Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN LENGKAP

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

OLEH :

KELOMPOK IV (EMPAT)

ASISTEN PENANGGUNG JAWAB

ST. CHADIJAH

FARMASI B

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

SAMATA – GOWA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makin tinggi suatu makhluk hidup berkembang, makin besar pula

tingkat kebutuhannya, dalam hal ini termasuk kebutuhan akan sistem

penghantaran informasi, sistem koordinasi, dan sistem pengaturan, di samping

kebutuhan akan organ pemasok dan organ sekresi.

Otak adalah sekumpulan sitem saraf yang paling berhubungan yang

mengatur aktifitasnya sendiri dan aktifitras satu sama lain dengan cara yang

dinamis dan kopleks. Didalam otak terdapat system saraf yang mengatur semua

informasi-informasi kedalam memori otak.

System saraf dibagi menjadi dua berdasarkan divisi anatomis: system

saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan medula spinalis, dan system saraf

perifer yang terdiri dari sel-sel saraf selain otak dan medulla spinalis yaitu

saraf-saraf yang masuk dan keluar dari SSP.

System saraf perifer, selanjutkan akan dibagi menjadi devisi eferen,

neuron yang membawa sinyal dari otak dan medulla spinalis menuju jaringan

perifer, dan divisi aferen yaitu neuron yang membawa informasi dari perifer

menuju SSP.

Obat yang menghasilkan efek teraupetik utamanya dengan cara

menyerupai atau mengubah fungsi system otonom yang di sebut obat-obat

otonom.

Adapun yang melatarbelakangi untuk melakukan percobaan ini yaitu

untuk mengetahui dan melihat secara langsung efek-efek yang ditimbulkan


oleh obat-obat tersebut pada sistem saraf otonom, maka kita menggunakan

hewan coba seperti mencit (Mus musculus). Dengan menggunakan hewan

tersebut maka kita dapat melihat efek yang terjadi misalnya vasodilatasi,

salivasi, urinasi dan lain-lain.

B. Maksud dan Tujuan Percobaan

1. Maksud Percobaan

Adapun maksud dari percobaan ini yaitu mengetahui defenisi dan

pembagian sistem saraf otonom, mengetahui fungsi sistem saraf otonom,

mengetahui penggolongan obat sistem saraf otonom serta menegtahui efek yang

ditimbulkan oleh obat-obat sistem saraf otonom.

2. Tujuan Percobaan

Adapun tujuan dari percobaan ini yaitu mahasiswa dapat mengetahui

defenisi serta pembagian sistem saraf otonom, mengetahui dan memahami fungsi-

fungsi sistem saraf otonom, mahasiswa dapat mengetahui serta memahami

penggolongan obat sistem saraf otonom serta mahasiswa dapat mengetahui efek

yang ditimbulkan oleh obat-obat sistem saraf otonom ketika diujikan pada hewan
coba mencit.

C. Prinsip Percobaan

Adapun prinsip percobaan ini adalah mencit yang telah ditimbang

dilakukan handling kemudian diinduksikan dengan Atropin Sulfat 0,25 mg/ml,

epinefrin 1 mg/ml, Na-CMC 1%, Pilokarpin HCL 1 mg/ml serta Propnolon HCL

1mg yang kemudian diamati tingkah laku dari hewn coba mencit.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Umum

Sistem saraf adalah suatu sistem yang saling bekerja sama untuk

mengelola suatu informasi sehingga akan menghasilkan suatu reaksi. System

saraf sama dengan sistem endokrin yaitu keduanya mengurus sebagian besar

pengaturan tubuh. Pada umumnya system saraf ini mengatur aktifitas tubuh

secara cepat (Setiadi, 2007).

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan

serta terdiri terutama dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf,

lingkungan internal dan stimulus eksternal dipantau dan diatur oleh

kemampuan khusus seperti iritabilitas, atau sensitifitas terhadap stim (Sloane,

2004)ulus, dan konduktifitas atau kemampuan untuk mentransmisi suatu

respon terhadap stimulus, diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama yaitu

input sensorik, aktivitas integrative dan output motorik (Sloane, 2004).

(Sulista, 2009)

Sistem saraf otonom adalah system saraf yang tidak dapat dikendalikan

oleh kemauan kita melalui otak. System saraf otonom mengendalikan beberapa

organ tubuh seperti jantung, pembuluh darah, ginjal, pupil mata, lambung dan

usus. System saraf ini dapat dipicu (induksi) atau dihambat (Inhibisi) oleh

senyawa obat (Sulista, 2009).

