Anda di halaman 1dari 29

Referat

EPILEPSI

Oleh:
Almamira Oktarama
2211901005

Pembimbing:
dr. Edy Irwanto, Sp. N

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU NEUROLOGI RSUD TENGKU RAFI’AN SIAK
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji syukur atas rahmat dan nikmat


Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul
“Epilepsi”. Referat ini diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti
kepaniteraan klinik senior bagian ilmu neurologi RSUD TENGKU RAFI’AN
SIAK.
Dalam penyelesaian Referat ini penulis banyak mendapat bantuan
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak hingga akhirnya referat ini dapat
selesai. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.Edy Irwanto,
Sp.N selaku Pembimbing dan segenap staff RSUD TENGKU RAFI’AN SIAK
atas bimbingan selama menjalani Kepaniteraan Klinis Senior Ilmu Neurologi dan
dapat menyelesaikan penulisan Referat ini.
Dalam penulisan ini, penulis menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari
kata sempurna, penulis mohon maaf atas segala kesalahan, sehingga kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan Referat
ini.

Siak, 28 Januari 2023

Almamira Oktarama

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
DAFTAR TABEL......................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................v
BAB I. PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................1
1.3 Manfaat...........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................2
2.1 Definisi Epilepsi..............................................................................................2
2.2 Epidemiologi Epilepsi.....................................................................................4
2.3 Anatomi dan Fisiologi Saraf...........................................................................2
2.4 Etiologi Epilepsi..............................................................................................4
2.5 Klasifikasi Epilepsi.........................................................................................5
2.6 Patofisilogi Epilepsi.....................................................................................10
2.7 Manifestasi Epilepsi......................................................................................12
2.8 Penegakan Diagnosis Epilepsi......................................................................14
2.8.1 Anamnesis.............................................................................................14
2.8.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................................15
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang........................................................................15
2.9 Penatalaksanaan Epilepsi..............................................................................16
2.9.1 Farmakologi..........................................................................................16
2.9.2 Non Farmakologi..................................................................................20
2.10 Diagnosis Banding Epilepsi..........................................................................20
2.11 Prognosis Epilepsi.........................................................................................21
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................24

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi................................6


Tabel 2. Klasifikasi ILAE 1989 Untuk Sindrom Epilepsi.......................................7
Tabel 3. Dosis Obat Anti Epilepsi (IDI, 2014).....................................................18

DAFTAR GAMBAR

iv
Gambar 1. Penampang Sinaps Normal....................................................................2
Gambar 2. Berbagai Penyebab Epileptik...............................................................11
Gambar 3. Algoritma Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus...............19

v
BAB I.
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi adalah salah satu kelainan neurologi kronik yang banyak terjadi pada
anak. Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan gejala yang
khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara
berlebihan dan paroksismal.1 Pada saat ini sekitar 50 juta jiwa hidup dengan
epilepsi di seluruh dunia. Perkiraan proporsi populasi dengan epilepsi aktif
(kejang terus menerus atau dengan butuh pengobatan) pada waktu tertentu adalah
4-10 per 1000 penduduk. Namun, pada beberapa studi menunjukkan bahwa pada
negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki proporsi yang lebih tinggi
yaitu 7-14 per 1000 penduduk. Hampir 80% penderita epilepsi tinggal di negara
dengan penghasilan rendah dan menengah.2
Diagnosis epilepsi dibuat dengan menganalisis dengan rinci riwayat klinis
pasien dengan melakukan pemeriksaan tambahan untuk konfirmasi. Diagnosis
epilepsi tidak selalu mudah, terdapat begitu banyak diagnosis banding terhadap
suatu kejang baik kejang epilepsi maupun bukan epilepsi. Diagnosis epilepsi
tenyata memiliki kriteria tersendiri yang membutuhkan tatalaksana serta prognosis
yang berbeda. Pada referat ini menjelaskan definisi, epidemiologi, anatomi dan
fisiologi saraf, patofisiologi, manifestasi, penegakan diagnosis, pentalaksanaan,
diagnosis banding serta prrognosis dari epilepsi.

