Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang tidak dapat dikendalikan oleh

kemauan kita melalui otak. Sistem saraf otonom mengendalikan beberapa organ

tubuh, seperti jantung, pembuluh darah, ginjal, pupil mata, lambung dan usus. Sistem

saraf ini dapat dipacu atau dihambat oleh senyawa obat.

Sistem saraf otonom dibedakan menjadi dua sistem saraf parasimpatik dan

simpatik. Sistem saraf simpatik mekanisme kejanya menggunakan suatu zat kimia

adrenalin sehingga disebut saraf adrenergik. Senyawa yang dapat memacu disebut

senyawa parasimpatomimetik atau kolinergik sedangkan Senyawa yang menehambat

disebut senyawa parasimpatolitik atau antikolinergik sedangkan yang dapat memacu

saraf adrenergik disebut senyawa simpatomimetik (prayitno,L 2010).

Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi

sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Dua

perangkat neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron

aferen atau sensorik dan neuron eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan

impuls ke sistem saraf pusat, dimana impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen

menerima impuls (informasi) dari otak dan meneruskan impuls ini melalui medulla

spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur eferen dalam sistem saraf otonom dibagi

menjadi dua cabang yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Dimana kedua sistem

saraf ini bekerja pada organ-organ yang sama tetapi menghasilkan respon yang

1
berlawanan agar tercapainya homeostatis (keseimbangan). Kerja obat-obat pada

sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis dapat berupa respon yang

merangsang atau menekan.Dalam dunia farmasi, sistem saraf otonom ini sangat erat

hubungannya dengan farmakologi dan toksikologi karena kita dapat mengetahui

mekanisme kerja obat yang akan mempengaruhi sistem saraf otonom itu sendiri

(wibowo 2017).

1.2 Prinsip

1.3 Tujuan

 memahamai fisiologi Sso secara umum.

 mekanisme kerja obat yang bekerja pasa sistem saraf pusat,secara sederhana

dari hewa uji yang digunakan.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

Sistem saraf otonom adalah serangkaian organ yang kompleks dan

berkeseimbangan serta terutama terdiri dari jaringan saraf dan tidak dan tidak dapat

dikehendaki oleh kemauan kita melalui otak.

Sistem saraf otonom memiliki dua neruron yang bekerja sama untuk

menghantarkan dan menerima implus dari otak. Neuron aferen menghantarkan

implus ke SSP, untuk diinterprestasikan. Neuron eferen menerima implus dari otak

dan diteruskan melalui medula spinalis ke sel-sel efektor, seperti jantung, paru-paru,

dan saluran pencernaan. Jalur untuk eferen pada SSO dibagi pula atas dua jalur, yaitu

saraf simpatik dan saraf parasimpatik(Setiawan et al. 2018).

Sistem saraf

Sistem saraf Sistem saraf


pusat tepi

Medula Sistem saraf Sistem saraf


Otak
spinalis somatik otonom

Simpatis Parasimpatis
3
Gambar 1. Pembagian Sistem Saraf

Sistem saraf simpatik dan parasimpatik jika bekerja pada organ yang sama

akan menghasilkan efek yang berlawanan untuk tujuan keseimbangan, kecuali pada

organ tertentu. Sistem saraf simpatik bersifat katabolik artinya menghabiskan energi,

misalnya saat “flight or fligh”. Sistem saraf parasimpatik bersifat anabolik berarti

berusaha menyimpan energi, yaitu berlangsung saat “rest and digest”. Kerja obat

pada kedua sistem saraf ini menyebabkan perangsangan atau penghambatan (jj naila

2016).

Istilah untuk obat perangsang simpatik adalah andregenik, simpatomimetik,

atau agonis andregenik, dan penghambat simpatik disebut simpatolitik atau

andregenik. Istilah untuk perangsang parasimpatik adalah kolinergik,

parasimpatomimetik atau agonis kolinergik dan penghambar parasimpatik disebut

parasimpatolitik atau antikolinergik (Rosada, Evita 2017).

