Anda di halaman 1dari 70

PERTEMUAN PERTAMA

PENGARUH OBAT KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK TERHADAP


KELENJAR SALIVA DAN MATA

1
BAB 1

PENDAHULUAN

I. Judul Percobaan
- Pengaruh obat kolinergik dan antikolinergik terhadap kelenjar sativa dan mata.
II. Latar Belakang

Sistem saraf otonom bekerja menghantarkan rangsang dari SSP ke otot polos,
otot jantung dan kelenjar. Sistem saraf otonom merupakan saraf eferen (motorik),
dan merupakan bagian dari saraf perifer. Sistem saraf otonom ini dibagi dalam 2
bagian, yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Pada umumnya
jika fungsi salah satu sistem dirangsang maka sistem yang lain akan dihambat.
Sistem saraf otonom tersusun atas saraf praganglion, ganglion dan saraf
postganglion. Impuls saraf diteruskan dengan bantuan neurotransmitter, yang
dikeluarkan oleh saraf praganglion maupun saraf postganglion.
Beberapa perbedaan antara saraf simpatis dan parasimpatis adalah sbb:
SARAF SIMPATIS SARAF PRASIMPATIS
Letak badan sel praganglion Torax 1-12 Saraf cranial III, VII,
Lumbal 1-3 IX,X
(thoracolumbal) Sakral 2,3,4
(crabiosakral)
Posisi ganglion Jauh dari efektor Dekat efektor
(praganglion pendek) (praganglion panjang)
Reseptor α dan β Nikotinik dan muskarinik
Neurotransmitter
-Praganglion Asetilkolin Asetilkolin
-Post ganglion Norsepineprin Asetilkolin
Sistem saraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem saraf vegetatif,
sistem saraf keseimbangan visceral atau sistem saraf sadar, sistem mengendalikan dan
mengatur keseimbangan fungsi-fungsi intern tubuh yang berada di luar pengaruh
kesadaran dan kemauan. Sistem ini terdiri atas serabut-serabut saraf-saraf ganglion-
ganglion dan jaringan saraf yang mendarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-
kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos.

2
Untuk selanjutnya, obat-obat yang berhubungan dengan kerja asetilkolin disebut
kolinergik, dan obat-obat yang berhubungan dengan kerja norepineprin disebut
adrenergik.
Penggolongan obat-obat yang bekerja pada sistem saraf otonom :
1. Kolinergik
a. Agonis kolinergik, contohnya pilokarpin
b. Antagonis kolinergik, contohnya atropine
2. Adrenergik
a. Agonis adrenergik, contohnya amfetamin.
b. Antagonis adrenergik, contohnya fenoksibenzamin.

III. Tujuan Percobaan


- Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai oabt sistem saraf otonom
dalam pengendalian fungsi vegetative tubuh.
- Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergik atau
antikolinergik pada neurofektor parasimpatis.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

I. Teori Umum

Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi
visceral tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi
gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan
aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang
sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat
hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik,
berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga
pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan
pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis
dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO
merupakan komponen dari refleks visceral.
Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya disebut
SSP). Neuron orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis
maupun di batang otak. Akson neuron orde pertama ini disebut dengan serabut
preganglion (preganglionic fiber). Serabut ini bersinaps dengan badan sel neuron
orde kedua yang terletak di dalam ganglion. Serabut pascaganglion menangkap
sinyal dari serabut preganglion melalui neurotransmiter yang dilepaskan oleh
serabut preganglion. Seperti yang telah diketahui, ganglion merupakan kumpulan
badan sel yang terletak di luar SSP. Akson neuron orde kedua, yang disebut
dengan serabut pascaganglion (postganglionic fiber) muncul dari ganglion menuju
organ yang akan diinervasi. Organ efektor menerima impuls melalui pelepasan
neurotransmiter oleh serabut pascaganglion. Kecuali untuk medulla adrenal, baik
sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengikuti pola seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat
yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf
sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom,
tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil.
Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf

4
otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau
penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik.
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada
sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut
:
a. Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan
lain-lain.
b. Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida
sekale, propanolol, dan lain-lain.
2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai
berikut :
a. Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan
dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan
phisostigmin
b. Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna (atropine)
Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya
mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang
disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.
Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis yaitu :
1. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan
terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot
rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan
kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, penungkatan
kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
5
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone
hipofisis.
7. Efek parasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach.
Kerja obat adrenergik dibagi 2 yaitu :
1. Obat adrenergik kerja langsung
Kebanyakan obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergic di
membran sel efektor, tetapi berbagai obat adrenergik tersebut berbeda dalam
kapasitasnya untuk mengaktifkan berbagai jenis reseptor adrenergic. Misalnya,
isoproterenol praktis hanya bekerja pada reseptor β dan sedikit sekali pengaruhnya
pada reseptor α sebaliknya, fenilefrin praktis hanya menunjukan pada reseptor α. Jadi
suatu obat adrenergic dapat diduga bila diketahui reseptor mana yang terutama
dipengaruhi oleh obat.
2. Obat adrenergik kerja tidak langsung
Banyak obat adrenergik, misalnya amfetamin dan efedrin bekerja secara tidak lansung
artinya menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan NE yang tersimpan dalam
ujung saraf adrenergic. Pemberian obat-obat ini secara terus menerus dalam waktu
singkat singkat akan menimbulkan takifilaksis.
Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik.
Ikatan ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan
reseptor asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin
dan mencegah aktivasi reseptor. Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui
second messenger seperti cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dicegah.
Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade. Faktanya : reseptor
muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan :
reseptor neuronal (M1), cardiak (M2) dan kelenjar (M3

6
BAB 3

METODELOGI PRAKTIKUM

I. Alat
1. Kolinergik dan antikolinergik kelenjar saliva
- Spuit 1 cc , timbangan hewan, corong gelas, beaker glass, dan gelas ukur.
2. Kolinergik dan antikolinergik mata
- Senter, loupe, penggaris.
II. Bahan
1. Kolinergik dan antikolinergik kelenjar saliva
- Diazepam 5 mg/ 70 kg BB manusia secara IV
- Pilokarpin HCl 5 mg/ kg BB kelinci secara IM
- Atropine sulfat 0,25 mg/ kg BB kelinci secara IV
2. Kolinergik dan antikolinergik mata
- Tetes mata pilokarpin HCL sebanyak 3 tetes.
- Tetes mata atropine SO4 sebanyak 3 tetes.
- Larutan NaCl 0,9%
III. Perhitungan Dosis
1. Kolinergik dan antikolinergik kelenjar saliva
- Diazepam :

Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70kg = 100mg

Ditanya : Dosis fenobarbital pada kelinci 1,3kg?

Jawab :

Faktor konversi manusia 70kg = 1,5kg mencit adalah 0,07 maka dosis
fenobarbibal pada kelinci 1,36kg

= 0,07 x 100mg

= 0,35mg

1,36𝑘𝑔
Konversi = 𝑥 0,35𝑚𝑔 = 0,317𝑚𝑔
1,5𝑘𝑔

7
Volume pemberian obat pada kelinci 1,36kg

0,317𝑚𝑔
= 𝑥 2𝑚𝑙 = 0,0634𝑚𝑙
10𝑚𝑔

- Pilokarpin HCL : Dosis sediaan 20mg/ 5ml

1,36
𝑥 5𝑚𝑙 = 0,34𝑚𝑙
20

- Atropin SO4 : 10mg/ 5ml

1,36
𝑥 5𝑚𝑙 = 0,68𝑚𝑙
10

IV. Prosedur Kerja


1. Kolinergik dan antikolinergik kelenjar saliva

1. Sisiapkan kelinci.
2. Hitung dosis dan volume pembeian obat dengan tepat pada kelinci.
3. Sedasikan kelinci dengan diazepam 5 mg/ 70 kg BB manusia secara IV.
4. Suntikan kelinci dengan pilokarpin hcl 5 mg / kg BB kelinci secara IM.
5. Catat waktu saat muncul efek saliva akibat pilokarpin hcl dan tamping yang
diekresikan kelinci ke dalam beker glass Selama 5 menit ukur volume saliva
yang di tamping.
6. Setelah 5 menit suntikan atropine 0,25 mg / kg BB kelinci secara IV.
7. Catat waktu saat muncul efek saliva akibat atropine sulfat dan tamping saliva
yang diekresikan kelinci ke dalam beker glass selama 5 menit. Ukur volume
saliva yang di tampung.
2. Kolinergik dan antikolinergik pada mata

1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata agar tidak menggangu pengamatan.


2. Sebelum pemberian obat, amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya
suram dan pada penyinaran dengan senter.
3. Teteskan pada kedua mata dengan pilokarpin di bagian dalam kantong
konjungtiva sebanyak 3 tetes.
4. Tutup masing masing kelopak mata kelinci selama 1 menit.
5. Amati ukuran dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
6. Uji respon reflex mata .

8
7. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata teteskan dengan atropine sulfat.
8. Amati ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Setelah percobaan diatas selesai teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9 % pada
kedua mata kelinci.

