EPILEPSI
Oleh:
Almamira Oktarama
2211901005
Pembimbing:
dr. Edy Irwanto, Sp. N
Almamira Oktarama
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
DAFTAR TABEL......................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................v
BAB I. PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................1
1.3 Manfaat...........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................2
2.1 Definisi Epilepsi..............................................................................................2
2.2 Epidemiologi Epilepsi.....................................................................................4
2.3 Anatomi dan Fisiologi Saraf...........................................................................2
2.4 Etiologi Epilepsi..............................................................................................4
2.5 Klasifikasi Epilepsi.........................................................................................5
2.6 Patofisilogi Epilepsi.....................................................................................10
2.7 Manifestasi Epilepsi......................................................................................12
2.8 Penegakan Diagnosis Epilepsi......................................................................14
2.8.1 Anamnesis.............................................................................................14
2.8.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................................15
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang........................................................................15
2.9 Penatalaksanaan Epilepsi..............................................................................16
2.9.1 Farmakologi..........................................................................................16
2.9.2 Non Farmakologi..................................................................................20
2.10 Diagnosis Banding Epilepsi..........................................................................20
2.11 Prognosis Epilepsi.........................................................................................21
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................24
iii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
iv
Gambar 1. Penampang Sinaps Normal....................................................................2
Gambar 2. Berbagai Penyebab Epileptik...............................................................11
Gambar 3. Algoritma Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus...............19
v
BAB I.
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca dan
penulis mengenai epilepsi
1.3 Manfaat
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari, mengenai
stroke hemoragik, dan dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan
bagi kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan khususnya yang
berkaitan dengan epilepsi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak adalah natrium (Na+), kalsium
(Ca2+), kalium (K), magnesium (Mg2+), dan klorida (Cl). Neuro transmiter utama pada
proses eksitasi adalah glutamat yang akan berikatan dengan reseptornya, yaitu Nmetil-D-
aspartat (NMDA) dan non-NMDA. Sementara pada proses inhibisi, neurotransmiter utama
adalah HS-asam aminobutirik (GABA) yang akan berikatan dengan reseptornya GABAa
dan GABAb. GABA merupakan neurotransmitter yang disintesis dari glutamate oleh enzim
glutamic acid decarboxylase (GAD) dengan bantuan piridoksin (Vitamin B6) diterminal
presinaps.3
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan terjadi sekresi
glutamat ke celah sinaps. Glutamat akan berikatan dengan reseptor non-NMDA, dan Na*
akan masuk ke dalam sel menyebabkan terjadinya depolarisasi cepat. Apabila depolarisasi
mencapai ambang potensial 10-20mV, maka Mg2+ yang menduduki reseptor NMDA yang
sudah berikatan dengan glutamat dan ko-agonisnya (glisin) dikeluarkan kecelah sinaps
sehingga Na+akan masuk ke dalam sel diikuti oleh Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+akan
memperpanjang potensial eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat Setelah Na+
mencapai ambang batas depolarisasi, K+ akan keluar dari dalam sel, yang disebut sebagai
repolarisasi.4
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong pelepasan
neurotrasmiter GABA ke celah sinaps. Saat GABA berikatan dengan reseptor GABAa
pascasinaps dan mencetuskan potensial inhibisi, Cl' akan masuk ke dalam sel dan
menurunkan ambang potensial membran sel sampai kembali ke ambang istirahat pada -
70pV yang disebut sebagai hiperpolarisasi. Reseptor GABAe di presinaps berperan
memperpanjang potensial inhibisi. Hasil akhir aksi potensial yang dihasilkan merupakan
sumasi dari potensial eksitasi dan inhibisi yang dipengaruhi oleh jarak dan waktu.4
Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat membran sel terhiperpolarisasi dibawah
ambang istirahatnya, disebut sebagai after hyperpolaritation (AHP). AHP terjadi sebagai
hasil dari keseimbangan antara Ca2+ di dalam sel dan K + diluar sel. Pada masa ini sel
neuron mengalami fase refrakter dan tidak dapat terstimuli, sampai terjadi pertukaran
Ca2+ke luar sel dan K+ ke dalam sel melalui kanal yang tidak dipengaruhi oleh gradien
voltase. Keseimbangan ion di dalam dan luar sel dikembalikan oleh pompa Na +-K+ dengan
bantuan adenosin triphosphate (ATP).4
3
Sel glia turut berperan dalam menjaga keseimbangan eksitasi dan inhibisi dengan
berperan sebagai spons yang berfungsi untuk 'menghisap’ K + dan glutamat yang berlebihan
di celah sinaps untuk kemudian disintesis dan dikembalikan lagi ke neuron presinaps.4
4
Penyebab epilepsy didapat adalah trauma serebral, tumor serebral, infeksi serebral, sclerosis
hipokampus, gangguan serebrovaskular, gangguan imunologi serebral dan penyebab perinatal
dan infatil. Beberapa contoh adalah epilepsy yang disebabkan oleh operasi kepala terbuka,
meningitis virus, meningioma, hemangioma kavernosa dan infark serebral. Epilepsi kriptogenik
memiliki etiologi yang tidak diketahui. Sebagian besar penelitian mengungkapkan 40 dari 100
kasus epilepsy telah diketahui etiologinya yang meliputi stroke iskemik, infeksi pada sistem saraf
pusat, cedera otak, kejang simtomatik berkepanjangan, perdarahan intraserebral, dan penyakit
neurodegeneratif.6
3. Epilepsi fokal
5
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik region setempat pada
korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak.
