Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN LENGKAP

PRAKTIKUM ANATOMI DAN FARMAKOLOGI


“SISTEM SARAF OTONOM”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK II

ASISTEN : SRYSEPTIA LEPPAN

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIS


PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS ALMARISAH MADANI
MAKASSAR
2023
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Anatomi dan Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur
tubuh beserta fungsinya. Kata anatomi berasal dari bahasa Yunani
(Greek) yang diartikan sebagai “membuka suatu potongan”. Anatomi
adalah suatu ilmu yang mempelajari bagian dalam (internal) dan luar
(external) dari struktur tubuh manusia dan hubungan fisiknya dengan
bagian tubuh lainnya. Anatomi secara harfiah juga diterjemahkan pada
bahasa latin, dari susunan kata “Ana” adalah bagian atau memisahkan,
dan “Tomi” adalah irisan atau potongan. Sehingga anatomi dapat juga
dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari bentuk dan susunan tubuh baik
secara keseluruhan maupun bagian-bagian serta hubungan alat tubuh
yang satu dengan lainnya. Anatomi terdiri dari berbagai pengetahuan
tentang bentuk, letak, ukuran, dan hubungan berbagai struktur dari tubuh
manusia sehat sehingga sering disebut sebagai anatomi deskriptif
atau topografis (Evelyn, 2021).
Farmakologi berasal dari Kata “Farmakon” yang berarti: “obat” dalam
arti sempit, dan dalam makna luas adalah: “Semua zat selain makanan yg
dapat mengakibatkan perubahan susunan atau fungsi jaringan tubuh”.
Logos yaitu : ilmu. Singkatnya farmakologi ialah ilmu yang mempelajari
cara kerja obat di dalam tubuh (Sulanjani, dkk, 2018).
Saraf merupakan jaringan yang berbentuk tabung dan berfungsi
untuk menyalurkan informasi dari otak ke tubuh dan sebaliknya. Sistem
saraf pada manusia memiliki peranan yang sangat penting dalam setiap
aktivitas baik aktivitas yang disadari maupun yang tidak disadari, seperti
proses bernapas, detakan jantung, memori, dan sebagainya (Apriyani E,
dkk, 2021).
Sistem saraf autonom tersusun dari dua rangkaian neuron yang
menghubungkan sistem saraf pusat (SSP) dan sel efektor. Badan sel
neuron orde I terdapat dalam SSP. Antara kedua neuron terdapat sinaps
yang berada di luar SSP dalam bentuk kluster sel yang disebut ganglion
autonom. Neuron yang berjalan dari SSP dan ganglia disebut neuron
preganglion sedangkan yang berjalan antar ganglia dan sel efektor
merupakan neuron postganglion. Pembagian atau subdivisi sistem saraf
autonom di dasarkan pada perbedaan anatomik dan fungsional yang
membaginya menjadi simpatis dan parasimpatis. Neuron simpatis dan
parasimpatis meninggalkan SSP pada level yang berbeda. Serat simpatis
dari regio torakal dan lumbal dari medula spinalis (divisi torakolumbar) dan
saraf parasimpatis dari batang otak dan regio sakral medula spinalis
(kraniosakral) (Dian, 2022).
Terdapat banyak tempat atau bagian di mana obat-obat otonom
dapat bekerja. Tempat-tempat yang berfungsi seperti SSP yang
merupakan pusat vasomotor, ganglia, terminal saraf pra dan
pascaganglion (misal: sintesis, penyimpanan, dan pelepasan transmiter)
reseptor pada sel efektor dan mekanisme yang melibatkan terminasi kerja
transmiter (misal: metabolisme atau ambilan kembali). Obat-obat otonom
bekerja dengan cara sebagai penghambat sintesis dan pembebasan NT,
mempermudah pembebasan NT, berkaitan dengan merangsang atau
memblok reseptor, dan menghambat destruksi NT (Dr. Hadi, dkk, 2020).
Praktikum ini dilakukan karena agar kita mengetahui apakah efek
obat berefek dan bisa digunakan pada manusia tetapi dilakukan
percobaan terlebih dahulu pada hewan coba mencit.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Adapun maksud dari percobaan ini ialah untuk mengetahui efek
farmakologi obat Metildopa, Propanolol, dan Pilokarpin pada hewan coba
mencit (Mus musculus) dengan parameter pengamatan seperti grooming,
defekasi, dan deuresis.
I.2.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah:
1. Mengetahui penggolongan dan mekanisme kerja obat-obat yang
bekerja pada sistem saraf otonom.
2. Pemberian obat yakni, Metildopa, Propanolol, dan Pilokarpin pada
hewan coba mencit (Mus musculus).
3. Mengetahui cara pengujian obat-obat sistem saraf otonom.
I.3 Prinsip Percobaan
Prinsip dari percobaan ini yaitu untuk mengetahui efek obat sistem
saraf otonom yaitu Metildopa, Propanolol, dan Pilokarpin terhadap hewan
coba berdasarkan parameter grooming, defekasi, dan deuresis yang
dalam interval waktu 0-15 menit dan 16-30 menit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Sistem Saraf Otonom
Sistem saraf otonom adalah saraf yang mempersarafi alat-alat dalam
tubuh seperti kelenjar, pemubuluh darah, paru, lambung, usus dan ginjal.
Alat ini mendapat dua jenis persarafan otonom yang fungsingya saling
bertentangan kalau yang satu merangsang yang lainnya menghambat dan
sebaliknya, kedua susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan
parasimpatis. Fungsi saraf otonom mengatur motilitas dan sekresi pada
kulit, pembuluh darah, dan organ visceraldengan cara merangsang
pergerakan otot polos dan kelenjar eksokrin. Regulasi otonom dibawa
oleh serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Disebut juga susunan saraf
tak sadar. Menurut fungsinya system saraf otonom dibagi dalam dua
bagian, yaitu sistem simpatis yang terletak di depan kolumna vertebra dan
berhubungan serta bersambung dengan sumsum tulang belakang melalui
serabut-serabut saraf. Sistem saraf parasimpatis yang terbagi dalam dua
bagian yang terdiri atas saraf otonom kranial dan saraf otonom sakral
(Harvery, 2018).
Gambar 1. Sistem Saraf Otonom
II.2 Sistem Saraf Simpatis Dan Sistem Saraf Parasimpatis
II.2.1 Sistem Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis terbagi juga menjadi dua bagian, yaitu saraf
otonom cranial dan otonom sacral. Sistem saraf ini berhubungan dengan
sumsum tulang belakang melalui serabut-serabut sarafnya yang letaknya
di depan column vertebrae. Sistem saraf simpatis ini berfungsi untuk:
Mensarafi otot jantung. Mensarafi pembuluh darah dan otot tak sadar.
Mempersarafi semua alat dalam seperti lambung, pankreas dan usus.
Melayani serabut motorik sekretorik pada kelenjar keringat. Serabut
motorik pada otot tak sadar dalam kulit. Mempertahankan tonus
semua otot sadar (Evelyn, 2021).
Sistem saraf simpatis terbagi menjadi dua, yaitu (Harvey, 2018):
1. Agonis Adrenergik
Beberapa obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor
adrenergik (adrenoseptor) melalui pengaktifan reseptor tersebut karena itu
disebut simpatomimetik adrenergika atau simpatomimetika adalah zat-zat
yang dapat menimbulkan (sebagian) efek yang sama dengan stimulasi
susunan simpaticus (SS) dan melepaskan noradrenalin (NA) diujung-
ujung sarafnya zat-zat dengan efek azsentral yang justru menghambat
sistem adrenergik misalnya clonidin tidak termasuk adrenergika. Sistem
saraf berfungsi meningkatkan penggunaan zat oleh tubuh dan
menyiapkannya untuk proses disimilasi organisme disiapkan agar dengan
cepat dapat menghasilkan banyak energi yaitu siap untuk suatu reaksi
"fight fright or flight" (berkelahi, merasa takut atau melarikan diri)
mekanisme kerja agonis adrenergik terbagi menjadi tiga, yaitu :
a) Agonis Kerja Langsung
Obat-obat ini bekerja langsung pada reseptor α atau ẞ dan
menghasilkan efek yang serupa dengan efek yang timbul akibat
perangsangan saraf simpatis atau pelepasan hormon epinefrin dari
medula adrenal agonis kerja langsung berikatan dengan reseptor
adrenergik tanpa berinteraksi dengan neuron presinaps reseptor yang
teraktifkan memicu sintesis pembawa pesan kedua dan sinyal-sinyal
intraseluler yang timbul setelahnya.
Contohnya yaitu epinefrin dan norepinefrin dirusak dalam usus dan
mempunyai durasi kerja pendek bisa disuntikkan karena adanya ambilan
dan metabolisme epinefrin meningkatkan tekanan darah dengan
meningkatkan frekuensi dan kekuatan denyut jantung (efek ẞ1). Stimulasi
reseptor α pembuluh darah menyebabkan vasokontriksi (visera kulit) tetapi
stimulasi ẞ2 menyebabkan vasodilatasi (otot skelet) dan akhirnya
resistensi perifer total bisa menurun norepinefrin mempunyai sedikit efek
atau tidak sama sekali pada reseptor ẞ2 pembuluh darah dan karena itu
vasokontriksi yang diperantarai reseptor α tidak dilawan. Terjadinya
tekanan peningkatan darah akibat hal tersebut akhirnya akan
memperlambat jantung biasanya mengatasi aksi stimulun ẞ1 secara
langsung pada frekuensi denyut jantung.
b) Agonis Kerja tidak Langsung
Agonis adrenergik tidak norepinefrin dari langsung menyebakan
pelepasan terminal-terminal prasinaps atau menghambat norepinefrin
obat ini memperkuat efek norepinefrin endogen tetapi obat- obat ini tidak
secara langsung memengaruhi reseptor pascasinaps. Obat- obat ini yang
meliputi amphetamin, kokaaine dan tiraminedapat ambilan norepinefrin
(penghambat ambilan) atau diambil ke neuron prasinaps dan
menyebabkan pelepasan norepinefrin dari kelompok atau vesikel
sitoplasmid pada neuron adrenergik.
Contohnya amfhetamin resisten terhadap MAOAKSI perifer
(misalnya takikardia hipertensi) dan aksi stimulan sentralnya terutama
disebabkan oleh pelepasan katekolamin dexamvetamin dan metilvenidat
kadang-kadang digunakan pada anak yang hiperkinetik mungkin berguna
pada narkolepsi (Harvey, 2018).
c) Agonis kerja Campuran
Obat kerja campuran memicu pelepasan norepinefrin dari ujung akhir
prasinaps dan obat ini mengaktifkan reseptor adrenergik pada membrane
pascasinaps. Beberapa agonis seperti ephedrine, pseudoephedrine dan
metaraminol memiliki kemampuan merangsang adrenoseptor secara
langsung dan melepaskan norepinefrin dari neuron adrenergik. Contohnya
ephedrin dan pseudoefedrin adalah alkaloid tanaman yang sekarang
diproduksi secara sintetik obat-obat ini merupakan agen adrenergik kerja
campuran keduanya tidak hanya melepas simpanan norepinefrin dari
ujung akhir saraf tetapi juga langsung merangsang reseptor α dan ẞ
dengan demikian timbul berbagai macam kerja adrenergik yang mirip
dengan epinefrin walaupun kurang poten ephedrin dan pseudefedrin
bukan katekol dan merupakan substrat yang buruk untuk COMT dan MAU
obat-obat ini memiliki durasi kerja yang lama.
2. Antagonis Adrenergik
Antagonis adrenergik (disebut pula penghambat atau agen
simpatolitik) berikatan dengan adrenoseptor tetapi tidak mencetuskan efek
intraseluler yang diperantarai reseptor pada umumnya obat-obat ini
bekerja secara reversibel atau ireversibel melalui perlekatan pada
reseptor sehingga mencegah pengaktifan reseptor oleh katekolamin
endogen antagonis adrenergik diklasifikasi berdasarkan afinitas relatifnya
terhadap reseptor α atau ẞ pada sistem saraf perifer.
a) Obat Penghambat (blocker) Adrenergik α
Obat-obat penghambat adrenoseptor-α sangat berpengaruh bagi
tekanan darah, karena pengaturan simpatis normal pada sebagian besar
pembuluh darah dalam tubuh dilakukan melalui kerja agonis terhadap
adrenoseptor-α hambatan terhadap reseptor ini akan megurangi tonus
simpatis pembuluh darah sehingga tahanan vaskuler perifer menurun.
Obat-obat penghambat adrenergik-α yaitu phenoxybenzamine adalah obat
yang bersifat non-selektif dan memiliki hubungan kovalen dengan reseptor
pascasinaps α₁ dan prasinaps az. Hambatan bersifat irreversibel dan non
kompetitif, satu satunya mekanisme yang dimiliki tubuh untuk menangkal
penghambatan ini adalah sintesis reseptor baru yang membutuhkan waktu
sehari atau lebih. Oleh sebab itu, kerja fenoksibenzamin berakhir sekitar
24 jam setelah pemberian Tunggal. Setelah obat disuntikkan penundaan
efek terjadi selama beberapa jam setelah penghambat berkembang
karena molekulnya harus mengalami biotransformasi terlebih dahulu
menjadi bentuk aktif.
b) Obat Penghambat Adrenergik-ẞ
Semua obat penghambat ẞ yang tersedia secara klinis bersifat
antagonis kompetitif penghambat ẞ-non selektif bekerja pada reseptor ẞ1
dan ẞ2 sedangkan antagonis kardio selektif terutama menghambat
reseptor ẞ1. Obat obat ini juga berbeda dalam aktivitas simpatomimetik
intrinsik, efeknya terhadap SSP dan farmakokinetiknya. Walaupun semua
obat penghambat ẞ menurunkan tekanan darah pada hipertensi tetapi
obat ini tidak menimbulkan hipotensi postural karena adrenoseptor-α
masih berfungsi, obat ini cukup efektif untuk pengobatan aritmia jantung
glaukoma serta profilaksis untuk kepala migrain. Contoh obatnya
propanolol (antagonis ẞ nonselektif) dan acebutolol (antagonis ẞ selektif)
propanolol adalah prototipe antagonis adrenergik ẞ dan menghambat baik
reseptor ẞ1 dan ẞ2 Sediaan lepas lambat untuk pemberian dosis tunggal
perhari sudah tersedia diapotek.
II.2.2 Sistem Saraf Parasimpatis
Sistem saraf autonom parasimpatis (parasympathethic autonomic
nervous system, PANS) bagian parasimpatis keluar dari otak melalui
komponen-komponen saraf kranial dan bagian sakral medula spinalis.
Fungsi parasimpatis untuk menurunkan kecepatan denyut jantung dan
pernafasan serta meningkatkan pergerakan saluran cerna sesuai dengan
kebutuhan pencernaan dan pembuangan. Jadi saraf parasimpatis
