Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI 1
“SISTEM SARAF OTONOM DAN PERHITUNGAN DOSIS”

OLEH:
KELOMPOK 1

Nursuci 20023002
Novita Chairunnisa 20023008
Enni jusnaeni 20023013
Alda Safitri 20023019
Vidya mitra wira 20023025
Nurhidayah 20023030
Afifa fardinatul nur falqiah 20023035

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
DIPLOMA III FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Setiap manusia memiliki sistem saraf yang bekerja pada tubuhnya.
Sistem saraf adalah sistem yang terdiri dari otak, sum-sum tulang belakang
, jaringan kompleks neuron. Sistem ini bertanggung jawab untuk mengirim,
menerima dan menafsirkan informasi dari semua bagian tubuh. Sistem
saraf memonintor dan mengkoordinasikan fungsi organ internal dan
merespon perubahan dalam lingkungan eksternal.
Sistem saraf terdiri dari satu bagian yang menyusun sistem koordinasi
yang bertugas menerima rangsangan, menghantarkan rangsangan ke
seluruh bagian tubuh, serta memberikan respons terhadap rangsangan
tersebut. Pengaturan penerima rangsangan dilakukan oleh alat indera,
pengolah rangsangan dilakukan oleh saraf pusat yang kemudian
meneruskan untuk menanggapi rangsangan yang datang dilakukan oleh
sistem saraf dan alat indera (Hartono, 2014).
Sistem manusia terdiri dari dua kelompok yakni susunan saraf pusat
(SSP) yang meliputi otak dan sum-sum tulang belakang dan sistem saraf
perifer dengan saraf saraf yang secara langsung atau tidak langsung, ada
hubungannya dengan sistem saraf pusat. Saraf perifer ini terbagi lagi
kedalam dua bagian yaitu susunan saraf motorik yang bekerja sekehendak
kita, misalnya otot otot lurik (kaki, tangan, dan sebagainya), serta susunan
saraf otonom (SSO) yang bekerja menurut aturannya sendiri (Masturoh,
2018).
Sistem saraf otonom (SSO) berdasarkan morfologi dan fungsionalnya
dibagi menjadi dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis . Kedua sistem
saraf ini bekerja pada organ-organ yang sama tetapi menghasilkan respon
yang berlawanan (antagonis) agar tercapainya homeostatis atau
keseimbangan kerja. Obat - obat pada sistem saraf simpatik dan sistem
saraf parasimpatis dapat berupa respon yang merangsang atau menekan.
Dalam dunia farmasi sistem saraf otonom ini sangat erat hubungannya
dengan farmakologi dan toksikologi karena kita dapat mengetahui
mekanisme kerja obat yang akan mempengaruhi sistem saraf otonom itu
sendiri.
I. 2 Maksud dan Tujuan Percobaan
1.2.1 Maksud percoban
Adapun maksud dari percobaan ini adalah agar dapat mengetahui
sistem saraf otonom beserta pembagiannya, dan efek obat (Na-Cmc,
pilokarpin, propranolol, atropin, salbutamol) yang diberikan pada hewan
coba (mencit).
1.2.2 Tujuan percobaan
Adapun tujuan dari praktikum ini ialah:
a) praktikan dapat mengetahui perbedaan parasimpatomimetika,
Parasimpatolitika, Simpatomimetika , dan Simpatolitika.
b) Praktikan mampu mengetahui beberapa aspek Farmakologi dari
parasimpatomimetik.
c) Praktikan mampu melakukan dan memahami percobaan dengan baik.
I.3 Prinsip percobaan
Percobaan Adapun prinsip dari percobaan ini adalah untuk mengetahui
efek atau gejala yang timbul pada saat hewan coba mencit (Mus musculus)
diberikan obat Na-Cmc, propranolol, pilokarpin, atropin, salbutamol baik
secara oral maupun secara intraperitonial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Sistem saraf
Sistem saraf adalah sebuah sistem organ yang mengandung jaringan
sel-sel khusus yang disebut neuron yang mengkoordinasikan tindakan
binatang dan mengirimkan sinyal antara berbagai bagian tubuhnya. Pada
kebanyakan hewan sistem saraf terdiri dari dua bagian, pusat dan perifer.
Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Sistem
saraf secara konvensial dibagi menjadi susunan saraf pusat (SSP:Otak dan
korda spinalis) dan sistem saraf perifer (jaringan neuron dari luar ssp).
Bagian motorik eferen sistem saraf otonom dan somatik. Sistem saraf
autonom umumnya tidak bergantung (autonom) yaitu aktifitasnya tidak
berada dibawah kontrol kesadaran langsung sistem ini berkaitan langsung
dengan fungsi visceral seperti curah jantung, aliran darah kebagian organ,
pencernaan yang penting bagi kehidupan (Katzung, 2014).
Sistem saraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem
koordinasi yang bertugas menerima rangsangan, menghantarkan
rangsangan ke seluruh bagian tubuh, serta memberikan respons terhadap
rangsangan tersebut. Pengaturan penerima rangsangan dilakukan oleh alat
indera, pengolah rangsangan dilakukan oleh saraf pusat yang kemudian
meneruskan untuk menanggapi rangsangan yang datang dilakukan oleh
sistem saraf dan alat indera (Cambel, 2012).
Susunan sistem saraf terbagi secara anatomi yang terdiri dari saraf pusat
(otak dan medula spinal) dan saraf tepi (saraf kranial dan spinal) dan secara
fisiologi yaitu saraf otonom dan saraf somatik (Bahrudin, 2013).
II.2 Sistem saraf otonom
Sistem saraf otonom ialah sistem saraf yang tidak dapat diikendalikan
oleh kemauan kita melalui otak. Sistem saraf otonom mengendalikan
beberapa organ tubuh seperti jantung, pembuluh darah, ginjal, pupil mata,
lambung dan usus. Sistem saraf ini dapat dipacu (induksi) atau dihambat
(inhibisi) oleh senyawa obat (Syarifuddin, 2013).
Terdapat dua neurotransmiter yang bekerja pada pembagian saraf ini
asetilkolin dan norepinefrin. Kedua neurotransmiter ini, bekerja dengan
independen, menimbulkan efek yang sedemikian beragam seperti sekresi
liur, kontraksi kantung empedu, dan gerakan motorik volunteer. Efek-efek
ini adalah contoh utama bagaimana pembawa pesan kimiawi yang sama
dapat memicu berbagai respons berbagai organ. Bergantung pada
aspesialisasi organ efektor yang bersangkutan (Sherwood, 2011).
Susunan saraf pusat (SSP) yaitu otak (ensefalon) dan medula
spinalis yang merupakan pusat intregasi dan kontrol seluruh aktifitas tubuh.
Bagian fungsional pada susunan saraf pusat adalah neuron akson sebagai
penghubung dan transmisi elektrik antar neuron, serta dikelilingi oleh sel
glia yang menunjang secara mekanik dan metabolic (Bahrudin 2013).

Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang.
Sistem saraf pusat ini berfungsi sebagai pusat pengendali utama pada
tubuh. Sistem saraf inilah yang mengatur pergerakan tubuh, Otak dan
sumsum tulang belakang yang menjadi pengendali tubuh manusia, berada
pada sistem saraf pusat. Kenapa sistem saraf pusat bisa mengontrol
gerakan tubuh? Hal ini karena sistem saraf pusat mampu mengolah
informasi atau rangsangan yang diperoleh dari indera-indera tubuh
(Dewoto, 2012).
II.1.3 sarafsimpatik
Saraf simpatik merupakan saraf yang berpangkal pada medula spinalis
didaerah leher dan pinggang, sehingga disebut saraf torakolimbar. Saraf ini
berfungsi mengaktifkan organ tubuh. Beberapa fungsi sistem saraf
simpatik, yaitu: mempercepat denyut jantung, memperlebar pembuluh
darah, menghambat pengeluaran air mata, memperlebar pupil,
menghambat sekresi air ludah, memperbesar bronkus, mengurangi
aktivitas kerja usus, dan menghambat pemebentukan dan urine.
Sedangkan saraf parasimpatik merupakan saraf yang berpangkal pada
medula oblongata. Kerjanya antagonis dengan saraf simpatik, yaitu
menghemat kerja organ.
II.1.4 parasimpatik
Parasimpatik yaitu :memperlambat denyut jantung, mempersempit
pembuluh darah, memperlancar pengeluaran air mata, memperkecil pupil,
memperlancar seksresi air ludah, menyempitkan bronkus, menambah
aktivitas kerja usus, dan merangsang pembentukan urine, alat-alat yang
dipengaruhi oleh kedua saraf tersebut adalah hati, limfa, sistem
pencernaan, sistem pernapasan, sistem peredaran darah, sistem ginjal,
dan saluran kencing (Mulyadi,2014)
Adapun respon yang terjadi pada obat pasaimpatis dan simpatis,