Epilepsi fokal paling sering disebabkan oleh lesi organic setempat atau adanya kelainan
fungsional, seperti : jaringan parut di otak yang mendorong jaringan neuron di dekatnya,
adanya tumor yang menekan daerah otak, rusaknya suatu area pada jaringan otak, atau
kelainan sirkuit setempat yang diperoleh secara kongenital. Gejala dapat ditandai dengan
kontraksi otot yang progresif di seluruh sisi tubuh yang berlawanan, yang secara khas dimulai
dengan dari region mulut dan secara progresif beruntun menjalar kebawah sampai ke tungkai,
namun pada saat lain dapat menjalar ke arah yang berlawanan.7
2.5.2 Klasifikasi Epilepsi berdasarkan tipe bangkitan, yaitu:
A. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi 5
Tabel 1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi
Bangkitan 1. Bangkitan parsial sederhana
parsial/fokal Dengan gejala motorik
Dengan gejala somatosensorik
Dengan gejala otonom
Dengan gejala psikis
2. Bangkitan parsial kompleks
Bangkitan parsial sederhana yang diikuti
dengan gangguan kesadaran
Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran
sejak awal bangkitan
3. Bangkitan parsial yang menjadi umum
sekunder
Parsial sederhana yang menjadi umum
Parsial kompleks menjadi umum
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks,
lalu menjadi umum
6
Bangkitan absans
Bangkitan absans Atipikal
2. Mioklonik
3. Klonik
4. Tonik
5. Tonik-klonik
6. Atonik/astatik
Bangkitan tak
tergolongkan
7
dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan,
hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi,
membaca)
Epilepsi lobus temporal
Epilepsi lobus frontal
Epilepsi lobus parietal
Epilepsi oksipital
3. Kriptogenik
8
sesuai dengan peningkatan usia)
Sindrom West (spasme infantile
dan spasme salam)
Sindrom Lennox-Gastaut
Epilepsi mioklonik astatik
Epilepsi mioklonik lena
3 Simtomatis
Etiologi nonspesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantile
dini dengan dengan burst
suppression
Epilepsi simtomatis umum
lainnya yang tidak termasuk
di atas
Sindrom spesifik
Bangkitan epilepsi sebagai
komplikasi penyakit lain.
9
tertentu
Kejang demam
Bangkitan kejang/status epileptikus
yang timbul hanya sekali isolated
Bangkitan yang hanya terjadi bila
terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksis, alkohol, obat-obatan,
eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
Bangkitan berkaitan dengan
pencetus spesfik (epilepsi
refrektorik)
10
Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit, baik penyakit otak maupun sistemik.
Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel neuron, glia, dan SDO. Kerusakan
sel glia akan menyebabkan kelebihan K+ dan glutamat di celah sinaps karena tidak terhisap,
sehingga sel neuron akan mudah tereksitasi. Keadaan tersebut juga akan mengaktivasi faktor-
faktor inflamasi, kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk lingkaran
yang berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi secara terus-menerus dalam jangka waktu yang
lama akan menyebabkan perubahan aktivitas otak, struktur neuron, dan ekspresi gen.5
Hipereksitabilitas satu sel neuron akan memengaruhi sel neuron di sekitarnya. Sekelompok
neuron yang mencetuskan aktivitas abnormal secara bersamaan disebut sebagai hipersinkroni.
Pada saat satu sel neuron teraktivasi maka sel-sel neuron di sekitarnya juga akan ikut teraktivasi.