Reseptor-reseptor yang umum disebut reseptor prasinaps ditemukan

diseluruh system saraf pusat dan perifer. Istilah reseptor prasinaps

menunjukkan reseptor yang ditemukan pada sisi prasinaptik dari sinaps.


Reseptor-reseptor ini dirasakan memberikan umpan balik ke neuron mengenai

tingkat aktivitas pada sinaps. Aktivasi atau inhibisi reseptor ini dapat

memodulasi pelepasan neurotransmitter dari sinaps. Pada system saraf otonom,

reseptor prasinaps yang mendapatkan perhatian terbanyak adalah reseptor α2.

Aktivasi reseptor α2 prasinaps menurunkan pelepasan NE. pada dasarnya, bila

sejumlah NE telah dilepaskan ke dalam celah sinaps, reseptor prasinaps

diaktivasi untuk mengurangi pelepasan lebih banyak NE (Stringer, 2009).

Reseptor adalah molekul protein yang secara normal diaktivasi oleh

transmitor dan hormon. Terdapat empat jenis utama reseptor seperti di bawah

ini (Neal, 2006) :

1. Agonist (ligan)-gated channel terdiri dari subunit protein yang membentuk

pori sentral (misalnya reseptor nikotin, reseptor asam α-aminobutirat

(GABA)

2. G-protein coupled receptor (reseptor yang mengikat protein G)

membentuk suatu kelompok reseptor dengan tujuh heliks yang membentuk

membran. Reseptor ini berkaitan (biasanya) dengan respons fisiologis oleh

second messenger.

3. Reseptor inti untuk hormon steroid dan hormon tiroid terdspst dalam inti

sel dan mengatur transkripsi dan selanjutnya sintesis protein.

4. Kinase-linked receptor (reseptor terkait-kinase) adalah reseptor permukaan

yang mempunyai (biasanya) aktivitas tirosin kinase intrinsik. Yang

termasuk reseptor ini adalah reseptor insulin, sitokin, dan faktor

pertumbuhan.
Dalam sistem saraf otonom, diperlukan dua neuron untuk mencapai

organ target, yaitu neuron praganlionik dan neuron pascaganglionik. Semua

neuron praganglionik melepaskan asetilkolin sebagai transmiternya (Gilman,

2008)

Asetilkolin berkaitan dengan reseptor nikotinik pada sel pascaganglionik.

Serabut pascaganglionik parasimpatis melepaskan asetilkolin. Pada organ

target, asetilkolin berintraksi dengan reseptor muskarinik, dan sebagian besar

serabut pascaganglionik simpatis melepaskan nore (Gilman, 2008)

Penggolongan obat sistem saraf otonom terbagi atas (Mardjono, 2009):

a. Simpatomimetik (agonis adrenergik) yaitu obat yang efeknya menyerupai

efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis.

b. Simpatolitik (antagonis adrenergik) yaitu obat yang menghambat

timbulnya efek akibat aktivitas saraf simpatis.

c. Parasimpatomimetik (agonis kolinegik) yaitu obat yang efeknya

menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf

parasimpatis.

d. Parasimpatolitik (antagonis kolinergik) yaitu obat yang menghambat

timbulnya efek akibat aktivitas saraf parasimpatis.

Neurotransmitter pada neuron kolinergik meliputi 6 tahapan yang

berurut, empat tahapan pertama-sintesis, penyimpanan, pelepasan dan

pengikatan asetilkolin pada satu reseptor-diikuti kemudian tahap kelima,

penghancuran neurotransmitter pada celah sinaps (yaitu ruang antara ujung

akhir atau organ efektor), dan tahap keenam adalah daur ulang kolin (Harvey,

2009).
Obat-obat otonom adalah obat yang dapat memengaruhi penerusan

impuls dalam SSO dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan,

pembebasan, atau penguraian neurotransmitter atau memengaruhi kerjanya atas

reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ,

jantung dan kelenjar. Menurut khasiatnya, obat otonom dapat digolongkan

sebagai berikut (Tjay, 2007).

1. Zat-zat yang bekerja terhadap SSO, yakni :

a. Simpatomimetika (adrenergik), yang meniru efek dan perangsangan

SSO oleh misalnya noradrenalin, efedrin, isoprenalin dan amfetamin.

b. Simpatikolitika (adrenolitika), yang justru menekan saraf simpatis

atau melawan efek adrenergic, umpamanya alkaloida sekale dan

propranolol.