membantu konservasi dan homeostatis fungsi-fungsi tubuh (Samsidar,
2020).
Bekerja berlawanan dengan sistem saraf simpatis. Jika saraf
simpatis memacu jantung misalnya, maka sistem saraf parasimpatis
memperlambat denyut jantung. Fungsi saraf parasimpatis adalah sebagai
berikut: Merangsang sekresi kelenjar air mata, kelenjar sublingualis,
submandibularis dan kelenjar-kelenjar dalam mukosa rongga hidung.
Mensarafi kelenjar air mata dan mukosa rongga hidung. Menpersarafi
kelenjar ludah, kelenjar parotis. Mempersarafi sebagian besar alat tubuh
yaitu jantung, paru-paru, GIT, ginjal, pankreas, lien, hepar dan kelenjar
suprarenalis. Mempersarafi kolon desendens, sigmoid, rectum, vesika
urinaria dan alat kelamin. Mensarafi proses miksi dan defekasi (Evelyn,
2021).
Sistem saraf parasimpatis terbagi menjadi dua, yaitu (Evelyn, 2021):
1. Agonis Kolinergik
Obat-obat kolinergik bekerja pada reseptor yang diaktifkan oleh
asetilkolin bekerja dengan memicu atau menghambat reseptor sistem
saraf otonom. Selain itu, neuron kolinergik mempersarafi otot-otot sistem
somatis dan juga berperan penting dalam sistem saraf pusat.
a) Agonis kolinergik yang bekerja langsung
Agonis kolinergik (parasimpatomimetik) menyerupai efek asetilkolin
dengan cara berikatan langsung pada kolinoseptor. Obat-obat ini secara
umum dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok ester kolin yang
meliputi asetikolin dan ester kolin sintesis seperti carbacol dan betanechol.
Bentuk alkaloid alamiah seperti pilokarpin termasuk dalam kelompok
kedua. Semua obat kolinergik yang bekerja langsung mempunyai masa
kerja lebih lama dibanding asetilkolin.
b) Agonis kolinergik yang bekerja tidak langsung
Obat ini mampu memacu respon pada semua kolineseptor dalam
tubuh baik reseptor muskarinik maupun nikotinik sistem saraf otonom
demikian pula pada taut neuromuscular dan otak. Contoh obatnya
physostigmine, mekanisme kerjanya mempunyai efek yang luas karena
mampu memacu, tidak saja lokasi muskarinik dan nikotinik pada sistem
saraf otonomtetapi juga reseptor nikotinik pada taut neuromuscular lama
kerja berkisar 2-4 jam dan dianggap sebagai obat masa kerja jangka
menengah. Obat ini dapat mencapai dan memacu lokasi kolinergik dalam
SSP.
2. Antagonis kolinergik
Antagonis kolinergik berikatan dengan kolinoseptor tetapi tidak
memicu efek intraseluler yang diperantarai reseptor efek penghambatan
obat golongan ini adalah penghambatan sinaps muskarinik secara selektif
pada saraf parasimpatis oleh sebab itu efek persarafan parasimpatis
menjadi terganggu dan kerja perangsangan simpatis muncul tanpa
hambatan. Kelompok kedua obat ini penghambatan ganglionik, lebih
menghambat reseptor nikotinik pada ganglia simpatetik dan
parasimpatetik. Secara klinis, golongan obat yang ini kurang penting
diantara obat-obat antikolinergik lain. Kelompok ketiga senyawa ini obat
pelemas neuromuscular mengganggu transmisi impuls eferen yang
menuju otot rangka. Obat-obat kelompok ketiga digunakan sebagai ajuan
anastetik selama pembedahan.
a) Obat Antimuskarinik
Sifat ini bekerja menghambat reseptor muskarinik yang
menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik. Selain itu obat ini
menghambat beberapa neuron simpatis yang juga bersifat kolinergik
seperti persarafan kalenjer keringat dan kalenjer ludah berlawanan
dengan obat agonis kolinergik yang memiliki keterbatasan kegunaan
terapeutik, obat penghambat kolinergik sangat bermanfaat pada sejumlah
besar situasi klinis. Karena obat ini tidak menghambat reseptor nikotinik
obat anti muskarinik sedikit atau tidak memengaruhi taut saraf otot rangka
atau ganglia otonom. Contoh obatnya atropine, mekanisme kerjanya pada
mata yaitu atropin menghambat semua aktivitas kolinergik pada mata
sehingga menimbulkan medriasis yang persistem mata menjadi tidak
bereaksi pada cahaya dan sikloplegika yaitu ketidak mampuan
memfokuskan pada penglihatan dekat. Pada gastrointestinum atropin
dapat digunakan sebagai anti pesmodik untuk mengurangi aktivitas
saluran cerna pada sistem kemih atropin digunakan pula untuk
mengurangi keadaan hipermotilitas kandung kemih. Pada sekresi atropin
menghambat kelenjar saliva sehingga timbul efek pengeringan pada
lapisan mukosa mulut (xerostomia).
b) Penghambat Ganglionik
Penghambat ganglionik bekerja secara spesifik pada reseptor
nikotinik ganglion otonom simpatik dan parasimpatik juga menghambat
ganglia otonom. Obat-obat ini menunjukkan ketiadaan selektivitas
terhadap ganglia simpatis atau parasimpatis dan tidak efektif sebagai
antagonis neuromuscular. Oleh sebab itu, obat ini menghentikan semua
keluaran sistem saraf otonom pada reseptor nikotinik contoh obatnya
nicotine bersifat kompleks sebagai akibat efeknya terhadap ganglia
simpatik dan parasimpatik. Efeknya meliputi peningkatan tekanan darah
dan denyut jantung (akibat pelepasan transmitter dari ujung saraf
adrenergik dan medulla adrenal) serta peningkatan peristaltik dan sekresi.
Pada dosis yang lebih tinggi, tekanan darah menurun akibat penghambat
ganglionik dan aktivitas saluran cerna serta otot-otot kandung kemih
terhenti.
c) Obat pelemas neuromuskular
Obat golongan ini menghambat transmisi kolinergik antara ujung
saraf motoris dengan reseptor nikotinik pada ujung lempeng
neuromuscular otot rangka kelompok kedua pelemas ototpelemas otot
sentral digunakan untuk mengontrol tonus otot spastik obat tersebut
meliputi diazepamdatrolene dan baclofen. Pelemas non depolarisasi yaitu
obat pertama yang diketahui mampu menghambat taut neuromuscular
otot rangka adalah curae yang dipakai oleh pemburu alam daerah amazon
di Amerika Selatan untuk melumpuhkan binatang buruannya, mekanisme
kerja pada dosis rendah yaitu obat pelemas neuromuscular
nondepolarisasi berinteraksi dengan reseptor nikotinik untuk mencegah
pengikatan asetilkolin pada dosis tinggi penghambat nondepolarisasi
dapat menutup kanal ion pada lempeng ujung saraf keadaan ini
menyebakan pelemahan transmisi neuromuskular lebih lanjut dan
mengurangi kemampuan penghambat asetilkolinesterase untuk
menghilangkan kerja pelemas otot nondepolarisasi untuk obat
depolarisasi mekanisme kerjanya yaitu obat pelemas neuromuskular
depolarisasi succinyclocholine melekat pada reseptor nikotinik dan bekerja
menyerupai asetilkolin untuk mendepolarisasi taut. Kadar obat
depolarisasi ini tetap tinggi dalam celah sinaps dan tetap melekat pada
reseptor untuk jangka waktu yang relatif lama serta terus menerus
memacu reseptor.
II.3 Reseptor
II.3.1 Reseptor Adrenergik (Adrenoseptor)
Terdapat dua kelas reseptor simpatis (Adrenergik) yang umum yaitu
