Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang  mempelajari
kemampuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya,
kegiatan fisiologi, resorpsi dan nasipnya didalam organisme hidup. Untuk
menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta
penggunaan pada pengobatan penyakit, disebut farmakologi klinis. Ilmu khasiat
obat ini mencakup beberapa bagian yaitu farmakognosi, biofarmasi,
farmakokinetik dan farmakodinamika, toksikologi dan farmakoterapi.
Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh
dan sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek
teraupetis obat berhubungan erat dengan efek dosisnya. Pada hakikatnya setiap
obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak
organisme (“sola dosis facit venenum”) yang artinya hanya dosis membuat racun.
Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu
mengenai cara membuat, memformulasi, menyimpan dan menyediakan obat.
Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati,
mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu kondisi tertentu.
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi
sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Dua
perangkat neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah
neuron aferen atau sensorik dan neuron eferen atau motorik. Neuron aferen
mengirimkan impuls ke sistem saraf  pusat, dimana impuls itu diinterprestasikan.
Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari otak dan meneruskan impuls ini
melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur eferen dalam sistem saraf
otonom dibagi menjadi dua cabang yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis.
Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-organ yang sama tetapi
menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya homeostatis
(keseimbangan). Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis dapat berupa respon yang merangsang atau menekan.
Dalam dunia farmasi, sistem saraf otonom ini sangat erat hubungannya
dengan farmakologi dan toksikologi karena kita dapat mengetahui mekanisme
kerja obat yang akan mempengaruhi sistem saraf otonom itu sendiri.

I.2 Tujuan
1. Menjelaskan pengertian sistem saraf.
2. Menjelaskan pengertian obat sistem saraf otonom.
3. Menjelaskan penggolongan sistem saraf otonom, contoh-contoh obat sistem
saraf otonom beserta mekanisme kerja obat.

