Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

UJI NEUROFARMAKOLOGIS PADA UJI HEWAN

Disusun Oleh :

NAMA : SYARIFA BULAN

NIM : 012224112

KELAS :B

MATA KULIAG : FARMAKOLOGI DASAR

FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI PALU

2022/2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu


Wa Ta ’ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Farmakologi Dasar” serta untuk menambahkan wawasan kami sebagai
mahasiswa dalam mengetahui pembelajaran terkait dengan mata kuliah tersebut.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami berusaha untuk mengerjakan
dengan maksimal sesuai dengan kemampuan dan kapasitas penulis sebagai
mahasiswa sehingga kami sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan dan penyusunan makalah ini. Oleh karena itu dengan segala kerendahan
hati, kami selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik kedepannya.
Akhir kata, semoga makalah yang telah disusun ini dapat menambah ilmu
pengetahuan, bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan berguna untuk
banyak pihak khususnya Farmasi STIFA Pelita Mas Palu

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Palu, 17 Mei 2023

Wulandari
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................

1.1 Latar Belakang.............................................................................

1.2 Rumusan Masalah........................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori umum..................................................................................

2.2 Fungsi sistem saraf parasimpati....................................................

2.3 Uraian Bahan & Obat...................................................................

2.4 Uraian Obat...................................................................................

BAB III METODE PENELITIAN...............................................................

3.1 Alat yang digunakan.....................................................................

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya, farmokologi sangat penting dalam dunia kesehatan yakni ;


bidang kedokteran, keperawatan, kebidanan, farmasi dan lai-lain. Dapat
dijelaskan bahwa pengertian farmakologi dibidang kefarmasian itu membahas
tentang mempelajari kemampuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat
kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, reabsorpsi dan nasibnya
didalam organisme hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan
tubuh manusia khususnya, serta penggunaan pada pengobatan penyakit.
Adapun kita berbicara tentang toksikologi yang berarti pengetahuan
tentang efek racun dari obat terhadap tubuh. Dunia kefarmasian jika berbicara
tentang pembuatan obat itu tidak lepas dari yang namanya toksikologi yang
menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan sediaan farmasi. Pada
hakikatnya setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat bekerja sebagai
racun dan merusak organisme karena hanya dosislah yang membuat racun.
Sistem saraf otonom adalah sistem saraf  yang tidak dapat dikendalikan
oleh kemauan kita melalui otak. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan
memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut
jantung dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan
tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah
dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini
menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis
mengingat gangguan terhadp homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem
tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks
visceral. Sistem saraf otonom pun terbagi atas 2 bagian, yaitu : saraf simpatis
dan saraf parasimpatis
Kerja obat-obat pada system saraf simpatis dan system parasimpatis dapat
berupa respon yang merangsang atau menekan.
Kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-organ yang sama tetapi
menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya homeostatis
(keseimbangan)
Sistem saraf otonom ini sangat erat hubungannya dengan farmakologi dan
toksikologi karena kita dapat mengetahui mekanisme kerja obat yang akan
mempengaruhi sistem saraf otonom itu sendiri dan kita juga dapat mengetahui
bagaimana nasibnya obat di dalam tubuh manusia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan pada latar belakang maka
dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hasil dari uji neurofarmakologi pada hewan uji?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Umum

