Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT NEUROSENSORI

“Manajemen asuhan keperawatan pada klien dengan kegawatan epilepsi”

Disusun oleh :
KELOMPOK 3

Dosen Pembimbing :
Ns. Frana Andrianur, S. Kep., M. Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHAP SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
2023

1
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT NEUROSENSORI
“Manajemen asuhan keperawatan pada klien dengan kegawatan epilepsi”

Disusun oleh :
Oleh Kelompok 2:

1. Ani Liyana (PO7220222169)


2. Surya Wijaya (PO7220222158)
3. Tria Novita Sari (PO7220222191)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHAP SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
2023

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya jualah, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah ini dengan judul
Konsep Dasar Sistem (Persarafan) Kegawatan Epilepsi “Manajemen asuhan keperawatan pada
klien dengan kegawatan epilepsy”.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan tugas mata ajar “Keperawatan Gawat Darurat”.

Dalam penyusunan Makalah ini, Kami kadang menemui kesulitan dan hambatan, namun
berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga penulisan Makalah ini dapat
diselesaikan.
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna dan mungkin masih
terdapat banyak kesalahan, baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh karena itu Kami
sangat mengharapkan sekali adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca
untuk kesempurnaan Makalah di masa yang akan datang. Akhirnya Kami mengharapkan semoga
apa yang Kami tuangkan dalam Makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan sejawat, khususnya
penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

Bontang, 10 maret 2023

Kelompok 3

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................
Kata Pengantar.......................................................................................................
Daftar Isi.................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang...........................................................................................
I.2 Rumusan Masalah…………………………………………………….......
I.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................
I.3.1Tujuan Umum ....................................................................................
I.3.2Tujuan Khusus....................................................................................
I.4 Manfaat.......................................................................................................
BAB 2 TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar
2.1.1 Pengertian….......................................................................................
2.1.2 Etiologi...............................................................................................
2.1.3 Patofisiologi.......................................................................................
2.1.4 Tanda dan Gejala...............................................................................
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik....................................................................
2.1.6 Komplikasi.........................................................................................
2.1.7 Penatalaksanaan.................................................................................
2.1.8 Algoritme penanganan.......................................................................
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Algoritme keperawatan Pendekatan Web of Caution (WOC)...........
2.2.2 Pengkajian (primary dan secondary survey).....................................
2.2.3 Dx. Keperawatan...............................................................................
2.2.4 Intervensi Keperawatan.....................................................................
2.2.5 Penelitian Journal..............................................................................
BAB 3 PENUTUP
3.1 Simpulan............................................................................................
3.2 Saran...................................................................................................
Daftar Pustaka............................................................................................................
Lampiran-lampiran....................................................................................................

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otak merupakan organ maha penting dalam tubuh kita, sebab dapat dikatakan segala
aktifitas tubuh dikoordinir oleh organ ini. Anggapan dewasa ini ialah bahwa setelah
kelahiran, tidak terjadi lagi penambahan jumlah sel otak. Tidak adanya regenerasi dari
jaringan otak ini merupakan sebab utama mengapa kerusakan dari otak pada umumnya
tidak dapat sembuh sempurna seperti organ-organ lain. Berbagai keadaan/penyakit dapat
menimbulkan berbagai gangguan fungsi otak yang dapat menyerang baik bagian sensorik,
motorik maupun pusat-pusat vital dengan akibat kematian.
Bangkitan kejang merupakan satu manifestasi daripada lepasnya muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron saraf pusat. Keadaan ini merupakan gejala terganggunya fungsi
otak. Gangguan ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologi, biokimiawi, anatomis atau
gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelaian yang dapat menganggu fungsi
otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. Dengan demikian dapatlah
dipahami bahwa bangkitan kejang dapat disebabkan oleh banyak macam penyakit atau
kelainan diantaranya adalah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, perdarahn otak,
gangguan perdarahan otak, hipoksia, tumor otak dan sebagainya.
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik yang relative sering terjadi. Epilepsi
merupkan suatu gangguan fungsional kronik dan banyak jenisnya dan ditandai oleh
aktivitas serangan yang berulang. Serangan Kejang merupakan gejala atau manifestasi
utama epilepsi dapat diakibatkan kelainan fungsional. Serangan tersebut tidak terlalu lama,
tidak terkontrol serta timbul secara episodik. Serangan ini mengganggu kelangsungan
kegiatan yang sedang dikerjakan pasien pada saat itu. Serangan ini berkaitan dengan
pengeluaran implus neuron serebral yang berlebihan dan berlangsung lokal.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna
narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin
mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan
terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari narkotik. Di Inggris, satu orang diantara
131 orang mengidap epilepsi.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang
baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu
1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara
100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya
telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization
(WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi (2004 Epilepsy.com)

1.2 Rumusan Masalah


a. Apakah pengertian dari epilepsi
b. Apakah etiologi terjadinya Epilepsi?
c. Bagaimana patofisiologi terjadinya Epilepsi?
d. Apa saja tanda dan gejala epilepsy?