(Syarif, 2012)
II.2. Uraian Bahan
Na- Cmc : (Dirjen POM, 1979 : 401)
Nama resmi : NATRII CARBOXYMETHYLCELLULOSUM
Nama lain : Natrium karboksimetil selulosa
Rumus molekul : C23H48N2O6H2SO4H2O
Berat molekul : 694,84
Pemerian : Serbuk atau butiran; putih atau kuning gading, tidak berbau atau
hampir tidak berbau, higroskopik
Kelarutan : Mudah mendispersi dalam air, membentuk suspense koloidal;
tidak larut dalam etanol (95%) P, dalam eter P dan dalam pelarut
lain.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Pelarutobat

Propanolol (Dirjen POM, 1979 : 532)


Nama resmi : PROPANOLOLI HYDROCHLORIDUM
Nama lain : Propanolol hidroksida
Rumus molekul : C16H21NO2HCI
Berat molekul : 295,81
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih; tidak
berbau; rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam air dan etanol; sukar larut dalam
kloroform praktis tidak larut dalam eter.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Antiadrenergikum

AtropinSulfat (Dirjen POM, 1979 : 98)


Nama resmi : ATROPINI SULFAS
Nama lain : Atropina Sulfat
Rumusmolekul : C23H40N2O6H2SO4H2O
Berat molekul : 694,85
Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk putih; tidak berbau;
sangat pahit; sangat beracun.
Kelarutan : Larut dalam air dan etanol (90%) P; sukar larut dalam
kloroform P; praktis tidak larut dalam eter P dan dalam
benzene P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya
Kegunaan : Parasimpatolitikum

Air Pro Injeksi (Dirjen POM, 1979 : 97)


Nama resmi : AQUA PRO INJECTIONE
Nama lain : Air untuk injeksi
Rumus molekul : C17H21N0HCI
Berat molekul : 18,02
Pemerian : Keasaman-kebasaan; ammonium; besi; tembaga; timbal;
kalsium; klorida; nitrat; sulfat; zatteroksidasi, memenuhi
syarat yang tertera pada Aqua destillata
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup kedap. Jika disimpan dalam wadah
tertutup kapas berlemak harus digunakan dalam waktu 3 hari
setelah pembuatan.
Kegunaan : Untuk pembuatan injeksi

PilokarpinNitras (Dirjen POM, 1979 : 499)


Nama resmi : PILOCARPINI NITRAS
Nama lain : Pilokarpinanitrat
Rumus molekul : C11H16N202,HNO3
Berat molekul : 271,27
Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak
berbau; rasa pahit. Sangat beracun
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindungi dari cahaya.
Kegunaan : Parasimpatomimetikum

Salbutamol Sulfat
Nama resmi : SALBUTAMOL
Nama lain : Mesoprostol
Rumus molekul : C13H21NO3
Berat molekul : 239,3
Pemerian : Putih, hampirputih, berbentukkristal
Kelarutan : Larutdalamalkohol
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari
cahaya

Mencit ( Mus Musculus)


