Anda di halaman 1dari 45

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH FARMAKOLOGI

MATERI : TERAPI FARMAKOLOGI PADA SISTEM PERSARAFAN

Dosen Pengampu : Septiana Fathonah,M.Kep

NAMA KELOMPOK :

1.Septiana Erinawati 3120203679

2.Septiana Diyah Lestari 3120203680

3. Silvi Muji Astuti 3120203681

4.Silvia Muji Rahayu 3120203682

5.Sintia Ayuningtyas Ramadhani 3120203683

KELAS :1C

PRODI : D III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN NOTOKUSUMO YOGYAKARTA

2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah ini dengan judul “Terapi Farmakologi Pada Sistem Persarafan”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Farmakologi kelas I semester 2 tahun pelajaran 2020/2021. Dalam makalah ini
penulis menguraikan mengenai “Terapi Farmakologi Pada Sistem Persarafan”.

Dalam penyelesaian makalah ini, penulis mendapatkan bantuan serta


bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis
mengucapkan terimakasih kepada.

1. Giri Susilo Adi, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Kepala Stikes Notokusumo
serta segenap jajarannya yang telah memberikan kemudahan selama
mengikuti pendidikan di Stikes Notokusumo.
2. Barkah Wulandari, S.Kep., Ns., M.Kep selaku wali kelas 1C yang
telah memberikan motivasi.
3. Septiana Fathonah,M.Kep selaku guru mata kuliah Farmakologi yang
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan
bimbingan, pengarahan, dorongan dalam penyelesaian penyusunan
makalah ini.
4. Orang tua kami yang banyak memberikan dukungan baik moril
maupun materiil.
5. Semua pihak yang tidak dapat penulis rinci satu per satu yang telah
membantu dalam proses penyusunan laporan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan laporan
makalah ini di masa mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat
dan memenuhi harapan berbagai pihak.

Yogyakarta, 1 April 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG............................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................5
C.TUJUAN PENELITIAN............................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................6
A. PENGERTIAN SISTEM SARAF..........................................................................6
B. PENYAKIT PADA SISTEM SARAF...................................................................6
C. NAMA GOLONGAN OBAT..............................................................................10
D.GANGGUAN PENYALAHGUNAAN OBAT......................................................32
E.TINDAKAN KEPERAWATAN PADA PEMBERIAN OBAT TERHADAP
SISTEM SARAF..........................................................................................................34
BAB III............................................................................................................................38
PENUTUP.......................................................................................................................38
A. KESIMPULAN....................................................................................................38
B. SARAN................................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................45
BAB I

PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Sistem saraf pusat (CNS) adalah bagian sistem saraf yang berlokasi dalam
tengkorak dan tulang belakang, Peripheral Nervous System/ PNS (sistem saraf
tepi) adalah bagian yang berlokasi diluar tengkorak dan tulang belakang. Sistem
saraf pusat terdiri atas dua bagian, yaitu otak dan spinal card (susunan saraf
tulang belakang atau sumsum tulang belakang).

Sistem saraf pusat (CNS), yang terdiri atas saraf pusat dan tulang belakang,
berperan sebagai pusat kontrol untuk regulasi proses fisik dan mental. Saraf
sensorik membawa pesan ke sistem saraf pusat, sedangkan saraf motorik
membawa pesan dari sistem saraf pusat. Sistem saraf pusat menerima informasi
tentang kadar oksigen dalam darah, suhu tubuh, atau stimulus sensorik dan
mengirinkan pesan ke organ efektor untuk menyesuaikan lingkungan hingga
dicapai homeostasis.

Penyakit saraf adalah gangguan yang terjadi pada system saraf tubuh,
meliputi otak dan sumsum tulang (system saraf pusat), serta saraf yang
menghubungkan system saraf pusat dengan organ tubuh (system saraf perifer).
Terganggunya sistem saraf dapat menyebabkan terganggunya seluruh atau
sebagian fungsi tubuh, seperti sulit bergerak, bernapas, berbicara,
gangguaningatan, serta gangguan fungsi organ tubuh bagian dalam, seperti
jantung dan paru.

Di Indonesia Penyakit saraf dengan komplikasinya merupakan masalah


kesehatan yang masih sulit diatasi di Indonesia dan mengancam jiwa manusia. Hal
itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit saraf di Indonesia. Dari hasil penelitian di Banda Aceh lebihkurang 3
bulanterdapat 406 pasien yang dirawat di ruang saraf Geulima I RSUD Dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh, terdiriatas 227 pria (55,9%) dan 179 wanita (44,1%).
Terdapat 5 macampenyakit yang merupakan penyakit-penyakit yang dominan
yang menyebabkanpasiendirawat di ruang saraf secara beruru Tanya itu
stroke.iskemik, cedera kepala ringan, cedera kepala sedang, cedera kepala berat,
dan stroke hemoragik. Pasien yang meninggal dunia sebanyak 21 orang (5,2%)
terdiriatas 7 pasien stroke iskemik (1,7%), 6 pasien stroke hemoragik (1,5%), 3
pasien cederakepalaberat (0,7%) dan masing-masing 1 pasien meningitis, sefalgia,
hidrosefalus, dan ensefalitis (0,2%) (Imran, 2017).

Pentingnya pembahasan mengenai penggunaan obat – obatan pada sistem


syaraf karena dapat mengetahui efek samping obat syaraf, efek yang tidak
diinginkan pada obat syaraf dalam waktu jangka pendek maupun jangka panjang,
dapat mengetahui kontraindikasi obat syaraf, dan juga dosis obat yang harus
diberikan oleh perawat mapun individu.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian sistem saraf ?
2. Apa saja penyakit pada sistem saraf ?
3. Sebutkan golongan obat pada sistem saraf ?
4. Apa saja gangguan penggunaan obat pada sistem saraf?
5. Bagaimana tindakan keperawatan saat pemberian obat terhadap sistem
saraf?

C.TUJUAN PENELITIAN
a. Tujuan Umum :
1. Untuk mengetahui lebih luas tentang sistem persyarafan.
2. Untuk memahami lebih luas tentang penyakit, nama – nama obat,
pengaruh obat terhadap sistem saraf .
3. Tindakan sebagai perawat dalam mengatasi pengobatan terhadap sistem
saraf.
b. Tujuan khusus:
1. Mendeskripsikan tentang sistem saraf.
2. Dapat memahami lebih luas mengenai penyakit dan pengaruh obat
terhadap sistem saraf.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SISTEM SARAF


Sistem saraf adalah jaringan komplek dari saraf dan sel yang
membawa implus ke otak dan sumsum tulang belakang kemudian
diantarkan ke organ bagian tubuh lainnya sebagai penerima. Dikenal pula
sebagai pusat koordinasi semua sistem organ memiliki fungsi yaitu:

1. Menerima rangsangan dan lingkungan atau rangsangan yang


terjadi didalam tubuh;
2. Merubah rangsangan ini dalam perangsangan saraf, mengahantar
dan memprosesnya;
3. Mengkoordinasi dan mengatur fungsi tubuh melalui implus-
implus yang dibebaskan dari pusat ke perifer.

B. PENYAKIT PADA SISTEM SARAF


1. Meningitis
a. Definisi
Meningitis atau radang selaput otak adalah radang pada
membran yang menyelubungi otak dan sumsum tulang
belakang, yang secara kesatuan disebut meningen. Radang
dapat disebabkan oleh infeksi, virus, bakteri, atau juga
mikoorganisme lain.

b. Manifestasi klinik
1. Sakit kepala
2. Demam
3. Mual
4. Nyeri punggung
5. Kaku kuduk
6. Kejang

2. Alzheimer
a. Definisi
Alzheimer adalah penyakit otak yang mengakibatkan
penurunan daya ingat, kemampuan berpikir dan berbicara, serta
perubahan perilaku secara bertahap. Kondisi ini banyak
ditemukan pada orang-orang diatas 65 tahun.

b. Manifestasi klinik
1. Mudah lupa, bahkan untuk hal- hal yang sering dilakukan
atau hal- hal yang baru dilakukan.
2. Penderitanya sering mengalami disorientasi, khususnya
untuk masalah waktu.
3. Kesulitan dalam fungsi kognitif kompleks, seperti
matematika atau aktivitas organisasi.

3. Bell’s palsy
a. Definisi
Bell’s palsy adalah kelemahan yang terjadi pada salah satu sisi
otot wajah yang sifatnya sementara. Sisi wajah yang terserang
bell’s palsy biasanya akan terlihat melorot. Umumnya, kondisi
ini terjadi pada wanita hamil, pengidap diabetes, dan HIV.
Saraf yang rusak padaa bagian wajah akan berdampak pada
indra perasa dan cara tubuh menghasilkan air mata dan ludah.
Umumnya, bell;s palsy datang secara tiba- tiba dan membaik
dalam hitungan minggu.

b. Manifestasi klinik
Bell’s palsy gejala yang berbeda- beda pada setiap
pengidapnya. Kelumpuhan yang terjadi pada satu sisi wajah
dibagi menjadi sua jenis, yaitu kelumpuhan sebagian
(kelemahan otot ringan dan kelumpuhan total (tidak ada
gerakan sama sekali, tetapi kasus ini jarang terjadi). Bell’s
palsy juga membuat mulut serta kelopak mata pengidap akan
terpengaruh, sehingga kedua bagian ini akan sulit untuk dibuka
dan ditutup. Berikut gejala bell’s palsy yang perlu diketahui:
1. Nyeri telinga pada sisi wajah yang lumpuh.
2. Telinga yang terpengaruh akan lebih sensitive terhadap
suara.
3. Berdenging di salah satu telinga atau keduanya.
4. Penurunan atau perubahan pada indra perasa.
5. Bagian mulut yang terpengaruh akan mudah berliur.
6. Mulut terasa kering.
7. Rasa sakit pada sekitar rahang.
8. Sakit kepala dan pusing.
9. Kesulitan untuk makan, minum dan berbicara.