I.3 Rumusan Masalah


1. Apa itu sistem saraf ?
2. Apa pengertian obat sistem saraf otonom ?
3. Bagaimana penggolongan sistem saraf otonom, contoh-contoh obat sistem
saraf otonom beserta mekanisme kerja obat ?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Sistem saraf
Sistem saraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem koordinasi
yang bertugas menerima rangsangan, menghantarkan rangsangan ke seluruh
bagian tubuh, serta memberikan respons terhadap rangsangan tersebut.
Pengaturan penerima rangsangan dilakukan oleh alat indera, pengolah rangsangan
dilakukan oleh saraf pusat yang kemudian meneruskan untuk menanggapi
rangsangan yang datang dilakukan oleh sistem saraf dan alat indera.
Cara Kerja Sistem Saraf
Pada sistem saraf ada bagian-bagian yang disebut :
a. Reseptor : alat untuk menerima rangsang biasanya berupa alat indra
b. Efektor : alat untuk menanggapi rangsang berupa otot dan kelenjar
c. Sel Saraf Sensoris : serabut saraf yang membawa rangsang ke otak
d. Sel saraf Motorik : serabut saraf yang membawa rangsang dari otak
e. Sel Saraf Konektor : sel saraf motorik atau sel saraf satu dengan sel
saraf lain.
Skema terjadinya gerak sadar
Rangsang -reseptor – sel saraf sensorik – otak-sel saraf motorik-efektor-
tanggapan.
Sistem syaraf adalah sebuah sistem organ yang mengandung jaringan sel-sel
khusus yang disebut neuron yang mengkoordinasikan tindakan binatang dan
mengirimkan sinyal antara berbagai bagian tubuhnya. Pada kebanyakan hewan
sistem saraf terdiri dari dua bagian, pusat dan perifer. Sistem saraf pusat terdiri
dari otak dan sumsum tulang belakang. Sistem saraf perifer terdiri dari neuron
sensorik, kelompok neuron yang disebut ganglia, dan saraf menghubungkan
mereka satu sama lain dan sistem saraf pusat. Daerah ini semua saling
berhubungan melalui jalur saraf yang kompleks. Di sistem saraf enterik, suatu
subsistem dari sistem saraf perifer, memiliki kapasitas, bahkan ketika dipisahkan
dari sisa dari sistem saraf melalui sambungan primer oleh saraf vagus, untuk
berfungsi dengan mandiri dalam mengendalikan sistem gastrointestinal.
Neuron mengirimkan sinyal ke sel lain sebagai gelombang elektrokimia
perjalanan sepanjang serat tipis yang disebut akson, yang menyebabkan zat kimia
yang disebut neurotransmitter yang akan dirilis di persimpangan yang disebut
sinapsis. Sebuah sel yang menerima sinyal sinaptik mungkin bersemangat,
terhambat, atau sebaliknya dimodulasi. Sensory neuron diaktifkan oleh
rangsangan fisik menimpa mereka, dan mengirim sinyal yang menginformasikan
sistem saraf pusat negara bagian tubuh dan lingkungan eksternal. Motor neuron,
terletak baik dalam sistem saraf pusat atau di perifer ganglia, menghubungkan
sistem saraf otot atau organ-organ efektor lain. Sentral neuron, yang pada
vertebrata sangat lebih banyak daripada jenis lain, membuat semua input dan
output mereka koneksi dengan neuron lain. Interaksi dari semua jenis bentuk
neuron sirkuit neural yang menghasilkan suatu organisme persepsi dari dunia dan
menentukan perilaku. Seiring dengan neuron, sistem saraf mengandung sel-sel
khusus lainnya yang disebut sel-sel glial (atau hanya glia), yang menyediakan
dukungan struktural dan metabolik.
Sistem saraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas
menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh.
Sistem saraf memungkinkan makhluk hidup tanggap dengan cepat terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan luar maupun dalam.
Untuk menanggapi rangsangan, ada tiga komponen yang harus dimiliki oleh
sistem saraf  yaitu:
• Reseptor
Adalah alat penerima rangsangan atau impuls. Pada tubuh kita yang ber tindak
sebagai reseptor adalah organ indera.
• Penghantar impuls
Dilakukan oleh saraf itu sendiri. Saraf tersusun dari berkas serabut penghubung
(akson). Pada serabut penghubung terdapat sel-sel khusus yang memanjang dan
meluas. Sel saraf disebut neuron.
• Efektor
Adalah bagian yang menanggapi rangsangan yang telah diantarkan oleh
penghantar impuls. Efektor yang paling penting pada manusia adalah otot dan
kelenjar.
Berdasarkan struktur dan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3
kelompok,
yaitu sel saraf sensori, sel saraf motor, dan sel saraf intermediet (asosiasi).
• Sel saraf sensori
Fungsi sel saraf sensori adalah menghantar impuls dari reseptor ke sistem saraf
pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum belakang (medula spinalis). Ujung
akson dari saraf sensori berhubungan dengan saraf asosiasi (intermediet).
• Sel saraf motor
Fungsi sel saraf motor adalah mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke otot
atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap rangsangan.
Badan sel saraf motor berada di sistem saraf pusat. Dendritnya sangat pendek
berhubungan dengan akson saraf asosiasi, sedangkan aksonnya dapat sangat
panjang.
•   Sel saraf intermediet
Sel saraf intermediet disebut juga sel saraf asosiasi. Sel ini dapat ditemukan di
dalam sistem saraf pusat dan berfungsi menghubungkan sel saraf motor dengan
sel saraf sensori atau berhubungan dengan sel saraf lainnya yang ada di dalam
sistem saraf pusat. Sel saraf intermediet menerima impuls dari reseptor sensori
atau sel saraf asosiasi lainnya.

II.2 Pengertian Obat Sistem Saraf Otonom


Obat saraf otonom adalah obat yang dapat mempengaruhi penerusan impuls
dalam sistem saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan,
pembebasan, atau penguraian neurotransmiter atau mempengaruhi kerjanya atas
reseptor khusus.
Sistem saraf otonom atau sistem saraf tidak sadar mengatur kerja otot yang
terdapat peda organ dan kelenjar. Contohnya fungsi vital seperti denyut jantung,
salivasi dan pencernaan yang berlangsung terus-menerus diluar kesadaran baik
waktu bangun maupun waktu tidur.