5
e. Apa saja pemeriksaan diagnostic epilepsi ?
f. Apa saja komplikasi penyakit epilepsi ?
g. Bagaimana penatalaksanaan penyakit epilepsi ?
h. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan penyakit Epilepsi?
i. Bagaimana algoritma keperawatan penanganan epilepsy?
j. Berikan contoh penelitian jurnal terkait epilepsy ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan gangguan
sistem persyarapan epilepsia.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian dari epilepsi
b. Mengetahui etiologi terjadi epilepsi
c. Mengetahui patofisiologi terjadinya epilepsi
d. Mengetahui tanda dan gejala epilepsi
e. Mengetahui pemeriksaan diagnostic yang digunakan untuk pasien epilepsi
f. Mengetahui komplikasi dari penyakit epilepsi
g. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pasien epilepsi
h. Mengetahui algoritma keperawatan penanganan epilepsi
i. Mengetahui salah satu contoh jurnal terkait epilepsi

1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan oleh penulis adalah penulis lebih memahami proses
terjadinya epilepsi penyebab, klasifikasi, tanda gejala sampai Tindakan yang tepat sesuai
dengan keadaan klien dan rasional sesuai dengan fakta yang ada. Selain itu diharapkan
dengan adanya makalah ini dapat membantu sbb :
a. Bagi perawat dan tenaga medis
Makalah ini bisa sebagai acuan dalam melakukan peraktek pada rumah sakit supaya
hasilnya sesuai dengan harapan.
b. Bagi mahasiswa
Dengan adanya makalah ini dapat digunakan sebagai pembanding oleh mahasisiwa
kesehatan dalam pembuatan tugas.

6
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar
2.1.1 Pengertian
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan
di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan
involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai
gangguan fisik.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai gejala klinis,
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan
berkala tetapi reversible dengan berbagai etiologi (Tjahjadi, dkk, 1996). Pengkajian
kondisi/kesan umum
Epilepsi adalah kompleks gejala dari beberapa kelainan fungsi otak yang ditandai
dengan terjadinya kejang secara berulang. Dapat berkaitan dengan kehilangan kesadaran,
gerakan yang berlebihan, atau kehilangan tonus atau gerakan otot, dan gangguan prilaku
suasana hati, sensasi dan persepsi (Brunner dan suddarth, 2000).
Kejang adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan
suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang besifat sementara. Istilah
epilepsi biasanya merupakan suatu kelaianan yang bersifat kronik yang timbul sebagai
suatu bentuk kejang berulang (Hudak dan Gallo, 1996).

KLASIFIKASI EPILEPSI
Kejang berkisar dari melotot bengong sampai gerakan konvulsif yang berkepanjangan
dengan disertai kehilangan kesadaran. Kejang diklasifikasikan sebagai parsial, umum, dan
tak tergolongkan sesuai dengan area otak yang terkena. Aura, yang merupakan sensasi
pertanda atau premonitory, terjadi sebelum kejang (mis. Melihat kilatan cahaya,
mendengarkan suara-suara).
a. Kejang Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut bergerenyut tak terkontrol, bicara tak
dapat dimengerti, mungkin pening, dapat mengalami penglihatan, suara, bau, atau kecap
yang tak lazim atau tak menyenangkan. Semua tanpa terjadi kehilangan kesadaran.
b. Kejang Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak
bertujuan terhadap waktu dan tempat, dapat mengalami emosi rasa ketakutan, marah,
kegirangan, atau peka rangsang yang berlebihan, tidak mengingat peeriode tersebut
ketika sudah berlalu.
c. Kejang Umum (kejang Grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan
perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum).
1) Kontaksi diafragma dan dada simultan menyebabkan karateristik tangis epilektik.
2) Lidah tergigit, inkontinen urine dan fecces.
3) Gerakan konvulsif berlangsung 1 atau 2 menit.

7
4) Relaks dan berbaring dalam koma yang dalam, napas bising.

Kejang Umum terdiri dari :


1) Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
2) Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
3) Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada
wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini
juga terjadi pada anak
4) Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang
kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat
lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
5) Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.
6) Status Postiktal
Setelah kejang, pasien sering bingung dan sulit untuk bangun, mungkin tidur selama
berjam-jam. Banyak yang mengeluhkan sakit kepala dan nyeri otot.

Menurut Commision of Classification and Terminonology of the international league


againa Epilepsy (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai berikut:
1) Sawan parsial (fokal, lokal)
a) Sawan parsial sederhana; sawan parsial dengan kesadran tetap normal
 Dengan gejala motorik
 Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
 Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagiab tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga dengan epilepsi Jackson
 Versif: sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh

8
 Postural: sawan disertai gerakan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
 Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
 Dengan gejala somatosensoris atau sensoris parsial; sawan disertai halusinasi
sederhana yang mengenai kelima panca indra dan bangkitan yang disertai
vertigo
 Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau rasa seperti ditusuk-tusuk
jarum
 Visual: terlihat cahaya
 Audiotoris: terdengar sesuatu
 Olfaktoris: terhidu sesuatu
 Gustatoris: terkecap sesuatu
 Disertai vertigo
 Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)
 Dengan gejal psikis ( gangguan fungsi luhur)
 Disfasia: gangguan bicara misalnya mengulang sesuatu suku kata atau
bagian kalimat.
 Dimnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah mengalami
mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak mengingat
sesuatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
 Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah
 Afektif: merasa sangat senang, susah, marah takut
 Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak seperti kecil atau lebih
besar
 Halusinasi kompleks ( berstruktur ): mendengar ada yang bicara, musik,
melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain – lain
b) Sawan parsial kompleks(disertai gangguan kesadaran)
 Serangan parsial sederhana diikuti gangguan sederhana: kesadaran mula –
muka baik kemudian baru menurun
 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala – gejala seperti golongan
A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran
 Dengan automatisme. Automarisme yaitu: gerakan – gerakan, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah, menelan,
wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu,
memegang kancing baju, berjalan,dll.
 Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak mulai
serangan
 Hanya dengan penurunan kesadaran