1.2 Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca dan
penulis mengenai epilepsi

1.3 Manfaat
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari, mengenai
stroke hemoragik, dan dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan
bagi kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan khususnya yang
berkaitan dengan epilepsi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Saraf


Secara normal aktivitas otak terjadi oleh karena perpindahan sinyal dari satu neuron ke neuron
yang lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu neuron dengan dendrit neuron yang
lain melalui sinaps (Gambar 1). Sinaps merupakan area yang penting untuk perpindahan
elektrolit dan sekresi neurotransmiter yang berada di dalam vesikel presinaps. Komposisi
elektrolit dan neurotransmiter saling mempengaruhi satu sama lain untuk menfaga keseimbangan
gradien ion di dalam dan luar sel melalui ikatan antara neurotransmiter dengan reseptornya serta
keluar masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktivitas tersebut akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi, hiperpolarisasi, dan repolarisasi, sehingga terjadi potensial
eksitasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron yang
berada di korteks yang kemudian diteruskan oleh akson, sementara sel interneuron berfungsi
sebagai inhibisi.3

Gambar 1. Penampang Sinaps Normal


(Sumber : Ananditha dan Wiratman, 2017)

2
Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak adalah natrium (Na+), kalsium
(Ca2+), kalium (K), magnesium (Mg2+), dan klorida (Cl). Neuro transmiter utama pada
proses eksitasi adalah glutamat yang akan berikatan dengan reseptornya, yaitu Nmetil-D-
aspartat (NMDA) dan non-NMDA. Sementara pada proses inhibisi, neurotransmiter utama
adalah HS-asam aminobutirik (GABA) yang akan berikatan dengan reseptornya GABAa
dan GABAb. GABA merupakan neurotransmitter yang disintesis dari glutamate oleh enzim
glutamic acid decarboxylase (GAD) dengan bantuan piridoksin (Vitamin B6) diterminal
presinaps.3
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan terjadi sekresi
glutamat ke celah sinaps. Glutamat akan berikatan dengan reseptor non-NMDA, dan Na*
akan masuk ke dalam sel menyebabkan terjadinya depolarisasi cepat. Apabila depolarisasi
mencapai ambang potensial 10-20mV, maka Mg2+ yang menduduki reseptor NMDA yang
sudah berikatan dengan glutamat dan ko-agonisnya (glisin) dikeluarkan kecelah sinaps
sehingga Na+akan masuk ke dalam sel diikuti oleh Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+akan
memperpanjang potensial eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat Setelah Na+
mencapai ambang batas depolarisasi, K+ akan keluar dari dalam sel, yang disebut sebagai
repolarisasi.4
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong pelepasan
neurotrasmiter GABA ke celah sinaps. Saat GABA berikatan dengan reseptor GABAa
pascasinaps dan mencetuskan potensial inhibisi, Cl' akan masuk ke dalam sel dan
menurunkan ambang potensial membran sel sampai kembali ke ambang istirahat pada -
70pV yang disebut sebagai hiperpolarisasi. Reseptor GABAe di presinaps berperan
memperpanjang potensial inhibisi. Hasil akhir aksi potensial yang dihasilkan merupakan
sumasi dari potensial eksitasi dan inhibisi yang dipengaruhi oleh jarak dan waktu.4
Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat membran sel terhiperpolarisasi dibawah
ambang istirahatnya, disebut sebagai after hyperpolaritation (AHP). AHP terjadi sebagai
hasil dari keseimbangan antara Ca2+ di dalam sel dan K + diluar sel. Pada masa ini sel
neuron mengalami fase refrakter dan tidak dapat terstimuli, sampai terjadi pertukaran
Ca2+ke luar sel dan K+ ke dalam sel melalui kanal yang tidak dipengaruhi oleh gradien
voltase. Keseimbangan ion di dalam dan luar sel dikembalikan oleh pompa Na +-K+ dengan
bantuan adenosin triphosphate (ATP).4

3
Sel glia turut berperan dalam menjaga keseimbangan eksitasi dan inhibisi dengan
berperan sebagai spons yang berfungsi untuk 'menghisap’ K + dan glutamat yang berlebihan
di celah sinaps untuk kemudian disintesis dan dikembalikan lagi ke neuron presinaps.4

2.2 Definisi Epilepsi


Epilepsi adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan bangkitan berulang. 3 Bangkitan
epileptik dan epilepsi adalah dua terminologi yang berbeda, namun saling berkaitan. Bangkitan
epileptik merupakan tanda dan/atau gejala yang timbul spintas akibat aktivitas neuron di otak
yang berlebihan dan abnormal serta sinkon. Sedangkan epilepsi adalah gangguan otak yang
ditandai dengan oleh adanya faktor predisposisi secara terus menerus untuk terjadinya suatu
bangkitan.12 Menurut PERDOSSI 2014 mendefinisikan bangkitan kejang sebagai terjadinya
tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.
Sedangkan epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi yang terus menerus, dengan kosekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epilepsi. 5

