Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI 1

’’PENGARUH OBAT OTONOM TERHADAP MATA’’


Dwitiyanti , M.Farm., Apt.

Disusun Oleh :
Kel.1 kelas F2 :
Muhammad Raden Anom 1704015245
Dheya Putri Maulina 1704015164
Sarah Rafify 1704015229
Deny Rahmayani 1704015083
Ria Irawati 1704015030

Program Studi Farmasi

Fakultas Farmasi dan Sains

Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA

Jakarta

2019
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Tujuan percobaan……………………………………………………………………

1.2 Latar belakang………………………………………………………………………

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Bahan dan Alat………………………………………………………………………

3.2 Prosedur Kerja……………………………………………………………………….

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Data Pengamatan………………………………………………………………

4.2 Pembahasan…………………………………………………………………………..

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………

5.2 Saran………………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Bagian sistem saraf yang mengatur fungsi viseral tubuh disebut sistem saraf otonom.
Sistem ini membantu mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastro- intestinal
pengosongan kandung kemih, berkeringat suhu tubuh dan banyak aktivitas lainnya. Ada
sebagian yang diatur saraf otonom sedangkan yang lainnya sebagian saja .

Sistem saraf otonom adalah bagian sistem saraf tepi yang mengatur fungsi viseral tubuh.
Sistem saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula spinalis,
batang otak, dan hipotalamus. Juga, bagian korteks serebri khususnya korteks limbik, dapat
menghantarkan impuls ke pusat-pusat yang lebih rendah sehingga demikian mempengaruhi
pengaturan otonomik.

Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Sebenarnya tidak ada penyamarataan
yang dapat dipakai untuk menjelaskan apakah rangsangan simpatis atau parasimpatis dapat
menyebabkan timbulnya eksitasi atau inhibisi pada suatu organ tertentu. Oleh karena itu,
untuk dapat mengerti fungsi simpatis dan parasimpatis, kita harus mempelajari seluruh fungsi
kedua sistem saraf ini pada masing-masing organ.

Dalam dunia farmasi, sistem saraf otonom ini sangat erat hubungannya dengan
farmakologi dan toksikologi karena kita dapat mengetahui mekanisme kerja obat yang akan
mempengaruhi sistem saraf otonom itu sendiri.

2. Tujuan

Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan efek obat sistem saraf
otonom pada hewan coba kelinci.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Dasar

Hampir semua fungsi pengendalian tubuh manusia dilakukan oleh sistem saraf. Secara
umum sistem saraf mengendalikan aktivitas tubuh yang cepat seperti kontraksi obat. Daya
kya kepekaan dan daya hantaran merupakan sifat utama dan makhluk hidup dalam bereaksi
terhadap perubahan disekitarnya. Rangsangan ini dinamakan stimulus. Reaksi yang
dihasilkan dinamakan respon makhluk hidup yang bersel satu (uniseluler) maupun bersel
banyak (multiseluler) di tentukan kemapmpuan funsinya oleh protoplasma sel. (Pearce, 2004)

Sistem kita terdiri dari dua kelompok yakni susunan saraf pusat (SSP) yang meliputi otak
dan sumsum tulang belakang dan distem saraf perifer dengan saraf-saraf yang secara
langsung atau tidak langsung, ada hubungannya dengan sistem saraf pusat. Saraf perifer ini
terbagi lagi ke dalam dua bagian yaitu susunan saraf motorik yang bekerja sekehendak kita,
misalnya otot-otot lurik (kaki, tangan, dan sebagainya), serta susunan saraf otonom (SSO)
yang bekerja menurut aturannya sendiri. (Tjay dan Rahardja, 2002)

Sistem saraf otonom adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkeseimbangan
serta terutama terdiri dari jaringan saraf dan tidak dan tidak dapat dikehendaki oleh kemauan
kita melalui otak. (Dsamhuri, 2011)