9
 Dengan automatisme
c) Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-
klonik,tonik,klonik)
 Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum
 Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum
 Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum
2) Sawan umum (konvulsif atau nonkonvulsif)
a) Sawan lena (Abvance)
 Hanya penurunan kesadaran
 Dengan komponen klonik ringan
 Dengan komponen atonik
 Dengan komponen tonik
 Dengan automatisme
 Dengan komponen autonom Lena tak khas, dapat disertai dengan, gangguan
tonus yang lebih jelas, permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak
b) Sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot-otot, sekali atau berulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
c) Sawan klonik, pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang
kelojot. Dijumpai terutama sekali pada anak.
d) Sawan tonik, pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku, juga terdapat pada anak.
e) Sawan tonik-klonik
f) Sawan atonik, pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar.
Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.

2.1.2 ETIOLOGI
a. Penyebab pada kejang epilepsi Sebagian besar belum diketahui (Idiopatik) Sering
terjadi pada:
1) Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2) Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3) Keracunan CO, intoksikasi obat/alcohol
4) Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5) Tumor Otak
6) kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007)
b. Acquerit : kerusakan otak, keracunan obat, metabolik, bakteri.
1) Trauma Lahir
2) Trauma Kepala (5-50%)
3) Tumor Otak
4) Stroke

10
5) Cerebral Edema (bekuan darah pada otak)
6) Hypoxia
7) Keracunan
8) Gangguan Metabolik
9) Infeksi (Meningitis)

c. Penyebab spesifik epilepsi :


1) Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi,
minum alkohol, atau mengalami cidera.
2) Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke
otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3) Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4) Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-
anak.
5) Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6) Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak, yaitu encephalitis dan meningitis.
Organ-organ dari CNS (otak dan medulla spinalis) dilapisi oleh tiga lapisan jaringan
konektif yang disebut dengan meningen dan berisikan pia meter, arachnoid, dan
durameter. Meningen ini membantu menjaga aliran darah dan cairan cerebro spinal.
Struktur-struktur ini merupakn yang dapat terjadi meningitis, inflamasi meningitis,
dan jika terjadi keparahan maka dapat menjadi encephalitis, dan inflamasi otak.
7) Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8) Kecerendungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.
9) Gangguan mekanisme biologis : abnormalitas dalam otak  yang menyebabkan
sejumlah sel-sel syaraf dan kortex serebral menjadi aktif secara serempak,
memancarkan secara tiba-tiba, dan peledakan yang berlebihan dari energy elektrikal.
Hal ini meliputi kerja dari kanal-kanal ion dan neurotransmitter (Gamma
aminobutyric acid (GABA), Serotonin, Acetylcholine  ).

2.1.3 Patofisologi
Mekanisme terjadinya serangan epilepsi ialah :
a. Adanya focus yang bersifat hipersensitif (focus epilesi) dan timbulnya keadaan
depolarisasi parsial di jaringan otak
b. Meningkatnya permeabilitas membran.
c. Meningkatnya senstitif terhadap asetilkolin, L-glutamate dan GABA (gama-amino-
butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps.
Fokus epilepsi dapat menjalar ke tempat lain dengan lepasnya muatan listrik sehingga
terjadi ekstasi, perubahan medan listrik dan penurunan ambang rangasang yang kemudian
menimbulkan letupan listrik masal. Bila fokus tidak menjalar kesekitarnya atau hanya

11
menjalar sampai jarak tertentu atau tidak melibatkan seluruh otak, maka akan terjadi
bangkitan epilepsi lokal (parsial).
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari
sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan
hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus
epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang lokal (parsial).
Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis
dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi
klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron di serebellum di bagian
bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan
listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan
bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang
mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan
(mekanisme terjadinya epilepsi).
Mekanisme yang pasti dari aktivitas kejang pada otak tidak semuanya dapat
dipahami. Beberapa pemicu menyebabkan letupan abnormal mendadak stimulasi listrik,
menganggu konduksi syaraf normal otak. Pada otak yang tidak rentan terhadap kejang,
terdapat keseimbangan antar sinaptik eksitatori dan inhibitori yang mempengaruhi neuron
postsinaptik. Pada otak yang rentan terhadap kejang, keseimbangan ini mengalami
gangguan, menyebabkan pola ketidakseimbangan konduksi listrik yang disebut
perpindahan depolarisasi paroksismal. Perpindahan ini dapat terlihat baik ketika terdapat
pengaruh eksitatori yang berlebihan atau pengaruh inhibitori yang tidak mencukupi (Hudak
dan Gallo, 1996). Ketidakseimbangan asetilkolin dan GABA. Asetilkolin dalam jumlah
yang berlebihan menimbulkan bangkitan kejang, sedangkan GABA menurunkan
eksitabilitas dan menekan timbulnya kejang.
Patofiologi Epilepsi