2.3 Epidemiologi Epilepsi


Menurut WHO, diperkirakan terdapat 50 juta orang di seluruh dunia yang menderita
epilepsi. Populasi yang menderita epilepsi aktif (terjadi bangkitan terus menerus dan
memerlukan pengobatan) diperkirakan 4-10 per 1000 penduduk. Secara umum diperkirakan
terdapat 2,4 juta pasien yang didiagnosis epilepsi setiap tahunnya. Angka prevalensi dan insidens
epilepsi di Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, hasil penelitian Kelompok Studi
Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia di beberapa RS di 5 pulau besar di
Indonesia (2013) mendapatkan bahwa 2.288 penyandang epilepsy dengan 21,3% merupakan
pasien baru. Rerata usia pasien adalah usia produktif dengan etiologi epilepsy tersering adalah
cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), stroke, tumor otak. Riwayat kejang demam
didapatkan pada 29% pasien.5

2.4 Etiologi Epilepsi


Etiologi epilepsi dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu, didapat, idiopatik, dan genetik.
Epilepsi idiopatik tanpa gejala neurologis, dan onsetnya pada masa kanak-kanak. Beberapa
contoh epilepsi idiopatik adalah absence epilepsy pada anak dan juvenile myoclonic epilepsy.
Epilepsy yang didapat disebabkan oleh oleh abrasi structural yang dapat diidentifikasi dari otak.

4
Penyebab epilepsy didapat adalah trauma serebral, tumor serebral, infeksi serebral, sclerosis
hipokampus, gangguan serebrovaskular, gangguan imunologi serebral dan penyebab perinatal
dan infatil. Beberapa contoh adalah epilepsy yang disebabkan oleh operasi kepala terbuka,
meningitis virus, meningioma, hemangioma kavernosa dan infark serebral. Epilepsi kriptogenik
memiliki etiologi yang tidak diketahui. Sebagian besar penelitian mengungkapkan 40 dari 100
kasus epilepsy telah diketahui etiologinya yang meliputi stroke iskemik, infeksi pada sistem saraf
pusat, cedera otak, kejang simtomatik berkepanjangan, perdarahan intraserebral, dan penyakit
neurodegeneratif.6

2.5 Klasifikasi Epilepsi


2.5.1 Klasifikasi Epilepsi Terdiri dari tiga golongan utama, yaitu :
1. Epilepsi Grand mal
Epilepsi grand mal ditandai dengan pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari neuron
di seluruh area otak dalam korteks serebri, dibagian dalam serebrum, dan bahkan di batang
otak. Kejang grand mal biasanya berlangsung selama beberapa detik sampai 3-4 menit. Kejang
ini juga ditandai dengan keadaan depresi pascakejang di seluruh sistem saraf. Pasien tetap
dalam keadaan stupor selama 1 sampai beberapa menit sesudah serangan kejang berakhir dan
kemudian sering kali tetap lelah dan tertidur berjam-jam sesudahnya.7
2. Epilepsi petit mal
Epilepsi petit mal hampir selalu melibatkan sistem aktivasi talamokortikal otak. Epilepsi
ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar (atau penurunan kesadaran)
selama 3-30 detik, dan selama waktu serangan, pasien merasakan kontraksi otot seperti
kedutan, yang biasanya terjadi didaerah kepala, terutama pengedipan mata. Keadaan ini
selanjutnya diikuti dengan kembalinya kesadaran dan timbulnya kembali aktivitas sebelumnya.
Rangkaian kejadian keseluruhan ini di sebut absence syndrome atau absence epilepsy. Pasien
mengalami serangan ini satu kali dalam beberapa bulan atau pada kasus yang jarang dapat
mengalami serangkaian serangan yang cepat, yaitu satu serangan diikuti dengan serangan
lainnya. Serangan petit mal biasanya terjadi pertama kali pada anak-anak masa akil balik dan
menghilang pada umur 30 tahun. Kadangkala serangan epilepsi petit mal dapat memicu
serangan grand mal.7