2. Zat-zat yang bekerja terhadap SP, yakni :

a. Parasimpatikomimetika (kolinergik) yang merangsang organ-organ

yang dilayani saraf parasimpatik dan meniru efek perangsangan oleh

asetilkolin, misalnya pilokarpin dan fisotigmin.

b. Parasimpatikolitika (antikolinergik) justru melawan efek-efek

kolinergik, misalnya alkaloid belladonna dan propantelin.

3. Zat-zat perintang ganglion, yang merintangi penerusan impuls dalam sel-

sel ganglion simpatis dan parasimpatis. Efek perintangan ini dampaknya

luas, antara lain vasodilatasi karena blockade susunan simpatis, sehingga

digunakan pada hipertensi tertentu, antihipertensiva. Sebagai obat

hipertensi zat-zat ini umumnya tidak digunakan lagi berhubung efek

sampingnya yang menyebabkan blockade pula dari SP (gangguan


penglihatan, obstipasi dan berkurangnya sekresi berbagai kelenjar).

Kebanyakan obat ini adalah senyawa ammonium kwarterner.

B. Uraian bahan dan Obat

1. Uraian bahan

a. Na-CMC (Dirjen POM, 1979: 401)


Nama resmi : NATRII CARBOXYMETHYLCELLULOSUM

Nama lain : Natrium karboksilmetilselulosa

Pemerian :
Serbuk atau butiran, putih atau kuning, tidak berbau

dan hampir tidak berbau serta higroskopik.


Kelarutan :
Mudah mendispersi dalam air, membentuk suspensi

koloidal, tidak larut dalam etanol (95%) P, dalam

eter P,dalam pelarut organik lain.


Berat molekul : 90000-700000.

Rumus struktur :

Kegunaan :
Sebagai perbandingan dengan obat yang lain.
Rumus molekul :
n [C6H7O2 (OH) 2OCH2COONa]
b. Aquadest (Dirjen POM, 1979 :96)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA

Nama lain : Aquadest, air suling.

Pemerian :
Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau, tidak

mempunyai rasa.
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup rapat.
Berat molekul : 18,02

Rumus struktur : H

O O

Rumus molekul :
H2O
Kegunaan :
Sebagai pelarut.
2. Uraian Obat

a. Atropin Sulfat (Ditjen POM, 2014: 190)

Nama resmi : ATROPINE SULFATE

Nama lain : Garam sulfat, atropine sulfat, monohidrat laH.

Pemerian : Hablur tidak berwarna, atau serbuk hablur, putih,

tidak berbau, mengembang diudara kering,

perlahan-lahan terpengaruh oleh cahaya.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

Berat molekul : 694,83

Rumus struktur : H

O O

Rumus molekul : (C17H23NO3)2H2SO4. H2O

Kegunaan : Sebagai obat sistem saraf pusat

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam

etanol, terlebih dalam etanol mendidih, mudah larut

dalam gliserin.

Golongan obat : kardiovaskular

indikasi : Tukak peptic, gastritis, hiperasiditas saluran cerna.

kontraindikasi : Glaukoma sudut tertutup, obstruksi saluran kemih

atau saluran cerna, asma, miastenia gravis, penyakit

hati atau ginjal.

Efek samping : Anti muskarinik, bradikardia, penurunan secret

bronchial, retensi urin, mulut kering dan kulit


kering.

Farmakokinetik : Aksi onset : cepat, absorpsi lengkap, terdistribusi

secara luas dalam badan, menembus plasenta,

masuk dalam air susu,menembus sawar darah otak,

metabolisme hepatik,ekskresi: urin

Farmakodinamik : Peningkatan tekanan intravaskular, mulut keris,

midriasis, mengantuk dan pusing

Interaksi obat : Efek antikolinergik meningkat dengan antihistamin,

butirofenon, fenotiazin, amantadin, antidepresen


trisiklik.

Dosis : Injeksi intravena 300-600 mcg, segera sebelum

induksi anesthesia, anak-anak 20 mcg atau

maksimal 600 mcg.

Mekanisme kerja : Atropine menghambat aktivitas kelenjar yang diatur

oleh sistem saraf parasimpatis. Hal ini terjaid

karena atropine adalah antagonis reversibel yang

kompetitif dari reseptor asetilkolin muskarinik.

b. Epinefrin (Dirjen POM, 2014:372)

Nama resmi : EPINEPHRINUM

Nama lain : Epinefrin

Pemerian : Serbuk hablur renik, putih atau putih kuning

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat berisi nitrogen,

terlindungi dari cahaya

Berat molekul : 183,21

Rumus molekul : C9H13NO3


Kegunaan : Simpatomimetik

Rumus struktur :

