Anda di halaman 1dari 21

LABORATORIUM FARMAKALOGI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

ARTIKEL HASIL PRAKTIKUM

SISTEM SARAF OTONOM

Disusun oleh :

Nama : AMELIA S

NIM : 15020150127

Asisten : Zulfa Kadir S.Farm

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2016
UJI OBAT EPINEFRIN SEBAGAI OBAT SISTEM SARAF OTONOM
YAITU GOLONGAN SIMPATOMIMETIK TERHADAP MENCIT (Mus
muscullus)

Amelia S1, Zulfakadir S.Farm2


1
Mahasiswa Fakultas Farmasi
2
Asisten Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi, UMI
Email : Ameliasardin@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang : Pada dasarnya, farmokologi sangat penting dalam


dunia kesehatan yakni ; bidang kedokteran, keperawatan, kebidanan, farmasi
dan lai-lain Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang
sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat meningkat
hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik,
berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga
pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan
pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadp homeostasis
dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO
merupakan komponen dari refleks visceral. Sistem saraf otonom pun terbagi atas
2 bagian, yaitu : saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Kerja obat-obat pada
system saraf simpatis dan system parasimpatis dapat berupa respon yang
merangsang atau menekan. Kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-organ yang
sama tetapi menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya homeostatis
(keseimbangan).
Tujuan Praktikum : Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini yaitu untuk
menentukan efek obat cendotropin pada hewan coba mencit (Mus musculus)
dengan parameter pengamatan erupa grooming, salvias, vasokontriksi,
vasodilatasi, takikardia, bradikardia, straub, piloereksi, diare.
Metode : penelitian ini menggunakan 10 ekor mencit yang di bagi dalam 5
kelompok, kelompok I mencit di beri Cendotropin, kelompok II Cendocarpin,
kelompok III Propanolol, kelompok IV kombinasi Cendocarpin dan Propanolol,
Kelompok V Na CMC. Sebelum perlakuan, semua hewan coba yang akan
diinduksi secara intraperitonial, di olesi alcohol pada daerah perutnya. Semua
hewan coba di induksi secara intraperitonial kecuali pada kelompok IV yang di
beri penambahan Propanolol secara oral dan kelompok V menginduksi dengan Na
CMC secara oral. Selanjutnya hewan coba di amati perubahan farmako
dinamiknya secara langsung.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerja obat system saraf otonom dapat
mempengaruhi jantung, pembuluh darah, mata, dan system pencernaan.
Kesimpulan: Obat Cendocarpin merupakan obat agonis kolinergik yang bekerja
sesuai dengan system saraf parasimpatik.
Kata Kunci: Neurotransmiter, saraf tepi, agonis kolinergik sitem saraf simpatik
dan parasimpatik
PENDAHULUAN : Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang
mengatur fungsi visceral tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan
sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan
aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang
sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat
hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik,
berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga
pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan
pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis
dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO
merupakan komponen dari refleks visceral . Susunan Saraf Otonom (SSO), juga
disebut susunan saraf vegetatif, meliputi antara lain saraf-saraf Termasuk
kelompok ini pula adalah otot jantung (lurik) serta beberapa kelenjar (ludah,
keringat, dan pencernaan). fungsinya adalah mengatur secara Otonom keadaan
fisiologi yang konstan, seperti suhu badan, tekanan, dan peredaran darah serta
pernafasan (Tjay dan Rahardja, 2002).
System saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu system saraf pusat
(SSP) yang terdiri dari otak dan medulla spinalis, serta system saraf tepi yang
merupakan sel-sel saraf yang terletak di luar otak dan medulla spinalis yaitu saraf-
saraf yang masik dan keluar SSP. Obat otonom adalah obat yang bekerja pada
berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel
efektor System saraf selanjutnya di bagi dalam divisi eferen yaitu neuron yang
membawa sinyal dari otak dan medulla spinalis ke jaringan tepi, serta divisi
aferen yang membawa informasi dari perifer ke SSP (Harvey,2013)
Bagian eferen sistem saraf tepi selanjutnya di bagi dalam 2 subdivisi
fungsional utama, yaitu system somatic dan system otonom. Eferen somatic dapat
dipegaruhi ole kesadaran yang mengatur fungdi-fungsi seperti kontraksi otot
untuk memindahkan suatu benda. Sedangkan system otonom tidak di pengaruhi
kesadaran dalam mengatur kebutuhan tubuh sehari-hari. System saraf otonom
terutama terdiri atas saraf motorik visera (eferen) yang menginerfasi otot polos
organ visera, otot jantung, pemuluh darah dan kelenjar eksokrin(Luvina, 2014).
System saraf ototnom merupakan system saraf di luar kendali kehendak
dan system ini bertanggung jawab terhadap pengendalian otot bebas dan kelenjar
dalam tubuh. Walaupun system saraf ototnom menjalankan fungsinya tanpa
kendali dari system saraf pusat, kedua system ini dapat mempengaruhi tugas
masing-masing.
Susunan saraf tepi merupakan penghubung susunan saraf pusat dengan reseptor
sensorik daan efektor motorik (otot dan kelenjar). Saraf tepi terdiri dari ribuan
serabut saraf yang di kelompokkan dalam ikatan-ikatan yang masing-masing
kelompok dibungkus oleh jaringan ikat. Setiap serabut saraf adalah sebuah akson
dari neuron sensorik, motorik maupun otonom perifer(Syaifuddin,2013)
System simpatis selain secara berkelanjutan mempertahankan derajat
keaktifan (misalnya, menjaga tonus vascular bed), juga mempunyai kemampuan
untuk memberikan respon pada situasi stress , seperti trauma, ketakutan,
hipoglekimia, kedinginan atau latihan. Fungsi parasimpatis menjaga fungsi ubuh
esensial seperti proses pencernaan makanan dan pengurangan zat-zat sisa, dan hal
ini di butuhkan dalam mempertahankan kehidupan. System ini biasanya bekeja
melawan dan mengimbangi aksi simpatis dan biasanya lebih dominan daripada
system simpatis pada situasi “istirahat dan mencerna”(Harvey,2013)
Meskipun system saraf otonom adalah system mototrik, akan tetapi masih
membutuhkan asupan sensorik dari struktur perifer dalam upaya mempersiapkan
informasi pada tempat yang dipersarafinya dalam tubuh. Umpan balik ini
dipersiapkan oleh aliran inervasi secara otomatik yang selanjutnya berjalan dan
bersatu dengan sentrum-sentrum di SSP seperti Hipotalamus , medulla oblongata
dan medulla spinalis. Sentrum-sentrum ini memberikan respon rangsangan pada
system saraf otonom berupa implus refleksi eferan(Harvey,2013)
Hampir semua fungsi pengendalian tubuh manusia dilakukan oleh sistem
saraf. Secara umum sistem saraf mengendalikan aktivitas tubuh yang cepat seperti
kontraksi otot. Daya kepekaan dan daya hantaran merupakan sifat utama dari
makhluk hidup dalam bereaksi terhadap perubahan sekitarnya. Rangsangan ini
dinamakan stimulus. Reaksi yang dihasilkan dinamakan respons. Makhluk hidup
yang bersel satu (uniseluler) maupun bersel banyak (multiseluler) ditentukan
kemampuan fungsinya oleh protoplasma sel.
(Pearce, 2004)
Sistem saraf kita terdiri dari dua kelompok yakni Susunan Saraf Pusat
(SSP) yang meliputi otak dan sumsum tulang belakang, dan Sistem Saraf Perifer
dengan saraf-saraf yang secara langsung atau tak langsung ada hubungannya
dengan SSP. Saraf perifer ini terbagi lagi kedalam dua bagian, yaitu Susunan
Saraf Motoris yang bekerja sekehendak kita, misalnya otot-otot lurik (kaki,
tangan, dan sebagainya) serta Susunan Saraf Otonom (SSO) yang bekerja menurut