4. Multiple Sclerosis
a. Definisi
Multiple sclerosis adalah gangguan saraf pada otak, mata, daan
tulang belakang. Multiple sclerosis akan menimbulkan
gangguan pada pengelihatan dan gerakan tubuh.

b. Manifestasi klinik
Gejala multiple sclerosis dapat berbeda- beda, tergantung pada
lokasi sraf yang terpengaruh. Multiple sclerosis dapat
menyebabkan serangkaian gangguan gerak dan pengelihatan
serta gejala- gejala lainnya.
 Gangguan gerak
Multiple sclerosis dapat menyebabkan gangguan gerak
berupa:
1. Kelemahan atau mati rasa pada sisi tubuh tertentu
atau pada tungkai.
2. Sulit berjalan.
3. Sulit menjaga keseimbangan.
4. Sensasi seperti tersengat listrik yang terjadi akibat
gerakan leher tertentu. Terutama ketika penderita
menggerakan leher kedepan.
5. Tremor atau gemetar.
 Gangguan pengelihatan
Gangguan pengelihatan yang dapat terjadi akibat
multiple sclerosis meliputi:
1. Kehlangan sebagiam atau seluruh kemampuan
pengelihatan. Hal ini biasanya siikuti rasa sakit saat
menggerakkan mata.
2. Pengelihatan ganda.
Selain gangguan bergerak dan gangguan melihat,
penderita multiple sclerosis juga bisa merasakan
beberapa gejala yaitu:
1. Lemas
2. Pusing
3. Sulit bicara.
4. Rasa sakit dan kesemutan pada berbagai bagian
tubuh.
5. Gangguan pada kandung kemih, usus, atau
organ seksual.

5. Parkinson
a. Definisi
Parkinson adalah penyakit saraf yang memburuk secara
bertahap dan mempengaruhi bagian otak yang berfungsi
mengoordinasikan gerakan tubuh. Akibatnya, penderita
kesulitan mengatur gerak tubuhnya, termasuk saat berbicara,
berjalan, dan menulis.

b. Manifestasi klinik
Gejala awal Parkinson biasanya cenderung ringan dan tidak
disadari oleh penderita. Terdapat 3 gejala utamayang dialami
penderita penyakit Parkinson yaitu tremor, gerak tubuh
melambat dan kaku otot.
Penyakit Parkinson terkait dengan kerusakan atau kematian sel
saraf di bagian otak yang disebut susbstantia nigra. Hal itu
menyebabkan berkurangnya produksi dopamin sehingga
gerakan tubuhpun melambat.

C. NAMA GOLONGAN OBAT


1. Analgesik opioid dan antagonis opioid
a. Analgesik opioid
Seseorang yang mengalami nyeri ringan akan diberikan
obat nonopioid. Apabila nyeri tersebut tidak kunjung reda, dosis
obat yang diberikan akan dinaikkan. Namun demikian, jika masih
merasakan nyeri parah, akan diberikan analgesik dengan opioid.
Analgesik opioid meruapakan analgesik yang diperoleh dari
tanaman opium. Opiat merupakan zat alami yang diperoleh dari
opium mentah. Opiat mencakup morfin sulfat, kodein, dan lain –
lain.
Sistem saraf pusat memiliki reseptor opiat. Meskipun opiat
memiliki aksi berbeda pada situs reseptor yang berbeda, reseptor
mu dan kappa menghasilkan efek analgesik, sedatif, euforik yang
berkaitan dengan obat analgesik. Meskipun terdapat efek
meringankan nyeri, juga terdapat efek yang tidak dikehendaki
ketika situs reseptor opiat distimulasi, seperti depresi pernapasan.
Analgesik opioid menghasilkan beberapa reaksi yang tidak
dikehendaki. Pada sistem saraf pusat, opioid nerdampak pada
euforia, kelemahan, sakit kepala,sedatif, insomnia, tremor, atau
gangguan mental dan kerja fisik. Pada sistem respirasi berdampak
pada depresi laju dan kedalaman bernapas. Pada sistem pencernaan
memungkinkan terjadinya anoreksia dan konstipasi. Sistem
kardiovaskular dapat mengalami gangguan sirkulasi perferal dan
berbagai efek yang tidak dikehendaki lainnya.
Opioid kontraindikasi bagi pasien dengan hipersensitivitas
obat, gangguan konvulsif, renal parah, disfungsi hepatik, dan
kolitis ulseratif. Opioid tidak direkomendasikan bagi ibu hamil dan
menyusui. Opioid yang diberikan bersamaan dengan alkohol,
antihistamin, antidepresan, sedatif, fenotiazin dapat meningkatkan
risiko depresi sistem saraf pusat.

b. Antagonis opioid
Antagonis merupakan zat yang memiliki aksi berlawanan
atau menetralkan obat yang lain. Antagonis opioid memiliki
aktivitas yang lebih besar bagi reseptor sel daripada obat opioid,
yang mencegah respons terhadap opioid. Terdapat dua antagonis
opioid utama yaitu nalokson (Narcan) dan nalmefen (Revex).

Antagonis mencegah atau membalikkan efek obat opioid.


Antagonis membalikkan efek opioid dengan berkompetisi untuk
mencapai situs reseptor opiat dan menyingkirkan obat opioid.
Apabila seseorang telah mengkonsumsi opioid, efek opioid dapat
dibalik. Antagonis tidak selektif terhadap adverse effect. Oleh
karenanya, jika antagonis opioid digunakan untuk mengembalikan
reaksi adverse effect tertentu seperti depresi pernapasan, ia akan
membalikkan semua efek, seperti membalikkan keringanan nyeri
atau nyeri akan datang lagi.
Antagonis opioid biasanya digunakan untuk pengobatan
depresi pernapasan akut pascaoperasi, membalikkan adverse effect
opioid, dan overdosis opioid akut. Reaksi yang tidak dikehendaki
karena pemberian opioid antara lain berkeringat, trakhiadia,
peningkatan tekanan darah, atau tremor.

