Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PATOFISIOLOGI PENYAKIT PADA SISTEM


PERSYARAFAN

MATA KULIAH PATOLOGI

DOSEN: DEBBIE NOMIKO, S.KEP,NERS,M.KEP

OLEH:

KELOMPOK 3

1. HERMANSYAH
2. LILI APRILIA
3. MELISA YULIANA
4. POPPY SUKMA PITALOKA
5. RINA ADRIYANI
6. RIRINDIA DITIAHARMAN
7. SUMIYATI
8. WIDYA ASTUTI

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN JAMBI JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D IV KEPERAWATAN
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmatdan
hidayahNya kami dapat menyelesaikan makalah “Patofisiologi Penyakit Pada Sistem
Persyarafan” dengan lancar dan dalam kondisi yang sangat baik.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa menucapkan banyak terima kasih kepadarekan-
rekan sekelompok kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik walaupun ada
beberapa hambatan yang kami alamai dalam penyusunan makalah ini. Namun, berkat motivasi
yang diserta kerja keras dan bantuan dari kelompok akhirnya dapat teratasi.
Dengan segala kerendahan hati dan penuh harapan semoga makalah ini bermanfaat. Kami
menyadari didalam makalah ini masih banyak kekurangan sehingga kami mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Jambi, Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. ........................................................................................................ 1
B. Tujuan Penulisan. ..................................................................................................... 1
C. Manfaat Penulisan. ................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian sistem persarafan. ................................................................................... 3
B. Konsep Patologis/ penyakit-penyakit pada sistem saraf. ......................................... 4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan. ........................................................................................................... 13
B. Saran....................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Struktur dan fungsi sistem persarafan terdiri dari sel-sel yang disebut neuron dan
jaringan penunjang yang disebut neuroglia. Tersusun membentuk sistem saraf pusat (SSP)
dan sistem saraf tepi (SST). SSP terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf
tepi merupakan merupakan susunan saraf diluar SSP yang membawa pesan ke dan dari
sitem saraf pusat. Sistem persarafan berfungsi dalam mempertahankan kelangsungan hidup
melalui berbagai mekanisme sehingga tubuh tetap mencapai keseimbangan. Stimulus yang
diterima oleh tubuh baik yang bersumber dari lingkungan internal mapun eksteral
menyebabkan berbagai perubahan dan menuntut tubuh dapat mengadaptasi sehingga tubuh
tetap seimbang. Upaya tubuh dalam mengadaptasi perubahan berlangsung melalui kegiatan
saraf yang dikenal sebagai kegiatan refleks. Bila tubuh tidak mampu mengadaptasinya maka
akan terjadi kondisi yang tidak seimbang atau sakit.
Stimulasi dapat menghasilkan suatu aktifitas. Stimulasi diterima oleh reseptor sistem
saraf yang selanjutnya akan dihantarkan oleh sistem saraf tepi dalam bentuk impuls listrik ke
sistem saraf pusat. Bagian sistem saraf tepi yang menerima rangsangan disebut reseptor, dan
diteruskan menuju sistem saraf pusat oleh sistem saraf sensori. Pada sistem saraf pusat
impuls diolah dan diinterpretasi untuk kemdian jawaban atau respon diteruskan kembali
melalui sistem saraf tepi menuju efektor yang berfungsi sebagai pencetus jawaban akhir.
Sistem saraf yang membawa jawaban atau respon adalah sistem saraf motorik. Bagian
sistem saraf tepi yang mencetuskan jawaban disebut efektor. Jawaban yang terjadi dapat
berupa jawaban yang dipengaruhi oleh kemauan (volunter) dan jawaban yang tidak
dipengaruhi oleh kemauan (involunte). Jawaban volunter melibatkan sistem saraf somatis
sedangkan yang involunter melibatkan sistem saraf otonom. Efektor dari sistem saraf
somatik adalah otot rangka sedangkan untuk sistem saraf otonom, efeknya adalah otot polos,
otot jantung dan kelenjar sebase.