Kelarutan : Agar sukar larut dalam air; tidak larut dalam

etanol (95%) P dan dalam eter P, mudah

larut dalam larutan asam mineral, dalam


natrium hidroksida P dan dalam kalium

hidroksida P, tetapi tidak larut dalam larutan

ammonia dan dalam alkali karbonat.Tidak

stabil dalam alkali atau netral, berubah

menjadi merah jika terkena udara

Golongan obat : Adrenergic

indikasi : Pengobatan anafilaksis, berupa

bronkospasme akut atau eksaserbasi asma

yang berat.

kontraindikasi : Syok non anafilaksis, glaukoma sudut

tertutup, penggunaan bersama hidrokarbon

halogen dan siklopropan pada anestesi

umum, persalinan, tirotoksikosis dan

diabetes.

Efek samping : Angina, aritmia jantung, nyeri dada,

ansietas, pusing sakit kepala, insomnia,

tenggorokan kering, mual, muntah,


xerostimia, retensi urin akut.

Farmakokinetik : Epinefrin dapat menembus plasenta, dan

diekskresikan ke ASI. Epinefrin sebesar

50% akan menempel pada protein plasma.

Onset dari reaksi melalui intravena sangat

cepat dengan waktu paruh obat kurang lebih

5-10 menit. Epinefrin dimetabolisme di hati

dan jaringan melalui deaminasi oksidatif

dan dan O-metilasi diikuti dengan reduksi

atau konjugasi menggunakan asam

glukoronik atau sulfat. Lebih dari 90% dari

dosis intravena akan di ekskresikan melalui

urin sebagai metabolit

Farmakodinamik : Pada kardiovaskular epinephrine dapat

memperkuat dan mempercepat daya

kontraksi otot jantung (myocard) yang akan

menyebabkan curah jantung meningkat

sehingga mempengaruhi kebutuhan efek

oksigen dari otot jantung. Epinephrine juga

mengkontriksi arteri di kulit (vasokontriksi),

membran mukosa, dan visceral.

Interaksi obat : Harus digunakan hati-hati bersama obat

simpatomimetik lain karena kemungkinan

efek farmakodinamik yang aditif, yang

kemungkinan tidak diinginkan. Juga hati-

hati digunakan pada pasien yang menerima


obat-obat seperti: albuterol, dobutamin,
dopamin, isoproterenol, metaproterenol,

norepinefrin, fenilefrin, fenilpropanolamin,

pseudoefedrin, ritodrin, salmeterol dan

terbutalin.

Dosis : IV: 2-10 mcg/menit (1 mg dalam 250 mL

D5W atau 4 mcg/mL). Dosis sebanyak 20

mcg/menit jarang diperlukan.

Endotrakeal: 1 mg (10 mL 1: 10.000) sekali,

diikuti oleh 5 insufflations cepat.

Intrakardial: 0,3-0,5 mg (3-5 ml 1: 10.000)

dengan injeksi langsung ke ruang ventrikel

kiri sekali.

Mekanisme kerja : Pada kardiovaskuler Epinefrin dapat

memperkuat dan mempercepat curah jantung

meningkat sehingga mempengaruhi

kebutuha efek oksigen dari otot jantung juga

mengkontriksi arteri dikulit (vasokontriksi),

membran mukosa dan visceral. Selain itu,

juga mendilatasi pembuluh darah ke hati dan

otot rangka.

c. Pilokarpin HCL (Dirjen POM, 2014:1012)

Nama resmi : PILOCARPINE HYDROCHLORIDE

Nama lain : Pirokarpin monohidroklorida, pilokarpin

HCl.

Pemerian : Hablur, tidak berwarna, agak transparan,


tidak berbau, rasa agak pahit, higroskopis,

dan dipengaruhi oleh cahaya, bereaksi asam

terhadap kertas lakmus.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

Berat molekul : 244,72

Rumus molekul : C11H16N2O2.HCL

Kegunaan : Parasimpatomimetik

Rumus struktur :

Kelarutan : Mudah larut dalam air, mudah larut dalam

etanol, sukar larut dalam kloroform, tidak

larut dalam eter.

Golongan obat : Kolinergik

indikasi : Galukoma sudut terbuka kronis, (glaucoma

simple kronis), glaucoma susdut tertutup

akut, glaucoma sudut tertutup sinekia kronis

(setelah dilakukan iri, dektomi perifer),

gaalukoma sekunder akibat blok pupil dan

setelah operasi.

kontraindikasi : Glaucoma inflamasi, glaucoma malignan,

dan riwayat alergi.