reseptor alfa dan reseptor beta. Secara umum, NE lebih menstimulasi
reseptor alfa dibandingkan dengan reseptor beta karena reseptor β2 lebih
responsif terhadap E, oleh karena itu epinefrin menstimulasi kedua kelas
reseptor. Sehingga NE terlibat dalam stimulasi terlokalisir sedangkan E
mempengaruhi reseptor alfa dan beta seluruh tubuh (Samsidar, 2020).
Reseptor alfa dan beta adalah reseptor dengan protein G dimana
efek stimulasi pada reseptor tersebut tidak sama di seluruh tubuh,
tergantung produksi jenis second messengers yang dihasilkan. Stimulasi
reseptor alfa (α) mengaktivasi enzim di dalam membran sel. Terdapat dua
tipe reseptor alfa yaitu alfa -1 (α1) dan alfa-2 (α2). Fungsi reseptor α1 (tipe
reseptor alfa yang paling banyak) adalah pelepasan ion kalsium dari
cadangan di retikulum endoplasma yang menyebabkan efek eksitatori
pada sel target. Sedangkan stimulasi reseptor α2 menghasilkan
penurunan kadar cyclic-AMP (cAMP) di sitoplasma. Cyclic-AMP adalah
second messenger yang dapat mengaktifasi sehingga penurunan cAMP
umumnya memiliki efek inhibisi sel. Umumnya reseptor α2 terdapat di
presinap yang disebut autoreseptor untuk self-inhibiting sehingga NE akan
berhenti dilepaskan ke celah sinaps. Reseptor α2 juga terdapat pada divisi
parasimpatik yang berfungsi membantu koordinasi aktivitas simpatik dan
parasimpatik dimana saat NE dilepaskan akan menghambat aktivitas
parasimpatis (Samsidar, 2020).
Reseptor β adalah reseptor dengan protein G yang menstimulasi
peningkatan kadar cAMP intrasel setelah neurotransmitter berikatan
dengan reseptor. Reseptor beta (β) berlokasi di membran sel pada banyak
organ, dimana reseptor ini umumnya terdiri dari β1, dan β2. Reseptor β1
lebih dominan di jantung sedangkan β2 lebih tersebar luas di dalam tubuh,
meskipun terdapat reseptor β1 yang terdapat di organ lain selain jantung
dan β2 di jantung. Umumnya stimulasi reseptor β1 kemudian akan
meningkatkan aktifitas metabolisme atau eksitasi sedangkan, stimulasi
reseptor β2 menyebabkan inhibisi sebagai contoh memicu relaksasi otot
polos sepanjang jalur pernafasan. Tipe reseptor beta yang ketiga adalah
beta-3 (β3), terdapat di jaringan lemak, stimulasinya menyebabkan
lipolisis, penghancuran trigliserid yang disimpan dalam adiposity
(Samsidar, 2020).
II.3.2 Reseptor Kolinergik (Kolinoseptor)
Parasimpatis menggunakan transmitter yang sama, terdapat dua tipe
reseptor ACh di membrane postsinaps, yaitu (Samsidar, 2020) :
1. Reseptor Muskarinik
Dijumpai pada semua sel efektor yang dirangsang oleh neuron
kolinergik post ganglion baik oleh sistem saraf simpatis maupun
parasimpatis. Resptor muskarinik memiliki protein G dan stimulasinya
menghasilkan efek yang lebih lama dibandingkan stimulasi yang
disebabkan oleh reseptor nikotinik. Responnya dapat berupa eksitasi atau
inhibitory. Reseptor Muskarinik (M) terdiri dari beberapa tipe yaitu M1—
M5. Atropin memblok semua reseptor muskarinik dan terdapat pula obat
yang selektif memblok reseptor M.
2. Reseptor Nikotinik
Berlokasi di ganglia otonom pada sinaps antara neuron preganglion
dan postganglion parasimpatis dan simpatis, yang juga terdapat pada
neuromuskular junction SSS. Saat ACh berikatan dengan reseptor terjadi
influx cepat Na+ dan Ca2+ dan eksitasi potensial postsinal yang cepat yang
kemudian memicu potensial aksi postsinap.
II.4 Neurotransmiter
Neurotransmitter pada sistem saraf simpatis yaitu norepinefrin dan
epinefrin. Ketika norepinefrin dan epinefrin serabutnya disebut adrenergik
(adrenalin adalah nama lain adrenergik). Pada saraf simpatis, norepinefrin
menghantarkan transmisi implus saraf dari saraf otonom pascaganglionik
menuju ke organ refektor (Harvery, 2018).
Mekanisme sintesis dan pelepasan norepinefrin (Harvey, 2018):
a) Sintesis asetilkolinkolin diangkut dari cairan ekstraseluler menuju
sitoplasma neuron kolinergik melalui suatu sistem karier, tergantung
energi yang secara bersamaan juga mengangkut natrium dan dapat
dihambat oleh obat hemicholinium. Pengambilan kolin merupakan
proses yang membatasi kecepatan dalam proses sintesis asetilkolin.
Kolin asetiltransferase mengatalisis reaksi kolin dengan asetil koenzim
A (COA) untuk membentuk asetilkolin suatu bentuk ester didalam
sitosom. Asetil KoA berasal dari mitokondria dan dihasilkan melalui
siklus krebs dan oksidasi asam lemak.
b) Penyimpanan asetilkolin dalam vesikelasetilkolin dikemas menjadi
vesikel-vesikel prasinaps melalui suatu proses transpor aktif yang
bergabung dengan pelepasan (aliran keluar) proton vesikel matang
tidak hanya mengandung asetilkolin tetapi juga adenosin trifosfat (ATP)
dan proteoglikan kotransmisi dari neuron otonom sudah menjadi suatu
ketetapan bukanlah pengecualian hal ini berarti bahwa sebagian besar
vesikel sinaps akan mengandung neurotransmitter dalam hal ini
asetilkolin dan kotransmiter yang akan meningkatkan atau menurunkan
efek neurontransmiter primer neurotransmiter dalam vesikel akan
tampak seperti struktur manik-manik dan dikenal sebagai varisicoties,
pada sepanjang ujung prasinaps.
c) Pelepasan asetilkolin jika suatu potensial aksi dicetuskan oleh kerja
kanal natrium yang peka voltasekanal-kanal kalsium yang peka voltase
pada membran prasinaps akan terbukamenyebabkan peningkatan
kalsium intraseluler peningkatan kadar kalsium ini memicu fusi vesikel-
vesikel sinaps dengan membran sel dan melepaskan isi vesikel menuju
ke celah sinaps.
d) Pengikatan pada reseptor, asetilkolin yang dilepas dari vesikel sinaps
terdifusi melewati celah sinaps serta mengikat reseptor pascasinaps
pada sel sasaran dan reseptor prasinaps pada membran neuron yang
melepaskan asetilkolin reseptor kolinergik pascasinaps pada
permukaan organ efektor dikelompokkan menjadi dua kelas muskarinik
dan nikotinik. Ikatan dengan reseptor menimbulkan respon biologi
dalam suatu sel seperti inisiasi suatu impuls saraf pada serabut
pascaganglionik atau pengaktifan sejumlah enzim tertentu didalam sel
efektor yang diperantarai oleh molekul pembawa pesan kedua.
e) Degradasi asetikolin, sinyal pada lokasi efektor pascatautan akan
diterminasi cepat karena asetilkolinesterase akan memecah asetikolin
menjadi kolin dan asetat didalam celah sinaps.
f) Daur ulang kolin, kolin dapat ditangkap kembali melalui sistem yang
tergabung natrium, suatu sistem pengambilan yang berafinitas tinggi
dan mengangkut molekul kembali menuju ke neuron, tempat molekul
akan diasetilasi menjadi asetikolin yang kemudian disimpan sampai
disimpan kembali melalui proses potensial aksi berikutnya.