Kindom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Ma malia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus Musculus
BAB III
METODE KERJA
III. 1. Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu : alu, botol coklat,
gelas kimia, gelas ukur, handskun, kanula mencit, lap kasar, lumpang, spoit 1
cc, spoit 3 cc, timbangan analitik, dan vial .
III. 2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah, Atropin, Na-
Cmc, pilokarpin, propanolol, dan Salbutamol.
III. 3. Cara kerja
III.3. 1 Penyiapan hewancoba
Dipilih hewancoba ,berupa mencit yang sehat , mencit ditimbang dan
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan berat badan , mencit
diberi tanda pada bagian ekornya. III.3. 2 Penyiapan bahan

a) Atropin
Pembuatan obat Atropin sulfat 0,25 mg/ml. Diambil 1 mg/mL atropin
sulfat dicukupkan hingga 10 mL.
b) Na-Cmc
Ditimbang Na-Cmc 1 gr, dimasukkan air kedalam gelas kimia 100 mL,
lalu panaskan, dimasukkan Na-CMC sedikit demi sedikit kedalam Gelas
kimia, lalu diaduk hingga homogen.
c) Propanolol
Membuat obat propanolol 10 mg, ditimbang 3 tablet propanolol dan
ditentukan rata-rata tablet, digerus tablet hingga halus, ditimbang 175
mg propanolol dan dicampurkan dengan 10 ml Na-CMC.
d) Salbutamol
Membuat obat Salbutamol 4mg. ditimbang 3 tablet Salbutamol dan
ditentukan rata-rata tablet, digerus tablet hingga halus ,lalu di
campurkan larutan 10 ml Na-cmc .

a. Ditimbang mencit sebelum diber iperlakuan.


b. Dihitung volume pemberian sebelum obat diberikan.
c. Disiapkan kanula atau jarum suntik yang diisi obat.
III.3. 4 Diberikanperlakuanmasing-masing :
Kelompok I (Na-Cmc) : Melalui oral
Kelompok II (Atropin) : Melalui intraperitonial
Kelompok III (Atropin) : Melalui intraperitonial
Kelompok IV (Propanolol) :Melalui oral
Kelompok V (pilokarpin) : Melalui intraperitonial
Kelompok VI (Salbutamol) : Melalui oral
Dilakukan pengamatan pada mencit tiap 0, 15 dan 30, menit dengan
mengamati frekuensi Deuresis , frekuensi diefekasi dan Grooming. Dicatat
hasil pengamatannya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. 1 Hasil
IV. 1. 1 Tabel pengamatan

MencitKe-

Perlakuan Parameter Rata


1 2
pengamatan -

Rata- Rata- Rata


0’- 16’-30’ rata 0’-15’ 16’-30’ rata
15’
Frekuensi
dieresis - - - - 1 0,5 0,25

Frekuensi
Na-CMC
defekasi 1 3 2 1 - 0,5 1,25

Frekuensi
grooming 17 19 18 12 9 10,5 14,25

Frekuensi
dieresis - - - - - - -

Frekuensi
Atropin
defekasi - - - - - - -

Frekuensi
grooming 2 13 7,5 6 2 4 5,75

Frekuensi
dieresis 1 2 1,5 1 - 0,5 1

Frekuensi
Propanolol
defekasi 1 1 1 - - - 0,5
Frekuensi
grooming 15 16 15,5 12 9 10,5 13

Frekuensi
dieresis - - - 9 - 4,5 2,25
Frekuensi
pilokarpin defekasi 5 1 3 - 1 0,5 1,75

Frekuensi
grooming 237 84 160,5 65 23 44 102,25

Frekuensi
dieresis - - - - - - -

Frekuensi
Salbutamol
defekasi - - - - 3 1,5 0,75

Frekuensi
grooming 32 11 21,5 15 5 5 15,75
IV.2 Pembahasan
Pada percobaan ini juga dilakukan pengamatan terhadap obat-obat yang
mempengaruhi sistem saraf otonom pada hewan coba mencit (mus
musculus). Untuk melhat perbandingan yang diberikan oleh golongan obat
yang menghambat atau merangsang kerja sistem saraf simpatis dan
parasimpatis yang merupakan sistem saraf yang bekerja dibawah sistem saraf
otonom.