12
2.1.4 Tanda Dan Gejala
a. Kejang Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar, atau mulut yang bergergerak tak terkontrol, bicara
tidak dapat dimengerti, mungkin pening, dapat mengalami perubahan penglihatan,
suara, bau atau pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan.
b. Kejang Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak
bertujuan, dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau peka
rangsang yang berlebihan, tidak mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.
c. Kejang Umum (kejang grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan
perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum)
d. Kejang berdasarkan sisi otak yang terkena :
Sisi otak yang terkena dan gejalanya :
1. Lobus frontalis : kedutan pada otak tertentu
2. Lobus oksipitalis : Halusinasi kilauan cahaya
3. Lobus parientalis : Mati suri atau kesemutan di bagian tubuh tertentu
4. Lobus temporalis : Halunisasi gambaran atau perilaku relaktif yang kompleks
misalnya jalan berputar – putar
5. Lobus temporalis anterior: Gerakan mengunyah
6. Lobus temporior anterior sebelah dalam : Halunisasi bau, baik yang
menyenangkan

13
maupun yang tidak menyenangkan

2.1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Elektroensefalogram (EEG) Digunakan  untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan. EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang
baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang
menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya
atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di
masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang
abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap
risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
b. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain:
1) CT Scan
Digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler
abnormal, gangguan degeneratif serebral. Merupakan tes gambaran otak pertama
yang dianjurkan untuk banyak anak dan dewasa dengan kejang awal. Teknik
gambaran ini cukup sensitive untuk berbagai tujuan.
Teknik penggambaran yang lebih sensitive dibandingkan dengan x-ray,
mengikuti makna yang tinggi  terhadap struktur tulang dan jaringan-jaringan yang
lunak,clear images dari orga-organ seperti otak, otot, struktur join, vena, dan arteri.
2) MRI (magnetic resonance imaging) kepala.
Digunakan untuk melihat ada tidaknya neuropati fokal. MRI lebih disukai
karena dapat mendeteksi lesi kecil (misalnya lesi kecil, malformasi pembuluh, atau
jaringan parut) di lobus temporalis. Gambaran dari MRI dapat digunakan untuk
persiapan pembedahan.
Kedua pemeriksaan tersebut tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru
terjadi untuk pertama kalinya.
c. Kimia darah : hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
d. Pungsi Lumbar. Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang
ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan
sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

2.1.6 Komplikasi
a. Dampak pada anak-anak

14
1) Long-Term General Effects. Secara umum untuk efek jangka lama dari kejang sangat
bergantung pada penyebabnya.  Anak-anak yang mengalami epoilepsi akan
berdampak terhadap kondisi yang spesifik (contohnya injuri kepala dan gangguan
syaraf) mempunyai mortalitas lebih tinggi dari pada populsi normal.
2) Effect on Memory and Learning. Secara umum anak-anak yang mengalami kejang
akan lebih berdampak pada perluasan gangguan otak dan akan terjadi keburukan.
Anak dengan kejang yag tidak terkontrol merupakan faktor resiko terjadinya
kemunduran intelektual.
3) Social and Behavioral Consequences. Gangguan pengetahuan dan bahasa, dan emosi
serta gangguan tingkahlaku, terjadi pada sejumlah anak dengan beberapa sindrom
epilepsy parsial. Anak-anak tersebut biasanya berpenapilan denagn sikap yang burk
dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
b. Dampak pada dewasa
1) Effect on Mental Functioning in Adults. Dampak dari epilepsi dewasa adalah pada
fungsi mental yang tidak benar.
2) Psychological Health.  Kira-kira 25-75% orang dewasa dengan epilepsi menunjukan
tanda-tanda depresi. Orang dengan epilepsi mempunyai resiko tinggi untuk bunuh
diri, setelah 6 bulan didiagnosa. Resiko bunuh diri terbesar diantara orang-orang
yang terkena epilepsy dan mengarah pada kondisi psikiatrik seperti depresi,
gangguan ansietas, skizoprenia, dan penggunaan alcohol kronik.
3) Overall Health. Beberapa pasien dengan epilepsi menggambarkan dirinya dengan
wajar atau buruk, orang dengan epilepsi juga melaporkan ambang nyeri yang lebih
besar, depresi dan ansietas, serta gangguan tidur. Faktanya kesehatan mereka dapat
disamakan dengan orang dengan penyakit kronik, meliputi arthritis, masalah jantung,
diabetes, dan kanker.
c. Dampak pada kesehatan seksual dan reproduksi
1) Effects on Sexual Function. Pasien dengan epilepsi akan mengalami gangguan
sexual, meliputi impotensi pada laki-laki. Penyebab-penybab dari masalah-masalah
tersebut kemungkinan emosi, indusi medikasi, atau menghasilkan perubahan pada
tingkat hormone.
2) Epilepsi pada childhood dapat mengakibatkan gangguan pada pengaturan hormone
puberitas.
3) Kejang yang persisten pada adult dapat dihubungkan dengan hormonal-hormonal
lain dan perubahan neurologi yang berkontribusi terhada disfungsi seksualitas.
4) Emosi negatif yang mengarah pada epilepsi dapat mengurangi perjalanan seksual.

2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksaan epilepsi direncanakan sesuai dengan program jangka panjang dan dibuat
untuk memenuhi kebutuhan khusus masing-masing klien.
Tujuan dari pengobatan adalah untuk menghentikan kejang sesegera mungkin, untuk
menjamin oksigenasi serebral yang adekuat, dan untuk mempertahankan klien dalam status
bebas kejang.

