Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

" KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERSEPSI SENSORI (OTITIS)"
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III

DOSEN PENGAMPU :
Emi Lindayani, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2 IKP 3B

1. Aldi Ahmad Afandi 1910105485


2. Deri Julian Rai 1810105412
3. Eulis Ipa Yulia 1910105495
4. Ika Sulastri 1910105500
5. Julia Gustina Sari 1910105503
6. Titin Pujasari 1910105529

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan


Universitas Sebelas April
Tahun 2021/2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... ii
BAB I ............................................................................................................................................. iii
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ iii
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... iii
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................. iii
1.3 Tujuan ................................................................................................................................. iii
1.4 Manfaat ............................................................................................................................... iv
BAB II ............................................................................................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 1
2.1 Definisi Sistem Persepsi Sensori.................................................................................... 1
2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Persepsi Sensori ........................................................... 1
2.3 Definisi Otitis Media Akut ............................................................................................. 3
2.4 Klasifikasi Otitis Media Akut........................................................................................ 4
2.5 Manifestasi Klinik Otitis Media Akut .......................................................................... 6
2.6 Faktor Resiko Otitis Akut ............................................................................................. 6
2.7 Patofisiologi Otitis Media Akut ..................................................................................... 7
2.8 Pemeriksaan Penunjang Otitis Media Akut ................................................................ 8
2.9 Farmakologi dan Penatalaksanaan Otitis Media Akut ............................................ 10
2.10 Teori Asuhan Keperawatan Otitis Media Akut ........................................................ 11
BAB III ......................................................................................................................................... 11
PENUTUP .................................................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................................ 11
3.2 Saran ................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................Error! Bookmark not defined.

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan rasa puji syukur kehadirat Tuhan yang maha esa, karena atas segala
limpahan rahmat, karunia serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah yang berjudul "KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN
DENGANGANGGUAN SISTEM PERSEPSI SENSORI (OTITIS)" ini, kami susun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 3.
Tentunya tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini, maka dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Ibu Emi Lindayani, S.Kep., Ners., M.Kep selaku Dosen mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah 3, Program studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Sebelas April
Sumedang yang telah memberikan arahan serta dukungan kepada kami dalam menyusun dan
menyelesaikan makalah ini.
2. Teman – teman kelompok 2, yang telah memberikan dukungan kepada satu sama lain.
Dengan disusunnya makalah ini, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan
bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya terkhusus bagi perkembangan dunia pendidikan.

Sumedang, 6 Oktober 2021

Kelompok 2

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem sensori merupakan salah satu sistem yang penting bagi manusia, karena dengan
sistem ini, manusia dapat merasakan hal-hal yang ada. Sistem sensori sendiri adalah gabungan
dari sistem nervous (saraf) dan sistem pengindraan pada manusia. Dimana diawali dengan
adanya sensasi yang dapat didetekai oleh organ-organ lalu berkembang menjadi persepsi yang
diproses di saraf pusat (encephalon dan medula spinalis).
Gangguan persepsi sensori merupakan permasalahan yang sering ditemukan dengan
perunahan lingkungan yang terjadi secara cepat dan tidak yerduga. Pertambahan usia, variasi
penyakit, dan perubahan gaya hidup menjadi faktor penentu dalam penurunan sistem sensori.
Seringkalo gamgguan sensori dikaitkan dengan gangguan persepsi karena persepsi merupakan
hasil dari respon stimulus (sensori) yanh diterima.
Persepsi merupakan respon dari reseptor sensori terhadap stimulus eksternal, juga
pengenalan dan pemahaman terhadap sensori yang diinyerpretasikan oleh simulus yanh
diterima (Syarifuddin, 2014). Persepsi juga melibatkan kognitif dan emosional terhadap
interpretasi objek yang diterima organ sensori..

