Anda di halaman 1dari 14

Efek Obat Sistem Saraf Otonom

(Pengaruh Obat Kolinergik dan Antikolinergik


Terhadap Kelenjar Saliva dan Mata)

Tujuan Percobaan
1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam
pengendalian fungsi vegetative tubuh.
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergeik atau antikolinergik pada
neuroefektor parasimpatis.

Teori Dasar
Sistem saraf otonom merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang mempersarafi organ-
organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar. Sistem ini melakukan
fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi
gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa
fungsi lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat
(misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula,
demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat
setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan
SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan
terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian,
SSO merupakan komponen dari refleks visceral.
Dua perangkat neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah:
(1) Neuron aferen, atau sensorik
Neuron aferen mengirim impuls ke SSP, dimana impuls itu diinterprestasikan.
(2) Neuron eferen, atau motorik.
Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari otak dan meneruskan impuls itu melalui
medulla spinalis ke sel-sel organ efektor. Impuls dihantarkan dari neuron ke neuron oleh
neurotransmitter. Jalur eferen dalam SSO dibagi menjadi dua cabang: simpatis dan
parasimpatis, yang keseluruhannya disebut sebagai sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis. Sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis bekerja pada organ-
organ yang sama, tetapi menghasilkan respons yang berlawanan agar tercapainya
homeostasis (keseimbangan). Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan
parasimpatis dapat berupa respons yang merangsang dan menekan.

- Sistem Saraf Simpatis


Sistem saraf simpatis juga dikenal sebagai sistem saraf adrenergik karena menggunakan
adrenalin atau noradrenalin (norepinefrin, NE) sebagai neurotransmitternya. Obat-obat
yang menyerupai efek dari norepinefrin disebut sebagai obat adrenergik, atau
simpatomimetik. Obat-obat itu juga dikenal dengan nama agonis adrenergik karena
memulai respons pada tempat reseptor adrenergik. Obat-obat yang menghambat efek
norepinefrin disebut sebagai penghambat adrenergik, atau simpatolitik. Obat ini dikenal
juga dengan nama antagonis adrenergik karena mencegah respons pada tempat reseptor.
Ada tiga jenis sel-sel organ reseptor adrenergik: alfa, beta-1 dan beta-2. NE dilepaskan
dari ujung saraf adrenergik dan merangsang reseptor sel untuk menghasilkan suatu
respons.
- Sistem Saraf Parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis juga dikenal sebagai sistem kolinergik karena neurotransmitter
yang terdapat pada ujung neuron yang mempersarafi otot adalah asetilkolin (AK). Obat-
obat yang menyerupai efek dari asetilkolin disebut sebagai obat kolinergik, atau
parasimpatomimetik. Obat-obat itu juga dikenal dengan nama agonis kolinergik karena
memulai respons kolinergik.
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan saraf otonom,
mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ
otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil.
Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom
dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon
tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik. Obat otonom mempengaruhi transmisi
neurohumoral dengan cara menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa
kemungkinan pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu :
1. Hambatan pada sintesis atau penglepasan transmitor
- Metiltirosin melalui penghambatan tirosin hidroksilase, metildopa menghambat dopa

dekarboksilase -> memblok sintesis NE.

- Hemikolinium menghambat ambilan kolin kedalam ujung saraf -> hambat sintesis
ACh.
2. Menyebabkan pelepasan transmitor
- Toksin botulinus/tetanus menghambat pelepasan Ach, guanetidin, dan bretilium
menghambat pelepasan NE.
- Racun laba-laba black-widow menyebabkan pelepasan Ach (eksositosis) disusul
dengan blokade.
3. Ikatan dengan reseptor
Agonis dan antagonis adrenergik dan kolinergik.
4. Hambatan destruksi transmitor
- Kokain dan antidepresi trisiklik menghambat ambilan kembali NE.
- Fisostigmin hambat asetilkolinesterase -> hambat destruksi Ach.

- Tranilsipromin menghambat MAO -> hambat destruksi NE.


Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem
saraf otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang mempengaruhi sistem saraf simpatik :
a. Simpatomimetik/ adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf
simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya : efedrin, epinefrin, norepinefrin,
isoprenalin, dopamine dan lain-lain.
b. Simpatolitik/ adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek adrenergic. Contohnya alkaloida sekale, propanolol,
asebutolol, tolazolin, fentolamin, atenolol dan lain-lain.
2. Obat yang mempengaruhi sistem saraf parasimpatik :
a. Parasimpatomimetik/ kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin. Penggolongan Kolinergik :
1) Ester kolin: tidak digunakan pengobatan (efek luas dan singkat), meteorismus,
(kembung), retensio urine, glaukoma, paralitic ileus, intoksikasi atropin/ alkaloid
beladona, faeokromositoma.
2) Antikolinesterase: atonia otot polos (pasca bedah, toksik), miotika, diagnosis dan
pengobatan miastemia gravis (defisiensi kolinergik sinap), penyakit Alzheimer
(defisiensi kolinergik sentral)
3) Alkaloid Tumbuhan: untuk midriasis (pilokarpin)
4) Obat Kolinergik Lain: digunakan untuk memperlancar jalanya kontras radiologik,
mencegah dan mengurangi muntah (Metoklopramid)
b. Parasimpatolitik/ antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek kolinergik. Penggolongan Obat Antikolinergik :
1) Antikolinergik klasik (alkaloid belladonna, atropine sulfat dan skopolamin)
2) Antikolinergik sintetik (Propantelin)
3) Antikolinergik-antiparkisonisme (triheksifenidil hidroklorida, prosiklidin,
biperiden dan benztropin)
Dua kelompok obat yang memengaruhi sistem saraf parasimpatis adalah
(1) Kolinergik (parasimpatomimetik)
Kolinergik atau parasimpatomimetik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan
efek yang sama dengan stimulasi saraf parasimpatis, karena melepaskan neurohormon
asetilkolin (ACh) di ujung-ujung neuronnya. Tugas utama saraf parasimpatis adalah
mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya
berfungsi asimilasi. Bila neuron saraf parasimpatis dirangsang, timbul sejumlah efek
yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti:
1. Stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah
dan getah lambung (HCl).
2. Sekresi air mata.
3. Memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi,
dan penurunan tekanan darah.
4. Memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan
sekresi dahak diperbesar.
5. Kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
6. Kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin.
7. Dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan
menstimulasinya, dan lain-lain.

Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner
dari saraf parasimpatis, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian SSP yang disebut
sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat
dibagi menjadi dua bagian, yakni:
1. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu
suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor
muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan
studi ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas
reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai
dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos,
otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor
muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel
parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos dan jantung, dan
reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja
muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi
dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (Aprilia, 2010).
2. Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas
lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik,
namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat
di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan
neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik
yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda
dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh,
reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan
reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin.

Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh
asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini
ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama
digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan
miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme
akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk
memfokus suatu objek juga akan mengkontriksi pupil mata. Pilokarpin juga merupakan
salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan
saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian. Pilokarpin adalah obat
terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma
bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman
trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turun dengan segera
akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung sekitar sehari
dan dapat diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofat dan ekotiofat,
bekerja lebih lama lagi. Di samping kemampuannya dalam mengobati glaukoma,
pilokarpin juga mempunyai efek samping dimana pilokarpin dapat mencapai otak dan
menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan.

(2) Antikolinergik (parasimpatolitik)