II.3 Penggolongan sistem saraf otonom.


Sistem saraf otonom dapat dibagi kedalam dua kelompok besar yang
umumnya satu sama lain saling menyeimbangkan. Kedua sestem saraf tersebut
adalah :
1. Sistem saraf simpatik dan sistem parasimpatik. Pada syaraf simpatik
mempunyai sel syaraf preganglion lebih pendek daripada sel syaraf
postganglionnya. Selain itu pada sistem syaraf simpatik ini neurotransmitter yang
dilepaskan adalah nor-epinefrin atau nor-adrenalin yang akan bereaksi dengan
reseptor adrenergik, maka sistem syaraf sipatik ini disebut juga dengan sistem
syaraf adrenergik. Sistem Simpatis yang mempunyai aktivitas perangsangan,
responnya antara lain adalah peningkatan denyut jantung, peningkatan kekuatan
jantung, gula darah dan tekanan darah
2. Pada sistem syaraf parasimpatik memiliki sel syaraf preganglion lebih panjang
dari pada sel syaraf  postganglionnya. Pada sistem syaraf ini neurotransmitter
yang dilepaskan oleh ujung sel syaraf adalah asetilkolin yang akan bereaksi
dengan reseptor asetilkolin muskarinik ataupun pada reseptor asetilkolin
nikotinik. Reseptor nikotinik terdapat pada semua ganglia syaraf otonom (celah
antara sel syaraf preganglion dan postganglion), pada neuromuscular junction
(celah antara sel syaraf somatik dan sel otot skeletal), dan pada sel kromafin
medula adrenal. Sedangkan reseptor muskarinik terdapat pada sel organ efektor
syaraf kolinergik, misalnya sel parietal lambung, jantung, saluran pencernaan, dll.
Sistem Parasimpatis berkaitan dengan pertahanan tubuh dan perbaikan
sumber-sumber tubuh antara lain penurunan denyut jantung, peningkatan
aktivitas gastrointestinal dan absorbsi makanan.