15
Pengobatan Farmakologis :
a) Pengobatan biasanya dimulai dengan dosis tunggal.
b) Pengobatan anti konvulsan utama termasuk karbamazepin, primidon, fenitoin,
fenobarbital, etosuksimidin, dan valproate.
c) Lakukan pemeriksaan fisik secara periodik dan pemeriksaan laboratorium untuk klien
yang mendapatkan obat yang diketahui mempunyai efek samping toksik.
d) Cegah terjadinya hiperplasi gingival dengan hygiene oral yang menyeluruh, perawatan
gigi teratur, dan masase gusi teratur untuk klien yang mendapatkan fenitoin (Dilantin).

Pembedahan
a) Diindikasikan bila epilepsi diakibatkan oleh tumor intrakranial, abses, kista, atau
anomali vaskuler.
b) Pengangkatan secara pembedahan pada fokus epileptogenik dilakukan untuk kejang
yang berasal dari area otak yang terkelilingi dengan baik yang dapat dieksisi tanpa
menghasilkan kelainan neurologis yang signifikan.

Penatalaksanaan status epileptikus


a)   Lima menit pertama
Ø  Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan berikutnya.
Ø  Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan nafas,
intubasi bila perlu bantuan ventilasi.
Ø  Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
Ø  Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia darah,
hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
b)  Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolas
intravena
(pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena.
c)   Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit sampai
maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat diulangi lagi.
Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
d)   Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan 1
mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama pemberian.
e)   Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin tambahan 5
mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital
intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi
(intubasi). Jika status menetap, anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau
propofal.
Perawatan pasien yang mengalami kejang :

16
a)    Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu (pasien
yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu untuk
mengamankan, mencari tempat yang aman dan pribadi.
b)   Pasien di lantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah
cidera dari membentur permukaan yang keras.
c)    Lepaskan pakaian yang ketat.
d)   Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
e)    Jika pasien di tempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
f)    Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi,
untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g)   Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk
memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena
tindakan ini.
h)   Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena kontraksi otot
kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera.
i)     Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi
kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa dan
mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan secret.
j)    Setelah kejang, pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi,
yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang
grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah
kejang. Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan.

2.1.8 Alogaritme Penanganan

17
Algoritma tatalaksana Epilepsi (American Epilepsy Society, 2016)

1. Stabilisasi pasien dengan ABC


2. Tandai waktu kejadian bangkitan, monitor vital sign
0-5 MENIT 3. Berikan oksigen melalui nasal canul/mask, intubasi jika diperlukan
4. Inisiasi pemasangan ECG
FASE STABILISASI 5. Tes glukosa, jika kadar glukosa < 60mg/dl maka
Dewasa : 100mg thiamine iv kemudian 50 ml D50W iv
Anak > 2 thn : 2ml/kg D25W IV
Anak < 2 thn : 4ml/kg D12.5W IV

Lanjutkan
yes Apakah kejang
No perawatan
berlanjut?
symtomatis

Benzodiazepin adalah pilihan terapi lini pertama, pilih satu dari 3 pilihan lini pertama dengan dosis
tertentu

 Im midazolam (10mg untuk >40kg, 5mg untuk 13-40kg, single dose) atau
5-20 MENIT  Iv lorazepam (0.1 mg/kg/dosee, max: 4mg/dose, bias diulang dosis satu kali, atau
 Iv diazepam (0.15-0.2 mg/kg/dose, max : 10mg/dosee, bias diulang sekali
FASE TERAPI AWAL
Jika dari 3 pilihan diatas tidak tersedia, maka

 Iv phenobarbital (15 mg/kg/dose, single dose atau


 Rectal diazepam (0.2-0.5 mg/kg, max: 20 mg/dose, single dose atau
 Intranasal midazolam atau buccal midazolam

Apakah kejang Lanjutkan


yes No perawatan
berlanjut?
symtomatis

Pilih salah satu dari pilihan lini kedua dan diberikan dengan dosis tunggal

 Iv fosphenytoin (20 mg PE/kg, max: 1500 mg PE/dose, single dose atau


20-40 MENIT  Iv asam valproate ( 40mg/kg, max:3000 mg/dose, single dose atau
 Iv levetiracem (60 mg/kg, max:4500 mg/dose, single dose
FASE TERAPI LINI
KEDUA Jika salah satu dari pilihan diatas tidak tersedia bisa menggunakan

 Iv phenobarbital (15 mg/kg, single dose

Lanjutkan
Apakah kejang No
yes perawatan
berlanjut?
symtomatis

Tidak ada bukti yang jelas mengenai terapi pada fase ini

40-60 MENIT Pilihan terapi: ulangi lini kedua atau dosis anastesi seperti thiopental, midazolam,
pentobarbital atau profolol ( semua terapi ditunjang dengan monitoring ECG)
FASE TERAPI KETIGA

18
2.2 ASUHAN KEPERAWATAN
2.2.1 Alogaritme Keperawatan Pendekatan Werb of Caution ( WOC)
Gaya mekanik pada otak Obat – obatan (metrazol)
Bakteri atau virus
WOC Epilepsi berlebihan
Tumor serebri, gejala sisa
Muatan listrik lepas dari sel
meningitis, ensefalitis, kontusia Toksik Infeksi pada otak dan
saraf menurun
serrebri, trauma lahir selaputnya