Table 1. Istilah lain dari Simpatik dan Parasimpatik


Simpatik Parasimpatik Efek
Sinpatoninetik Parasinpatoninetik Berlawanan
Andrenergik Kolinergik Berlawanan
Simpatimimetik Parasimpatolitik Serupa
Andrenergik Antikolinergik Serupa
Simpatolitik Parasimpatomimetik Serupa
Antiandrenergik Kolnergik Serupa
Simpatolitik Parasimpatomimetik Berlawanan
Antiandrenergik Antikolinergik Berlawanan

4
Efek rangsangan simpatik dan para simparik pada organ otonom tertentu
tercantum pada tabel 2 dibawah ini.

Perangsangan Simpatis Perangsangan Parasimpatik


- Meningkatkan tekanan darah - Menurunkan tekanan darah
- Meningkatkan deyut nadi - Menurunkan denyut nadi
- Relaksasi bronkus - Kontraksi bronkus
- Dilatasi pupil - Kontraksi pupil
- Relaksasi uterus - Meningkatkan kontraksi
- Meningkatkan kadar gula saluran kemih
darah - Meningkatkan kontraksi GI
- Meningkatkan tonus otot

Neurotransmiter (NT) adalah zat yang digunakan dalam hubungan (kimiawi)

antar sel. Tipe lain signaling kimiawi antar sel adalah mediator lokal (histamin dan

prostagladin) dan sekresi hormon oleh sel atau kelenjar.

1. Mediator Lokal

Kebanyakan sel tubuh mengeluarkan zat kimia yang dapat bekerja lokal

dalam lingkungan mereka. Zat kimia tersebut dengan cepat dirusak atau

dieleminasi sehingga tidak sampai masuk ke sirkulasi sistemik atau tidak

terdistribusi keseluruh tubuh.

2. Hormon

Sel kelenjar tertentu mengeluarkan hormon yang dapat masuk ke sirkulasi

darah dan dapat terdistribusi ke selruruh tubuh. Hormon tersebut suatu saat

akan mencapai sel sasaran dan menimbulkan efek. Contnoh hormon ada

kortikotropin, oksitosin, tiroksin, insulin, esterogen, dan progesteron.

3. Neurotransmitter

5
Neurotransmitter adalah unit anatomi yang secara struktural tidak saling

tersambung. Komunikasi antar sel saraf atau sela sel saraf dengan organ

efektor terjadi melalui zat kimia yang disebut neurotransmitter.

Neurotransmitter dengan cepat menembus sinap (celah atau gap antar sel)

selanjutnya berkaitan dengan reseptor spesifik pada post sinap atau sel/organ

target. Neurotransmitter bersifat hidrofilik yang artinya tidak dapat masuk

kedalam sel dan hanya berikatan dengan reseptornya saja. Neurotransmitter

yang telah teridentifikasi oleh reseptor adalah norepinefrin (NE), dan senyawa

sejenisnya, asetolkolin (Ach), dopamin, serotonin, histamin, dan α-asam

amino (setiawati 2015).

Gerak refleks merupakan respon yang cepat dan tidak disadari terhadap

perubahan lingkungan interna maupun eksterna. Refleks dikendalikan oleh sistem

saraf yaitu otak (disebut refleks kranial) atau medula spinalis (disebut refleks spinal)

lewat saraf motorik kranial dan spinal. Saraf kranial dan saraf spinal dapat berupa

saraf somatik yang mengendalikan refleks otot kerangka atau saraf otonom yang

mengendalikan refleks otot polos, jantung dan kelenjar. Meskipun refleks spinal

dapat terjadi tanpa keterlibatan otak, tetapi otak seringkali ikut memberikan

pertimbangan dalam refleks spinal.

Refleks terjadi lewat suatu lintasan tertentu, disebut lengkung refleks, dengan

komponen: reseptor, neuron sensorik, neuron penghubung (di dalam otak dan

6
medula spinalis), neuron motorik dan efektor. Sebagian besar refleks merupakan

refleks yang rumit, melibatkan lebih dari satu neuron penghubung.

pada umumnya kerusakan pada sistem saraf pusat menyebabkan

kelumpuhan sementara semua refleks yang dikendalikan oleh otak dan medula

spinalis. Kondisi akibat kerusakan otak disebut neural shock, sedangkan kondisi

kerusakan medula spinalis ini disebut spinal shock yang lamanya tergantung pada

kerumitan sistem saraf suatu organisme (Indra,Imai 2017).

7
BAB III

ALAT DAN BAHAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

1. Benang 6. Gunting

2. Aplikator` 7. Kain lap

3. Klem dan statip 8. Toplas

4. Pipet tetes 9. Kotak

5. Alat bedah

3.1.2 Bahan

1. Asam asetat 2%

2. Katak hidup

3. Efineprin

3.2 Prosedur Kerja

1. Masukkan katak sehat normal ke dalam sebuha toples

2. Amati aktivitas spontan, seperti: pernafasan, posisi kepala, gerakan

melompat, serta buka tutup mata.