aturannya sendiri (Tjay dan Rahardja, 2002: 450).
Sistem saraf otonom adalah serangkaian organ yang kompleks dan
berkesinambungan serta terutama terdiri dari jaringan saraf dan tidak dapat
dikendalikan oleh kemauan kita melalui otak (Djamhuri, 2001)
SSO dapat dipecah lagi dalam 2 cabang, yakni susunan (orto) simpatis
(SO) dan susunan parasimpatis pada umumnya dapat dikatakan bahwa kedua
susunan ini bekerja antagonistis. Bila suatu sistem merintangi fungsi tertentu,
sistem lainnya justru menstimulirnya. Tetapi dalam beberapa hal, khasiatnya
berlainan sama sekali atau bahkan bersifat sinergetis (Gibson, 2002)
Adapun fungsi sistem saraf otonom yaitu sebagai berikut : ( 5:2)
1) Efek stimulasi divisi simpatis: efek simpatis adalah meningkatkan irama
jantung dan tekanan darah, memobilisasi cadangan energi tubuh dan
meningkatkan aliran darah dari kulit dan organ internal. Stimulasi simpatis
juga menyebabkan dilatasi pupil dan bronkiolus.
2) Respon “fight or flight”: reaksi-reaksi ini dicetuskan oleh aktivasi langsung
simpatis pada organ efektor dan melalui stimulasi medula adrenalis untuk
melepaskan epinefrin dan sejumlah kecil norepinefrin. Hormon-hormon ini
memasuki aliran darah dan meningkatkan respon organ efektor yang
mempunyai reseptor adrenergic (Pearce, 2004)
Sistem saraf parasimpatis menjaga fungsi tubuh esensial seperti proses
pencernaan makanan dan pengurangan zat-zat sisa, dan hal ini diperlukan untuk
mempertahankan kehidupan. Sistem ini biasanya bekerja melawan dan
mengimbangi aksi simpatis dan biasanya lebih dominan daripada sistem simpatis
pada situasi “istirahat dan mencerna”. Sistem saraf parasimpatis bukanlah suatu
perwujudan fungsional seperti system simpatis dan tidak pernah mengatasi
sebagai suatu system yang lengkap. Jika sistem ini bekerja, akan menghasilkan
gejala yang massif, tidak diharapkan dan tidak menyenangkan. Sebagai gantinya,
serabut-serabut parasimpatis yang terpisah-pisah akan diaktivasi secara terpisah
pula dan sistem bekerja mempengaruhi organ-organ spesifik seperti lambung dan
mata (Sastradipradja,D, 2003)
Pada susunan saraf otonom, impuls disalurkan ke organ tujuan (efektor,
organ ujung) secara tak langsung. Saraf otonom di beberapa tempat terkumpul di
sel-sel ganglion, dimana terdapat sinaps, yaitu sela di antara dua neuron (sel
saraf). Saraf yang meneruskan impuls dari SSP ke ganglia dinamakan neuron
preganglioner, sedangkan saraf antara ganglia dan organ ujung disebut neuron
post-ganglioner. Impuls dari SSP dalam sinaps dialihkan dari satu neuron kepada
yang lain secara kimiawi dengan jalan neurotransmitter (juga disebut
neurohormon). Bila dalam suatu neuron impuls tiba di sinaps, maka pada saat itu
juga neuron tersebut membebaskan suatu neurohormon di ujungnya, yang
melintasi sinaps dan merangsang neuron berikutnya. Pada sinaps yang berikut
dibebaskan pula neurohormon dan seterusnya hingga impuls tiba di organ efektor
(Tjay dan Rahardja, 2002: 450-452).
Saraf kolinergik. Semua neuron preganglioner, baik dari SO maupun dari
SP, menghasilkan neurohormon asetilkolin, begitu pula neuron post-ganglioner
dari SP. Saraf-saraf ini disebut saraf kolihnergik. Asetilkolin (ACh) merupakan
transmitter pula untuk saraf motoris pada penerusan impuls ke otot-otot lurik
(Tjay dan Rahardja, 2002: 452).
Saraf adrenergik. Sebaliknya, neuron post-ganglioner dari SO meneruskan
impuls dari SSP dengan melepaskan neurohormon adrealin da atau non-adrenalin
(NA) pada ujungnya. Neuron ini dinamakan saraf adrenergik. Adrenalin juga
dihasilkan oleh bagian dalam (medulla) dari anak ginjal (Gibson, 2002).
Obat-obat otonom adalah obat-obat yang dapat mempengaruhi penerusan
impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa,
penimbunan, pembebasan, atau penguraian neurotransmitter atau mempengaruhi
kerjanya atas atas reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot
polos dan organ, jantung, dan kelenjar dopamin (Tjay dan Rahardja, 2002: 452).