9
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada praktikum ini menggunakan 2 cara yaitu :

1. Kolinergik dan antikolinergik kelenjar saliva

Percobaan Bahan Obat Efek Saliva


Pilokarpin
Efek obat sistem Kelinci HCL Volume saliva yang di 0,1 ml
saraf otonom tampung selama 5 menit
pada (ml)
kelenjar saliva Atropin SO4 volume saliva yang di 0,01 ml
tampung selama 5 menit
(ml)

Dengan pemberiam obat pertama diazepam untuk sedasi. Lalu setelah itu berikan obat
pilokarpin HCL dimana dia menghasilkan saliva sebanyak 0,1 ml dalam waktu 5 menit.
Yang kemudian setelah itu berikan obat atropine SO4 dimana menghasilkan saliva
sebanyak 0,01 ml dalam waktu 5 menit. Dari data diatas volume saliva makin berkurang
setelah pemberian obat atropine SO4. Dikarenakan atropine SO4 mengandung d dan l-
hiosiamin yang terdapat pada atropa belladone. Alkaloid ini merupakan ester organic dari
asam tropanol/ skopin.

10
2. Kolinergik dan antikolinergik pada mata

Efek Diameter
Percobaan Bahan Pupil Mata
Efek obat sistem Mata kanan Cahaya suram (cm) 0,8 cm
saraf otonom Kelinci Cahaya senter (cm) 0,4 cm
Setelah pemberian
pada mata pilokarpin (cm) 0,6 cm
Tidak
Respon reflek mata berkedip
Setelah pemberian atropin sulfat (cm) 0,7 cm
Mata kiri Cahaya suram (cm) 0,8 cm
kelinci Cahaya senter (cm) 0,5 cm
Setelah pemberian
pilokarpin (cm) 0,5 cm
Tidak
Respon reflek mata berkedip
Setelah pemberian atropin sulfat (cm) 0,6 cm

Dengan pemberian obat pilokarpin pupil mata kelinci akan membesar setealh
dilakukan penyinaran suram dan senter. Dia tidak memberikan respon refleks mata ini
dikarenkan obat masih bekerja dengan baik. Kemudian setealh pemberian atropine SO4
pupil mata kelinci menjadi besar. Hal ini sesuai teori dimana atropine SO4 akan
memperbesar pupil mata, sedangkan pilokarpin akan memperkecil pupil mata.

11
BAB 5

PENUTUP

I. Kesimpulan

Pemberian obat kolinergik dan antikolinergik mengahasilkan pada kelenjar


saliva atropine SO4 lebih sedikit menghasilkan saliva. Dan untuk mata atropin
SO4 untuk melebarkan pupil mata dan pilokarpin untuk memperkecil pupil mata.

II. Saran
Untuk yang bertanggung jawab di semua laboratorium farmakologi
diharapkan lebih lagi memperhatikan mahasiswa/i saat praktikum bila akan
memperlakukan pemeberian obat kepada hewan coba.

Daftar Pustaka

 Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:


Gramedia Pustaka Umum.
 Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum.
 Staf pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

12
PERTEMUAN KEDUA

EFEK LOKAL OBAT

(METODE ANASTESI LOKAL)

13
BAB 1

PENDAHULUAN

I. Judul Percobaan
- Metode anastesi lokal.
II. Latar Belakang

Istilah anestesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes berasal dari
bahasa Yunani anaisthēsia yang berarti tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu: (1) anesthesia lokal, yakni hilangnya rasa sakit tanpa
disertai kehilangan kesadaran; (2) anesthesia umum adalah tindakan
menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anestesi ideal terdiri dari
hipnotik, analgesik, dan relaksasi otot. Sejak jaman dahulu, anestesia dilakukan
untuk mempermudah tindakan operasi atau bedah.Obat anestesi umum adalah
obat atau agen yang dapat menyebabkan terjadinya efek anestesia umum yang
ditandai dengan penurunan kesadaran secara bertahap karena adanya depresi
susunan saraf pusat. Menurut rute pemberiannya, anestesi umum
dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan intravena. Keduanya berbeda dalam hal
farmakodinamik.

Obat yang digunakan dalam menimbulkan anastesia disebut sebagai anastetik,


dan kelompok obat ini dibedakan dalam anastetik umum dan anastetik local.
Bergantung pada dalamnya pembiusan, anastetik umumnya dapat memberikan
efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri , atau efek anastesia yaitu analgesia
yang disertai hilangnya kesadaran , sedangkan anastetik umum bekerja di susunan
saraf pusat sedangkan anastesi local bekerja langsung pada serabut saraf perifer.

Dasar saraf pusat sangat peka terhadap obat-obatan , akibatnya sebagian besar
obat-obatannya jika diberikan dalam dosis yang cukup besar menimbulkan efek
yang mencolok terhadap neurotransmisi diberbagai system saraf pusat. Kerja
neurotransmitter di pascanipansakan diikuti dengan pembentukkan second
messenger , dalam hal ini Camp selanjutnya mengubah transmisi di neuron.
Disamping asetilkolin sebagai neurotransmitter klasik, dikenal juga katekolamin,
serotonin,GABA, adenosine serta berbagai asam amino dan peptide endogen yang

14
bertindak sebagai neurotransmitter di SSP, misalnya asam glutamate dengan
mekanisme hambatan pada reseptor NMDA (N-metal-D-asparat).

III. Tujuan Percobaan


- Mengenal berbagai teknik untuk menyebabkan anastesi local pada hewan
coba.
- Memahami faktor yang melandasi perbedaan dalam sifat dan potensi kerja
anastetika local.
- Memahami faktor yang mempengaruhi potensi kerja anastetika local.

15
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

I. Teori Umum

Anastetik umum dikelompokkan berdasarkan bentuk fisiknya, tetapi


pembagian ini tidak sejalan dengan penggunaan di klinik yang pada
dasarnyadibedakan atas 2 cara, yaitu secara inhalasi atau intravena. Eter, halotan,
enfluran, isofluran, metoksifluran, etilklorida, trikloretil dan fluroksen merupakan
cairan yang mudah menguap yang di eliminasi melalui saluran pernafasan.
Meskipun zat-zat ini kontak dengan pasiennya hanya beberapa jam saja, namun
dapat menimbulkan aritmia pada jantung selama proses anastetika berlangsung.
Terlepas dari cara penggunaannya suatu anastetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias anastesia”. Yaitu efek
hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot.
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini,selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran
juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir
sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan
secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan
cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan,
enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan
secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan
molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin.
Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA (American
Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien
pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategorisebagai
berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA
2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan
febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang

16
diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi
dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA
4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam
walaupun dioperasi atau tidak.
Menurut Kee et al(1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan,
sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari :
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya.
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya,
midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi
diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan.
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal).
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen.
5. Pelemas otot jika diperlukan.

17
BAB 3

METODELOGI PRAKTIKUM

I. Alat
1. Anastesi Lokal Metode Permukaan
- Gunting, aplikator, kotak kelinci, stopwatch.
2. Anastesi Lokal Metode Regnier
- Gunting, aplikator, kotak kelinci, stopwatch.
3. Anastesi Lokal Metode Infiltrasi
- Gunting, alat cukur, spuit injeksi 1 ml, kotak kelinci, spidol, stopwatch.
4. Anastesi Lokal Metode Konduksi
- Spuit injeksi 1 ml, kotak penahan mencit, pinset, spidol.
II. Bahan
1. Anastesi Lokal Metode Permukaan
- Lidokain HCL 2% 2 tetes.
- NaCl 2 tetes.
2. Anastesi Lokal Metode Regnier
- Lidokain HCL 2% 2 tetes.
- Nacl 2 tetes.
3. Anastesi Lokal Metode Infiltrasi
- Lidokain HCL 1% SC.
- Larutan lidokain HCL 1% dalam adrenalin sebanyak (1 : 50.000) sebanyak 0,2
ml secara SC.
4. Anastesi Lokal Metode Konduksi
- Lidokain HCL secara IV.
- Larutan NaCl 0,9 % secara IV.
III. Perhitungan Dosis (-)
IV. Prosedur kerja
1. Anastesi Lokal Metode Permukaan
1. Siapkan kelinci gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator.
2. Sebelum pemberian obat cek ada/tidaknya respon reflex ocular mata (mata
berkedip) dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus
pada mencit ke 0 catatan : jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan
ritme harus di atur.

