Anda di halaman 1dari 20

1

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :


Nilai :

Dokter Pembimbing,

(dr. Tarmizi, Sp.A)

KATA PENGANTAR
2

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat
dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian proses
penyusunan referat yang berjudul: “Status epilepsi “ sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Sidikalang.
Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada dokter pembimbing atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Sidikalang.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, kritik dan
sarannya yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan case ini di
kemudian hari. Harapan penulis semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu di klinis dan
masyarakat.

Sidikalang, Agustus 2018

Penulis
3

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................1
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................5
2.1 Defenisi Status Epilepsi....................................................................................................5
2.2 Fisiologi Impuls Saraf (sumber: bahan ajar).....................................................................5
2.3 Epidemiologi Status Epilepsi............................................................................................8
2.4 Etiologi Status Epilepsi.....................................................................................................9
2.5 Faktor Resiko Status Epilepsi...........................................................................................9
2.6 Klasifikasi Status Epilepsi (SE)........................................................................................9
2.7 Patofisiologi Status Epilepsi...........................................................................................10
2.8 Manifestasi Klinis Status Epileptikus............................................................................10
2.9 Penegakan Diagnosa Status Epileptikus.........................................................................11
2.10 Tatalaksana Status Epilepsi.............................................................................................12
2.11 Komplikasi Status Epileptikus........................................................................................17
2.12 Prognosis Status Epileptikus...........................................................................................17
BAB 3 KESIMPULAN.................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................19
4

BAB 1 PENDAHULUAN

Saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status epileptikus (SE)
karena International League Againts Epilepsy(ILAE) hanya menyatakan bahwa SE
adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau
berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut
ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian
para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.
(rekomendasi)
Bangkitan kejang merupakan satu manifestasi daripada lepas muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron saraf pusat. Keadaan ini merupakan gejala terganggunya fungsi
otak. Ganggguan ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau
gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi
otak dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa bangkitan kejang dapat disebabkan oleh banyak macam penyakit atau kelainan
diantaranya adalah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak tumor otak, perdarahan otak,
gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali congenital otak, kelainan degeneratif
susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksis-
alergis,keracunan obat atau kimia, jaringan parut, faktor hereditas.
5

Ketika menemukan anak dengan bangkitan kejang, haruslah dicari kelainan atau
penyakit yang menyebabkannya. Kadang-kadang kita berhasil menemukannya, tapi
sering pula idiopatik.
Manifestasi bangkitan kejang dapat bermacam-macam dari yang ringan seperti
rasa tidak enak di perut sampai kepada yang berat (kesadaran menghilang disertai kejang
tonik-klonik). Semua ini bergantung pada sel-sel neuron mana dalam otak yang
terangsang dan sampai seberapa luas rangsangan ini menjalar. (buku anak)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Status Epilepsi


Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefenisikan SE sebagai kejang yang
terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah
tanpa pemulihan kesadaran di antaranya.

2.2 Fisiologi Impuls Saraf (sumber: bahan ajar)


Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel
lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran
berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel
tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan
jumlah ion-ion terutama ion Na+, K + dan Ca++. Bila sel syaraf mengalami stimulasi,
misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan menurunnya potensial membran. (Guyton,
Arthur 1987).
Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap
ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama
serangan ini lemah, perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh
transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan
6

istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon
lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap
(firing level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-
besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan
7

dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia yang
dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah selesai, maka permiabilitas
membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+
masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari
sintesa glukosa dan oksigen.
Neurotransmitter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan dalam
gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan dari ujung akson terminal
dan juga direabsorbsi untuk daur ulang. Neurotransmiter merupakan cara komunikasi
amntar neuron. Setiap neuron melepaskan satu transmitter. Zat – zat kimia ini
menyebabkan perubahanpermeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih kurang
dapat menyalurkan impuls. Diketahui atau diduga terdapat sekitar tiga puluh macam
neurotransmitter, diantaranya adalah Norephinephrin, Acetylcholin, Dopamin, Serotonin,
Asam Gama-Aminobutirat (GABA) dan Glisin. (Price,Sylvia 1995)
Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls du sepanjang neuron.
Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrium dan kalium bervariasi dan
dipengaruhi oleh perobahan kimia serta listrik dalam neuron tersebut ( terutama
neurotransmitter dan stimulus organ receptor ). (Guyton, Arthur 1987).