Hampir semua fungsi pengendalian tubuh manusia dilakukan oleh sistem


saraf. Secara umum sistem saraf mengendalikan aktivitas tubuh yang cepat
seperti kontraksi otot. Daya kepekaan dan daya hantaran merupakan sifat
utama dari makhluk hidup dalam bereaksi terhadap perubahan sekitarnya.
Rangsangan ini dinamakan stimulus. Reaksi yang dihasilkan dinamakan
respons. Makhluk hidup yang bersel satu (uniseluler) maupun bersel banyak
(multiseluler) ditentukan kemampuan fungsinya oleh protoplasma sel.
(Pearce, 2004)
Sistem saraf kita terdiri dari dua kelompok yakni Susunan Saraf Pusat
(SSP) yang meliputi otak dan sumsum tulang belakang, dan Sistem Saraf
Perifer dengan saraf-saraf yang secara langsung atau tak langsung ada
hubungannya dengan SSP. Saraf perifer ini terbagi lagi kedalam dua bagian,
yaitu Susunan Saraf Motoris yang bekerja sekehendak kita, misalnya otot-otot
lurik (kaki, tangan, dan sebagainya) serta Susunan Saraf Otonom (SSO) yang
bekerja menurut aturannya sendiri (Tjay dan Rahardja, 2002: 450).
Sistem saraf  otonom adalah serangkaian organ yang kompleks dan
berkesinambungan serta terutama terdiri dari jaringan saraf dan tidak dapat
dikendalikan oleh kemauan kita melalui otak (Djamhuri, 2001)
SSO dapat dipecah lagi dalam 2 cabang, yakni susunan (orto) simpatis
(SO) dan susunan parasimpatis pada umumnya dapat dikatakan bahwa kedua
susunan ini bekerja antagonistis. Bila suatu sistem merintangi fungsi tertentu,
sistem lainnya justru menstimulirnya. Tetapi dalam beberapa hal, khasiatnya
berlainan sama sekali atau bahkan bersifat sinergetis (Gibson, 2002)
Adapun fungsi sistem saraf otonom yaitu sebagai berikut :
·         Fungsi saraf simpatis meningkat ( 5:2)
1)    Efek stimulasi divisi simpatis: efek simpatis adalah meningkatkan irama
jantung dan tekanan darah, memobilisasi cadangan energi tubuh dan
meningkatkan aliran darah dari kulit dan organ internal. Stimulasi
simpatis juga menyebabkan dilatasi pupil dan bronkiolus.
2)    Respon “fight or flight”: reaksi-reaksi ini dicetuskan oleh aktivasi
langsung simpatis pada organ efektor dan melalui stimulasi medula
adrenalis untuk melepaskan epinefrin dan sejumlah kecil norepinefrin.
Hormon-hormon ini memasuki aliran darah dan meningkatkan respon
organ efektor yang mempunyai reseptor adrenergic (Pearce, 2004)

2.2 Fungsi sistem saraf parasimpati


Sistem saraf parasimpatis menjaga fungsi tubuh esensial seperti proses
pencernaan makanan dan pengurangan zat-zat sisa, dan hal ini diperlukan
untuk mempertahankan kehidupan. Sistem ini biasanya bekerja melawan dan
mengimbangi aksi simpatis dan biasanya lebih dominan daripada sistem
simpatis pada situasi “istirahat dan mencerna”. Sistem saraf parasimpatis
bukanlah suatu perwujudan fungsional seperti system simpatis dan tidak
pernah mengatasi sebagai suatu system yang lengkap. Jika sistem ini bekerja,
akan menghasilkan gejala yang massif, tidak diharapkan dan tidak
menyenangkan. Sebagai gantinya, serabut-serabut parasimpatis yang terpisah-
pisah akan diaktivasi  secara terpisah pula dan sistem bekerja mempengaruhi
organ-organ spesifik seperti lambung dan mata (Sastradipradja,D, 2003)
Pada susunan saraf otonom, impuls disalurkan ke organ tujuan (efektor,
organ ujung) secara tak langsung. Saraf otonom di beberapa tempat terkumpul
di sel-sel ganglion, dimana terdapat sinaps, yaitu sela di antara dua neuron (sel
saraf). Saraf yang meneruskan impuls dari SSP ke ganglia dinamakan neuron
preganglioner, sedangkan saraf antara ganglia dan organ ujung disebut neuron
post-ganglioner. Impuls dari SSP dalam sinaps dialihkan dari satu neuron
kepada yang lain secara kimiawi dengan jalan neurotransmitter (juga disebut
neurohormon). Bila dalam suatu neuron impuls tiba di sinaps, maka pada saat
itu juga neuron tersebut membebaskan suatu neurohormon di ujungnya, yang
melintasi sinaps dan merangsang neuron berikutnya. Pada sinaps yang berikut
dibebaskan pula neurohormon dan seterusnya hingga impuls tiba di organ
efektor (Tjay dan Rahardja, 2002: 450-452).
Saraf kolinergik. Semua neuron preganglioner, baik dari SO maupun dari
SP, menghasilkan neurohormon asetilkolin, begitu pula neuron post-
ganglioner dari SP. Saraf-saraf ini disebut saraf kolihnergik. Asetilkolin
(ACh) merupakan transmitter pula untuk saraf motoris pada penerusan impuls
ke otot-otot lurik (Tjay dan Rahardja, 2002: 452).
Saraf adrenergik. Sebaliknya, neuron post-ganglioner dari SO meneruskan
impuls dari SSP dengan melepaskan neurohormon adrealin da atau non-
adrenalin (NA) pada ujungnya. Neuron ini dinamakan saraf adrenergik.
Adrenalin juga dihasilkan oleh bagian dalam (medulla) dari anak ginjal
(Gibson, 2002).
Obat-obat otonom adalah obat-obat yang dapat mempengaruhi penerusan
impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa,
penimbunan, pembebasan, atau penguraian neurotransmitter atau
mempengaruhi kerjanya atas atas reseptor khusus. Akibatnya adalah
dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ, jantung, dan kelenjar dopamin
(Tjay dan Rahardja, 2002: 452).