Menurut khasiatnya obat otonom dapat digolongkan sebagai berikut:


1. Zat-zat yang bekerja terhadap SO, yakni:
a) Simpatomimetika (adrenergika), yang meniru efek dan perangsangan SO oleh
misalnya non-adrenalin, efedrin, isoprenalin, dan amfetamin.
b) Simpatolitika (adrenolitika), yang justru menekan saraf simpatik atau melawan
efek adrenergika, umpamanya alkaloida sekale dan propranolol.
2. Zat-zat yang bekerja terhadap SP, yakni:
a) Parasipatomimetika (kolinergika) yang merangsang organ-organ yang dilayani
saraf parasimpatik dan meniru efek perangsangan dengan asetilkolin, misalnya
pilokarpin dan fisostigmin.
b) Parasimpatolitika (antikolinergika) yang justru melawan efek-efek
parasimpatomimetika, misalnya alkaloida belladona, propantelin, dan mepenzolat.
3. Zat-zat perintang ganglion, yang merintangi penerusan impuls dalam sel-sel
ganglionik simpatik dan parasimpatik. Efek perintangan ini dampaknya luas,
antara lain vasodilatasi karena blokade susunan simpatik dopamin (Tjay dan
Rahardja, 2002: 452).
Penggolongan obat SSO dapat juga sebagai berikut:
1. Agonis kolinergik
Agonis kolinergik dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
a) Bekerja langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: Asetilkolin,
betanekol, karbakol, dan pilokarpin.
b) Bekerja tak langsung (reversibel)
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: edrofonium,
neostigmin, fisostigmin, dan piridostigmin.
c) Bekerja tak langsung (ireversibel)
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: ekotiofat dan
isoflurofat.
2. Antagonis kolinergik
Antagonis kolinergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a) Obat antimuskarinik
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: atropin, ipratropium,
dan skopolamin.
b) Penyekat ganglionik
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: mekamilamin,
nikotin, dan trimetafan.

c) Penyekat neuromuskular
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: atrakurium,
doksakurium, metokurin, mivakurium, pankuronium, piperkuronium, rokuronium,
suksinilkolin, tubokurarin, dan vekuronium.
3. Agonis adrenergik
Agonis adrenergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a) Bekerja langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: albuterol, klonidin,
dobutamin, dopamin, epinefrin, isopreterenol, metapreterenol, metoksamin,
norepinefrin, fenilefrin, ritodrin, dan terbutalin.
b) Bekerja tak langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: amfetamin dan
tiramin.
c) Bekarja ganda
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: efedrin dan
metaraminol.
4. Antagonis adrenergik
Antagonis adrenergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a) Penyekat α-
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: doxazosin,
fenoksinbenzamin, fentolamin, prazosin, dan terazosin.
b) Penyekat β–
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: asebutolol, atenolol,
labetalol, metoprolol, nadolol, pindolol, propranolol, dan timolol.
(Mycek, Mary.J, dkk. 2001: 35-79).

\
METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan yang digunakan

Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu alat suntik dan jarum suntik,
kanula, papan datar bulat (platform), gelas piala, Erlenmeyer, dan labu takar 10,
25, 50, dan 100 mL.
Bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu cendotropin, cendocarpin,
bisoprolol, popanolol, dan Na.CMC.

Prosedur kerja
Hewan: Mencit jantan/betina

Sebanyak 10 hewan coba (mencit) dikelompokkan menjadi lima


kelompok, dan masing-masing kelompok mendapatkan sebanyak 2 hewan coba
(mencit). Kemudian masing-masing kelompok diberikan obat. Kelompok I,
mencit diberi Cendotropin secara i.p (Intraperitonial). Kelompok II, mencit diberi
Cendocarpin secara i.p (Intraperitonial). Kelompok III, mencit diberi Propanolol
secara oral. Kelompok IV diberi Propanolol dan Cendotropin secara oral dan i.p
(Intraperitonial). Dan kelompok V diberi Na.CMC secara oral.