Obat-obat yang menghambat kerja asetilkolin dengan menempati reseptor-reseptor
asetilkolin disebut dengan antikolinergik atau parasimpatolitik. Nama lain untuk
antikolinergik adalah agen-agen penghambat kolinergik, agen-agen antiparasimpatis,
agen-agen antimuskarinik, atau antispasmodic. Jaringan tubuh dan organ utama yang
dipengaruhi oleh kelompok obat antikolinergik ini ialah jantung, saluran pernapasan,
saluran GI, kandung kemih, mata dan kelenjar eksokrin. Dengan menghambat saraf-saraf
parasimpatis, sistem saraf simpatis (adrenergik) menjadi dominant. Obat-obat
antikolinergik dan adrenergik menghasilkan banyak respons yang sama.
Obat-obat antikolinergik dan kolinergik mempunyai efek yang berlawanan. Respon
utama dari antikolinergik adalah menurunkan motilitas GI, mengurangi salivasi, dilatasi
pupil mata (midriasis), dan meningkatkan denyut nadi. Efek-efek lain dari antikolinergik
adalah menurunkan kontraksi kandung kemih, yang mengakibatkan retensi urin, dan
mengurangi rigiditas dan tremor yang berkaitan dengan eksitasi neuromuscular.
Antikolinergik juga dapat bekerja sebagai antidote terhadap toksisitas yang disebabkan
oleh penghambat kolinesterase serta minum organofosfat.

Reseptor-reseptor muskarinik, yang merupakan reseptor kolinergik, berperan dalam


respons jaringan dan organ terhadap antikolinergik, karena antikolinergik menghambat
kerja asetilkolin dengan menempati tempat reseptor-reseptor ini. Obat-obat
antikolinergik dapat menghambat efek parasimpatomimetik yang bekerja langsung,
seperti betanekol dan pilokarpin, dan dapat menghambat parasimpatomimetik yang
bekerja tidak langsung, seperti fisostigmin dan neostigmin.

Atropin sulfat, turunan pertama dari tanaman beladon (Atropa belladonna) dan
dimurnikan pada tahun 1831. Atropin bekerja pada reseptor muskarinik, tetapi hanya
sedikit memengaruhi reseptor nikotinik. Atropin memiliki afinitas kuat terhadap reseptor
muskarinik dimana obat ini terikat secara kompetitif sehingga mencegah asetilkolin
terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik
baik di sentral maupun di saraf tepi. Kerja obat ini berlangsung sekitar 4 jam, kecuali jika
diteteskan ke dalam mata maka kerjanya bahkan sampai berhari-hari. Atropin
menghambat M. contrictor pupilae dan M. ciliaris lensa mata sehingga menyebabkan
midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis mengakibatkan
fotofobia sedangkan sklopegia menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat.
Sesudah pemberian 0,6 mg atropine SC pada mulanya terlihat efek terhadap kelenjar
eksokin terutama hambatan saliva serta bradikardi sebagai hasil rangsangan N. vagus.
Midriasis baru terlihat dengan dosis yang lebih tinggi (>1 mg). Mula timbulnya midriasis
tergantung dari besarnya dosis dan hilangnya lebih lambat dibandingkan hilangnya efek
terhadap kelenjar air liur. Pemberian lokal pada mata menyebabkan perubahan yang
lebih cepat dan berlangsung lama sekali (7-12 hari). Hal ini disebabkan atropin sukar
dieliminasi dari cairan bola mata. Midriasis oleh atropine dapat diatasi oleh pilokarpin,
eserin atau DFP. Tekanan intraocular pada mata yang normal tidak banyak mengalami
perubahan tetapi pada penderita glaucoma, pengeluaran cairan intraokular akan
terhambat (terutama pada glaucoma sudut sempit) sehingga dapat meningkatkan tekanan
intraokular. Hal ini disebabkan dalam keadaan midriasis, saluran schlemm yang terletak
di sudut bilik depan mata menyempit sehingga terjadi bendungan cairan bola mata.
Atropin berguna sebagai pengobatan prabedah untuk mengurangi sekresi salivasi,
sebagai obat antispasmodik untuk mengobati tukak peptik karena merelaksasi otot-otot
polos saluran GI dan mengurangi peristaltik, dan untuk meningkatkan denyut jantung
bila terjadi bradikardia. Tetapi, jika seorang klien sedang memakai atropin atau obat
yang menyerupai atropin (antihistamin) untuk jangka panjang, maka dapat terjadi efek
samping.