2. Analgesik- antipiretik- antiinflamasi dan obat yang berkaitan

Kelompok obat analgesik – antipiretik – antiinflamasi


mencakup berbagai obat yang secara kimia dan farmakologi
memberikan efek meringankan nyeri, demam, dan atau inflamasi
yang berkaitan dengan cedera dan penyakit. Contohnya obat
tersebut adalah aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID),
dan asetaminofen, yang selanjutnya disebut obat antiprostaglandin
karena enginhibisi sintesis prostagladin. Prostaglandin merupakan
mediator kimia yang terdapat pada hampir semua jaringan tubuh,
yang berfungsi mengatur fungsi sel dan memberikan respon
inflamasi. Protaglandin tebentuk saat terjadi cedera seluler dan
fosfolipid dalam membran melepaskan asam arakudonat yang
menghasilkan prostaglandin oleh bantuan enzim siklooksigenase.
Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya nyeri, demam, atau
inflamasi.
Aspirin, NSAID, dan asetaminofen memiliki aktivitas non-
aktivasi sikooksigenase, enzim yang diperlukan untuk
pembentukan protaglandin. Terdapat dua bentuk siklooksigenase,
yaitu COX-1 dan COX-2. Aspririn dan NSAID tradisional
menginhibisi keduanya.
COX-1 disintesis secara terus menerus dan terdapat dalam
semua jaringan dan tipe sel, khususnya platelet, sel endoteliat,
saluran pencernaan, dan ginjal. Prostaglandin yang dihasilkan oleh
COX-1 penting dalam berbagai fungsi homeostatis dan berkaitan
dengan efek protektif pada lambung dan ginjal. Prostaglandin yang
dihasilkan oleh COX-1 dapat menurunkan sekresi asam lambung,
mengatursirkulasi darah, dan menjaga ketersediaan aliran darah
dan fungsinya. Inhibisi yang diinduksi oleh obat terhadap
prostaglandin ini dapat menghasilkan adverse effect, seperti iritasi
lambung, ulserasi, dan pendarahan.
COX – 2 normalnya terdapat dalam beberapa jaringan,
seperti otak, tulang, ginjal, saluran pencernaan, dan sistem
reproduksi wanita. Dalam jaringan yang sedang terserang
inflamasi, COX – 2 diinduksi oleh mediator kimia inflamasi seperti
interleukin-1 (IL-1) dan faktor nekrosis tumor alfa (TNF alfa).
Dalam saluran pencernaan, COX-2 diinduksi oleh trauma dan
infeksi bakteri. Secara umum, protaglandin yang dihasilkan oleh
COX-2 berkaitan dengan nyeri dan tanda inflamasi lainnya.
Inhibisi terhadap COX-2 memberikan efek terapeutik dari aktivitas
analgesik dan antiinflamasi. Obat inhibitor CO-2 adalah NSAID
yang dirancang untuk secara selektif menginhibisi COX-2 dan
meredakan nyeri serta inflamasi dengan adverse effect yang lebih
sedikit, khususnya pada kerusakan lambung.
Untuk meringankan nyeri, aspirin menghambat transmisi
implus nyeri secara pusat dan periferal. Obat yang berkaitan secara
priferal bereaksi pada reseptor nyeri menjadi kurang sensitif
terhadap zat kimia yang dilepaskan oleh sel yang rusak. Untuk
meringangankan demam, obat bereaksi pada hipotalamus untuk
menurunkan respons terhadap pirogen dan mengatur ulang
termostat pada tingkat yang lebih rendah. Untuk inflamasi, obat
mencegah prostaglandin meningkatkan nyeri dan edema yang
dihasilkann oleh zat lain yang dilepaskan oleh sel rusak. Obat ini
meringankan gejala dan berperan penting terhadap kenyamanan
pasien dan kualitas hidupnya, obat tersebut tidak menyembuhkan
gangguan dan menyebabkan gejala.
3. Obat antiansein dan sedatif-hipnotik
a. Antiansein
Ansien atau cemas merupakan perasaan khawatir yang
dapat terjadi karena kejadian disekitarnya. Ansietas dapat dilihat
dalam berbagai situasi seperti gemetar dan panik yang akut karena
berbagai faktor. Dalam kondisi normal dan batas sewajarnya,
ansietas merupakan hal yang wajar, namun jika berlebihan dapat
mengganggu aktivitas sehari – hari. Ansietas yang melebihi batas
dapat menyebabkan stress bagi penderita. Obat yang digunakan
untuk mengobatinya disebut antiansein.
Obat antiansein mencakup benzoadizepin dan
nonbenzodiazepin. Contoh obat benzodiazepin, antara lain
alprazolam, klordiazepoksida, diazepam, dan lorazepam. Meskipun
demikian, konsumsi obat – obatan tersebut dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan
psikologis. Nonbenzodiazepam antara lain buspiron, doksepin, dan
hodroksizin.
Obat antiansein menggunakan efek penenang dengan
menghambat situs reseptor neutrotransmitter tertentu. Sebagai
gantinya, ia mencegah neurotransmiter dari persepsi cemas dan
reaksi fisik tubuh terhadap kecemasan. Benzodiazepin
menggunakan efek penenang dengan meningkatkan efek asam
gama-aminobutirat (GABA), yaitu transmiter inhibitor.
Nonbenziadiazepin menggunakan berbagai aksi dalam berbagai
cara untuk mencegah ansietas. Sebagai contoh, buspiron memiliki
situs aksi pada reseptor serotonin otak. Hidroksizin menghasilkan
efek antiasien dengan aksi pada pembentukan retikular batang otak
dan hipotalamus.
Obat antiansein digunakan dalam mengelola gangguan
ansietas, kepanikan, sedasi pra-anestetik, relaksasi otot, dan kejang.
Obat antiansien juga memiliki reaksi yang tidak dikehendaki pada
beberapa kondisi tertentu, seperti mengantuk, sedasi, malas, dan
sakit kepala. Di sisi lain, juga terdapat reaksi sistem tubuh yang
tidak dikehendaki seperti kelelahan, marah, disorientasi, dan
beberapa efek yang lainnya.
Penggunaan obat antiansien dalam waktu lama dapat
mengakibatkan ketergantungan fisik dan toleransi, yaitu
meningkatkan dosis yang diperlukan menjadi lebih besar untuk
memperoleh efek yang dikehendaki.

b. Sedatif – hipotonik
Sedatif dan hipotonik merupakan obat yang umumnya
digunakan untuk mengobati insomnia atau kesulitan untuk tidur.
Insomnia dapat mengubah gaya hidup, nyeri kronis, sakit kepala,
stres, dan kecemasan.
Suatu hal yang penting bagi pasien insomnia adalah pasien
dapat tidur dan beristirahat agar mempercepat proses penyembuhan
penyakit. Oleh karena itu, hipnotik dapat diberikan pada pasien
yang mengalami insomnia. Obat dapat diresepkan untuk
penggunaan jangka pendek untuk mendorong pasien agar tidur
selama dan sesaat setelah keluar dari rumah sakit.
Hipotonik merupakan obat yang menginduksi pasien agar
tidur dengan nyenyak. Hipnotik biasanya diberikan ada malam
hari. Sedatif merupakan obat yang memberikan efek relaksasi dan
penenang. Sedatif biasanya diberikan pada siang hari. Sedati dapat
memberikan efek relaksasi pada pasien tanpa pasien merasa
mengantuk atau tidur.

Sedatif dibedakan menjadi dua, yaitu barbiturat dan


nonbarbiturat:

- Barbiturat
Barbiturat merupakan obat untuk insomnia dan ansietas.
Semua barbiturat memiliki mode aksi yang umumnya sama.
Namun demikian, efek yang ia hasilkan pada sistem saraf pusat
(CNS) dapat bermacam – macam bergantung pada dosisnya.
Barbiturat dapat memberikan efek ringan seperti hipnotis
(tidur) dan efek berat seperti koma. Barbiturat juga merupakan
depresan pernapasa, derajat depresi biasanya bergantung pada
dosisnya. Ketika digunakan sebagai hiptonik, efek depresan
biasanya sama dengan yang terjadi pada orang tidur.

- Nonbarbiturat
Nonbarbiturat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
benzodiazepin dan nonbenzodiazepin. Nonbarbiturat saat ini
lebih sering digunakan sebagai sedatif dibandingkan barbiturat
karena mengobati insomnia lebih efektif dibandingkan
barbiturat dan efek yang tidak dikehendaki yang dihasilkan
oleh barbiturat lebih besar. Benzodiazepin juga digunakan
sebagai obat antiansein. Contoh nonbenzodiazepin, antara lain
eszopiklon dan zolpidem.
Sebagaimana barbiturat, nonbarbiturat juga menghasilkan
efek depresi CNS. Sebagai contoh, benzodiazepin
menyebabkan efek pada GABA untuk meningkatkan inhibisi
neural. Namun demikian, obat ini memiliki efek yang lebih
ringan pada laju respirasi, sehingga dipilih sebagai pengobatan
insomnia dibandingkan barbiturat.
Pemberian obat ini lebih dari 2 minggu dapat menyebabkan
efek yang tidak dikehendaki, yaitu seperti peningkatan dosis
obat. Potensi ketergantungannya lebih rendah dibandingkan
barbiturat.
Penggunaan obat sedatif dan hipnotik antara lain untuk
pengobatan insomnia, kejang, sedasi praoperasi, dan sedasi
sadar. Obat ini juga menyebabkan efek yang tidak dikehendaki
seperti reaksi sistem saraf seperti pusing dan sakit kepala,
reaksi pencernaan umum, seperti mual dan muntah.

4. Antipsikotik
Obat antipsikotik diberikan pada pasien yang mengalami
gangguan psikotik. Istilah psikotik berkaitan dengan gangguan
yang memengaruhi suasana hati dan perilaku. Halusinasi, misalnya
merupakan sensasi yang salah atau persepsi yang tidak memiliki
dasar nyata. Contoh lain, delusi, yaitu keyakinan yang salah yang
tidak dapat diubah dan diberikan alasan. Gejala lain mencakup
tutur kata yang tidak teratata, gangguan perilaku, menjauh dari
orang – orang di sekitarnya, tidak adanya respons emosi terhadap
situasi dan kondisi apa pun.
Psikosis disebabkan oleh dopamin neurotransmiter dalam
otak yang tidak seimbang. Obat antipsikotik berperan untuk
menghambat dopamin D2 dalam otak, sehingga mengurangi gejala
psikotik. Beberapa obat antipsikotik ini menghambat daerah
pemicu kemoreseptor dan pusat muntah otak, sehingga
menyababkan efek antiemetik.
Pada dasarnya, obat antipsikotik dibedakan menjadi dua,
yaitu obat tipikal dan atipikal. Keduanya diyakini memiliki aksi
pada reseptor serotonin sebagaimana reseptor dopamin dalam otak.
Obat antipsikotik diguankan dalam pengobatan psikosis
akut dan kronis, seperti skizofrenia, penyakit bipolar, dan perilaku
agitasi yang berkaitan dengan demensia.
Litium bukan merupakan obat antipsikotik, namun
dikelompokkan ke dalam antipsikotik karena penggunaannya
dalam mengatur fluktuasi fase manat pada gangguan bipolar yang
parah. Gangguan bipolar adalah gangguan psikiatrik yang dicirikan
dengan suasana hati seperti hiperaktif hingga depresi.
Litium karbonat secara cepat diabsorpsi setelah pemberian
secara oral. Reaksi yang tidak dikehendaki setelah pemberian
litium antara lain, tremor, mual, muntah, haus, dan poliuria. Reaksi
toksisk dapat terjadi ketika kadar litium serum melebihi 1,5
mEq/L. karena beberapa reaksi toksik berpotensi serius, selama
terapi, pasien perlu diukur kadar litium dalam darah.
Obat antipsikotik memberikan efekmenghambat transmisi
dopamin, yang menghasilkan efek yang tidak dikehendaki. Efek
tersebut antara lain pada reaksi sistem umum seperti sedasi, sakit
kepala, hipertensi, mulut kering, kongesti nasal, urtikaria, fotofobia
(intoleransi terhadap cahaya). Fotofobia merupakan kondisi
terbakar oleh panas matahari pada kulit yang dialami oleh pasien
yang mengkonsumsi obat antipsikotik.
Efek yang tidak dikehendaki dari pemberian antipsikotik
yang lain adalah perubahan – perubahan perilaku, seperti
peningkatan intensitas gejala psikotik, hiperaktivitas, reaksi
paranoid, agitasi, dan kekhawatiran.
Sindrom ekstrapiramidal merupakan salah satu efek yang
tidak dikehendaki yang berkaitan dengan obat antipsikotik. Obat
antipsikotik dapat memengaruhi bagian ekstrapiramidal pada
sistem saraf yang menyebabkan pergerakan otot tidak normal. Efek
ekstrapiramidal mencakup gejala seperti parkinson, akatisia, dan
distonia.
Tradive dyskinesia (TD) merupakan salah satu sindrom
yang terdiri atas pergerakan diskinetik ireversibel dan involuter.
TD dikarakterisasi dengan gerakan lidah, wajah, mulut yang ritmis
dan involuter. Sebagai contoh lidah menonjol ke depan. Karena TD
bersifat ireversibel, ketika terjadi TD, pemberian obat harus
dihentikan.
Sindrom malignan neuroleptik (NMS) merupakan reaksi
yang jarang dan dikarakterisasi dengan kombinasi efek
ekstrapiramidal, hipertermia, dan gangguan otonom. Efek ini
biasanya terjadi setelah 1 bulan panduan obat antipsikotik dimulai.
NMS berpotensi fatal dan memerlukan pengobatan intensif.
Pemberian obat harus segera dihentikan ketika gejala NMS terlihat.

