Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

System saraf otonom merupakan system saraf yang tidak dapat

dikendalikan oleh kemauan kita melalui otak. System saraf mengendalikan

beberapa organ tubuh seperti jantung, pembuluh darah, ginjal, pupil mata,

lambung dan usus.

System saraf otonom dibagi menjadi dua yaitu system saraf

simpatik dan system saraf parasimpatik. Senyawa yang da[at memacu

system saraf parasimpatik disebut senyawa parasimpatomimetik atau

kolinergik, sedangkan yang menghambat yang disebut parasimpatolitik

atau anti kolinergik. Senyawa yang dapat memacu saraf simpatik disebut

senyawa simpatomimetik atau adrenergik, sedangkan yang menghambat

yang disebut simpatolitik atau anti adrenergik.

Pada saraf simpatik mempunyai sel syaraf preganglion lebih

pendek daripada sel syaraf postganglionnya. Selain itu pada sistem syaraf

simpatik ini neurotransmitter yang dilepaskan adalah nor-epinefrin atau

nor-adrenalin yang akan bereaksi dengan reseptor adrenergik, maka

sistem syaraf sipatik ini disebut juga dengan sistem syaraf adrenergik.

Pada sistem saraf parasimpatik memiliki sel syaraf preganglion

lebih panjang daripada sel syaraf postganglionnya. Pada sistem syaraf ini

neurotransmitter yang dilepaskan oleh ujung sel syaraf adalah asetilkolin

yang akan bereaksi dengan reseptor asetilkolin muskarinik ataupun pada


2

reseptor asetilkolin nikotinik. Reseptor nikotinik terdapat pada semua

ganglia syaraf otonom (celah antara sel syaraf preganglion dan

postganglion), pada neuromuscular junction (celah antara sel syaraf

somatik dan sel otot skeletal), dan pada sel kromafin medula

adrenal.Sedangkan reseptor muskarinik terdapat pada sel organ efektor

syaraf kolinergik.

Obat yang menghasilkan efek teraupetik utamanya dengan cara

menyerupai atau mengubah fungsi system otonom yang di sebut obat-

obat otonom.

B. Maksud percobaan

Adapun maksud dilakukan percobaan ini adalah untuk mengetahui

dan memahami bagaimana perubahan perubahan efek farmakodinamik

yang terjadi pada hewan coba, dan saraf apa saja yang bekerja ketika

diberikan obat.

C. Tujuan Percobaan

Adapun tujuan praktikum ini adalah untuk menentukan efek

farmakodinamik dari obat (Cendotropin, Cendocarpin, Epinefrin,

Bisoprolol) pada hewan coba mencit (Mus musculus) dengan parameter

pengamatan berupa miosis, midriasis, grooming, salivasi, vasokontriksi,

vasodilatasi, takikardia, bradikardia, straub, piloereksi, dan diare.

D. Prinsip Percobaan
3

Prinsip dari percobaan ini yaitu penentuan efektifitas obat sistem

saraf otonom yakni bisoprorol, Cendocarpine, Cendotropine, Epinefrin dan

Na CMC terhadap hewan coba mencit (Mus musculus) berdasarkan

pengamatan efek farmakodinamik yang timbul setiap interval waktu 0, 15,

30, 60, 90 menit.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori

Sistem saraf di bagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang

terdiri dari otak dan medula spinalis, serta sistem saraf tepi yang

merupakan sel-sel saraf yang terletak di luar otak dan medula spinalis

yaitu saraf-saraf yang masuk dan keluar SSP. Sistem saraf tepi

selanjutnya dibagi lagi menjadi dua yaitu neuron yang membawa sinyal

dari otak dan medula spinalis ke jaringan tepi, serta divisi aferen yang

membawa informasi dari perifer ke SSP. Fungsi sistem simpatis selain

secara berkelanjutan mempertahankan derajat keaktifan (misalnya

menjaga tonus vaskular bed) juga mempunyai kemampuan untuk

memberikan respons pada situasi stress, seperti trauma, ketakutan,

hipoglikemia, kedinginan atau latihan. Fungsi sistem parasimpatis yaitu

menjaga kondisi tubuh esensial seperti proses pencernaan makanan dan

pengurangan zat-zat sisa. Jika sistem ini bekerja, akan menghasilkan

gejala yang masif, tidak diharapkan dan tidak menenangkan. Sistem ini

bekerja untuk mempengaruhi organ-organ spesifik seperti lambung dan

mata (Katzung, 2001).

Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat . Neuron

orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis maupun

di batang otak. Akson neuron orde pertama ini disebut dengan serabut

preganglion (preganglionic fiber). Serabut ini bersinaps dengan badan sel


5

neuron orde kedua yang terletak di dalam ganglion. Serabut

pascaganglion menangkap sinyal dari serabut preganglion melalui

neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut preganglion. Seperti yang

telah diketahui, ganglion merupakan kumpulan badan sel yang terletak di

luar SSP. Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan serabut

pascaganglion (postganglionic fiber) muncul dari ganglion menuju organ

yang akan diinervasi. Organ efektor menerima impuls melalui pelepasan

neurotransmiter oleh serabut pascaganglion. Kecuali untuk medulla

adrenal, baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengikuti pola

seperti yang telah dijelaskan di atas (Regar, 2010).

Menurut efek utamanya maka obat otonom dapat dibagi dalam 5

golongan: (amir dkk, 2007)

1. Parasimpatomimetik atau kolinergik. Efek obat golongan ini

menyerupai efek yang di timbulkan oleh aktivitas susunan saraf

parasimpatis.

2. Simpatomimetik atau adrenergic yang efeknya menyerupai efek yang

ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis

3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik menghambat timbulnya

efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis.

4. Simpatolitik atau penghambat adrenergic menghambat timbulnya efek

akibat aktivitas saraf simpatis.

5. Obat ganglion merangsang atau menghambat penerusan impuls di

ganglion.
6

Neurotransmisi pada neuron kolinergik meliputi enam tahapan yang

berurut. Empat tahapan pertama yaitu sintesis, penyimpanan, pelepasan,

dan pengikatan asetilkolin pada satu reseptor yang di ikuti kemudian oleh

tahap lima, penghancuran neurotransmiter pada celah sinaps yaitu ruang

antara ujung akhir saraf dan reseptor terdekat yang terletak pada saraf

atau organ efektor (Richard A. Harvey,2002).

Obat-obat yang mempengaruhi system saraf otonom dibagi menjadi

dua kelompok berdasarkan jenis neuron yang terlibat dalam mekanisme

kerjanya. Kelompok pertama obat-obat kolinergik adalah obat-obat yang

bekerja pada reseptor yang diaktifkan oleh asetilkolin. Kelompok kedua

obat-obat adrenergic yang bekerja pada reseptor yang dipicu oleh

norepinefrin dan epinefrin (Harvey, 2014).

Golongan obat-obat kolinergik terbagi atas dua yaitu agonis

kolinergik dan antagonis kolinergik . Neurotransmisi pada neuron

kolinergik meliputi enam tahapan yang berurut. Empat tahapan pertama

yaitu sintesis, penyimpanan, pelepasan, dan pengikatan asetilkolin pada

satu reseptor yang di ikuti kemudian oleh tahap lima, penghancuran

neurotransmiter pada celah sinaps yaitu ruang antara ujung akhir saraf

dan reseptor terdekat yang terletak pada saraf atau organ efektor. Sub

golongan obat agonis kolinergik terbagi atas 4 antara lain (Harvey,2014) :

a. Kerja langsung
7

Merupakan agonis kolinergik yang menyerupai efek asetilkolin

dengan cara berikatan langsung pada kolinooseptor. Dengan contoh

obat : Asetilkolin, bethanicol, carbacol, cavimeline dan pilocarpine.

b. Kerja tidak langsung (reversible)

Asetilkolinesterase adalah suatu enzim yang khusus memecah

asetilkolin menjadi asetat dan kolin sehingga mengakhiri kerja

asetikolin. Obat penghambat asetilkolinesterase secara tidak langsung

bersifat kolinergik dengan memperpanjang keberadaan asetilkolin

endogen yang dilepas oleh ujung saraf kolinergik. Adapun contoh

obatnya : ambenomium, demecarium, donazepil, edrophonium,

galantamine, neostigmine, physostigmine, pyridostigmine, rivastigmine

dan tacrine.

c. Kerja tidak langsung (irreversible)

Contoh obat kerja tidak langsung irreversible adalah echotiophate.

Echotiophate adalah organofosfat yang terikat secara kovalen melalui

gugus fosfatnya dengan gugus amin-OH yng ada pada sisi aktif

asetilkolinesterase. Sekali terikat, enzim menjadi tidak aktif secara

permanen dan pemulihan kembali aktivitas asetilkolinesterase

memerlukan sintesis molekul enzim baru. Setelah menjadi modivikasi

kovalen asetilkolinesterase, enzim yang terfosforisasi akan

melepaskan secara perlahan salah satu gugus etilnya.

d. Reaktivasi asetilkolinesterase
8

Contoh obat yang dapat mereaktivasi asetilkolinesterase adalah

pralidoxime, namun obat ini tidak dapat menembus SSP.