Alat, Bahan dan Prosedur


1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva
Hewan Coba Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg
- Diazepam 5 mg/70 kg BB manusia secara IV
Obat - Pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM
- Atropin SO4 0,25 mg/kg BB kelinci secara IV
Alat Spuit injeksi 1 ml, timbangan hewan, corong gelas,
beaker glass, gelas ukur
Prosedur :
1) Siapkan kelinci.
2) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci.
3) Sedasikan kelinci dengan Diazepam 5 mg/ 70 kg BB manusia secara IV
4) Suntikkan kelinci dengan pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM.
5) Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCl dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva
yang ditampung.
6) Setelah lima menit, suntikkan atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV.
7) Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat atropin SO 4 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva
yang ditampung.

2. Kolinergik dan Antikolinergik Mata


Hewan Coba Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg
- Tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
Obat - Tetes mata atropin SO4 sebanyak 3 tetes
- Larutan NaCl 0,9%
Alat Senter, loupe, penggaris
Prosedur :
1) Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan.
2) Sebelum pemberian obat; amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram
dan pada penyinaran dengan senter.
3) Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
Mata kanan dan Mata kiri : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
4) Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.
5) Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
6) Uji respon refleks mata.
7) Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropin SO4.
8) Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
9) Catat dan tabelkan pengamatan.
10) Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua
mata kelinci.
Hasil
1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva
Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi
Volume saliva
yang ditampung
Pilokarpin HCl 8,0 mL
Efek Obat selama 5 menit
Sistem Saraf (ml)
Kelinci
Otonom pada Volume saliva
Kelenjar Saliva yang ditampung
Atropin SO4 2,1 mL
selama 5 menit
(ml)
Perhitungan
Perhitungan Dosis Obat :
Berat Badan Kelinci = 1 Kg
Sediaan obat diazepam 10 mg/50 mL
Sediaan obat pilokarpin HCl 20 mg/mL
Sediaan obat atropin SO4 10 mg/mL
- Diazepam (5 mg/70 kg BB manusia)
Faktor konversi manusia 70 kg terhadap kelinci 1,5 kg = 0,07
Konversi Dosis = 5 mg × 0,07 = 0,35 mg/ BB 1,5 kg
1 kg
Dosis = x 0,35 mg = 0,23 mg
1, 5 kg
0 ,23 mg
Volume Pemberian = x 50 mL = 1,15 mL
10 m g
- Pilokarpin HCl (5 mg/kg BB kelinci)
Faktor konversi kelinci 1,5 kg terhadap kelinci 1,5 kg = 1,0
Konversi Dosis = 5 mg × 1,0 = 5 mg/ BB 1,5 kg
1 kg
Dosis = x 5 mg = 3,33 mg
1, 5 kg
3 ,33 mg
Volume Pemberian = x 1 mL = 0,16 mL
20 mg
- Atropin SO4 (0,25 mg/kg BB kelinci)
Faktor konversi kelinci 1,5 kg terhadap kelinci 1,5 kg = 1,0
Konversi Dosis = 0,25 mg × 1,0 = 0,25 mg/ BB 1,5 kg
1 kg
Dosis = x 0,25 mg = 0,16 mg
1, 5 kg
0 ,16 mg
Volume Pemberian = x 1 mL = 0,016 mL
10 mg

2. Kolinergik dan Antikolinergik Mata


Percobaan Bahan Efek Diameter Pupil Mata
Cahaya suram (cm) 0,8
Cahaya senter (cm) 0,6
Mata
Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm) 0,7
Kanan
Berkedip, pupil
Kelinci Respon refleks mata
Efek Obat mengecil
Sistem Saraf Setelah pemberian atropin SO4 (cm) 0,8
Otonom pada Cahaya suram (cm) 0,7
Mata Cahaya senter (cm) 0,5
Mata Kiri Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm) 0,5
Kelinci Berkedip, pupil
Respon refleks mata
mengecil
Setelah pemberian atropin SO4 (cm) 0,6