1
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Menjelaskan pengertian dari sistem saraf
2. Menjelaskan konsep patologis/ penyakit-penyakit pada sistem saraf

C. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini yaitu dapat dijadikan sebagai bahan untuk
mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan kita untuk lebih mendalami tentang sistem
neurologis/ persarafam yang terkait dalam struktur dan fungsinya serta penyakit-penyakit
sehubungan dengan adanya permasalahan pada sistem tersebut untuk dijadikan sebagai salah
satu bagian integral dari konsep dasar teori.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Sistem Persarafan


Sistem saraf adalah sistem organ pada manusia yang terdiri atas sel neuron yang
mengkoordinasi aktifitas otot, memonitor organ membentuk atau menghentikan masukan
dari indera dan mengaktifkan aksi. Komponen utama dalam sistem saraf adalah neuron yang
diikat oleh sel-sel neurologia, neuron memainkan peranan penting dalam koordinasi. Sistem
saraf pada manusia secara umum dibagi menjadi dua, yaitu sistem saraf pusat dan sistem
saraf tepi.
Sistem saraf sangat berperan dalam iritabilitas tubuh. Iritabilitas adalah kemampuan
menanggapi rangsangan. Untuk menanggapi rangsangan, ada tiga komponen yang harus
dimiliki oleh sistem saraf, yaitu:
1. Reseptor, adalah alat penerima rangsangan atau impuls. pada tubuh kita yang bertindak
sebagai reseptor adalah organ indera.
2. Konduktor (Penghantar impuls), dilakukan oleh sistem saraf itu sendiri. Sistem saraf
terdiri dari sel-sel saraf yang disebut neuron.
3. Efektor, adalah bagian tubuh yang menangapi rangsangan. Efektor yang paling penting
pada manusia adalah otot dan kelenjar (hormon). Otot menanggapi rangsang yang
berupa gerakan tubuh, sedangkan hormon menanggapi rangsang dengan meningkatkan/
menurunkan aktifitas organ tubuh tertentu. Misalnya: mempercepat/ memeprlambat
denyut jantung, melebarkan/ menyempitkan pembuluh darah dan lain sebagainya.

Fungsi saraf:
1. Menerima informasi (rangsangan) dari dalam maupun dari luar tubuh melalui saraf
sensori. Saraf sensori disebut juga afferent sensory pathway.
2. Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat.
3. Mengolah informasi yang diterima baik ditingkatkan medula spinalis maupun di otak
untuk selanjutnya menentukan jawaban atau respon.

3
4. Mengantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik ke organ-organ tubuh sebagai
kontrol atau modifikasi dari tindakan. Saraf motorik disebut juga efferent motorik
pathway.

B. Konsep Patologis/ Penyakit-Penyakit Pada Sistem Saraf


1. Parkinson
a. Pengertian
Penyakit parkinson adalah penyakit saraf progresif yang berdampak terhadap
respon mesenfalon dan pergerakan regulasi. Penyakit ini bersifat lambat yang
menyerang usia pertengahan atau lanjut, dengan onset pada umur 50 sampai
60an.tidak ditemukan sebab genetik yang jelas dan tidak ada pengobatan yang
dapat menyenbuhkannya.
b. Etiologi
Penyakit parkinson sering dihubungkan dengan kelainan neurotransmitter di otak,
faktor-faktor lainnya seperti:
(1) Defisiensi dpamine dalam substansi nigra di otak memberikan gejala penyakit
parkinson.
(2) Etiologi yang mendasarinya mungkin berhubungan dengan virus, genetik,
tokisisitas atau penyebab lain yang tidak diketahui.
c. Patofisiologi
Pada kebanyakan klien,penyebab penyakit tersebut tidak diketahui, tetapi terlihat
pada usia lanjut. Kondisi ini menyertai keracunan, toksisitas (mangan, karbon
monoksida) hipoksia atau dapat akibat pengaruh obat. Krisis oliguri menyertai
parkinsonisme jenis spasme otot-otot konjunggasi mata. Gejala klinis penyakit
parkinson sebagai berikut: bradikinesia (pergerakan lambat), hilang secara spontan.
Tremor yang menetap. Tindakan dan pergerakan yang tidak terkontrol. Gangguan
saraf otonom (sulit tidur, berkeringat, hipotensi ortostatik. Depresi, demensia.
Wajah seperti topeng.

4
2. Alzheimer
a. Pengertian
Alzheimer merupakan penyakit dementia primer yang tersering. Penyakit
Alzheimer (AD) adalah penyakit yang bersifat degeneratif dan progresif pada otak
yang menyebabkan cacat spesifik pada neuron, serta mengakibatkan gangguan
memori, berfikir, dan tingkah laku.
b. Etiologi
Penyebab penyakit alzheimer yang pasti saat ini belum diketahui. Sedangkan,
usia dari riwayat keluarga adalah faktor resiko yang sudah terbukti untuk penyakit
alzheimer. Bila anggota keluarga ada yang menderita penyakit ini, maka
diklarifikasikan sebai familiar atau alzheimer disease familial (FAD). Penyakit
alzheimer yang timbul tanpa diketahui ada riwayat familiarnya disebut sporadic
atau alzheimer disease sporadic (ADS). AD juga digambarkan sebagai:
(1) Awitan dini (gejala pertama muncul sebelum 65 tahun, yaitu dalam kisaran 30-
60 tahun). AD awitan dini jarang terjadi yaitu angka kejadiannya 5% sampai
10%.AD awitan dini ini cenderung terjadi dalam keluarga yang dipercayai
sebagai penyebab sebenarnya adalah karena adanya mutasi gen yang
diwariskan secara autosomal. Sejauh ini, tiga gen awitan dini mutasi penyebab
AD telah diidentifikasi pada tiga kromosom yang berbeda. Yaitu kromosom
nomer 21, 14 dan 1.
(2) Awitan lambat (gejala perttama muncul pada usia lebih dari 65 tahub). Para
ahli mengemukakan bahwa lebih dari satu gen yang terlibat dalam
menigkatkan resiko seseorang untuk terkena AD awitan lambat. Penyakit
alzheimer dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
- Faktor genetic
- Faktor infeksi
- Faktor lingkungan
- Faktor immunologis
- Faktor trauma
- Faktor neurontransmitter

5
c. Tanda dan Gejala
1) Kehilangan daya ingat/ memori.
2) Kesulitan melakukan aktifitas rutin yang biasa seperti tidak tahu bagaimana
cara membuka baju atau tidak tahu urutan-urutan menyiapkan makanan.
3) Kesulitan berbahasa.
4) Disorientasi waktu dan tempat.
5) Penurunan dalam memutuskan sesuatu atau fungsi eksekutif. Misalnya tidak
dapat memutuskan menggunakan baju hangat untuk cuaca dingin atau
sebaliknya.
6) Salah menempatkan barang.
7) Perubahan tingkah laku.
8) Perubahan perilaku.
9) Kehilangan.

d. Patofisologi/ WOC

3. Bell’s Palsy
a. Pengertian
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor
neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai
adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau bell’s palsy ditemukan oleh Sir Charles Bell,
dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah
imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta
penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex
tipe I berperan pada kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini, bell’s palsy tidak
tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial
herpes simpleks atau paralisis fasial herpetik.
Lokasi cedera nervus fasialis pada bell’s palsy adalah dibagian perifer nukleus
nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala

6
bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha
menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan.
Gejala ini juga disebut fenomena bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa
gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan
gerakan bola mata yang sehat.

b. Etiologi
Diperkirakan, penyebab bell’ palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa
tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya
kasus bell’s palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes
Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita bell’s palsy. Dulu,
masuk angin (misalnya hawa dingin, AC atau menyetir mobil dengan jendela
terbuka) dianggap sebagai salah satu-satunya pemicu bell’s palsy. Akan tetapi,
sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab bell’s palsy. Tahun 1972, Mc
Cormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial
idiopatik. Dengananalogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas
dalam, cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten
dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan
adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien bell’s palsy. Murakami at.all
melakukan tes PCR (polymerase-chain reaction) pada cairan endoneural N.VII
penderita bell palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam
cairan endoneural. Apabila HSV dinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan
ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Varicella
Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita bell;s palsy tetapi ditemukan
pada penderita Ramsay Hunt Syndrome.

c. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, disekitar foramen stilomastoideus. Bell’s
palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu
satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang

7
atau kambuh. Patofisiologisnya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tulang temporal
melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit
pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik
tersebut, adanya inflamasi, demyenlinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa
mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi
supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras
kortikobulbar ataupun di lintas asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang
dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan
udara dingin seperti angin kencang, AC atau mengemudi dengan kaca jendela yang
terbuka siduga salah satu penyebab terjadinya bell’s palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, disudut
serebelopontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan
pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak didaerah sekitar
inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalisi medialis. Karena itu paralisis
fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau
gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap
dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab
utama bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes
zooster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zooster karena
virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Teruma virus herpes zooster di
ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat

8
ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke
atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma
tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan
secara wajar sehingga tertimbun disitu.

d. Tanda dan Gejala


Pada awalnya penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun
tidur, mengosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan
adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih
cermat dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak berputar ke atas (tanda bell). Penderita tidak dapat bersiul
atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang
lumpuh.

4. Demensia
a. Pengertian
Demensia merupak sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi
kognitif tanpa gangguan kesadaran. Demensia adalah gangguan kronis dengan
awitan lambat dan biasanya berprognosis buruk. Demensia adalah dimana
seseorang mengalami penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir dan
kemampuan-kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap fungsi
kehidupan sehari-hari. Demensia dikenal sebagai keadaan organik kronika atau
sindroma otak kronika atau kegagalan otak.

b. Etiologi
Demensia disebabkan oleh:
1) Kondisi akut yang tidak diobati atau tidak dapat disembuhkan, bila kondisi
akut yang menyebabkan delirium atau tidak dapat diobati, terdapat

9
kemungkinan bahwa kondisi ini akan menjadi kronik dan karenanya dapat
dianggap sebagai demensia.
2) Penyakit vaskular, seperti hipertensi, arteriosklerosis dan dapat menyebabkan
stroke.
3) Penyakit parkinson, demensia menyerang 40% dari pasien-pasien ini.
4) Penyakit prion (protein yang terdapat dalam proses infeksi penyakit
Creutzfeldt-Jacob).
5) Infeksi human imuno defeiensi virus (HIV) dapat menyerang sistem saraf
pusat, menyebabkan ensefalopati HIV atau komplek demensia AIDS.
6) Gangguan strukturjaringan otak, seperti tekanan normal hidrosefalus dan
cedera akibat trauma kepala.

c. Patofisiologi/ WOC
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukkan yang bertahap dalam 5 atau 10
tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan
perburukkan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik
masing-masing individu. Usia harapan hidp pada pasien dengan demensia tipe
alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian
menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan
riwayat keluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit
yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit
alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia
didiagnosis, pasien harus menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap,
karena 10 hingga 15 persen pasien dengan demensia potensial mengalami
perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakkan
otak yang permanen terjadi.

d. Tanda dan Gejala


(1) Gangguan daya ingat
(2) Perubahan kepribadian

10
(3) Orientasi
(4) Gangguan bahasa
(5) Psikosis
(6) Mudah tersinggung, bermusuhan
(7) Gangguan lain: psikiatrik, neurologis, reaksi katastropik, sindroma sundowner
(8) Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
(9) Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian

5. Multiple Skelrosis
a. Pengertian
MS adalah penyakit degenerasi sistem saraf pusat (SSP) kronis yang meliputi
kerusakkan mielin (material lemak dan protein dari selaput saraf).
MS secara umum dianggap sebagai penyakit autoimun, dimana sistem imun
tubuh sendiri, yang normalnya bertanggung jawab untuk mempertahankan tubuh
terhadap penyakit virus dan bakteri dengan alasan yang tidak diketahui mulai
menyerang jaringan tubuh normal. Pada kasus ini menyerang sel yang membentuk
meilin.
MS merupakan penyakit kronis dimana terjadi demielinisasi ireguler pada
susunan saraf pusat yang mengakibatkan berbagai derajat penurunan motorik.
Ms merupakan penyakit kronis dari sistem pusat degeratif dikarakteristikkan
oleh adanya bercak kecil demielinisasi pada otak dan medula spinal.

b. Etiologi
1) Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsang/ infeksi virus)
2) Kelainan pada unsur pokok lipid mielin
3) Racun yang beredar dalam CSS
4) Infeksi virus pada SSP (morbili, destemper anjing)

c. Tanda dan Gejala


1) Kelelahan
2) Kehilangan keseimbangan

11
3) Lemah
4) Kebas, kesemutan
5) Kerusakan koordinasi
6) Gangguan penglihatan-diplobia, buta parsial/ total
7) Kelemahan ekstermitas spastikdan kehilangan reflek abdomen
8) Depresi
9) Afaksia

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem saraf adalah sistem organ pada manusia yang terdiri atas sel neuron yang
mengkoordinasikan aktifitas otot, memonitor organ, membentuk atau menghentikan
masukan dari indra dan mengaktifkan aksi. Komponen utama dalam sistem saraf adalah
neuron yang diikat oleh sel-sel neuroglia, neuron memainkan peranan penting dalam
koordinasi. Sistem saraf pada manusia secara umum dibagi menjadi dua, yaitu sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf sangat berperan dalam iritabilitas tubuh. Iritabilitas
adalah kemampuan menanggapi rangsangan.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang bisa penulis berikan dapat
meningkatkan wawasan dan pengetahuan mahasiswa dalam memahami patofiologi penyakit
sistem persarafan.

13
DAFTAR PUSTAKA

http://www.slideshare.net

Anda mungkin juga menyukai