Antagonos kolinergik atau disebut juga dengan penghambat

kolinergik, berikatan dengan kolinoseptor, tetapi tidak memicu efek

intraseluler yang diperantarai reseptor seperti biasanya. Manfaat terbesar

obat golongan ini adalah penghambatan sinaps muskarinik secara

selektif pada saraf parasimpatis. Sub golongan antagonis kolinergik

terbagi atas 3 yaitu (Harvey,2014) :

a. Obat-obat antimuskarinik

Obat-obat muskarinik umum dikenal sebagai antimuskarinik, obat-

obat kelompok ini bekerja menghambat reseptor muskarinik yang

menyebabkan hambatan semua fungus muskarinik. Contoh obatnya

adalah : atropine, cyclopentolate, ipratropium, scopolamine. Dan

tropicamide.

b. Penghambat ganglionic

Penghambat ganglionic bekerja secara spesifik pada reseptor

nikotinik ganglion otonom simpatik dan parasimpatik. Beberapa

diantaranya juga mengahambat ion ganglia otonom. Obat-obat ini

menunjukan ketidak selektivitas terhadap ganglia simpatis atau

parasimpatis dan tidak efektif sebagai antagonis neuromuskarinik.

Oleh sebab itu obat-obat lain yang disebutkan dalam kategori ini

adalah menghentikan semua keluaran (output) system saraf otonom


9

pada reseptor nikotinik. Contoh obatnya adalah mecamylamine dan

nikotin.

c. Pelemas neuromuscular

Obat-obat golongan ini menghambat tranmisi kolinergik antara

ujung saraf motoris dengan reseptor nikotinik pada ujung lempeng

neuromuscular otot rangka. Contoh obatnya atracurium,

cisatracurium, doxacurium, metocurine, mivacurium, pancuronium,

recuronium, succinylcholine, tubocurarin, vecuronium.

Kelompok yang kedua yaitu kelompok adrenergic. Obat-obat

golongan adrenergikberpengaruh pada reseptor yang dirangsang oleh

norepinefrin atau epinefrin. Beberapa obat adrenergic bekerja secara

langsung pada reseptor adrenergic (adrenoreseptor) melalui pengaktifan

reseptor tersebut karna itu disebut simpatomimetik. Obat-obat adrenergic

lain menghambat kerja neurotranmiter pada reseptor (simpatolitik),

sedangkan obat lain mempengaruhi fungsi adrenergic dengan

menghentikan pelepasan norepinefrin dari neuron adrenergic. Sub

golongan obat agonis adrenergic terbagi atas 3 (Harvey,2014 ):

a. Kerja langsung

Agonis kerja langsung berikatan dengan reseptor adrenergic

tanpa berinteraksi dengan neuron prasinaps. Reseptor yang

teraktifkan memicu sintesis pembawa pesan kesdua dan sinyal-sinyal

intraseluler yang timbul setelahnya. Contoh obatnya albuterol,

clonidine, dobutamin, dopamine, epinephrine, formoterol,


10

isoproterenol, metaproterenol, methoxamine, norepinephrine,

phenylephrine, pirutero, salmoterol, dan tarbutaline.

b. Kerja tidak langsung

Agonis adrenergic tidak langsung menyebabkan pelepasan

norepinefrin dari terminal-terminal prasinaps atau menghambat

pengambilan norepinefrin. Obat-obat ini memperkuat efek norepiefrin

endogen, tetapi obat-obat ini tidak secara langsung memengaruhi

reseptor pascasinaps. Contoh obatnya adalah amphetamine, cocain,

tyramine.

c. Kerja campuran

Obat kerja campuran memicu pelepasab norepinefrin dari ujung

akhir prasinaps, dan obat ini mengaktifkan reseptor adrenergic pada

membrane pascasinaps. Contoh obatnya ephedrine dan

pseudoephedrine.