Potensial membran sel saraf m


Asitilkolin tertimbun di permukaan Inflamasi
otak

KEJANG Kejang motorik


Pelepasan mediator kimia
prostagladin

Adanya sikatrik pada permukaan


otak Suhu tubuh meningkat
Hiperaktifitas neuron Spasme otot pernafasan
Resti cedera
P Pengeluaran energi listrik
Penumpukan sekret
Menekan otak
Obstruksi jalan nafas Gelisah
Kebutuhan energi m
Reflek menelan hilang
Rusak suatu area dari
Hipoventilasi
jaringan otak
Regurgirasi aspirasi Metabolisme m
PC O2 , PO2 Resti cidera
Pengeluaran energi listrik oleh sel -
sel saraf motorik dapat meningkat
Obstruksi jalan nafas sampai 1000/dt Ph

Aliran darah serebrat


Pola nafas tidak efektif Asidosis respiratorik
Hipoventilasi meningkat

Hipoxia jaringan Peningkatan TIK Ggn. Asam basa

Hipoxia jaringan otak Gangguan kesadaran

Ggn. Persepsi sensori

Ggn. Perfusi cerebri

2.2.2 PENGKAJIAN

19
a. Keadaan Umum
Pada kasus epilepsi terjadi pelepasan aliran listrik yang berlebihan disel neuron saraf
pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, sehingga pada pengkajian gawat
darurat kondisi umum klien tergolong sakit berat. 
b. Penggolongan sesuai Triage
Epilepsi merupakan manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron
saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter,
fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom, sehingga dapat menyebabkan
kematian apabila terlambat mendapatkan pertolongan. Oleh karena itu epilepsi termasuk
ke dalam P1 (urgent).

c. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan berbicara
padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon pasien. Bila terjadi
penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
1) Alert (sadar lingkungan)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya karena kondsi
klien tidak sadar.
2) Respon verbal (menjawab pertanyaan)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat atau tim medis
lainnya saat melakukan pengkajian.
3) Tidak berespon (U)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri ketika dicubit
dan ditepuk wajahnya, karena klien tidak sadar.

A. Primery Survey
a. Airway ( jalan nafas ) : Adanya sumbatan jalan nafas sehingga menyebabkan klien
sulit bernafas.
Tindakan yang dilakukan :
1) Semua pakaian ketat dibuka
2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
3) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
5) Observasi TTV setiap 5 menit
Evaluasi :
1) Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
2) Jalan nafas bersih dari sumbatan
3) RR dalam batas normal
4) Suara nafas vesikuler
b. Breathing (pola nafas)

20
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus,
dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien mengalami
apneu, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi meningkat untuk kontraksi otot
skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Tindakan yang dilakukan :
1) Mengatasi kejang secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang
sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila
belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara
intravena.
2) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
1) RR dalam batas normal
2) Tidak terjadi asfiksia
3) Tidak terjadi hipoxia

c. Sirculation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan penurunan tekanan darah, sehingga
terjadi gangguan pertukatan O2 dan CO2 dalam darah yang menyebabkan akral
dingin, sianosis, dan klien biasanya dalam keadaan tidak sadar.
Tindakan yang dilakukan :
1) Semua pakaian ketat dibuka
2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
3) Usahakan agarjalan napas bebas untuk menjamin  kebutuhan oksigen
4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
5) Observasi TTV setiap 5 menit
Evaluasi :
1) Tidak terjadi gangguan peredaran darah
2) Tidak terjadi hipoxia
3) Tidak terjadi kejang
4) RR dalam batas normal

B. Secondary Survey
1) Riwayat pasien
a) S (sign and symptom) : Terjadi kejang yang berulang, klien tidak sadar dengan
lingkungan.
b) A (allergies) : kaji apakah pasien ada riwayat alergi.
c) M (Medication) : kaji riwayat pengobatanya pasien.
d) P (Pentinant past medical histori) : kaji riwayat penyakit dahulu pasien.

21
e) L (Last oral intake solid liquid) : kaji kejadian sebelumnya.
f) E (Event leading to injuri ilmes)
2) TTV
a) Tekanan darah : tekanan darah pada pasien gigitan binatang cenderung mengalami
penurunan dibawah 100/80 mmHg
b) Irama dengan kekuatan nadi meningkat
c) Irama, kedalaman dan penggunaan otot bantu pernapasan : klien dengan epilepsi
mengalami pernapasan yang tidak teratur, akral dingin, terjadi sianosis, apneu.
d) Suhu tubuh klien menurun < 36 ºC, N : 110-120 kali/menit.
Tindakan: rujuk ke fasilitas kesehatan sesuai triage

Evaluasi: evaluasi keadaan umum pasien, pantau keadaan pasien setiap 15 menit
atau sesuai indikasi.

3) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan tonus
otot, gerakan involunter/kontraksi otot, akral dingin, sianosis.
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal terjadi
inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan aktivitas
kejang, kerusakan jaringan lunak

2.2.3 Diagnosa Keperawatan


a. (D.0001) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d benda dalam jalan nafas
b. (D.0005) Pola napas tidak efektif b.d gangguan neurologis
c. (D.0017) Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d penurunan suplai oksigen ke otak
d. (D.0136) Resiko cedera

2.2.4 Intervensi Keperawatan

a. (D.0001) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d benda asing dalam jalan
nafas
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
bersihan jalan nafas meningkat dengan KH :
1. Batuk efektif meningkat
2. Dyspnea menurun
22
3. Sianosis menurun
4. Frekuensi nafas membaik
5. Pola nafas membaik
Intervensi :