(Langkah sintesis gamma aminobutyric (GABA))


8

Tempat –tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan dengan neuron lain
atau dengan organ –organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu – satunya
tempat dimana suatu impuls dapat lewat dari suatu neuron ke neuron lainnya atau efektor.
Ruang antara satu neuron dan neuron berikutnya ( atau organ efektor ) dikenal dengan
nama celah sinaptik (synaptic cleft). Neuron yang menghantarkan impuls saraf menuju ke
sinaps disebut neuron prasinaptik.Neuron yang membawa impuls dari sinaps disebut
neuron postsinaptik. (Price,Sylvia 1995).

Dalam keadaan istirahat , permeabillitas membran sel menciptakan kadar kalium


intrasel yang tinggi dan kadar natrium intra sel yang rendah, bahkan pada pada kadar
natrium extrasel yang tinggi. Impuls listrik timbul oleh pemisahan muatan akibat
perbedaan kadar ion intrasel dan extrasel yang dibatasi membran sel. Potensial aksi yang
terjadi atau impuls pada saat terjadi depolarisasi dialirkan ke ujung saraf dan mencapai
ujung akson ( akson terminal ). Saat potensial aksi mencapai akson terminal akan
dikeluarkanlah neurotransmitter, yang melintasi synaps dan dapat saja merangsang saraf
berikutnya. (Guyton, Arthur 1987).
Timbulnya kontraksi otot
9

Timbulnya kontraksi pada otot rangka mulai dengan potensial aksi dalam serabut –
serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke bagian dalam
serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya ion – ion kalsium dari retikulum
sarkoplasma. Selanjutnya ion kalsium menimbulkan peristiwa – peristiwa kimia proses
kontraksi. (Guyton, Arthur 1987).
Perangsangan serabut otot rangka oleh saraf
Dalam fungsi tubuh normal, serabut –serabut otot rangka dirangsang oleh serabut
– serabut saraf besar bermielin. Serabut –serabut saraf ini melekat pada serabut serabut
otot rangka dalam hubungan saraf otot ( neuromuscular junction) yang terletak di
pertengahan otot. Ketika potensial aksi sampai pada neuromuscular junction, terjadi
depolarisasi dari membran saraf , menyebabkan dilepaskan Acethylcholin, kemudian
akan terikat pada motor end plate membrane, menyebabkan terjadinya pelepasan ion
kalsium yang menyebabkan terjadinya ikatan Actin – Myosin yang akhirnya
menyebabkan kontraksi otot. Oleh karena itu potensial aksi menyebar dari tengah serabut
ke arah kedua ujungnya, sehingga kontraksi hampir bersamaan terjadi di seluruh
sarkomer otot. (Guyton, Arthur 1987).

2.3 Epidemiologi Status Epilepsi


Insidens SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap tahun,
sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk usia lanjut. Dua
penelitian restropektif di Jerman mendapatkan insidens 17,1 per 100.000 per tahun.
Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada penelitian Richmond berkisar 22%.
Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua
mempunyai mortalitas hingga 38%. Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset
kejang, dan etiologi. Pasien stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi.
Sedangkan pasien dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam
darah yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.3,7
Secara umum, Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000
anak. Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang
dari 1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.
10

2.4 Etiologi Status Epilepsi


Secara umum etiologi SE dibagi menjadi :
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma kepala,
perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati, hipoksik-iskemik
(EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak congenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, autoimun
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui

(smber :evaluasi dan manajemen se) (rekomendasi)

2.5 Faktor Resiko Status Epilepsi


Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status
epileptikus:
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status
epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi
epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP,
penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif ), dan
ensefalopati hipertensi. (rekomendasi)