Antagonis adrenergic atau disebut pula penghambat atau agen

simpatolitik, berikatan dengan adrenoreseptor tetapi tidak mencetuskan

efek intraseluler yang diperantarai reseptor pada umumnya. Oabt-obat ini

bekerja secara reversible atau kreversibel melalui perlekatan pada

reseptor sehingga mencegah pengaktifan reseptor oleh katekolamin

endogen. Sub golongan antagonis adrenergic terbagi atas (Harvey,2014) :

a. Penghambat

Obat-obat penghambat adrenoreseptor sangat berpengaruh

bagi tekanan darah. Karena pengaturan simpatis normal pada


11

sebagian besar pembuluh dara dalam tubuh dilakukanmelalui kerja

agonis adrenoreseptor-, hambatan terhadap reseptor ini akan

mengurangi tonus simpatis pembuluh darah sehingga tahanan

vascular perifer menurun. Keadaan ini akan memicu takikardia reflex

akibat penurunan tekanan darah. Contoh obatnya alfuzosin,

doxazosin, phenoxybenzamine, pentolamine, prazosin, tamsulozin,

yohimbine.

b. Penghambat

Semua obat penghambat- tersedia secara klinis bersifat

antagonis kompetitif. Penghambat--non-selektif bekerja pada reseptor

1 dan 2. Sedangkan antagonis kardioselektif terutama menghambat

1. Walaupun semua obat penghambat menurunkan tekanan darah

tetapi obat ini tidak menimbulkan hipotensi postural karena

adrenoseptor- masih berfungsi. Oleh sebab itu, pengaturan simpatis

yang normal terhadap pembuluh darah tetap dipertahankan. Obat

penghambat juga cukup efektif untuk pengobatan angina, aeitmia

jantung, infrak miokardium, gagal jantung kongestif, hipertiroidisme,

dan glaucoma, serta sebagai profilaksis untuk nyeri kepada migraine.

Contoh obatnya adalah acebutolol, atenolol, carvedilol, esmolol,

labetalol, metaprolol, nadolol, pindolol, propranolol, tomolol.

c. Obat yang mempengaruhi pelepasan atau pengambilan kembali

neurotransmitter
12

Beberapa obat bekerja pada neuron adrenergic serupa dengan

amphetamine dan tyramine baik mengganggu pelepsan maupun

mencegah ambilan neurotransmitter memasuki saraf adrenergic. Akan

tetapi akibat adanya obat yang lebih baru dan lebih efektif, dengan

efek samping yang juga lebih sedikit. Contoh obatnya reserpine,

guanethidine dan cocain.

B. Uraian Bahan dan Obat

1. Uraian obat

a) Atropin (Setiawati, 2007)

Nama paten : Hycocyamin, homatropin

Indikasi : Pada organ mudah efek samping mulut kering,

gangguan miksi, meteorisme sering terjadi tetapi

tidak membahayakan. Pada organ tua efek sentral

terutama sindrom dimensi dapat terjadi.

Kontaindikasi : Gagal ginjal, jantung dan hipertroti prostat.

Efek samping : pada organ mudah efek samping mulut kering,

gangguan miksi, meteorisme sering terjadi tetapi

tidak membahayakan. Pada organ tua efek sentral

terutama sindrom dimensi dapat terjadi.

Farmakodinamik : Atropin memblok asetilkolin endogen eksogen,

tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang

eksogen. Atropine merangsang medulla oblongata

serta pusat lain di otak.


13

Farmakokinetik : Aksi onset: cepat, absorpsi lengkap, terdistribusi

secara cepat dalam badan, menembus

plasenta,masuk dalam air susu, menembus sawar

darah otak, metabolisme hepatik, ekskresi: urin

Dosis : Oral 3 dd 0,4-0,6 mg tablet tetrad.

b) Adrenalin / Epinefrin (Setiawati, 2007; Tjay, 2010; Harvey, 2013)

Nama paten lain : PV Carpine, opticas, Pimplex (konimex)

Indikasi : Glukoma kronik, asma bronchial, ultikoria

Kontraindikasi : Vasodilatasi pada penderita yang mendapat alfa

broker

Efek samping : Pillokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan

gangguan SSP, merangsang keringat dan salvias

yang berlebihan

Farmakokinetik : Absorpsi pada pemberian oral tidak mencapai

dosis karena sebagian besar dirusak oleh enzim

pencernaan. Epinefrin memiliki awitan yang cepat

tetapi berdurasi kerja singkat. Obat dalam sirkulasi

mengalami metabolisme di hepar. Eksresi: urin,

atau sebagai inaktif metanefrin, dan sulfat dan

derivate hidroksi asam mandelat.