1. Monitor pola nafas


2. Monitor bunyi nafas tambahan
3. Monitor SpO2
4. Lakukan penghisapan mulut dan orofaring
5. Berikan Oksigen 100%

b. (D.0005) Pola napas tidak efektif b.d gangguan neurologis (gangguan


kejang, EEG positif)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola
nafas membaik, dengan KH :
1. Dyspnea menurun
2. Penggunaan otot bantu nafas menurun
3. Pernafasan cuping hidung menurun
4. Frekuensi nafas membaik
5. Kedalaman nafas membaik
Intervensi

1. Monitor pola nafas


2. Auskultasi suara nafas
3. Monitor saturasi oksigen
4. Pertahankan kepatenan jalan napas
5. Dokumentasikan hasil pemantauan
6. Berikan oksigen, jika perlu

c. (D.0017) Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d penurunan suplai


oksigen ke otak
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan perfusi
serebral meningkat, dengan KH :
1. Tingkat kesadaran meningkat
2. Kognitif meningkat
3. Gelisah menurun
4. Demam menurun
5. Tekanan darah membaik
Intervensi :

1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK


2. Monitor tekanan darah
3. Monitor frekuensi jantung
4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
23
5. Pertahankan posisi kepala dan leher netral
6. Pertahankan suhu tubuh normal
7. Cegah terjadinya kejang
8. Berikan posisi semi fowler
9. Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang

d. (D.0136) Resiko cedera


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tingkat
cedera menurun, dengan KH :
1. Kejadian cidera menurun
2. Ketegangan otot menurun
3. Gangguan kognitif menurun
4. Tekanan darah membaik
5. Frekuensi nafas membaik
6. Frekuensi nadi membaik
7. Toleransi aktivitas meningkat
Intervensi :

1. Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis. Kondisi fisik, fungsi kognitif, dan


riwayat perilaku)
2. Monitor peruahan status keselamatan lingkungan
3. Modifikasi lingkungan untuk meniminalkan bahaya dan resiko
4. Gunakan perangkat pelindung (mis. Pagar bed)

2.2.5 Penelitian Jurnal

Pengaruh Riwayat Kejang Demam terhadap Kejadian Epilepsi pada Anak

(Effect of History of Febrile Seizures on Epilepsy Incidence in Children)

Abstrak: Epilepsi dapat menyebabkan berbagai macam permasalahan berupa kesulitan dalam
belajar, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, serta kualitas hidup yang kurang pada anak
dimasa depan. Terdapat beberapa faktor risiko kejang demam yang berperan terhadap terjadinya
epilepsi, di antaranya: kelainan pada sistem saraf atau adanya perkembangan kelainan yang jelas
sebelum kejang, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi pada orang tua atau suadara kandung,
dan kejang demam sederhana yang berulang empat episode atau lebih dalam satu tahun. Masing-
masing faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi dan kombinasi factor
risiko tersebut akan meningkatkan kejadian epilepsi.

Tujuan: untuk mengetahui pengaruh riwayat kejang demam terhadap kejadian epilepsi pada
anak.

Metode: Penelitian ini berbentuk literature review, menggunakan tiga database yaitu Pubmed,
ClinicalKey, dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan yaitu febrile seizure AND epilepsy
AND children. Hasil seleksi dengan kriteria inklusi dan eksklusi mendapatkan 10 literatur.

24
Hasil: penelitian menunjukkan bahwa dari sepuluh jurnal yang di-review, didapatkan riwayat
kejang demam menjadi salah satu faktor risiko yang memiliki pengaruh untuk berkembang
menjadi epilepsi di kemudian hari.

Kesimpulan: penelitian ini ialah riwayat kejang demam merupakan faktor risiko terbanyak untuk
berkembang menjadi epilepsi pada anak di kemudian hari. Persentase anak dengan riwayat
kejang demam yang berkembang menjadi epilepsi berkisar antara 3,3% - 73,8%

Penjelasan Alasan Pemilihan Artikel

Artikel yang berjudul “Effect of History of Febrile Seizures on Epilepsy Incidence in


Children” ini ditulis oleh Marshen Budiman, Praevilia M. Salendu, Johnny L. Rompis pada “
The Journal Of e-CliniC”. Edisi bulan Januari-April 2023. Tahun terbit 08-12-2022 (Beberapa
bulan lalu).

Artikel ini menjawab pertanyaan klinis yang di inginkan peneliti untuk membuat tugas
laporan ‘Evidence Based Nursing” pada mata ajar Keperawatan Gawat Darurat Neurosensorik,
yang membahas tentang penyakit sistem persarafan dan salah satu penanganan atau intervensi
mandiri dalam mengatasi kegawatan pasien dengan Riwayat kejang demam terhadap kejadian
epilepsi.

25
Standar Operasional Prosedur

Penatalaksanaan epilepsi

Pengertian Prosedur ini mengatur standar penatalaksanaan


epilepsi di Puskesmas
Tujuan Sebagai panduan dalam mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan pasien epilepsi di tingkat primer
Prosedur/ I. Petugas menyiapkan alat dan bahan
Langkah-langkah
1) Alat
a. Tensi meter
b. Stetoskop
c. Pulse oksimeter
d. Lampu senter/ penlight
e. Thermometer
2) Bahan
a. Buku status pasien
b. Lembaran resep
c. Form rujukan
II. Petugas yang melaksanakan: a. Dokter umum
b. Perawat umum
III. Langkah-langkah:
a. Petugas melakukan pengukuran tekanan
darah, nadi, saturasi oksigen, dan suhu tubuh
kemudian mencatat dalam buku status
pasien.
b. Petugas melakukan anamnesis terhadap pasien
(autoanamnesis) dan keluarga/care giver
pasien untuk memastikan apakah bangkitan
yang dimaksud adalah bangkitan epilepsi;
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis
epilepsi, yaitu
1. Langkah pertama: memastikan apakah
kejadian yang bersifat paroksismal
merupakan bangkitan epilepsi
a) Gejala sebelum, selama dan paska
bangkitan (Faktor pencetus: alkohol, kurang
tidur, hormonal
b) Penyakit lain yang mungkin diderita
sekarang maupun penyakit neurologik dan