18
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
a. Mata kanan : teteskan dengan NaCl sebanyak 2 tetes.
b. Mata kirin : teteskan dengan lidokain HCL sebanyak 2 tetes.
4. Tutup masing masing kelopak mata kelinci selama 1 menit.
5. Cek ada/tidakrespon reflek ocular mata dengan menggunakan aplikator pada
kornea mata secara tegak lurus pada menit ke 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60.
6. Catat dan tabelkan pengamatan.
2. Anastesi Lokal Metode Regnier
1. Siapkan kelinci gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator.
2. Sebelum pemberian obat cek ada/tidaknya respon reflex ocular mata (mata
berkedip) dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus
pada mencit ke 0 catatan : jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan
ritme harus di atur.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
a. Mata kanan : teteskan dengan NaCl sebnayak 2 tetes.
b. Mata kirin : teteskan dengan lidokain HCL sebanyak 2 tetes
4. Tutup masing masing kelopak mata kelinci selama 1 menit
5. Cek ada/tidakrespon reflek ocular mata dengan menggunakan aplikator pada
kornea mata secara tegak lurus pada menit ke 8, 15, 20, 25, 30, 40, 50, 60.
6. Ketentuan metode regnier
a. Pada menit ke 8
 Jika pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon
reflex okuler → maka dicatat angka 100 sebagai respon
negative.
 Jika pemberian aplikator sebelum 100 kai terdapat respon
reflex okuler → maka dicatat angka terakhir saat memberikan
respon sebagi respon negative.
b. Pada menit ke , 15, 20, 25, 30, 40, 50, 60
 Jika pemeberian aplikator pada sentuhan pertama terdapat
respon reflex okuler maka dicatat angka 1 sebagi respon
negative dan menit menit yang tersisa juga di beri angka 1.
c. Jumlah respon reflek okuler negative dimulai dari menit ke 8 hingga ke
60 jumlah ini menunjukan angka regnier minimal 13 dan maksimal
800.
19
7. Setelah percobaan diatas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada
mata kanan dan kiri kelinci.
8. Catat dan tabelkan pengamatan.
3. Anastesi Lokal Metode Infiltrasi
1. Siapkan kelinci gunting bulu punggung kelinci dan cukur hingga bersih
kulitnya (hindari terjadinya luka).
2. Gambar empat daerah penyuntikan dengan jarak kurang lebih 3 cm.
3. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon getaran otot punggung
kelinci dengan menggunakan peniti sebanyak enam kali sentuhan pada daerah
enyuntikan pada menit ke 0.
CATATAN : Jangan terlalu keras menggunakan eniti dan ritme harus diatur.
4. Suntikkan larutan obat tersebut pada daerah penyuntikan.
5. Cek ada/ tidaknya respon getaran otot pada punggung kelinci dengan
menggunakan peniti sebanyak enam kali sentuhan pada daearah penyuntikan
pada menit ke 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 60
6. Catat dan tabelkan.
4. Anastesi Lokal Metode Konduksi
1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidak respon haffner pada
mencit ke-0.
2. Hitung dosis dan volume pemeberian obat dengan tepat untuk masing masing
mencit.
3. Mencit petama disuntik larutan lidokain HCL secara IV.
4. Mencit kerdua disuntik larutan lidokain HCL + adrenalin secara IV.
5. Mencit ketiga disuntik larutan NaCl 0,9%.
6. Cek ada/ tidaknya respon haffner pada menit ke 10, 15, 20, 25, 30.
7. Catat dan tabelkan pengamatan.

20
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Anastesi Lokal Metode Permukaan

Percobaan Bahan Obat Ada/ Tidaknya Respon Refleks Okuler

Kel 5 10 15 20 30 45 60
Anastesi
Lokal Mata
Metode Kelinci
NaCl
Permukaan Kanan 1 + + + + + + +

2 + + + + + + +

Mata
Kelinci Lidokain
Kiri HCL 2% 1 + + - - - - -

2 + + - - - + +

Pada kelompok 1, didapatkan hasil praktikum sebelum kedua mata kelinci diberikan
obat, terlebih dahulu di cek ada/ tidaknya refleks okuler pada mata. Hasil dari mata kelinci
yang telah diberi obat adalah memberikan refleks okuler mata. Untuk mata kanan kelinci
diberikan NaCl dan mata kiri Lidokain HCL 2%. Kedua obat tersebut diberikan secara
bersamaan lalu tutup kedua matanya. Hasil dari mata kanan kelinci memberikan respon
positif dari menit ke 5 sampai 60. Lalu untuk mata kiri kelinci memberikan hasil positif pada
menit ke 5, tetapi pada menit k eke 10 sampai 60 reaponnya adalah negative. Dimana ini
menunjukkan kerja obat pada mata kiri cukup lama dari menit ke 10 sampai 60.

Pada kelompok 2, mata kanan dengan NaCl memberikan hasil yang serupa dengan
kelompok satu. Untuk mata kiri memberikan respon positif pada menit ke 5. Lalu pada menit
ke 10 sampai 30 responnya negative. Lalu pada menit ke 45 sampai 60 respon kembali
positif.

21
Dari hasil kedua kelompok ini mata kiri kelinci dengan obat lidokain HCL 2% kerja
obatmya lebih lama pada kelompok satu. Dikarenakan lidokain HCL 2% obat anastetika local
ester asam para amino benzoate (PABA)

2. Anastesi Lokal Metode Regnier

Percobaan Bahan Obat Jumlah sentuhan yang memberikan respon okuler

Anastesi
Lokal Kel 0 8 15 20 25 30 40 50 60
Metode Mata Kelinci
Regnier Kanan NaCl 3 + 1 1 1 1 1 1 1 1
4 + 1 1 1 1 1 1 1 1
Mata Kelinci Lidokain HCL
Kiri 2% 3 + 100 100 88 65 12 1 1 1
4 + 100 100 100 77 15 1 1 1

Ini adalah metode tidak adanya refleks okuler setelah kornea disentuh 100 x dianggap
sebagai tanda adanya anastesi lokal.

Pada kelompok 3 mata kanan kelinci diberikan obat NaCl, pada menit ke-8 sampai 60
refleksnya adalah 1. Jadi total angka regniernya adalah 8. Kemudian pada mata kiri kelinci
yang diberikan obat lidokain HCL 2% pada menit k-8 sampai 15 mencapai sentuhan dengan
tidak adanya refleks okuler mata. Lalu dimenit ke-20 pada sentuhan ke 88 mata kelinci mulai
berkedip, hal ini menunjukkan efek obat tersebut telah habis. Lalu pada menit ke-25
sentuhannya tidak mencapai angka 100, tetapi 65. Begitupula pada menit ke-20 sentuhan
angkanya 12. Hal ini menunjukkan obat lidokain HCL secara waktu terus berlanjut efeknya
pun semakin berkurang. Lalu pada menit ke-40, 50, dan 60 langsung memberikan refleks
okuler mata. Jadi total refleks okuler matanya adalah 368.

Pada kelompok 4 dengan sentuhan 100 x pada menit ke-8, 15, dan 20 obat masih
bekerja secara maksimal. Tapi pada menit ke-25 tidak sampai 100 melainkan 77. Begitupula
dengan menit ke-30 ada pada angka 15. Ini menunjukkan kerja obat mulai berkurang. Sama

22
juga dengan menit 40 sampai 60. Dengan total 395. Ini untuk mata kiri, sedangkan untuk
mata kanan memberikan respon pada satu keli sentuhan dengan total sentuhan 8.

Pada kelompok 3 dan 4, pada menit 8 dan 15 (kelompok 3) serta kelompok 4 pada
menit ke 8, 15, 20 (kelompok 4) obat memberikan respon tetapi setelah menit 20 (kelompok
3 dan menit 25 (kelompok 4) respon mulai berkurang dikarenakan efek obat mulai habis.
Lalu pada NaCl kedua kelompok totalnya masing - masing 8. Dimana obat ini tidak
memberikan afek anastesi lokal, lalu pada obat lidokain HCL untuk kelompok 3 dengan total
1368 dan kelompok 1395 ini menunjukkan adanya efek anastesi lokal. Dimana efek anastesi
lokal dapat dicapai pada angka regnier minimal 13 dan maksimal 800.

3. Anastesi Lokal Metode Infiltrasi

Percobaan Bahan Obat Ada/ tidaknya getaran otot punggung kelinci sebanyak 6 kali
dengan menggunakan peniti
Punggung
Anastesi Lokal Kelinci
Metode Infiltrasi Kiri Kel 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60
Lidokain
HCL 5 + - - - - - - - - - -

Lidocain
HCL +
Adrenalin 5 + + - - - - - - + + +

Metode Infiltrasi adalah metode yang disuntikkan kedalam jaringan yang akan
mengakibatkan kehilangan sensasi pada struktur sekitarnya.

Pada kelompok 5 dengan metode infiltrasi ini didapat hasil pada punggung kanan
kelinci, lidokain HCL obat ini bekerja dari menit ke-5 sampai 60 dimana otot punggung
tidak memberikan geteran sebagai respon. Pada punggung kiri dengan obat lidokain HCL
+ adrenalin obat bekerja pada menit ke-10 sampai 35. Lalu setelah menit ke 35 kelinci
mulai memberikan respon geteran punggung.

23
Dari hasil praktikum ini didapat hasil kerja obat yang paling lama adalah lidokain
HCL, sedangkan lidokain HCL + adrenalin keeja obatnya tidak lebih lama dari lidokain
HCL.

4. Anastesi Lokal Metode Konduksi

Percobaan Bahan Obat Ada/ tidaknya Respon Haffner

Anastesi Lokal
Metode
Konduksi Mencit Kel 0 5 10 15 20 25 30
Lidokain
HCL 6 + + - - - - +

Lidocain
HCL +
Adrenalin 6 + + - - - - -
Larutan
NaCl
0,9% 6 + + + + + + +

Pada kelompok 6 dengan metode konduksi menggunakan mencit dengan 3 obat


diantaranya, lidokain HCL, lidokain HCL + adrenalin dan NaCl. Pada mencit dengan obat
lidokain HCL hasilnya pada menit 10 dia memberikan respon haffner dan di menit 15 sampai
25 mencit tidak memberikan respon tersebut, tapi dimenit terakhir yaitu menit 30 mencit
memberikan resppon haffner. Pada mencit dengan obat lidokain HCL + adrenalin, dia
memberikan respon dimenit ke-10. Tapi dimenit 15 sampai 30 mencit tidak memberikan
respon. Dan pada menit yang menggunakan obat NaCl dari menit awal hingga akhir tersu
memberikan respon haffner.

Dari hasil ini didapat menit yang menggunakan obat lidokain HCL + adrenalin yang
mempunayi kerja obat paling lama karena adanya penambahan adrenalin. Dimana obat
adrenalin bekerja memicu reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh.

24
BAB 5

PENUTUP

I. Kesimpulan

Teknik untuk menyebabkan anastesi lokal ada dengan metode permukaan,


regnier, ilfiltrasi dan konduksi. Faktor yang mempengaruhi kerja obat lama adalah
dengan penambahan obat adrenalin. Lalu pada metode permukaan kelompok 1 lah
yang mempunyai obat berkerja lebih lama dari pada kelompok 2. Pada metode
regnier kedua kelompok mendapatkan efek anastesi lokal pada kelinci dengan
obat lidokain HCL.