Jika sel-sel neuron sekitarnya teraktivasi pada waktu yang bersamaan, maka akan terbentuk suatu
potensial eksitasi yang besar dan menimbulkan gejala klinis. Penyebaran PDS hipersinkroni ke
seluruh hemisfer saat iktal maupun interiktal tergantung pada aktivitas interneuron di thalamus
yang sebagian besar bersifat inhibisi.5
11
2.7 Manifestasi Epilepsi
a. Bangkitan Umum Tonik-klonik
Bangkitan ini secara etiologi dapat berupa idiopatik, kriptogenik, atau simtomatik. Tipe
bangkitan ini dapat terjadi pada semua usia kecuali neonatus. Manifestasi klinis: hilang
kesadaran sejak awal bangkitan hingga akhir bangkitan, bangkitan tonik-klonik umum, dapat
disertai gejala autonom seperti mengompol dan mulut berbusa. Gambaran iktal: tiba-tiba mata
melotot dan tertarik ke atas, seluruh tubuh kontraksi tonik, dapat disertai suara teriakan dan
nyaring, selanjutnya diikuti gerakan klonik berulang simetris di seluruh tubuh, lidah dapat
tergigit dan mulut berbusa serta diikuti mengompol. Setelah iktal, tubuh pasien menjadi
hipotonus, pasien dapat tertidur dan terasa lemah. Pada pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
saat interiktal didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa kompleks gelombang paku-
ombak (spike wave) terutama pada saat tidur stadium non-REM.5
b. Bangkitan Tonik
Bangkitan tonik ditandai oleh kontraksi seluruh otot yang berlangsung terus menerus,
berlangsung selama 2-10 detik namun dapat hingga beberapa menit, di-sertai hilangnya
kesadaran. Dapat disertai gejala autonom seperti apnea. Gambaran EEG interiktal menunjukkan
irama cepat dan gelombang paltu atau kompleks paku-ombak frekuensi lambat yang bersifat
umum.5
c. Bangkitan Klonik
Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kontraksi klonik yang ritmik (1-5 Hz) di seluruh tubuh
disertai hilangnya kesadaran sejak awal bangkitan. Pada EEG iktal didapatkan aktivitas
epileptiform umum berupa gelombang paku, paku multipel, atau kombinasi gelombang irama
cepat dan lambat.5
d. Bangkitan Mioklonik
Mioklonik adalah gerakan kontraksi involunter mendadak dan berlangsung sangat singkat
(jerk) tanpa disertai hilangnya kesadaran. Biasanya berlangsung 10-50 milidetik, durasi dapat
mencapai lebih dari 100 milidetik. Otot yang berkontraksi dapat tunggal atau multipel atau
berupa sekumpulan otot yang agonis dari berbagai topografi, Mioklonik dapat berlangsung
fokal, segmental, multifokal, atau umum. Gambaran EEG berupa gelombang polyspikes yang
bersifat umum dan singkat.5
e. Bangkitan Atonik
12
Bangkitan ditandai oleh hilangnya tonus otot secara mendadak. Bangkitan atonik dapat
didahului oleh bangkitan mioklonik atau tonik. Bentuk bangkitan bisa berupa "jatuh" atau
"kepala menunduk". Pemulihan pascaiktal cepat, sekitar 1-2 detik. Gambaran EEG dapat berupa
gelombang paku (spikes) atau polyspikes yang bersifat umum dengan frekuensi 2-3Hz dan
gelombang lambat.5.
f. Bangkitan Absans Tipikal
Bangkitan absans (petit mal) berlangsung sangat singkat (dalam hitungan detik) dengan
onset mendadak dan berhenti mendadak, Bentuk bangkitan berupa hilang kesadaran atau
"pandangan kosong". Dapat pula disertai komponen motorik yang minimal (dapat berupa
mioklonik, atonik, tonik, automatisme). Pada pemeriksaan EEG didapatkan aktifitas epileptiform
umum berupa kompleks paku-ombak 3Hz (>2,5Hz).5
g. Bangkitan Absans Atipikal
Bangkitan berupa gangguan kesadaran disertai perubahan tonus otot [hipotonia atau atonia],
tonik, atau automatisme. Pasien dengan bangkitan absans atipikal sering mengalami kesulitan
belajar akibat seringnya disertai terjadinya bangkitan tipe lain seperti atonik, tonik, dan
mioldonik. Pada absans atipikal, onset dan berhentinya bangkitan tidak semendadak bangkitan
absans tipikal, dan perubahan tonus otot lebih sering terjadi pada bangkitan tipe absans atipikal.