2.6 Klasifikasi Status Epilepsi (SE)


1) Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized mengacu pada
aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada aktivitas
motorik suatu kejang.
Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada respons
motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe NCSE
(Non-convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara defi nisi subtle SE merupakan
11

nonconvulsive, namun harus dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan
berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai prognosis yang buruk.
Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial SE.
Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan prognosis; focal
motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.
Simple Partial SE
Secara defi nisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada area korteks
serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE,
simple partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Secara tradisional, SE dapat diklasifi kasikan menjadi convulsive dan nonconvulsive,
namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifi kasi ILAE (International League
Against Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah nonconvulsive, karena dapat
merupakan suatu keadaan yang beragam seperti kejang fokal pada limbic SE ataupun
generalized seperti absence SE. Di samping itu, keadaan convulsive, khususnya kejang
myoclonic, dapat terlihat pada nonconvulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau
perioral. Skema ILAE 2001 mendefi nisikan SE sebagai aktivitas kejang yang terus-
menerus dan mengklasifi kasikan SE menjadi dua kategori, yaitu generalized dan focal
SE. (EVALUASI DAN MANAJEMEN)

2.7 Patofisiologi Status Epilepsi


Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan
atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter eksitasi utama
tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah
gamma-aminobutyric acid (GABA). (smber: rekomendasi..)

2.8 Manifestasi Klinis Status Epileptikus


SE dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil peningkatan kebutuhan
metabolic akibat kejang berulang dan perubahan autonom termasuk takikardi, aritmia,
hipotensi, dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik termasuk hipoksia,
hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan gangguan elektrolit memerlukan
12

intervensi medis. Kehilangan autoregulasi serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah
30 menit aktivitas kejang yang terus menerus. SE tonik-klonik mempunyai 2 fase sebagai
berikut:10
Fase 1: Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi mekanisme fi siologis cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolik, dan jaringan otak terlindungi dari hipoksia atau
kerusakan metabolisme. Perubahan fi siologis utama terkait dengan meningkatnya aliran
darah dan metabolisme otak, aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler.
Fase 2: Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolisme serebral sangat meningkat dan tidak dapat
sepenuhnya tercukupi, sehingga menyebabkan hipoksia dan perubahan metabolik
sistemik. Perubahan autonom tetap berlangsung dan fungsi kardiorespirasi dapat gagal
mempertahankan homeostasis. (evaluasi dan manajemen)

2.9 Penegakan Diagnosa Status Epileptikus


1. anamnesis
a. deskripsi kejang (bentuk, fokal atau umum, lama,frekuensi, kesadaran saat
kejang/tanpa demam, interval, kesadaran pasca kejang, dan kelumpuhan pasca
kejang)
b.anamnesis untuk mencari etiologi kejang demam,trauma kepala,sesak nafas
diare, muntah, riwayat ada tidaknya kejang/epilepsy. Jika ada epilepsy apakah
minum obat secara teratur
c. riwayat kejang/epilepsy dalam keluarga
2. pemeriksaan fisik
a. Penilaian kesadaran, penilaian fisik umum yang menunjang ke arah etiologi
kejang seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda-tanda dehidrasi maupun
tanda-tanda hipoksia
b. pemeriksaan neurologi meliputi ada tidaknya kelainan bentuk kepala, , ubun-
ubun besar, , tanda rangsang meningeal,nervus cranial, motorik, reflex fisiologis
dan patologis.
3. pemeriksaan laboratotium
13

Pemeriksan darah , darah tepi rutin, pemeriksaan lain sesuai indikasi, (misal kadar
gula darah,elektrolit) pemeriksaan cairan cerebrospinal (bila perlu) untuk
mengetahuintekanan, warna , kejernihan, berdarah, xantokrom, jumlah sel, hitung
jenis sel, kadar protein gula, NaCl dan pemeriksaan lain atas indikasi (buku anak)
4. pemeriksaan penunjang
Sesuai indikasi untuk mencari etioogi dan komplikasi status epileptikus
a. elektroensefalogram (EEG)
pemeriksaan EEG sangat berguna membantu menegakkan diagnosis epilepsy.
Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut
‘epileptiform discharge’ atau ‘epileptiform activity’. Pemeriksaan EEG harus
dilakukan secara berkala.
b. pemeriksaan radiologi/CT-SCAN/MRI