5. Obat untuk gangguan suasana hati: antidepresan dan penstabil suasana


hati
Depresi merupakan perasaan sedih, tidak bahagia, merasa
putus asa. Kebanyakan orang mengalaminya dalam waktu yang
singkat. Gejala depresi klinis, antara lain perasaan putus asa,
penurunan berat badan secara drastis, kelelahan, penurunan
kemampuan konsentrasi dan lain – lain. Gejala depresi klinis
tersebut bukan merupakan perasaan sedih yang normal, seperti
patah hati atau penyakit lainnya, seperti hipotiroid.
Depresi klinis diobati dengan obat antidepresan. Psikoterapi
digunakan bersama dengan antidepresan untuk mengobati kondisi
depresif yang berkepanjangan. Terdapat 4 tipe antidepresan, antara
lain sebagai berikut:

a. Antidepresan Trisiklik (TCA)


Selama bertahun – tahun, dipahami bahwa
antidepresan menghambat konsumsi neropinefrin dan
sorotonin neurotransmiter endogen yang dihasilkan oleh
tubuh. Aksi ini dihasilkan dalam stimulasi CNS dan
meringankan suasana hati yang sedang depresi.
Efek antidepresan dengan perubahan adaptif yang
lambat pada sistem reseptor norepinefrin dan serotonin.
Antidepresan menghasilkan perubahan kompleks pada
sensitivitas situs pascanipatik. Antidepresan meningkatkan
sensitivitas pascasinaptik alfa-andenergis dan reseptor
serotonin, serta menurunkan sensitivitas situs reseptor
prasinaptik. Aksi tersebut meningkatkan efektivitas
aktivitas neurotransmiter. TCA, seperti doksepin
menginhibisi konsumsi neropinefrin atau serotonin dalam
otak.
TCA digunakan dalam pengobatan depresif yang
berkepanjangan, gangguan bipolar, gangguan kompulsif-
obesesif, nyeri neuropatik kronis, dan lain – lain. Adeverse
effect dari TCA antara lain efek antikolinergis, seperti
sedasi, mulut kering, retensi urineari, serta konstipasi dan
fotosensitivitas.

b. Inhibitor Penggunaan Serotonin Selektif (SSRI)


SSRI menghibisi penggunaan serotonin oleh sistem
saraf pusat. Peningkatan kadar serotonin dipandang sebagai
aksi untuk menstimulasi membalikkan depresi. SSRI
digunakan dalam pengobatan depresif berkepanjangan,
gangguan kompulsif-obsesif, dan bulimia nervosa. SSRI
mengakibatkan beberapa efek yang tidak dikehendaki yang
berhubungan dengan sistem neuromuskular, seperti tremor,
lemah, insomnia, dan sakit kepala. Efek yang tidak
dikehendaki pada sistem pencernaan dan genitourineari,
antara lain konstipasi, mulut kering, mual, dan muntah,
ejakulasi abnormal, dan faringitis.

c. Inhibitor Oksidase Monoamina (MAOI)


MAOI menginhibisi aktivitas monoamina oksidase,
yaitu sistem enzim kompleks yang berperan dalam
inaktivasi neurotransmiter tertentu. Penghambatan
monoamina oksidase mengakibatkan peningkatan epinefrin,
norepinefrin, dopamin, dan serotonin endogen dalam sistem
saraf pusat. Peningkatan neurohormon yang disekresikan
bukan yang ditransmisikan neurosubstansi menstimulasi
sistem saraf pusat. MAOI biasanya bukan digunakan
sebagai pilihan pertama dalam pengobatan depresi.
Antidepresan MAOI digunakan dalam pengobatan
depresif berkepanjangan, dan berhubungan dengan
psikoterapi kondisi depresi yang parah. Sebagai contoh
kasus yang dapat diobati dengan MAOI, antara lain
bulimia, terormalam, sakit kepala sebelah, gangguan afektif
berkala, dan berbagai sklerosis.
Efek yang tidak dikehendaki dari konsumsi MAOI,
antara lain pada neuromuskular, seperti hipotensi ortostatik,
pusing, vertigo, sakit kepala, dan penglihatan yang kurang
jelas. Pada sistem pencernaan dan genitourineari, terdapat
efek samping, seperti diare, konstipasi, muntah, dan mulut
kering. Efek samping serius yang tidak dikehendaki antara
lain hipertensif krisis, yaitu tekanan darah sangat tinggi
yang dapat terjadi ketika makanan yang mengandung asam
amino triamina dikonsumsi.

d. Antidepresan atipikal
Mekanisme aksi kebanyakan antidepresan atipikal
belum diketahui oleh para ahli. Namun demikian, sejauh ini
telah dianggap bahwa antidepresan atipikal memengaruhi
neurotransmisi serotonin, norepinefrin, dan dopamin.
Contoh antidepresan atipikal adalah venlafaksin dan
bupropion.
Antidepresan atipikal digunakan dalam
hubungannya dengan psikoterapi pada penyakit parah atau
dalam pengobatan depresif berkepanjangan, depresi yang
disertai gangguan ansientas, dan nyeri neuropatik periferal
diabetik.
Adverse effect dari pemberian antidepresan atipikal
pada sistem neuromoskular, antara lain somnolen, sakit
kepala sebelah, hipotensi, pusing, vertigo, pandangan
kabur, fotosensitivitas, insomnia, dan tremor. Pada sistem
saluran pencernaan berpengaruh pada mual dan muntah,
mulut kering, anoreksia, diare, dan konstipasi.

6. Antikejang
Kejang merupakan aktivitas listrik abnormal pada sel saraf otak
yang terkadang disertai dengan perubahan yang terihat pada perilakuu.
Kejang dapat terjadi karena kondisi hipoglikemia, demam tinggi,
ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh, overdosis beberapa obat
tertentu, dan putus alcohol atau obat sedative-hipnotik. Kekejangan
dapat diatasi dengan obat antikejang (AED).

Epilepsi merupakan gangguan kejang yang terjadi karena


adanya aliran listrik abnormal yang terlepas dari neuron otak yang
mengakibatkan kehilangan atau gangguan kesadaran dan kejang
(reaksi motrik abnormal). Epilepsy dapat disebabkan oleh trauma,
anoksia otak, infeksi, lesi, gangguan serebrovaskular, dan lain-lain.
Kejang dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu kejang grand mal
(tonik klonik), petir mal (absence), dan kejang psikomotorik.

Obat antikejang berperan menekan kejang dengan menurunkan


gerakan ion ke dalam sel saraf, mengubah aktivitas neurotransmiter,
atau kombinas keduanya. Karena pergerakan ion natrium dan kalium
diperlukan untuk konduksi impluls saraf normal, penghambatan ion
tersebut menurunkan responsivitas untuk menstimulasi dan
mengakibatkan membran sel menjadi kurang stabil. Peningkatan
aktivitas gama-asam aminobutirat (GABA), neurotransmiter inhibitor
mayor pada otak, dan penurunan aktivitas glutamat, neurotransmiter
eksitasi mayor, juga menurunkan kemampuan eksitasi sel saraf. Aksi
penghambat saluran natrium seperi fenitoin dan akskarbazin serta
peningkat GABA meningkatkan jumlah stimulasi yang mengakibatkan
kejang. Obat antikejang dipahami berperan dalam proses stabilisasi
membran neuron dan menurunkan respons stimulasi. Beberapa obat
mampu menekan respons neuron abnormal tanpa menekan
neurotransmisi normal.

