Anda di halaman 1dari 49

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT

STATUS EPILEPTIKUS

Logo stikes baru

Di Susun Oleh :

Kelompok 5

1. Afifah Lina Adilliyah (1601001 )


2. Anggita Wulandari (1601002)
3. Ganang Prio Bangkit N (1601011 )
4. Lufik Fadillah (1601015 )

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH


KLATEN
TAHUN AJAR 2018/ 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT karena


berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Penyakit Status Epileptikus’’.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari
pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
sekalian.

KLATEN, 24 MEI 2019

PENULIS
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Status epileptikus adalah aktivitas kejang lama akut (Arif, 2008) yang merupakan
rentetan kejang umum yang terjadi secara kontinu, berulang di sertai gangguan
kesadaran, dengan durasi kejang yang berlangsung secara terus menerus selama 30
menit atau lebih , serta status epileptikus ini merupakan kejang yang paling serius
karena terjadi secara terus menerus tanpa henti dimana terdapat kontraksi otot yang
sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas
sehingga apabila tidak di tangani segera maka besara kemungkinan akan terjadi
kerusakan jaringan otak permanen serta dapat mengakibatkan kematian.

Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-
3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di
antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di
antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World
Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap
epilepsi.

Gejala pada status epileptikus ini harus dapat di kenali dan di tanggulangi secepat
mungkin, rata – rata meskipun dilakukan pengobatan secara tepat akan tetapi terdapat
sekitar 15 % penderita meninggal, dan kurang lebih 60 – 80 % penderita yang bebas
dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut
menjadi penderita epilepsi. Status epileptikus ini juga merupakan sebagai keadaan
kedaruratan medis mayor, yang akan menimbulkan kebutuhan metabolik besar serta
dapat mempengaruhi pernapasan. Faktor – faktor yang mencetuskan status epileptikus
ini dapat meliputi gejala putus obat antikonvulsan, demam, serta, infeksi penyerta.
Secara sederhana dapat di katakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten
atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih, harus di
pertimbangkan sebagai status epileptikus.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan status epileptikus?
2. Bagaimana epidemiologi dari status epileptikus?
3. Apa saja etiologi dari status epileptikus?
4. Bagaimana klasifikasi dari status epileptikus?
5. Bagaimana patofisiologi dari status epileptiku?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari status epileptikus?
7. Apa saja pemeriksaan dari status epileptikus?
8. Bagaimana perawatan dari status epileptikus?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui, mengidentifikasi, mengerti dan memahami asuhan keperawatan pada


pasien dengan penderita status epileptikus

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui tentang istilah status epileptikus


2. Untuk mengetahui tentang etiologi status epileptikus
3. Untuk mengetahui tentang patofisiologi status epileptikus
4. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis status epileptikus
5. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan status epileptikus
6. Untuk mengetahui tentang perawatan status epileptikus

1.4 Manfaat

1. Diharapkan mahasiswa dapat menambah wawasan tentang status epileptikus.


2. Diharapkan mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan tentang status
epileptikus dengan baik.
3. Dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan


Sistem persarafan merupakan sistem yang memiliki kemampuan untuk
mengoordinasi, menafsirkan, dan mengontrol interaksi antara individu dengan
lingkungan sekitarnya. Sistem persarafan mengatur segala bentuk kesadaran, pikiran,
ingatan, bahasa, sensasi dan gerakan. Jadi kemampuan untuk dapat memahami,
mempelajar dan merespons suatu rangsangan merupakan hasil kerja terintegrasi
sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan tingkah
laku individu.
Secara umum sistem persarafan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Sistem saraf pusat (SSP)
Yang terdiri atas otak dan medulla spinalis
2. Sistem saraf tepi (SST)
Terdiri atas neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis (SSS) serta neuron
sistem saraf otonom/viseral (SSO).
Jaringan saraf
1. Neuron
Merupakan suatu sel saraf dan merupakan unit anatomis dan fungsional sistem
persarafan. Terdiri atas.
a. Dendrit sebagai bagian penerima rangsangan dari saraf-saraf lain.
b. Badan sel yang mengandung inti sel
c. Akson yang menjadi perpanjangan atau serat tempat lewatnya sinyal yang
dicetuskan di dendrit dan badan sel.
d. Terminal akson yang menjadi pengirim sinyal listrik untuk disampaikan ke
dendrit atau badan sel neuron kedua dan apabila di susunan saraf perifer, sinyal
disampaikan ke sel otot atau kelenjar.
Neuron-neuron yang membawa informasi dari susunan saraf perifer ke sentral
disebut neuron sensorik atau aferen, yang memiliki reseptor di dendrit atau badan sel
yang mengindera rangsangan kimiawi atau fisik. Sedangkan neuron-neuron yang
membawa informasi keluar dari susunan saraf pusat ke berbagai organ sasaran (suatu
sel otot atau kelenjar) disebut neuron motorik atau eferen.
Neuron selanjtnya yang membentuk sebagian besar neuron susunan saraf pusat,
menyampaikan pesan-pesan antara neuron aferen dan eferen disebut interneuron.

2. Neurotransmiter
Merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan dalam
gelembung sinaptik pada ujung akson. Neurotransmitter merupakaan cara komunikasi
antar neuron, setiap neuron melepaskan satu trasnmitter. Zat-zat kimia ini
menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron.
3. Transmisi sinaps
Tempat-tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan neuron lain atau
dengan organ-organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu-satunya tempat
dimana impuls dapat lewat dari suatu neuron ke neuron lainya atau efektor.
4. Otak
Merupakan jaringan yang paling banyak menggunakan energi, utamanya berasal
dari proses metabolisme. Karena aktivitas otak tidak pernah berhentidengan fungsinya
sebagai pusat integrasi dan koordinasi organ-oran sensorik dan sistem efektor perifer
tubuh, disamping berfungsi sebagai pengatur informasi yang masuk, simpanan
pengalaman, impuls yang keluar, dan tingkah laku.
Jaringan Otak
Jaringan gelatinosa otak dan medulla spinalis dilindungioleh tulang tengkorak
dan tulang belakang, dan oleh tiga lapisan jaringan penyambung yaitu piameter,
araknoid, dan durameter. Piameter langsung berhubungan dengan otak dan jaringan
spinal, dan mengikuti kontur struktur ekstrnal otak an jaringan spinal. Piameter
merupakan lapisan vaskuler yang memiliki pembuluh darah yang berjalan menuju
struktur interna SSP untuk memberi nutrisi pada jaringan saraf. Araknoid merupakan
suatu membran fibrosa yang tipis, halus dan tidak mengandung pembuluh darah,
meliputi otak dan medulla spinalis. Daerah antara araknoid dan piamater disebut
ruang subaraknoid, tempat arteri, vena serebral, trabekula raknoid, dan cairan
serebrospinal yang membasahi SSP. Durameter merupakan suatu jaringan liat, tidak
elastis, dan mirip kulit sapi yang terdiri atas dua lapisan. Impuls Saraf
Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls sepanjang
neuron. Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrium dan kalium bervariasi
dan dipengaruhi oleh perubahan kimia serta listrik dalam neuron tersebut. Dalam
keadaan istirahat, permeabilitas membran sel menciptakan kadar kalium intrasel yang
tinggi dan kadar natriumintra sel yang rendah bakan pada kadar natrium ektrasel yang
tinggi. Impuls listrik timbul oleh pemisahan muatan akibat perbedaan kadar ion
intrasel dan ekstrasel yang dibatasi membran sel.
2.2 Definisi
Status epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan
kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah
ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir
sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran (Muttaqin,

2011).
Status epileptikus atau status konvulsikus ialah keadaan konvulsi umum yang
berlangsung terus-menerus atau timbul secara berturut-turut dengan interval yang
sejenak saja (Sidharta, 2004).
Status epileptikus menimbulkan kebutuhan metabolik besar dan dapat
mempengaruhi pernapasan terdapat beberapa kejadian henti napas pada puncak setiap
kejang yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia otak.
Status Epileptikus menurut Mansjoer dkk (2000) adalah aktivitas kejang yang
berlangsung terus menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam
praktek klinis lebih baik mendefisinikannya sebagai setiap aktivitas serangan kejang
yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status mengancam adalah serangan kedua
yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran di antarserangan.
Menurut Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan status
epileptikus sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau
adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran diantaranya.
Menurut International League Against Epilepsy mendefinisikan status epiletikus
sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih
(Nia Kania, 2007). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorangmengalami
kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau
lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

2.3 Epidemiologi

Insidens Status Epileptikus di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu


setiap tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk
usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman mendapatkan insidens 17,1 per
100.000 per tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada penelitian Richmond
berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada dewasa 26%. Populasi
yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%.
Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi. Pasien stroke
dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien dengan etiologi
penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah,
mempunyai mortalitas relatif rendah (Rilianto, 2015).

2.4 Etiologi
Status epileptikus sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem
saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat
antiepilepsi dalam darah yang rendah. Gangguan serebrovaskuler merupakan
penyebab status epileptikus tersering di negara maju, sedangkan di negara
berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf pusat.
Penyebabnya epilepsi adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak
terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Gangguan fungsi otak yang bisa
menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa
disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor
tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau
fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau
serangan epilepsi.
Predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsi meliputi (Muttaqin, 2011).
1. Pascatrauma Kelahiran.
2. Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan yang digunakan
sepanjang kehamilan.
3. Asfiksia neonatorum.
4. Riwayat ibu-ibu yang mempunyai risiko tinggi ( tenaga kerja, wanita dengan latar
belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi).
5. Pascacedera kepala.
6. Adanya riwayat keracunan ( karbon monoksida dan menunjukkan keracunan).
7. Riwayat gangguan sirkulasi serebral.
8. Riwayat demam tinggi.
9. Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi/gizi.
10. Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alkohol.
11. Riwayat adanya tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan.
12. Riwayat keturunan epilepsi.
Faktor yang menyebabkan terjadinya status epileptikus ( Dewanto dkk,

2009).
1. Penghentian obat-obatan antikonvulsan secara tiba-tiba.
2. Demam.
3. Kelainan serebrovaskular.
4. Gangguan metabolik.
5. Infeksi SSP.
6. Gangguan iskemik-hipoksia (kasus tenggelam dan inhalasi asap).
7. Tumor.
8. Trauma.
9. Idiopatik.
Faktor resiko terjadnya epilepsi sangat beragam, diantaranya adalah infeksi

SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Pada
penderita demam, faktor resiko terjadinya epilepsi adalah :
a. Jika kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam pertama.
b. Kejang demam kompleks
c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.

2.5 Klasifikasi
Adapun Klasifikasi status epileptikus menurut ILAE 1981 (Nia Karnia, 2007)
sebagai berikut :
a. Serangan parsial (fokal) : serangan parsial sederhana (dengan gejala motorik,
sensorik, otonom atau psikis), serangan parisal kompleks, serangan parsial dengan
generalisasi sekunder.
b. Serangan umum : absens (petil mal), tonik klonik (grand mal), tonik, atonik,
mioklonik
c. Serangan epilepsi tak terklasifikasikan
Serangan parsial dimlai pada satu area fokal di korteks serebri, sedangkan umum
dimulai secara simultan dikedua hemisfer. Sedangkan klasifikasi menurut Treiman
sebagai berikut :

a. Generalized convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized convulsive ini
mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive
mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.
b. Subtle SE
Terdiri dari aktivitas kejang pada otak ang bertahan saat tidak ada respons
motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe
NCSE (Non-convulsive Status Epileptikus). Subtle SE merupakan keadaan
berbahaya, sulit diobati dan mempunyai prognosis yang buruk.
c. Noncolvusive SE
d. NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial SE.
Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi dan prognosis;focal
motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.
e. Simple partial SE
Secara definisi, simple partial SE ini terdiri kejang yang terlokalisasi pada area
korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan
convulsive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan
morbiditas yang tinggi

2.6 Patofisiologi (Pathway)


Predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf
pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan
listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol ( disritmia).
Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi setelah suatu gangguan pada otak dan
sebagian di tentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesensafolen,
thalamus dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epiletogenik sedangkan lesi
pada serebellum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan epilepsi ( Brunner,
2003 dalam Muttaqin, 2011). Periode pelepasan impuls yang tidak diinginkan
2.7 Manifestasi Klinis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-
Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari
survei ditemukan kira-kira 44-74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status

Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum
tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya
takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan
pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali
pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status

Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
4. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat
dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik,
infeksi atau kondisi degeneratif.
5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas
atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai
suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai
“slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama.
Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.
6. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus
nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Aktifitas motorik biasanya
normal pada sebagian besar kasus, kadang ditemukan kekakuan (clumsiness),
apraksia, jerking fokal, twiching pada otot wajah (kedip-kedip mata) mengunyah atau
mengecap-ngecap makanan, gerakan automatisme dalam bentuk gerak yang nyata
sangat jarang seperti flexi, ekstensi dari ekstermitas, deviasi kepala.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid, delusional, cepat
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor
dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis.
7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-
jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang
cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme,
gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG
terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi
bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens
dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks
dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Diagnostik

a. Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme
perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun
proses sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP
tidak rutin dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang
memiliki manifestasi klinis infeksi SSP.
b. Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu
otak. Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh
karena berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi.
Pemeriksaan EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada
pasien dengan kejang epileptik, sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan
EEG tergantung pada kecurigaan etiologinya dan masih menjadi perdebatan.
c. Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan
pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai
terdapat suatu penyakit struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila
ditemukan deficit neurologis fokal dan perubahan kesadaran yang menetap. Pada
pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi dilakukannya pencitraan pada anak
dengan SE.
d. Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan
dikerjakan jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan,
namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat
mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun
kejang fokal sekunder.

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan epilepsi dilakukan secara individual untuk memenuhi kebutuhan
khusus masing-masing klien dan tidak hanya mengatasi tetapi juga mencegah kejang.
Penatalaksanaan berbeda satu kilen dengan klien lainnya karena beberapa bentuk
epilepsy yang muncul akibat kerusakan otak dan bergantung pada perubahan kimia
otak (Muttaqin, 2011).
Farmakoterapi
Beberapa obat antikonvulsan diberikan untuk mengontrol kejang, walaupun
mekanisme kerja zat kimia dari obat-obatan tersebut tetap masih tidak diketahui.
Tujuan dari pengobatan adalah mengontrol kejang dengan efek samping yang
minimal. Obat diberikan sesuai tipe kejang yang akan diobati, keefektifan, serta
keamanan medikasi. Dosis awal dan kecepatan dosis ditingkatkan bergantung pada
ada atau tidaknya efek samping yang terjadi. Kadar medikasi dipantau karena absorbsi
obat bervariasi untuk setiap orang (Muttaqin, 2011).
1. Lima menit pertama
a. Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan
berikutnya
b. Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan napas,
intubasi bila perlu bantuan ventilasi
c. Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelainan
d. Pasang jalur intravena dengan NaCl 0,9%, periksa gula darah, kimia darah,
hematologi dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
2. Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolus
intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/ glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena.
3. Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit
sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat
diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
4. Menit ke-20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan
1 mg/kgBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama pemberian.
5. Setelah 60 menit
Jika status epileptikus masih berkelanjutan setelah feniton 20 mg/kg maka
berikan fenotin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika tetap,
berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila
apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anesthesia umum
dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
Cara lainnya dengan pemberian 50 mg diazepam dalam 250 ml dektrosa 5%
intravena dengan kecepatan 20 tetes/menit selama 2-3 jam, namun hati-hati karena
dapat menyebabkan depresi pernapasan. Selain itu dapat pula diberikan 100 mg
fenobarbital intramuscular. Bila menetap beri narkosis umum, pasien dirawat di ruang
perawatan intensif (ICU) agar dapat dilakukan pemantauan sistem kardiorespirasi dan
bila terjadi kegagalan respirasi sebagai efek samping pengobatan dapat segera
dilakukan resusitasi.
BAB III.
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Ilustrasi Kasus

Tn. A, laki – laki 65 Th, islam. Pasien mempunyai 2 anak 1 laki – laki dan
1 perempuan. Keluarga membawa pasien ke puskesmas setelah itu pasien di
rujuk ke RSUD dr. Soebandi, pasien tidak sadarkan diri. Saat di IGD tangan
pasien di infus sebelah kanan, dan di pasang NGT di nasal dextra serta DC
( dower chateter). Sejak masuk rumah sakit menurut keluarga pasien berbicara
pelo, suhu tubuh naik. Pasien beberapa kali mengalami kejang lebih dari 5
menit. Keluarga juga mengatakan bahwa ketika sadar pasien lupa dengan
keluarga. Pasien mempunyai kebiasaan merokok tetapi kurang lebih 6 bulan
pasien berhenti merokok, pasien juga mempunyai kebiasaan minum kopi
kurang lebih 4 – 5 gelas/ hari dan pasien mempunyai riwayat penyakit
hipertensi.

3.2 Pengkajian dan Pemeriksaan Penunjang

I. Identitas Klien

Nama : Tn. A No. RM : 78175


Umur : 65 th Pekerjaan : Pensiunan swasta
JenisKelamin : Laki – laki Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam Tanggal MRS : 22/ 04/2017
Pendidikan : SMA TanggalPengkajian : 22/ 04/ 2017
Alamat : Griya mangli indah SumberInformasi : Keluarga pasien

CE-20 Jember
II. Riwayat Kesehatan

1. Diagnosa Medik:
Status Epileptikus
2. Keluhan Utama:
Pasien tidak sadarkan diri dan beberapa kali mengalami kejang lebih dari 5
menit.
3. Riwayat penyakit sekarang:
keluarga mengatakan bahwa pasien mulai pikun kurang lebih 2 bulan, tidak
megetahui alamat dan arah rumah, pasien tidak sadarkan diri sejak bangun
tidur, akhirnya keluarga membawa pasien ke puskesmas setelah itu pasien di
rujuk ke RSUD dr. Soebandi. Mulai MRS menurut keluarga pasien berbicara
pelo,suhu tubuh naik, dan saat panas pasien selalu kejang, serta pasien juga
lupa dengan keluarga dan megalami halusinasi, sehinggan keluarga
memeriksakan pasien ke dokter.
4. Riwayat kesehatan terdahulu:
a. Penyakit yang pernah dialami: keluarga mengatakan bahwa pasien pernah
menderita hipertensi
b. Alergi (obat, makanan, plester, dll): keluarga mengatakan bahwa pasien
tidak mempunyai riwayat alergi obat, makanan, serta plester
c. Imunisasi: keluarga mengatakan tidah mengetahui tentang riwayat
imunisasi pada pasien
d. Kebiasaan/polahidup/life style: keluarga mengatakan bahwa pasien
mempunyai kebiasaan merokok, tetapi kurang lebih 6 bulan pasien sudah
berhenti merokok, serta pasien mempunyai kebiasaan minum kopi kurang
lebih 4 – 5 gelas/ hari, pasien juga tidak menjaga pola / menu makanan dan
minuman yang di konsumsi, menu yang paling di gemari pasien adalah
gule, sate dan makanan asin
e. Obat-obat yang digunakan: keluarga mengatakan bahwa pasien saat flu
sering mengkonsumsi decolgen serta obat yang di dapatkan dari poli
5. Riwayat penyakit keluarga: keluarga mengatakan bahwa pasien memiliki orang
tua yang meninggalnya di karenakan hipertensi

Genogram:

III. Pengkajian Keperawatan

1. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan


Keluarga mengatakan bahwa pasien acuh terhadap kesehatannya, serta
apabila diajak untuk memeriksakan kesehatannya pasien selalu menolak
Interpretasi : pola persepsi dan pemeliharaan pasien tidak efektif

2. Pola nutrisi/ metabolik (ABCD) Antropometeri


BB: 75 kg IMT= BB = 75 = 75 = 25,
95
TB: 170 cm TB 1,72 2 , 89

: Laki – laki : Meninggal

: Perempuan : Meninggal

: Pasien
Interpretasi :
IMT pasien dalam batas normal
Biomedical sign :
Albumin, globulin, HB, tp,
HB :12,6 %
Trombosit : 179 109 /L
HCT : 38 %
Interpretasi :
Biomedical sign pasien dalam batas normal
Clinical Sign :
Conjungtiva anemis, pasien mengalami penurunan kesadaran, GCS E4M2V4,
terpasang sonde Interpretasi :
Clinical sign menunjukkan resiko pada tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi
Diet Pattern:
Diet tim saring per sonde 6 x 200 cc = 1200 cc/ 24 jam
4 x 200 cc @ 500 kalori = 2500 (bubur tim saring )
2 x 100 cc @ 100 kalori = 100 ( susu )
2200 kal
Interpretasi :
Intake kalori pasien adekuat

3. Pola eliminasi:
BAK

Frekuensi : tidak terkaji, pasien terpasang


DC
Jumlah : 300 cc / 7 jam
Warna : kuning jernih
Bau : khas urine
Karakter : encer
BJ :-
Alat Bantu : dhower chateter
Kemandirian : dibantu
Lain :-

BAB
Frekuensi : 2 – 3 kali/ hari
Jumlah :-
Konsistensi : Lembek
Warna : Hitam
Bau : Khas Feses
Karakter :-
BJ :-
Alat Bantu :-
Kemandirian : dibantu
Lain : menggunakan pampers
Balance Cairan

Input : Infus : 1500 cc/ 24 jam


Sonde : 1200 cc/ 24 jam
Injeksi: 67 cc/ 24 jam
WM : 362, 5 cc/ 24 jam +
3.327,5 cc/ 24 jam
Output : UP : 2000 cc/ 24 jam
IWL : 1.125 cc/ 24 jam +
3. 125 cc/ 24 jam Balance
cairan : Input - Output

+ 202, 5 cc/ 24 jam


Interpretasi :

Pola eliminasi pasien masih harus dibantu.

4. Pola aktivitas & latihan


Pasien mengalami penurunan kesadaran GCS E4V2M4, keluarga mengatakan
bahwa aktivitas pasien tergantung total

c.1. Aktivitasharian (Activity Daily Living)

Kemampuanperawatandiri 0 1 2 3 4

Makan / minum √

Toileting √

Berpakaian √

Mobilitas di tempattidur √

Berpindah √

Ambulasi / ROM √

Status Oksigenasi :
Nafas spontan, RR: 28 kali/ menit, terdapat retraksi dada Rh Wh

Fungsikardiovaskuler : S1S2 tunggal, irama regular N: m


Terapioksigen : Dengan nasal kanul 5 lpm

Interpretasi :

Pasien mengalami hiperventilasi dan ketidak efektifan pola nafas

5. Pola tidur & istirahat

Durasi : pasien selalu tidur dan bangun tidak pasti ( tidak terjadi)

Gangguan tidur : Keadaan


banguntidur :

Lain-lain : - Interpretasi
:

Pasien mengalami perpanjangan durasi tidur

6. Pola kognitif & perceptual Fungsi Kognitif dan Memori :


Keluarga mengatakan bahwa pasien kurang lebih 2 bulan mengalami penurunan
daya ingat, terkadang mengalami disorientasi orang dan tempat Fungsi dan
keadaan indera :
Keluarga mengatakan bahwa pasien mengalami kemampuan pendengaran

Interpretasi :

Pasien mengalami penurunan pada kognitif dan memori sejak 2 bulan yang lalu.
Pasien mengalami penurunan pendengaran

7. Pola persepsi diri Gambaran diri : Tidak terkaji


Identitas diri :
Tidak terkaji
Harga diri :
Tidak terkaji
Ideal Diri :
Tidak terkaji
Peran Diri :
Tidak terkaji
Interpretasi :
Pola persepsi diri pada pasien tidak terkaji di karenakan pasien mengalami
penurunan kesadaran
8. Pola seksualitas & reproduksi Pola seksualitas:

Pasien berjenis kelamin laki - laki


Fungsi reproduksi:

Pasien tidak mempunyai gangguan reproduksi dan pasien mempunyai 2 anak

(1 laki – laki dan 1 perempuan )


Interpretasi :

Tidak ada gangguan pola seksual dan reproduksi pada pasien

9. Pola peran & hubungan

Keluarga mengatakan bahwa pasien mempunyai hubungan yang baik dengan


anak, keluarga dan tetangga Interpretasi :
Tidak terdapat gangguan dalam pola peran dan hubungan

10. Pola manajemen koping-stress

Pasien cenderung terbuka kepada istri dan keluarga, apabila terdapat masalah
pasien selalu membicarakan kepada keluarga Interpretasi :

Pasien membuka diri kepada orang terdekat

11. System nilai & keyakinan


Pasien menganut keyakinan islam, pasien merupakan orang yang taat beragama

Interpretasi :

Tidak terdapat gangguan dalam system nilai dan keyakinan

IV. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum:

Pasien mengalami penurunan kesadaran. GCS: E4V2M4


Tanda vital:

TekananDarah :150/80
mm/Hg
Nadi :112 X/mnt
RR :28 X/mnt
Suhu :38 C
Interpretasi :

Tekanan darah dan frekuensi nafas pasien mengalami peningkatan

Pengkajian Fisik (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)

1. Kepala
Inspeksi: tidak terdapat benjolan, lesi dan warna rambut putih kehitaman
Palpasi: tidak terdapat massa
2. Mata
Inspeksi: tidak terdapat benjolan, lesi, konjungtiva anemis, sklera anktevik, pupil
isokor 3/3, reflek cahaya H/H, tidak terdapat edema palpebra
3. Telinga
Inspeksi: daun telinga simetris, tidak terdapat benjolan, tidak tampak serumen
Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan
4. Hidung

Inspeksi: bersih, simetris, terpasang NGT di nasal sinistra

Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan

5. Mulut

Inspeksi: mukosa mulut kering, terdapat lendir putih, tidak terdapat benjolan
dan lesi, hanya terdapat 1 gigi atas dan bawah, terdapat lipatan nasolabial,
sinistra lebih dangkal

6. Leher
Inspeksi: tidak terdapat benjolan dan lesi, tidak tampak pembesaran JVP
Palpasi: tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, dan tidak terdapat
massa

7. Dada

Inspeksi: dada simetris, terdapat retraksi dada, tidak ada pulsasi

Palpasi: IC teraba, tidak terdapat nyeri tekan

Perkusi: pekak pada ICS 2 – 5 sinistra


Auskultasi: vesikuler di seluruh lapang paru, S1S2 tunggal, Wh
Rh

8. Abdomen

Inspeksi: simetris tidak terdapat dimensi abdomen

Palpasi: timpani

Auskultasi: bisisng usus 5 kali/ menit

9. Urogenital
Terpasang DC (dower chateter) two way

10. Ekstremitas
Kekuatan otot Refleks fisioligis: Reflek meningeal:
B + - kernig ( - )
3 4 T + + - kaku kuduk ( - )
3 4 P + + - burdinzki I ( - )
A + + - burdinzki II ( - )
11. Kulit dan kuku
Inspeksi: bersih, terdapat bekas miliarta aksila, abdomen. Kuku bersih tidak
terdapat clubbing finger, CRT kuran dari 2 detik, turgor kulit baik, kulit
teraba panas, ekskrenitas dingin.
12.Keadaan local
Pasien mengalami penurunan kesadaran, GCS E4V2M4, infus pada tangan
kangan, terdapasang DC ( dower chateter), terpasang O2 nasal kanul 5 lpm.

V. Terapi

No Nama Golongan Indikasi KontraIndikasi Efek Mekanisme


Obat samping Obat
1 Infus 1500 cc/
Nacl 24 jam
0,9 %
VI. Pemeriksaan Penunjang & Laboratorium

Darah nilai satuan hasil


lengkap
Hb 13,5 – 17, 5 Gr/dl 12,6 12, 7
LED 0 - 15 Mm/ jam 14/ 32 15/ 10
Leukosit 4,5 - 11 10(9/ L) 8.8 9.0
HCT 41 - 53 % 38 37. 6
Trombosit 150 - 650 10 (9/L) 179 56
DS: Keluarga mengatakan terganggu nafas
pasien terengah
– engah Status Epileptikus
VII. Analisa Data
No Data Penunjang Etiologi Masalah
1. DO: GCS E4V2M4 Resiko
Pupil isokor 3/3, RC Resiko ketidakefektifan ketidakefektifan
+/+ perfusi jaringan otak perfusi jaringan
Pasien tampak tidak otak
sadar
Ekskremitas teraba Suplai O2 ke otak menurun
dingin
CRT lebih dari 2 detik
TTV: TD: 150/80 Status Epileptikus
mmHg
N: 112 kali/
menit
RR: 28 kali/
menit
S: 38 C

DS: Keluarga mengatakan


bahwa pasien tidak
sadar dan lebih
banyak tidur
2. DO: RR: 28 kali/ menit Gangguan pola nafas tidak Gangguan pola
Pasien tampak sesak efektif nafas tidak
Tampak retraksi dada efektif
Pasien tampak Kompensasi tubuh untuk
menggunakan alat memenuhi O2
bantu pernafasan
Nafas cepat dalam Menurun kemampuan untuk
Rh Wh bernafas

Suplai O2 ke otak
3. DO : CRT lebih dari 2 Resiko Cedera Resiko Cedera
detik
TTV: TD: 150/80 mmHg Gerakan individu tidak
N: 112 kali/ menit terkontrol
RR: 28 kali/ menit
S: 38 C Penurunan kesadaran dan
DS : Keluarga mengatakan Kejang berulang bahwa
pasien
mengalami penurunan Status epileptikus kesadaran
dan
beberapa kali kejang
4. DO: Terpasang infus di Resiko infeksi Resiko infeksi
tangan kanan
Terpasang NGT di Dilakukan tindakan invasif
nasal dextra
Terpasang DC Penurunan kesadaran dan
( dower chateter) kejang berulang
Leukosit 9,0 109/L
DS: - Status Epileptikus

3.2 Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan pengkajian diatas, maka diagnosa keperawatan yang muncul adalah:

1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan


suplay O2 ke jaringan
2. Gangguan pola nafas tidak efektif berdasarkan dengan penurunan fungsi
oblongata
3. Resiko Cedera berhubungan dengan gerakan individu tidak terkontrol ketika
kejang
4. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif
4.4 Intervensi

Diagnosa: Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak


NOC:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam Risiko Ketidakefektifan

Perfusi Jaringan Otak teratasi dengan


Indikator:

0401 Status Sirkulasi

1. Tekanan darah sistol dan diastol ditingkatkan dari skala 2 ke skala 5 (tidak
ada deviasi dari kisaran normal)
2. Tekanan nadi ditingkatkan dari skala 2 ke skala 5 (tidak ada deviasi dari
kisaran normal)
3. Tekanan vena sentral ditingkatkan dari skala 3 ke skala 5 (tidak ada deviasi
dari kisaran normal)
4. PaO2 ( tekanan parsial oksigen dalam darah arteri) ditingkatkan dari skala

2 ke skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal )


5. PaCO2 (Tekanan parsial karbondioksida dalam darah arteri)
dipertahankan di skala 4
6. Saturasi oksigen ditingkatkan dari skala 2 ke skala 5 (tidak ada deviasi
dari kisaran normal)
7. Urin output ditingkatkan dari skala 3 ke skala 5 (tidak ada deviasi dari
kisaran normal)
8. Suara nafas tambahan ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4

( ringan )
9. Edema perifer
10. Kelelahan ditingkatkan dari skala 1 (berat) ke skala 4 (ringan)
11. Gangguan kognisi ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4

( ringan )
12. Penurunan suhu kulit ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4

( ringan )
13. Pingsan ditingkatkan dari skala 1 (berat) ke skala 4 (ringan)
14. Luka ekstremitas bawah ditingkatkan dari skala 1 (berat) ke skala 4
( ringan )

0406 Perfusi jaringan: serebral

1. Sakit kepala ditingkatkan dari skala 2 (besar) ke skala 5 (tidak ada)


2. Kegelisahan ditingkatkan dari skala 2 (besar) ke skala 5 (tidak ada)
3. Kelesuan ditingkatkan dari skala 2 (besar) ke skala 4 (ringan)
4. Kecemasan yang tidak dapat dijelaskan ditingkatkan dari skala 2 (besar) ke
skala 5 (tidak ada)
5. Muntah ditingkatkan dari skala 3 (sedang) ke skala 5 (tidak ada)
6. Demam ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 5 (tidak ada)
7. Penurunan tingkat kesadaran ditingkatkan dari skala 1 (berat) ke skala 4

(ringan)
8. Refleks saraf tergangu ditingkatkan dari skala 2 (besar) ke skala 4 (ringan)
NIC:

2540 Manajemen Edema Serebral

Definisi : keterbatasan injuri serebral sekunder akibat dari pembengkakan


jaringan otak Aktivitas :

1. Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, keluhan pusing, pingsan


2. Monitor status neurologi denan ketat dan bandingkan dengan nilai normal
3. Monitor status pernapasan: frekuensi, irama, kedalaman pernapasan, PaO2

,PCO 2, pH, bikarbonat


4. Kurangi stimulus dalam lingkungan pasien
5. Berikan sedasi, sesuai kebutuhan
6. Berikan pelunak feses
7. Hindari cairan IV Hipotonik

6680 Monitor Tanda-Tanda Vital

Definisi : pengumpulan dan analisa data kardiovaskuler, pernapasan, dan


suhu tubuh untuk menentukan dan mencegah komplikasi Aktivitas :

1. Monitor tekanan darah , nadi, suhu, dan status pernapasan dengan cepat
2. Monitor tekanan darah setelah pasien minum obat sesegera mungkin
3. Monitor keberadaan dan kualitas nadi
4. Monitor nada jantung
5. Monitor suara paru-paru
6. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
7. Monitor sianosis sentral dan perifer
8. Monitor terkait dengan adanya tiga tanda Chusing reflex (misalnya ,
tekanan nadi melebar, bradikardia, dan peningkatan darah sistolik) 9.
Identifikasi kemungkinan penyebab peubahan tanda-tanda vital

Pencegahan Pendarahan

Definisi : pengurangan stimulus yang dapat menyebabkan perdarahan atau


perdarahan pada pasien yang berisiko Aktivitas :

1. Monitor dengan ketat risiko terjadinya perdarahan pada pasien


2. Lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan
3. Cegah konstipasi (misalnya, memotivasi untuk meninkatkan asupan cairan
dan mengkonsumsi pelunak feses) jika diperlukan
4. Instruksikan pasien dan keluarga untuk memonitor tanda-tanda perdarahan
dan mengambil tindakan yang tepat jika terjadi perdarahan (misalnya,
lapor kepada perawat)

4062 Perawatan Sirkulasi: Insufisiensi arteri


Definisi :Meningkatkan sirkulasi arteri
Aktivitas :

1. Evaluasi edema dan denyut jantung


2. Inspeksi kulit untuk adanya luka pada arteri [arterial ulcers] atau
kerusakan jaringan
3. Monitor tinkat ketidaknyamanan atau nyeri saat melakukan olahraga di
malam hari atau saat beristirahat
4. Ubah posisi pasien setidaknya setiap 2 jam dengan tepat
5. Berikan kehangatan [misalnya tambahan pakaian tidur, meningkatkan
suhu kamar] dengan tepat
6. Pelihara hidrasi yang memadai untuk menurunkan kekentalan darah
7. Monitor intake dan output cairan
4066 Perawatan Sirkulasi: Insufisiensi vena

Definisi : peningkatan sirkulasi aliran vena


Aktivitas :

1. Nilai udem dan nadi perifer


2. Monitor level ketidaknyamanan atau nyeri
3. Dukung latian ROM pasif dan aktif
4. Lindungi ekstremitas dari trauma
5. Instruksikan pasien melakukan perawatan kaki dengan benar
Diagnosa : Gangguan pola nafas tidak efektif
NOC

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam Gangguan pola nafas
tidak efektif teratasi dengan Indikator:

0403 Status Pernapasan: ventilasi

1. Kedalaman inspirasi ditingkatkan dari skala 2 ( cukup berat ) ke skala 5

(normal)
2. Suara perkusi nafas dari skala 2 ( cukup berat ) ke skala 5 (normal)
3. Hasil rontgen dada dari skala 2 ( cukup berat ) ke skala 5 (normal)
4. Penggunaan otot bantu nafas ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 4

(ringan)
5. Suara nafas tambahan ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 4 (ringan)
6. Restraksi dinding dada ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 4 (ringan)
7. Dispnea saat istirahat ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 4 (ringan)
8. Pengembangan dada tidak simetris ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke
skala 4 (ringan)
9. Gangguan ekspirasi ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 4 (ringan)
0410 Status pernapasan : Kepatenan jalan napas
1. frekuensi pernapasan membaik dari skala 2 (berat ) menjadi skala 4
(ringan) 2. kemampuan untuk mengeluarkan sekret berubah dari skala 2
(berat ) menjadi skala 4 (ringan)
3. suara nafas tambahan menghilang dari skala 1 (sangat berat ) menjadi skala

4 (ringan)
4. akumulasi sputum membaik dari skala skala 2 (berat ) menjadi skala 4

( ringan )
5. ansietas berkurang dari skala 1 (sangat berat ) menjadi skala 4 (ringan)

0007 Tingkat Kelelahan

1. kelelahan ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4 (ringan)


2. kelesuan ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4 (ringan)
3. gangguan konsentrasi ditingkatkan dari skala 1 (berat) ke skala 3(sedang)
4. nyeri sendi dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4 (ringan)
5. kualitas tidur ditingkatkan dari skala 1 (sangat terganggu) ke skala 4

( sedikit terggangu )
6. saturasi oksigen ditingkatkan dari skala 1 (sangat terganggu) ke skala 5

( tidak terggangu )
7. fungsi neurologis ditingkatkan dari skala 1 (sangat terganggu) ke skala 4

( sedikit terggangu )
8. metabolisme ditingkatkan dari skala 1 (sangat terganggu) ke skala 4

( sedikit terggangu )
9. kualitas istirahat ditingkatkan dari skala 1 (sangat terganggu) ke skala 4

( sedikit terggangu )
NIC

3140 Manajemen Jalan Nafas

Definisi : fasilitasi kepatenan jalan nafas


Aktivitas :
1. Buka jalan nafas dengan tehnik chin left atau jaw thrust , sebagaimana
menstinya
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, berputar dan batuk
4. Auskultasi suara nafas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak ada
dan adanya suara tambahan
5. Regulasi asupan cairan untuk mengoptimalkan keseimbangan cairan
6. Monitor status pernapasan dan oksigenasi , sebaaimana mestinya
3350 Monitor Pernapasan

Definisi : sekumpulan data dan analisa keadaan pasien untuk memastikan


kepatenan jalan nafas dan kecukupan pertukaran gas Aktivitas :

1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan bernafas


2. Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan otot-otot
bantu nafas, dan retraksi pada otot supraclaviculas dan interkosta
3. Monitor suara nafas tambahan seperti ngorok atau mengi
4. Monitor pola nafas( misalnya, bradipneu, takipneu, hiperventilasi,
pernafasan kusmaul , pernafasan 1:1, apneustik, respirasi biot, dan pola
ataxic )
5. Monitor kelelahan otot-otot diafragma dengan pergerakan parasoksial
6. Monitor sekresi pernafasan
7. Monitor keluhan sesak nafas pasien, termasuk keiatan yan meningkatkan
atau memperburuk sesak nafas tersebut
8. Posisikan pasien mirin ke samping
9. Berikan terapi bantuan nafas jika diperlukan (seperti nebulizer)

3230 Fisioterapi Dada


Definisi :

membantu pasien untuk mengeluarkkan sekresi di jalan nafas dengan


cepat perkusi, vibrasi, dan pengaliran postural Aktivitas :

1. Lakukan fisioterapi dada minimal dua jam setelah makan


2. Monitor status respirasi dan kardiologi
3. Gunakan bantal untuk menopang posisi pasien
4. Instruksikan pasien untuk meneluarkan nafas dengan tehnik nafas dalam
5. Anjurkan untuk batuk selama sebelum dan setelah tindakan
6. Sedot sputum
7. Monitor kemampuan pasien sebelum dan setelah prosedur ( contoh
oksimetri nadi, tanda vital dan tingkat kenyamanan)
2620 Monitor Neurologi

Definisi : Pengumpulan dan analisa data pasien untuk mencegah atau


meminimalkan komplikasi neurologis Aktivitas :

1. Monitor tingkat kesadaran


2. Monitor ingatan saat ini, rentang perhatian, inatan dimasa lalu, suasana
perasaan, afek, dan perilaku
3. Monitor status pernafasan: nilai ABG, tingkat oksimetri, kedalaman, pola,
laju/tingkat , dan usaha (bernafas)
4. Monitor parameter hemodinamik invasif yang sesuai
5. Monitor terhadap adanya tremor
6. Monitor respon cara berjalan
7. Catat keluhan sakit kepala
8. Hindari keiatan yang bisa meninkatkan tekanan intrakranial
9. Identifikasi pola yang muncul dalam data

3320 Terapi Oksigen

Definis : Pemberian oksigen dan pemantauan mengenai efektivitasnya


Aktivitas :

1. Pertahankan kepatenan jalan nafas


2. Berikan tambahan oksigen seperti yang diperintahkan
3. Monitor aliran oksigen
4. Sediakan oksigen ketika pasien dibawa/dipindahkan
5. Pastikan penggantian masker oksigen/ kanul nasal setiap kali penggantian
6. Amati tanda-tanda hipoventilasi induksi oksigen
Diagnosa : Risiko cedera
NOC

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam risiko cedera pada
pasien teratasi dengan Indikator :
1910 Keamanan lingkungan rumah

1. ketersediaan air bersih efektif dari skala 2 (sedikit adekuat) menjadi skala
4

(sebagian besar adekuat)


2. ruang dalam hunian untuk bergerak dengan aman dari skala 2 (sedikit
adekuat ) menjadi skala 5 (sepenuhnya adekuat)
3. penempatan pegangan pintu dari skala 2 menjadi skala 4
4. ketersediaan perangkat bantu dari skala 2 menjadi skala
5. area bermain yang aman tercipta dari skala 2 menjadi skala 5
6. keamanan dari maianan seusia dari skala 2 menjadi skala 5

1912 Kejadian jatuh

1. jatuh saat berdiri dari skala 2 menjadi skala 5 (tidak ada)


2. jatuh saat berjalan dari skala 2 menjadi skala 5 (tidak ada)
3. jatuh saat ke kamar mandi dari skala 2 menjadi skala 5 (tidak ada)
4. jatuh dari tempat tidur dari skala 2 menjadi skala 5 (tidak ada) 1620
Kontrol kejang sendiri

1. menggambarkan faktor-faktor yang memicu kejang dari skala 2 (jarang


menunjukkan) menjadi skala 4 (sering menunjukkan)
2. menggunakan obat-obatan sesuai resep dokter dari skala 2 (jarang
menunjukkan) menjadi skala 4 (sering menunjukkan)
3. mencegah faktor-faktor risiko pemicu kejang dari skala 2 (jarang
menunjukkan) menjadi skala 4 (sering menunjukkan)
4. mendapatkan perhatian medis dengan cepat jika kejang meningkat dari
skala 2 (jarang menunjukkan) menjadi skala 4 (sering menunjukkan)
5. menggunakan teknik mengurangi stress yang efektif untuk mengurangi
aktivitas kejang dari skala 3 (kadang-kadang menunjukkan) menjadi skala

5 (secara konsisten menunjukkan)


6. mempertahankan sikap yang positif pada saat terjadi kejang dari skala 2

( jarang menunjukkan) menjadi skala 4 (sering menunjukkan )


7. menjalankan tindakan-tindakan yang aman di lingkungan yang aman dari
skala 2 (jarang menunjukkan) menjadi skala 4 (sering menunjukkan)

1902 Kontrol risiko

1. mencari informasi tentang risiko kesehatan dari skala 2 (jarang


menunjukkan) menjadi skala 4 (sering menunjukkan)
2. mengenali faktor risiko individu dengan baik dari skala 1 menjadi skala 4
3. menyesuaikan strategi kontrol risiko dari skala 2 menjadi skala 4
4. menghindari paparan risiko kesehatan dari skala 2 (jarang menunjukkan)
menjadi skala 4 (sering menunjukkan)
5. memodifikasi gaya hidup untuk megurangi risiko yang akan terjadi dari
skala 2 (jarang menunjukkan) menjadi skala 4 (sering menunjukkan)
6. menggunakan sistem dukungan personal untuk mengurangi risiko dari
skala 2 (jarang menunjukkan) menjadi skala 4 (sering menunjukkan)
7. mengenali perubahan status kesehatan dengan baik dari skala 3
(kadangkadan menunjukkan) menjadi skala 5 (sering konsisten
menunjukkan)
NIC

6486 Manajemen Lingkungan : Keselamatan

Definisi : memonitor dan memanipulasi lingkungan fisik untuk meningkatkan


keamanan Aktivitas :

1. identifikasi hal-hal yang membahayakan pasien ( bahaya fisik, biologi,


kimiawi)
2. sediakan alat untuk beradaptasi
3. edukasi individu dan kelompok yang berisiko tinggi terhadap bahan
berbahaya yang ada di lingkungan
4. monitor lingkungan terhadap terjadinya perubahan status kesehatan
6490 Pencegahan jatuh

Definisi :

melaksanakan pencegahan khusus dengan pasien yang memiliki risiko cedera


karena jatuh Aktivitas :

1. identifikasi kekurangan baik kognitif atau fisik dari pasien yang mungkin
meningkatkan potensi jatuh pada lingkungan tertentu
2. letakkan benda-benda dalam jangkauan yang mudah bagi pasien
3. instruksikan pasien untuk meminta bantuan terkait pergerakan
4. anjurkan adaptasi dirumah untuk meningkatkan keamanan
5. sarankan menggunakan alas kaki yang aman

6540 Kontrol infeksi


Definisi

meminimilkan penerimaan dan transmisi agen infeksi


Aktivitas :

1. bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan untuk setiap


pasien
2. ganti peralatan perawatan per pasien sesuai protokol institusi
3. isolasi orang yang terkena penyakit menular
4. ajarkan cara cuci tangan yang baik dan benar
5. gunkan sabun antimikroba untuk cuci tangan yang sesuai
6. cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan pasien
7. berikan imunisasi yang sesuai
8. ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan
kapan harus melaporkannya kepada penyedia perawatan kesehatan 6610
Identifikasi risiko Definisi : analisa faktor resiko potensial, pertimbangan
risiko-risiko kesehatan dan memprioritaskan strategi pengurangan risiko bagi
individu maupun kelompok Aktivitas :

1. kaji ulang data yang didapatkan dari pengkajian risiko secara rutin
2. identifikasi adanya sumber sumber agensi untuk menurunkan faktor risiko
3. instruksikan faktor risiko dan rencana untuk mengurangi faktor risiko 4.
gunakan rancangan tujuan yang saling menguntungkan dan tepat
rencanakan monitor risiko kesehatan dalam jangka panjang
5. rencanakan tindak lanjut strategi dan aktivitas pengurangan risiko jangka
panjang

2680 Manajemen kejang


Definisi :

perawatan klien selama kejang dan keadaan tidak sadarkan diri


Aktivitas :

1. pertahankan jalan nafas


2. balikkan badan klien ke satu sisi
3. longgarkan pakaian
4. monitor status neurologis
5. pasang IV line dengan benar
6. catat lama kejang
7. dokumentasikan informasi mengenai kejang
8. monitior durasi periode ketidaksadaran dan karakteristiknya 2690
Pencegahan kejang

Definisi :

pencegahan atau meminimalkan terjadinya potensi cedera yang terus menerus


dialami pasien yang menderita gangguan kejang yang telah
diketahui/diperkirakan Aktivitas :

1. sediakan tempat tidur yang rendah dengan tepat


2. instruksikan pasien untuk tidak menyetir
3. monitor tingkat pengobatan antiepileptik dengan tepat
4. singkirkan obyek potensial yang membahayakan yang ada di lingkungan
5. jaga alat suksion berada di sisi tempat tidur
6. gunakan penghalang tempat tidur yang lunak
7. jaga penghalang tempat tidur tetap dinaikkan
8. instruksikan pasien untuk memanggil jika dirasa tanda akan terjadinya
kejang
Diagnosa : Risiko infeksi
NOC

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam Risiko infeksi teratasi
dengan

Indikator :

0703 Keparahan Infeksi

1. Kemerahan ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4 (ringan)


2. Demam ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4 (ringan)
3. Ketidakstabilan suhu ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4

(ringan)
4. Gejala-gejala gastrointestinal ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke
skala 4 (ringan)
5. Peningkatan jumlah sel darah putih ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat)
ke skala5 (tidak ada)
6. Depresi jumlah sel darah putih ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke
skala 4 (ringan)
NIC

b6540 Kontrol Infeksi

Definisi : meminimalkan penerimaan dan transmisi agen infeksi


Aktivitas :

1. bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan untuk setiap pasien


2. ganti peralatan perawatan per pasien sesuai protokol institusi
3. ajarkan cara cuci tangan yang baik dan benar
4. gunkan sabun antimikroba untuk cuci tangan yang sesuai
5. cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan pasien
6. ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan
harus melaporkannya kepada penyedia perawatan kesehatan 7. dorong untuk
beristirahat

6550 Perlindungan Infeksi

Definisi : pencegahan dan deteksi dini infeksi pada pasien berisiko


Aktivitas :

1. monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal


2. batasi jumlah pengunjung yang sesuai
3. pertahankan asepsis untuk pasien berisiko
4. dapatkan kultur yang diperlukan
5. anjurkan asupan cairan dengan tepat
6. anjurkan istirahat
7. instruksikan pasien untuk minum antibiotik dengan tepat
8. lapor dugaan infeksi pada personil pengendali infeksi

1876 Perawatan Selang : Perkemihan

Definisi : Manajemen pasien dengan peralatan drainase urin


Aktivitas :

1. gunakan pengingat dan stop intruksi otomatis untuk meminta memindahkan


peralatan bila indikasi [telah] teratasi
2. jaga kebersihan tangan sebelum,selama, dan setelah pemasanan serta
manipulasi kateter
3. jaga sistem drainase kemih tertutup, steril dan tidak terkoyak
4. pastikan penempatan kantung drainase dibawah permukaan kandung kemih
5. lakukan perawatan rutin meatus dengan sabun dan air selama mandi setiap
hari
6. airi sistem kateter kemih dengan menggunakan teknik steril yang tepat
7. bersihkan kateter urin eksternal pada meatus
8. bersihkan daerah sekitar kulit secara teratur
9. ganti kateter urin secara berkala sesuai dengan intruksi
10. gunakan perangkat kateter yang aman
11. cabut kantung pada kaki di malam hari dan hubungkan ke kantung drainase
di sisi tempat tidur
12. monitor terkait adanya distensi kandung kemih

Perawatan Selang : Gastrointestinal

Definisi : pengelolaan pasien dengan selang pencernaan


Aktivitas :

1. pantau terkait penempatan tabung yang benar


2. bilas selang , sesuai protokol
3. monitor adanya sensasi kenyang, mual dan muntah
4. monitor suara usus
5. monitor adanya diare
6. monitor status cairan dan elektrolit
7. monitor jumlah, warna dan konsistensi output nasogastric
8. ajarkan pasien dan keluarga cara merawat tabung jika diindikasikan
9. berikan perawatan kulit disekitar tempat penyisipan selang
10. copot selang jika diindikasikan

4.5 Evaluasi

NO Diagnosa Evaluasi

1 Resiko ketidakefektifan perfusi S: Keluarga mengatakan “ pasien


sudah jaringan otak berhubungan sadar dan kualitas tidurnya sudah baik
dengan penurunan suplay O2
ke jaringan dan teratur”
O: ekstremitas sudah teraba hangat, CRT < 2
s dan TTV :TD 120/80 mmHg, nadi
96x/menit RR 20x/menit s: 360C

A: Masalah teratasi

P: Hentikan intervensi
2 Gangguan pola nafas tidak
efektif berdasarkan dengan S: Keluarga pasien mengatakan “ nafas
penurunan fungsi oblongata pasien sudah tidak terengah – engah lagi”

O : pasien sudah tidak menggunakan


alat bantu pernapasan, dan nafasnya
sudah normal
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
3 Resiko Cedera berhubungan S: Keluarga pasien mengatakan “pasien
dengan
sudah mulai sadar dan kejang tidak lagi
kambuh”
O: TTV pasien sudah dalam batas
normalTD 120/80 mmHg, nadi
s:0C
96x/menit RR 20x/menit36
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
4 Resiko infeksi berhubungan S : -
dengan tindakan invasif
O : pada tangan kanan pasien sudah
tidak terpasang infus dan NGT di
nasal dextra nya
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan
Status epileptikus adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik
kejang berulang akibat adanya suatu kondisi tertentu dari individu dan bahkan
dapat menyebabkab kecacatan dan kematian dari individu jika tidak ditangani
dengan benar. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang
tua bahkan bayi yang baru lahir. Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada
dua macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi grandmal. Epilepsi parsial
dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial sederhana dan epilepsi parsial
kompleks. Epilepsi grandmal meliputi epilepsi tonik, klonik, atonik, dan
myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya berlangsung
secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsi dimana
terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan epilepsi
yang tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah kejang
otot yang klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.

4.2 Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui
pengertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan
pada klien dengan epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi sering
dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang menghambat kehidupan
normal, maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan gangguan epilepsi
dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien tersebut. Hal itu
dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan
tidak akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri. Perawat sebagai
bagian dari tenaga kesehatan harus ikut serta dalam tindakan Promotif,
Preventif, Kuratif, dan Rehabilitatif penanganan status epileptikus karena
masih banyak masyarakat yang belum banyak mengetahui tentang
penatalaksanaan status epileptikus.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Z, Spencer S.S. 2004. An Approach to the Evaluation of a Patient for


Seizures and Epilepsy. Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.

Alvin, Hadisaputra. 2016. Case Status Epileptikus. [serial online] . Available on


https://www.scribd.com/doc/306040225/Case-Status-Epileptikus. (diakses
pada 18 maret 2017)

Bulechek, G. M., H. K. Butcher., J. M. Dochterman., & C. M. Wagner. Nursing


Interventions Classification (NIC) Edisi 6. (2013). Nursing Interventions
Classification ( Edisi Bahasa Indonesia). Indonesia. ELSEVIER.

Dewanto dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.

Feriyawati, L. 2006. Anatomi Sistem Saraf Dan Peranannya Dalam Regulasi


Kontraksi Otot Rangka. Neuron.

Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit


UNDIP Semarang : 55-63.

Herdman, T. H. & S. Kamitsuru NANDA International. 2015. Nursing Diagnoses


: Definitions & Classifications 2015-2017. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Moorhead, S., M. Johnson, M. L. Maas, & E. Swanson. Nursing Outcomes


Classification (NOC) Edisi 5. (2013). Nursing Outcomes Classification
(Edisi Bahasa Indonesia). Indonesia. ELSEVIER.
Ridwan. 2016 . LP Status Epileptikus. [serial online] . Available on
https://www.scribd.com/document/331170951/LP-Status-Epileptikus.
( diakses pada 18 maret 2017).

Sidharta, P. 2004. Neurologis Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: DIAN

RAKYAT.

Anda mungkin juga menyukai