2.10 Tatalaksana Status Epilepsi


Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis
anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi.
1) Medikamentosa
Tujuan utama pengobatan status epileptikus:
a. mempertahankan fungsi vital (A,B,C)
b. Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor presipitasi
c. Menghentikan aktivitas kejang
Tujuan tatalaksana penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai berikut
a. Di rumah /prehospital:
Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan pemberian per
rectal dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg atau secara sederhana bila berat badan <10kg ;
5mg sedangkan berat badan >10kg; 10mg. pemberian maksimum 2kali dengan
interval 5 menit. Bila kejang masih berlangsung bawalah ke klinik/ rumah sakit
terdekat
b. Dirumah sakit
Saat tiba di klinik /rumah sakit, bila belum terpasang cairan intravena, dapat
diberikan diazepam per rectal ulangan 1 kali sambil mencari akses vena. Sebelum
14

dipasang cairan intravena. Sebaiknya dilakukan pengambilan darah untuk dilakukan


pemeriksaan darah tepi, elektrolit, dan gula darah sesuai indikasi
Bila terpasang cairan intravena , berikan fenitoin IV dengan dosis 20mg/kg dilarutkan
dalam NaCl 0,9% diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 50mg/menit.bila
kejang belum teratasi dapat diberikan tambahan fenitoin IV 10mg/kg bila kejang
teratasi lanjutkan pemberian fenitoin IV setelah 12 jam kemudian dengan rumatan 5-7
mg/kg
Bila kejang belum teratasi berikan fenitoin IV dengan dosis minimum 15-20 mg/kg
dengan kecepatan pemberian 100mg/menit. Awasi dan atasi kelainan metabolic yang
ada. Bila kejang berhenti lanjutkan dengan pemberian fenobarbital IV rumatan 4-5
mg/kg setelah 12 jam kemudian.
c. Perawatan intensif- rumahsakit
Bila kejang belum berhenti dilakukan intubasi dan perawatan intensif dapat diberikan
salah satu diantara ini:
- Nidzolam 0,2mg/kg diberikan bolus perlahanlahan diikuti infuse midazolam 0,01-
0,02 mg/kg/menit selama 12-24 jam
- Propofol 1mg/kg selama 5 menit dilanjutkan dengan 1-5 mg/kg/jam dan
diturunkan setelah 12-24 jam

2) Terapi rumatan
Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan diajepam tergantung dari
etiologi. Jika penyebab kejang suatu hal yang dapat dikoreksi secara cepat
(hipoglikemia, kelainan elektrolit, hipoksia) mungkin tidak diperlukan terapi rumatan
selama pasien dirawat.
- Jika penyebab infeksi SSP (ensefalitis,meningitis), perdarahan intrakranial,
mungkin diperlukan terapi rumat selama perawatan. Dapat diberikan fenobarbital
dengan dosiss awal 8-10mg/kgbb/hari dibagi dlam 2 dosis selama 2 hari,
dilanjutkan dengan dosis 4-5mg/kgbb/hari sampai resiko untuk berulangnya
kejang tidak ada
- Jika etiologi adalah epilepsi, lanjutkan obat antiepilepsi dengan menaikkan dosis
15

- Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan
rumatan dengan dosis 5-7 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis.
- Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan fenobarbital,lanjutkan
dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis.
3) Cara pemberian obat antikonvulsan pada tatalaksana kejang akut
a) Diazepam
- Dosis maksimum pemberian diazepam rectal 10mg dapat diberikan 2 kali dengan
interval 5-10 menit.
- Sediaan intravena tidak perlu diencerkan, maksimum sekali pemberian 10mg
dengan kecepatan maksimum 2 mg/menit dapat diberikan 2-3kali dengan interval
5 menit
b) Fenitoin
- Dosis inisial maksimum adalah 1000mg (30mg/kgbb)
- Sediaan intravena diencerkan dengan Nacl 0,9%, 10 mg/ 1cc Nacl 0,9 %
- Kecepatan pemberian intravena : 1mg/kg/menit, maksimum 50mg/menit
- Jangan diencerkan dengan larutan dextrose, karena akan menggumpal.
- Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah pemberian.
- Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial.
- Efek samping : aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada pemberian IV yang
terlalu cepat.
c) Fenobarbital
- Sudah ada sediaan IV, sediaan IM tidak boleh diberikan IV
- Dosis inisial maksimum 600mg (20 mg/kgbb)
- Kecepatan pemberian maksimum 100mg/menit
- Efek samping : hipotensi dan depresi nafas, terutama jika diberikan setelah obat
golongan benzodiazepine
Protocol penggunaan midazolam pada kejang refrakter
Rawat di ICU, intubasi dan berikan ventilasi. Midazolam bolus 0,2 mg/kg (perlahan)
Kemudian drip 0,02-0,4 mg/kg/jam. Rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan.
infus midazolam diturunkan secara bertahap jika dalam 12 jam tidak terdapat kejang.
4) Tatalaksana umum
16

- Pemantauan tekanan darah/laju nafas/laju nadi/suhu/elektrokardiografi


- Pemantauan tekanan intracranial: kesadaran, doll’s eye movement, pupil, pola
pernafasan dan edema papil
- Analisa gas darah, darah tepi , pembekuan darah, elektrolit, fungsi hati dan ginjal
bila dijumpai kelainan lalukan koreksi.
- Balans cairan input-output
- Tatalaksana etiologi
- Edema serebri – dapat diberikan mannitol 0,5-1,0mg/kg/8 jam

Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan
Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
17

(ppm)
18

2.11 Komplikasi Status Epileptikus


1) Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu
reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor
glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan
pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta
kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik.Proses kontraksi dan
relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot,
demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan
menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga
menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi,
hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh;
mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit
kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang,
kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan
memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses
inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.
2) Komplikasi sekunder
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi
napas serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital.
Efek samping propofol yang harus diwaspadai adalah propofol infusion
(sumber : buku rekomendasi)

2.12 Prognosis Status Epileptikus


Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita deficit
neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami
SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam
2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif,
etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsi.

BAB 3 KESIMPULAN
19

.
Status epilepticus merupakan kejang yang terus-menerus selama paling sedikit
30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di
antaranya. Bangkitan kejang merupakan satu manifestasi daripada lepas muatan listrik
yang berlebihan di sel neuron saraf pusat.
Keadaan ini merupakan gejala terganggunya fungsi otak. Ganggguan ini dapat
disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut.
Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak dapat menyebabkan
timbulnya bangkitan kejang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bangkitan kejang
dapat disebabkan oleh banyak macam penyakit atau kelainan diantaranya adalah trauma
lahir, trauma kapitis, radang otak tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran
darah, hipoksia, anomali congenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf pusat,
gangguan metabolisme, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksis-alergis,keracunan obat
atau kimia, jaringan parut, faktor hereditas.
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus ditindaki secepat
mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Biasanya dilakukan
dua tahap tindakan yakni stabilitas pasien dan menghentikan kejang dengan obat anti
kejang.
20

DAFTAR PUSTAKA

Sherwood L. Fisiologi Reproduksi Wanita. Dalam: Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. ed 8.
Jakarta: EGC; 2014.

Guyton AC, E HJ. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. ed 11. Luqman R, Huriawati H, Andita N,
Nanda W, editors. EGC. Jakarta: EGC; 2007

Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. 855-860 hal.

Buku Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2009

Marcdante KJ, Robert MK, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial.
Edisi 6; 2011.736-742 hal.

Pusponegoro HD, Widodo DP, MangunatmadjaI, Handryastuti S. Rekomendasi penatalaksanaan


Status Epileptikus: IDAI.2016

Rilianto B. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus.VOL 42.Riau. CDK:2015

Price, A. Silvia; Wilson, M. Lorraine vol 2.edisi 6. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta : EGC: 2005. 1157-1160

ILAE Classification of the Epilepsies.


https://www.ilae.org/guidelines/definition-and-classification/ilae-classification-of-the-epilepsies-
2017

Anda mungkin juga menyukai