Sistem saraf otonom dibagi lagi menjadi dua cabang yaitu susunan (orto), simpatis (SO)
dan susunan lebih deminan dari pada situasi “istirahat dan mencerna”. Sistem saraf
parasimpatik bukanlah suatu perwujudan funsional seperti sistem simpatik dan tidak perna
mengatasi sebagai suatu system yang lengkap. Bila sistem ini bekerja, akan menghasilkan
gejala yang pasif, tidak diharapakan dan tidak mengerangkan. Sebagai gantinya , serabut-
serabut parasimpatis yang terpisah-pisah akan si aktivasi secara tepisah pula dan sistem
bekerja mempengaruhi organ-organ spesifik seperti lambung dan mata. (Sastrodipradya,
2003)

Pada susunan otonom. Implus disalurkan ke organ tujuan (efektor, organ ujung secara tak
langsung). Saraf otonom dibeberapa tempat terkumpul di sel-sel yang lain dinamakan neuron
proganglioner. Sedangkan saraf antara gangora dan organ ujung disebut neuron post-
ganglioner. Impuls dari sistem saraf pusat dalam sinaps dialihkan dari satu neuron kepada
yang lain secara kimiawi dengan jalan transmitter (juga disebut neuron hormon). Bila dalam
suatu neuron impuls tiba disinaps, maka pada saat itu juga neuron tersebut membebaskan
suatu neuron hormon di ujungnya, yang meliputi sinaps yang berikut dibebaskan pula neuron
hormon dan seterusnya hingga impuls tiba di organ efektor. (Tjay dan Rahardja, 2002)

Saraf kolinergik, semua neuron proganglioner, baik dari saraf otonom maupun dari saraf
pusat, menghasilkan neuron hormon asetilkolin, begitu pula neuron post-ganglioner dari saraf
pusat, saraf-saraf ini disusun dari saraf kolinergik. Aseokolin (AOC) merupakan transmitter
pula untuk saraf motorik pada penerusan impuls ke otot-otot lurik. (Tjay dan Rahardja, 2002)

Menurut khasiatnya obat-obatan dapat digunakan sebagai berikut:

1. Zat-zat yang bekerja terhadap saraf otonom, yakni:

a. Simpatomimetika (adrenergika), yang meniru efek dan perangsangan saraf otonom


misalnya non-adrenalin, efedrin, isopramisin, dan amfetamin.

b. Simpotolitika (adrenalitika) yang justru menekan saraf-saraf simpatik atau melawan efek
adrenergika, umpamanya alkoloida dan propanolol.

2. Zat-zat perintang ganglion, yang merintang penerusan impuls dalam sel-sel lurik simpatik
dan parasimpatik. Efek perintang ini dampaknya luas, antara lain biosodlotasi karena
blockade susunan simpatik dopamine.

3. Zat-zat yang bekerja terhadap saraf pusat, yakni:

a. Parasimpatomimetika (kolinergika) yang merangsang organ-organ yang dilayani saraf


parasimpatik dan meniru efek perangsangan dengan asetilkolin misalnya laktropin dan
fesostigmin.

b.Parasimpatolitik (antikolinergika) yang justru melawan efek-efek parasimpatomimetika,


misalnya alkoloida, propanolol, dan mepenzolot. (Tjay dan Rahardja, 2002)

Sistem saraf otonom bergantung pada system saraf pusat, dan antara keduanya
dihubungkan urat-urat saraf aferen dan eferen, juga memiliki sifat seolah-olah sebagai bagian
sistem saraf pusat yang telah bermigrasi dari saraf pusat guna mencapai kelenjar, pembuluh
darah, jantung, paru-paru, dan usus. Karena sistem saraf otonom itu terutama berkaitan
dengan pengendalian organ-organ dalam secara tidak sadar, kadang-kadang disebut juga
susunan saraf tak sadar. (Evely C Pearce, 2015)
Menurut fungsinya, susunan saraf otonom dibagi dalam dua bagian:

(Evely C Pearce, 2015)

1. Sistem simpatis yang terletak di depan kolumna vetebrata dan berhubungan serta
bersambung dengan sumsum tulang belakang melalui serabut-serabut saraf.