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalahnya dalam makalah ini, adalah sebagai berikut :
1. Apa definisi sistem persepsi sensori?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem persepsi sen kusori?
3. Bagaimana biokimia sistem persepsi sensori?
4. Bagaimana patofisiologi otitis?
5. Bagaimana farmakologi otitis?
6. Bagaimana terapi diet otitis?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada otitis?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, adalah :
1. Mengetahui definisi sistem persepsi sensori.
2. Mengetahui anatomi dan fisiologi sistem persepsi sensori.

iii
3. Mengetahui biokimia sistem persepsi sensori.
4. Mengetahui patofisiologi otitis.
5. Mengetahui farmakologi otitis.
6. Mengetahui terapi diet otitis.
7. Mengetahui asuhan keperawatan pada otitis.
1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Keperawatan,
khususnya dalam memberikan pemahaman mengenai konsep dan asuhan keperawatan
dengan gangguan sistem persepsi sensori ( otitis ).

iv
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sistem Persepsi Sensori


Sistem sensoris atau dalam bahasa Inggris sensory system berarti berarti
yang berhubungan berhubungan dengan panca indra. Sistem indra ini membahas tentang
tentang organ akhir yang khusus menerima berbagai jenis rangsangan tertentu. Rangsangan
tersebut dihantarkan oleh sensorys neuron (saraf sensoris) dari berbagai organ indra menuju
otak untuk ditafsirkan. Reseptor sensori, merupakan sel yang dapat menerima informasi
kondisi dalam dan luar tubuh untuk dapat direspon oleh saraf pusat. Implus listrik yang
dihantarkan oleh saraf akan diterjemahkan menjadi sensasi yang nantinya akan diolah
menjadi persepsi di saraf pusat. Sistem persepsi sensori manusia terdiri organ mata, telinga,
hidung, lidah, dan kulit.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Persepsi Sensori

1. Anatomi Telinga
Telinga tengah adalah suatu rongga yang terletak di tulang tengkorak dan terdiri dari
membran timpani, kavum timpani, antrum mastoid dan tuba eustakhius.
a. Membran Timpani
Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, yaitu pars tensa (membran sharpnell)
yang terletak di bagian atas dan pars tensa (membran propria) yang terletak di bagian
bawah (Luklukaningsih, 2014). Pars tensa merupakan bagian paling besar terdiri dari tiga

1
lapisan. Lapisan luar disebut lapisan kutaneus (cutaneous layer) terdiri dari lapisan epitel
berlapis semu halus yang normalnya mereflesikan cahaya. Lapisan 10 dalam disebut
lapisan mukosa (mucosal layer) merupakan lapisan yang berbatasan dengan cavum timpani
serta lapisan yang terletak diantara keduanya. Lapisan ini terdiri dari dua lapis jaringan ikat
fibrosa yang bersatu dengan cincin fibrokartilago yang mengelilingi membran timpani.
Pars flaksida tidak memiliki lapisan fibrosa, sehingga bagian inilah yang pertama kali akan
mengalami retraksi bila terjadi tekanan negatif dalam telinga.
b. Kavum Timpani
Kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian yang berhubungan dengan lempeng
membran timpani, yaitu epitimpanum, mesotimpanum dan hipotimpanum .
1) Epitimpanum, dibatasi oleh suatu penonjolan tipis, yaitu tegmen timpani. Bagian
anterior epitimpanum terdapat ampula kanalis superior. Pada bagian anterior
ampula kanalis superior terdapat ganglion genikulatum yang merupakan tanda
ujung anterior ruang atik. Atik pada bagian posterior menyempit menjadi jalan
masuk ke antrum mastoid yaitu aditus ad antrum.
2) Mesotimpanum, pada bagian medial dibatasi oleh kapsul otik yang terletak lebih
rendah daripada n.Fasialis pars timpani. Promotorium berisi saraf-saraf yang
membentuk pleksus timpanikus. Promotorium pada bagian posterosuperior terdapat
foramen ovale (vestibuler), dan pada bagian posteroinferior terdapat foramen
rotundum (koklear). Orificium timpani tuba eustakhius terletak pada anterosuperior
mesotimpanum. Hipotimpanum merupakan suatu ruang dangkal yang terletak lebih
rendah dari membran timpani. Hipotimpanum membentang dari kanalis
semisirkularis lateralis sampai kanalis semisirkularis posterior disebelah
anteromedial sinus sigmoid. Sudut ini akan ditemukan dengan membuang sebersih-
bersihnya sel-sel pneumatisasi mastoid diantara kanalis semisirkularis lateral
dengan sudut sinodura. Segitiga trautman adalah daerah yang terletak dibalik
antrum yang dibatasi oleh sinus sigmoid, sinus lateral dan tulang labirin. Batas
medialnya adalah lempeng dura fossa posterior.
c. Tuba Eustakhius
Tuba eustakhius menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Panjang tuba
eustakhius dewasa bervariasi antara 31 - 38 mm. Pada bayi dan anak-anak ukurannya lebih