3. Epilepsi fokal
5
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik region setempat pada
korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak.
Epilepsi fokal paling sering disebabkan oleh lesi organic setempat atau adanya kelainan
fungsional, seperti : jaringan parut di otak yang mendorong jaringan neuron di dekatnya,
adanya tumor yang menekan daerah otak, rusaknya suatu area pada jaringan otak, atau
kelainan sirkuit setempat yang diperoleh secara kongenital. Gejala dapat ditandai dengan
kontraksi otot yang progresif di seluruh sisi tubuh yang berlawanan, yang secara khas dimulai
dengan dari region mulut dan secara progresif beruntun menjalar kebawah sampai ke tungkai,
namun pada saat lain dapat menjalar ke arah yang berlawanan.7
2.5.2 Klasifikasi Epilepsi berdasarkan tipe bangkitan, yaitu:
A. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi 5
Tabel 1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi
Bangkitan 1. Bangkitan parsial sederhana
parsial/fokal  Dengan gejala motorik
 Dengan gejala somatosensorik
 Dengan gejala otonom
 Dengan gejala psikis
2. Bangkitan parsial kompleks
 Bangkitan parsial sederhana yang diikuti
dengan gangguan kesadaran
 Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran
sejak awal bangkitan
3. Bangkitan parsial yang menjadi umum
sekunder
 Parsial sederhana yang menjadi umum
 Parsial kompleks menjadi umum
 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks,
lalu menjadi umum

Bangkitan umum 1. Lena (absence)

6
 Bangkitan absans
 Bangkitan absans Atipikal
2. Mioklonik
3. Klonik
4. Tonik
5. Tonik-klonik
6. Atonik/astatik

Bangkitan tak
tergolongkan

B. Klasifikasi ILAE 1989 Untuk Sindrom Epilepsi

Tabel 2. Klasifikasi ILAE 1989 Untuk Sindrom Epilepsi

Fokal/partial (localized 1. Idiopatik (berhubungan dengan usia


related) awitan)
 Epilepsi benigna dengan gelombang
paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsi with
centrotemporal spikesI)
 Epilepsi benigna dengan gelombang
paroksismal pada daerah oksipital.
 Epilepsi prmer saat membaca
(primary reading epilepsi)
2. Simtomatis
 Epilepsi parsial kontinua yang
kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome)
 Sindrom dengan bangkitan yang

7
dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan,
hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi,
membaca)
 Epilepsi lobus temporal
 Epilepsi lobus frontal
 Epilepsi lobus parietal
 Epilepsi oksipital
3. Kriptogenik

Epilepsi Umum 1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan


sesuai dengan usia awitan)
 Kejang neonates familial benigna
 Kejang neonates benigna
 Kejang epilepsi mioklonik pada
bayi
 Epilepsi lena pada anak
 Epilepsi lena pada remaja
 Epilepsi mioklonik pada remaja
 Epilepsi dengan bangkitan umum
tonik-klonik pada saat terjaga
 Epilepsi umum idiopatik lain
yang tidak termasuk salah satu di
atas
 Epilepsi tonik klonik yang
dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan

8
sesuai dengan peningkatan usia)
 Sindrom West (spasme infantile
dan spasme salam)
 Sindrom Lennox-Gastaut
 Epilepsi mioklonik astatik
 Epilepsi mioklonik lena
3 Simtomatis
 Etiologi nonspesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantile
dini dengan dengan burst
suppression
 Epilepsi simtomatis umum
lainnya yang tidak termasuk
di atas
 Sindrom spesifik
 Bangkitan epilepsi sebagai
komplikasi penyakit lain.

Epilepsi dan sindrom yang 1. Bangkitan umum dan fokal


tak dapat ditentukan fokal  Bangkitan neonatal
atau umum  Epilepsi mioklonik berat pada bayi
 Epilepsi dengan gelombang paku
kontinu selama tidur dalam
 Epilepsi afasia yang didapat
(Sindrom Landau-Kleffner)
 Epilepsi yang tidak termasuk
klasifikasi di atas
2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

Sindrom khusus 1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi

9
tertentu
 Kejang demam
 Bangkitan kejang/status epileptikus
yang timbul hanya sekali isolated
 Bangkitan yang hanya terjadi bila
terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksis, alkohol, obat-obatan,
eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
 Bangkitan berkaitan dengan
pencetus spesfik (epilepsi
refrektorik)