Efek samping : Efek samping ocular bzruna keratitis

pungtata superfisisal. Spasme otot siliar

yang menyebabkan myopia, miosis,

kemungkinan retinal detachment,

progresifitas katarak dan toksisistas endotel

komea. Selain itu berkeringat, aktivitas

gastrointestinal yang meningkat,salivasi,

tremor, nyeri kepala, bradikardi, dan

hipotensi.

Farmakokinetik : Mula kerjanya cepat, efek puncak

terjadi antara 30-60 menit

dan berlangsung selama 4-8 jam.

Farmakodinamik : Pilocarpine hydrochloride adalah senyawa

kolinergik yang bekerja secara langsung

dengan efek parasimpatometik. Pilocarpine

bekerja dengan menstimulasi reseptor

muskarinik dan otot polos pada iris dan

kelenjar sekresi. Pilokarpin membuat otot

silier berkontraksi dan mengakibatkan

peningkatan tekanan pada scleral spur dan

membuka rongga trabecular meshwork

sehingga dapat meningkatkan aliran

pembuangan Aqueus Humour (AH).

Interaksi obat : Tidak dapat bercampur dengan

benzalkonium klorida.

Dosis : Pilokarpin HCL dalam sediaan 0,25%,


0,50%, 1%, 2%, 3%, 4%, 6%, 8% dan 10%
tetes mata. Diberikan 1-2 teteas, 3-4 kali

sehari.

Mekanisme kerja : Meningkatkan aliran keluar akuos karena

adanya kontraksi badan siliar. Hal itu

mengakibatkan penarikan tapis sklera dan

penguatan clamp trabekula. Adanya

glaucoma sudut tertutup, efek miotik dari

obat melepaskan blok pupil dan juga

menarik iris menjauh dari sudut bilik mata

depan. Obat ini meningkatkan aliran keluar

melalui trabekula.

d. Propranolol (Dirjen POM,2014:1067)

Nama resmi : PROPANOLOL HYDROCHLORIDE

Nama lain : Propanolol, 2-propanolol, propranolol HCL.

Pemerian : Serbuk putih atau hampir putih, tidak berbau

rasa pahit.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

Berat molekul : 295,80

Rumus molekul : C16H21NO2.HCl

Kegunaan : Simpatomimetik

Kelarutan : Larut dalam air, dan dalam etanol, sukar

larut dalam kloroform, praktis tidak larut


dalam eter.
Rumus struktur :

Golongan obat : Beta-blocker non-selektif

indikasi : Angina, Aritmia, Hipertensi, Pencegahan


Migrain

kontraindikasi : Penderita asma bronkial dan penyakit paru

obstruktif menahun yang lain. Penderita

asidosis metabolik (diabetes militus ).

Penderita dengan payah jantung termasuk

payah jantung terkompensasi dan yang

cadangan kapasitas jantung kecil.


Kardiogenik syok. Bila ada "atrio-

ventricular (A-V) blok " derajat 2 dan 3.

Efek samping : Kardiovascular : bradikardia, gagal jantung

kongestif, blokade A-V, hipotensi, tangan

terasa dingin, trombositopenia, purpura,

insufisiensi arterial. Susunan saraf pusat :

rasa capai, lemah dan lesu ( paling sering),

depresi mental/insomnia, sakit kepala,

gangguan visual, halusinasi. Gastrointesnial

: mual, muntah, mulas, epigastric distress,


diare, konstipasi ischemic colitis, flatulen.

Pernafasan : bronkospasme. Hematologik :

diskarasia darah (trombositopenia,

agranulositosis). Lain-lain: gangguan fungsi

seskual, impotensi, alopesia, mata kering,

alergi.

Farmakokinetik : Propranolol merupakan β-bloker yang

mudah larut dalam lemak. Semuanya

diabsorbsi dengan' baik (>90%) dari saluran

cerna, tetapi bioavaibilitasnya rendah (tidak

lebih dari 50%) karena mengalami

metabolisme lintas pertama yang ekstensif

di hati. Eliminasinya melalui metabolisme

dihati sangat ekstensif sehingga obat utuh

yang di eksresi melalui ginjal sangat sedikit

(10%). Mempunyai waktu eliminasi yang

pendek yakni berkisar antara 3-8 jam.

Farmakodinamik : Propranolol adalah suatu obat penghambat

beta adrenoseptor yang terutama digunakan

untu terapi aritma dan antianginal.

Propranolol memiliki khasiat menghambat

kecepatan konduksi impuls dan mendepresi

pembentukan fokus aktopik.

Interaksi obat : Aluminium hidrosida gel mengurangi

absorpsi Propranolol didalam usus.