Berdasarkan hasil pengamatan kelompok 1 menggunakan mencit dengan


berat mencit 20 gram yang diberi Na-cmc 0,5 ml secara oral. Pemberian
secara oral ini dilakukan untuk mendapatkan efek sistemik. Na-Cmc disini
berperan sebagai kontrol negatif yang digunakan sebagai pembanding dan
pelarut untuk pembuatan larutan kontrol positif dan larutan uji. Diperoleh data
bahwa, mencit yang diberi Na-cmc menunjukkan beberapa reaksi. Untuk
mencit pertama, pada menit (0-15) tidak mengalami diuresis, mengalami
defekasi 1 kali dan grooming 17 kali. Dan pada menit (16-30) tidak mengalami
diuresis, mengalami defekasi sebanyak 3 kali dan grooming 19 kali. Sehingga
didapatkan rata-rata (mencit pertama) untuk defekasi 2, grooming 18.
Sedangkan untuk mencit kedua pada menit (0-15) tidak mengalami diuresis,
megalami defekasi sebanyak 1 kali dan grooming sebanyak 12 kali. Pada
menit ke (16-30) mengalami diuresis 1 kali, tidak mengalami defekasi, dan
grooming sebanyak 9 kali. Didapat dari hasil rata-rata (mencit kedua) untuk
diuresis 0,5 , defekasi 0,5 , dan grooming 10,5. Sehingga diperoleh hasil rata-
rata akhir untuk percobaan Na-cmc (diuresis: 0,25 , defekasi: 1,25 , dan
grooming: 14,25). Na-cmc diberikan kepada mencit sebagai larutan kontrol.
Berdasarkan teori Na-cmc seharusnya tidak memberikan efek farmakodinamik
pada mencit, karena Na-cmc hanya sebagai kontrol negatif yang digunakan
untuk membandingkan antara respon hewan percobaan yang diberikan obat
dan yang tidak diberikan obat. Jadi, pada percobaan kelompok ini tidak sesuai
literatur yang ada (Simatupang, 2020).
Berdasarkan hasil percobaan kelompok 2 dan 3, menggunakan mencit
dengan berat 20 g yang diberi atropin 0,5 ml, diberikan secara intraperitonial.
Pemberian obat secara intraperitonial dilakukan agar obat mudah diserap
kedalam sistem peredaran darah. Untuk itu, diberikan pada lambung mencit
karena terdapat banyak pembuluh darah vaskuler. Diperoleh data bahwa
mencit yang diberi atropin menunjukkan beberapa reaksi pada mencit pertama
dan kedua tidak mengalami diuresis dan defekasi tapi hanya mengalami
grooming. Untuk mencit pertama pada menit (0-15) mengalami grooming
sebanyak 2 kali dan menit (16-30) mengalami grooming sebanyak 13 kali
dengan rata-rata 7,5. Untuk mencit kedua pada menit (0-15) mengalami
grooming sebanyak 6 kali dan pada mencit diperoleh hasil rata-rata akhir 5,75.
Pada percobaan ini didapatkan hasil peningkatann frekuensi grooming,
dimana obat atropin termasuk golongan anatagonis kolinergik (parasimpatis)
atau menghambat kerja parasimpatis. Hal ini sesuai denagn literatur (Katzung,
2010).
Berdasarkan hasil pengamatan kelompok 4 menggunakan mencit dengan
mencit dengan berat 20 gram yang diberi propanolol 0,5 ml diberikan secara
oral. Pemberian secara oral ini dilakukan untuk mendapatkan efek sistemik.
Na-Cmc disini berperan sebagai kontrol negatif yang digunakan sebagai
pembanding dan pelarut untuk pembuatan larutan kontrol positif dan larutan
uji diperoleh bahwa mencit yang diberi propanolol menunjukkan beberapa
reaksi pada mencit. Untuk mencit pertama pada menit (0-15). Mengalami
diuresis sebanyak 1 kali, mengalami defekasi 1 kali, dan grooming 15 kali. Dan
pada menit (16-30) mengalami diuresi 2 kali, defekasi 1 kali, dan grooming
sebanyak 16 kali. Untuk mencit kedua pada menit (0-15) mengalami diuresis 1
kali, tidak mengalami defekasi, mengalami defekasi 12 kali dan pada menit
(16-30) tidak mengalami diiuresis dan defekasi, namun mengalami grooming 9
kali. Sehingga diperoleh rata-rata akhir diuresis 1 , grooming 13 , dan defekasi
0,5. Diperoleh percobaan ini didapatkan hasil bahwa pemberian obat
propanolol pada hewan mencit memberikan efek diuresis, defekasi, dan
grooming. Hal tersebut membuktikan bahwa propanolol termasuk golongan
simpatolitik yang tidak mendukung kerja simpatis. Hal ini sesuai dengan
literatur (Syaifuddin, 2014).
Berdasarkan hasil pengamatan kelompok 5 menggunakan mencit dengan
berat 20 gram yang diberi pilokarpin 0,5 ml diberikan secara intraprotenial.
Pemberian obat secara intraperitonial dilakukan agar obat mudah diserap
kedalam system peredaran darah. Untuk itu, diberikan pada lambung mencit
karena terdapat banyak pembuluh dara vaskuler. Diperoleh data bahwa mencit
yang diberikan pilokarpin menunjukkan beberapa reaksi, pada mencit pertama
menit (0-15) tidak mengalami diuresis, mengalami defekasi sebanyak 5 kali,
dan grooming sebanyak 237 kali. Pada menit (16-30) juga tidak mengalami
diuresis, mengalami defekasi sebanyak 1 kali, dan grooming sebanyk 84 kali.
Untuk mencit kedua, menit (0-15) mengalami diuresis sebanyak 9 kali, tidak