2.6 Patofisilogi Epilepsi


Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan hipereksitabilitas
yang pada akhirnya akan menyebabkan bangkitan epileptik. Ketidakseimbangan tersebut dapat
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Penyebab internal antara lain berupa mutasi atau
kelainan pada kanal-kanal elektrolit sel neuron. Beberapa mutasi yang sudah diketahui adalah
mutasi kanal Na+, Ca2+, dan K +. Mutasi ini menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam
sel secara terus menerus sehingga terjadi paroxymal depolaritation shift (PDS). PDS diinisiasi
oleh reseptor non-NMDA, akibat peningkatan jumlah Na+ yang masuk ke dalam sel, pada
mutasi kanal Na+ , dan dapat diperlama saat reseptor NMDA terbuka diikuti masuknya Na+
sehingga semakin banyak Na+ di dalam sel. Pada mutasi kanal Ca2+, PDS terjadi karena
depolarisasi lambat semakin lama akibat peningkatan Ca2+di dalam sel. Sementara mutasi pada
kanal K+ akan menghambat keluarnya K+ ke ektrasel yang justru akan menghambat terjadinya
repolarisasi, memperpanjang depolarisasi, dan akhirnya menyebabkan PDS.5
Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamat ke celah sinaps, sehingga
terjadi peningkatan jumlah Ca2+ di dalam sel. Jumlah Ca2+ yang berlebihan ini akan
mengakibatkan enzim intrasel yang menyebabkan kematian sel. Hal ini merangsang keluarnya
berbagai faktor inflamasi yang akan meningkatkan permeabilitas sel, gangguan keseimbangan
elektrolit, edema otak, kerusakan sawar darah otak (SDO) atau blood brain barrier (BBB), dan
sebagainya.5

10
Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit, baik penyakit otak maupun sistemik.
Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel neuron, glia, dan SDO. Kerusakan
sel glia akan menyebabkan kelebihan K+ dan glutamat di celah sinaps karena tidak terhisap,
sehingga sel neuron akan mudah tereksitasi. Keadaan tersebut juga akan mengaktivasi faktor-
faktor inflamasi, kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk lingkaran
yang berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi secara terus-menerus dalam jangka waktu yang
lama akan menyebabkan perubahan aktivitas otak, struktur neuron, dan ekspresi gen.5
Hipereksitabilitas satu sel neuron akan memengaruhi sel neuron di sekitarnya. Sekelompok
neuron yang mencetuskan aktivitas abnormal secara bersamaan disebut sebagai hipersinkroni.
Pada saat satu sel neuron teraktivasi maka sel-sel neuron di sekitarnya juga akan ikut teraktivasi.
Jika sel-sel neuron sekitarnya teraktivasi pada waktu yang bersamaan, maka akan terbentuk suatu
potensial eksitasi yang besar dan menimbulkan gejala klinis. Penyebaran PDS hipersinkroni ke
seluruh hemisfer saat iktal maupun interiktal tergantung pada aktivitas interneuron di thalamus
yang sebagian besar bersifat inhibisi.5

Gambar 2. Berbagai Penyebab Epileptik


( Sumber : Ananditha dan Wiratman, 2017)

11
2.7 Manifestasi Epilepsi
a. Bangkitan Umum Tonik-klonik
Bangkitan ini secara etiologi dapat berupa idiopatik, kriptogenik, atau simtomatik. Tipe
bangkitan ini dapat terjadi pada semua usia kecuali neonatus. Manifestasi klinis: hilang
kesadaran sejak awal bangkitan hingga akhir bangkitan, bangkitan tonik-klonik umum, dapat
disertai gejala autonom seperti mengompol dan mulut berbusa. Gambaran iktal: tiba-tiba mata
melotot dan tertarik ke atas, seluruh tubuh kontraksi tonik, dapat disertai suara teriakan dan
nyaring, selanjutnya diikuti gerakan klonik berulang simetris di seluruh tubuh, lidah dapat
tergigit dan mulut berbusa serta diikuti mengompol. Setelah iktal, tubuh pasien menjadi
hipotonus, pasien dapat tertidur dan terasa lemah. Pada pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
saat interiktal didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa kompleks gelombang paku-
ombak (spike wave) terutama pada saat tidur stadium non-REM.5
b. Bangkitan Tonik
Bangkitan tonik ditandai oleh kontraksi seluruh otot yang berlangsung terus menerus,
berlangsung selama 2-10 detik namun dapat hingga beberapa menit, di-sertai hilangnya
kesadaran. Dapat disertai gejala autonom seperti apnea. Gambaran EEG interiktal menunjukkan
irama cepat dan gelombang paltu atau kompleks paku-ombak frekuensi lambat yang bersifat
umum.5
c. Bangkitan Klonik
Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kontraksi klonik yang ritmik (1-5 Hz) di seluruh tubuh
disertai hilangnya kesadaran sejak awal bangkitan. Pada EEG iktal didapatkan aktivitas
epileptiform umum berupa gelombang paku, paku multipel, atau kombinasi gelombang irama
cepat dan lambat.5
d. Bangkitan Mioklonik
Mioklonik adalah gerakan kontraksi involunter mendadak dan berlangsung sangat singkat
(jerk) tanpa disertai hilangnya kesadaran. Biasanya berlangsung 10-50 milidetik, durasi dapat
mencapai lebih dari 100 milidetik. Otot yang berkontraksi dapat tunggal atau multipel atau
berupa sekumpulan otot yang agonis dari berbagai topografi, Mioklonik dapat berlangsung
fokal, segmental, multifokal, atau umum. Gambaran EEG berupa gelombang polyspikes yang
bersifat umum dan singkat.5