Etanol memperlambat absorpsi Propranolol
Fenitoin, fenobarbital dan rifampin

mempercepat klirens Propranolol. Bila

diberikan bersama klorpromazin akan

menaikkan kadar kedua obat tersebut

didalam plasma.Klirens antipirin, lidokain

dan teofilin akan berkurang bila diberikan

bersama dengan Propranolol. Simetidin akan

mengurangi metabolisme Propranolol di

dalam hati, memperlambat eliminasi dan

meningkatkan kadar di dalam plasma.

Dosis : Angina : oral 10 - 20 mg, 3 - 4 kali sehari,

setiap 3 - 7 hari dosis dapat ditingkatkan.

Aritmia : oral 10 - 20 mg, 3 - 4 kali sehari,

dosis dapat ditingkatkan bila diperlukan.

Hipertensi : oral 20 mg, 3 -4 kali sehari atau

40 mg , 2 kali sehari, bila diperlukan dosis

dapat ditingkatkan. Migrain : oral 20 mg, 3 -

4 kali sehari, bila diperlukan dosis dapat

ditingkatkan.

Anak-anak :

Aritmia : oral 0,5 mg/kg BB perhari dibagi 3

- 4 kali pemberian. Hipertensi : 1 - 3 mg/kg

BB/hari dibagi 3 kali pemberian.

Mekanisme kerja : Beta bloker non selektif memblok secara

kompetitif respon terhadap stimulasi alfa

bloker dan beta bloker adrenergic yang akan


menghasilkan penurunan denyut jantung,
kontraktilitas jantung, tekanan darah dan

kebutuhan oksigen pada jantung.

3. Klasifikasi hewan

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus.


BAB III

METODE KERJA

A. Alat yang digunakan

Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini ,yaitu beaker glass,

erlenmeyer, kanula, labu takar, lab kasar, stopwatch dan spoit.

B. Bahan yang digunakan

Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah air suling,

atropine sulfat 0,25 mg/ml, epinefrin 1 mg/ml, handscoon, Na-CMC 1%,

Pilokarpin HCl 20 mg/ml, propranolol HCl 10 mg serta hewan coba (mencit).

C. Prosedur kerja

1. Penyiapan hewan coba

a. Diambil kandang mencit

b. Dipilih hewan coba berupa mencit sehat

c. Ditimbang mencit.

2. Pembuatan Na-CMC

a. Disiapkan alat dan bahan


b. Ditimbang Na-CMC sebanyak 1 gram

c. Dimasukkan aquadest dalam beaker glass, sebanyak 100 ml, lalu

panaskan.

d. Dimasukkan Na-CMC sedikit demi sedikit ke dalam beaker glass

sambal diaduk.

3. Pembuatan larutan obat epinefrin 1 mg/ml

a. Disiapkan alat dan bahan

b. Diambil 1 ml epinefrin

c. Dicukupkan hingga 10 ml dengan aquadest

d. Diambil 1 ml dari larutan dan cukupkan lagi hingga 10 ml.

4. Pembuatan obat propranolol HCl 10 mg/ml

a. Disiapkan alat dan bahan

b. Ditimbang 20 tablet propranolol HCl dan tentukan besra rata-rata

tablet.

c. Digerus tablet hingga halus dalam lumpang

d. Ditimbang 81,89 mg dan campur dengan 10 ml Na-CMC 1 %.

5. Pembuatan larutan obat pilokarpin HCl 20 mg/ml

a. Disiapkan alat dan bahan

b. Diambil 1 ml pilokarpin

c. Dicukupkan hingga 10 ml dengan aquadest

d. Diambil 1 ml dari larutan tersebut dan dcukupkan hingga 10 ml.

6. Perlakuan hewan coba

a. Disiapkan kanula dan mencit

b. Dimasukkan handling pada mencit


c. Dimasukkan larutan obat kedalam spoit oral (kanula)

d. Diinduksikan larutan obat secara oral ke mencit

e. Diamati mencit selama 60 menit dan catat perlakuan mencit.