2. Saraf parasimpatis yang terbagi dalam dua bagian yang terdiri atas saraf otonom konial
dan saraf otonom sakral.

Sistem saraf otonom dapat diperoleh lagi menjadi dua cabang yakni susunan (orto).
Simpatis dan susunan parasimpatis pada umunya dapat dikatakan bahwa kedua susunan ini
bekerja antagonistis. Bila suatu sistem merintangi fungsi tertentu, sistem lainnya justru
menstimulasinya, tetapi dalam beberapa hal. Kahasiatnya berlainan sama sekali atau bahkan
bersifat sinergetis. (Gibson, 2002)

Adapun fungsi sistem saraf otonom yaitu sebagai berikut: (Pearce, 2004)

Fungsi saraf simpatis:

1. Efek stimulasi simpatis, efek simpatis adalah meningkatkan irama jantung dan tekanan
darah, menobilisasi cadangan energy tubuh dan meningkatkan aliran darah dari kulit dan
organ internal. Stimulasi simpatis juga menyebabkan dilatasi pupil dan bronkiolus.

2. Respon “flight or flight”: Reaksi-reaksi ini disebabkan oleh aktivasi langsung simpatis
pada organ efektor dan melalui stimulasi medulla adrenalin untuk melepaskan epinefrin dan
sejumlah neopenefrin. Hormon-hormon ini memasuki aliran darah dan meningkatkan respon
organ efektor yang mempunyai reseptor adrenergic.

Fungsi sistem saraf parasimpatis menjaga funsi tubuh esensial seperti:

Sistem saraf parasimpatik menjaga fungsi tubuh asensial seperti proses pencernaan
makanan dan pengurangan zat-zat sisa, dan hal ini diperlukan untuk mempertahankan
kehidupan. Sistem ini biasanya bekerja bekerja melawan dan mengimbangi aksi simpatis dan
biasanya lebih dominan daripada simpatis. (Sastradepradjo, 2000)

Sistem saraf parasimpatis, saraf cranial otonom adalah saraf kronial ketiga, ketujuh,
kesembilan, dan kesepuluh. Saraf-saraf ini merupakan penghubung, tempat serabut-serabut
parasimpatik lewat. Dalam perjalanannya keluar dari otak menuju organ-organ yang
mencapai serabut-serabut otot serkuler pada arus merangsang gerakan-gerakan yang
mementukan ukuran pupil mata menggunakan saraf kronial ketiga, yaitu saraf okula motorik.
(Evely C Pearce, 2015)

Serabut-serabut otot motorik sektorik mencapai kelenjar ludah melalui saraf ketujuh.
Fasial seita saraf kesembilan , aclosaforingeus. Saraf uagus atau saraf cranial kesepuluh
adalah serabut sarf otonom terbesar. Bagian layanannya luas, seita serabut-serabutnya
disebarkan ke sejumlah besar kelenjar dan organ sebagaimanayang telah diperoleh.
Penyebaran ini sejalan dengan penyebaran serabut simpatis mengenai sistem
pengendaliannya pada organ-organ tertentu. (Evely C Pearce, 2015)

Sistem saraf simpatis terdiri atas serangkaian urat yang bermutan ganglion-ganglion.
Urat-urat itu bergerak dari dasar tengkorak yang terletak di depan kolumna vertebra dan
berakhir dalam proses didepan kotesigus sebagai ganglion kotesigus. Fungsi serabut-serabut
saraf simpatis menyerapi otot jantung, otot-otot tak sadar, semua pembuluh darah, serta
semua organ dalam seperti lambung dan usus. Melayani serabut motorik seksorik pada
kelenjar keringat. Serabut-serabut motorik pada otak tak sadar dalam kulit aroktores polorum,
serta mempertahankan torussemua otot, termasuk torus otot sadar. (Evely C Pearce, 2015)