e. Bangkitan Atonik

12
Bangkitan ditandai oleh hilangnya tonus otot secara mendadak. Bangkitan atonik dapat
didahului oleh bangkitan mioklonik atau tonik. Bentuk bangkitan bisa berupa "jatuh" atau
"kepala menunduk". Pemulihan pascaiktal cepat, sekitar 1-2 detik. Gambaran EEG dapat berupa
gelombang paku (spikes) atau polyspikes yang bersifat umum dengan frekuensi 2-3Hz dan
gelombang lambat.5.
f. Bangkitan Absans Tipikal
Bangkitan absans (petit mal) berlangsung sangat singkat (dalam hitungan detik) dengan
onset mendadak dan berhenti mendadak, Bentuk bangkitan berupa hilang kesadaran atau
"pandangan kosong". Dapat pula disertai komponen motorik yang minimal (dapat berupa
mioklonik, atonik, tonik, automatisme). Pada pemeriksaan EEG didapatkan aktifitas epileptiform
umum berupa kompleks paku-ombak 3Hz (>2,5Hz).5
g. Bangkitan Absans Atipikal
Bangkitan berupa gangguan kesadaran disertai perubahan tonus otot [hipotonia atau atonia],
tonik, atau automatisme. Pasien dengan bangkitan absans atipikal sering mengalami kesulitan
belajar akibat seringnya disertai terjadinya bangkitan tipe lain seperti atonik, tonik, dan
mioldonik. Pada absans atipikal, onset dan berhentinya bangkitan tidak semendadak bangkitan
absans tipikal, dan perubahan tonus otot lebih sering terjadi pada bangkitan tipe absans atipikal.
Pada EEG didapatkan gambaran kompleks pakuombak frekuensi lambat (1-2,5Hz atau <2,5Hz)
yang iregular dan heterogen dan dapat bercampur dengan irama cepat.5
h. Bangkitan Fokal/Parsial
Bentuk bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptik di otak. Fokus epileptik
berasal dari area tertentu yang kemudian mengalami propagasi dan menyebar ke bagian otak
yang lain. Bentuk bangkitan dapat berupa gejala motorik, sensorik (kesemutan, baal), sensorik
spesial [halusinasi visual, halusinasi auditorik), emosi [rasa takut, marah), autonom [kulit pucat,
merinding, rasa mual). Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan bangkitan parsial
kompleks atau bangkitan umum sekunder disebut sebagai aura.5

2.8 Penegakan Diagnosis Epilepsi


2.8.1 Anamnesis
Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:

13
1. Langkah pertama: pastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal merupakan bangkitan
epilepsi. Pada sebagian besar kasus, diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan
informasi yang diperoleh dari anamnesis baik auto maupun alloanamnesis dari orang tua
maupun saksi mata lain.
a. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
 Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk/ berdiri/ berbaring/ tidur/ berkemih.
 Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speech arrest)
 Pola/bentuk yang tampak selama bangkitan: gerakan tonik/klonik, vokalisasi,
otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, deviasi mata.
 Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,
Todd’s paresis.
 Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.
 Jumlah pola bangkitan satu atau lebih, atau terdapat perubahan pola bangkitan.
b. Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun riwayat penyakit neurologik dan
riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan.
d. Riwayat terapi epilepsy sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis, kadar OAE,
kombinasi terapi).
e. Riwayat penyakit epilepsy dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
g. Riwayat saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan bayi/anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.
2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981
3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989.8

2.8.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit
neurologi fokal.
14
Pemeriksaan neurologis
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat bergantung dari interval antara
dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
 Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan tampak tanda
pasca iktal terutama tanda fokal seperti todds paresis (hemiparesis setelah kejang yang
terjadi sesaat), trans aphasic syndrome (afasia sesaat) yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi.
 Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu, sasaran utama adalah
menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi sistem saraf permanen (epilepsi simptomatik)
dan walaupun jarang apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.8