Berdasarkan hal diatas tadi maka obat-obatan sistem syaraf otonom


dibedakan menjadi beberapa bagian berikut:
1. Agonis Kolinergik
Istilah agonis kolinergik berarti obat-obat tersebut dapat berikatan dengan reseptor
dan dapat menimbulkan efek. Obat-obatan disini berarti aksinya menyerupai
neurotransmitter utama yaitu asetilkolin. Istilah agonis kolinegik ini juga dapat
disebut dengan kolinomimetik atau parasimpatomimetik. Target aksi obat-obatan ini
ada 2 yaitu: Agonis Kolinergik langsung  dan Inhibitor Kolinesterase.
  1.  Agonis Kolinergik langsung
Obat ini bereaksi secara langsung dengan reseptor asetilkolin. obat-obatan
pada agonis kolinergik langsung ini bereaksi pada 2 tempat yaitu sebagai Agonis
Muskarinik, dan  Agonis Nikotinik.
A. Agonis Muskarinik
Obat golongan ini dibedakan menjadi 2 yaitu obat golongan ester dan
alkaloid
 Obat golongan ester
Pada obat golongan ester ini merupakan senyawa ester dari
neurotransmitter asetilkolin, oleh karena itu obat golongan ini strukturnya
mirip dengan asetilkolin. Oleh karena itu obat golongan ini juga dapat
dimetabolisme oleh enzim asetilkolinesterase. Contoh obat golongan ester ini
adalah Metakolin, betanekol, dan Karbakol. Metakolin dan Betanekol
mempunyai spesifitas hanya pada reseptor muskarinik. Jika karbakol
mempunyai spesifitas pada kedua reseptor (muskarinik dan nikotinik).
 Obat golongan alkaloid
Pada obat golongan ini strukturnya tidak mirip dengan asetilkolin, maka
obat golongan ini tidak dapat dimetabolisme oleh enzim asetilkolinesterase.
Contoh obat golongan ini adalah Pilokarpin, muskarin, dan
arekolin.Golongan obat ini yang dipakai hanyalah pilokarpin sebagai obat
tetes mata untuk menimbulkan efek miosis.
B. Agonis Nikotinik
Sesuai dengan namanya maka obat ini bekerja pada reseptor asetilkolin
nikotinik. Obat ini dapat mempengaruhi pada siste syaraf somatik atau
neuromuscular junction. Contoh senyawanya adalah nikotin, lobelin, epibatidin,
dll. Nikotin dal lobelin didapatkan dari isolasi dari tanaman tembakau dan
senyawa ini dapat digunakan untuk orang yang kecanduan merokok.
2. Inhibitor Kolinesterase
Pada bagian sistem syaraf otonom terdapat suatu enzim yang sangat penting
yaitu Asetilkolin asetil hidrolase (AchE) atau biasa disebut dengan
asetilkolinesterase. Enzim ini ditemukan pada celah syaraf kolinergik,
neuromuscular junction, dan darah. Enzim ini sangat penting karena berfungsi
untuk memecah asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Obat dalam hal ini bereaksi
dengan menghambat enzim kolinesterase pada celah sinaptik. Sedangkan obat-
obatannya beraksi dengan 2 tipe, yaitu sebagai Inhibitor reversibel dan sebagai
Inhibitor Ireversibel.
A. Inhibitor Reversibel
Obat ini dapat berinteraksi secara kompetitif dengan sisi aktif enzim AChE
dan dapat terbalikkan / reversibel. Obat pada golongan ini bersifat larut air.
Contoh obat-obatan yang bersifat inhibitor reversibel ini adalah Edroponium.
Obat ini bereaksi dengan cepat yang diberikan secara intravena untuk diagnosa
penyakit Myastenia gravis. Pada penderita Myastenia gravis jika diberikan
Edroponium maka akan meningkatkan kekuatan otot skeletal.
   B. Inhibitor Irreversibel
Obat ini berinteraksi dengan sisi sktif enzim AchE dan bersifat tak
terbalikkan dan biasanya senyawa golongan ini bersifat larut dalam lipid sehingga
dapat menembus barrier darah otak. Obat ini bereaksi dengan memfosforilasi
enzim AchE sehingga mengakibatkan inaktivasi enzim tersebut. Senyawa yang
bersifat sebagai Inhibitor Irreversibel ini contohnya yaitu Malation, golongan
insektisida dan golongan pestisida (organophosphat). Jika suatu inhibitor
irreversibel ini bereaksi terhadap enzim asetilkolinesterase maka enzim ini tidak
aktif sehingga tidak dapat memecah asetilkolin menjadi asetat dan kolin dan
mengakibatkan penumpukan. Obat yang dapat digunakan adalah Pralidoksim.
Obat ini bereaksi dengan menarik kuat Inhibitor Irreversibel dari sisi aktif enzim
agar enzim tersebut aktif kembali. Tetapi penggunakaan pralidoksim pada pasien
keracunan organophosphat harus dilakukan pada waktu yang cepat, karena dalam
waktu beberapa jam setelah keracunan organofospat, enzim terfosforilasi atau
kehilangan gugus alkil atau alkoksi sehingga menyebabkan atbil dan lebih
resisten terhadap pralidoksim.
2. Antagonis Kolinergik
Aktifitas obat antagonis berarti melawan, yaitu melawan dari aksi
neurotransmitter : asetilkolin. Secara definitif berarti obat yang menghambat atau
mengurangi aktifitas dari asetilkolin atau persyarafan kolinergik.
Antagonis kolinergik (disebut juga obat penyekat kolinergik atau obat
antikolinergik) mengikat koffloseptor tetapi tidak memicu efek intraselular
diperantarai oleh reseptor seperti lazimnya yang paling bermanfaat dari obat
golongan ini adalah menyekat sinaps muskarinik pada saraf parasimpatis secara
selektif. Oleh karena itu, efek persarafan parasimpatis menjadi terganggu, dan
kerja pacu simpatis muncul tanpa imbangan. Kelompok kedua obat ini, penyekat
ganglioník nampaknya lebib menyekat reseptor nikotinik pada ganglia simpatis
dan parasímpatis. Keluarga ketiga senyawa ini, obat penyekat neumuscular
mengganggu transmisi impuls eferon yang menuju otot rangka.
Obat antikolinergik (dikenal juga sebagai obat antimuskatrinik,
parasimpatolitik, penghambat parasimpatis). Saat ini terdapat antikolinergik yang
digunakan untuk.
a)      mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya antispasmodik.
b)      Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum.
c)       Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit parkinson.
Contoh obat-obat antikolinergik adalah atropin, skopolamin, ekstrak
beladona, oksifenonium bromida dan sebagainya. Indikasi penggunaan obat ini
untuk merangsang susunan saraf pusat (merangsang nafas, pusat vasomotor dan
sebagainya, antiparkinson), mata (midriasis dan sikloplegia), saluran nafas
(mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus, sistem kardiovaskular
(meningkatkan frekuensi detak jantung, tak berpengaruh terhadap tekanan darah),
saluran cerna (menghambat peristaltik usus/antispasmodik, menghambat sekresi
liur dan menghambat sekresi asam lambung).
Obat antikolinergik sintetik dibuat dengan tujuan agar bekerja lebih selektif
dan mengurangi efek sistemik yang tidak menyenangkan. Beberapa jenis obat
antikolinergik misalnya homatropin metilbromida dipakai sebagai antispasmodik,
propantelin bromida dipakai untuk menghambat ulkus peptikum, karamifen
digunakan untuk penyakit parkinson.

