Disusun Oleh :
NIM : 230106089
2024
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semakin tinggi suatu makhluk hidup berkembang, semakin besar pula
tingkat kebutuhannya, dalam hal ini termasuk kebutuhan akan system
penghantaran informasi, sistem koordinasi, dan sistem pengaturan, di
samping kebutuhan akan pemasok organ dan sekresi organ.
Otak adalah kumpulan situs saraf yang paling berhubungan mengatur
aktivitasnya sendiri dan mengaktifkan satu sama lain dengan cara yang
dinamis dan kolekks. Didalam otak terdapat sistem saraf yang mengatur
semua informasi-informasi ke dalam memori otak.
Sistem saraf bagian dua menjadi berdasarkan divisi anatomis: system
saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan medula tulang belakang, dan
sistem saraf perifer yang terdiri dari sel-sel saraf selain otak dan medulla
tulang belakang yaitu saraf-saraf yang masuk dan keluar dari SSP
(Utami,2021).
Sistem saraf perifer, selanjutkan akan dibagi menjadi devisi eferen,
neuron yang membawa sinyal dari otak dan medula tulang belakang menuju
jaringan perifer, dan divisi aferen yaitu neuron yang membawa informasi dari
perifer menuju SSP. Obat yang menghasilkan efek teraupetik utamanya
dengan cara menyerupai atau mengubah fungsi sistem otonom yang disebut
obat-obat otonom (Utami,2021).
Adapun yang melatarbelakangi untuk melakukan praktikum
percobaan ini yaitu untuk mengetahui dan melihat secara langsung efek-efek
yang ditimbulkan oleh obat-obat yang telah ditentukan pada sistem saraf
otonom, maka pada praktikum kali ini menggunakan hewan coba seperti
mencit (Mus musculus). Dengan menggunakan hewan tersebut maka kita
dapat melihat efek yang terjadi misalnya vasodilatasi, air liur, urinasi dan
lain-lain.
1.2. Tujuan
1.2.1. Menganalisis pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam
pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.
1.2.2. Menganalisis teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik
pada neuroefektor parasimpatikus.
1.3. Prinsip
Berdasarkan prinsipnya sistem saraf menjadi salah satu bagian dalam
sistem koordinasi yang mengatur aktivitas tubuh melalui rangsangan listrik
yang terdiri atas tiga komponen, seperti sel saraf pusat (neuron), sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi (Bahrudin, 2013).
Berdasarkan prinsipnya obat antikolinergik bekerja pada reseptor
muskarinik dalam sistem saraf pusat dan perifer dengan menghambat respon
asetilkolin secara kompetitif. Sistem kolinergik menggunakan dua reseptor,
reseptor muskarinik yang berpasangan dengan protein G yang terikat
membran plasma, dan reseptor nikotinik saluran ion dengan gabungan ligan
(Ikawati,2017).
BAB II
TEORI DASAR
Sistem saraf dibedakan atas dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri
dari otak dan medula spinalis, serta sistem saraf tepi yang merupakan sel-sel saraf
yang terletak di luar otak dan medula spinalis yaitu saraf-saraf yang masuk dan
keluar SSP. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu neuron
yang membawa sinyal dari otak dan medula spinalis ke jaringan tepi, serta aferen
yang membawa informasi dari perifer ke SSP (Utami, 2021).
Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang
mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai
kelenjar.1 Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan darah,
motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih,
proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain (Guyton, 2006).
Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat memperlihatkan efek merangsang
atau menghambat aktivitas susunan saraf pusat secara spesifik atau secara umum.
Impuls saraf dari SSP hanya dapat diteruskan ke ganglion dan sel efektor melalui
penglepasan zat kimia yang khas yang disebut transmiter neurohumoral atau
disingkat transmiter. Tidak banyak obat yang pada dosis terapi dapat
mempengaruhi konduksi akson, tetapi banyak sekali zat yang dapat mengubah
tranmisi neurohumoral (Indra, 2015).
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan saraf
otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat yang dapat
mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara
spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi
penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa,
penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya
atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Kolinergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena
melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Efek
kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan
memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga
sekresi air mata, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan
jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan,
kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung
kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh
dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya
(Dwita,2020).
Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan nonadrenergik terhadap
saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa mediator inflamasi mempunyai efek
pada pelepasan neurotransmiter dan mengakibatkan terjadinya reaksi reseptor saraf
otonom. Saraf otonom mengatur fungsi saluran nafas melalui berbagai aspek seperti
tonus otot polos saluran napas, sekresi mukosa, aliran darah, permeabilitas
mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel inflamasi. Peran saraf kolinergik paling
dominan sebagai penyebab bronkokonstriksi pada saluran napas (Rahadianti,2022).
Beberapa peneliti melaporkan bahwa rangsangan yang disebabkan oleh
sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan bradikinin akan merangsang saraf
aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi . Mekanisme adrenergik meliputi
sarafsimpatis, katekolamin yang beredar dalam darah, reseptor alfa adrenergik, dan
reseptor beta adrenergik. Pemberian obat agonis adrenergik memperlihatkan
perbaikan gejala pada penderita asma, hal ini menunjukkan adanya defek
mekanisme adrenergik pada penderita asma. Saraf adrenergik tidak mengendalikan
otot polos saluran napas secara langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar
dalam darah (Mulia, 2016).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat
pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
a. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai
berikut:
- Simpatomimetik (adrenergik), yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan
lain-lain.
- Simpatolitik (adrenolitik), yaitu obat yang meniru efek bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida
sekale, propanolol, dan lain-lain.
b. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai
berikut:
- Parasimpatomimetik (kolinergik), yaitu obat yang meniru perangsangan
dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan
phisostigmin.
- Parasimpatolitik (antikolinergik), yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna (Pearce, 2002).
Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya
mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin
(yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis. Kerja obat
adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis :
1) Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa
dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2) Penghambat perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh
darah otot rangka.
3) Perangsang jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan
kekuatan kontraks.
4) Perangsang Sistem saluran pernapasan.
5) Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenilisis dihati dan otot dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,
6) Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, rennin dan
hormon hipofisi.
7) Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitor (Gemy, 2020).
BAB III
METODELOGI PERCOBAAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat
3.1.2. Bahan
Hindari menghirup
5. Uretan Sebagai bahan uji
uapnya
-
Kelompok Hasil
SATU
5.1. Kesimpulan
5.1.1. Sistem saraf otonom meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik.
Atropin digunakan sebagai obat simpatomimetik (antikolinergik) yang
memiliki aktivitas menginhibisi salivasi. Sedangkan pilokarpin
digunakan sebagai obat parasimpatomimetik (kolinergik) yang
memiliki aktivitas menstimulasi salivasi.
5.1.2. Suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada
neuroefektor parasimpatikus adalah dengan cara menghitung %
inhibisi. Namun pada praktikum kali ini tidak dilakukan perhitungan %
inhibisi dikarenakan referensi yang dipakai tidak memberikan
informasi jelas seperti : BB Mencit, Diameter saliva tiap mencit.
DAFTAR PUSTAKA