Untuk metode ilfitrasi pada obat lidokain HCL menghasilkan obat kerja lama
dibandingkan lidokain + adrenalin. Terakhir dengan metode konduksi didapat obat
bekerja lama pada lidokain HCL + adrenalin, dibandingkan dengan kedua obat
yang lain.

II. Saran

Untuk yang bertanggung jawab di semua laboratorium farmakologi


diharapkan lebih lagi memperhatikan mahasiswa/i saat praktikum bila akan
memperlakukan pemeberian obat kepada hewan coba.

Daftar Pustaka

 Tjay, T. H. dan Rahardja. K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima Cetakan


Kedua. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
 H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995, Farmakologi dan Terapi, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta.
 Djamhuri, Agus., 1995, Sinopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di Klinik
dan Perawatan, Edisi 1, Cetakan Ketiga, Hipokrates, Jakarta.

25
PERTEMUAN KETIGA

PERCOBAAN UJI DIABETES

(UJI KADAR GLUKOSA DAN ANTIDIABETES)

26
BAB 1

PENDAHULUAN

I. Judul Percobaan
- Uji kadar glukosa dan antidiabetes.
II. Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan


metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,lipid dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin. Jika kekurangan produksi insulin atau terdapat resistensi
insulin maka kadar glukosa dalam darah akan meninggi (melebihi nilai normal).

Insulin adalah suatu zat yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Insulin
diperlukan agar glukosa dapat memasuki sel tubuh, di mana gula tersebut
kemudian dipergunakan sebagai sumber energi. Jika tidak ada insulin, atau jumlah
insulin tidak memadai, atau jika insulin tersebut cacat , maka glukosa tidak dapat
memasuki sel dan tetap berada di darah dalam jumlah besar.

Penyakit diabetes melitus atau kencing manis disebabkan oleh multifaktor,


keturunan merupakan salah satu faktor penyebab. Selain keturunan masih
diperlukan faktor-faktor lain yang disebut faktor pencetus, misalnya adanya
infeksi virus tertentu, pola makan yang tidak sehat, stres. Diabetes mellitus
merupakan penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang
melebihi nilai normal. Apabila dibiarkan tidak terkendali, diabetus mellitus dapat
menimbulkan komplikasi yang berakibat fatal, misalnya terjadi penyakit jantung
koroner, gagal ginjal, kebutaan dan lain-lain.

Menurut data stastistik tahun 1995 dari WHO terdapat 135 juta penderita
diabetes mellitus di seluruh dunia. Tahun 2005 jumlah diabetes mellitus
diperkirakan akan melonjak lagi mencapai sekitar 230 juta. Angka mengejutkan
dilansir oleh beberapa Perhimpunan Diabetes Internasional memprediksi jumlah

27
penderita diabetes mellitus lebih dari 220 juta penderita di tahun 2010 dan lebih
dari 300 juta di tahun 2025.

Data WHO di tahun 2002 diperkirakan terdapat lebih dari 20 juta penderita
diabetes mellitus di tahun 2025. tahun 2030 angkanya bisa melejit mencapai 21
juta penderita. Saat ini penyakit diabetes mellitus banyak dijumpai penduduk
Indonesia. Bahkan WHO menyebutkan, jumlah penderita diabetes mellitus di
Indonesia menduduki ranking empat setelah India, China, dan Amerika Serikat.

Apoteker, terutama bagi yang bekerja di sektor kefarmasian komunitas,


memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Membantu penderita menyesuaikan pola diet sebagaimana yang disarankan ahli
gizi, mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul, mencegah
dan mengendalikan efek samping obat, memberikan rekombinasi penyesuaian
rejimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan
dokter yang merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke
waktu sesuai dengan kondisi penderita, merupakan peran yang sangat sesuai
dengan kompetensi dan tugas seorang apoteker. Apoteker dapat juga memberikan
tambahan ilmu pengetahuan kepada penderita tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan kondisi dan pengelolaan diabetes.

III. Tujuan Percobaan


- Mengetahui secra lebih baik peran insulindalam tubuh dan pengaruhnya pada
penyakit diabetes.
- Mengenal teknik untuk mengevaluasi penyakit diabetets dengan cara
konvensional.
- Melakukan test glukosa konvensional pada manusia menggunkan alat ukur
glukosa darah.

28
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

I. Teori Umum

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif.
Diabetes melitus adalah diabetes yang berkaitan dengan kadar gula dalam
tubuh, juga dikenal dengan nama kencing manis.
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai
kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi
pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah.
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak
mampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan
yang tidak efektif dari insulin. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar glukosa
dalam darah. Penyakit ini membutuhkan perhatian dan perawatan medis dalam
waktu lama baik untuk mencegah komplikasi maupun perawatan sakit. DM ada
yang merupakan penyakit genetik atau disebabkan keturunan disebut DM tipe 1
dan yang disebabkan gaya hidup disebut DM tipe 2. Gaya hidup yang tidak sehat
menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi DM, jika dicermati ternyata
orang-orang yang gemuk mempunyai resiko terkena DM lebih besar dari yang
tidak gemuk (Tan dan Raharja, 2002).
Menurut klasifikasi klinisnya diabetes melitus dibedakan menjadi :
1. Tipe 1 (DMT1) adalah insufisiensi absolut insulin.
2. Tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin yang disertai defek sekresi insulin
dengan derajat bervariasi
3. Diabetes kehamilan (gestasional) yang muncul pada saat hamil.
4. Gangguan toleransi glukosa (GTG), kadar glukosa antara normal dan diabetes,
dapat menjadi diabetes atau menjadi normal atau tetap tidak berubah.
Etiologi secara umum tergantung dari tipe Diabetes, yaitu :
1. Diabetes Tipe I ( Insulin Dependent Diabetes Melitus / IDDM )
Diabetes yang tergantung insulin yang ditandai oleh penghancuran sel-sel beta
pankreas disebabkan oleh :

29
a. Faktor genetic
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi suatu
predisposisi / kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe 1. Ini
ditemukan pada individu yang mempunyai tipe antigen HLA ( Human
Leucocyte Antigen ) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplatasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah
sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
2. Diabetes Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus / NIDDM )
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes tipe II belum diketahui. Faktor genetik
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Selain itu terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan yaitu :
a. Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis
menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang
akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk
memproduksi insulin.
b. Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang
akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi
pankreas disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada
penderita obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu banyak.
c. Riwayat Keluarga
Anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar non
identik), risiko menderita penyakit ini 5 hingga 10 kali lebih besar
daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak memiliki
riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak seperti diabetes tipe 1,
penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA. Penelitian epidemiologi
30
menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah
defek genetif, masing-masing memberi kontribusi pada risiko dan masing-
masing juga dipengaruhi oleh lingkungan.
d. Gaya hidup (stres)
Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat
saji yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini berpengaruh besar
terhadap kerja pankreas. Stres juga akan meningkatkan kerja metabolisme
dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada
kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah
rusak hingga berdampak pada penurunan insulin.
Patofisiologi
1. Diabetes tipe 1
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kerusakan sel-sel Beta pada pankreas secara selektif. Onset penyakit secara
klinis menandakan bahwa kerusakan sel-sel beta telah mencapai status
terakhir.
Beberapa fitur mencirikan bahwa diabetes tipe I merupakan penyakit
autoimun ;
a. Kehadiran sel-immuno kompeten dan sel aksesori di pulau
pancreas yang diinfiltrasi.
b. Asosiasi dari kerentanan terhadap penyakit dengan kelas II (respon
imun) gen mayor histokompatibilitas kompleks (MHC; leukosit
manusia antigen HLA).
c. Kehadiran autoantibodies yang spesifik terhadap sel Islet of
Lengerhans;
d. Perubahan pada immunoregulasi sel-mediated T, khususnya di
CD4 + Kompartemen.
e. Keterlibatan monokines dan sel Th1 yang memproduksi interleukin
dalam proses penyakit.
f. Respons terhadap immunotherapy, dan
g. Sering terjadi reaksi autoimun pada organ lain yang pada penderita
diabetes tipe 1 atau anggota keluarga mereka.
h. Mekanisme yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh untuk
berespon terhadap sel-sel beta sedang dikaji secara intensif.
31
2. Diabetes tipe 2
DM tipe 2 memiliki hubungan genetik lebih besar dari tipe 1 DM. Satu
studi populasi kembar yang berbasis di Finlandia telah menunjukkan rate
konkordansi pada kembar yang setinggi 40%. Efek lingkungan dapat
menjadi faktor yang menyebabkan tingkat konkordansi diabetes tibe 2
lebih tinggi daripada tipe 1 DM. Studi genetika molekular pada diabetes
tipe 2, menunjukkan bahwa mutasi pada gen insulin mengakibatkan
sintesis dan sekresi insulin yang abnormal, keadaan ini disebut sebagai
insulinopati. Sebagian besar pasien dengan insulinopati menderita
hiperinsulinemia, dan bereaksi normal terhadap administrasi insulin
eksogen. Gen reseptor insulin terletak pada kromosom yang mengkodekan
protein yang memiliki alfa dan subunit beta, termasuk domain
transmembran dan domain tirosin kinase. Mutasi mempengaruhi gen
reseptor insulin telah diidentifikasi dan asosiasi mutasi dengan diabetes
tipe 2 dan resistensi insulin tipe A telah dipastikan.