Pengobatan kejang, khususnya kejang epilepsi menggunakan


obat antikejang. Obat yang digunakan disesuaikan dengan tingkat
keparahan kondisi penyakit. Okskarbazin diterima untuk pengobatan
tunggal dan memiliki efek yang lebih efektif jika digunakan tanpa
kombinasi dengan obat lain untuk mengobati berbagai gejala kejang.
Obat antikejang juga digunakan untuk mengobati epilepsi, konvulsi
tonik – klonik, trauma otak karena cedera atau operasi, gangguan
bipolar, dan lain – lain.

7. Antiparkinson
Antiparkinson merupakan gejala yang melibatkan pergerakan
motoric. Gejala Parkinson antara lain ditandai dengan tremor, Gerakan
lambat, dan badan kaku. Penyakit Parkinson paling umum terdapat
dalam bentuk parkinsonisme. Parkinson merupakan penyakit progresif,
yang semakin memburuk seiring berjalannya waktu.

Obat yang digunakan untuk mengobati gejala Parkinson adalah


obat antiparkinson. Obat antiparkinson memberikan suplemen
dopamine dalam otak atau menghambat kelebihan asetilkolin (SCh).
Oleh karenanya, transmisi implus terjadi.

Obat antiparkinson yang dibahas sebagai berikut:

a. Obat dopaminergis
Obat dopaminergis merupakan obat yang berpengaruh
terhadap kandungan dopamine dalam otak. Contoh obat
dopaminergis antara lain carbidopa, levodopa, amantadine, dan
kombinasi karbiodopa/levodopa.
Gejala Parkinson disebabkan oleh deplesi dopamine dalam
system saraf pusat. Suatu hal yang sulit untuk memberikan
suplemen dopamin karena adanya pembatas darah – otak.
Pembatas tersebut terdiri atas dinding sel yang kaku yang
mengandung kapiler otak. Kapiler otak berfungsi memindai zat
keluar dan masuk ke dalam otak. Fungsi ini dianggap
menguntungkan karena beberapa obat dapat melaluinya dengan
mudah dibandingkan obat yang lain.
Dopamin dapat diperoleh dari konveksi levodopa yang
ditemukan pada tanaman dan hewan. Konveksi tersebut terjadi di
dalam tubuh. Meskipun demikian, penggunaan levodopa harus
dikombinasi dengan zat lain seperti karbidopa. Hal ini disebabkan
karena jumlah levodopa yang dapat menembus pembatas otak –
darah hanya sedikit sekali. Sedangkan karbidopa tidak memberikan
efek apa pun jika tidak dikombinasi dengan agen lain. Dengan
kombinasi keduanya, levodopa dapat menembus pembatas otak
dan memberikan efek farmakologi yang lebih baik bagi pasien
penyakit parkison. Selain itu, dengan digabungnya levodopa dan
karbiodopa dapat menurunkan dosis levodopa.

Contoh obat dopaminergis antara lain amantadine, yang


memiliki aksi untuk membuat dopamine lebih tersedia pada situs
reseptor dan rasgilin serta selegilin, yang menginhibisi monoamina
oksidase tipe B untuk membuat dopamine lebih tersedia pada situs
reseptor.

b. Obat penghambat kolinergis (antikolinergis)


Dalam kondisi seorang pasien sakit parkinson, Ach
(neurotransmiter) diproduksi secara berlebihan. Obat antikolinergis
menghambat Ach dalam sistem saraf pusat, sehingga
meningkatkan transmisi dopamin. Obat antikolinergis kurang
efektif dibandingkan levodopa dalam mengobati penyakit
parkinson. Contoh obat kolinergis adalah antihistamin, seperti
difenhidramin yang digunakan pada pasien yang sudah berumur.
Defenhidramin menghasilkan efek yang tidak dikehendaki yang
lebih sedikit.

c. Inhibitor Katekol-O-Metil Transferase (COMT)


Inhibitor COMT menghambat enzim COMT yang dapat
menghilang dopamin dalam tubuh. Inhibitor COMT dapat
diberikan bersama dengan levodopa untuk menghasilkan efek
farmakologi yang lebih baik. Inhibitor COMT dapat meningkatkan
konsentrasi plasma dan durasi aksi levodopa.
Inhibitor COMT dapat digunakan Bersama dengan
levodopa/karbidopa dalam mengobati penyakit Parkinson.
Beberapa contoh inhibitor COMT, antara lain tolkapon yang
dengan mudah menembus pembatas otak-darah. Obat ini dapat
menyebabkan gangguan pada hati dan kerusakan hati. Oleh
karenanya, tolkapon diberikan hanya pada pasien yang tidak
mengalami perbaikan hanya pada pasien yang mengalami
perbaikan kondisi meskipun sudah diobati dengan obat yang lain.
Contoh lain adalah entakapon, yaitu inhibitor COMT yang lebih
ringan. Entakapon digunakan untuk membentuk mengelola fluktasi
pada respons terhadap levodopa pada pasien penyakit Parkinson.

d. Agonis reseptor dopamine


Mekanisme pasti mengenai aksi agonis reseptor dopamin
masih belum diketahui secara pasti. Para ahli menduga obat ini
memiliki aksi secara langsung pada reseptor dopamin
pascasinaptik pada sel saraf dalam otak serta meniru efek dopamin
dalam otak.
Contoh agonis reseptor dopamine adalah pramiksol dan
ropinirole yang digunakan untuk mengobati gejala penyakit
Parkinson. Selain itu, juga terdapat apomorfin yang digunakan
untuk mengaktifkan atau menonaktifkan fenomena. Terapi
antimetik harus diawali dengan obat ini.
Obat – obatan parkinson memiliki berbagai reaksi yang
tidak dikehendaki bagi tubuh, seperti mual, muntah, pusing, nyeri,
sakit kepala, dan lain – lain. Selain itu, lovedopa, misalnya dapat
mengakibatkan adverse effect yang cukup parah, seperti
choireiform movements, yaitu kejang muskular yang tiba – tiba
pada otot wajah dan anggota tubuh. Oleh karena itu, penggunaan
obat – obatan tersebut harus sesuai dengan petunjuk tenaga medis.


8. Relaksan otot sekeletal
Relaksan otot skeletal digunakan untuk meredakan tegangan otot
atau spatisitas yang terjadi pada gangguan neurologis dan
muskoloskeletal tertentu.
a. Tegang otot
Tegang otot atau kram terjadi secara tiba – tiba dan
menyebabkan kontraksi otot yang nyeri. Tegang otot dapat
disebabkan trauma atau iritan. Kejang dapat melibatkan
kontaksi dan relaksasi lainnya atau kontraksi yang berlanjut.
Kejang otot dapat terjadi dengan trauma moskuloskeletal atau
inflamasi, seperti artritis. Kejang otot dapat terjadi pada pasien
yang menderita nyeri tulang belakang akut atau kronis rendah.

b. Spastisitas
Spastisitas merupakan peningkatan tonus atau kontraksi
dan kekuatan otot. Kondisi ini terjadi dengan gangguan
neurologis seperti cedera korda spinal dan berbagai sklerosis.
Sklerosis disebabkan oleh destruksi bagian sarung mielin yang
menyelubungi saraf pada otak, korda spinal, dan saraf optis.
Mielin normalnya mengisolasi neuron dari aktivitas elektrik
dan menjalankan implus listrik secara cepat di sepanjang serat
saraf. Ketika mielin dirusak, lesi fibrotik terbentuk dan
konduksi saraf diperlambat atau dihambat di sekitar lesi.

Para ahli telah menentukan bahwa sel saraf dapat


diperbaiki jika proses yang merusak mielin dihentikan sebelum
oligodendrosit dirusak. Oligodendrosit adalah sel yang
membentuk mielin. Langkah lain yang dilakukan para ahli
adalah meningkatkan kecepatan kondusi saraf dalam
memperbaiki saraf mielin. Sebagai contoh, beberapa pasien
dipaparkan pada pakaian pendingin tang dapat meningkatkan
laju kondusif saraf yang dijauhkan dari lingkungan panas untuk
mencegah demam yang dapat memperlambat konduksi saraf.

Obat – obatan yang digunakan untuk memperbaiki


kondisi tersebut diatas, antara lain imunosupresif yang berperan
mengobati penyakit supresif, beta interferon untuk mengobati
eksaserbasi akut, serta glatiramer untuk mencegah relaps.

c. Mekanisme aksi
Mode aksi beberapa relaksan otot skeletal, seperti
karisoprodol, baklofen, dan klorzoksazon belum diketahui.
Meskipun demikian, para ahli menduga bahwa obat relaksan
otot skeletal tidak secara langsung merelaksasikan otot skeletal,
melainkan meringankan kondisi muskuloskeletal yang nyeri
akut dengan aksi sedatif. Siklobenzaprin menunjukkan efek
pada tonus otot, sehingga mengurangi tegang otot.

Diazepam juga, sebagai obat antiansein juga dapat


meringankan nyeri karena muskuloskeletal. Diazepam berifat
sedatif dan dapat menghasilkan aksi untuk meringankan tegang
otot dan nyeri.

Relaksan otot skeletal digunakan dalam berbagai


kondisi moskuloskeletal nyeri akut seperti nyeri otot dan nyeri
punggung. Meskipun demikian, terdapat adverse effect untuk
pemberian relaksan otot skeletal. Efek tersebut, antara lain
sedasi, trakhikardia, diare, konstipasi, sulit tidur, dan beberapa
efek yang lainnya.