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan dalam menegakkan diagnosis epilepsi dan memberikan informasi
berkaitan dengan sindrom epilepsi. Pemeriksaan mencakup fase bangun untuk menilai
frekuensi dan irama background dan fase tidur untuk menentukan lokasi atau fokus kejang
khususnya pada kasus-kasus kejang fokal guna menentukan, evaluasi pengobatan, dan
menentukan prognosis. Interpretasi klinik temuan EEG harus dikaitkan dengan kondisi
pasien seperti gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang lain.9
b. Pemeriksaan pencitraan otak
 CT-Scan merupakan pemeriksaan penunjang yang cukup penting karena dapat
menunjukkan kelainan pada otak seperti atrofi jaringan otak, jaringan parut, tumor dan
kelainan pada pembuluh darah otak.10
 MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting pada kasus kasus epilepsi
karena MRI dapat memperlihatkan struktur otak dengan sensitivitas yang tinggi.
Gambaran yang dihasilkan oleh MRI dapat digunakan untuk membedakan kelainan
pada otak, seperti gangguan perkembangan otak (sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal), tumor otak, kelainan pembuluh darah otak (hemangioma kavernosa) serta
abnormalitas lainnya. Meskipun MRI memiliki banyak keunggulan, pemeriksaan
dengan MRI tidak dilakukan pada semua jenis epilepsi. MRI tidak dianjurkan pada
sindrom epilepsi dengan kejang umum karena jenis epilepsi ini biasanya bukan
disebabkan oleh gangguan struktural.9

15
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit,
apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah
sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.4
2.9 Penatalaksanaan Epilepsi
2.9.1 Farmakologi
1. OAE diberikan bila (IDI, 2014) :
 Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
 Pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol, stress, kurang tidur, dan lain-
lain)
 Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
 Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan.
 Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping yang timbul dari OAE.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan (Tabel 1) dan jenis sindrom epilepsi

Tabel 1. OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan epilepsi

16
(Kusumastuti et al, 2014)

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat dalam darah ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif. Bila diduga ada perubahan farmakokinetik OAE
(kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE), diduga
penyandang epilepsi tidak patuh pada pengobatan.
4. Bila pada penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, maka
dapat dirujuk kembali untuk mendapatkan penambahan OAE kedua. Bila OAE kedua
telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off)
perlahan lahan.
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan dilayanan sekunder atau tersier setelah
terbukti tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
6. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi yaitu bila :
 Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
 Pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan
bangkitan: meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak, encephalitis herpes.
 Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan otak
 Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)

17
 Riwayat bangkitan simptomatik
 Terdapat sindrom epilepsy yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic
Epilepsi)
 Riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran , stroke, infeksi SSP.
 Bangkitan pertama berupa status epileptikus
7. Efek samping obat perlu diperhatikan, demikian pula halnya denganinteraksi
farmakokinetik antar OAE.

Tabel 3. Dosis Obat Anti Epilepsi (IDI, 2014)

Penghentian OAE

18
Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun
bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk
menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan.4
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut :
 Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal
 Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.
 Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangkat
waktu 3-6 bulan
 Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama.

Gambar 3. Algoritma Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus

2.9.2 Non Farmakologi


1. Stimulasi N.Vagus

19
2. Terapi ajuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada penyandang epilepsi
refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi syarat operasi. Dapat
digunakan pada bangkitan parsial dan bangkitan umum.
3. Deep Brain Stimulation
4. Diet ketogenik
5. Intervensi Psikologi :Relaksasi, behavioral cognitive therapy, dan biofeedback.4

Edukasi dan Konseling


1. Penting untuk memberi informasi kepada keluarga bahwa penyakit ini tidak menular
2. Kontrol pengobatan merupakan hal penting bagi penderita
3. Pendampingan terhadap pasien epilepsi utamanya anak-anak perlu pendampingan
sehingga lingkungan dapat menerima dengan baik
4. Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan baik Dilakukan untuk individu dan
keluarga.8