32
BAB 3
METODELOGI PRAKTIKUM

I. Alat
- Spuit injeksi 1 ml, sonde, timbangan hewan, Accu-Check dan strip glukosa.
II. Bahan
- Larutan glukosa 5% 1 gram/ kgBB mencit secara PO.
- CMC Na 1% secara PO.
- Glibenklamid 5 mg/ 70kgBB manusia secara PO.
- Metformin 500 mg/ 70kgBB manusia secara PO.
III. Perhitungan Dosis

Mencit 1 : Dengan berat 31 gram

Mencit 2 : Dengan berat 25 gram

Mencit 3 : Dengan berat 22 gram

1 gram/ kg
= 0,001
1000

Mencit 1 : 31 gram x 0,001 = 0,031

Mencit 2 : 25 gram x 0,001 = 0,025

Mencit 3 : 22 gram x 0,001 = 0,022

IV. Prosedur kerja


1. Puasakan mencit 12 - 16 jam, tetapi tetap diberi minum.
2. Cek kadar gula darah mencit sebelum pemeberian glukosa pada mencit menit
ke 0 dengan cara bagian ujung ekor di potong, kemudian darah di teteskan di
bagina strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor
glucometer. Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah puasa
(GDP).
3. Berikan larutan glukosa 1 gram/ kgBB mencit.
4. Cek kadar gula darah mencit setelah pemberian glukosa pada mencit menit ke
5 dengan cara bagian ujung ekor di potong kemudian darah di teteskan di
bagian strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor

33
glucometer. Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai glukosa darah setelah
pembebanan.
5. Mencit dibagi 3 kelompok masing masing kelompok 2 ekor mencit
a. Kelompok 1 = CMC Na 1% secara PO.
b. Kelompok 2 = Glibenklamid 5 mg/ 70kgBB manusia secara PO.
c. Kelompok 3 = Metformin 500 mg/ 70kgBB manusia secara PO.
6. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing - masing
mencit.
7. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing – masing pada menit ke-10.
8. Cek kadar gula darah mencit setelah pemberian glukosa pada menit ke 20, 40,
60, 80, 100.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Data yang diperoleh dianalisa secarca sistematik berdasarkan analisis variasi
dan bermakna perbedaan kadar glukosa darah antara kelompok kontrol
negative, positif dan kelompok uji kemudian di analisa dengan student’s t-test.
Data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

34
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan Bahan Obat Kadar Glucose Darah Mencit


NO 0 5 60 Rata2
Uji kadar Mencit CMC 1% 1 161 143 128
gula
Secara PO 2 159 162 144 35,3mg/dl

3 131 138 65 Kelompok


1
Glibenclamd 1 163 189 109
5mg/70kgbb
Manusia 2 186 201 80mg/dl
Secara PO
3 155 214 Kelompok
2
1 191 199 146

2 148 173 105 51,67mg/dl

3 158 162 128 Kelompok


3
Metformin500 1
mg /70kgbb
Manusia 2 148 156 130 35,5mg/dl
Secara PO
3 144 155 110 Kelompok
4
1 169 196 126

2 210 151 142 41,33mg/dl

35
3 218 220 175 Kelompok
5

Percobaan pengujian diabetes dan antidiabetes dengan tujuan untuk mengetahui peran
insulin dalam tubuh dan pengaruhnya pada penyakit diabetes serta mengenal teknik untuk
mengevaluasi panyakit diabetes dengan cara konvensional.

Untuk mengetahui kadar insulin pada mencit dilakukan dengan menggunakan


beberapa obat diantaranya CMC Na1% sebagai control karena tidak memberikan efek
farmakologis terhadap hewan coba. Dan obat glibenklamin serta metformin yang akan
memberikan efek farmakologis pada hewan coba.

Pada kelompok 1 dengan mnggunakan obat CMC Na1% didapat hasil rata - rata kadar
gula darahnya 35,3 mg/ dL. Hasil ini menunjukkan hasil lebih kecil dari semua hasil uji
diabetes. Dimana seharusnya CMC Na1% harus didapat hasilnya lebih besar dari ke 2 obat
tersebut. Pada menit ke 5 mencit mengalami kenaikkan kadar gula darah sedangkan pada
menit ke 60 mengalami penurunan kadar gula darah. Kecuali pada menit 1 dimana menit 5
tidak mengalami kenaikkan.

Pada kelompok 2 dan 3 dengan obat glibenklamid. Kelompok 2 mendapat hasil kadar
gula darah rata - rata 80 mg/ dL. Pada mencit 1 sesuai dengan teori dimana menit ke-5
mengalami kenaikkan kadar gula darah dan di menit ke-60 mengalami penurunan. Tapi pada
mencit 2 dan 3 pada menit ke-60 tidak didapatkan hasil kadar gula darah. Dikarenakan ada
kesalahan pada percobaan. Pada kelompok 3 didapat hasil kadar gula darah rata – rata 51,67
mg/ dL. Sesuai dengan teori dimana pada menit ke-5 pada ketiga mencit tersebut mengalami
kenaikkan kadar gula darah. Lalu pada menit ke-60 mengalami kenaikkan kadar gula darah.

Pada kelompok 4 dan 5 dengan obat metformin. Pada kelompok didapat hasil rata -
rata kadar gula darah 35,5 mg/ dL. Hanya menggunakan 2 mencit, karena 1 mencit mati. Tapi
hasil kedua mencit ini sesuai dengan teori dimana pada menit ke-5 mengalami kenaikkan
kadar gula darah. Dan di menit ke-60 mengalami penurunan kadar gula darah. Pada
kelompok 5 didapat hasil rata - rata kadar gula darahnya 41,33 mg/ dL pada mencit 2 di menit
ke-5 tidak mengalami kenaikkan kadar gula darah. Tapi pada mencit 1 dan 3 sesuai teori
dimana pada menit ke-5 mengalami kenaikkan kadar gula darah dan di menit ke-60

36
mengalami penurunan kadar gula darah. Dan pada mencit 2 menit ke-60 mengalami
penurunan kadar gula darah.

Hasil dari glibenklamid sudah sesuai dengan teori karena menghasilkan lebih besar
penurunan kadar glukosa dimana kerja glibenklamid adalah stimulansi seksresi insulin pada
beta pancreas. Sedangkan metformin kerjanya adalah menaikkan sensitifitas insulin serta
menurunkan glukoneosis pada hati. Sedangkan CMC Na 1% seharusnya mempunyai hasil
yang lebih besar dari kedua obat diatas. Dikarenakan dia tidak mempunyai efek farmakologis
, dan juga mencit tidak mengidap diabetes.

37
BAB 5

PENUTUP

I. Kesimpulan

Peran insulin dalam tubuh mengubah glukosa menjadi energi dan disebarkan
ke seluruh tubuh. Pengujian potensi diabetes didapat hasil CMC Na 1% 35,3 mg/
dL. Lalu glibenklamid 80 mg/dL dan 51,67 mg/ dL. Dan metformin adalah 41,33
mg/ dL serta 35,5 mg/ dL.

II. Saran
Untuk yang bertanggung jawab di semua laboratorium farmakologi
diharapkan lebih lagi memperhatikan mahasiswa/i saat praktikum bila akan
memperlakukan pemeberian obat kepada hewan coba. Agar tidak ada kesalahan
saat data hasil praktikum

Daftar Pustaka

 Adam, J.M.F. 2000. Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus yang baru.
Cermin Dunia Kedokteran No. 127.
 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Informatorium Obat Nasional
Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.
 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Diabetes Mellitus. Dirktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.
Jakarta.
 Galacia, E. H., A. A. Contreras, L. A. Santamaria, R. R. Ramos, A. A. C.
Miranda, L. M. G. Vega, J. L. F. Saenz, F. J. A. Aguilar.2002. Studies on
hypoglycemic activity of mexican medicinal plants. Proc. West. Pharmacol. Soc.
45: 118-124
 Herman, F. 1993. Penggunaan obat hipoglikemik oral pada penderita diabetes
melitus. Pharos Bulletin No.1.
 Jones, D.B. and Gill, G.V. 1998. Insulin-Dependent Diabetes Mellitus : An
Overview . In J. Pickup and G. Williams (Eds): Textbook of Diabetes. Vol.1.
second Edition. Blackwell Science. United Kingdom.

38
PERTEMUAN KEEMPAT

EFEK LOKAL OBAT

(PENGARUH OBAT TERHADAP MEMBRAN DAN KULIT MUKOSA)

39
BAB 1

PENDAHULUAN

I. Judul Percobaan
- Pengaruh obat terhadap membran dan kulit mukosa.
II. Latar Belakang

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan


aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Penggunaan anastesi lokal untuk pencegahan rasa sakit selama operasi,
dimulai lebih dari 100 tahun yang lalu sewaktu Kaller (1884) seorang
opthalmologist di Wina, mencatat kegunaan dari kokain suatu ester dari asam para
amino benzoat (PABA), dalam menghasilkan anstesi korneal.
Anastesi injeksi yang pertama adalah ester lain dari PABA yaitu Procaine
yang disintesa oleh Einhorn pada tahun 1905. Obat ini terbukti tidak bersifat
adiksi dan jauh kurang toksik dibanding kokain. Ester-ester lain telah dibuat
termasuk Benzocaine, Dibucaine, Tetracaine dan Chloroprocaine, dan semuanya
terbukti sedikit toksisitasnya, tetapi kadang-kadang menunjukkan sensitisasi dan
reaksi alergi.
Penelitian untuk anastesi lokal terus berlangsung sehingga banyak obat-obat
dengan berbagai keuntungan dapat digunakan pada saat ini. Oleh sebab itu,
sebagai mahasiswa kedokteran harus mempelajari bagaimana memilih jenis obat
anastesi lokal yang akan digunakan dan cara penggunaannya. Obat – obat anastsi
lokal dikembangkan dari kokain yang digunakan untuk pertama kalinya dalam
kedokteran gigi dan oftalmologi pada abad ke – 19. Kini kokain sudah diganti
dengan lignokain (lidokain), buvikain (marccain), prilokain dan ropivakain.
Prilokain terutama digunakan dalam preparat topical.
III. Tujuan Percobaan
- Memahami efek lokal dari berbagai obat atau senyawa kimia terhadap kulit
dan menbran mukosa berdasarkan cara kerja masing-masing, serta dapat
diaplikasikan dalam praktek dan dampaknya sebagai dasar keamanan
penanganan bahan.