9. Anestetika
Anestetika merupakan kondisi kehilangan rasa dan sensasi.
Anestesia dapat diinduksi oleh berbagai obat yang dapat membuat
seseorang kehilangan sensasi secara sebagian maupun keseluruhan
pada tubuhnya. Anestesia lokal merupakan kondisi yang terbebas dari
sensasi hanya pada bagian tubuh tertentu. Anestesia umum merupakan
kondisi yang terbebas dari sensasi untuk seluruh tubuh.

Pasien yang diberi obat anestesia lokal tetap terjaga dan sadar,
namun tidak merasakan sakit pada bagian tubuh yang diberikan
anestesia. Meskipun demikian, pada kondisi tertentu seorang pasien
dapat dibuat untuk tersedasi. Pasien yang diberi obat anestesia umum
merasakan hilang kesadaran dan tidak merasakan sakit menelan dan
refleks gag hilang selama pasien dalam kondisi diberi anestesia umum
yang dalam.

Seorang dokter maupun perawat dapat memberikan anestesia.


Dokter spesialis anestesia disebut anestesiologi dan memiliki
kemampuan untuk memberikan anestesia. Perawat anestesia
merupakan perawat dengan kemampuan khusus untuk memenuhi
klasifikasi untuk memberikan anestesia.

a. Anestesia Lokal
Terdapat beberapa metode untuk memberikan anestesia
lokal sebagai berikut:
- Anestesia topikal
Anestesia topikal merupakan proses pemberian
anestesia pada permukaan kulit, area terbuka, dan membran
mokus. Anestesia lokal dapat diberikan dengan kapas atau
disemprotkan. Tujuan pemberian anestesia topikal adalah
membuat kulit atau membran mokus kurang sensitif untuk
selanjutnya diinjeksi anestesia lokal yang dalam.
- Anestesia infiltrasi lokal
Anestesia infiltrasi lokal merupakan injeksi obat
anestesia lokal pada jaringan. Tipe ini biasanya digunakan
oleh dokter gigi dalam menjalankan fungsinya.
- Anestesia regional
Anestesia regional merupakan injeksi anestesia
lokal disekitaran saraf, sehingga area yang dipasok oleh
saraf tersebut tidak akan memberikan sinyal nyeri pada
otak. Area yang diberianestesi biasanya lebih luas
dibandingkan area yang terpengaruh oleh anestesia infiltrasi
lokal. Anestesia regional dibedakan menjadi anestesia
spinal dan penghambat konduksi.
Anestesia spinal merupakan tipe anestesia regional
yang menggunakan injeksi obat anestesia lokal ke dalam
ruang sub-arakhnoid pada korda spinal. Biasanya obat ini
diberikan pada tingkat vertebrata lumbar kedua. Hilang
sensasi dan gerakan dalam ekstermitis bahwa, perut bawah,
dan perineum.
Penghambat konduksi merupakan anestesia regional
yang diberikan dengan injeksi obat anestesia ke dalam atau
di dekat trunkus saraf. Penghambat konduksi mencakup
pengahambat epidural, yaitu injeksi anestesia lokal ke
dalam ruang di sekitar dura pada korda spinal; penghambat
transsakral (kaudal), yaitu injeksi anestesia lokal ke dalam
ruang epidural pada tingkat takik sakrokoksigeal: dan blok
peksus brakhial, yaitu injeksi anestesia lokal pada pleksus
brakhial. Penghambat pleksus brakhial dapat digunakan
untuk operasi lengan dan tangan, sedangkan penghambat
transsakral biasa digunakan dalam obstetrik.
Dalam memberikan obat anestesia penempatan
jarum atau kateter memerluka teksik aseptik yang tepat oleh
dokter ahli. Obat yang diinjeksikan melalui kateter
disemprotkan ke seluruh jaringan dalam ruang, yang
memengaruhi konduksi nyeri pada titik serat saraf sensori
keluar dari korda spinal.

b. Obat praanestetik
Obat praanestetik adalah obat yang diberikan sebelum
pemberian obat anestesia pada pasien. Pasien yang biasa
diberikan obat praanestetik adalah pasien yang akan diberikan
obat anestesia umum. Meskipun demikia, obat praanestesia
dapat diberikan kepada pasien yang akan diberi obat anestesia
lokal untuk memberikan efek sedatif pada pasien tersebut.
Secara umum, tujuan pemberian obat praanestetik adalah untuk
menyiapkan pasien yang akan mengalami anestesia. Berikut ini
beberapa obat yang spesifik:

a. Opioid atau obat antiansien


Obat tersebut berguna untuk menurunkan
kecemasan dan aprehensi sesaat sebelum operasi. Obat
anestetik memberikan efek yang lebih baik jika pasien yang
akan diberikan anestetik tenang dan rileks.

b. Obat penghambat kolinergis


Obat tersebut berfungsi untuk menurunkan sekresi
saluran respirasi atas. Sebagai contoh obat penghambat
kolinergis adalah glikopirolat, yang berfungsi untuk
mengeringankan saluran respirasi atas dan menurunkan
kemungkinan produksi mokus berlebihan.

c. Antiemetic
Antiemetic berfungsi menurunkan kejadian mual
dan muntah pascabedah.

C. Anestesia umum
Pemilihan obat anestetik bergantung pada berbagai
factor, seperti kondisi umum pasie, area, organ, dan system
yang akan dioperasi, serta lama pembedahan. Obat anestesia
biasanya diberikan dalam bentuk uap atau injeksi intravena.
Obat anestesia yang biasa diberikan, antara lain sebagai
berikut:

a. Barbiturate dan agen serupa


Obat ini digunakan untuk menginduksi anestesia,
menjalankan prosedur operasi dengan rasa nyeri minimal, serta
menyongkong kerja anestetik lainnya. Obat ini memiliki
serangan cepat dan durasi aksi yang pendek. Ia menekan sistem
saraf pusat agar tidak menghasilkan hipnosis dan anestesia
melainkan menghasilkan analgesia.

b. Benzodiazepine
Depresan system saraf pusat benzodiazepine dengan
aksi pendek seperti Midozolam digunakan sebagai obat
praanestetik untuk meringankan kecemasan, menginduksi
anestesi, dan lain-lain.
D.GANGGUAN PENYALAHGUNAAN OBAT
Obat yang sering disalahgunakan, antara lain depresan CNS,
stimulan CNS, dan obat pengubah pola kerja otak lainnya. Obat tersebut
dapat memberikan efek berupa rasa nyaman, pikiran positif, dan
pemberian mandiri yang kompulsif. Obat yang diberikan secara berlebihan
dapat membuat seseorang menjadi kebal. Berikut beberapa contoh obat
yang sering disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab:

1. Alkohol (etanol)
Alkohol dapat memberikan efek pada CNS dengan meningkatkan
aktivitas asam gama-aminobutirat, menginhibisi neurotransmiter, dan
menginhibisi aktivitas glutamat. Alkohol dapat menyebabkan beberapa
gangguan didalam tubuh jika dikonsumsi bersama dengan obat lain.
Interaksi alkohol dalam tubuh dibedakan menjadi ingesti akut dan
ingesti kronis. Ingesti akut menginhibisi enzim yang metabolisme obat
lainnya. Ingesti kronis menginduksi metabolisme enzim. Keduanya
dapat meningkatkan laju metabolisme dan menurunkan efek obat.
Konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama dan jumlah besar dapat
menyebabkan gangguan hati dan kemampuan metabolisme obatt yang
menurun. Ketergantungan alkohol dapat disebabkan oleh konsumsi
alkohol yang melebihi batas yang dapat diterima oleh tubuh. Kondisi
tersebut mengakibatkan gangguan kesehatan dan gangguan sosial.
2. Kokain
Kokain sering disalahgunakan oleh bebrapa orang, kokain
menghasilkan stimulasi sistem saraf pusat yang kuat dengan mencegah
pengasupan kembali neurotransmiter, seperti dopamin, neropinefrin,
dan serotonin yang meningkatkan efek neurotransmiter yang lebih
panjang. Kokain dikonsumsi dengan cara dihirup. Efek yang dirasakan
pengguna, antara lain euforia, peningkatan energi, tidak merasakan
lelah, takhikardia, peningkatan tekanan darah, depresi, dan lain-lain.
Pengguna kokain dapat mengalami euforia kuat, namun singkat dan
meningkatkan pengguna menghirupkan setiap beberapa menit saja.