3. Agonis Adrenergik
Agonis adrenergik merupakan obat yang memacu atau meningkatkan syaraf
adrenergik. Oleh karena itu obat-obat yang bekerja secara agonis adrenergik
ini beraksi menyerupai neurotransmitternya, yaitu nor-adrenalin. Agonis
adrenergik juga dinamakan dengan Adrenomimetik. Obat-obat yang bekerja
dengan cara ini bereaksi dengan reseptor adrenergik, yaitu reseptor adrenergik α
& reseptor adrenergik β. Reseptor α sendiri terdapat 2 tipe, dan reseptor β juga
terdapat 2 tipe yang digunakan obat-obat golongan ini untuk berinteraksi. Efek
aktivasi dari kedua jenis reseptor ini dapat dilihat pada bagian berikut :
1. Reseptor α1 berada pada otot polos pembuluh darah. Jadi efek yang dihasilkan
bila suatu agonis berinteraksi dengan reseptor ini adalah kontraksi otot pembuluh
darah.
2. Reseptor α2 terdapat pada sel syaraf bagian postganglion simpatik. Aktivasi
oleh agonis mengakibatkan penghambatan pelepasan neurotransmitter nor-
adrenalin pada ujung syaraf simpatik.
3. Reseptor β1 terdapat pada otot jantung. Aktivasi oleh suatu agonis
menyebabkan peningkatan frekuensi dan denyut jantung.
4. Reseptor β2 terdapat pada otot polos uterus dan bagian pernafasan. Aktivasi
oleh agonis menyebabkan relaksasi otot polos uterus ataupun relaksasi bronkus
pada pernafasan.
Obat-obat yang bekerja berdasarkan agonis adrenergik ini dibedakan menjadi
2 yaitu agonis secara langsung dan agonis yang bekerja secara tidak langsung.
Hal ini dibedakan hanya pada interaksi dengan reseptornya.
 Agonis Adrenergik Langsung
Agonis Adrenergik langsung berarti obat-obat ini berinteraksi secara
langsung dengan reseptor adrenergik dan kemudian menghasilkan efek dengan
cara memacu efek nor-epinefrin itu sendiri. Telah diketahui sebelumnya bahwa
reseptor adrenergik terdapat pada 2 tipe (α & β), maka obatnya pun dapat
dibedakan pada kedua jenis reseptor ini.
1. Reseptor α1 : obat-obat sebagai agonis α1 contohnya yaitu Oksimetazolin &
Fenilefrin. Kedua obat ini berinteraksi dengan reseptor α1 yang menyebabkan
kontraksi pembuluh darah.
2. Reseptor α2 : Obat sebagai agonis α2 contohnya yaitu Klonidin. Obat ini
berinteraksi dengan reseptor α2 dan mengakibatkan penghambatan pelepasan
nor-epinefrin oleh ujung syaraf simpatik yang  kemudian menyebabkan
penurunan tekanan darah.
3. Reseptor β1 : Reseptor ini kebanyakan berada pada jantung. Obat sebagai
agonis β1 contohnya adalah Dobutamin. Obat ini setelah berinteraksi dengan
reseptornya akan menghasilkan efek yaitu meningkatkan frekuensi dan denyut
jantung.
4. Reseptor β2 : Reseptor ini terdapat pada otot polos uterus dan pada bagian
pernafasan. Obat sebagai agonis β2 contohnya adalah Terbutalin. Obat ini
dapat merelaksasi otot polos bronkus sehingga dapat digunakan unutk terapi
asma.
 Agonis Adrenergik tidak langsung
Obat golongan ini bekerja dengan meningkatkan kadar nor-epinefrin pada
celah sinaptik. Peningkatan kadar nor-epinefrin ini dapat dilakukan dengan 2 cara
yaitu
1. Dengan melepaskan cadangan nor-epinefrin pada vesikel.
2. Dengan menghambat re-uptake nor epinefrin menuju ke ujung syaraf.
Oleh karena itu obat-obat yang bekerja secara tidak langsung ini dibedakan 2
macam berdasarkan kedua cara tadi yaitu:
1. Pada cara pertama, obat-obat akan memacu ujung syaraf untuk melepaskan
cadangan nor-epinefrin, hasilnya yaitu konsentrasi nor-epinefrin pada celah
sinaptik akan meningkat. Contoh obatnya yaitu Amfetamin, Efedrin, dan
Fenilpropanolamin.
2. Cara kedua didasarkan bahwa obat-obatan tertentu bekerja dengan
menghambat pelepasan kembali atau bisa disebut dengan re-uptake nor-epinefrin
kembali menuju ke ujung syaraf, sehingga mengakibatkan konsentrasi nor-
epinefrin pada celah sinaptik meningkat. Contoh obatnya yaitu Imipramin dan
Desimpramin.