HASIL PENGAMATAN

HEWAN COBA: Mencit (Mus musculus)

Kelompok I

Pengamatan Pada Menit


Perlakuan
15 30 60 90
Cendotropin M1 M2 M1 M2 M1 M2 M1 M2
Miosis +
Vasokontriksi + +
Grooming +
Piloereksi + +
Takikardia + +
Brakikardia +

Kelompok II
Perlakuan BB Pengamatan Pada Menit
Obat : Cendocarpin (i.p) M1 M2 15" 30" 60" 90"
Miosis - - - - - - - + - -
Diare - - + - + + - - - -
Tremor - + - - - - - - - -
Vasokontriksi + + + + + + + + + +
Grooming - + + + - + - + - +
Piloereksi - - + - - - - - - -
Takikardia - - + - - - - + - -
Bardikardia - - - - - - + - - -
Saliva - - + + - - - - - -

Kelompok III
Perlakuan BB Pengamatan Pada Menit
Obat : Epinefrin (i.p) M 15" 30" 60" 90"
Miosis - - -
Midriasis - + +
Diare - - -
Tremor - - -
Vasodilatasi - - -
Vasokontriksi - + +
Grooming - - -
Piloereksi - - +
Takikardia - + +
Bardikardia - - -
Saliva - - -

Kelompok IV
Perlakuan Pengamatan
Obat Epinefrin + Na- 15 30 60 90
CMC
Miosis +
Midriasi +
Diare +
Tremor +
Vasodilatasi +
Vasokontriksi +
Grooming +
Piloereksi + +
Takikardia +
Bradikardia +
Saliva