3. Mariyuana
Mariyuana dan sediaan ganja lainnya diperoleh dari tanaman ganja
yang tumbuh banyak diwilayah, mariyuana diperoleh dari daun dan
batang ganja. Selain itu, terdapat pula ekstrak ganja yang disiapkan
dari resin tanaman, memiliki aktivitas 5 hingga 10 kali lebih besar
daripada mariyuana. Ganja mengandung bahan aktif psikoaktif berupa
delta-9- tetrahidrokanabinol ( ∆-9-THC) dan bebrapa bahan lain yang
memiliki aktivitas farmakologi. Mariyuana dapat dikonsumsi secara
oral, namun biasanya digunakan sebagai rokok atau dihirup melalui
paru-paru. Dosis rendah dari mariyuana dapat menyebabkan efek,
seperti overdosis alkohol, sedangkan dosis tinggi mengakibatkan
reaksi panik dan halusinasi seperti psikosis akut.
4. Opiat
Opiat merupakan analgestik yang kuat dan digunakan secara luas
dalam mengobati nyeri, meskipun opiat sering disalahgunakan. Salah
satu contoh opiat adalah heroin. Heroin merupakan salah satu turunan
dari morfin. Heroin dapat dikonsumsi dengan cara injeksi intravena,
digunakan seperti merokok dan dihirup. Heroin dapat memberikan
efek euforia yang kuat dalam bebrapa detik. Efek lain dari konsumsi
heroin yang tidak semestinya adalah sedatif, depresi pernafasan,
hipotensi postural, vasodilatasi, konstriksi pupil, dan konstipasi.
5. Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan antiansien dan obat sedatif hipnoyik
yang banyak digunkan secara tidak tepat oleh pengguna.
Benzodiazepin terkadang menyebabkan depresi pernapasan hingga
kematian, oversedasi, gangguan memori, koordinasi motorik, yang
lemah, dan konfuai. Gejala baru dimulai setelah dikonsumsi 12 hingga
24 jam dari obat yang memiliki aksi pendek seperti alprazolan dan
puncaknya pada 24 hingga 72 jam setelah dikonsumsi.
E.TINDAKAN KEPERAWATAN PADA PEMBERIAN OBAT TERHADAP
SISTEM SARAF

1. Tindakan perawat saat pemberian obat analgesik opioid dan antagonis


opioid
Tindakan perawat mencakup pemberian secara akurat, yaitu
dengan mengecek laju, kedalaman, dan ritme respirasi sebelum
mendosiskan. Jika memberikan opioid analgesik secara intravena, berikan
dosis rendah dan injeksikan selama beberapa menit. Jika memberikan
tablet lepas terkontrol, jangan menggerusnya dan ingatkan pasien tidak
mengunyahnya.

Perawat sebaiknya menggamati efek terapeutik, seperti


menanyainya perkembangan kesehatan kepada pasien, pola tidur,
peningkatan aktivitas pasien, lebih sedikit batuk yang tidak produktif, dan
penurunan diare. Selain itu, perawat juga perlu mengamati efek yang tidak
diinginkan yang terjadi pada pasien, seperti depresi respirasi, hipotensi,
sedasi berlebihan, mual dan muntah, serta konstipasi.

Selanjutnya, perawat perlu mengamati interaksi obat. Obat yang


meningkatkan opioid antara lain depresan sistem saraf pusat,
antikolinergis, antihipertensif, dan inhibitor monoamin oksidase.
Sebaliknya, obat yang menurunkan efek opioid adalah antagonis opioid
dan butorfanol.

2. Tindakan perawat saat pemberian obat analgesik- antipiretik-


antiinflamasi dan obat yang berkaitan
Tindakan perawat yang pertama yang dapat dilakukan seorang
perawat antara lain memeberikan aspirin dan obat anti – inflamasi
nonsteroid. Perawat sebaiknya tidak menggerus obat dan pasien tidak
mengunyahnya.
Efek terapeutik yang perlu diamati oleh perawat antara lain adalah
penurunan manifestasi nyeri dan penurunan demam. Obat yang diberikan
untuk artitis perlu diamati penurunan nyeri, efema, kekakuan sendi, dan
bintik merah.

Efek yang tidak dikehendaki yang perlu diamati antara lain


masalah pencernaan, hematologis, efek sistem saraf pusat, dermatitis,
reaksi hipersensitif dengan dispnea, efek kardiovaskuler, dan
hepatotoksisitas.

Interaksi obat juga perlu diamati oleh seorang perawat. obat yang
meningkatkan efek aspirin dan NSAID berinteraksi dengan agen
pengasam, alkohol, antikoagulan, kodein, dan kortikosteroid. Obat yang
meningkatkan efek celecoxib berinteraksi dengan flukonazol. Obat yang
menurunkan efek aspirin dan NSAID antara lain agen pembasa,
misoprostol, dan ibuprofen.

3. Tindakan perawat saat pemberian obat antiansein dan sedatif-hipnotik


Seorang perawat harus memberikan dengan akurat beberapa
tindakan. Jika pasien mengalami sedasi berlebihan, hentikan obat dan catat
alasannya. Untuk sedatif-hipnotik oral, buat pasien tidur sebelum
memberikan hipnotik. Naikkan kepala pasien diatas ranjang. Untuk
memberikan kepada pasien secara oral jika mungkin.

Efek terapeutik yang perlu diamati antara lain, jika obat diberikan
untuk efek antinsein, efek relaksasi, penurunan kecemasan, dan penurunan
manifestasi ansietas. Sebaliknya, efek obat yang tidak dikehendaki yang
perlu diamati oleh perawat antara lain desasi berlebih, hipotensi, nyeri
pada area injeksi, dan peningkatan paradoksikal. Interaksi obat yang perlu
diamati antara lain, seperi depresan sistem saraf pusat, amprenavir,
klatritromisin, dan simetidin.

4. Tindakan perawat saat pemberian obat Antipsikotik


Salah satu tindakan yang perlu diberikan secara akurat adalah
menguji dosis dengan hati saat memulai atau menghentikan obat
antipsikotik. Selain itu efek terapeutik yang perlu diamati oleh perawat
adalah agitasi dan aktivitas psikomotoris. Jika perawat memberikan
fenotiazin dan obat yang berkaitan, efek yang tidak dikehendaki yang
perlu diamati adalah sedasi berlebih, seperti kelelahan, gerakan terganggu,
dan proses mental terganggu. Beberapa obat yang dapat berinteraksi dan
menyebabkan peningkatan efek obat antipsikotik, antara lain
antikolinergis, antidepresan, antihistamin, propanolol, dan lain – lain.

5. Tindakan perawat saat pemberian obat untuk gangguan suasana hati:


antidepresan dan penstabil suasana hati
Tindakan perawat yang perlu dilakukan antara lain memberikan
inhibitor serotonin setiap pagi, serta citalopram, escitalopram, dan sertalin
pada pagi dan sore hari. Perawat juga dapat memberikan antidepresan
trisiklik dan mirtazapin pada jam tidur.

Efek terapeutik yang perlu diamati antara lain pasien merasa lebih
baik atau depresi semakin berkurang. Untuk pemberian antidepresan pada
pasien yang mengalami kecemasan berlebihan, perawat perlu mengamati
penurunan gejala gangguan.

6. Tindakan perawat saat pemberian obat Antikejang


Perawat dapat memberikan obat dengan teratur dan terjadwal pada
jam yang sama setiap harinya. Memberikan obat antikejang setelah makan
atau dengan segelas air putih.

Untuk memberikan fenitoin perawat perlu mengocok suspensi oral


obat sesaat sebelum menuangkan pada sendok takar. Perawat tidak
diperkenankan mencampurkan fenitonin parental dalam jarum suntik
dengan obat lainnya.

7. Tindakan perawat saat pemberian obat Antiparkinson


Perawat dapat memberikan obat antiparkinson sesaat setelah
makan atau bersama dengan makanan. Perawat juga perlu
memberitahukan kepada pasien untuk tidak mengunyah tablet. Levodopa
tidak dapat diberikan bersama dengan sediaan zat besi atau multivitamin
yang mengandung besi. Perawat memberikan selegilin di pagi dan siang
hari.

8. Tindakan perawat saat pemberian obat Relaksan otot sekeletal


Perawat dapat memberikan baclofen dan metaksalon bersama
dengan makan atau susu. Jika memberikan diazepam melalui parental,
perawat tidak diperkenankan mencampurnya dengan obat lain. Diazepam
dapat diberikan melalui injeksi intravena dengan laju sekitar 2 mg/ menit.

9. Tindakan perawat saat pemberian obat Anestetika


Perawat dapat memberikan obat anestetika melalui berbagai cara,
mulai dari disuntik,dihirup, hingga dioles. Obat yang digunakan selama
proses anestetika akan membuat saraf mati rasa untuk sementara waktu.
Anestesi dapat digunakan dalam berbagai prosedur mrdis, milai dari yang
ringan, seperti cabut gigi hingga yang kompleks seperti operasi besar.
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Sistem saraf adalah jaringan komplek dari saraf dan sel yang
membawa implus ke otak dan sumsum tulang belakang kemudian
diantarkan ke organ bagian tubuh lainnya sebagai penerima. Dikenal pula
sebagai pusat koordinasi semua sistem organ memiliki fungsi yaitu:

4. Menerima rangsangan dan lingkungan atau rangsangan yang


terjadi didalam tubuh;
5. Merubah rangsangan ini dalam perangsangan saraf, mengahantar
dan memprosesnya;
6. Mengkoordinasi dan mengatur fungsi tubuh melalui implus-
implus yang dibebaskan dari pusat ke perifer.

Berikut penyakit pada sistem saraf terdiri atas:

1. Meningitis
Meningitis atau radang selaput otak adalah radang pada membran
yang menyelubungi otak dan sumsum tulang belakang, yang secara
kesatuan disebut meningen.
2. Alzheimer
Alzheimer adalah penyakit otak yang mengakibatkan penurunan
daya ingat, kemampuan berpikir dan berbicara, serta perubahan
perilaku secara bertahap.
3. Bell’s palsy
Bell’s palsy adalah kelemahan yang terjadi pada salah satu sisi otot
wajah yang sifatnya sementara.
4. Multiple Sclerosis
Multiple sclerosis adalah gangguan saraf pada otak, mata, daan
tulang belakang. Multiple sclerosis akan menimbulkan gangguan pada
pengelihatan dan gerakan tubuh.
5. Parkinson
Parkinson adalah penyakit saraf yang memburuk secara bertahap
dan mempengaruhi bagian otak yang berfungsi mengoordinasikan
gerakan tubuh.