Pembahasan
Sistem saraf otonom bekerja pada otot polos dan kelenjar yang tidak dapat dikendalikan.
Fungsi SSO adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom seperti jantung,
saluran gastrointestinal (GI), mata, kandung kemih, pembuluh darah, kelenjar, paru-paru dan
bronkus. SSO dibagi 2 : Susunan Saraf Simpatik (Adrenergik) dan Susunan Saraf
Parasimpatik (Kolinergik). Pada sistem saraf parasimpatis ada dua kelompok obat yang
memengaruhi yaitu kolinergik (parasimpatomimetik) dan antikolinergik (parasimpatolitik).
Percobaan ini bertujuan untuk memahami pengaruh obat sistem saraf otonom dalam
pengendalian fungsi. Fungsi vegetatif tubuh dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi
aktivitas obat kolinergik dan antikolinergik pada neuroefektor parasimpatik.
Pada percobaan pertama diujikan obat kolinergik dan antikolinergik terhadap kelenjar
saliva. Terlebih dahulu kelinci disedasikan dengan diazepam agar kelinci tidak mengalami
banyak pergerakan yang mana mekanisme kerja dari diazepam potensiasi inhibisi neuron
dengan asam gamma amninobitirat (GABA) sebagai mediator pada SSP. Pada pemberian
diazepam diberikan melalui intravena yang mana disuntikan melalui IV (Intra Vena)
sebanyak 1,15 mL melalui telinga kelinci karena efek yang akan ditimbulkan akan lebih cepat
dari pada rute yang lain. Obat langsung masuk ke pembuluh darah tanpa melalui proses
absorbsi sehingga efek sedasi yang ditimbulkan cepat. Ditunggu beberapa saat sekitar 15
menit sampai kelinci tenang kemudian diberikan Pilokarpin HCl dengan rute IM (Intra
Muskular) sebanyak 0,16 mL di kaki kelinci, efek pilokarpin HCl dapat menyebabkan
percepatan jantung dan mengaktifkan kelenjar pada tubuh seperti kelenjar saliva. Amati saat
muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCl dan tampung saliva yang diekskresikan kelinci ke
dalam beaker glass selama lima menit, lalu ukur volume saliva yang ditampung. Kelinci yang
disuntikkan pilokarpin HCl mengeluarkan liur yang banyak dimana menurut teori pilokarpin
dapat merangsang kelenjar saliva, sehingga air liur yang keluar banyak/mengalami
hipersalivasi. Hasil volume saliva yang ditampung selama 5 menit didapatkan 8,0 mL. Hasil
percobaan dengan obat kolinergik yaitu pilokarpin sesuai dengan teori. Karena obat
kolinergik melepaskan neurohormon asetilkolin yang membuat rangsangan sekresi kelenjar
ludah menjadi hipersalivasi (salivasi banyak).
Kemudian setelah 5 menit diberikan Atropin SO4 dengan rute IV sebanyak 0,016 mL
kepada kelinci, obat Atropin SO4 ini termasuk ke dalam golongan antikolinergik
simpatomimetik yang berpengaruh pada Sistem Saraf Otonom. Efek atropin SO 4 pada saluran
cerna dimana mengurangi sekresi air liur, jadi pemberian atropin dilakukan agar produksi
saliva menurun, setelah pemberian atropin SO4 pada volume saliva yang di tampung selama 5
menit didapatkan hasil 2,1 mL. Hasil yang didapatkan dari atropin SO 4 obat antikolinergik
sesuai dengan teori. Karena atropin SO4 memblokade asetilkolin sehingga memberikan efek
yang membuat kelenjar saliva tidak memproduksi air liur yang banyak/berhenti sehingga
menjadi sedikit. Dapat dibandingkan pada pemberian pilokarpin HCl saliva yang dikeluarkan
8,0 mL kemudian setelah pemberian atropin SO4 menurun volume salivanya menjadi 2,1 mL.
Pada percobaan kedua diujikan obat kolinergik dan antikolinergik terhadap mata kelinci.
Sebelum dilakukan pengamatan, digunting terlebih dahulu pada mata kelinci agar tidak
mengganggu pengamatan karena bulu mata kelinci cukup panjang. Kemudian letakkan
kelinci pada tempat gelap seperti dikolong meja, ukur pupil mata pada masing-masing mata
kanan dan kiri menggunakan penggaris, pada cahaya suram didapatkan hasil 0,8 cm dan 0,7
cm kemudian disenterkan cahaya pada mata kelinci didapat ukuran pupil mata yaitu 0,6 cm
dan 0,5 cm. Kemudian diberikan pilokarpin HCl secara topikal sebanyak 3 tetes, diratakan
hingga tetesannya masuk semua kedalam mata kelinci, tutup kelopak mata kelinci selama 1
menit, lalu ukur pupil mata kanan dan kiri didapatkan hasil 0,7 cm dan 0,5 cm, maka pupil
mata mengalami miosis (pupil mata mengecil). Dilakukan respon refleks mata dengan cara
pura-pura ingin menusuk mata kelinci, didapatkan mata kelinci yang berkedip. Maka refleks
mata kelinci masih bagus. Kemudian diberikan obat atropin SO 4 secara topikal sebanyak 3
tetes pada mata kanan dan kiri, diratakan hingga tetesannya masuk semua kedalam mata
kelinci, tutup kelopak mata kelinci selama 1 menit, lalu ukur pupil mata kanan dan kiri
didapatkan hasil 0,8 cm dan 0,6 cm, maka pupil mata mengalami midriasis (pupil mata
melebar). Percobaan yang dilakukan pada mata kelinci mendapatkan hasil yang sesuai
dengan teori. Diameter pupil setelah diberikan pilokarpin menjadi lebih kecil (mengalami
miosis). Hal ini dikarenakan pilokarpin termasuk golongan agonis
kolinergik/parasimpatomimetik dimuskarinik yaitu obat yang menduduki reseptor dan
menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitter kolinergik Serta salah satu dampak
dari farmakodinamik pilokarpin dimata yaitu sebagai kontriktor pupil. Pada atropin SO 4
diameter pupil mengalami pelebaran (midriasis). Hal ini disebabkan karena atropin SO 4
termasuk golongan antagonis kolinergik (parasimpatolitik) yang merupakan antagonis
kompetitif asetilkolin. Atropin hanya menduduki reseptor tanpa menimbulkan efek langsung,
mengakibatkan berkurang atau hilangnya efek transmitter pada sel tersebut karena
tergesernya transmitter dari sel tersebut. Serta salah satu dampak dari farmakodinamik
atropin dimata adalah midriasis (dilatasi pupil). Hasil percobaan sesuai dengan teori pada
kedua mata kelinci memberikan efek yang sama.

Kesimpulan
Pada percobaan ini Pilokarpin HCl berkhasiat sebagai obat kolinergik yang dapat
meningkatkan sekresi saliva karena bertemu reseptor langsung, termasuk obat golongan
agonis muskarinik yang menyebabkan kontraksi pupil mata menjadi miosis yaitu pupil mata
mengecil. Sedangkan Atropin SO4 berkhasiat antikolinergik mampu menginhibisi hipersaliva
pada hewan sehingga dapat menghambat atau mengurangi efek sekresi saliva, termasuk obat
golongan antimusakarinik yang menyebabkan midriasis yaitu pupil mata melebar pada mata
kelinci. Pada percobaan kelenjar saliva dan mata yang didapat sesuai dengan literatur.

Daftar Pustaka
- Hadi S, dkk. 2020. Buku Ajar Farmakologi Obat Sistem Saraf. Anggota IKAPI. Jakarta:
UHAMKA Press.
- Sumitra, Jhoti. 2020. Modul Teori Farmakologi. Sumatera Utara : Institut Kesehatan
Medistra Lubuk Pakam.
- Indijah, Sujati Woro., dan Purnama Fajri. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi :
Farmakologi. Jakarta : Pusdik SDM Kesehatan (BPPSDM Kesehatan).
- Tim Farmakologi. 2020. Panduan Praktikum Blok VI Farmakologi. Jakarta : Universitas
Kristen Indonesia.
- Indra, Imai. 2012. Aktivitas Otonom. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume 12
Nomor 3.

Anda mungkin juga menyukai