, max: 20 mg/dose, single dose atau
•Intranasal midazolam atau buccal midazolam

Pilih salah satu dari pilihan lini kedua dan diberikan dengan dosis
tunggal
20-40 MENIT •Iv fosphenytoin (20 mg PE/kg, max: 1500 mg PE/dose, single dose atau
FASE TERAPI LINI •Iv asam valproate ( 40mg/kg, max:3000 mg/dose, single dose atau Apakah kejang Lanjutkan
•Iv levetiracem (60 mg/kg, max:4500 mg/dose, single dose yes berlanjut? No perawatan
KEDUA symtomatis
Jika salah satu dari pilihan diatas tidak tersedia bisa menggunakan
•Iv phenobarbital (15 mg/kg, single dose

Tidak ada bukti yang jelas mengenai terapi pada fase ini
40-60 MENIT Pilihan terapi: ulangi lini kedua atau dosis anastesi seperti
FASE TERAPI thiopental, midazolam, pentobarbital atau profolol ( semua
KETIGA terapi ditunjang dengan monitoring ECG)
Gaya mekanik pada otak
WOC Epilepsi Obat – obatan (metrazol) Bakteri atau virus
Potensial membran sel saraf berlebihan
menurun

Tumor serebri, gejala sisa Toksik


meningitis, ensefalitis, kontusia Muatan listrik lepas dari
serrebri, trauma lahir Infeksi pada otak dan
sel saraf selaputnya

KEJANG Kejang motorik


Asitilkolin tertimbun di Inflamasi
permukaan otak Resti cedera
Hiperaktifitas neuron Spasme otot
pernafasan
Pelepasan mediator kimia
prostagladin
Adanya sikatrik pada
permukaan otak Reflek menelan hilang P Pengeluarn energi Penumpukan sekret
listrik
Suhu tubuh m
Regurgirasi aspirasi Obstruksi jalan nafas
Kebutuhan energi m
Menekan otak

Hipoventilasi Gelisah
Obstruksi jalan nafas Metabolisme m
Rusak suatu area dari PC O2 , PO2
jaringan otak Hipoventilasi Pengeluaran energi
listrik oleh sel – sel Resti cidera
saraf motorik dapat m Ph
Hipoxia jaringan sampai 1000/dt
Asidosis respiratorik
Pola nafas tidak efektif Hipoxia jaringan otak Aliran darah serebrat
m
Ggn. Asam basa
P TIK
Ggn. Perfusi cerebri

Gangguan kesadaran
Ggn. Persepsi sensori
 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. (D.0001) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d benda asing dalam jalan nafas
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan bersihan jalan nafas meningkat dengan KH :
1. Batuk efektif meningkat
2. Dyspnea menurun
3. Sianosis menurun
4. Frekuensi nafas membaik
5. Pola nafas membaik

Intervensi :

 Monitor pola nafas


 Monitor bunyi nafas tambahanMonitor SpO2
 Lakukan penghisapan mulut dan orofaring
 Berikan Oksigen 100%
2. (D.0005) Pola napas tidak efektif b.d gangguan neurologis (gangguan kejang, EEG positif)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola nafas membaik, dengan KH :

 Dyspnea menurun
 Penggunaan otot bantu nafas menurun
 Pernafasan cuping hidung menurun
 Frekuensi nafas membaik
 Kedalaman nafas membaik
Intervensi

 Monitor pola nafas


 Auskultasi suara nafas
 Monitor saturasi oksigen
 Pertahankan kepatenan jalan napas
 Dokumentasikan hasil pemantauan
 Berikan oksigen, jika perlu
3. (D.0017) Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d penurunan suplai oksigen ke otak

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan perfusi serebral meningkat, dengan KH :

 Tingkat kesadaran meningkat


 Kognitif meningkat
 Gelisah menurun
 Demam menurun
 Tekanan darah membaik
Intervensi :

 Identifikasi penyebab peningkatan TIK


 Monitor tekanan darah
 Monitor frekuensi jantung
 Monitor penurunan tingkat kesadaran
 Pertahankan posisi kepala dan leher netral
 Pertahankan suhu tubuh normal
 Cegah terjadinya kejang
 Berikan posisi semi fowler
 Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
4. (D.0136) Resiko cedera
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tingkat cedera menurun, dengan KH :

 Kejadian cidera menurun


 Ketegangan otot menurun
 Gangguan kognitif menurun
 Tekanan darah membaik
 Frekuensi nafas membaik
 Frekuensi nadi membaik
 Toleransi aktivitas meningkat
Intervensi :

 Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis. Kondisi fisik, fungsi kognitif, dan riwayat perilaku)
 Monitor peruahan status keselamatan lingkungan
 Modifikasi lingkungan untuk meniminalkan bahaya dan resik
 Gunakan perangkat pelindung (mis. Pagar bed)
STANDAR OPERASIONAL
PROSEDUR

Prosedur/Langkah-Langkah
Petugas yang melaksanakan: Dokter umum,
Petugas menyiapkan alat dan bahan Perawat umum
1) Alat

a. Tensi meter

b. Stetoskop

c. Pulse oksimeter

d. Lampu senter/ penlight

e. Thermometer

2) Bahan

f. Buku status pasien

g. Lembaran resep

h. Form rujukan
LANGKAH-LANGKAH

a. Petugas melakukan pengukuran tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dan suhu tubuh kemudian mencatat dalam buku status pasien
b. Petugas melakukan anamnesis terhadap pasien (autoanamnesis) dan keluarga/care giver pasien untuk memastikan apakah bangkitan yang dimaksud adalah
bangkitan epilepsi;
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:

Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal merupakan bangkitan epilepsi

a) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan (Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal

b) Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi
penyebab

c) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan

d) Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis, kadar OAE, kombinasi terapi)

e) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

f) Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikiatrik atau sistemik

g) Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan bayi/anak

h) Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam

i) Riwayat trauma kepala, infeksi SSP


Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukan bangkitan tersebut bangkitan yang mana (klasifikasi
ILAE 1981)
Langkah ketiga: menentukan etiologi sindrom epilepsi atau penyakit epilepsi apa yang diterita pasien dilakukan dengan
memperhatikan klasifikasi ILAE 1981. Langkah ini penting untuk menentukan prognosis dan respon terhadap OAE

c. Petugas melakukan pemeriksaan, berupa:

1. Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang, defisit neurologis fokal

2. Pemeriksaan neurologis

Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat tergantung dari interval antara dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir Jika
dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan tampak tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti todds paresis, trans
aphasic syndrome yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi dan Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu,
sasaran utama adalah menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi sistem saraf permanen (epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang apakah ada
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
d. Petugas melakukan pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium darah rutin untuk menentukan penyebab kejang yang kemungkinan berasal dari infeksi

e. Petugas melakukan analisa diagnosis terhadap pasien

Petugas melakukan analisa diagnosis terhadap hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dan neurologis

f. Petugas memberikan tatalaksana kepada pasien

untuk penanganan awal pasien harus dirujuk ke dokter spesialis saraf.

1. Terapi dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi

2. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping

3. Bila ada penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, maka dapat dirujuk kembali untuk mendapatkan penambahan
OAE kedua.

4. Penambahan OAE ketiga dilakukan di layanan sekunder atau tersier

5. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhannya tinggi hal ini dapat dilakukan
di pelayanan kesehatan sekunder

6. Efek samping perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi fakmakokinetik antar OAE

7. Keputusan untuk menghentikan OAE dilakukan pada tingakat pelayanan sekunder/tersier


g. Petugas melakukan konseling dan edukasi

1. Penting untuk memberi informasi kepada keluarga bahwa penyakit ini tidak menular

2. Kontrol pengobatan merupakan hal penting bagi penderita

3. Pendampingan terhadap pasien epilepsi utamanya anak-anak perlu perndampingan sehingga


lingjyngan dapat menerima dengan baik

4. Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan vaik

h. Petugas melakukan rujukan sesuai kriteria rujukan

Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder yang memiliki dokter
spesialis saraf
 PENELITIAN JURNAL

Pengaruh Riwayat Kejang Demam terhadap Kejadian Epilepsi pada Anak

(Effect of History of Febrile Seizures on Epilepsy Incidence in Children)

• Abstrak: Epilepsi dapat menyebabkan berbagai macam permasalahan berupa kesulitan dalam
belajar, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, serta kualitas hidup yang kurang pada anak dimasa depan. Terdapat beberapa faktor risiko kejang demam yang
berperan terhadap terjadinya epilepsi, di antaranya: kelainan pada sistem saraf atau adanya perkembangan kelainan yang jelas sebelum kejang, kejang demam
kompleks, riwayat epilepsi pada orang tua atau suadara kandung, dan kejang demam sederhana yang berulang empat episode atau lebih dalam satu tahun. Masing-
masing faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi dan kombinasi factor risiko tersebut akan meningkatkan kejadian epilepsi.

• Tujuan: untuk mengetahui pengaruh riwayat kejang demam terhadap kejadian epilepsi pada anak.

• Metode: Penelitian ini berbentuk literature review, menggunakan tiga database yaitu Pubmed, ClinicalKey, dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan yaitu
febrile seizure AND epilepsy AND children. Hasil seleksi dengan kriteria inklusi dan eksklusi mendapatkan 10 literatur.

• Hasil: penelitian menunjukkan bahwa dari sepuluh jurnal yang di-review, didapatkan riwayat kejang demam menjadi salah satu faktor risiko yang memiliki pengaruh
untuk berkembang menjadi epilepsi di kemudian hari.

• Kesimpulan: penelitian ini ialah riwayat kejang demam merupakan faktor risiko terbanyak untuk berkembang menjadi epilepsi pada anak di kemudian hari.
Persentase anak dengan riwayat kejang demam yang berkembang menjadi epilepsi berkisar antara 3,3% - 73,8%

• Penjelasan Alasan Pemilihan Artikel

Artikel yang berjudul “Effect of History of Febrile Seizures on Epilepsy Incidence in Children” ini ditulis oleh Marshen Budiman, Praevilia M. Salendu, Johnny L.
Rompis pada “ The Journal Of e-CliniC”. Edisi bulan Januari-April 2023. Tahun terbit 08-12-2022 (Beberapa bulan lalu).

Artikel ini menjawab pertanyaan klinis yang di inginkan peneliti untuk membuat tugas laporan ‘Evidence Based Nursing” pada mata ajar Keperawatan Gawat Darurat
Neurosensorik, yang membahas tentang penyakit sistem persarafan dan salah satu penanganan atau intervensi mandiri dalam mengatasi kegawatan pasien dengan
Riwayat kejang demam terhadap kejadian epilepsi.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai