STATUS EPILEPTIKUS
Di Susun Oleh :
Kelompok 5
PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
Status epileptikus adalah aktivitas kejang lama akut (Arif, 2008) yang merupakan
rentetan kejang umum yang terjadi secara kontinu, berulang di sertai gangguan
kesadaran, dengan durasi kejang yang berlangsung secara terus menerus selama 30
menit atau lebih , serta status epileptikus ini merupakan kejang yang paling serius
karena terjadi secara terus menerus tanpa henti dimana terdapat kontraksi otot yang
sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas
sehingga apabila tidak di tangani segera maka besara kemungkinan akan terjadi
kerusakan jaringan otak permanen serta dapat mengakibatkan kematian.
Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-
3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di
antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di
antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World
Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap
epilepsi.
Gejala pada status epileptikus ini harus dapat di kenali dan di tanggulangi secepat
mungkin, rata – rata meskipun dilakukan pengobatan secara tepat akan tetapi terdapat
sekitar 15 % penderita meninggal, dan kurang lebih 60 – 80 % penderita yang bebas
dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut
menjadi penderita epilepsi. Status epileptikus ini juga merupakan sebagai keadaan
kedaruratan medis mayor, yang akan menimbulkan kebutuhan metabolik besar serta
dapat mempengaruhi pernapasan. Faktor – faktor yang mencetuskan status epileptikus
ini dapat meliputi gejala putus obat antikonvulsan, demam, serta, infeksi penyerta.
Secara sederhana dapat di katakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten
atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih, harus di
pertimbangkan sebagai status epileptikus.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan status epileptikus?
2. Bagaimana epidemiologi dari status epileptikus?
3. Apa saja etiologi dari status epileptikus?
4. Bagaimana klasifikasi dari status epileptikus?
5. Bagaimana patofisiologi dari status epileptiku?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari status epileptikus?
7. Apa saja pemeriksaan dari status epileptikus?
8. Bagaimana perawatan dari status epileptikus?
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
2. Neurotransmiter
Merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan dalam
gelembung sinaptik pada ujung akson. Neurotransmitter merupakaan cara komunikasi
antar neuron, setiap neuron melepaskan satu trasnmitter. Zat-zat kimia ini
menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron.
3. Transmisi sinaps
Tempat-tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan neuron lain atau
dengan organ-organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu-satunya tempat
dimana impuls dapat lewat dari suatu neuron ke neuron lainya atau efektor.
4. Otak
Merupakan jaringan yang paling banyak menggunakan energi, utamanya berasal
dari proses metabolisme. Karena aktivitas otak tidak pernah berhentidengan fungsinya
sebagai pusat integrasi dan koordinasi organ-oran sensorik dan sistem efektor perifer
tubuh, disamping berfungsi sebagai pengatur informasi yang masuk, simpanan
pengalaman, impuls yang keluar, dan tingkah laku.
Jaringan Otak
Jaringan gelatinosa otak dan medulla spinalis dilindungioleh tulang tengkorak
dan tulang belakang, dan oleh tiga lapisan jaringan penyambung yaitu piameter,
araknoid, dan durameter. Piameter langsung berhubungan dengan otak dan jaringan
spinal, dan mengikuti kontur struktur ekstrnal otak an jaringan spinal. Piameter
merupakan lapisan vaskuler yang memiliki pembuluh darah yang berjalan menuju
struktur interna SSP untuk memberi nutrisi pada jaringan saraf. Araknoid merupakan
suatu membran fibrosa yang tipis, halus dan tidak mengandung pembuluh darah,
meliputi otak dan medulla spinalis. Daerah antara araknoid dan piamater disebut
ruang subaraknoid, tempat arteri, vena serebral, trabekula raknoid, dan cairan
serebrospinal yang membasahi SSP. Durameter merupakan suatu jaringan liat, tidak
elastis, dan mirip kulit sapi yang terdiri atas dua lapisan. Impuls Saraf
Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls sepanjang
neuron. Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrium dan kalium bervariasi
dan dipengaruhi oleh perubahan kimia serta listrik dalam neuron tersebut. Dalam
keadaan istirahat, permeabilitas membran sel menciptakan kadar kalium intrasel yang
tinggi dan kadar natriumintra sel yang rendah bakan pada kadar natrium ektrasel yang
tinggi. Impuls listrik timbul oleh pemisahan muatan akibat perbedaan kadar ion
intrasel dan ekstrasel yang dibatasi membran sel.
2.2 Definisi
Status epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan
kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah
ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir
sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran (Muttaqin,
2011).
Status epileptikus atau status konvulsikus ialah keadaan konvulsi umum yang
berlangsung terus-menerus atau timbul secara berturut-turut dengan interval yang
sejenak saja (Sidharta, 2004).
Status epileptikus menimbulkan kebutuhan metabolik besar dan dapat
mempengaruhi pernapasan terdapat beberapa kejadian henti napas pada puncak setiap
kejang yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia otak.
Status Epileptikus menurut Mansjoer dkk (2000) adalah aktivitas kejang yang
berlangsung terus menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam
praktek klinis lebih baik mendefisinikannya sebagai setiap aktivitas serangan kejang
yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status mengancam adalah serangan kedua
yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran di antarserangan.
Menurut Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan status
epileptikus sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau
adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran diantaranya.
Menurut International League Against Epilepsy mendefinisikan status epiletikus
sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih
(Nia Kania, 2007). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorangmengalami
kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau
lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
2.3 Epidemiologi
2.4 Etiologi
Status epileptikus sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem
saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat
antiepilepsi dalam darah yang rendah. Gangguan serebrovaskuler merupakan
penyebab status epileptikus tersering di negara maju, sedangkan di negara
berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf pusat.
Penyebabnya epilepsi adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak
terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Gangguan fungsi otak yang bisa
menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa
disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor
tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau
fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau
serangan epilepsi.
Predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsi meliputi (Muttaqin, 2011).
1. Pascatrauma Kelahiran.
2. Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan yang digunakan
sepanjang kehamilan.
3. Asfiksia neonatorum.
4. Riwayat ibu-ibu yang mempunyai risiko tinggi ( tenaga kerja, wanita dengan latar
belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi).
5. Pascacedera kepala.
6. Adanya riwayat keracunan ( karbon monoksida dan menunjukkan keracunan).
7. Riwayat gangguan sirkulasi serebral.
8. Riwayat demam tinggi.
9. Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi/gizi.
10. Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alkohol.
11. Riwayat adanya tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan.
12. Riwayat keturunan epilepsi.
Faktor yang menyebabkan terjadinya status epileptikus ( Dewanto dkk,
2009).
1. Penghentian obat-obatan antikonvulsan secara tiba-tiba.
2. Demam.
3. Kelainan serebrovaskular.
4. Gangguan metabolik.
5. Infeksi SSP.
6. Gangguan iskemik-hipoksia (kasus tenggelam dan inhalasi asap).
7. Tumor.
8. Trauma.
9. Idiopatik.
Faktor resiko terjadnya epilepsi sangat beragam, diantaranya adalah infeksi
SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Pada
penderita demam, faktor resiko terjadinya epilepsi adalah :
a. Jika kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam pertama.
b. Kejang demam kompleks
c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
2.5 Klasifikasi
Adapun Klasifikasi status epileptikus menurut ILAE 1981 (Nia Karnia, 2007)
sebagai berikut :
a. Serangan parsial (fokal) : serangan parsial sederhana (dengan gejala motorik,
sensorik, otonom atau psikis), serangan parisal kompleks, serangan parsial dengan
generalisasi sekunder.
b. Serangan umum : absens (petil mal), tonik klonik (grand mal), tonik, atonik,
mioklonik
c. Serangan epilepsi tak terklasifikasikan
Serangan parsial dimlai pada satu area fokal di korteks serebri, sedangkan umum
dimulai secara simultan dikedua hemisfer. Sedangkan klasifikasi menurut Treiman
sebagai berikut :
a. Generalized convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized convulsive ini
mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive
mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.
b. Subtle SE
Terdiri dari aktivitas kejang pada otak ang bertahan saat tidak ada respons
motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe
NCSE (Non-convulsive Status Epileptikus). Subtle SE merupakan keadaan
berbahaya, sulit diobati dan mempunyai prognosis yang buruk.
c. Noncolvusive SE
d. NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial SE.
Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi dan prognosis;focal
motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.
e. Simple partial SE
Secara definisi, simple partial SE ini terdiri kejang yang terlokalisasi pada area
korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan
convulsive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan
morbiditas yang tinggi
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum
tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya
takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan
pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali
pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
4. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat
dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik,
infeksi atau kondisi degeneratif.
5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas
atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai
suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai
“slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama.
Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.
6. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus
nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Aktifitas motorik biasanya
normal pada sebagian besar kasus, kadang ditemukan kekakuan (clumsiness),
apraksia, jerking fokal, twiching pada otot wajah (kedip-kedip mata) mengunyah atau
mengecap-ngecap makanan, gerakan automatisme dalam bentuk gerak yang nyata
sangat jarang seperti flexi, ekstensi dari ekstermitas, deviasi kepala.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid, delusional, cepat
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor
dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis.
7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-
jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang
cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme,
gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG
terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi
bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens
dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks
dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme
perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun
proses sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP
tidak rutin dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang
memiliki manifestasi klinis infeksi SSP.
b. Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu
otak. Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh
karena berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi.
Pemeriksaan EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada
pasien dengan kejang epileptik, sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan
EEG tergantung pada kecurigaan etiologinya dan masih menjadi perdebatan.
c. Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan
pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai
terdapat suatu penyakit struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila
ditemukan deficit neurologis fokal dan perubahan kesadaran yang menetap. Pada
pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi dilakukannya pencitraan pada anak
dengan SE.
d. Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan
dikerjakan jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan,
namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat
mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun
kejang fokal sekunder.
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan epilepsi dilakukan secara individual untuk memenuhi kebutuhan
khusus masing-masing klien dan tidak hanya mengatasi tetapi juga mencegah kejang.
Penatalaksanaan berbeda satu kilen dengan klien lainnya karena beberapa bentuk
epilepsy yang muncul akibat kerusakan otak dan bergantung pada perubahan kimia
otak (Muttaqin, 2011).
Farmakoterapi
Beberapa obat antikonvulsan diberikan untuk mengontrol kejang, walaupun
mekanisme kerja zat kimia dari obat-obatan tersebut tetap masih tidak diketahui.
Tujuan dari pengobatan adalah mengontrol kejang dengan efek samping yang
minimal. Obat diberikan sesuai tipe kejang yang akan diobati, keefektifan, serta
keamanan medikasi. Dosis awal dan kecepatan dosis ditingkatkan bergantung pada
ada atau tidaknya efek samping yang terjadi. Kadar medikasi dipantau karena absorbsi
obat bervariasi untuk setiap orang (Muttaqin, 2011).
1. Lima menit pertama
a. Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan
berikutnya
b. Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan napas,
intubasi bila perlu bantuan ventilasi
c. Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelainan
d. Pasang jalur intravena dengan NaCl 0,9%, periksa gula darah, kimia darah,
hematologi dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
2. Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolus
intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/ glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena.
3. Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit
sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat
diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
4. Menit ke-20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan
1 mg/kgBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama pemberian.
5. Setelah 60 menit
Jika status epileptikus masih berkelanjutan setelah feniton 20 mg/kg maka
berikan fenotin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika tetap,
berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila
apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anesthesia umum
dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
Cara lainnya dengan pemberian 50 mg diazepam dalam 250 ml dektrosa 5%
intravena dengan kecepatan 20 tetes/menit selama 2-3 jam, namun hati-hati karena
dapat menyebabkan depresi pernapasan. Selain itu dapat pula diberikan 100 mg
fenobarbital intramuscular. Bila menetap beri narkosis umum, pasien dirawat di ruang
perawatan intensif (ICU) agar dapat dilakukan pemantauan sistem kardiorespirasi dan
bila terjadi kegagalan respirasi sebagai efek samping pengobatan dapat segera
dilakukan resusitasi.
BAB III.
ASUHAN KEPERAWATAN
Tn. A, laki – laki 65 Th, islam. Pasien mempunyai 2 anak 1 laki – laki dan
1 perempuan. Keluarga membawa pasien ke puskesmas setelah itu pasien di
rujuk ke RSUD dr. Soebandi, pasien tidak sadarkan diri. Saat di IGD tangan
pasien di infus sebelah kanan, dan di pasang NGT di nasal dextra serta DC
( dower chateter). Sejak masuk rumah sakit menurut keluarga pasien berbicara
pelo, suhu tubuh naik. Pasien beberapa kali mengalami kejang lebih dari 5
menit. Keluarga juga mengatakan bahwa ketika sadar pasien lupa dengan
keluarga. Pasien mempunyai kebiasaan merokok tetapi kurang lebih 6 bulan
pasien berhenti merokok, pasien juga mempunyai kebiasaan minum kopi
kurang lebih 4 – 5 gelas/ hari dan pasien mempunyai riwayat penyakit
hipertensi.
I. Identitas Klien
CE-20 Jember
II. Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medik:
Status Epileptikus
2. Keluhan Utama:
Pasien tidak sadarkan diri dan beberapa kali mengalami kejang lebih dari 5
menit.
3. Riwayat penyakit sekarang:
keluarga mengatakan bahwa pasien mulai pikun kurang lebih 2 bulan, tidak
megetahui alamat dan arah rumah, pasien tidak sadarkan diri sejak bangun
tidur, akhirnya keluarga membawa pasien ke puskesmas setelah itu pasien di
rujuk ke RSUD dr. Soebandi. Mulai MRS menurut keluarga pasien berbicara
pelo,suhu tubuh naik, dan saat panas pasien selalu kejang, serta pasien juga
lupa dengan keluarga dan megalami halusinasi, sehinggan keluarga
memeriksakan pasien ke dokter.
4. Riwayat kesehatan terdahulu:
a. Penyakit yang pernah dialami: keluarga mengatakan bahwa pasien pernah
menderita hipertensi
b. Alergi (obat, makanan, plester, dll): keluarga mengatakan bahwa pasien
tidak mempunyai riwayat alergi obat, makanan, serta plester
c. Imunisasi: keluarga mengatakan tidah mengetahui tentang riwayat
imunisasi pada pasien
d. Kebiasaan/polahidup/life style: keluarga mengatakan bahwa pasien
mempunyai kebiasaan merokok, tetapi kurang lebih 6 bulan pasien sudah
berhenti merokok, serta pasien mempunyai kebiasaan minum kopi kurang
lebih 4 – 5 gelas/ hari, pasien juga tidak menjaga pola / menu makanan dan
minuman yang di konsumsi, menu yang paling di gemari pasien adalah
gule, sate dan makanan asin
e. Obat-obat yang digunakan: keluarga mengatakan bahwa pasien saat flu
sering mengkonsumsi decolgen serta obat yang di dapatkan dari poli
5. Riwayat penyakit keluarga: keluarga mengatakan bahwa pasien memiliki orang
tua yang meninggalnya di karenakan hipertensi
Genogram:
: Perempuan : Meninggal
: Pasien
Interpretasi :
IMT pasien dalam batas normal
Biomedical sign :
Albumin, globulin, HB, tp,
HB :12,6 %
Trombosit : 179 109 /L
HCT : 38 %
Interpretasi :
Biomedical sign pasien dalam batas normal
Clinical Sign :
Conjungtiva anemis, pasien mengalami penurunan kesadaran, GCS E4M2V4,
terpasang sonde Interpretasi :
Clinical sign menunjukkan resiko pada tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi
Diet Pattern:
Diet tim saring per sonde 6 x 200 cc = 1200 cc/ 24 jam
4 x 200 cc @ 500 kalori = 2500 (bubur tim saring )
2 x 100 cc @ 100 kalori = 100 ( susu )
2200 kal
Interpretasi :
Intake kalori pasien adekuat
3. Pola eliminasi:
BAK
BAB
Frekuensi : 2 – 3 kali/ hari
Jumlah :-
Konsistensi : Lembek
Warna : Hitam
Bau : Khas Feses
Karakter :-
BJ :-
Alat Bantu :-
Kemandirian : dibantu
Lain : menggunakan pampers
Balance Cairan
Kemampuanperawatandiri 0 1 2 3 4
Makan / minum √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilitas di tempattidur √
Berpindah √
Ambulasi / ROM √
Status Oksigenasi :
Nafas spontan, RR: 28 kali/ menit, terdapat retraksi dada Rh Wh
Interpretasi :
Durasi : pasien selalu tidur dan bangun tidak pasti ( tidak terjadi)
Lain-lain : - Interpretasi
:
Interpretasi :
Pasien mengalami penurunan pada kognitif dan memori sejak 2 bulan yang lalu.
Pasien mengalami penurunan pendengaran
Pasien cenderung terbuka kepada istri dan keluarga, apabila terdapat masalah
pasien selalu membicarakan kepada keluarga Interpretasi :
Interpretasi :
Keadaan umum:
TekananDarah :150/80
mm/Hg
Nadi :112 X/mnt
RR :28 X/mnt
Suhu :38 C
Interpretasi :
1. Kepala
Inspeksi: tidak terdapat benjolan, lesi dan warna rambut putih kehitaman
Palpasi: tidak terdapat massa
2. Mata
Inspeksi: tidak terdapat benjolan, lesi, konjungtiva anemis, sklera anktevik, pupil
isokor 3/3, reflek cahaya H/H, tidak terdapat edema palpebra
3. Telinga
Inspeksi: daun telinga simetris, tidak terdapat benjolan, tidak tampak serumen
Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan
4. Hidung
5. Mulut
Inspeksi: mukosa mulut kering, terdapat lendir putih, tidak terdapat benjolan
dan lesi, hanya terdapat 1 gigi atas dan bawah, terdapat lipatan nasolabial,
sinistra lebih dangkal
6. Leher
Inspeksi: tidak terdapat benjolan dan lesi, tidak tampak pembesaran JVP
Palpasi: tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, dan tidak terdapat
massa
7. Dada
8. Abdomen
Palpasi: timpani
9. Urogenital
Terpasang DC (dower chateter) two way
10. Ekstremitas
Kekuatan otot Refleks fisioligis: Reflek meningeal:
B + - kernig ( - )
3 4 T + + - kaku kuduk ( - )
3 4 P + + - burdinzki I ( - )
A + + - burdinzki II ( - )
11. Kulit dan kuku
Inspeksi: bersih, terdapat bekas miliarta aksila, abdomen. Kuku bersih tidak
terdapat clubbing finger, CRT kuran dari 2 detik, turgor kulit baik, kulit
teraba panas, ekskrenitas dingin.
12.Keadaan local
Pasien mengalami penurunan kesadaran, GCS E4V2M4, infus pada tangan
kangan, terdapasang DC ( dower chateter), terpasang O2 nasal kanul 5 lpm.
V. Terapi
Suplai O2 ke otak
3. DO : CRT lebih dari 2 Resiko Cedera Resiko Cedera
detik
TTV: TD: 150/80 mmHg Gerakan individu tidak
N: 112 kali/ menit terkontrol
RR: 28 kali/ menit
S: 38 C Penurunan kesadaran dan
DS : Keluarga mengatakan Kejang berulang bahwa
pasien
mengalami penurunan Status epileptikus kesadaran
dan
beberapa kali kejang
4. DO: Terpasang infus di Resiko infeksi Resiko infeksi
tangan kanan
Terpasang NGT di Dilakukan tindakan invasif
nasal dextra
Terpasang DC Penurunan kesadaran dan
( dower chateter) kejang berulang
Leukosit 9,0 109/L
DS: - Status Epileptikus
1. Tekanan darah sistol dan diastol ditingkatkan dari skala 2 ke skala 5 (tidak
ada deviasi dari kisaran normal)
2. Tekanan nadi ditingkatkan dari skala 2 ke skala 5 (tidak ada deviasi dari
kisaran normal)
3. Tekanan vena sentral ditingkatkan dari skala 3 ke skala 5 (tidak ada deviasi
dari kisaran normal)
4. PaO2 ( tekanan parsial oksigen dalam darah arteri) ditingkatkan dari skala
( ringan )
9. Edema perifer
10. Kelelahan ditingkatkan dari skala 1 (berat) ke skala 4 (ringan)
11. Gangguan kognisi ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4
( ringan )
12. Penurunan suhu kulit ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke skala 4
( ringan )
13. Pingsan ditingkatkan dari skala 1 (berat) ke skala 4 (ringan)
14. Luka ekstremitas bawah ditingkatkan dari skala 1 (berat) ke skala 4
( ringan )
(ringan)
8. Refleks saraf tergangu ditingkatkan dari skala 2 (besar) ke skala 4 (ringan)
NIC:
1. Monitor tekanan darah , nadi, suhu, dan status pernapasan dengan cepat
2. Monitor tekanan darah setelah pasien minum obat sesegera mungkin
3. Monitor keberadaan dan kualitas nadi
4. Monitor nada jantung
5. Monitor suara paru-paru
6. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
7. Monitor sianosis sentral dan perifer
8. Monitor terkait dengan adanya tiga tanda Chusing reflex (misalnya ,
tekanan nadi melebar, bradikardia, dan peningkatan darah sistolik) 9.