Farmakodinamik : Metabolisme diambil oleh saraf adrenergik dan

dimetabolisme oleh monoamine oksidase dan

katekol-o-metiltransferase
14

Dosis : 1 amp IM atau SK

c) Pilokarpin (Setiawati, 2007)

Nama paten : Cendocarpin, Epicarpine

Indikasi : Anti glaukoma simpleks kronik glaukoma tertutup

Kontraindikasi : Glaukoma tertutup

Efek samping : Muntah dan efek kolinergik perifer lainnya

Farmakodinamik : Pilokarpin menyebabkan rangsangan terhadap

kelenjar keringat, air mata dan air ludah

penyuntikkan IV biasanya terjadi kenaikan

tekanan darah.

Farmakokinetik : Efek utamanya yang menyangkut terapi dapat

terlihat pada pupil mata, usus dan sambungan

saraf otot.

Dosis : Pada glaukoma 2-4 dd 18-20 tetes larutan 1-3%

(klorida, nitrat).

d) Bisoprolol (Anonim, 2016)

Nama paten : BISOPROLOL

Indikasi : Hipertensi, sebagai monoterapi.

Kontraindikasi : syok kardiogenik, sindrom sick sinus, bradikardia.

Farmakodinamik : Anti aritmia, kelas II, Beta adrenergik bloker non

selektif.

Farmakokinetik : Onset beta-bloker oral 1 2 jam , durasi 6 jam.

Distribusi Vd= 3,9 L/kg untuk dewasa menembus


15

Plasenta, sejumlah kecil masuk air susu. Ikatan

protein pada bayi 68% dan dewasa 93%.

Metabolisme aktif di hati dan kombinasi tidak aktif.

Dosis : Awal 5 mg 1 x/hr, dapat ditingkatkan menjadi 10-

20 mg 1 x/hr.

2. Uraian bahan

a. Na CMC (Dirjen POM, 2010 : 401)

Nama resmi : NATRIICARBOXYMETHYLCELLULOSUM

Nama lain : Natrium Karboksimetilselulosa

Pemerian : Serbuk atau butiran, putih atau putih kuning gading,

tidak berbau atau hampir tidak berbau, higroskopik.

Kelarutan : Mudah mendispersi dalam air, membentuk suspensi

koloidal, tidak larut dalam etanol (95%)P, dalam eter

P dan dalam pelarut organik lain.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

C. Uraian Probandus dan Hewan Coba

a. Klasifikasi Hewan Coba

Mencit (Musmusculus) (Maskoeri, 1987)

Kingdom : Animalia

Phylum : Cordata

Sub Phylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Ordo : Rodentia
16

Family : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

b. Karakteristik

Mencit (Mismusculus) (Maskoeri, 1987)

a. Mencit adalah hewan pengerat yang dapat berkembangbiak,

mudah dipelihara dalam jumlah banyak.

b. Dapat hidup dalam berbagai iklim baik di dalam kandang maupun

secara bebas sebagai hewan liar, oleh karena itu mencit banyak

digunakan di laboratorium.

c. Mudah ditangani, memiliki sifat fotofobik (takut pada cahaya)

maka cenderung berkumpul sesamanya. Mereka lebih efektif

pada malam hari dari pada siang hari karena kehadiran manusia

mengganggu dari aktifitas mencit.

d. Mencit mencapai umur 2 - 3 tahun, dan jika sedang menyusui

akan mempertahankan sarangnya

e. Lama kehamilan 19 - 21 hari (4 - 12 ekor sekali lahir)

f. Mulai dikawinkan : jantan 50 hari dan betina 50 60 hari


17

BAB III

METODE KERJA

A. Alat dan Bahan

a. Alat yang digunakan

Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu

kanula dan spoit.

b. Bahan yang digunakan

Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu

Bisoprolol, Cendocarpin, Cendotropin, Epinefrin dan NaCMC.

B. Prosedur Kerja

a. Pembuatan bahan

Pembuatan Na-CMC 1%.

Disiapkan alat dan bahan, kemudian Na-CMC ditimbang

sebanyak 1 gram.Selanjutnya, 100 mL air suling dipanaskan hingga

suhu 700C, laluNa-CMC dilarutkan dengan air suling yang sudah

dipanaskan tadi sedikit demi sedikit dan kemudian diaduk.Setelah itu,

larutan Na-CMC dimasukkan kedalam wadah, kemudian disimpan

didalam lemari pendingin.

b. Pembuatan obat

1) Cendocarpin

Terlebih dahuludisiapkan alat dan bahan, kemudian sediaan

obat cendocarpin dipipet sebanyak 3,05 mL (10mg/5mL). setelah


18

itu, volumenya dicukupkan hingga 5 mL dan larutan diberikan ke

hewan coba (mencit).