2
pendek dan lebih horisontal sehingga sekret dari nasofaring lebih mudah masuk ke telinga
tengah. Dua pertiga bagian anteromedial tuba (arah nasofaring) berdinding tulang rawan,
sedangkan sisanya (arah cavum timpani) berdinding tulang. Dinding tulang rawan ini tidak
lengkap, dinding bawah dan 12 lateral bawah merupakan jaringan ikat yang bergabung
dengan M. Tensor dan levator velli palatini. Tuba eustakhius akan terus berkembang
bertambah panjang dan akan membentuk sudut yang lebih besar dari bidang horisontal
pada usia 5-7.
2. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran Proses mendengar diawali dengan
ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan
melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani
diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan
mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian
perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah di
amplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner
yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi 13 stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka
dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis.

2.3 Definisi Otitis Media Akut


Otitis Media Akut (OMA) merupakan komplikasi dari disfungsi tuba eusthacius
akibat infeksi virus pada saluran pernafasan atas. Virus saluran pernafasan atas
menyebabkan peradangan tuba eusthachius yang mengakibatkan disfungsi dan adanya

3
tekanan negatif telinga tengah. Hal tersebut memungkinkan terjadi sekresi yang
mengandung virus yang menginfeksi, dan bakteri patogen yang berkoloni di nasofaring
masuk ke telinga tengah. Bakteri atau virus tersebut menyebabkan infeksi akut pada telinga
tengah yang mengakibatkan adanya penumpukan cairan pada telinga tengah.
Otitis media akut dapat disebabkan oleh virus seperti respiratory syncytial virus, virus
influenza, adenovirus, dan rhinovirus. Selain itu, OMA juga dapat disebabkan oleh bakteri
seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalis.

2.4 Klasifikasi Otitis Media Akut

1. Berdasarkan Gejala

1) Otitis Media Supuratif :

a) Otitis Media Supuratif Akut/Otitis Media Akut

Proses peradangan pada telinga tengah yang terjadi secara cepat dan
singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang disertai dengan gejala lokal dan
sistemik.
b) Otitis Media Supuratif Kronik
Infeksi kronik telinga tengah disertai perforasi membran timpani dan
keluarnya sekret yang apabila tidak ditangani dengan tepat akan membuat
progresivitas penyakit semakin bertambah.

4
2) Otitis Media Adhesiva
Keadaan terjadinya jaringan fibrosis di telinga tengah sebagai akibat proses
peradangan yang berlangsung lama
3) Otitis Media Non Supuratif / Serosa
a) Otitis Media Serosa Akut
Keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba yang
disebabkan oleh gangguan fungsi tuba.
b) Otitis Media Serosa Kronik
Pada keadaan kronis sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan
gejala – gejala pada telinga yang berlangsung lama. Terjad sebagai gejala sisa dari
otitis media akut yang tidak sembuh sempurna.
2. Berdasarkan Perubahan Mukosa
1. Stadium Oklusi
Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani akibat
tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal atau
berwarna suram.
2. Stadium Hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang meleba disebagian atau seluruh
membran timpani, membran timpani tampak hiperemis disertai edem.
3. Stadium Supurasi
Ditandai dengan edem yang hebat telinga tengah disertai hancurnya sel epitel
superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani sehingga membran
timpani tampak menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.
4. Stadium Perforasi
Terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah keluar dari telinga tengah ke
liang telinga.
5. Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal, perforasi membran timpani kembali
menutup dan sekret purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi
kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan.

5
2.5 Manifestasi Klinik Otitis Media Akut
Secara umum, manifestasi klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan Otitis
Media Akut adalah:
1. Othalgia (Nyeri telinga)
2. Demam, batuk, pilek
3. Membran timpani abnormal (sesuai stadium)
4. Gangguan pendengaran
5. Keluarnya secret di dari telinga berupa nanah
6. Anak rewel, menangis, gelisah
7. Kehilangan nafsu makan, dan lain-lain.