40
- Memahami sifat dan intensitas kemampuan merusak kulit dan membrane
mukosa dari berbagi obat yang bekerja lokal.
- Menyimpulkan persyaratan farmakologi untuk obat yang dipakai secara lokal.

41
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

I. Teori Umum

Anestesi lokal adalah obat analgesik yang dirancang untuk digunakan secara
klinis guna menghilangkan sensasi secara reversible pada bagian tubuh tertentu.

Anestesi lokal adalah obat yang merintangi secara reversibel penerusan impuls
saraf ke sistem saraf pusat pada kegunaan lokal dengan demikian dapat
menghilangkan rasa nyeri, gatal-gatal, panas atau dingin.

Anestesi lokal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Anastetik local sebaiknya
tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen. Kebanyakan
anastetik local memenuhi syarat ini. Batas keamanan harus lebar, sebab anastetik
lokal akan diserap dari tempat suntikan. Mula kerja harus sesingkat mungkin,
sedangkan masa kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk melakukan
tindakan operasi, tetapi tidak demikian lama sampai memperpanjang masa
pemulihan. Zat anastetik local juga harus larut dalam air, stabil dalam larutan,
dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.

Struktur dasar dari anastesi lokal terdiri dari tiga bagian, yakni suatu gugus
amino hidrofil ( sekunder atau tersiaer ) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester
( alcohol ) atau amaida dengan gugus aromatis lipofil. Semakin panjang gugus
alkoholnya maka semakin besar daya anastesinya, tetapi toksisitasnya juga
meningkat.

Anastesi lokal dapat digolongkan secara kelompok sebagai berikut :

a. Senyawa ester : kokain dan ester – PABA (tetrakain, benzokain, kokain,


prokain).
b. Senyawa amida : dibukain, lidokain, prilokain, mepivakain.
c. Lainnya : fenol, benzialkohol, etilklorida.

42
Semua obat tersebut diatas adalah sintetis kecuali kokain yang alami. Syarat ideal anestesi
local :
1. Tidak merusak jaringan secara permanen
2. Batas keamanan lebar
3. Onset cepat
4. Durasi lambat
5. Larut air
6. Stabil dalam bentuk larutan
7. Tidak rusak karena proses penyaringan
a. Farmakokinetik Anastesi Lokal
Anestesi lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam daerah serabut
saraf yang akan menghambat. Oleh karena itu, penyerapan dan distribusi tidak terlalu
penting dalam memantau mula kerja efek dalam menentukan mula kerja anestesi dan
halnya mula kerja anestesis umum terhadap sistem saraf pusat dan toksisitasnya pada
jantung. Aplikasi topikal anestesi lokal bagaimanapun juga memerlukan difusi obat
guna mula keja dan lama kerja efek anestesinya.
Absorbsi sistemik suntikan anestesi lokal dari tempat suntikan dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain dosis, tempat suntikan, ikatan obat jaringan, adanya
bahan vasokonstriktor, dan sifat fisikokimia obat. Bahan vasokonstriktor seperti
epinefrin mengurangi penyerapan sistematik anestesi lokal dari tempat tumpukan obat
dengan mengurangi aliran darah di daerah ini. Keadaan ini menjadi nyata terhadap
obat yang massa kerjanya singkat atau menengah seperti prokain, lidokain, dan
mepivakain (tidak untuk prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga diperkuat oleh
kadar obat lokal yang tinggi ,dan efek dari toksik sistemik obat akan berkurang karena
kadar obat yang masuk dalam darah hanya 1/3 nya saja.
Distribusi anestesi lokal amida disebar meluas dalam tubuh setelah pemberian
bolus intravena. Bukti menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin terjadi dalam
jaringan lemak. Setelah fase distribusi awal yang cepat, yang mungkin menandakan
ambilan ke dalam organ yang perfusinya tinggi seperti otak, ginjal, dan jantung, dikuti
oleh fase distribusi lambat yang terjadi karena ambilan dari jaringan yang perfusinya
sedang, seperti otot dan usus. Karena waktu paruh plasma yang sangat singkat dari
obat tipe ester, maka distribusinya tidak diketahui.
Metabolisme dan ekskresi anestesi lokal diubah dalam hati dan plasma menjadi
metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam urin.
43
Karena anestesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid,
maka sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan kerana
bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal.
Tipe ester anestesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh
butirilkolinesterase (pseudokolinesterase). Oleh karena itu, obatini khas sekali
mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 menit untuk prokain dan
kloroprokain. Penurunan pembersihan anestesi lokal leh hati ini harus diantisipasi
dengan menurunkan aliran darah kehati. Sebagai contoh, pembersihan lidokain oleh
hati pada binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari pengukuran
binatang yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan pembersihan ini
berhubungan penurunan aliran darah ke dalam hati dan penekanan mikrosom hati
karena halotan.
Farmakokinetik suatu anestetik lokal ditentukan oleh 3 hal, yaitu:
1. Lipid/Water solubility ratio, menentukan ONSET OF ACTION. Semakin tinggi
kelarutan dalam lemak akan semakin tinggi potensi anestesi local.
2. Protein Binding, menentukan DURATION OF ACTION. Semakin tinggi ikatan
dengan protein akan semakin lama durasi nya.
3. pKa, menentukan keseimbangan antara bentuk kation dan basa. Makin rendah
pKa makin banyak basa, makin cepat onsetnya. Anestetik lokal dengan pKa tinggi
cenderung mempunyai mula kerja yang lambat. Jaringan dalam suasana asam
(jaringan inflamasi)akan menghambat kerja anestetik lokal sehingga mula kerja
obat menjadi lebih lama. Hal tersebut karena suasana asam akan menghambat
terbentuknya asam bebas yang diperlukan untuk menimbulkan efek anestesi.
Kecepatan onset anestetika lokal ditentukan oleh:
a. Kadar obat dan potensinya
b. Jumlah pengikatan obat oleh protein dan
c. Pengikatan obat ke jaringan local
d. Kecepatan metabolisme
e. Perfusi jaringan tempat penyuntikan obat. Pemberian vasokonstriktor
(epinefrin) ditambah anestetika lokal dapat menurunkan aliran darah lokal
dan mengurangi absorpsi sistemik.

44
b. Farmakodinamik Anastesi Lokal

Adapun farmakodinamik untuk obat anestesi lokal adalah:


1. Mekanisme Kerja
Selama eksitasi, saluran natrium terbuka dan arus natrium masuk ke dalam sel
dengan cepat mendepolarisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium
(+40mV). Sebagai akibat depolarisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan
saluran kalium terbuka. Aliran kalium keluar sel merepolarisasi membran ke arah
keseimbangan potensial kalium (sekitar -95mV); terjadi lagi repolarisasi saluran
natrium menjadi keadaan istirahat. Perbedaan ionic transmembran dipertahankan oleh
pompa natrium. Sifat ini mirip dengan yang terjadi pada otot jantung dan anestesi
local pun mempunyai efek yang sama pada kedua jaringa tersebut.
Anestesi local mengikat reseptor dekat ujung intrasel saluran dan menghambat
saluran dalam keadaan bergantung waktu dan voltase.
Bila peningkatan konsentrasi dalam secara progresif anestesi local digunakan pada
satu serabut saraf, nilai ambang eksitasinya meningkat, konduksi impuls melambat,
kecepatan muncul potensial aksinya menurun, amplitude potensial aksi mengecil dan
akhirnya kemampuan melepas satu potensial aksi hilang. Efek yang bertambah tadi
merupakan hasil dari ikatan anestesi local terhadap banyak dan makin banyak saluran
natrium; pada setiap saluran, ikatan menghasilkan hambatan arus natrium. Jika arus
ini dihambat melebihi titik kritis saraf, maka propagasi yang melintas daerah yang
dihambat ini tidak mungkin terjadi lagi. Pada dosis terkecil yang dibutuhkan untuk
menghambat propagasi, potensial istirahat jelas tidak terganggu.
Karakteristik Struktur-Aktivitas Anestesi Lokal. Makin kecil dan makin banyak
molekul lipofilik, makin cepat pula kecepatan interaksi dengan reseptor saluran
natrium. Potensi mempunyai hubungan positif pula dengan kelarutan lipid selama
obat menahan kelarutan air yang cukup untuk berdifusi ke tempat kerja. Lidokain,
prokain, dan mepivakain lebih larut dalam air dibandingkan tetrakain, etidokain, dan
bupivakain. Obat yang terakhir lebih kuat dengan masa kerja yang panjang. Obat-obat
tadi terikat lebih ekstensif pada protein dan akan menggeser atau digeser dari tempat
ikatannya oleh obat-obatan lain.