2) Cendotropin

Disiapkan alat dan bahan, kemudian sediaan obat

cendotropin 1% dipipet sebanyak 3 mL(5mg/5mL) dan volumenya

dicukupkan hingga 5 mL.

3) Epinefrin

Pertama-tama disiapkan alat dan bahan, lalu sediaan obat

epinefrin dipipet sebanyak 0,5 mL(1mg/1mL) kemudian volumenya

dicukupkan hingga 5 mL (1 mg/5 mL) dan larutan diberikan ke

hewan coba (mencit).

4) Bisoprolol

Disiapkan alat dan bahan, setelah itu serbuk obat bisoprolol

ditimbang sebanyak 6,207 mg, lalu disuspensikan dalam Na-CMC

1% sebanyak 5 mL dan larutan diberikan ke hewan coba (mencit).

c. Penyiapan hewan coba

1) Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki

depan terpaut pada kawat kasa kandang.

2) Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga Mencit (Musmusculus)

dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri.

3) Ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya

Mencit (Musmusculus) itu dapat dipegang dengan sempurna.

4) Mencit siap untuk diberikan perlakuan.


19

d. Perlakuan hewan coba

Terlebih dahulu disiapkan alat dan bahan, kemudian disiapkan 5

ekor mencit yang akan dibagikan dalam 5 kelompok dengan berat

badan yang berbeda-beda, yaitu:

1) Kelompok 1 (22 gram), diberikan obat Cendotropin sebanyak 0,73

mL secara intraperitonial (IP).

2) Kelompok 2 (26 gram), diberikan obat Cendocarpin secara

intraperitonial (IP).

3) Kelompok 3 (31 gram), diberikan obat Cendotropin +

Cendocarpin masing-masing 1 mL secara intraperitonial (IP).

4) Kelompok 4 (22 gram), diberikan obat Epinefrin secara

intraperitonial (IP).

5) Kelompok 5 (20 gram), diberikan obat Bisoprolol secara oral +

Epinefrin secara (IP).

Setelah itu, diamati efek farmakodinamiknya pada menit 15, 30,

60 dan 90, lalu dicatat hasil pengamatan yang diperoleh yaitu miosis,

midriasis, tremor, grooming, salivasi, vasokontriksi, vasodilatasi,

takikardia, bradikardia, piloereksi dan diare.

e. Cara kerja (Anonim, 2017)

1. Disiapkan mencit, alat dan bahan

2. Diamati kondisi normal mencit

3. Diberikan obat cendocarpin 0,8 ml secara intra peritoneal (I.P)


20

4. Kemudian diamati tiap 15 menit, 30 menit, 60 dan 90 menit dan

dibandingkan sebelum dan setelah pemberian obat

5. Dicatat efek yang terjadi.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Pada percobaan ini telah dilakukan pengujian obat-obat sistem saraf

otonom meliputi Cendotropin, Cendocarpin, Epinefrin, dan

Bisoprolol yang dapat dilihat pada tabel diwah ini :

1. Efek farmakodinamik yang terjadi setelah pemberian obat pada

kelompok 3 dengan induksi obat Cendocarpin kemudian setelah 30

menit diinduksi dengan obat Cendotropin dapat dilihat pada tabel

dibawah ini :
21

Perlakuan BB Pengamatan Pada Menit

Cendotropin

Dan 30 30

Cendocarpin

Miosis

Midriasis - -

Diare - -

Tremor 31 gram

Vasodilatasi - -

Vasokontriksi

Grooming

Piloereksi - -

Takikardia

Bradikardia - -

Saliva - -

2. Efek farmakodinamik yang terjadi setelah pemberian obat pada

kelompok 1 dengan menggunakan obat Cendotropin dapat dilihat

pada tabel dibawah ini:

Perlakuan BB Pengamatan pada menit

Cendotropin 15 30 60 90
22

Miosis

Midriasis

Diare

Tremor

Vasodilatasi 22 gram

Vasokontriksi

Grooming

Piloereksi

Takikardia

Bradikardia

Saliva

3. Efek farmakodinamik yang terjadi setelah pemberian obat pada

kelompok 2 dengan menggunakan obat Cendocarpin dapat dilihat

pada tabel dibawah ini :

Perlakuan BB Pengamatan pada menit

15 30 60 90

Miosis

Midriasis

Diare

Tremor

Vasodilatasi 27 gram
23

Vasokontriksi

Grooming

Piloereksi

Takikardia

Bradikardia

Saliva

4. Efek farmakodinamik yang terjadi setelah pemberian obat pada

kelompok dengan menggunakan obat Epinefrin dapat dilihat

pada tabel dibawah ini :