Pada EEG didapatkan gambaran kompleks pakuombak frekuensi lambat (1-2,5Hz atau <2,5Hz)
yang iregular dan heterogen dan dapat bercampur dengan irama cepat.5
h. Bangkitan Fokal/Parsial
Bentuk bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptik di otak. Fokus epileptik
berasal dari area tertentu yang kemudian mengalami propagasi dan menyebar ke bagian otak
yang lain. Bentuk bangkitan dapat berupa gejala motorik, sensorik (kesemutan, baal), sensorik
spesial [halusinasi visual, halusinasi auditorik), emosi [rasa takut, marah), autonom [kulit pucat,
merinding, rasa mual). Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan bangkitan parsial
kompleks atau bangkitan umum sekunder disebut sebagai aura.5
13
1. Langkah pertama: pastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal merupakan bangkitan
epilepsi. Pada sebagian besar kasus, diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan
informasi yang diperoleh dari anamnesis baik auto maupun alloanamnesis dari orang tua
maupun saksi mata lain.
a. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk/ berdiri/ berbaring/ tidur/ berkemih.
Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speech arrest)
Pola/bentuk yang tampak selama bangkitan: gerakan tonik/klonik, vokalisasi,
otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, deviasi mata.
Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,
Todd’s paresis.
Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.
Jumlah pola bangkitan satu atau lebih, atau terdapat perubahan pola bangkitan.
b. Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun riwayat penyakit neurologik dan
riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan.
d. Riwayat terapi epilepsy sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis, kadar OAE,
kombinasi terapi).
e. Riwayat penyakit epilepsy dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
g. Riwayat saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan bayi/anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.
2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981
3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989.8
15
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit,
apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah
sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.4
2.9 Penatalaksanaan Epilepsi
2.9.1 Farmakologi
1. OAE diberikan bila (IDI, 2014) :
Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
Pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol, stress, kurang tidur, dan lain-
lain)
Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan.
Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping yang timbul dari OAE.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan (Tabel 1) dan jenis sindrom epilepsi
16
(Kusumastuti et al, 2014)
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat dalam darah ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif. Bila diduga ada perubahan farmakokinetik OAE
(kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE), diduga
penyandang epilepsi tidak patuh pada pengobatan.
4. Bila pada penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, maka
dapat dirujuk kembali untuk mendapatkan penambahan OAE kedua. Bila OAE kedua
telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off)
perlahan lahan.
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan dilayanan sekunder atau tersier setelah
terbukti tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
6. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi yaitu bila :
Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
Pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan
bangkitan: meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak, encephalitis herpes.
Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan otak
Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
17
Riwayat bangkitan simptomatik
Terdapat sindrom epilepsy yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic
Epilepsi)
Riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran , stroke, infeksi SSP.
Bangkitan pertama berupa status epileptikus
7. Efek samping obat perlu diperhatikan, demikian pula halnya denganinteraksi
farmakokinetik antar OAE.
Penghentian OAE
18
Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun
bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk
menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan.4
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut :
Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal
Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.
Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangkat
waktu 3-6 bulan
Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama.
19
2. Terapi ajuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada penyandang epilepsi
refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi syarat operasi. Dapat
digunakan pada bangkitan parsial dan bangkitan umum.
3. Deep Brain Stimulation
4. Diet ketogenik
5. Intervensi Psikologi :Relaksasi, behavioral cognitive therapy, dan biofeedback.4
20
2.11 Prognosis Epilepsi
Prognosis umunya bonam, tergantung klasifikasi epilepsy yang dideritanya, sedangkan
serangan epilepsy dapat berulang, tergantung kontrol terapi dari pasien
21
22
BAB III
KESIMPULAN
Epilepsi merupakan gangguan otak yang ditandai dengan oleh adanya faktor predisposisi
secara terus menerus untuk terjadinya suatu bangkitan. Epilepsi dapat di sebabkan oleh 3 faktor
yaitu faktor didapat, idiopatik, dan genetik. Manifestasi dari epilepsi terdiri dari beberapa
bangkitan seperti tonik-klonik, tonik, klonik, myoklonik, atonik, absans tipikal, absan atipikal
serta bangkitan fokal atau parsial yang mana beberapa macam bangkitan tersebut memilki tanda
dan gejala nya masing-masing.
Diagnosis epilepsi dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis perlu ditanyakan sejak kapan bangkitan timbul, berapa lama, apakah
bangkit secara terus menerus, apakah sebelumnya pernah terjadi bangkitan. Perlu di tanyakan
riwayat sebelumnya, riwayat keluarga, riwayat kebiasaan. Hal untuk menentukan jenis bankitan.
Pada pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit
neurologi fokal. Sedangkan, pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan EEG, CT scan, MRI,
serta laboratorium.
Penatalaksanaan epilepsi dapat diberikan OAE jika :
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol, stress, kurang tidur, dan lain-lain)
c. Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
d. Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan.
e. Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping yang
timbul dari OAE.
23
DAFTAR PUSTAKA
24