4. Antagonis Adrenergik
Antagonis adrenergik merupakan obat-obat yang kerjanya yaitu menghambat
kerja atau efek dari neurotransmitter utama yaitu nor-epinefrin. Obat golongan ini
dapat juga disebut dengan Adrenolitik. Penghambatan efek dari obat-obat ini
kebanyakan dengan cara mengeblok reseptor adrenergik, maka dapat juga disebut
dengan Blocker. Obat-obatannya dapat dibagi berdasarkan kerja terhadap
reseptornya.
A.   α1 Blocker
Obat ini bekerja dengan cara mengeblok reseptor adrenergik tipe α1.
Reseptor ini berada kebanyakan pada otot polos pembuluh darah. Reseptor ini
sebenarnya jika berikatan dengan agonis maka akan mengakibatkan kontraksi
pembuluh darah, tetapi jika diberikan obat golongan α1 Blocker maka akan
bereaksi sebaliknya yaitu penurunan tekanan darah. Contoh obatnya yaitu :
Prasozin dan Terasozin. Umumnya obat-obatan golongan ini digunakan untuk
terapi hipertensi.

B. α2 Blocker
Obat ini bekerja dengan cara mengeblok reseptor α2. Reseptor ini jika
berinteraksi dengan suatu agonis maka akan mengakibatkan penghambatan
pelepasan nor-epinefrin pada ujung syaraf. Obat golongan ini jarang digunakan
pada klinik. Contoh obatnya yaitu :Yohimbin yang digunakan untuk terapi
gangguan ereksi.
C. Non selective α Blocker
Obat ini bekerja secara tidak spesifik pada reseptor α yaitu dapat berinteraksi
baik pada reseptor α1 maupun pada reseptor α2. Contoh obatnya yaitu
Fentolamin.
D. β1 Blocker
Obat golongan ini mengakibatkan penurunan frekuensi dan denyut jantung,
karena reseptor ini berada dalam otot jantung. Contoh obatnya yaitu : asebutolol,
betaksolol, metoprolol, dll.
E. β2 Blocker
Obat ini setelah bereaksi dengan menghambat aktivitas reseptor tersebut oleh
suatu agonis. Obat ini mempunyai efek yaitu kontriksi saluran pernafasan.
Contoh obatnya yaitu propanolol, tetapi reseptor ini bekerja secara tidak selektif,
yaitu dapat mengeblok pada kedua reseptor.