Perlakuan BB Pengamatan pada menit

15 30 60 90

Miosis gram

Midriasis

Diare

Tremor

Vasodilatasi
24

Vasokontriksi

Grooming

Piloereksi

Takikardia

Bradikardia

Saliva

5. Efek farmakodinamik yang terjadi setelah pemberian obat pada

kelompok 5 dengan menggunakan obat Bisoprolol dan

Epinefrin dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Perlakuan BB Pengamatan pada menit

15 30 60 90

Miosis 29 gram

Midriasis

Diare

Tremor

Vasodilatasi
25

Vasokontriksi

Grooming

Piloereksi

Takikardia

Bradikardia

Saliva

B. Pembahasan

Pada praktikum ini adapun hal yang terlebih dahulu dilakukan yaitu

menimbang mencit yang akan digunakan untuk praktikum dan menghitung

volume pemeriannya, kemudian mengencerkan obat yang akan di

induksikan ke hewan coba mencit jika obat yang digunakan dalam bentuk

tablet. Setelah itu amati mencit, lalu di induksikan obat ke mencit dan

diamati perlakuan mencit pada menit ke 15, 30, 60 dan 90 menit.

Adapun obat yang digunakan pada praktikum ini untuk kelompok 1

obat cendotropin, kelompok 2 obat cendocarpin, kelompok 3


26

cendotropin dan cendocarpin, kelompok 4 epinefrin dan kelompok 5

bisoprolol dan epinefrin.

Dalam percobaan ini ada empat macam obat yang digunakan untuk

dengan mekanisme kerja yang berbeda diantaranya (Harvey: 2014) :

1. Cendotropin, atau atropine merupakan golongan obat antagonis

kolinergik dengan sub golongan antimuskarinik. Bekerja menghambat

reseptor muskarinik yang menyebabkan hambatan semua fungsi

muskarinik. Selain itu obat-obat ini menghambat beberapa neuron

simpatis yang bersifat kolinergik, seperti pernafasan, kelenjar keringat

dan kelenjar saliva.

2. Cendocarpin, atau pilokarpin merupakan golongan obat agonis

kolinergik dengan sub golongan kerja langsung. Pilocarpin adalah

salah satu pemacu sekresi kelenjar paling poten pada kelenjar

keringat, air mata, dan saliva, tetapiobat ini tidak digunakan untuk

maksud demikian karena bersifat kurang selektif. Pilokarpin

bermanfaat merangsang produksi saliva pada pasien yang mengalami

xerostomia akibat radiasi pada kepala dan leher.

3. Epinefrin, merupakan obat golongan agonis adrenergic dengan sub

golongan kerja langsung. Kerja dari obat-obat sub golongan kerja

langsung yaitu obat langsung berikatan pada reseptor adrenergic

(adrenoreseptor) melalui pengaktifan reseptor tersebut. Epinefrin

memiliki tiga efek kerja utama pada sistem kardiovaskular diantaranya

memperkuat kontraktilitas miokardium, meningkatkan kecepatan


27

kontarksinya dan meningkatkan curah jantung. Pada sistem respirasi,

epinefrin menimbulkan bronkodilatasi kuat melalui kerja langsung

pada otot polos bronkus.

4. Bisoprolol, atau propranolol merupakan obat golongan antagonis

adrenergic dengan sub golongan penghambat atau blocker.

Propranolol adalah prototype antagonis adrenergic dan

menghambat baik 1 ataupun 2. Digunakan untuk mengobati angina

(nyeri pada dada) dan tekanan darah tinggi. Obat ini juga digunakan

untuk mencegah serangan jantung.

Adapun cara kerjanya yaitu pertama-tama disiapkan mencit, alat,

dan bahannya, kemudian diamati kondisi normal mencit, di berikan obat

(Cendotropin, Cendocarpin, Epinefrin, Bisoprolol) pada hewan

coba mencit, dan diamati apa yang terjadi setelah pemberian obat.

Pada hasil pengamatan pada kelompok 3 didapatkan bahwa mencit

yang disuntikkan dengan cendocarpin pada menit ke 30 menunjukan

efek miosis, tremor, vasokontriksi, grooming, dan takikardia. Kemudian

disuntikan dengan Cendotropin pada menit ke 30 mencit menunjukkan

efek miosis, tremor, vasokontriksi, grooming, dan takikardia.