Identifikasi kemungkinan penyebab peubahan tanda-tanda vital
Pencegahan Pendarahan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam Gangguan pola nafas
tidak efektif teratasi dengan Indikator:
(normal)
2. Suara perkusi nafas dari skala 2 ( cukup berat ) ke skala 5 (normal)
3. Hasil rontgen dada dari skala 2 ( cukup berat ) ke skala 5 (normal)
4. Penggunaan otot bantu nafas ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 4
(ringan)
5. Suara nafas tambahan ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 4 (ringan)
6. Restraksi dinding dada ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 4 (ringan)
7. Dispnea saat istirahat ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 4 (ringan)
8. Pengembangan dada tidak simetris ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke
skala 4 (ringan)
9. Gangguan ekspirasi ditingkatkan dari skala 2 (berat) ke skala 4 (ringan)
0410 Status pernapasan : Kepatenan jalan napas
1. frekuensi pernapasan membaik dari skala 2 (berat ) menjadi skala 4
(ringan) 2. kemampuan untuk mengeluarkan sekret berubah dari skala 2
(berat ) menjadi skala 4 (ringan)
3. suara nafas tambahan menghilang dari skala 1 (sangat berat ) menjadi skala
4 (ringan)
4. akumulasi sputum membaik dari skala skala 2 (berat ) menjadi skala 4
( ringan )
5. ansietas berkurang dari skala 1 (sangat berat ) menjadi skala 4 (ringan)
( sedikit terggangu )
6. saturasi oksigen ditingkatkan dari skala 1 (sangat terganggu) ke skala 5
( tidak terggangu )
7. fungsi neurologis ditingkatkan dari skala 1 (sangat terganggu) ke skala 4
( sedikit terggangu )
8. metabolisme ditingkatkan dari skala 1 (sangat terganggu) ke skala 4
( sedikit terggangu )
9. kualitas istirahat ditingkatkan dari skala 1 (sangat terganggu) ke skala 4
( sedikit terggangu )
NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam risiko cedera pada
pasien teratasi dengan Indikator :
1910 Keamanan lingkungan rumah
1. ketersediaan air bersih efektif dari skala 2 (sedikit adekuat) menjadi skala
4
Definisi :
1. identifikasi kekurangan baik kognitif atau fisik dari pasien yang mungkin
meningkatkan potensi jatuh pada lingkungan tertentu
2. letakkan benda-benda dalam jangkauan yang mudah bagi pasien
3. instruksikan pasien untuk meminta bantuan terkait pergerakan
4. anjurkan adaptasi dirumah untuk meningkatkan keamanan
5. sarankan menggunakan alas kaki yang aman
1. kaji ulang data yang didapatkan dari pengkajian risiko secara rutin
2. identifikasi adanya sumber sumber agensi untuk menurunkan faktor risiko
3. instruksikan faktor risiko dan rencana untuk mengurangi faktor risiko 4.
gunakan rancangan tujuan yang saling menguntungkan dan tepat
rencanakan monitor risiko kesehatan dalam jangka panjang
5. rencanakan tindak lanjut strategi dan aktivitas pengurangan risiko jangka
panjang
Definisi :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam Risiko infeksi teratasi
dengan
Indikator :
(ringan)
4. Gejala-gejala gastrointestinal ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke
skala 4 (ringan)
5. Peningkatan jumlah sel darah putih ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat)
ke skala5 (tidak ada)
6. Depresi jumlah sel darah putih ditingkatkan dari skala 2 (cukup berat) ke
skala 4 (ringan)
NIC
4.5 Evaluasi
NO Diagnosa Evaluasi
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
2 Gangguan pola nafas tidak
efektif berdasarkan dengan S: Keluarga pasien mengatakan “ nafas
penurunan fungsi oblongata pasien sudah tidak terengah – engah lagi”
PENUTUP
4.1 Simpulan
Status epileptikus adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik
kejang berulang akibat adanya suatu kondisi tertentu dari individu dan bahkan
dapat menyebabkab kecacatan dan kematian dari individu jika tidak ditangani
dengan benar. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang
tua bahkan bayi yang baru lahir. Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada
dua macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi grandmal. Epilepsi parsial
dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial sederhana dan epilepsi parsial
kompleks. Epilepsi grandmal meliputi epilepsi tonik, klonik, atonik, dan
myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya berlangsung
secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsi dimana
terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan epilepsi
yang tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah kejang
otot yang klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.
4.2 Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui
pengertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan
pada klien dengan epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi sering
dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang menghambat kehidupan
normal, maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan gangguan epilepsi
dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien tersebut. Hal itu
dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan
tidak akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri. Perawat sebagai
bagian dari tenaga kesehatan harus ikut serta dalam tindakan Promotif,
Preventif, Kuratif, dan Rehabilitatif penanganan status epileptikus karena
masih banyak masyarakat yang belum banyak mengetahui tentang
penatalaksanaan status epileptikus.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.
RAKYAT.