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

A. Tabel Pengamatan

1. Na-CMC

Berat Pengamatan pada mencit


Pengamatan
mencit 10 20 30 40 50 60
Diare 20 g - - - - - -
Salivasi - - - - - -
Grooming +++ +++ - - - -
Tremor - - - - - -
Diuresis - - - - - -
Straub - - - - - -
Vasodilatasi - - - - - -
Vasokontriksi - - - - - -
Bronkokontriksi - - - - - -
Bronkodilatasi - - - - - -
Eksoftalmus - - - - - -

2. Atropine sulfat

Berat Pengamatan pada mencit


Pengamatan
mencit 10 20 30 40 50 60
Diare 20 g ++ + - - - -
Salivasi - - - - - -
Grooming + ++ ++ ++ + +
Tremor ++ ++ + + + +
Diuresis ++ + - + - -
Straub +++ + + ++ +++ +
Vasodilatasi + + - - - -
Vasokontriksi - - - - - -
Bronkokontriksi - - - - - -
Bronkodilatasi - - - - - -
Eksoftalmus - - - - - -

3. Propanolol

Berat Pengamatan pada mencit


Pengamatan
mencit 10 20 30 40 50 60
Diare 20 g - - - - - -
Salivasi - - - - - -
Grooming +++ - ++ + + +
Tremor + ++ ++ - + ++
Diuresis - - - - - -
Straub + + - - - -
Vasodilatasi - + ++ + ++ +
Vasokontriksi - - + + +++ +
Bronkokontriksi - - - - - -
Bronkodilatasi - - - - - -
Eksoftalmus ++ + - - - -

4. epinefrin

Berat Pengamatan pada mencit


Pengamatan
mencit 10 20 30 40 50 60
Diare 20 g - - - - - -
Salivasi - - - - - -
Grooming + + + + + +
Tremor - - - - - -
Diuresis - - - - - -
Straub - - - - - -
Vasodilatasi - - - - - -
Vasokontriksi - - - - - -
Bronkokontriksi - - - - - -
Bronkodilatasi - - - - - -
Eksoftalmus - - - - - -

5. Propranolol + epinefrin

Berat Pengamatan pada mencit


Pengamatan
mencit 10 20 30 40 50 60
Diare 20 g - - - - + -
Salivasi - - - - - -
Grooming +++ +++ - - ++ -
Tremor +++ ++ - - ++ +
Diuresis - - - - - -
Straub ++ - - - - -
Vasodilatasi ++ - - + + +
Vasokontriksi - + + - - -
Bronkokontriksi + + + - - -
Bronkodilatasi - - - + + +
Eksoftalmus - - - - + +

Keterangan :

+ : kadang-kadang

++ : sering

+++ : sering sekali

B. Pembahasan

Sistem saraf otonom secara konvensional dibagi menjadi saraf pusat (SSP,

otak, spinalis) dan sistem saraf perifer (jaringan neuron diluar SSP), bagian

motorik (eferen) sistem saraf. Dapat dibagi menjadi 2 yaitu autonomic dan

somatik. Sistem saraf otonom (SSO) umumnya tidak bergantung (autonom) yaitu

aktivitasnya tidak berada dibawah control kesadaran langsung (Katzung, 2012).


Pada percobaan ini dilakukan pengujian efek obat-obat Sistem Saraf

Otonom terhadap organ tubuh mencit. Obat-obat yang digunakan adalah,

Epinefrin, Na-CMC, Atropin Sulfat, serta Propranolol yang akan diujikan pada

hewan coba mencit yang memiliki anatomi yang hampir sama dengan manusia.

Pada percobaan ini ada 4 jenis obat yang diinduksikan ke menict yang

pertama yaitu Na-CMC dimana mencit hanya merasakan grooming pada detik ke

10-20 . pada obat Atropin sulfat mencit sering sekali mengalami diare pada menit

10-20 menit, grooming selama 60 detik dan juga mengalami tremor. Mencit pun

menampakkan diuresis pada 10 detik ,20 detik dan 40 detik. Mencit pun

mengalami straub pada detik ke 10,20,30 sampai 60 detik serta mengalami

vasodilatasi selama 20 detik. Pada obat ke 3 yaitu propranolol mencit mengalami

grooming yang sering pada detik ke 10, pada 30 detik berlangsung grooming pun

masih terjadi sampai 60 detik. Tremor pun dialami oleh mencit pada 60 detik

kecuali detik ke 40 mencit tidak menampakkan tremor. Straub pada detik ke 10,

20, 30 sampai 60. Serta mengalami vasodilatasi selama 20 detik. Pada obat ke tiga

yaitu propranolol mencit mengalami grooming yang sering pada detik ke 10.

Detik ke 30 berlangsung grooming pun masih terjadi sampai 60 detik. Tremor pun
dialami oleh mencit pada 60 detik kecuali detik ke 40 mencit tidak menampakkan

tremor. Straub pada detik ke 10 dan 20 serta vasodilatasi pada detik ke 20-60.