Menurut khasiatnya obat otonom dapat digolongkan sebagai berikut:


1.   Zat-zat yang bekerja terhadap SO, yakni:
a)   Simpatomimetika (adrenergika), yang meniru  efek dan perangsangan SO
oleh misalnya non-adrenalin, efedrin, isoprenalin, dan amfetamin.
b)  Simpatolitika (adrenolitika), yang justru menekan saraf simpatik atau
melawan efek adrenergika, umpamanya alkaloida sekale dan propranolol.
2.   Zat-zat yang bekerja terhadap SP, yakni:
a)   Parasipatomimetika (kolinergika) yang merangsang organ-organ yang
dilayani saraf parasimpatik dan meniru efek perangsangan dengan
asetilkolin, misalnya pilokarpin dan fisostigmin.
b)   Parasimpatolitika (antikolinergika) yang justru melawan efek-efek
parasimpatomimetika, misalnya alkaloida belladona, propantelin, dan
mepenzolat.
3.   Zat-zat perintang ganglion, yang merintangi penerusan impuls dalam sel-sel
ganglionik simpatik dan parasimpatik. Efek perintangan ini dampaknya luas,
antara lain vasodilatasi karena blokade susunan simpatik dopamin (Tjay dan
Rahardja, 2002: 452).
Penggolongan obat SSO dapat juga sebagai berikut:
1.     Agonis kolinergik
Agonis kolinergik dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
a)  Bekerja langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: Asetilkolin,
betanekol, karbakol, dan pilokarpin.
b)  Bekerja tak langsung (reversibel)
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: edrofonium,
neostigmin, fisostigmin, dan piridostigmin.
c)  Bekerja tak langsung (ireversibel)
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: ekotiofat dan
isoflurofat.
2.    Antagonis kolinergik
Antagonis kolinergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a)  Obat antimuskarinik
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: atropin,
ipratropium, dan skopolamin.
b)   Penyekat ganglionik
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: mekamilamin,
nikotin, dan trimetafan.
c)    Penyekat neuromuskular
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: atrakurium,
doksakurium, metokurin, mivakurium, pankuronium, piperkuronium,
rokuronium, suksinilkolin, tubokurarin, dan vekuronium.
3.    Agonis adrenergik
Agonis adrenergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a)    Bekerja langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: albuterol,
klonidin, dobutamin*, dopami*, epinefrin*, isopreterenol*,
metapreterenol, metoksamin, norepinefrin*, fenilefrin, ritodrin, dan
terbutalin.
b)   Bekerja tak langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: amfetamin dan
tiramin.
c)    Bekarja ganda
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: efedrin dan
metaraminol.
4.    Antagonis adrenergik
Antagonis adrenergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a)    Penyekat-

Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: doxazosin,


fenoksinbenzamin, fentolamin, prazosin, dan terazosin.
b) Penyekat-

Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: asebutolol,


atenolol, labetalol, metoprolol, nadolol, pindolol, propranolol, dan timolol.
(Mycek, Mary.J, dkk. 2001: 35-79).

2.3 Uraian Bahan & Obat


Uji Mencit (Mus Musculus)

1.          Klasifikasi

Kingdom               : Animalia

Filum                     : Chordata

Subfilum               : Vertebrata

Kelas                     : Ma malia

Ordo                      : Rodentia

Famili                    : Muridae

Genus                    : Mus

Spesies                  : Mus Musculus

2.          Karakteristik

Dewasa BB                       : 25 – 40 g (betina) ; 20 – 40 g (jantan)


Pernapasan rate                 : 94 – 163 nafas/menit

Denyut jantung                 :325 – 780 denyut/menit

Lama hidup                       : 1,5 – 3 tahun

Jumlah anak                      : 10 – 12 perkelahiran

Dubur rata-rata suhu norma : 99.5 o F (Sastradipradja,D, 2003)

Rumus gigi adalah 2 (I 1 / 1, M 3/3) = 16. Terbuka digigi seri berakar dan
tumbuh terus menerus. Tikus akan menggigit atau “sejumput” dengan gigi seri
tajam jika mishandled. Perut dibagi menjadi bagian nonlandular proksimal dan
bagian distal kelenjar. Kedua bagian yang terlalu berbeda. Ini mirip dengan
perut kuda. Paru-paru kiri terdiri dari satu lobus, sedangkan paru kanan terdiri
dari empat lobus. Tikus memiliki lima pasang kelenjar susu. Distribusi
jaringan mammae menyebar, membentang dari garis tengah ventral atas
panggul, dada dan bagian leher. Sangat berkonsentrasi urin diproduksi ;
jumlah besar protein diekskresikan dalam urin. Bedding harus diubah dua kali
seminggu. Tanah tongkol jagung yang paling penyerap. Mencit merupakan
hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut cahaya dan aktif pada
malam hari. Hewan ini memiliki pendengaran yang sangat tajam, penciuman
yang cukup baik tetapi penglihtannya lemah. Genus dan jenis mencit
laboratorium adalah Mus musculus dan termasuk dalam ordo Rodentia.
Jenisnya telah banyak dijinakkan dan diternakkan selama bergenerasi dan
mudah ditangani (Sastradipradja,D, 2003)

3.          Morfologi

            Mencit ( Mus Musculus ) adalah anggota Muridae (tikus-tikusan) yang


berukuran kecil. Mencit mudah dijumpai di rumah-rumah dan dikenal sebagai
hewan pengganggu karena kebiasaannya menggigit mebel dan barang-barang
kecil lainnya, serta bersarang disudut-sudut lemari. Hewan ini diduga sebagai
mamalia terbesar kedua didunia setelah manusia. Mencit sangat mudah
menyesuaikan dirir dengan perubahan yang dibuat manusia, bahan jumlahnya
yang hidup liar di hutan barangkali lebih sedikit dari pada yang tinggal
diperkotaan.

2.4 Uraian Bahan

1.      Propranolol (Dirjen POM, 1979.  Farmakope Indonesia Edisi III)


Nama  resmi                : Propanolol
Nama dagang              : Blocard, inderal, prestoral.
Rumus molekul           : C16H21NO2
Berat moleku               : 295.81
Sediaan                       : Tablet
Kelompok obat           : Antihipertensi (beta bloker)
Mekanisme kerja :Tidak begitu jelas diuga Karen
curah jantung; menghambat pelepasan mengrenin diginjal;  menghabat
tonus simpatetik di pusatvasomotor otak.
Indikasi                 : Hipertensi, Angina pectoris, Aritmia jantung
migren, stenosis subaotik hipertrofi miokard dan blok jantung tingkat II
dan III, gagal jantng kongestife. Hati-hati pemberian pada penderita
diabetes militus wanita hamil dan menyusui.
Efek samping : Bradikardia insomnia, mual
muntah, bronkospasme, agranulositosis, depesi.
Interaksi obat : Hati-hati bila diberikan bersama dengan reserpin
karena menambah berat hipotensi, dan
kalsium antagonis karena menimbulkan
penekanan  kontraktilitas miokard. enti jantung
dapat terjadi bila dibeikan bersama haloperidol. 
fenitoin, fenobarbital, rifampin meningkatkan
bersihan obat    ini simetidin menurunkan
metabolism propanolol. Bersihan teofilin
menurun. Etanol menurunkan absorpsinya.
Dosis                        : Dosis awal :2 × 40 mg/hari, diteruskan
dosis  pemeliharaan 120-240 mg/hari
Penyimpanan               : Dalam wadah tetutup baik

2.  Pilokarpin (Dirjen POM, 1979.  Farmakope Indonesia Edisi III)


Nama Sampel         : CENDOCARPINE® 2 % STERILE EYE DROPS
Nama Resmi           : PILOKARPINI HYDROCHLORIDUM
Komposisi               : Zat aktif: Pilokarpin Hidroklorida; Zat pembawa:
Hidroxy Propil Metil Selulosa 2,5 mg
Indikasi                  : Umumnya digunakan untuk glaukoma akut,
mengontrol tekanan intraokuler pada simple
glaucoma, dapat digunakan sendiri sebelum operasi
mendadak atau sebelum pemakaian carbonic
anhidrase inhibitor.
Farmakodinamik     : Pada umumnya pilokarpin bekerja pada efektor
muskarinik dan juga memperlihatkan efek nikotinik.
Efek nikotinik ini juga terlihat setelah diadakan
denervasi. Pilokarpin terutama menyebabkan
rangsangan terhadap kelenjar keringat, kelenjar air
mata dan kelenjar ludah. Produksi keringat dapat
mencapai tiga liter. Efek terhadap kelenjar keringat
ini terjadi karena perangsangan langsung (efek
muskarinik) dan sebagian karena perangsangan
ganglion (efek nikotinik). Selain itu, pada
penyuntikan IV biasanya terjadi kenaikan tekanan
darah akibat efek ganglionik dan sekresi katekolamin
dari medulla adrenal; terjadi juga hipersekresi pepsin
dan musin. Sekresi bronkus meningkat, dan bersama
dengan timbulnya konstriksi bronkus dapat
menyebabkan udem paru.
Farmakokinetik       :  Absorpsi. Senyawa pilokarpin bersifat basa kuat (zat
ammonium kwartener) yang resorpsinya dari usus
buruk dan sukar memasuki SSP.
Distribusi. Pilokarpin bersifat hidrofilik sehingga
tidak dapat menembus cerebro-spinal barrier
(membran).
                                  Metabolisme. Pilokarpin terionisasi baik, dieliminasi
di hepar dan langsung diekskresikan melalui ginjal.
                                  Ekskresi. Pilokarpin hampir tidak didifusi kembali
secara pasif melalui membran sel ke dalam darah dan
langsung keluar dengan air seni.
Data Farmakokinetik :  Ikatan protein plasma: Kecil karena bersifat basa dan
hidrofil.
                                   Waktu paruh plasma:       menit
Efek Samping          :  Mual, muntah-muntah, diare dan kejang-kejang di
perut serta sekresi ludah berlebihan, pada dosis tinggi
juga penekanan kerja jantung dan pernafasan.
Dosis                        :  Tetes mata larutan 1-4% (nitrat), oral 3 kali sehari 5
mg bersama perintang ganglion.
Dosis untuk Mencit   :  0,0195 mg/ml untuk 25 g mencit.
Nama Paten Lain    :  Carpinol® tetes mata, P.V. Carpine® tetes mata.
Khasiat                      : Parasimpatomimetikum; miotikum.
Kegunaan               : Sebagai sampel

3. Atropin  (Dirjen POM, 1979.  Farmakope Indonesia Edisi III)


Nama Sampel          :  CENDOTROPINE® 1 % STERILE EYE DROPS
Komposisi                : Tiap ml mengandung atropin sulfate 10 mg.
Indikasi                      :  Sebagai midriatikum dan siklopegikum.
Farmakodinamik     :  Hambatan oleh atropin bersifat reversible dan dapat
diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah
berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin
memblok asetilkolin endogen maupun eksogen,
tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang
eksogen. Efek perifer terhadap jantung, usus dan otot
bronkus lebih kuat dipengaruhi oleh atropin.
Farmakokinetik         :  Absorpsi. Atropin mudah diserap dari semua tempat,
kecuali dari kulit. Pemberian atropin sebagai obat
tetes mata, terutama pada anak dapat menyebabkan
absorpsi dalam jumlah yang cukup besar lewat
mukosa nasal, sehingga menimbulkan efek sistemik
dan bahkan keracunan.
                                       Distribusi. Dari sirkulasi darah, atropin cepat
memasuk jaringan.
                                       Metabolisme. Dieliminasi oleh ginjal dalam keadaan
tak diubah sampai 50%, sisanya mengalami
Demethylasi dan Glucuronidasi di dalam hati dan
kemudian diekskresi oleh ginjal.
                                      Ekskresi. Sebagian atropin diekskresi melalui ginjal
dalam bentuk asal.
Data Farmakokinetik :  -     Bioavailabilitas: kecil (first-pass-Effect)
                                      -     Volume distribusi: 3 l/kg
                                      -     Ikatan protein plasma: 50%
                                      -     Waktu paruh plasma: 2,5 jam
Efek Samping         : Kekeringan mulut, pengurangan sekresi dari air luda,
midriasis, gangguan penglihatan, photophobia,
kesulitan pengosongan kandung kemih.
Dosis                          : Oral 3 kali sehari 0,25-0,8 mg, injeksi s.k. maksimal 3
kali sehari 0,5 mg (sulfat), dalam tetes mata larutan
0,5-1%.
Dosis untuk Mencit   :  0,013 mg/ml untuk 25 g mencit.
Nama Paten Lain   :  Atropini sulfas® (inj. 250 mcg/ml), Aludonna® (9,5
mcg/5 ml suspensi), Bardase® (0,02 mg/tab), Contac-
500® (0,0375 mg/caps).  

BAB III
METODE KERJA

3.1 Alat yang digunakan


Adapun alat yang digunakan dalam melakukan praktikum ini yaitu antara
lain : Kanula, Erlenmeyer, Gelas ukur, Spoit 1 cc, Labu takar 10, 25, 50 dan
100 ml, Timbangan analitik, Plat form dan Stopwatch
A. Bahan yang digunakan
Adapun bahan yang digunakan dalam melakukan praktikum ini
yaitu antara lain : Cendocarpin, Cendotropin, Epinefrin, Propanolol
B. Hewan yang digunakan
Hewan yang digunakan adalah : Mencit jantan/betina
C. Cara Kerja
a. Hewan coba dikelompokkan menjadi lima kelompok
b. Kelompok I, mencit diberi Cendocarpin secara i.p
c. Kelompok II, mencit diberi Cendotropin secara i.p
d. Kelompok III, mencit diberi Cendotropin secara i.p, kemudian
diberi Cendocarpin secara i.p
e. Kelompok IV, mencit diberi Epinefrin secara i.p
f. Kelompok V, mencit diberi propanolol secara oral, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian adrenalin secara i.p
g. Pengamatan dilakukan pada menit 15, 30, 60, dan 90 setelah
pemberian obat. Pengamatan meliputi pupil mata, diare, tremor
kejang, warna daun telinga, grooming dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM, 1979.  Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

Djamhuri, Agus, 2001. Sinapsis Farmakologi. Hipokrates : Jakarta

Gibson , John, 2002. Fisiologi dan Anatomi modern untuk perawat. Edisi 2,

EGC : Jakarta
Mycek, Mary. J. dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta:

Widya medika.

Pearee,C.,Evelyn, 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic, PT. Gramedia :


Jakarta

Sastradipradja,D, 2003. ‘’Penggunaan Heawan Coba Dalam Penilitian’’. Bogor :


Institut Pertanian Bogor.
Tjay, T.H. dan Rahardja, K. 2002.  Obat-Obat Penting.  Jakarta: PT Elex Media
Kompoitindo Gramedia.
Tim Pengajar Farmakologi Toksikologi, (2015), Penuntun Praktikum
Farmakologi Toksikologi. Universitas Muslim Indonesia : Makassar

Anda mungkin juga menyukai