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak
maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan.
Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk
sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat
pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada
ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion.
Sistem saraf otonom berfungsi untuk mempertahankan keadaan tubuh dalam
kondisi terkontrol tanpa pengendalian secara sadar. Sistem saraf otonom bekerja
secara otomatis tanpa perintah dari sistem saraf sadar. Sistem saraf otonom juga
disebut sistem saraf tak sadar, karena bekerja diluar kesadaran.

MACAM SYARAF OTONOM


Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf
otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor.
Secara anatomi susunan saraf otonom terdiri atas praganglion, ganglion dan
pascaganglion yang mempersarafi sel efektor. Serat eferen persarafan otonom
terbagi atas sistem persarafan simpatis dan parasimpatis. Berdasarkan macam
saraf otonom tersebut, maka obat otonomik digolongkan menjadi :
Saraf Parasimpatis
 Parasimpatomimetik atau Kolinergik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan
saraf parasimpatis.
 Parasimpatolitik atau Antagonis Kolinergik
Menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis.
Saraf Simpatis
 Simpatomimetik atau Adrenegik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan
saraf simpatis.
 Simpatolitik atau Antagonis Adrenegik
Menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf simpatis.
 Obat Ganglion
Merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion, baik pada saraf
parasimpatis maupun pada saraf simpatis.

MEKANISME KERJA OBAT OTONOMIK


1. Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohumoral/transmitor dengan cara
menghambat atau mengintensifkannya.
2. Mekanisme kerja obat otonomik timbul akibat interaksi obat dengan reseptor
pada sel organisme.
3. Terjadi perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas oleh
obat tersebut.
4. Pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu :
1. Hambatan pada sintesis atau pelepasan transmitor
a. Kolinergik
- Hemikolonium menghambat ambilan kolin ke  dalam ujung saraf dengan
demikian mengurangi sintesis ACh.
- Toksin botulinus menghambat penglepasan ACh di semua saraf kolinergik
sehingga dapat menyebabkan kematian akibat paralisis pernafasan perifer. Toksin
ini memblok secara irreversible penglepasan ACh dari gelembung saraf di ujung
akson dan merupakan salah satu toksin paling proten. Diproduksi oleh
bakteri Clostridium botulinum.
- Toksin tetanus mempunyai mekanisme kerja yang serupa.
b. Adrenergik
- Metiltirosin memblok síntesis NE dengan menghambat tirosin hidroksilase yaitu
enzim yang mengkatalisis tahap penentu pada síntesis NE.
- Metildopa menghambat dopa dekarboksilase
- Guanetidin dan bretilium menggangu penglepasan dan penyimpanan NE.
2. Menyebabkan pepasan transmitor
a. Kolinergik
- Racun laba-laba black widow menyebabkan penglepasan ACh (eksositosis)
yang berlebihan, disusul dengan blokade penglepasan ini.
b. Adrenergik
- Tiramin, efedrin, amfetamin dan obat sejenis menyebabkan penglepasan NE
yang relatif cepat dan singkat sehingga menghasilkan efek simpatomimetik.
- Reseprin memblok transpor aktif NE ke dalam vesikel, menyebabkan
penglepasan NE secara lambat dari dalam vesikel ke aksoplasma sehingga NE
dipecah oleh MAO. Akibatnya terjadi blokade adrenergik akibat pengosongan
depot NE di ujung saraf.
3.  Ikatan dengan receptor
- Agonis adaPengertian Obat Otonomik Dan Penggolongannya Berdasarkan
DAFTAR PUSTAKA

http://jelajahanakpharmacist.blogspot.com/2017/03/makalah-sistem-saraf-
otonom.html ( online )

https://www.dosenpendidikan.co.id/sistem-saraf-otonom/ ( online )

https://studylibid.com/doc/4287106/makalah-farmakologi ( online )

Anda mungkin juga menyukai