45
Efek samping obat anastesi lokal
Pemberian obat anestesi lokal memiliki efek samping yang potensial sama tanpa bergantung
pada cara pemberian. Bidan harus memehami efek samping samping obat anestesi lokal
ketika obat in diberikan lewat jalur epidural atau spinal.
Efek samping obat anestesi lokal berhubungan dengan kerjanya, khususnya kemampuannya
untuk menghambat hantaran implus dalam jaringan yang dapat tereksitasi. Obat – obatan
anestesi lokal akan menyekat saluran cepat ion natrium padasemua jaringan penghantar
implus, yaitu :
a. System saraf pusat
b. System pernafasan
c. Jantung dan system kardiovaskuler
d. Imunologi
e. Depresi Otot polos
f. Otot sketlet.

46
BAB 3
METODELOGI PRAKTIKUM

I. Alat
1. Mengugurkan Bulu :
- Gunting bedah, batang pengaduk, gelas arloji, stopwatch.
2. Korosif :
- Gunting bedah, batang pengaduk, gelas arloji, stopwatch.
II. Bahan
1. Mengugurkan Bulu :
- Veet Cream, larutan NaOH 20%, Larutan Na2S 20%, Kertas saring.
2. Korosif :
- larutan AgCl2 5%, larutan Fenol 5%, larutan NaOH 10%, larutan H2SO4
pekat, larutan HCl pekat, larutan AgNO3 1%, kertas saring.
III. Perhitungan Dosis (-)
IV. Prosedur kerja
1. Mengugurkan Bulu
1. Siapkan tikus yang sudah dikorbankan terlebih dahulu.
2. Ambil kulit lalu potong menjadi 3 bagian dengan panjang 2,5 cm x 2,5 cm.
3. Letakan kulit yang sudah di potong diatas kertas arloji yang sudah dialasi
dengan kertas saring.
4. Catat bau asli dari obat sebelum penggunaan.
5. Oleskan atau teteskan obat pada bagian potongan kulit tersebut.
6. Amati dalam 30 ment efek menggugurkan bulu setelah pemberian obat
dengan bantuan batang pengaduk.
7. Catat dan tabelkan pengamtan.
2. Korosif
1. Siapkan tikus yang sudah di korbankan.
2. Letakan potongan usus pada gelas arloji yang sudah di alasi dengan kertas
saring.
3. Teteskan larutan obat pada potongan usus tikus tersebut hingga terendam.
4. Rendam selama 30 menit.
5. Setelah 30 menit amati efek korosit/ kerusakan jaringan setelah pemberian
obat dengan bantuan batang pengaduk.

47
6. Catat dan tabelkan pengamatan.
3. Efek lokal Fenol
1. Celupkan 4 jari tangan selama 5 menit ke dalam larutan fenol yang teesedia.
2. Rasakan jenis sensasi yang di alami oleh jari tangan.
3. Jika jari tanggan terasa nyeri sebelum 5 menit angkat segera bilas dengan
etanol.
4. Catat dan tabelkan pengamatan.

48
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Menggugurkan Bulu

Percobaan Bahan Obat Efek


Bau awal Gugur Bulu
(Catat waktu saat
mulai gugur bulu)
Menggugurkan Kulit tikus Veet cream Wangi 2 menit
bulu
Larutan NaOH 20% Tidak berbau 3 menit
Larutan NaS 20 % Bau khas Sukar gugur > 30
menyengat menit

Pada percobaan dengan metode menggugurkan bulu dari kulit hewan dengan
menggunakan 3 obat diantaranya :

A. Veet Cream
Setelah dioleskan pada permukaan kulit tikus. Efek menggugurkan bulu dengan
dibantu batang pengaduk sangat cepat yaitu 2 menit.
B. Larutan NaOH 20%
Setelah dioleskan pada permukaan kulit tikus. Efek menggugurkan bulu dengan
dibantu batang pengaduk sangat cepat yaitu 3 menit. Hanya beda 60 detik dengan
veet cream.
C. Larutan NaS 20%
Setelah dioleskan pada permukaan kulit tikus. Bulu tidak gugur dari kulit tikus
tersebut.

Dari hasil diatas dengan obat tersebut, menunjukkan veet cream memiliki efek lebih
kuat dalam menggugurkan bulu.

49
2. Korosif

Percobaan Bahan Obat Efek


Sifat Korosif Kerusakan pada
Jaringan
Korosif Tikus Larutan AgCl2 5% Warna memutih Jaringan tidak rusak
dan menjadi kaku
Larutan Fenol 5% Warna putih dan Jaringan mengecil
pucat dan menjadi kaku
Larutan NaOH 10% Menjadi lebih Jaringan tidak rusak
pucat
Larutan H2SO4 pekat Warna pucat, Jaringan mengecil
melepuh dan kering dan menjadi hancur
Larutan HCl pekat Pucat Jaringan mengecil
dan menjadi hancur
Larutan AgNO3 1 % Pucat Jaringan tidak rusak

Dengan menggunakan usus tikus yang ditelah dibuat sesuai ukuran. Dengan obat
diatas menunjukkan bahwa yang memiliki sifat korosif yang sangat korosif adalah larutan
AgCl2 5%, larutan Fenol 5%, larutan H2SO4 pekat, larutan HCl pekat. Dan larutan NaOH,
larutan AgNO3 1% bersifat korosif.

50
3. Efek lokal Fenol

Percobaan Bahan Obat Efek Sensasi Jari Tangan


Fenol dalam Jari tangan Larutan fenol 5% dalam Rasa tebal dan panas
berbagai larutan air
Larutan fenol 5% dalam Dingin
etanol

Larutan fenol 5% dalam air menyebabkan rasa tebal dan panas. Hal yang
menyebabkan rasa ini karena fenol memiliki sifat asam, fenol sendiri beracun dan korosif.
Hal ini ditunjukkan pada jari tangan yang mulai berwarna putih dan mengeras. Larutan fenol
5% dalam etanol mengapa rasanya dingin karena etanol adalah cairan yang mudah menguap.
Fenol dan etanol banyak digunakan sebagai antiseptik.

51
BAB 5
PENUTUP
I. Kesimpulan

Pada percobaan menggugurkan bulu veet cream memberikan efek lebih cepat
dalam hal menggugurkan bulu. Lalu pada korosif yang memiliki sifat korosif yang
sangat korosif adalah larutan AgCl2 5%, larutan Fenol 5%, larutan H2SO4 pekat,
larutan HCl pekat. Dan larutan NaOH, larutan AgNO3 1% bersifat korosif.
Larutan fenol 5% dalam air (Rasa tebal dan panas), Larutan fenol 5% dalam
etanol (Rasa Dingin).

II. Saran

Akan lebih baik digunakan dengan berbagai macam jenis larutan untuk
menunjukkan manakah larutan yang memberikan efek yang serius.

Daftar Pustaka

 Katzung, Bertram.E. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : EGC.


 Muthler, Erast.1991.Dinamika Obat.Edisi Kelima.Bandung : ITB
 Tjay, T. H. dan Rahardja. K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi
Kelima Cetakan Kedua. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

52
PERTEMUAN KELIMA

EFEK DIURETIKA

(UJI POTENSI DIURETIKA)

53
BAB 1

PENDAHULUAN

I. Judul Percobaan
- Uji potensi diuretika
II. Latar Belakang

Pengeluaran urin atau diuresis dapat diartikan sebagai penambahan produksi


volume urin yang dikeluarkan dan pengeluaran jumlah zat zat terlarut dalam
air.Obat-obatan yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine
disebut Diuretik. Obat-obat ini merupakan penghambat transpor ion yang
menurunkan reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti Cl+ memasuki urine dalam jumlah
lebih banyak dibandingkan dalam keadaan normal bersama-sama air, yang
mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotic.
Perubahan Osmotik dimana dalam tubulus menjadi meningkat karena Natrium
lebih banyak dalam urine, dan mengikat air lebih banyak didalam tubulus ginjal.
Dan produksi urine menjadi lebih banyak. Dengan demikian diuretic
meningkatkan volume urine dan sering mengubah PH-nya serta komposisi ion
didalam urine dan darah.
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya
penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah
pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, secara umum diuretik dapat dibagi menjadi
dua golongan besar yaitu diuretik osmotik yaitu yang bekerja dengan cara menarik
air ke urin, tanpa mengganggu sekresi atau absorbsi ion dalam ginjal dan
penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal, seperti diuretik
tiazid (menghambat reabsorbsi natrium dan klorida pada ansa Henle pars
ascendens), Loop diuretik (lebih poten daripada tiazid dan dapat menyebabkan
hipokalemia), diuretik hemat kalium (meningkatkan ekskresi natrium sambil
menahan kalium).
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstrasel menjadi normal. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke

54
dalam glomeruli (gumpalan kapiler) yang terletak di bagian luar ginjal (cortex).
Dinding glomeruli inilah yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif
dapat dilintasi air, garam dan glukosa. Ultrafiltrat yang diperoleh dari filtrasi dan
mengandung banyak air serta elektrolit ditampung di wadah, yang mengelilingi
setiap glomerulus seperti corong (kapsul Bowman) dan kemudian disalurkan ke
pipa kecil. Di sini terjadi penarikan kembali secara aktif dari air dan komponen
yang sangat penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam antara lain ion
Na+. Zat-zat ini dikembalikan pada darah melalui kapiler yang mengelilingi
tubuli.sisanya yang tak berguna seperti ”sampah” perombakan metabolisme-
protein (ureum) untuk sebagian besar tidak diserap kembali. Akhirnya filtrat dari
semua tubuli ditampung di suatu saluran pengumpul (ductus coligens), di mana
terutama berlangsung penyerapan air kembali. Filtrat akhir disalurkan ke kandung
kemih dan ditimbun sebagai urin.
III. Tujuan Percobaan
- Memahami kerja farmakologi dari berbagai kelompok diuretika.
- Memperoleh gambaran tentang cara evaluasi potensi diuretika.