BAB III
METODE KERJA
III.1 Waktu dan Tempat
Adapun praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 21 september 2023
di Laboratorium Farmakologi Dan Farmasi Klinik Universitas Al Marisah
Madani Makassar.
III.2 Alat dan Bahan
III.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu cawan
porselen, erlenmeyer, gelas ukur, handscoon tebal dan latex, kanula, plat
form, spoit 1 ml, timbangan analitik dan tissue.
III.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu Aqua pro
injection, Metildopa, Pilokarpin dan Propanolol.
III.3 Metode kerja
III.3.1 Cara kerja
1. Disiapkan alat, bahan dan hewan coba (Mencit 3 ekor/kelompok).
2. Ditimbang bobot masing-masing mencit.
3. Dihitung volume pemberian obat.
4. Dibagi di tiap kelompok, kelompok 1 Aqua Pro Injection (API) sebagai
kontrol negatif, kelompok 2 Metildopa, kelompok 3 Propanolol, dan
kelompok 4 Pilokarpin.
5. Diamati selama 30 menit (0-15 dan 16-30) grooming, defekasi, dan
deuresis pada mencit.
6. Dicatat.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
0-15 16-30 RATA
OBAT 1 2 3 X 1 2 3 X
X
Groming 9 3 5 5,6 7 5 4 5,3 5,45
API (-) Defekasi 2 - 1 1 1 2 - 1 1
Deuresis - - 1 0,3 2 1 - 1 0,65
Groming 1 17 6 7,6 10 9 2 7 7,3
Metildopa Defekasi - 2 2 2 2 - 1 1 1,5
Deuresis - - 1 1 1 1 1 1 1
Groming 5 3 1 4,3 3 3 2 3,45 3,45
Propanolol Defekasi 1 1 2 1,3 2 1 1 1,3 1,3
Deuresis 1 1 1 1 2 2 2 1,5 1,5
Groming 9 14 3 8,6 7 13 6 8,6 8,6
Pilokarpin Defekasi 2 - 1 1 - - 1 0,3 0,65
Deuresis 1 - 3 1,3 1 - 2 1 1,15
IV.2 Pembahasan
Aqua Pro Injection (API), kontrol negatif berfungsi untuk
membuktikan bahwa tidak ada efek saraf simpatis dan parasimpatis yang
di timbulkan dengan pemberian API (Sandra, 2021).
Setelah diberikan Aqua Pro Injection pada hewan coba mencit (Mus
musculus) mengalami grooming selama 3 replikasi defekasi hanya pada
replikasi 1 dan 3 pada deuresis terjadi hanya pada replikasi 3 di menit 0-
15 dan pada menit 15-30 grooming terjadi di tiap menit pada defekasi dan
deuresis pada replikasi 3 tidak ada. Hal ini tidak sesuai literatur yang
mengatakan tidak ada efek saraf parasimpatis dan simpatis yang di
timbulkan setelah pemberian Aqua pro injection (Brown, 2018).
Pada tabel metildopa terlihat efek terjadi grooming pada menit 0-15
di tiap replikasi defekasi dan deuresis hanya terjadi pada replikasi 2 dan 3
dan pada menit 15-30 terlihat terjadi penurunan pada grooming dan
terjadi defekasi dan deuresis pada replikasi 1 rata-rata pada grooming 7,3
defekasi1,5 dan deuresis 1 terlihat pada reaksi grooming sangat tinggi
yang menunjukan onset obat metildopa terjadi pada mencit. Hal ini sudah
sesuai dengan literatur yang menyatakan pada saat mencit mengalami
reaksi grooming yang menyebabkan tanda depresi efek dari obat
metildopa (Brown, 2018).
Pada tabel propanolol terlihat reaksi grooming pada menit ke 0-15 di
3 replikasi secara berturut (5 3 5) dan menit ke 16-30 secara berturut-turut
(3 3 2). Reaksi defekasi secara berturut-turut pada ke 3 replikasi pada
menit ke 0-15 (1 1 2) dan menit ke 16-30 (2 1 1), reaksi deuresis secara
berturut-turut pada ke 3 replikasi di menit ke 0-15 (1 1 1) dan menit ke 16-
30 (2 2 2).
Propanonol digunakan sebagai salah satu obat karena propanolol
merupakan salah satu obat golongan antagonis adrenergik (Simpatolitik)
yaitu obat yang menghambat saraf simpatis secara langsung pada
reseptor (Aprhodyta, 2018).
Propanolol menghalangi neurotransmitter untuk berikatan dengan
reseptor oleh karena itu propanolol, dapat memberikan efek deuresis yaitu
efek yang didukung oleh saraf parasimpatis karena obat golongan
antagonis adrenergik mempunyai efek yang sama dengan agonis
kolinergik (Aprhodyta, 2018).
Pada tabel Pilokarpin terlihat reaksi grooming pada mencit ke 0-15
berbeda pada setiap replikasi dimana replikasi 1,2,3 adalah (9 14 3) pada
menit ke 16-30 terlihat replikasi (7 13 6). Pada defekasi untuk menit ke 0-
15 terjadi reaksi yang berbeda pada replikasi 1 itu (2) replikasi ke 2 itu
tidak ada dan replikasi ke 3 itu (1) dan pada menit ke 16-30 juga berbeda
pada replikasi 1 dan 2 tidak ada perubahan dan replikasi ke 3 (1). Dan
deuresis pada menit ke 0-15 terjadi reaksi pada replikasi 1 dan 3 ada (1 3)
pada replikasi ke 2 tidak terjadi dan pada menit ke 16-30. Replikasi 1 dan
3 ada (1 2) dan pada replikasi ke 2 tidak terjadi apa-apa.
Pilokarpin merupakan agonis kolinergik yang bekerja secara
langsung pada reseptor muskarinik. Pilokarpin akan berikatan dengan
reseptor muskarinik sehingga saraf parasimpatis akan bekerja dengan
obat golongan agonis kolinergik, memiliki efek yang sama dengan
antagonis adrenergik. Oleh karena itu, pilokarpin dapat memberikan efek
diuresis dari menghambat efek grooming pada mencit (Aprhodyta, 2018).
BAB V
PENUTUP
V.I Kesimpulan
Hasil pada kelompok 1 API (Aqua Pro Injection) tidak sesuai dengan
literatur terjadi faktor kesalahan karena ketidaktelitian saat mengamati
efek obat dan kesalahan dalam menyiapkan obat. Pada kelompok 2
methyldopa telah sesuai dengan literatur pada efek grooming (7,3)
disebabkan dari efek obat methyldopa. Kelompok 3 propanorol sudah
sesuai dengan literatur yang menyatakan terjadi deuresis pada efek
deuresis (1). Pada kelompok 4 pilokarpin sudah sesuai dengan literatur
pada deuresis tetapi pada efek grooming tidak sesuai dengan literatur
faktor kesalahan karena ketidaktelitian dalam memberikan obat
V.2 Saran
V.2.1 Saran untuk dosen
Adapun saran untuk dosen sebaiknya dapat hadir dan membimbing
pada saat praktikum dilaksanakan.
V.2.2 Saran untuk asisten
Adapun saran untuk asisten sebaiknya dapat selalu hadir dan
mendampingi praktikan dalam menjalankan praktikum agar terhindar dari
kesalahan yang tidak disengaja.
V.2.3 Saran untuk laboratorium
Adapun saran untuk laboratorium sebaiknya dapat melengkapi alat
praktikum yang akan digunakan dan lebih memperhatikan alat yang telah
rusak untuk segera diganti.