mengalami defekasi, dan grooming sebanyk 65 kali, untuk menit (16-30) tidak
mengalami diuresis, mengalami defekasi sebanyak
1 kali, dan grooming sebanyak 23 kali: sehngga didapatkan rata-rata akhir
sebanyak 2,25 (diuresis), 1,75 (defekasi), dan 102,25 (grooming). Pada
percobaan ini didapatkan hasil bahwa pemberian obat pilokarpin pada hewan
mencit memberikan efek diuresis, defekasi dan grooming menurun. Dimana
obat pilokarpin termasuk golongan agonis kolinergik (parasimpatis) sehingga
mendukung kerja dari parasimpatis. Hal ini sesuai literatur karena kandung
kemih akan berkontraksi pada respon parasimpatis (Yunita, 2018).
Berdasarkan hasil pengamatan kelompok 6, menggunakan mencit dengan
berat 25 gram dan 27 gram yang diberi salbutamol 0,5 mml diberikan secara
oral. Pemberian secara oral ini dilakukan untuk mendapatkan efek sistemik.
Na-Cmc disini berperan sebagai kontrol negatif yang digunakan sebagai
pembanding dan pelarut untuk pembuatan larutan kontrol positif dan larutan
uji. Diperoleh data bahwa mencit yang diberikan salbutamoll menunjukkan
beberapa reaksi pada mencit pertama, menit(0-15) tifsk mengalami diiuresis,
begitupun dengan defekasi, mengalami grooming 32 kali. Pada menit (16-30)
juga tidak mengalami diuresis dan defekasi, mengalami grooming sebanyak
11 kali. Pada mencit kedua, menit (0-15) tidak mengalami diuresis dan
defekasi, mengalami groomiing 15 kali. Menit ke (16-20) tidak mengalami
diuresis, mengalami defekasi sebanyak 3 kali,da grooming sebanyak 5 kali.
Sehingga didapat rat-rata akhir; defekasi : 0,75 , dan groomng 15,57. Pada
percobaan ini didapatkan hail bahwa hasil penurunan. Frekuensi diuresis dan
grooming. Salbutamol termasuk golongan beta adrenergik agonis yang secara
langsug dapat membuat otot-tot polos pada bronkus menjadi rileks. Hal ini
sesuai literatur karena salbutamol merupakan obat golongan agonis
adrenergik mendukung kerja dari simpatis. (Ricard, 2014)
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum diatas dapat disimpulkan bahwa setiap obat yang
memiliki golongan berbeda akan memberikan respon yang berbeda pula pada
hewan coba, seperti pada obat propanolol, termasuk golongan obat
simpatolitik yang tidak mendukung kerja simpatis, berbeda dengan obat
salbutamol yang merupakan golongan obat agonis adrenergik mendukung
kerja dari simpatis, sebagaimana telah dipaparkan pada teori sebelumnya
bahwa obat-obat golongan agonis adrenergik pada sistem saraf simpatis
memiliki efek farmakodinamiknya yang sama dengan obat-obat golongan
antagonis kolinergik pada sistem saraf parasimpatis. Sedangkan, obat-obat
golongan agonis kolinergik pada sistem saraf parasimpatis sama efek
farmakodinamiknya dengan obat-obat golongan antagonis kolinergik pada
parasimpatis.
V.2 Saran
V.2.1 Untuk Dosen
Senantiasa mendampingi asisten dan praktikan saat proses praktikum
berlangsung demi kelancaran praktikum dan para praktikan mudah
memahami saat proses praktikum berlangsung.
V.2.2 Untuk asisten
Tetap ramah kepada praktikan dan kedepannya menjadi pribadi yang
lebih baik sehingga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi siapapun
V.2.3 Untuk Laboratorium
Menyediakan alat aboratorium yang cukup lengkap agar tidak terlalu
membebani praktikan dan praktikum bisa berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin 2013 neuroanatomi klinis diagnosis topis malang UNM press
Cambell A.neil dkk 2012 biologi jilid edisi ll edisi kedelapan jakarta:erlangga
Hartono, Bambang. 2014. Promosi Kesehatan Di Puskesmas dan Rumah
Sakit.Jakarta: Rineka Cipta.
Katzung ,G. Bertram. 2010. Farmakoterapi Dasar dan Klinis edisi 10.Jakarta :
EGC.
Louisa M, Dewoto HR. 2012. Perangsang Sistem Saraf Pusat
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Depatemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mutschler E. Dinamika Obat Masturoh I, Anggita N. 2018. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 297 halaman.Mulyadi,2014. Anatomi
dan fisiologi manusia.yogyakarta graha ilmu sulista
Richard A, Marvley. 2019. Farmakologi edisi 4. Buku Kedokteran EGC
Simatupang, DR, Md. 2020. Panduan praktikum BAB VI farmakologi,
Departemen Farmakologi dan Terapi, Universitas Kristen Indonesia
Syarif, A., Purwantyastuti, A., Ari, E., Arini, S., Armen, M., 2012, Farmakologi
Dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi Dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Syarifudin, H. 2014. Anatomi fisiologi. Jakarta : EGC
Syarifuddin H. 2013 anatomi fisiologi jaKarta :EGC
Yunita, Ema. 2018. Modul praktikum fitokimia. Yogyakarta.
Laboratorium fitokimia, Akademi Farmasi Indonesia
LAMPIRAN

1. Lampiran perhitungan Perhtungan bahan:


a. Atropin 0,5 mg
1. Dosis mencit = 0,5 mg x 0,0026
= 0,0013 / 20 gram mencit
2. Berat yang ditimbang
x 2 x 7,5 mg = 0,039 mg
3. Volume max oral mencit = 1 mL 1 mL x 2 HC = 2 mL
0,039 mg ad 2 mL

Jumlah yang diberikan = x vol. mencit


= x 0,5 mL
b. Propanolol 10 mg
1. Dosis mencit = 10 mg x 0,0026
= 0,026 / 20 gram mencit
2. Berat yang ditimbang
x 2 x 437,2 mg = 2,273 mg
3. Volume max oral mencit = 1 mL 1 mL x 2 HC = 2 mL
2,273 mg ad 2 mL
Jumlah yang diberikan = x vol. mencit
= x 0,5 mL
c. salbutamol 2 mg
1. Dosis mencit = 2 mg x 0,0026
= 0,0052 / 20 gram mencit
2. Berat yang ditimbang
x 2 x 438,7 mg = 2,281 mg
3. Volume max oral mencit = 1 mL 1 mL x 2 HC = 2 mL
2,281 mg ad 2 mL
Jumlah yang diberikan = x vol. mencit
= x 0,5 mL
2. Lampiran dokumentasi

Alat (spoit) dan bahan proses pengambilan cara memegang mencit


(propranolol) salbutamol

Pemberian Na-cmc pemberian atropin pemberian pilokarpin


Melalui oral secara intraproterenol secara
intraproterenol

Proses pengamatanpro proses pengamatan


Setelah pemberian Na- setelah pemberian
cmc pilokarpin

Anda mungkin juga menyukai