26
riwayat penyakit psikiatrik maupun
penyakit sistemik yang mungkin menjadi
penyebab
c) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan,
interval terpanjang antar bangkitan
d) Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan
respon terhadap terapi (dosis, kadar OAE,
kombinasi terapi)
e) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
f) Riwayat keluarga dengan penyakit
neurologik lain, penyakit psikiatrik atau
sistemik
g) Riwayat pada saat dalam kandungan,
kelahiran, dan perkembangan bayi/anak
h) Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam
i) Riwayat trauma kepala, infeksi SSP
2.Langkah kedua: apabila benar terdapat
bangkitan epilepsi, maka tentukan bangkitan
tersebut bangkitan yang mana (klasifikasi
ILAE 1981)
3.Langkah ketiga: menentukan etiologi sindrom
epilepsi atau penyakit epilepsi apa yang
diterita pasien dilakukan dengan
memperhatikan klasifikasi ILAE 1981.
Langkah ini penting untuk menentukan
prognosis dan respon terhadap OAE
c. Petugas melakukan pemeriksaan, berupa:
1. Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya
adalah mengamati adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau
sinus, gangguan kongenital, kecanduan
alkohol atau obat terlarang, defisit
neurologis fokal
2. Pemeriksaan neurologis
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan
neurologik sangat tergantung dari interval
antara dilakukannya pemeriksaan dengan
bangkitan terakhir
a) Jika dilakukan pada beberapa menit
atau jam setelah bangkitan maka akan
tampak tanda pasca iktal terutama

27
tanda fokal seperti todds paresis, trans
aphasic syndrome yang tidak jarang
dapat menjadi petunjuk lokalisasi
b) Jika dilakukan pada beberapa waktu
setelah bangkitan terakhir berlalu,
sasaran utama adalah menentukan
apakah ada tanda-tanda disfungsi
sistem saraf permanen (epilepsi
simptomatik) dan walaupun jarang
apakah ada tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial
d. Petugas melakukan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah rutin
untuk menentukan penyebab kejang yang
kemungkinan berasal dari infeksi
e. Petugas melakukan analisa diagnosis terhadap
pasien
Petugas melakukan analisa diagnosis
terhadap hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
dan neurologis
f. Petugas memberikan tatalaksana kepada pasien
untuk penanganan awal pasien harus dirujuk
ke dokter spesialis saraf.
1. Terapi dimulai dengan monoterapi
menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis
sindrom epilepsi
2. Pemberian obat dimulai dari dosis
rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek
samping
3. Bila ada penggunaan dosis maksimum
OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
maka dapat dirujuk kembali untuk
mendapatkan penambahan OAE kedua.
4. Penambahan OAE ketiga dilakukan di
layanan sekunder atau tersier
5. Penyandang dengan bangkitan tunggal
direkomendasikan untuk dimulai terapi
bila kemungkinan kekambuhannya
tinggi hal ini dapat dilakukan di

28
pelayanan kesehatan sekunder
6. Efek samping perlu diperhatikan,
demikian pula halnya dengan interaksi
fakmakokinetik antar OAE
7. Keputusan untuk menghentikan OAE
dilakukan pada tingakat pelayanan
sekunder/tersier
g. Petugas melakukan konseling dan edukasi
1. Penting untuk memberi informasi kepada
keluarga bahwa penyakit ini tidak
menular
2. Kontrol pengobatan merupakan hal
penting bagi penderita
3. Pendampingan terhadap pasien epilepsi
utamanya anak-anak perlu
perndampingan sehingga lingjyngan
dapat menerima dengan baik
4. Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan
vaik
h. Petugas melakukan rujukan sesuai kriteria
rujukan
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan
maka pasien segera dirujuk ke pelayanan
sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf
Unit terkait 1. Poli umum
2. Poli lansia
3. UGD
4. Farmasi

29
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya
bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala.
Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan
sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama.
Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik
dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat
seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat
seizure walaupun sudah lepas dari narkotik. Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh
kerusakan otak dalam process kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang
epilepsi mungkin juga karena genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab
pastinya tetap belum diketahui.
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-
sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.

B. SARAN
Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan masukan
yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang akan
datang, diantaranya :
1. Bagi perawat dan tenaga medis
Makalah ini bisa sebagai acuan dalam melakukan peraktek pada rumah sakit supaya
hasilnya sesuai dengan harapan.
2. Bagi mahasiswa
Dengan adanya makalah ini dapat digunakan sebagai pembanding oleh mahasisiwa
kesehatan dalam pembuatan tugas.

30
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 3. Jakarta: EGC.
Doengoes, M. E.,  Moorhouse, M. F., & Geissler, A.C. 2000. Rencana asuhan keperawatan. 
(Edisi 3). Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Harsono. 2007. Neurologi Edisi ke 2: Yogyakarta. Gadjah Mada University Press

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

31

Anda mungkin juga menyukai