DAFTAR PUSTAKA
Aprhodyta, Rezki. 2018. Perbandingan efek grooming Pada Mencit Yang
Diberikan Epinefrin dan Atropin Diuresis Pada Mencit Yang
Diberikan Pilokarpin dan Propanolol. Universitas
Hasanuddin: Makassar.
Apriyani E, Dkk, 2021. Teori Anatomi Tubuh Manusia. Yayasan Penerbit
Muhammad Zaini.
Brown CM, Garovic VD. 2018. Drug treatment of hypertension in
pregnancy. Drugs. 2014;74(3):283–96.
Dian Rhadianti, 2022. Simpatektomi jantung pada hewan coba yang
diinduksi 6-hidroksidopamin. Jurnal ilmiah Stikes kendal Mataram.
Dr. Hadi Sunaryo, dkk. 2020. E-Book: Farmakologi Obat Sistem Saraf.
UHAMKA PRESS.
Evelyn C.Pearce 2021. ANATOMI DAN FISIOLOGI UNTUK PARAMEDIS,
Gramedia Pustaka Utama Jakarta.C
Harvery, Richard A. Dan Pamela C. Champe. 2018. Farmakologi Ulasan
Bergambar. Jakarta: EGC.
Samsidar Usman, 2020. Uji efek antidiare dan uji efek system saraf
otonom (SSO) infus daun tapak dara (Catharanthus roseus L)
terhadap hewan mencit Fakultas farmasi Universitas Indonesia
timur makassar
Sandra Tri Juli Fendri, 2021. Uji efek antipiretik dari hasil uni degradasi
paracetamol dengan menggunakan lampu UV 253 nm pada mencit
putih jantan. Universitas Baiturrahmah.
Sulanjani, Ian., Meiana Dwi Andini dan Martha Halim. 2018. Dasar-Dasar
Farmakologi. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.

LAMPIRAN
1. Perhitungan
Bobot mencit :
Mencit 1 : 25 gr
Mencit 2 : 20 gr
Mencit 3 : 24 gr
Perhitungan kelompok 2 :
Metildopa : 250 mg (dosis dewasa).
1. Dosis konversi : 250 mg × 0,0026 = 0,65 mg/20g BB
25
Mencit 1 : × 0 ,65=0,812 mg/25g BB
20
20
Mencit 2 : × 0 ,65=0 , 65 mg/25g BB
20
24
Mencit 3 : × 0 , 65=0 ,78 mg/25g BB
20
2. Volume ideal pemberian pada HC
Mencit : 0,5 / 0,3 ml
3. Volume larutan stok : J.HC × V.max
: 12 × 1 ml
: 12 ml
4. Perhitungan yang mau ditimbang :
0,812
Mencit 1 : ×12=32 , 48 mg
0,3
0 , 65
Mencit 2 : ×12=26 mg
0,3
0 ,78
Mencit 3 : ×12=31, 2 mg
0 ,3
Perhitungan kelompok 3 :
Propanolol : 20 mg (dosis dewasa).
1. Dosis konversi : 20 mg × 0,0026 = 0,052 mg/20g BB
25
Mencit 1 : × 0,052=0,065 mg/25g BB
20
20
Mencit 2 : × 0,052=0,052 mg/25g BB
20
24
Mencit 3 : × 0,052=0,0624 mg/25g BB
20

2. Volume ideal pemberian pada HC


Mencit : 0,5 / 0,3 ml
3. Volume larutan stok : J.HC × V.max
: 12 × 1 ml
: 12 ml
4. Perhitungan yang mau ditimbang :
0,065
Mencit 1 : × 12=2 ,6 mg
0,3
0,052
Mencit 2 : ×12=2 ,08 mg
0,3
0,0624
Mencit 3 : ×12=2,496 mg
0,3
Perhitungan kelompok 4 :
Pilokarpin : 5 mg (dosis dewasa).
1. Dosis konversi : 5 mg × 0,0026 = 0,013 mg/20g BB
25
Mencit 1 : × 0,013=0,016 mg/25g BB
20
20
Mencit 2 : × 0,013=0,013 mg/25g BB
20
24
Mencit 3 : × 0,013=0,015 mg/25g BB
20
2. Volume ideal pemberian pada HC
Mencit : 0,5 / 0,3 ml
3. Volume larutan stok : J.HC × V.max
: 12 × 1 ml
: 12 ml
4. Perhitungan yang mau ditimbang :
0,016
Mencit 1 : × 12=0 , 64 mg
0,3
0,013
Mencit 2 : × 12=0 , 52 mg
0,3
0,015
Mencit 3 : × 12=0 , 6 mg
0,3
2. Skema kerja

Disiapkan alat, bahan, dan


hewan coba mencit 12 ekor

Ditimbang bobot masing-


masing mencit

Hitung volume pemberian

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4


API (-) Metildopa Propanolol Pilokarpin

Diamati selama 30 menit


(0-15) dan (16-30)
grooming, defekasi dan
deuresis

Amati dan catat

3. Dokumentasi Praktikum
No Gambar Keterangan
1.

Penimbangan hewan coba

Tandai mencit yang


sudah di timbang pada
2.
bagian ekor

Hitung dosis pemberian

3. yang akan diberikan pada


hewan.

Berikan secara oral


menggunakan spoit dan
4.
kanula.

Lalu diamati reaksi dari


hewan coba dalam waktu
0-15 menit dan 16-30
5.
menit.

Anda mungkin juga menyukai