3. Amati keseimbangan katak pada berbagai kemiringan.

4. Tempatkan katak dengan posisi perut menghadap keatas, amati bagaimana

katak kembali ke posisi normalnya (gerakan ini dinamakan ‘righthing

reflex’).

8
5. Gantung katak dengan mengikat kaki depannya pada sebuah palang

sehingga kaki belakangnya tergantung bebeas.

6. Jepit salah satu jarinya, dan amati ada/tidaknya gerakan menarik kaki

kebelakang.

7. Isi air ke dalam toples sampai setengah volume, masukkan katak, dan amati

gerakan berenangnya.

8. Setelah menyelesaikan percobaan diatas, tusuk jarum ke dalam foramen

magnum katak (lekukan yang berbeda pada bagian belakang kepala diantara

kedua mata) dan gerakkan jarum ke arah kiri-kanan, atas-bawah. Dengan

cara ini akan diperoleh hewan refleks/spinal.

9. Ulangi pada prosedur ke dua hingga enam pada hewan refleks.

10. Basahi bagian perut katak dengan asam asetat 2%, amati apakah katak

mencoba menghilangkan asam.

11. Bersihkan asam dari katak.

12. Tusukkan jarum kolom bertebral untuk merusak keseluruhan sisteir saraf

katak.

13. Ulangi prosedur dua hingga enam pada katak ini.

14. Ambil katak lain, bungkus badannya dengan lap, sambil tetap membiarkan

kepalanya bergerak bebas, gunting rahang bagian atas mulai dari belakang

mata dengan gunting bedah.

15. Ulangi prosedur dua hingga enak untuk katak ini.

9
16. Catat hasil pengamatan pada tabel dibawah ini, diskusikan hasilnya

(Andriani Y, 2019).

BAB IV

HASIL DAN PENGAMATAN

4.1 Tabel Pengamatan

Tabel 1. Hasil Pengamatan Katak

PENGAMATAN HEWAN
NORMAL REFLEKS TANPA SARAF
Aktivitas spontan :
dalam 1 menit
1. Pernapasan 1. 68 1. 52 1. 45
2. Posisi kepala 2. Tegak 2. Menunduk 2. Tegak
3. Gerakan 3. 3 kali 3. 2 kali 3. 1 kali
melompat 4. 4 kali 4. 2 4. 1
4. Buka tutup
mata
Retraksi: Menarik kembali Menarik kembali Menarik kembali
Keseimbangan:
a) Setelah diputar
Mata Melotot Melotot Sayu
Kepala Tegak Menunduk Menunduk
b)Ketika dimiringkan
Mata Melotot Melotot Mengecil
Kepala Mendongkak Menunduk Menunduk
Rigting reflex: Tangan Kaki Tangan

10
Berenang Tangan dan kaki Tangan dan kaki Tangan dan kaki
bergerak bergerak/Mendayung Tenggelam
/Mendayung
Penghilangan asam Ya Ya Tidak
Reaksi Ketika dicubit Menarik dan Tidak bereaksi Tidak bereaksi
Melompat
Perusakan sistem
saraf otak Katak :

a) Dirusak antara Ditarik/bergerak Ditarik Tidak bereaksi


kepala dan punggung

b) Dirusak sampai Bergerak bergerak Tidak bereaksi


tulang punggung

OBAT DIAMETER PULPIL

Sebelum diberi adrenalin Kanan 0,4 cm , Kiri 0,5 cm


Sesudah diberi adrenalin Kanan 0,6 cm , Kiri 0,7 cm

11
4.2 PEMBAHASAN
Sistem saraf pusat adalah serangkaian organ yang kompleks dan

berkeseimbangan serta terutama terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem

saraf, lingkungan internal dan stimulas eksternal dipantau dan di atur. Susunan saraf

terdiri dari susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi.

Sistem saraf otonom tergantung pada sistem saraf pusat, dan antara keduanya

dihubungkan oleh urat-urat saraf dan eferen. Juga memiliki sifat sebagai sistem saraf

pusat, yang telah bermigrasi dari saraf pusat guna mencapai kelenjar, pembuluh

darah, jantung, paru-paru, dan usus. Oleh karena itu sistem saraf otonom itu terutama

berkenaan dengan pengendalian organ-organ dalam secara tidak sadar disebut

susunan saraf tidak sadar.

Pada percobaan kali ini akan dilihat bagaimana efek yang ditimbulkan oleh

asam asetat 2%.

Pada katak normal yang telah di berikan beberapa perlakuan. Katak dapat

merespon dengan baik. Hal ini dikarenakan katak memiliki sistem saraf yang mana

saraf-saraf tersebut dapat menghantarkan stimulus keotak hingga menimbulkan

respon. Respon akan ditanggapi oleh neuron dengan mengubah potensial yang ada

antara permukaan luar dan dalam dari membran. Sel-sel dengan sifat ini disebut dapat

dirangsang (excitable) dan dapat diganggu (Irritable). Neuron ini segera bereaksi

tehadap stimulus , dan dimodifikasi potensial listrk dapat terbatas pada tempat yang

menerima stimulus atau dapat disebarkan ke seluruh bagian neuron oleh membran.

12
Penyebaran ini disebut potensial aksi atau impuls saraf, mampu melintasi jarak yang

jauh impuls saraf menerima informasi keneuron lain, baik otot maupun kelenjar.

Pada katak normal yang diberikan hambatan maka pergerakan pada katak

akan terhambat, hal ini dikarenakan oleh alat gerak katak yang telah dihambat dengan

mengikatnya dengan tali pada saat praktikum. Pada katak yang diperlakuan dengan

merusak sistem saraf otaknya, maka respon yang dihasilkan tetap ada namun katak

merespon stimulus sangat lama. Hal ini dikarenakan sistem saraf pada otaknya telah

mengalami kerusakan pada saat penusukan dengan kawat atau jarum pada saat

praktikum.

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan terlihat bahwa pada katak normal,

rangsang yang diberikan menghasilkan respon yang normal pula. Namun terjadi

pengurangan frekuensi respon pada katak yang telah didekapitasi. Akan tetapi katak

yang didekapitasi masih dapat memberikan respon. Hal ini disebabkan karena jantung

katak bersifat neurogenik sehingga katak masih mampu memberikan respon.

13
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari praktikum yang kami laksanakan, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa:

 Katak normal menunjukkan reaksi yang normal tehadap semua perlakuan atau

rangsangan.

 Terjadi pengurangan frekuensi respon pada katak yang telah didekapitasi. Akan

tetapi katak yang didekapitasi masih dapat memberikan respon. Hal ini

disebabkan karena jantung katak bersifat neurogenik sehingga katak masih

mampu memberikan respon.

 Apabila katak diberikan rangsangan berupa cubitan maka katak akan melakukan

gerak refles yang berlawanan dengan arah rangsangan (HETEROLATERAL).

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Prayitno, L. Batubara. 2010. Farmakologi Dasar Untuk Mahasiswa Farmasi

dan Keperawatan. Depok: Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi.

2. Indra, Imai. 2017. “Aktivitas Otonom.” : 180–86.

3. jj nailai. 2016. “Sistem Saraf Pusat Pada Hewan Coba.” : 1–17.

4. Luo, Z P, R L Littleton, and J H Koo. 2016. “∫ 1 . 1.” Powder Metallurgy World

Congres World PM 2016 13(Suppl 2): 2006–7.

5. Rahmawati, Primasari Mahardhika. 2017. “NurseLine Journal.” 2(2): 9

6. Rosada, Evita et al. 2017. “Effects Of Cold Pressor Test Induction To

Autonomic Activity And Cerebral Haemodynamic In Patients With Migraine In

Interictal Phase Evita Rosada.” : 1–15.

7. Setiawan, Arum, Mammed Sagi, Widya Asmara, and D A N Istriyati. 2018.

“Pertumbuhan Dan Perkembangan Otak Fetus Mencit Setelah Induksi

Ochratoxin A Selama Periode Organogenesis.” 5(April): 15–20.

8. Setiawati, Agustina, and Universitas Sanata. 2015. “Suatu Kajian Molekuler

Ketergantungan Nikotin.” Farmasi Sains dan Komunitas 10(2): 121–27.

9. Waseso, Tungga et al. 2018. “Manusia Berbasis Android.” VII(2).

10. Wibowo, Daniel Susilo. 2017. “Memperkenalkan : Sistem Saraf Saluran

Pencernaan Sebagai Otak Kedua.” : 48–54.

11. Andrani, Y. 2019. Diktat Penuntun Pratikum Farmakologi II. STIKES Harapan

Ibu; Jambi.

15
LAMPIRAN PERHITUNGAN
1. ASAM ASETAT 2%
- Asam asetat 2 ml dalam 100 ml aquadest
2. Efineprin
- Epinefrin 1 ml dalam 20 ml

16
LAMPIRAN GAMBAR

17
LANJUTAN LAMPIRAN GAMBAR

18

Anda mungkin juga menyukai