Kelompok V
Perlakuan Pengamatan pada menit
15 30 60 90
Obat : propranolol
I II I II I II I II
Miosis - - - - √ - √ -
Midriasis - - √ - - - - -
Tremor √ - - - - - - -
Vasodilatasi √ - - - √ - √ -
Vasokontriksi - - √ - - - - -
Takikardia - - √ - √ - √ -
PEMBAHASAN
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak
maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan.
Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk
sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat
pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung
ganglion disebut urat saraf post ganglion.
Sistem saraf otonom berfungsi untuk mempertahankan keadaan tubuh dalam
kondisi terkontrol tanpa pengendalian secara sadar. Sistem saraf otonom bekerja
secara otomatis tanpa perintah dari sistem saraf sadar. Sistem saraf otonom juga
disebut sistem saraf tak sadar, karena bekerja diluar kesadaran
Struktur jaringan yang dikontrol oleh sistem saraf otonom yaitu otot jantung,
pembuluh darah, iris mata, organ thorakalis, abdominalis, dan kelenjar tubuh.
Secara umu, sistem saraf otonom dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis.
Sistem Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis terbagi juga menjadi dua bagian, yaitu saraf otonom
kranial dan otonom sakral. Sistem saraf ini berhubungan dengan sumsum tulang
belakang melalui serabut-serabut sarafnya, letaknya didepan column vertebrae.
Sistem saraf simpatis ini berfungsi untuk: Mensarafi otot jantung, Mensarafi
pembuluh darah dan otot tak sadar, Mempersarafi semua alat dalam seperti
lambung, pancreas dan usus, Melayani serabut motorik sekretorik pada kelenjar
keringat, Serabut motorik pada otot tak sadar dalam kulit, Mempertahankan tonus
semua otot sadar
Obat sistem saraf otonom dapat dibagi menjadi Agonis adrenergik
(simpatomimetik), Antagonis adrenergik (simpatolitik), Agonis kolinergik
(parasimpatomimetik), Antagonis adrenergik (parasimpatolitik).
Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu spoit injeksi dan
spoit oral atau kanula. Bahan yang digunakan adalah aquadest, alkohol, air untuk
injeksi, Na-CMC 1%, adrenalin, atropin sulfat, pilokarpin HCl, dan propranolol.
Adapun hasil yang diperoleh dari percobaan ini yaitu, digunakan hasil dari
kelompok III obat Epinefrin secara IP.
Mekanisme kerja Epinefrin sebagai berikut:
Kardiovaskuler : Kerja utama epinefrin adalah pada sistem kardiovaskular.
Senyawa ini memperkuat daya kontraksi otot jantung (miokard) (inotropik positif
: kerja β1) dan mempercepat kontraksi miokard (kronotropik positif : kerja β1).
Oleh karena itu, curah jantung meningkat pula. Akibat dari efek ini maka
kebutuhan oksigen otot jantung jadi meningkat juga. Epinefrin mengkonstriksi
arteriol di kulit, membrane mukosa, dan visera (efek α) dan mendilatasi pembuluh
darah ke hati dan otot rangka (efek β2). Aliran darah ke ginjal menurun. Oleh
karena itu, efek kumulatif epinefrin adalah peningkatan tekanan sistolik bersama
dengan sedikit penurunan tekanan diastolik. Pada jantung, adrenalin atau epinefrin
bekerja meningkatkan kekuatan kontraksi dan frekuensi jantung. Curah jantung
akan naik. Selama tekanan darah rata-rata (harga rata-rata antara tekanan sistol
dan tekanan diastol) tidak naik, tidak terjadi pengaturan lawan reflektrolik dari
parasimpatis. Pada penggunaan adrenalin, harus pula dipertimbangkan bahwa
senyawa ini akan meninggikan pemakaian oksigen dan oleh karena itu walau
terjadi dilatasi arteria koronaria, dapat timvbul serangan angina pektoris
Respirasi ., Epinefrin menimbulkan bronkodilatasi kuat dengan bekerja langsung
pada otot polos bronkus (kerja β2). Pada kasus syok anafilaksis.
Berdasarkan praktikum dapat dilihat pada menit ke 15 terjadi Midrialisis
(pelebaran pupil) dapat dilihat dari mata mencit yang membesar dan terjadi
takikardia (peningkatan denyut jantung) pada menit ke 15. Pada menit ke 30
terjadi tremor dan Bradikardia (penurunan denyut jantung ) pada mencit. Pada
Menit selanjutnya mencit tidak mengalami aktifitas (mati)
Pada praktikum ini, pada percobaan 1 melakukan pemberian obat
cendotropin terhadap mencit, hal ini bertujuan untuk melihat efek
farmakodinamik suatu obat terhadap mencit. Langkah pertama adalah alat dan
bahan disiapkan terlebih dahulu diatas meja, dan di tutupi dengan kain, usahakan
tertutup semua. Mencit di simpan diatas kain, lalu di beri obat cendotropin secara
i.p sesuai volume pemerian yang telah di hitung.Amati perubahan pada menit ke
15, 30, 60 dan 90 setelah pemerian obat.Pengamatan meliputi pupil mata, diare,
tremor, kejang, warna dan daun telinga, grooming dan sebagainya. Setelah
melakukan pemerian obat, Pada mencit pertama dengan berat 25 gram, diperoleh
hasil bahwa pada menit ke 15 terjadi takikardia atau jantung berdetak kencang,
pada menit ke 30 terjadi grooming, dan pada menit ke 90 terjadi Miosis (
mengecilnya pupil), vasokontriksi ( menyempitnya pembuluh darah), piloereksi,
dan takikardia. Kemudian pada menit ke 90 terjadi Vasokontriksi, Piloereksi dan
Brakikardia.