Nama penggolongan obat terdiri atas:

1. Analgesik opioid dan antagonis opioid


a. Analgesik opioid

Analgesik opioid meruapakan analgesik yang diperoleh dari


tanaman opium. Opiat merupakan zat alami yang diperoleh dari
opium mentah. Opiat mencakup morfin sulfat, kodein, dan lain –
lain.

b. Antagonis opioid
Antagonis merupakan zat yang memiliki aksi berlawanan
atau menetralkan obat yang lain. Antagonis opioid memiliki
aktivitas yang lebih besar bagi reseptor sel daripada obat opioid,
yang mencegah respons terhadap opioid. Terdapat dua antagonis
opioid utama yaitu nalokson (Narcan) dan nalmefen (Revex).
2. Analgesik- antipiretik- antiinflamasi dan obat yang berkaitan
Kelompok obat analgesik – antipiretik – antiinflamasi mencakup
berbagai obat yang secara kimia dan farmakologi memberikan efek
meringankan nyeri, demam, dan atau inflamasi yang berkaitan dengan
cedera dan penyakit. Contohnya obat tersebut adalah aspirin, obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), dan asetaminofen, yang selanjutnya
disebut obat antiprostaglandin karena enginhibisi sintesis prostagladin.
Prostaglandin merupakan mediator kimia yang terdapat pada hampir
semua jaringan tubuh, yang berfungsi mengatur fungsi sel dan
memberikan respon inflamasi.
3. Obat antiansein dan sedatif-hipnotik
a. Antiansein
Ansien atau cemas merupakan perasaan khawatir yang
dapat terjadi karena kejadian disekitarnya. Obat antiansein
mencakup benzoadizepin dan nonbenzodiazepin. Contoh obat
benzodiazepin, antara lain alprazolam, klordiazepoksida, diazepam,
dan lorazepam.
b. Sedatif – hipotonik
Sedatif dan hipotonik merupakan obat yang umumnya
digunakan untuk mengobati insomnia atau kesulitan untuk tidur.
Insomnia dapat mengubah gaya hidup, nyeri kronis, sakit kepala,
stres, dan kecemasan.
4. Antipsikotik
Obat antipsikotik diberikan pada pasien yang mengalami gangguan
psikotik. Istilah psikotik berkaitan dengan gangguan yang
memengaruhi suasana hati dan perilaku. Halusinasi, misalnya
merupakan sensasi yang salah atau persepsi yang tidak memiliki dasar
nyata. Contoh lain, delusi, yaitu keyakinan yang salah yang tidak dapat
diubah dan diberikan alasan.
5. Obat untuk gangguan suasana hati: antidepresan dan penstabil suasana
hati
Depresi merupakan perasaan sedih, tidak bahagia, merasa putus
asa. Kebanyakan orang mengalaminya dalam waktu yang singkat.
Gejala depresi klinis, antara lain perasaan putus asa, penurunan berat
badan secara drastis, kelelahan, penurunan kemampuan konsentrasi
dan lain – lain.
6. Antikejang
Kejang merupakan aktivitas listrik abnormal pada sel saraf otak
yang terkadang disertai dengan perubahan yang terihat pada perilaku.
Epilepsi merupakan gangguan kejang yang terjadi karena adanya aliran
listrik abnormal yang terlepas dari neuron otak yang mengakibatkan
kehilangan atau gangguan kesadaran dan kejang (reaksi motrik
abnormal).
7. Antiparkinson
Antiparkinson merupakan gejala yang melibatkan pergerakan
motoric. Gejala Parkinson antara lain ditandai dengan tremor, Gerakan
lambat, dan badan kaku. Penyakit Parkinson paling umum terdapat
dalam bentuk parkinsonisme. Parkinson merupakan penyakit progresif,
yang semakin memburuk seiring berjalannya waktu.
8. Relaksan otot sekeletal
Relaksan otot skeletal digunakan untuk meredakan tegangan otot
atau spatisitas yang terjadi pada gangguan neurologis dan
muskoloskeletal tertentu.
9. Anestetika
Anestetika merupakan kondisi kehilangan rasa dan sensasi.
Anestesia dapat diinduksi oleh berbagai obat yang dapat membuat
seseorang kehilangan sensasi secara sebagian maupun keseluruhan
pada tubuhnya. Anestesia lokal merupakan kondisi yang terbebas dari
sensasi hanya pada bagian tubuh tertentu. Anestesia umum merupakan
kondisi yang terbebas dari sensasi untuk seluruh tubuh.

B. SARAN
1. Tindakan perawat saat pemberian obat analgesik opioid dan antagonis
opioid

Tindakan perawat mencakup pemberian secara akurat, yaitu


dengan mengecek laju, kedalaman, dan ritme respirasi sebelum
mendosiskan. Jika memberikan opioid analgesik secara intravena,
berikan dosis rendah dan injeksikan selama beberapa menit. Jika
memberikan tablet lepas terkontrol, jangan menggerusnya dan
ingatkan pasien tidak mengunyahnya.

2. Tindakan perawat saat pemberian obat analgesik- antipiretik-


antiinflamasi dan obat yang berkaitan
Tindakan perawat yang pertama yang dapat dilakukan seorang
perawat antara lain memeberikan aspirin dan obat anti – inflamasi
nonsteroid. Perawat sebaiknya tidak menggerus obat dan pasien tidak
mengunyahnya.
3. Tindakan perawat saat pemberian obat antiansein dan sedatif-hipnotik
Seorang perawat harus memberikan dengan akurat beberapa
tindakan. Jika pasien mengalami sedasi berlebihan, hentikan obat dan
catat alasannya.
4. Tindakan perawat saat pemberian obat Antipsikotik
Salah satu tindakan yang perlu diberikan secara akurat adalah
menguji dosis dengan hati saat memulai atau menghentikan obat
antipsikotik.
5. Tindakan perawat saat pemberian obat untuk gangguan suasana hati:
antidepresan dan penstabil suasana hati
Tindakan perawat yang perlu dilakukan antara lain
memberikan inhibitor serotonin setiap pagi, serta citalopram,
escitalopram, dan sertalin pada pagi dan sore hari. Perawat juga dapat
memberikan antidepresan trisiklik dan mirtazapin pada jam tidur.
6. Tindakan perawat saat pemberian obat Antikejang
Perawat dapat memberikan obat dengan teratur dan terjadwal
pada jam yang sama setiap harinya. Memberikan obat antikejang
setelah makan atau dengan segelas air putih.
7. Tindakan perawat saat pemberian obat Antiparkinson
Perawat dapat memberikan obat antiparkinson sesaat setelah
makan atau bersama dengan makanan. Perawat juga perlu
memberitahukan kepada pasien untuk tidak mengunyah tablet.
Levodopa tidak dapat diberikan bersama dengan sediaan zat besi atau
multivitamin yang mengandung besi. Perawat memberikan selegilin di
pagi dan siang hari.
8. Tindakan perawat saat pemberian obat Relaksan otot sekeletal
Perawat dapat memberikan baclofen dan metaksalon bersama
dengan makan atau susu. Jika memberikan diazepam melalui parental,
perawat tidak diperkenankan mencampurnya dengan obat lain.
Diazepam dapat diberikan melalui injeksi intravena dengan laju sekitar
2 mg/ menit.
9. Tindakan perawat saat pemberian obat Anestetika
Perawat dapat memberikan obat anestetika melalui berbagai
cara, mulai dari disuntik,dihirup, hingga dioles. Obat yang digunakan
selama proses anestetika akan membuat saraf mati rasa untuk
sementara waktu. Anestesi dapat digunakan dalam berbagai prosedur
mrdis, milai dari yang ringan, seperti cabut gigi hingga yang kompleks
seperti operasi besar.
DAFTAR PUSTAKA

https://hellosehat.com/saraf/sistem-saraf-manusia/?amp=1

https://hellosehat.com/saraf/penyakit-saraf/?amp=1

http://repostory.wima.ac.id

https://www.alodokter.com/multiple-sclerosis

https://www.alodokter.com/penyakit-alzheimer

https://www.alodokter.com/penyakit-parkinson#:~:text=Terdapat%203%20gejala
%20utama%20yang,dopamin%20sehingga%20gerakan%20tubuhpun
%20melambat

https://www.docdoc.com/id/info/condition/meningitis

https://www.halodoc.com/kesehatan/bells-palsy

Jitowiyono, Sugeng. 2017.Farmakologi Pendekatan Perawatan. Yogyakarta:


PUSTAKA BARU PRESS.

Anne Collins Abrams, Carol Barnett Lammon, Sandra Smith Pennington. 2009.
Clinical Drug Therapy rationales for nursing practice 9 th Edition. Philadelphia:
Wolters Kluwer Health │Lippincott Williams & Wilkins.

Neal, MJ. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga

Susan M. Ford and Sally S. Roach. 2010. Roach’s


IntroductoryClinicalPharmacology 9th Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health │ Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai