Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT SISTEM SARAF OTONOM

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Praktikum Farmakologi Toksikologi

Disusun Oleh :

Nama : Nanda Nabila Hikmah Azhari

NIM : 230106089

Dosen Pengampu : Apt. Kartika Sari M.S.farm.

Asisten Praktikum : Reka Seutiawati

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

2024
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semakin tinggi suatu makhluk hidup berkembang, semakin besar pula
tingkat kebutuhannya, dalam hal ini termasuk kebutuhan akan system
penghantaran informasi, sistem koordinasi, dan sistem pengaturan, di
samping kebutuhan akan pemasok organ dan sekresi organ.
Otak adalah kumpulan situs saraf yang paling berhubungan mengatur
aktivitasnya sendiri dan mengaktifkan satu sama lain dengan cara yang
dinamis dan kolekks. Didalam otak terdapat sistem saraf yang mengatur
semua informasi-informasi ke dalam memori otak.
Sistem saraf bagian dua menjadi berdasarkan divisi anatomis: system
saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan medula tulang belakang, dan
sistem saraf perifer yang terdiri dari sel-sel saraf selain otak dan medulla
tulang belakang yaitu saraf-saraf yang masuk dan keluar dari SSP
(Utami,2021).
Sistem saraf perifer, selanjutkan akan dibagi menjadi devisi eferen,
neuron yang membawa sinyal dari otak dan medula tulang belakang menuju
jaringan perifer, dan divisi aferen yaitu neuron yang membawa informasi dari
perifer menuju SSP. Obat yang menghasilkan efek teraupetik utamanya
dengan cara menyerupai atau mengubah fungsi sistem otonom yang disebut
obat-obat otonom (Utami,2021).
Adapun yang melatarbelakangi untuk melakukan praktikum
percobaan ini yaitu untuk mengetahui dan melihat secara langsung efek-efek
yang ditimbulkan oleh obat-obat yang telah ditentukan pada sistem saraf
otonom, maka pada praktikum kali ini menggunakan hewan coba seperti
mencit (Mus musculus). Dengan menggunakan hewan tersebut maka kita
dapat melihat efek yang terjadi misalnya vasodilatasi, air liur, urinasi dan
lain-lain.

1.2. Tujuan
1.2.1. Menganalisis pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam
pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.
1.2.2. Menganalisis teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik
pada neuroefektor parasimpatikus.
1.3. Prinsip
Berdasarkan prinsipnya sistem saraf menjadi salah satu bagian dalam
sistem koordinasi yang mengatur aktivitas tubuh melalui rangsangan listrik
yang terdiri atas tiga komponen, seperti sel saraf pusat (neuron), sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi (Bahrudin, 2013).
Berdasarkan prinsipnya obat antikolinergik bekerja pada reseptor
muskarinik dalam sistem saraf pusat dan perifer dengan menghambat respon
asetilkolin secara kompetitif. Sistem kolinergik menggunakan dua reseptor,
reseptor muskarinik yang berpasangan dengan protein G yang terikat
membran plasma, dan reseptor nikotinik saluran ion dengan gabungan ligan
(Ikawati,2017).
BAB II
TEORI DASAR

Sistem saraf dibedakan atas dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri
dari otak dan medula spinalis, serta sistem saraf tepi yang merupakan sel-sel saraf
yang terletak di luar otak dan medula spinalis yaitu saraf-saraf yang masuk dan
keluar SSP. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu neuron
yang membawa sinyal dari otak dan medula spinalis ke jaringan tepi, serta aferen
yang membawa informasi dari perifer ke SSP (Utami, 2021).
Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang
mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai
kelenjar.1 Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan darah,
motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih,
proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain (Guyton, 2006).
Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat memperlihatkan efek merangsang
atau menghambat aktivitas susunan saraf pusat secara spesifik atau secara umum.
Impuls saraf dari SSP hanya dapat diteruskan ke ganglion dan sel efektor melalui
penglepasan zat kimia yang khas yang disebut transmiter neurohumoral atau
disingkat transmiter. Tidak banyak obat yang pada dosis terapi dapat
mempengaruhi konduksi akson, tetapi banyak sekali zat yang dapat mengubah
tranmisi neurohumoral (Indra, 2015).
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan saraf
otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat yang dapat
mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara
spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi
penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa,
penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya
atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Kolinergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena
melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Efek
kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan
memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga
sekresi air mata, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan
jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan,
kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung
kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh
dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya
(Dwita,2020).
Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan nonadrenergik terhadap
saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa mediator inflamasi mempunyai efek
pada pelepasan neurotransmiter dan mengakibatkan terjadinya reaksi reseptor saraf
otonom. Saraf otonom mengatur fungsi saluran nafas melalui berbagai aspek seperti
tonus otot polos saluran napas, sekresi mukosa, aliran darah, permeabilitas
mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel inflamasi. Peran saraf kolinergik paling
dominan sebagai penyebab bronkokonstriksi pada saluran napas (Rahadianti,2022).
Beberapa peneliti melaporkan bahwa rangsangan yang disebabkan oleh
sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan bradikinin akan merangsang saraf
aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi . Mekanisme adrenergik meliputi
sarafsimpatis, katekolamin yang beredar dalam darah, reseptor alfa adrenergik, dan
reseptor beta adrenergik. Pemberian obat agonis adrenergik memperlihatkan
perbaikan gejala pada penderita asma, hal ini menunjukkan adanya defek
mekanisme adrenergik pada penderita asma. Saraf adrenergik tidak mengendalikan
otot polos saluran napas secara langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar
dalam darah (Mulia, 2016).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat
pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
a. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai
berikut:
- Simpatomimetik (adrenergik), yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan
lain-lain.
- Simpatolitik (adrenolitik), yaitu obat yang meniru efek bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida
sekale, propanolol, dan lain-lain.
b. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai
berikut:
- Parasimpatomimetik (kolinergik), yaitu obat yang meniru perangsangan
dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan
phisostigmin.
- Parasimpatolitik (antikolinergik), yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna (Pearce, 2002).
Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya
mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin
(yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis. Kerja obat
adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis :
1) Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa
dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2) Penghambat perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh
darah otot rangka.
3) Perangsang jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan
kekuatan kontraks.
4) Perangsang Sistem saluran pernapasan.
5) Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenilisis dihati dan otot dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,
6) Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, rennin dan
hormon hipofisi.
7) Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitor (Gemy, 2020).
BAB III
METODELOGI PERCOBAAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat

No Alat Gambar Kegunaan


1. Alat Tulis Untuk mencatat hasil
percobaan yang didapat

2. Kertas Untuk alas mencit pada


papan

3. Papan 40 x 30 cm Untuk tempat menaruh


mencit

4. Stopwatch Untuk mengukur waktu

5. Syringe Untuk menyuntikkan


sampel ke hewan uji

3.1.2. Bahan

No Bahan Kegunaan Precaution

1. Atropin 0,04% Sebagai bahan uji coba Berbahaya jika terhirup

2. Gom Arab 3% Sebagai bahan uji Hindari menghirup debu


No Bahan Kegunaan Precaution

3. Mencit Jantan Sebagai hewan uji Tidak berbahaya

Berbahaya jika tertelan


4. Pilocarpin 0,02% Sebagai bahan uji
dan terhirup

Hindari menghirup
5. Uretan Sebagai bahan uji
uapnya

3.1. Prosedur Percobaan


Disiapkan alat dan bahan untuk percobaan, dibuatkan larutan gom dan obat.
Dipilih secara acak hewan percobaan, diamati kesehatannya kemudian masing-
masing hewan ditimbang dan diberi tanda pengenalnya. Dilakukan pada waktu T=0
satu kelompok atropine 1mg/kg BB (p.o) segera sesudah pemberian obat hipnotik
sedangkan kelompok control negatif diberi larutan gom dan obat hipnotik dengan
cara yang sama.
Dilakukan pada waktu T=15 menit, kelompok lain disuntikkan atropine
0,015 mg/kg BB (s.c), segera sesudah pemberian obat hipnotik. Dilakukan
Tindakan pada waktu T=45 menit, semua mencit diberikan pilokarpin secara
subkutan. Kemudian masing-masing mencit diletakkan di atas kertas pada papan (1
mencit per kotak). Penempatan mencit haruslah sedemikian sehingga mulutnya
berada tepat berada di atas kertas, kemudian ekornya diikat dengan seutas tali dan
diberi beban sebagai penahan.
Mencit ditarik setiap 5 menit ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas.
Selanjutnya diulangi hal yang sama selama 25 menit sampai kotak paling atas.
Diamati besarnya noda yang terbentuk di atas setiap kotak dan tandai batas noda
(pakai alat tulis spidol). Diukur diameter noda dan dihitung persentase inhibisi yang
diberikan oleh kelompok atropin. Data hasil yang didapat dimasukkan ke dalam
tabel dan buatlah grafik inhibisi per satuan waktu.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil

No. Prosedur Gambar


1. Pada kelompok satu - uretan diberikan secara intraperitonial
diberikan uretan dan gom
pada T0

- segera diberikan gom secara oral

2. Pada kelompok kedua - uretan diberikan secara intraperitonial


diberikan uretan dan
atropin pada T0

- segera berikan atropine secara oral


No. Prosedur Gambar
3. Pada T15, pada kelompok - diberikan uretan secara intraperitonial
tiga diberikan uretan dan
atropin

- diberikan atropin secara subkutan

4. Pada T45 diberikan


- - diberikan pilokarpin secara subkutan pada
pilokarpin pada semua semua kelompok
kelompok

-
Kelompok Hasil
SATU

Pemberian gom pada T0 dan pemberian pilokarpin


pada T45 , pemberian pilokarpin menyebabkan
hipersalivasi
Kelompok Hasil
DUA

Pada kelompok dua mencit diberikan atropin sulfat


secara oral , efek dari atropine sulfat yaitu
menginhibisi efek hipersalivasi yang diberikan oleh
pilokarpin.
TIGA

Pada kelompok tiga, mencit diberikan atropin sulfat


secara subkutan pada T15, hasil yang diberikan
adalah saliva yang terbentuk lebih sedikit karena
pemberian atropin yang berdekatan dengan
pemberian pilokarpin.
4.2. Pembahasan
Praktikum farmakologi kali ini mengenai obat sistem saraf otonom atau obat
kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap pengaruh aktivitas obat-obat
sistem saraf otonom pada mencit. Sistem saraf otonom, juga disebut susunan saraf
vegetatif, meliputi antara lain saraf-saraf dan ganglia (majemuk disebut
ganglion=simpul saraf) yang merupakan persarafan ke otot polos dari berbagai
organ (bronchia, lambung, usus, pembuluh darah, dan lain-lain). Termasuk
kelompok ini pula adalah otot jantung (lurik) serta beberapa kelenjar ludah,
keringat, dan pencernaan. Dengan demikian SSO tersebar di seluruh tubuh dan
fungsinya adalah mengatur secara otomatis keadaan fisiologi yang konstan, seperti
suhu badan, tekanan dan peredaran darah, serta pernapasan (Rahardja,2007).
Percobaan kali ini bertujuan untuk menghayati secara lebih baik pengaruh
berbagai obat sistem saraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif
tubuh dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik
pada neoroefektor parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan
berbagai cara pemberian obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap
sistem saraf otonom.
Percobaan ini diawali dengan mempersiapkan semua alat dan bahan yang
akan digunakan dalam percobaan. Kemudian dilakukan pemilihan hewan
percobaan yaitu mencit. Mencit yang telah dipilih, lalu ditimbang. Namun, dalam
praktikum kali ini karena dilakukan secara online dan melihat video yang berkaitan
dengan pengujian aktivitas obat pada sistem saraf otonom tidak dilakukan
penimbangan menurut video referensi dari
https://youtu.be/9XR8lMPvM6g?si=oXkj5V-h8gN7KC9L, seharusnya
penimbangan mencit ini dilakukan dengan meletakkan seekor mencit yang akan
digunakan, diatas neraca ohauss dan diamati angka yang menunjukkan berat badan
mencit. Penimbangan mencit ini bertujuan untuk mengetahui perhitungan dosis
yang tepat pada perlakuan percobaan, karena setiap individu yang memiliki berat
badan yang berbeda akan mendapatkan pemberian dosis yang berbeda, mengingat
berat badan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pemberian
jumlah dosis. Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal yang
berbeda. Hal ini bertujuan agar mempermudah mengenali mencit baik pada saat
pemberian perlakuan maupun saat dilakukan pengamatan terhadap percobaan
(Marbawati,2014).
Mencit dibagi menjadi 3 kelompok,yang nantinya akan diberikan perlakuan
yang berbeda. Masing-masing kelompok diberikan uretan dengan dosis yang
sesuai, secara intraperitonial menggunakan jarum suntik. Uretan yang diberikan
dalam bentuk larutan. Pemberian dilakukan dengan cara memegang atau menjepit
tengkuk diantara jari telunjuk dan jari tengah, dengan membuat posisi abdomen
yang lebih tinggi dari kepala. Jarum disuntik dengan membentuk sudut 10⁰
(Lucia,2023).
Penyuntikan harus sedikit menepi dari garis tengah, untuk menghindari
terkenanya kandung kemih. Jangan pula terlalu tinggi agar tidak mengenai
hati. Tujuan pemberian uretan adalah untuk membuat mencit tertidur
atau menurunkan aktivitasnya. Selain itu, pembiusan mencit dilakukan karena
dalam keadaan tertidur biasanya akan terjadi salivasi dimana salivasi ini akan
digunakan sebagai parameter dalam pengujian obat-obat sistem saraf otonom
(Lucis,2023).
Sistem saraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem saraf simpatik
dan sistem saraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan salah satu kelenjar
dalam sistem pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem
saraf parasimpatik atau oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika
diberikaan obat-obat yang aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik
yaitu obat simpatomimetik, maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun
(Puspita,2018).
Setelah masing-masing kelompok diberi uretan, mencit pada kelompok 1
diberikan atropin secara peroral. Atropin yang diberikan dalam bentuk larutan.
Perlakuan pada mencit dilakukan dengan menggunakan jarum suntik yang
ujungnya tumpul atau yang biasa disebut dengan sonde. Alat ini dimasukan ke
dalam mulut, kemudian perlahan-lahan dimasukan melalui tepi langit-langit ke
belakang sampai esotagus.
Setelah 15 menit dari pemberian uretan, mencit pada kelompok 2 juga
dilakukan pemberian atropin namun diberikan secara subkutan dengan
menggunakan jarum suntik. Penyuntikan secara subkutan ini dilakukan di bawah
kulit tengkuk. Sedangkan mencit pada kelompok 3 tidak diberikan atropin karena
digunakan sebagai kelompok kontrol.
Atropin merupakan obat antikolinergik (obat simpatomimetik) yang akan
diuji dengan diberikan pada mencit untuk dilakukan pengamatan terhadap
pengaruhnya pada sistem saraf otonom. Atropin merupakan obat yang digolongkan
sebagai antikolinergik atau simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid
beladona, yang bekerja memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen
(Usman,2018).
Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin. Efek atropin pada
saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini
dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut mencit menjadi
kering (serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, yang secara
kompetitif dapat menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada
neuroefektor parasimpatik postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem syaraf pusat,
meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin
dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini
dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropine (Yusuf,2018).
Selain atropin pada praktikum ini digunakan uretan.Uretan adalah senyawa
etil ester dari asam karbaminik, menimbulkan efek anaestesi dengan durasi yang
panjang seperti choralose. Biasanya senyawa ini digunakan untuk percobaan
fisiologi dan farmakologi. Uretan sering dikombinasikan dengan choralose untuk
menurunkan aktivitas muskular. Uretan memiliki efek yang kecil pada respirasi dan
tekanan darah arteri. Uretan tidak digunakan sebagai anaestesi dalam kedokteran
hewan, tetapi dianjurkan dalam penggunaannya untuk tujuan eksperimen
(percobaan). Dalam praktikum ini, uretan digunakan pada tikus dalam tahap
vegetatif (vegetative stage) (Darmono,2011).
Setelah 45 menit dari pemberian uretan, semua kelompok mencit diberikan
pilokarpin menggunakan jarum suntik secara subkutan agar efek yang ditimbulkan
cepat. Pilokarpin yang diberikan kepada mencit bertujuan agar mencit tersebut
dapat mengeluarkan saliva. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil
dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan
turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah. Polikarpin merupakan obat
kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik yang dimana efeknya akan
menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan kelenjar-kelenjar pada
tubuh salah satunya kelenjar saliva (Dwita,2020).
Obat kolinergik adalah kelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang
sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan
neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Efek kolinergis yang
ditimbulkan juga termasuk dalam merangsang atau menstimulasi sekresi kelenjar
ludah, sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya hipersalivasi sehingga air liur
atau saliva yang dikeluarkan oleh mencit menjadi lebih banyak karena pilokarpin
merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar saliva
(Lucia,2023).
Setelah semua bahan (obat) sudah diberikan pada mencit, masing-masing
mencit diletakan pada sebuah papan berukuran 40 x 30 cm yang telah dilapisi oleh
kertas atau kertas saring yang telah ditaburi metilen blue pada bagian bawah,
sehingga air liur yang dikeluarkan mencit akan merubah warna kertas saring
menjadi berwarna biru. Masing-masing mencit ditempatkan pada satu kotak dan
setiap 5 menit mencit tersebut dipindahkan pada kotak diatasnya dan hal tersebut
terus diulangi selama 25 menit hingga mencapai kotak yang berada paling atas.
Kemudian diameter salivasi yang terjadi diukur dengan menggunakan penggaris
dan dicatat untuk dilakukan pengolahan data selanjutnya, namun karena praktikum
online pada modul ini tidak dilakukan pengukuran diameter salivasi.
Pada mencit kelompok 1, diberikan uretan secara intraperitoneal dan
atropine pada menit ke 0 secara peroral dan pilokarpin pada menit ke 45 secara
subkutan. Setelah diamati selama 25 menit, kertas berubah warna menjadi biru yang
menunjukan bahwa hewan percobaan mengeluarkan saliva. Hal ini sesuai dengan
literatur, hal ini disebabkan oleh pengaruh pemberian atropin secara peroral
membutuhkan waktu yang cukup lama karena obat mengalami proses adsorpsi,
distribusi, metabolisme. Sementara itu dengan pemberian pilokarpin secara
subkutan akan cepat menimbulkan efek karena subkutan langsung masuk ke
pembuluh darah sehingga cepat mempengaruhi sistem syaraf otonom (sebagai zat
kolinergik) yaitu terjadi peningkatan sekresi air liur pada mencit (Nuryati,2017).
Pada mencit kelompok 2, diberikan uretan intraperitonial pada menit ke 0
dan atropin secara subkutan pada menit ke 15 setelah itu diberikan pilokarpin secara
subkutan pada menit ke 45. Efek yang ditimbulkan pada 10 menit pertama setelah
pemberian pilocarpin mencit yang ke II ini mengeluarkan sedikit saliva. Namun ,
pada menit ke 15, ada satu mencit mengeluarkan sedikit saliva. Hal sesuai dengan
literature. Kelompok mencit ini adalah kelompok yang paling sedikit mengeluarkan
saliva. Dengan pemberian atropin secara subkutan membuat efek atropin sebagai
obat antikolinergik lebih cepat karena langsung masuk ke pembuluh darah, tidak
seperti proses pemberian atropin secara peroral pada mencit I. Karena efek dari
atropin yang lebih kuat, seharusnya membuat sekresi air liur lebih sedikit meskipun
telah ditambahkan pilokarpin yang merangsang sekresi saliva (Gemy,2020).
Pada mencit kelompok 3, diberikan uretan intraperitonial. dan pilokarpin
pada menit ke 45 secara subkutan. Pada menit ke 20, kertas tetap berwarna putih
yang menunjukan bahwa mencit tidak mengeluarkan saliva sama sekali. Hal ini
tidak sesuai dengan literature. Pemberian pilokarpin secara subkutan membuat
absorpsinya lebih cepat karena banyak terdapat pembuluh darah di otot dan pada
kelompok ini tidak diberikan obat penginhibisi sekresi saliva. Oleh karena itu,
seharusnya kelompok mencit ini yang paling banyak mengeluarkan saliva
(Nila,2013).
Secara teknis penyerapan zat aktif melalui cara subkutan seharusnya lebih
cepat dan baik karena tidak harus melalui sistem metabolisme tubuh seperti halnya
pada cara pemberian peroral. Konsentrasi obat menjadi tidak tepat jika mengalami
metabolisme terlebih dahulu karena sebagian ada yang disimpan didepo jaringan,
sebagian lagi diekskresikan. Dengan demikian pemberian obat secara subkutan
seharusnya memiliki efek yang lebih baik daripada peroral. Pada pemberian rute
peroral obat mengalami proses adsorpsi, distribusi, metabolisme yang
membutuhkan waktu. Sedangkan pemberian subkutan tidak membutuhkan waktu
yang sama dengan peroral, dan apabila waktu pemberian obat dibedakan seperti
dalam percobaan diatas, maka hasilnya pun tak akan jauh berbeda. Selain itu,
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut diantaranya kesalahan
praktikan dalam penyutikan atau kondisi hewan percobaan yang kurang baik
(Fatma,2021).
Kesalahan dalam penyuntikan dapat menyebabkan ketidaktepatan distribusi
zat aktif sehingga tidak memberikan efek farmakologis yang diinginkan. Kesalahan
memasukan obat secara oral pun dapat menjadi faktor ketidaksesuaian hasil
percobaan dengan literatur. Demikian pula dalam pemilihan hewan percobaan.
Mencit yang digunakan sebagai hewan percobaan dalam penelitian ini haruslah
dipilih dengan seksama. Pemilihan ini didasarkan pada penampilan fisik , keaktifan
pergerakan dan berat badan (Lucia,2023).
Dari hasil yang didapatkan dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan
atropin secara per oral lebih efektif dibandingkan dengan pemberian atropin secara
sub kutan. Dan dapat disimpulkan bahwa penggunaan atropin secara per oral dapat
membuat efek yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan atropin secara sub
kutan. Kelompok kontrol tentu memiliki efek yang paling rendah, karena pada
pengujian kelompok kontrol hewan percobaan tidak diberikan obat.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
5.1.1. Sistem saraf otonom meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik.
Atropin digunakan sebagai obat simpatomimetik (antikolinergik) yang
memiliki aktivitas menginhibisi salivasi. Sedangkan pilokarpin
digunakan sebagai obat parasimpatomimetik (kolinergik) yang
memiliki aktivitas menstimulasi salivasi.
5.1.2. Suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada
neuroefektor parasimpatikus adalah dengan cara menghitung %
inhibisi. Namun pada praktikum kali ini tidak dilakukan perhitungan %
inhibisi dikarenakan referensi yang dipakai tidak memberikan
informasi jelas seperti : BB Mencit, Diameter saliva tiap mencit.
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, M. (2013). Ilmu Kesehatan dan Obat-Obatan Jilid II. Jakarta :


Erlangga.
Darmono., dkk. (2011). Buku Ajar Farmakologi Eksperimental. Jakarta : UI Press.
Dwita,dkk. (2020). Buku Ajar : Farmakologi Obat Sistem Saraf. Jakarta :
UHAMKA PRESS.
Fatma, C. F. (2021). Konsep Dasar Toksikologi Industri. Depok : Fakultas
Kesehatan Masyarakat UI.
Gemy. (2020). Manajemen Farmasi: Interaksi Pengobatan dalam Kasus Infeksi.
Makassar : Alauddin University Press.
Guyton, A. C. (2006). Textbook of medical physiology 11 edition. Elsevier inc.
phiadelphia.
Ikawati, M. (2017). Pengaruh Penggunaan Obat Antikolinergik Terhadap
Penurunan Kognitif Pada Pasien Geriatri Di Rumah Sakit Kota Surakarta.
Jurnal Manajemen Pelayanan Farmasi. Vol.7 (3): 148-150.
Indra. (2015). Aktivitas Otonom. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol.12 (3) :
180-186.
Lucia. (2023). Eksperimen Farmakologi Preklinik. Surabaya : Sandira Surabaya.
Marbawati. (2014). KOLONISASI Mus musculus albino DI LABORATORIUM
LOKA LITBANG P2B2 BANJARNEGARA. Jurnal BALABA. Vol.5 (1)
:1-5.
Mulia. (2016). Perkembangan patogenesis dan pengobatan Asma Bronkial. Jurnal
Kedokteran Trisakti, Vol.19 (3) : 44-49.
Nila. (2013). Dasar-Dasar Farmakologi 2. Jakarta : Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Nuryati. (2017). Farmakologi. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Pearce,E.(2002). Anatomi dan Fisiologi untuk paramedis. Jakarta : Gramedia
Pustaka Umum.
Puspita. (2018). Buku Ajar Ilmu Dasar Keperawatan 1. Yogyakarta : Salemba
Medika.
Rahadianti. (2022). Simpatektomi Jantung Pada Hewan Coba Yang Diinduksi 6-
Hidroksidopamin. Jurnal Ilmiah STIKES Kendal. Vol.12 (3) : 411-422.
Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting Edisi 6. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Usman. (2018). UJI EFEK ANTI DIARE DAN UJI EFEK SISTEM SARAF
OTONOM (SSO) INFUS DAUN TAPAK DARA ( Catharanthus roseus
L.) TERHADAP HEWAN UJI MENCIT. Jurnal Media Farmasi. Vol.15
(1): 77-84.
Utami,dkk. (2021). Sistem Saraf Pusat dan Perifer. Journal of Medula. Vol.11 (3)
: 306-310.
Yusuf. (2018). PENGARUH KETAMIN-XYLAZIN TERHADAP ONSET DAN
SEDASI KUCING LOKAL ( Felis catus ) YANG
DIOVARIOHISTEREKTOMI. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Veteriner. Vol.2
(4) : 599-603.

Anda mungkin juga menyukai