Penggolongan obat sistem saraf otonom terbagi atas beberapa bagian, yaitu sebagai
berikut: (Mycek, Mary J, 2001)

1. Antagonis kolinergik

Antagonis klinergik dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:

a. Bekerja langsung

Obat-obat yang termasuk yaitu: Asetolkolin, karbakol, dan polikarpin.

b. Bekerja tak langsung (reversible)

Obat-obat yang termasuk yaitu: Erdrofornium, neostigmin, fisostigmin, dan pirdistigmin.

c. Bekerja tek langsung (unireversible)

Obat-obat yang termasuk yaitu: Eksotiofat dan isoflurofat.


2. Antagonis kolinergik

Antagonis kolinergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:

a. Obat antimuskarinik

Obat-obat yang termasuk yaitu: Atropin dan skopalamin

b. Penyekat ganglionik

Obat-obat yang termasuk yaitu: Nikotin

c. Penyekat neuromuscular

Obat-obat yang termasuk yaitu: ortokornium

3. Antagonis andrenergik

a. Bekerja langsung

b. Bekerja tak langsung

c. Bekerja ganda

4. Antagonis andrenergik

a. Penyekat: doxzasin. Fentolamin

b. Penyekat: propanolol dan trunolol

Cara pemberian hewan uji: (Harmita, 2008)

1. Pemberian oral

a. Mencit dan tikus

Diberikan dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum atau kanula berujung tumpul
dan berbentuk bola. Jarum atau kanula di masukkan ke dalam mulut perlahan-lahan,
diencerkan obat dalam bentu suspensi larutan atau emulsi melelui langit-langit ke belakang
esofagus.
b. Kelinci dan marmot

Cairan diberikan dengan bantuan kateter yang dilengkapi dengan pipa kayu dengan
panjang 12 cm, diameter luar 3cm, diameter dalam 7 cm, mouth bloker dipasang ketika
hewan dalam posisi duduk, tekan rahang hewan dengan ubu jari dan telunjuk. (Tim Dosen,
2016)

Cakupan ke dalam esophagus melalui mouth bloker, kater dimasukkan sekitar 20-25 cm
(keter ditandai pada 25 cm) untuk memeriksanya apakah keteter masuk esophagus dan bukan
pada trakea, cakupan yang luar bukan ke dalam air jika timbul gelembung udara berarti
bakteri tidak masuk ke esophagus. (Tim Dosen, 2016)

2. Intravena

a. Mencit

Penyuntikan dilakukan pada vena ekor(ada 4 vena pada ekor) letakan hewan pada wilaya
tertutup sedemikian rupa sehingga mencit tidak keluar, lakukan saat bergerak dengan ekor
menjulur keluar. Hangatkan ekor dengan cukupkan ke dalam air hangat (40oC-50oC), pegang
ujung ekor dengan tangan.

b. Tikus

Pada tikus dia diberi penyuntikan dapat dilakukan pada ekor (seperti pada mencit) pada
vena penis (khusus untuk tikus jantan) dan vena di permukaan alas kaki tikus yang disintesis.

c. Kelinci dan marmut

Dapat dilakukan pada vena menginalis untuk marmot besar atau untuk marmot yang
dianastesi.

3. Subkutan

Pada tikus dan marmot, penyuntikan dilakukan di bawah kulit pada daerah tengkuk. Pada
kelinci penyuntikan dilakukan dibawah kulit daerah tengkuk atau sisi punggung. Untuk
marmot dan kelinci angkat sebagian kulit dan ditusukkan jarum menembus kulit, sejajar
dengan otot dibandingkan. (Harmiati, 2008)
4. Intramuscular

Untuk mencit dan tikus, penyuntikan dilakukan pada otot glukelus maksimus atau
biopreinos atau semitrendinosis pada belakang. (Harmiati, 2008)

5. Intraperitoneal

Untuk semua hewan percobaan, penyuntikan dilakukan pada perut sebelah kanan yaitu
tangan jangan terlalu tinggi agar tidak mengenai hati dan kandungan kemih. (Harmiati, 2008)

Jenis Obat

1. Atropin
 Sediaan : Cendotropine mengandung Atropina-sulfat 5mg/ml tts mata. In : Sebagai
medriatikum dan siklopentolat.
 Atropin sebagai prototipe antimuskarinik. Hambatan oleh atropin bersifat
reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan
atau pemberian antikolineterase.
 Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh
lebih kuat terhadap eksogen.
 Kepekaann reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar organ. Pada
dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya atropin hanya menekan sekresi air liur,
mukus bronkus dan keringat, belum jelas mempengaruhi jantung. Pada dosis yang
lebih besar (0,5-1,0 mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan
penghambatan N.vagus sehingga terlihat takikardi.
 Pemberian lokal pada mata menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan
berlangsung lama sekali (7-12 hari), karena atropin sukar dieliminasi dari cairan
bola mata.
2. Epinefrin
 Sediaan : Adrenal mengandung Epinefrina 1%. In : Glaukoma kronik. Ds : tiap1-3
hari 1 tts sebelum tidur.
 Epinefrin merupakan prototipe obat kelompok adrenergik.
 Epinefrin bekerja pada semua reseptor adrenergik : α1, α2, β1 dan β2.
 Pada umumnya, pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf
adrenergik. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmiter pada saraf adrenergik
adalah NE.
 Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh
darah dan otot polos lain.
 Epinefrin biasanya menurunkan tekanan intraokuler yang normal maupun pada
pasien glukoma sudut lebar. Efek ini mungkin disebabkan berkurangnya
pembentukan cairan bola mata akibat vaso kontriksi dan karena bertambahnya
aliran keluar.
3. Pilokarpin
 Sediaan : Miokar mengandung Pilokarpin HCL 10mg/ml. In: untuk pupil;
mengendalikan tekanan intraokular. Ds: dua tts, topikal pada mata sehari 3-4 kali
atau menurut petunjuk dokter.
 Kerja obat agonis pada reseptor muskarinik.
BAB III

METODELOGI PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan


 Kelinci 1 ekor
 Loupe
 Alat ukur
 Timbangan
 Obat :epinefrin 1% (tetes mata), pilokarpin 2%(Cendo karpin), atropin sulfat 1%
(cendo tropin), pentobarbital Na 5% (injeksi), pilokarpin (injeksi), atropin sulfate
(injeksi), aquadest.

B. Prosedur
1. Pengaruh obat otonom terhadap otot iris mata
Ukur diameter kedua pupil mata kelinci dengan menggunakan loupe. Teteskan
larutan atropin pada mata kiri dan larutan adrenalin pada mata kanan; teteskan
pada lekuk bawah mata. Catat diameter pupil 1’,5’,10’,15’,30’ setelah diberi obat
cuci mata kelinci dengan aquadest, sampai ukuran pupil kembali seperti semula,
kemudian teteskan larutan pilokarpin pada mata kanan dan teteskan berturut-turut
larutan pilokarpin dan atropin pada mata kiri. Catat diameter kedua pupil
1’,5’,10’,15’,30’ setelah pemberian obat.
2. Pengaruh obat otonom terhadap kelenjar ludah
Timbang kelinci dan sedasikan dengan pentobarbital Na dosis 35mg/kg secara
i.m.
Suntikan larutan pilokarpin dosis 5 mg/kgBB secara i.m, catat saat munculnya
saliva dan tampung selama 5 menit serta ukur volume saliva.
Suntikan larutan atropin sulfat dosis 0,15 mg/kg secara i.m, tampung saliva segera
setelah penyuntikkan dan ukur volumenya.
Bandingkan volume saliva setelah penyuntikkan pilokarpin dan setelah
penyuntikkan atropin.
BAB IV

HASIL PEMBAHASAN

D Pupil normal Diameter Pupil kanan (cm) Diameter pupil kiri pilokarpin

atropin

Kanan kiri 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 30 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 30’