2.6 Faktor Resiko Otitis Akut


Faktor risiko terjadinya otitis media akut adalah usia muda, kelainan orofasial, paparan
asap rokok, durasi pemberian ASI yang pendek, dan riwayat OMA dalam keluarga . Salah
satu faktor risiko utama terjadinya otitis media akut adalah usia. Anak-anak cenderung lebih
berisiko mengalami infeksi telinga tengah dibandingkan orang dewasa karena struktur
anatomi dari tuba eusthacius anak memiliki posisi lebih horizontal, lebih pendek, dan lebih
fleksibel dibandingkan orang dewasa . Selain itu, rhinitis akut juga meningkatkan risiko
terjadinya otitis media akut karena dapat terjadi invasi bakteri dari rongga hidung ke tuba
eusthacius. Otitis media akut yang tidak diberikan penanangan yang baik dapat berkembang
menjadi otitis media supuratif kronis. Perjalanan otitis media akut dimulai.

6
2.7 Patofisiologi Otitis Media Akut

Patofisiologi otitis media terjadi karena adanya disfungsi tuba eustachius (TE).
Fungsi normal TE adalah membersihkan cairan telinga tengah dengan pergerakan
mukosilier menuju nasofaring, ventilasi, dan proteksi dari refluks nasofaring. Otitis media
awalnya terjadi karena kongesti dan edema pada mukosa nasal, nasofaring, dan tuba
eustachius sebagai akibat dari proses inflamasi disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan
atas atau reaksi alergi. Obstruksi isthmus tuba eustachius, yang merupakan bagian
tersempit TE, dapat mengganggu pembersihan dan ventilasi telinga tengah. Gangguan
pembersihan telinga tengah menyebabkan cairan di dalam telinga tengah statis. Selain itu,
gangguan ventilasi juga menyebabkan peningkatan tekanan negatif pada telinga tengah
sehingga sekresi telinga tengah terakumulasi dan menjadi media yang sangat baik untuk
pertumbuhan bakteri atau virus dari infeksi sekunder saluran pernafasan atas. Akumulasi
sekresi di telinga tengah menyebabkan otitis media efusi. Kolonisasi dan pertumbuhan
mikroba pada telinga tengah mengeluarkan cairan supuratif yang disertai tanda inflamasi.
Pada pemeriksaan otoskop dapat terlihat membran timpani yang menonjol dan merah,
serta adanya cairan pada ruang telinga tengah yang menandakan gejala dari otitis media
akut (OMA). Otitis media efusi dapat muncul secara spontan sebagai respon dari disfungsi

7
tuba eustachius atau respon inflamasi setelah otitis media akut. Efusi dapat bertahan
beberapa minggu hingga bulan setelah OMA sembuh.

2.8 Pemeriksaan Penunjang Otitis Media Akut


1. Otoskopi
Adalah pemeriksaan telinga dengan menggunakan otoskop terutama untuk melihat
gendang telinga. Pada otoskopi didapatkan hasil adanya gendang telinga yang
menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning
dan suram, serta cairan di liang telinga
2. Otoskop Pneumatic
Merupakan alat pemeriksaan bagi melihat mobilitas membran timpani pasien
terhadap tekanan yang diberikan. Membrane timpani normal akan bergerak apabila
diberitekanan. Membrane timpani yang tidak bergerak dapat disebabkan oleh akumulasi
cairan didalam telinga tengah, perforasi atau timpanosklerosis. Pemeriksaan ini
meningkatkan sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat
ditegakkan dengan otoskop biasa
3. Timpanometri
Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik dilakukan timpanometri.
Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas membran timpani dan rantai
tulang pendengaran. Timpanometri merupakan konfirmasi penting terdapatnya cairan di
telinga tengah.Timpanometri juga dapat mengukur tekanan telinga tengah dan dengan
mudah menilai patensi tabung miringotomi dengan mengukur peningkatan volume liang
telinga luar.Timpanometri punya sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi cairan
telinga tengah, tetapi tergantung kerjasama pasien. Pemeriksaan dilakukan hanya dengan
menempelkan sumbat ke liang telinga selama beberapa detik, dan alat akan secara
otomatis mendeteksi keadaan telinga bagian tengah.
4. Timpanosintesis
Timpanosintesis diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga tengah, bermanfaat
pada pasien yang gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, atau pada imunodefisiensi.
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal

8
untuk mendapatkan sekret dengan tujuan pemeriksaan dan untuk menunjukkan adanya
cairan di telinga tengah dan untuk mengidentifikasi patogen yang spesifik.
5. Uji Rinne
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang dan hantaran udara telinga
pasien. Langkah: Tangkai penala digetarkan lalu ditempelkan pada prosesus mastoid
(hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terderngar. Penala kemudian dipindahkan ke
depan telinga sekitar 2,5 cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif (+), bila tidak
terdengar disebut Rinne negatif (-)
6. Uji Webber
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga
kanan. Langkah: Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala
(di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau dagu). Apabila bunyi
penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga
tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras
disebut Weber tidak ada lateralisasi
7. Uji Swabach
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa
dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Langkah: Penala digetarkan, tangkai
penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian
tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach
memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara
sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila
pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan
pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut dengan Schwabach sama dengan
pemeriksa.

9
2.9 Farmakologi dan Penatalaksanaan Otitis Media Akut
a) Stadium Oklusi.
Bertujuan untuk membuka tuba eustachius. Diberikan obat tetes hidung.
 HCl Efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak <12 tahun
 HCl Efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk anak >12 tahun atau dewasa.
 Sumber infeksi juga harus diobati dengan memberikan antibiotik.
b) Stadium Presupurasi.
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgetik. Antibiotik diberikan
minimal selama 7 hari. Bila membran timpani sudah hiperemi difus, sebaiknya
dilakukan miringotomi. Untuk terapi awal, diberikan penisilin IM agar konsentrasinya
adekuat dalam darah.
 Ampisilin 4 x 50-100 mg/KgBB
 Amoksisilin 4 x 40 mg/KgBB/hari
 Eritromisin 4 x 40 mg/KgBB/hari
c) Stadium Supurasi.
Pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih
utuh. Selain itu, analgesik juga diperlukan agar nyeri dapat berkurang.
d) Stadium Perforasi.
Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat
sampai 3 minggu.
e) Stadium Resolusi.
Biasanya akan tampak sekret keluar. Pada keadaan ini dapat dilanjutkan antibiotik
sampai 3 minggu, namun bila masih keluar sekret diduga telah terjadi mastoiditis. Pada
stadium ini, harus di follow up selama 1 sampai 3 bulan untuk memastikan tidak terjadi
otitis media serosa.

10
2.10 Teori Asuhan Keperawatan Otitis Media Akut
1. Pengkajian
1) Identitas
2) Identitas penanggung jawab
3) Riwayat keperawatan masa lalu
 Penyakit yang pernah diderita: oma?
 Kebiasaan buruk: mengorek telinga dengan benda tajam?
4) Riwayat keperawatan sekarang
Keluhan utama: kurang bisa mendengar?

5) Pola fungsi kesehatan gordon


1. Pola persepsi dan manajemen keperawatan
Pada pola ini kita mengkaji :
 Bagaimana klien memandang penyakitnya
 Apakah klien memiliki riwayat merokok dan konsumsi alkohol
2. Pola nutrisi – metabolik
Pada pola ini kita mengkaji:
 Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan selama
dirawat di rumah sakit?
 Kaji apakah klien alergi terhadap makanan tertentu?
 Apakah klien menghabiskan makanan yang diberikan oleh rumah sakit?
 Apakah klien mengalami mual dan muntah?
 Bagaimana dengan bb klien, apakah mengalami penurunan atau
sebaliknya?
3. Pola eliminasi
 Pada pola ini kita mengkaji:
 Bagaimanakah pola bab dan bak klien ?
 Apakah klien menggunakan alat bantu untuk eliminasi?
 Kaji konsistensi bab dan bak klien
 Apakah klien merasakan nyeri saat bab dan bak?
4. Pola aktivitas – latihan

11
Pada pola ini kita mengkaji:
 Bagaimanakah perubahan pola aktivitas klien ketika dirawat di rumah
sakit?
 Kaji aktivitas yang dapat dilakukan klien secara mandiri
 Kaji tingkat ketergantungan klien

0 = mandiri
1 = membutuhkan alat bantu
2 = membutuhkan pengawasan
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain
4 = ketergantungan
 Apakah klien mengeluh mudah lelah?
5. Pola istirahat – tidur
Pada pola ini kita mengkaji:
 Apakah klien mengalami gangguang tidur?
 Apakah klien mengkonsumsi obat tidur/penenang?
 Apakah klien memiliki kebiasaan tertentu sebelum tidur?
6. Pola kognitif – persepsi
Pada pola ini kita mengkaji:
 Kaji tingkat kesadaran klien
 Bagaimanakah fungsi penglihatan dan pendengaran klien, apakah
mengalami perubahan?
 Bagaimanakah kondisi kenyamanan klien?
 Bagaimanakah fungsi kognitif dan komunikasi klien?

7. Pola persepsi diri - konsep diri


Pada pola ini kita mengkaji:
 Bagaimanakah klien memandang dirinya terhadap penyakit yang
dialaminya?
 Apakah klien mengalami perubahan citra pada diri klien?
 Apakah klien merasa rendah diri?

12
8. Pola peran – hubungan
Pada pola ini kita mengkaji:
 Bagaimanakah peran klien di dalam keluarganya?
 Apakah terjadi perubahan peran dalam keluarga klien?
 Bagaimanakah hubungan sosial klien terhadap masyarakat sekitarnya?
9. Pola reproduksi dan seksualitas
Pada pola ini kita mengkaji:
 Bagaimanakah status reproduksi klien?
 Apakah klien masih mengalami siklus menstrusi (jika wanita)?
10. Pola koping dan toleransi stress
Pada pola ini kita mengkaji:
 Apakah klien mengalami stress terhadap kondisinya saat ini?
 Bagaimanakah cara klien menghilangkan stress yang dialaminya?
 Apakah klien mengkonsumsi obat penenang?
11. Pola nilai dan kepercayaan
Pada pola ini kita mengakaji:
 Kaji agama dan kepercayaan yang dianut klien
 Apakah terjadi perubahan pola dalam beribadah klien?
6) Pemeriksaan fisik system pendengaran
1. Tanda dan gejala
1. Sulit mengerti pembicaraan
2. Sulit mendengar dlm lingkungan yg bising
3. Salah menjawab
4. Meminta lawan bicara utk mengulang pembicaraannya
5. Mengalami masalah mendengar pembicaraan di telpon

2. Inspeksi
1. Aurikel : bentuk, letak, masa, lesi
2. MAE : Patensi, Otore (jenis,warna,bau), cerumen, hiperemi,
furunkel

13
3. Membrana timphany : intak, perforasi, hiperemia, bulging,
retraksi, colesteatoma
4. Antrum mastoid : abces, hiperemia, nyeri perabaan

3. Pemeriksaan fisik

Pada telinga dapat menggunakan berbagai macam alat dan


rangkaian tes. Seperti otoskop, garpu tala, ear speculum, dan head
lamp untuk membantu pemeriksa mendapat sinar yang cukup.

1. Untuk meluruskan kanal pada orang dewasa/anak besar tarik


aurikula ke atas dan belakang, pada bayi tarik aurikula ke
belakang dan bawah.

2. Masukkan otoskop ke dalm telinga ± 1,-1,5 cm

3. Normal: terlihat sedikit serumen, dasar berwarna pink, rambut


halus

4. Abnormal: merah (inflamasi), rabas, lesi, benda asing, serumen


padat

5. Membran timpani dapat terlihat, normalnya tembus cahaya,


mengkilat, abu-abu dan tampak seperti mutiara, utuh.
4. Tes berbisik
Kata-kata yg diucapkan: Satu atau dua kata untuk menghindari
menebak, dapat dikenal klien, bukan singkatan, kata benda atau kata
kerja.
Cara :
1. Pasien ditempat, pemeriksa berpindah-pindah dari jarak
1,2,3,4,5,6 meter.
2. Mulai jarak 1 m pemeriksa membisikan 5/10 kata.
3. Bila semua kata benar mundur 2 m, bisikan kata yang sama. Bila
jawaban benar mundur 4-5 m (Hanya dapat mendengar
80% jarak tajam pendengaran sesungguhnya)
4. Untuk memastikan tes ulang pd jarak 3 M bila benar semua maju

14
2 – 1 M.
5. Interfensi secara Kualitatif
1. Tidak dapat mendengar huruf lunak (frekuensi rendah) =
TULI KONDUKSI. Misal Susu : terdengar S S.
2. Tidak dapat mendengar huruf desis (frekuensi tinggi) =
TULI
1. Tes rinne
1. Membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui
tulan Garpu tala deng frek 128, 256, dan 512 Hz
2. Tekan garpu tala di tulang mastoid smpai tdk terdengar lalu
pindahkan ke depan telinga Rinne + (depan telinga masih
terdengar)

Interpretasi :
Normal = HU : HT = 2:1
Masih terdengar → Rinne (+) : intensitas HU > HT →Telinga
normal atau tuli saraf
Tidak terdengar → Rinne (-) : intensitas HU < HT → Tuli Konduktif

2. Tes weber

1. Tujuan : membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga


kanan
2. Cara pemeriksaan: Penala digetarkan, asar penala diletakkan pada
garis tengah kepala : ubun-ubun, glabella, dagu, pertengahan gigi seri
→ paling sensitif) mendengar bunyi sama di kedua telinga

3. Jika bunyi lebih keras pada telinga yg sehat (tuli saraf)


4. Jika bunyi Normal lebih keras pada telinga yg sakit (tuli konduksi)

7) Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pendengaran jaringan telinga tengah

2. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi jaringan telinga

15
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan infasi bakteri

4. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan

5. Gangguan komunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran

6. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan obstruksi , infeksi di telinga


tengah atau kerusakan di saraf pendengaran.

7. Isolasi sosial

8. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif dan kurang


minat dalam belajar

16
8) Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA RENCANA TINDAKAN
KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI RASIONAL

1 Nyeri akut berhubungan Nyeri berkurang atau hilang 1. kaji tanda-tanda vital 1. Peningkatan tanda-tanda vital
dengan inflamasi K.H : Nyeri yysng 2. Kaji skala nyeri merupakan salah satu akibat dari
pendengaran jaringan dirasakan klien berkuang 3. Anjurkan klien untuk nyeri
telinga tengah dengan skala 0-2 dari mengshliksn suasana 2. Metode pengalihan suasana degan
Rentang skala 0-10 dengan melakukan metode melakukan relaksasi bisa
relaksasi saat nyeri ysng mengurangi nyeri yang diderita
teramat sangat muncul , klien
relaksasi seperti menarik 3. Informasi yang cukup agar
napas panjang kecemasan berkurang
4. Berikan informasi
2. Suhu tubuh dalam rentang 1. Monitor TTV
Hipertermi berhubungan 1. untuk memastikan suhu tubuh tetap
normal, tidak ada perubahan 2. Monitor intake dan output
dengan inflamasi normal
warna kulit dan pusing. 3. lakukan tepid water sponge
jaringan telinga 2. mencegah terjadinya kdefisit cairan
4. berikan pengobatan
3. untuk menurunkan panas

4. untuk menceggah terjadinya


menggigil.
3 Resiko Infeksi Klien bebas dari tanda dan 1. pertshankan teknik aseptik
1. untuk mencegah terjadnya infeksi
berhubungan dengan infasi gejala infeksi dengan 2. mencuci tangan sesudah dan
2. menjaga kebersihan diri
bakteri kriteria hasil menunjukan sebelum tindakan
perilaku hifup bersih. 3. kaji tanda tanda infeksi 3. untuk mengetahui apakah terjadi
4. ajarkan pasien dan keluarga infeksi
tanda dan gejala infeksi. 4. keluarga lebih memahami mengenai
kondisi pasien.

4 Ansietas berhubungan Rasa cemas 1. Mengatakan hal yang 1. Menunjukan kepada klien bahwa
dengan status kesehatan klien akan berkurang / hilang sejujurnya kepada klien dia dapat berkomunikasi dengan
dengan kriteria hasil : klien ketika mendiskusikan baik tanpa menggunakan alat
mampu mengungkapkan mengenai kemungkinan khusus sehingga dapat mengurangi
ketakutan / kekhawatiran kemajuan dan fungsi rasa cemasnya.
pendengarannya untuk 2. Agar klien menyadari sumber-
mempertahankan harapan sumber apa saja yang ada
klien dalam berkomunikasi disekitarannya .

2. Berikan informasi

5 Gangguan komunikasi Setelah dilakukan tindakan 1. Dapatkan apa metode 1. Dengan mengetahui metode
berhubungan dengan keperawatan ganggauan komunikasi yang diinginkan komunikasi yang diinginkan oleh
kehilangan pendengaran komunikasi berkurang/ hilang dan catat pada rencana klien digunakan dapat disesuaikan
perawatan metode yang dengan kemampuan dan keterbatasan
digunakan klien klien
2. Memungkinkan komunikasi 2. Memungkinkan komunikasi dua arah
dua arah antara perawat dan antara perawat dan klien dapat
klien dapat berjalan dengan berjalan dengan baik dan klien
baik dan klien menerima menerima pesan perawat dengan
pesan perawat dengan cepat cepat.
6 Perubahan persepsi Persepsi sensori baik 1. Instruksikan klien untuk 1. apabila penyebab pokok ketulian
sensori berhubungan K.H :klien akan mengalami menggunakan teknik-teknik tidak progress , maka pendengaran
dengan obstruksi , infeksi peningkatan persepsi sensori yang aman sehingga dapat yang tersisa sensitif terhadap trauma
ditelinga atau kerusakan pendengaran sampai pada mencegah terjadinya 2. Keefektifan alat pendengaran
disaraf pendengaran tingkat fungsional ketulian lebih lanjut tergantung pada tipe gangguan
2. ajarkan klien menggunakan pemakaian serta perawatannya yang
dan merawat alat tepat
pendengaran secara tepat 3. Diagnosa dini terhadap keadaan
3. observasi tanda tanda awal telinga atau terhadap masalah
kehilangan pendengaran pendengaran rusak secara permanen
yang lanjut
7 Isolasi sosial Tetap mengembangkan 1. Bina hubungan saling 1. Hubungan saling percaya dapat
berhubungan dengan nyeri hubungan dengan orang lain percaya menjadi Klien akan kooperatif /
otore , berbau busuk 2. Yakinkan klien bahwa berpartisipasi dalam persiapan
setelah dilakukan pembedahan dasar terjadinya
pengobatan / pembedahan hubungan sosial
cairan akan keluar dan bau
busuk akan hilanh
8 Defisiensi pengetahuan Klien akan mempunyai 1. Ajarkan klien mengganti 1. Pendidikan kesehatan dengan
balutan dan menggunakan cara mengganti balutan dapat
berhubungan dengan pemahaman yang baik tentang
antibiotik secara kontinyu meningkatkan pahaman klien
keterbatasan kognitif dan pengobatan dan cara sesuai aturan sehingga dapat berpartisipasi
2. Beritahu komplikasi yang dalam pencegahan
kurang minat dalam encegahan kekambuhan
mungkin timbul dan kekambuhan
belajar dengan kriteria hasil : klien bagaimana cara 2. Pemahaman tentang
komplikasi yang dapat terjadi
paham dengan kondisi
pada klien dapat membantu
penmyakit nya. klien dan
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga tengah,
tuba eustachi, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid yang disebabkan karena masuknya bakteri
patogenik ke dalam telinga tengah. Bakteri penyebab otitis media antara lain Staphylococcus
aureus, Pneumococcus, Haemophilus influenza, Escherichia coli, Streptococcus
anhemolyticus, Streptococcus hemolyticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomoas aeruginosa.
Terdapat 5 stadium dalam OMA yaitu oklusi, stadium hiperemis, stadium supurasi, stadium
perforasi, dan stadium resolusi. OMA biasa terjadi terutama pada bayi atau anak karena anatomi
saluran eustachi yang masih relatif pendek, lebar, dan letaknya lebih horizontal.

3.2 Saran
Dari kesimpulan di atas, penulis dapat sedikit memberi saran kepada beberapa pihak agar
kualitas pelayanan kesehatan Indonesia semakin meningkat, diantaranya sebagai berikut :

1. Keluarga klien diharapkan dapat memberikan perawatan dalam memenuhi kebutuhan


sehari-hari anggota keluarga dengan masalah Otitis Media Akut serta mampu menjaga
kebersihan lingkungan sehingga anggota keluarga lain terhindar dari penyakit Otitis Media
Akut.

2. Mahasiswa diharapkan mampu menguasai konsep dan memberikan Asuhan


Keperawatan Pasien dengan Otitis Media Akut.

11
DAFTAR PUSTAKA

Gloria M bulecheck, Howard , & Jhoane. (2020). Nursing Intervention Classification ( NIC ).
Solo: Mochomedia.
Grecwin, D. A. (2019). Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom dengan Komplikasi
Sekuele Stroke Akibat Meningoensefalitis. Jurnal Kesehatan Andalas, 726-734.
H, N. A. (2018). NANDA Diagnosa Keperawatan 2018-2020. Solo: ECG.
Ilmyasri, S. A. (2020). DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA OTITIS MEDIA AKUT. Jurnal
Penelitian Perawat Profesional, 473-482.
Sue Morhead, Marion Johanson, Mariden, & Elizabeth. (2020). Nursing Outcome Clasification.
Solo: Mocho Media.
Wihardji, d. T. (15, 2 2019J). Patofisiologi Otitis Media. Diambil kembali dari ALO MEDIKA:
https://www.alomedika.com/penyakit/telinga-hidung-tenggorokan/otitis-media/patofisiologi

Anda mungkin juga menyukai