Percobaan kedua, pemberian obat Cendocarpin (i.p) dengan cara
menyuntikkan di bagian bawah perut hewan coba yaitu 2 ekor mencit (Mus
muscullus) dan diamati pada menit ke 15, 30, 60 dan 90 memberikan efek
farmakodinamika pada hewan coba tersebut. Pada mencit pertama (M1) yang
mempunyai berat badan 24 gram dengan Vp 0.8 ml sebelum diberikan perlakuan
sudah mengalami vasokontriksi yang ditandai dengan warna telinganya yang
pucat. Sedangkan pada mencit kedua (M2) dengan berat badan 21 gram sudah
mengalami tremor yang ditandai kejang-kejang pada tubuhnya, vasokontriksi dan
grooming yang ditandai dengan selalu mengusap wajah. Setelah diberikan
perlakuan dengan pemberian cendocarpin (i.p) dimana pada mencit pertama (M1)
dengan volume pemberian yaitu 0.8 ml pada menit ke 15 mengalami diare,
vasokontriksi, grooming, piloereksi, takikardia dan saliva yang berlendir. Pada
menit ke 30 mengalami diare, vasokontriksi dan grooming. Pada menit ke 60
mengalami vasokontriksi, grooming dan bradikardia. Dan pada menit ke 90
mengalami vasokontriksi. Pada mencit kedua (M2) dengan pemberian 0.7 ml
cendocarpin (i.p) pada menit ke 15 mengalami vasokontriksi, grooming dan saliva
yang berlendir. Pada menit ke 30 mengalami diare, vasokontriksi dan grooming.
Pada menit ke 60 mengalami miosis, vasokontriksi, grooming, dan takikardia.
Dan pada menit ke 90 mengalami vasokontriksi dan grooming.
Percobaan keempat, Pemberian obat epinefrin (i:p) dengan cara
menyuntikkan di bawah perut hewan coba yaitu 2 ekor mencit (Mus muscullus)
dan diamati pada menit ke 15, 30, 60 dan 90 memberikan efek farmakodinamika
pada hewan coba tersebut. Pada mencit yang mempunyai berat badan 27 gram
dengan Vp 0,9 ml sebelum diberikan perlakuan sudah mengalami vasokontriksi
yang ditandai dengan warna telinga yang pucat, mata midriasis, piloereksi dan
takikardia. Pada percobaan ini menggunakan obat epinerfin, dimana obat ini
termasuk dalam golongan obat simpatis yang bekerja sebagai agonis adrenergik.
Obat Epinefrin dan Na-CMC efek yang didapatkan hewan coba (mencit) ketika
disuntikkan sampel obat yaitu Pada menit 90 mencit mengalami Miosis, Pada
menit 60 terdapat efek Midriasi, Diare dan Vasodilatasi. Pada menit ke 30 mencit
mengalami vasokontriksi, Piloereksi, serta Bradikardia. Dan pada menit ke 15
mencit mengalami efek Tremor, Grooming, Piloereksi dan Takikardia. Sesuai
dengan sampel obat pada kelompok 4, Epinefrin termasuk dalam golongan obat simpatis
(meningkatkan kerja organ tubuh). Lebih rincinya Epinefrin ada pada Agonis adrenergik
yang bekerja secara kerja langsung. Dimana, obat berikatan langsung dengan reseptor alfa
dan beta.
Percobaan kelima, pengujian obat propranolol pada hewan coba mencit
(Mus Muscullus) dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah efek
farmakodinamik dari obat propranolol dengan menggunakan parameter
pengamatan berupa grooming, salivasi, vasokontriksi, vasodilatasi, takikardia,
bradikardia, piloereksi dan diare dengan jangka waktu tertent terjadi pada mencit
dimenit ke 15, 30, 60 dan 90.Hewan coba yang digunakan pada praktikum ini
yaitu mencit (Mus Muscullus)sebanyak 2 ekor yang kemudian diberikan obat
propranolol secara oral. Pemberian obat propranolol menggunakan spoit dan
kanula melalui mulut mencit sebanyak 0,66 ml dan 0,76 ml. Propanolol adalah
suatu obat penghambat beta-adrenoseptor yang terutama digunakan untuk terapi
aritmia dan antiangina.Propanolol memiliki khasiat menghambat kecepatan
konduksi impuls dan mendepresi pembentukan fokus ektopik (efek hantaran yang
menyebabkan denyut abnormal). Obat ini mempunyai efek yang sangat kecil yang
tak perlu dikhawatirkan pada reseptor dan muskarinik, tetapi ia dapat menyekat
beberapa reseptor serotonin didalam otak, meskipun kepentingan klinisnya tidak
jelas. Obat ini tidak memiliki kerja agonis parsial yang lebih dideteksi pada
reseptor.Dengan demikian diketahui bahwa propanolol merupakan salah satu
golongan simpatolitik. Setelah pemberian obat propranolol pada mencit dan telah
dilakukan pengamatan untuk mencit yang pertama sebanyak 0,66 ml, pada menit
ke 15 mencit mengalami tremor/kejang dan vasodilatasi/pelebaran pembuluh
darah, pada menit ke 30 mencit mengalami midriasi/pelebaran pupil mata seperti
matanya akan keluar, vasokontriksi dan takikardia/meningkatnya denyut jantung
karena terjainya penyempitan pembuluh darah, pada menit ke 60 mencit
mengalami miosis, vasodilatasi dan takikardia dan pada menit ke 90 mencit
mengalami miosis, vasodilatasi/pembuluh darah melebar dan takikardia hal ini
terjadi dikarenakan obat propranolol itu termasuk dalam penghambat − 𝛽 yang
menghasilkan efek simpatis. Namun pada mencit kedua yang telah diberi obat
propanolol mengalami kematian setelah pemberian obat hal ini dikarenakan
pemberian obat pada mencit salah, obat tersebut tidak tepat masuk kedalam
tenggorokan mencit melainkan masuk ke saluran pernapasannya sehingga terjadi
kematian pada mencit tersebut, kurangnya pengetahuan, pengalaman dan kehati-
hatian menyebabkan hal itu terjadi.
KESIMPULAN

Dari praktikum diatas dapat di tarik kesimpulan :


1. dengan pemberian obat cendotropin (i.p) Pada mencit pertama dengan berat
25 gram, diperoleh hasil bahwa pada menit ke 15 terjadi takikardia atau
jantung berdetak kencang, pada menit ke 30 terjadi grooming, dan pada menit
ke 90 terjadi Miosis (mengecilnya pupil), vasokontriksi (menyempitnya
pembuluh darah), piloereksi, dan takikardia. Kemudian pada menit ke 90
terjadi Vasokontriksi, Piloereksi dan Brakikardia.
2. pemberian obat cendocarpin (i.p) yang bekerja secara agonis kolinergik dari
hasil pengamatan efek farmakodinamikanya sesuai dengan literatur yang ada
dari gejala-gejala yang diberikan mencit (Mus muscullus) tersebut.
3. Berdasarkan pengamatan dapat disimpulkan bahwa mencit dengan berat 29 gr
dengan Vp 0,9 mL ketika disuntikkan Epinefrin dan Na-CMC memberikan efek
takikardia, midriasis dan vasokontriksi.
Dari praktikum diatas dengan pemberian obat epinefrin (i.p) yang bekerja secara
agonis adrenergik dari hasil pengamatan efek farmakodinamikanya sesuai
dengan literatur yang ada dari gejala-gejala yang diberikan mencit (Mus
muscullus) tersebut.
4. Pemberian obat propranolol (oral) yang termasuk gologan
penghambat− 𝛽 yang menimbulkan efek simpatis, berdasarkan hasil
pengamatan pada mencit mengakibatkan terjadinya miosis, midriasi,
vasodilatasi, vasokontriksi, tremor dan takikardia.

Saran
Sebaiknya bahan-bahan yang digunakan dapat diperhatikan dengan baik agar
praktikum dapat berjalan dengan baik dan hasil yang didapatkan lebih akurat. Dan
asisten sebaiknya selalu mendampingi praktikan agar praktikan tidak melakukan
kesalahan saat melakukan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

Djamhuri, Agus, 2001. Sinapsis Farmakologi. Hipokrates : Jakarta

Gibson , John, 2002. Fisiologi dan Anatomi modern untuk perawat. Edisi 2, EGC
: Jakarta

Mycek, Mary. J. dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta:


Widya medika.

Pearee,C.,Evelyn, 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic, PT. Gramedia :


Jakarta

Sastradipradja,D, 2003. ‘’Penggunaan Heawan Coba Dalam Penilitian’’. Bogor :


Institut Pertanian Bogor.
Tjay, T.H. dan Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Elex Media
Kompoitindo Gramedia.
Tim Pengajar Farmakologi Toksikologi, (2015), Penuntun Praktikum
Farmakologi Toksikologi. Universitas Muslim Indonesia : Makassar
SKEMA KERJA

LAMPIRAN

Skema Kerja :

Hewan coba (mencit)

Cendrotropin Cendocarpin Epinefrin Epinefrin ( i.p ) Propanolol


( i.p )( ( i.p ) + (oral)
NaCMC (Oral)
Diamati pada menit ke 15, 30, 60 dan 90

Anda mungkin juga menyukai