0,6 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8 0,9 0,7 0,7 0,7 0,5 0,5 0,4 0,6

D Pupil normal Diameter Pupil kanan (cm) Diameter pupil kiri

Pilokarpin dan Epineprin Epineprin

Kanan kiri 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 30 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 30’

0,5 0,5 0,5 0,6 0,5 0,7 0,6 0,5 0,5 0,7 0,7 0,7 0,5 0,5

Pada praktikum pengaruh obat otonom terhadap mata, ini menggunakan hewan uji
berupa kelinci. Pada praktikum ini, menggunakan obat tetes mata berupa atropin, epinefrin
dan pilokarpin. Setiap kelinci diukur terlebih dahulu diameter matanya, digunakan sebagai
pembanding ketika telah ditetesi obat.

Pada kelompok kami pemberian obat tetes atropin untuk mata kanan an pemberian
pilokarpin untuk mata kiri. Pada kelinci pertama sebelum diteteskan mata kanannya
berukuran 0,6 cm, pada saat diteteskan 3-4 tts, lalu hitung waktu tiap menit pengamatan.
Atropin merupakan golongan antimuskarinik yang dapat menyebabkan dilatasi pupil. Dari
hasil yang didapat pada 30 detik pupil kelinci mengalami dilatasi menjadi 0,7 cm. Bisa
diketahui bahwa atropin mulai bereaksi.

Setelah satu menit tidak ada perubahan pupil kelinci 0,7cm. Pada menit ke lima,
diameter pupil berubah menjadi 0,8 cm efek obat masih mulai bekerja. Pada menit ke 10
diameter pupil sama halnya seperti menit ke 5. Pada menit ke 15 diameter pupil menjadi 0,9
cm. Dan pada menit ke 30 mengalami kontriksi pupil dimana diameter pupil mengalami
penurunan menjadi 0,7 cm yang disebabkan obat yang sudah tidak berkerja kembali.
Pada mata sebelah kiri diberi tetes obat pilokarpin, yang dapat menyebabkan kontriksi
pupil atau pengecilan pada diameter pupil. Pada diameter sebelum ditetesi 0,7cm. Pada 30
detik pemberian diameter pupil 0,7 cm yang menandakan obat belum bekerja. Dan pada
menit ke 1 pun belum ada efek atau perubahan yang bekerja. Pada menit ke 5 mengalami
kontriksi pupil dengan diameter 0,5 cm begitu uga pada menit ke 10. Pada menit ke 15,
mengalami kontriksi pupil dengan diameter pupil 0,4 cm. Dan pada menit ke 30 mengalami
dilatasi yang disebabkan oleh obat yang sudah tidak bekerja dengan diameter 0,6 cm.
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

1. Sistem saraf dibagi mnjadi 2, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf Tepi (SST). SSP
terdiri dari otak dan medulla spinalis, SST mempunyai 2 cabang, sistem saraf somatik
(SSS) dan sistem saraf otonom (SSO).
2. Fungsi SSO adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom, seperti jantung,
saluran gastrointestinal (GI), mata, kandung kemih, pembuluh darah, kelenjar, paru-paru
dan bronkus.
3. Jalur eferen dari SSO dibagi menjadi 2, saraf simpatik dan saraf parasimpatik, yang sering
disebut sebagai sistem saraf simpatik dan sistem saraf para simpatik.
4. Jenis obat yang digunakan pada praktikum ini yaitu : atropin, pilokarpin, dn epinefrin.
5. Tiap-tiap obat memiliki efek yang berbeda, dari perbedaan efek tersebut dilakukan
pengujian dan perbandingan dengan efek yang sesuai yang diakibatkan oleh masing-
masing obat.
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Peterbit FKUI

Priyanto, Lilin Batubara. 2010. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan
Keperawatan. Depok Jabar: Leskonfi

Iso Indonesia Volume 48

Anda mungkin juga menyukai