Pada kelompok 1 diperoleh efek farmakokinetik pada mencit yang

diberikan obat Cendotropin di menit ke 15 mengalami midriasis,

vasokontriksi, dan takikardia. Pada menit ke 30 mencit mengalami miosis,

vasodilatasi, piloereksi, dan bradikardia. Pada menit ke 60 mencit


28

mengalami miosis, vasokontriksi, grooming, dan takikardia. Kemudian

pada menit ke 90 mencit hanya mengalami efek miosis.

Pada kelompok 2 diperoleh efek farmakokinetik pada mencit yang

diberikan obat Cendocarpin di menit ke 15 mencit mengalami midriasis,

diare, tremor, vasokontriksi, grooming, piloreksi, saliva, dan takikardia.

Pada menit ke 30 mencit mengalami midriasis, diare, tremor,

vasokontriksi, groming, saliva, dan takikardia. Pada menit ke-60 mencit

mengalami miosis, midriasis, diare, vasokontroksi, grooming, saliva dan

takikardia. Kemudian terakhir pada menit ke-90 mencit mengalami miosis,

vasodilatasi, dan bradikardia.

Pada kelompok 4 diperoleh efek farmakokinetik pada mencit yang

diberikan obat Epinefrin di menit ke 15 mencit mengalami miosis,

vasokontriksi, grooming, piloereksi, dan takikardia. Pada menit ke 30

mencit mengalami midriasis, tremor, vasokontriksi, grooming dan

takikardia . Pada menit ke 60 mencit mengalami midriasis, tremor,

vasodilatasi, grooming, piloereksi, dan takikardia. Pada menit ke 90 mencit

mengalami efek yang sama dengan menit ke 60.

Pada kelompok 5 diperoleh efek farmakokinetik pada mencit yang

diberikan obat Bisoprolol dan Epinefrin di menit ke 15 mengalami

tremor, vasokontriksi, grooming, piloereksi, dan takikardia. Pada menit ke

30 mencit mengalami midriasis, grooming dan piloereksi. Pada menit ke

60 mencit mengalami miosis dan vasodilatasi. Kemudian pada menit ke 90

mencit tidak mengalami efek farmakokinetik.


29

Adapun faktor kesalahan yang dapat dilakukan pada saat praktikum

yaitu pada saat perlakuan praktikan kurang teliti menginduksi ataupun

memperlakukan hewan coba dengan kasar sehingga membuat hewan

coba menjadi stress dan susah untuk diinduksi.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang dilakukan kelompok 3 dapat

disimpulkan bahwa bahwa mencit yang disuntikkan dengan cendocarpin

pada menit ke 30 menunjukan efek miosis, tremor, vasokontriksi,

grooming, dan takikardia. Kemudian disuntikan dengan Cendotropin

pada menit ke 30 mencit menunjukkan efek miosis, tremor, vasokontriksi,

grooming, dan takikardia.


30

B. Saran

Sebaiknya praktikan lebih berhati-hati lagi dalam pemberian obat

pada hewan coba

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.,2017.Penuntun dan Buku Kerja Praktikum Farmakologi


danToksikologi 2, Fakultas Farmasi;Makassar
Ditjen POM, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI . Jakarta.
Harvey A. Richard., 2013. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-4.
Buku kedokteran,EGC. Jakarta.
Sukandar, E.Y dkk., 2012. Iso Farmakoterapi. Jakarta: PT.ISFI

Jasin, Maskoeri, 1987. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata.


Sinar Wijaya. Surabaya.
Katzung, G. B., 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerjemah
Nugroho, A. W. Rendy, L. Dwijayanthi, L. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
31

Pearce, Evelyn C., 2005. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis.


Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Regar, Moenaf H., 2009.Amburadul jilid 2
Setiadi.,2007.,Anatomi dan Fisiologi Manusia.Yogyakarta: Graha Ilmu
Syarif Amir dkk., 2007. Farmakologi dan Terapi.Badan penerbit FKUI,
Jakarta
Sloane, Ethel., 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Buku
kedokteran EGC, Jakarta
Snell,Richard S, . 2002. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih
bahasa Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.
Tan, H. T. dan Rahardja., 2010. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka
Umum. Jakarta

Lampiran

A. Skema Kerja

Hewan coba ( mencit )

Cendotropin cendocarpin epinefrin epinefrin + Na CMC bisoprorol


32

Amati pada menit 15, 30, 60 dan 90


33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

Anda mungkin juga menyukai