Mekanisme kerja Atropin yaitu pada mata: atropine menyekat semua

aktivitas kolinergik pada mata sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil),

mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya dan sikloplegia (ketidakmampuan

memfokus untuk penglihatan dekat).

Jika dibandingkan dengan literature dimana Na-CMC adalah control dalam

praktikum sehingga efek yang dilihat tidak begitu jelas meninjol dimana pada

praktikum tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh.


Pada pemberian propanolol yang merupakan obat untuk pasien tekanan

darah tinggi. Mekanisme kerja adalah menghambat penyempitan pembuluh darah,

hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh.

Pada obat epinefrin yang merupak obat untuk pasien syok yang

menyebabkan bronkodilatasi dan peningkatan tekanan darah hal ini tidak sesuai

dengan hasil yang diperoleh.

Pada obat atropine sulfat yang merupakan obat untuk pasien operasi

menunjukkan produksi saliva dan peningkatan denyut jantung. Hal ini tidak

sesuai dengan percobaan yang dilakukan.

Sedangkan untuk kombinasi epinefrin dan propanolol untuk melihat efek

dari kedua obat tersebut yang lebih mendominasi. Dimana propranolol

menghambat kerja epinefrin. Hal ini tidak sesuai karena pada mencit masih

mengalami bronkodilatasi.

Adapun faktor kesalahan yaitu dalam pembuatan stok obat yang kurang

akurat dan kemungkinan terkontaminasi dengan bahan lain sehingga hasil yang

diperoleh kurang akurat.

Hubungan percobaan ini dengan farmasi adalah dalam hal peninjauan obat
terhadap tubuh atau mengetahui mekanisme ADME obat serta efek yang

dihasilkan dari obat tersebut.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan dapat simpulkan bahwa pemberian

Na-CMC secara peroral terhadap mencit menyebabkan grooming pada mencit.

Untuk atropine sulfat, propranolol serta pengkombinasian propranolol dan

epinefrin memberikan efek terhadap sistem saraf otonom pada mencit.

Obat-obat golongan agonis adrenergik pada sistem saraf simpatis memiliki

efek farmakodinamiknya yang sama dengan obat-obat golongan antagonis

kolinergik pada sistem saraf parasimpatis. Sedangkan, obat-obat golongan agonis

kolinergik pada sistem saraf parasimpatis sama efek farmakodinamiknya dengan

obat-obat golongan antagonis kolinergik pada parasimpatis.


DAFTAR PUSTAKA

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI.

Gilman, G. (2008). Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta: EGC.

Harvey. (2009). Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta: EGC.

Katzung. (2012). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10 . Jakarta : EGC.

Mardjono, S. (2009). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Neal. (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta: Erlangga.

Setiadi. (2007). anatomi dan fisiologi manusia. yogyakarta: graha ilmu.

Sloane. (2004). Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Stringer. (2009). Konsep Dasar Farmakologi . Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC .

Sulista, d. (2009). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologik


dan Teraupetik.
Tjay. (2007). Obat-obat Penting . Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
LAMPIRAN
A. Skema kerja

Disiapkan alat dan bahan

Dilakukan handling pada mencit

Mencit

Na-CMC Popranolol Atropine sulfat Epinefrin pilokarpin

Amati pupil mata, diare, dieresis, tremor, grooming,


vasokontriksi, vasodilatasi, salvias, straub,
eksoftalamus, keringat.
Pengamatan pada menit ke 10, 20, 30, 40, 50, dan 60

Catat hasil pada tabel pengamatan

B. Gambar

Percobaan : Sistem Saraf Otonom Percobaan : Sistem Saraf Otonom


Praktikum : Farmakologi Dan Praktikum : Farmakologi Dan
Toksikologi Toksikologi
Laboratorium : Anatomi Fisiologi Laboratorium : Anatomi Fisiologi

Ket : pemberian injeksi Na-CMC pada Ket : pemberian injeksi Epinefrin pada
mencit. mencit.

Percobaan : Sistem Saraf Otonom


Praktikum : Farmakologi Dan
Toksikologi
Laboratorium : Anatomi Fisiologi
Percobaan : Sistem Saraf Otonom
Praktikum : Farmakologi Dan
Toksikologi
Laboratorium : Anatomi Fisiologi

Ket : pemberian injeksi Propanolol pada


mencit.

Percobaan : Sistem Saraf Otonom


Praktikum : Farmakologi Dan
Ket : pemberian injeksi Atropin sulfat pada
Toksikologi
mencit.
Laboratorium : Anatomi Fisiologi

Ket : pemberian injeksi Pilokarpin pada


mencit.

Anda mungkin juga menyukai