2.10 Diagnosis Banding Epilepsi


` Diagnosis kejang didasarkan pada riwayat klinis pasien. Anamnesis yang disampaikan
oleh saksi sangat penting, karena banyak jenis kejang yang berhubungan dengan penurunan
kesadaran, dan pasien tidak menyadari kejadiannya. Diagnosis klinis dapat dikonfirmasi dengan
kelainan pada EEG. Namun, kelainan ini dapat hadir pada individu yang sehat, ketidakhadiran
mereka tidak mengecualikan diagnosis epilepsi. Kondisi lain yang harus dipertimbangkan adalah
sebangai berikut:
 Sinkop (misalnya, aritmia jantung, sinkop vasovagal, disautonomia)
 Kondisi metabolik (misalnya hipoglikemia, hiponatremia)
 Migrain (misalnya aura migraine, setara migraine)
 Kondisi vascular (misalnya serangan iskemik transien)
 Gangguan tidur (misalnya, cataplexy, narkolepsi)
 Kondisi gastrointestinal (misalnya refluks esophagus pada neonatus dan bayi)
 Gangguan gerakan (misalnya dyskinesia paroksismal)
 Kondisi kejiwaan ( misalnya panic attack, dll).13

20
2.11 Prognosis Epilepsi
Prognosis umunya bonam, tergantung klasifikasi epilepsy yang dideritanya, sedangkan
serangan epilepsy dapat berulang, tergantung kontrol terapi dari pasien

21
22
BAB III
KESIMPULAN
Epilepsi merupakan gangguan otak yang ditandai dengan oleh adanya faktor predisposisi
secara terus menerus untuk terjadinya suatu bangkitan. Epilepsi dapat di sebabkan oleh 3 faktor
yaitu faktor didapat, idiopatik, dan genetik. Manifestasi dari epilepsi terdiri dari beberapa
bangkitan seperti tonik-klonik, tonik, klonik, myoklonik, atonik, absans tipikal, absan atipikal
serta bangkitan fokal atau parsial yang mana beberapa macam bangkitan tersebut memilki tanda
dan gejala nya masing-masing.
Diagnosis epilepsi dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis perlu ditanyakan sejak kapan bangkitan timbul, berapa lama, apakah
bangkit secara terus menerus, apakah sebelumnya pernah terjadi bangkitan. Perlu di tanyakan
riwayat sebelumnya, riwayat keluarga, riwayat kebiasaan. Hal untuk menentukan jenis bankitan.
Pada pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit
neurologi fokal. Sedangkan, pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan EEG, CT scan, MRI,
serta laboratorium.
Penatalaksanaan epilepsi dapat diberikan OAE jika :
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol, stress, kurang tidur, dan lain-lain)
c. Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
d. Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan.
e. Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping yang
timbul dari OAE.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Dragoumi P, Tzetzi O, Vargiami E, Pavlou E, Krikonis K, Kontopoulos E, et al.


(2013) Clinical course and seizure outcome of idiopathic childhood epilepsy:
determinants of early and long-term prognosis. BMC Neuurology..
2. Yolanda, Nuh Gusta Ady, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi. (2019) faktor
faktor yang berpengaruh pada kejadian epilepsi intraktabel anak di rsup dr kariadi
semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Semarang.
3. McPhee, S. J., & Ganong, W. F. (2015). Patofisiologi Penyakit (5th ed.). EGC.
4. Kusumastuti, K., Gunadharma, S., & Kustiowati, E. (2014). Pedoman Tatalaksana
Epilepsi (PERDOSSI (ed.)). Erlangga University Press
5. Aninditha, T., & Wiratman, W. (2017). Buku Ajar Neurologi. Penerbit Kedokteran
Indonesia.
6. Anwar, H., Khan, U. Q., Nadeem, N., Pervaiz, I., Ali, M., & Cheema, F. F. (2021).
Epileptic Seizures. Discoveries Journals, 9(2), e128.
7. Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran EGC
8. Indonesia, I. D. (2014). Panduan Praktis Klinis.
9. Fikrawan, P. F. J., & Sari, D. M. (2016). Pemilihan Terapi pada Laki-Laki Usia 21
Tahun dengan Kejang Umum Tipe Tonik-Klonik E.C Epilepsi Idiopatik. J Medula
Unila, 6 No. 1.
10. Vera, R., Dewi, M. A. R., & Nursiah. (2014). Sindrom Epilepsi Pada Anak.
11. Ko, D. Y. (2020). Epilepsy and Seizures Differential Diagnoses.
12. Octaviana, F., Budikayanti, A., Wiratman, W., Indrawati, L. A., & Syeban, Z. (2017).
Bangkitan dan Epilepsi. In Buku AJAR NEUROLOGI (1st ed., pp. 75–97). Penerbit
Kedokteran Indonesia.

24

Anda mungkin juga menyukai