55
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

I. Teori Umum

Diuretik adalah suatu obat yang dapat meningkatkan jumlah urine (diuresis)
dengan jalan menghambat reabsorpsi air dan natrium serta mineral lain pada
tubulus ginjal. Dengan demikian bermanfaat untuk menghilangkan udema dan
mengurangi free load. Kegunaan diuretik terbanyak adalah untuk antihipertensi
dan gagal jantung. Pada gagal jantung, diuretik akan mengurangi atau bahkan
menghilangkan cairan yang terakumulasi di jaringan dan paru paru, di samping itu
berkurangnya volume darah akan mengurangi kerja jantung.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik.
1. Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah
yang reabsorbsi natrium sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi
natrium banyak.
2. Status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal
ginjal. Dalam keadaan ini akan memberikan respon yang berbeda terhadap
diuretik.
3. Interaksi antara obat dengan reseptor .Kebanyakan bekerja dengan
mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih dan
juga air diperbanyak.
Mekanisme kerja diuretika
Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium,
sehingga pengeluarannya lewat kemih dan demikian juga dari air-diperbanyak.
Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni:
1. Tubuli proksimal.
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorpsi secera
aktif untuk 70%, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum.
Karena reabsopsi belangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak
berubah dan tetap isotonis terhap plama. Diuretik osmosis bekerja di tubulus
proksimal dengan merintangi rabsorpsi air dan natrium.

56
2. Lengkungan Henle.
Di bagian menaiknya ca 25% dari semua ion Cl- yang telah difiltrasi
direabsorpsi secara aktif, disusul dengan raborpsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi
tanpa air, hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan bekerja
terutama di sini dengan merintangi transpor Cl- begitupula reabsorpsi Na+,
pengeluaran air dan K+diperbanyak .
3. Tubuli distal.
Dibagian pertmanya, Na+ dirabsorpsi secara aktif tanpa air hingga filtrat
menjadi lebi cair dan lebih hipotonis. Senyawa tiazida dan klortalidon bekerja
di tempat ini dengan memperbanyak eksresi Na+ dan Cl- sebesar 5-10%. Pada
bagian keduanya, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+ proses ini
dikendalikan oleh hormon anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron dan
zat-zat penghemat kalium bekerja di sini dengan mengekskresi Na+ dan retensi
K+ .
4. Saluran Pengumpul.
Hormon antidiuretik (ADH) dan hipofise bekerja di sini dengan
mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini.
Diuretik dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni :
1. Diuretik Kuat
Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan
epitel tebal dengan cara menghambat transport elektrolit natrium, kalium, dan
klorida.Obat-obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6).
Banyak digunakan dalam keadaan akut, misalnya pada udema otak dan paru-
paru. Memiliki kurva dosis-efek curam, yaitu bila dosis dinaikkan efeknya
senantiasa bertambah. Contoh obatnya adalah furosemida yang merupakan
turunan sulfonamid dan dapat digunakan untuk obat hipertensi. Mekanisme
kerjanya dengan menghambat reabsorpsi Na dan Cl di bagian ascending dari
loop Henle (lengkungan Henle) dan tubulus distal, mempengaruhi sistem
kontrasport Cl-binding, yang menyebabkan naiknya eksresi air, Na, Mg, dan
Ca. Contoh obat paten: frusemide, lasix, impugan. Yang termasuk diuretik
kuat adalah ; asam etakrinat, furosemid dan bumetamid.
2. Diuretik Hemat Kalium
Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus koligentes
daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan sekresi
57
kalium dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara
langsung (triamteren dan amilorida). Efek obat-obat ini lemah dan khusus
digunakan terkominasi dengan diuretika lainnya untuk menghemat kalium.
Aldosteron enstiulasi reabsorpsi Na dan ekskresi K, proses ini dihambat secara
kompetitif oleh antagonis alosteron. Contoh obatnya adalah spironolakton
yang merupakan pengambat aldosteron mempunyai struktur mirip dengan
hormon alamiah. Kerjanya mulai setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberap
hari setelah pengobatan dihentikan. Daya diuretisnya agal lemah sehingga
dikombinasikan dengan diuretika lainnya. Efek dari kombinasi ini adalah
adisi. Pada gagal jantung berat, spironolakton dapat mengurangi resiko
kematian sampai 30%. Resorpsinya di usus tidak lengkap dan diperbesar oleh
makanan. Dalam hati, zat ini diubah menjadi metabolit aktifnya, kanrenon,
yang diekskresikan melalui kemih dan tinja, dalam metabolit aktif waktu
paruhnya menjadi lebih panjang yaitu 20 jam. Efek sampingnya pada
penggunaan lama dan dosis tinggi akan mengakibatkan gangguan potensi dan
libido pada pria dan gangguan haid pada wanita. Contoh obat paten: Aldacton,
Letonal.
3. Diuretik golongan tiazid
Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium klorida. Efeknya lebih lemah dan lambat,
juga lebih lama, terutama digunakan pada terapi pemeliharaan hipertensi dan
kelemahan jantung. Memiliki kurva dosis-efek datar yaitu jika dosis optimal
dinaikkan, efeknya (diuresis dan penurunan tekanan darah) tidak
bertambah. Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ; klorotiazid,
hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid,
siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.
Hidroklorthiazida adalah senyawa sulfamoyl dari turunan klorthiazida yang
dikembangkan dari sulfonamid. Bekerja pada tubulus distal, efek diuretiknya
lebih ringan daripada diuretika lengkungan tetapi lebih lama yaitu 6-12 jam.
Banyak digunakan sebagai pilihan pertama untuk hipertensi ringan sampai
sedang karenadaya hipitensifnya lebih kuat pada jangka panjang. Resorpsi di
usus sampai 80% dengan waktu paruh 6-15 jam dan diekskresi lewat urin
secara utuh. Contoh obat patennya adalah Lorinid, Moduretik.

58
4. Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase
Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan cara menghambat
reabsorpsi bikarbonat. Zat ini merintangi enzim karbonanhidrase di tubuli
proksimal, sehingga disamping karbonat, juga Na dan K diekskresikan lebih
banyak, bersamaan dengan air. Khasiat diuretiknya lemah, setelah beberapa
hari terjadi tachyfylaxie maka perlu digunakan secara berselang-
seling. Asetozolamidditurunkan r sulfanilamid. Efek diuresisnya berdasarkan
penghalangan enzim karboanhidrase yang mengkatalis reaksi berikut:
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3+
Akibat pengambatan itu di tubuli proksimal, maka tidak ada cukup ion H+ lagi
untuk ditukarkan dengan Na sehingga terjadi peningkatan ekskresi Na, K,
bikarbonat, dan air. Obat ini dapat digunakan sebagai obat antiepilepsi.
Resorpsinya baik dan mulai bekerja dl 1-3 jam dan bertahan selama 10 jam.
Waktu paruhnya dalam plasma adalah 3-6 jam dan diekskresikan lewat urin
secara utuh. Obat patennya adalah Miamox. Yang termasuk golongan diuretik
ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.
5. Diuretik osmotik
Istilah diuretic Osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang
mudah dan cepat diskskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai
diuretic osmotic apabila memenuhi 4 syarat:
a. Difiltrasi secara bebas oleh glomerulus.
b. Tidak atau hanya sedikit direbasorbsi sel tubulus ginjal.
c. Secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan
d. Umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolic.
Dengan sifat-sifat ini, maka diueretik osmotic dapat diberikan dalam
jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolalitas plasma,
filtrate glomerulus dan cairan tubuli
Diuretik osmotik mempunyai tempat kerja :
1. Tubuli proksimal
Diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya.
2. Ansa enle

59
Diuretik osmotik ini bekerja pada ansa henle dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula
menurun.
3. Duktus Koligentes
Diuretik osmotik ini bekerja pada Duktus Koligentes dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out,
kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.
Obat-obat ini direabsorpsi sedikit oleh tubuli sehingga reabsorpsi air juga
terbatas. Efeknya al diuresis osmotik dengan ekskresi air tinggi dan eksresi Na
sedikit. Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat
bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oeh ginjal. Contoh dari
diuretik osmotik adalah ; manitol, urea, gliserin dan isisorbid.
Mannitol adalah alkohol gula yang terdapat dalam tumbuh-
tumbuhan dan getahnya. Efek diuresisnya pesat tetapi singkat an dapat
melintasi glomeruli secara lengkap, praktis tanpa reabsorpsi pada tubuli,
sehingga penyerapan kembali air dapat dirintangi secara osmotik. Terutama
digunakan sebagai infus untuk menurunkan tekanan intraokuler pada
glaucoma.
Beberapa Mekanisme aksi dari kerja Manitol sekarang ini adalah segagai
berikut:
a. Menurunkan Viskositas darah dengan mengurangi haematokrit, yang penting
untuk mengurangi tahanan pada pembuluh darah otak dan meningkatkan
aliran darahj keotak, yang diikuti dengan cepat vasokontriksi dari pembuluh
darah arteriola dan menurunkan volume darah otak. Efek ini terjadi dengan
cepat (menit).
b. Manitol tidak terbukti bekerja menurunkan kandungan air dalam jaringan otak
yang mengalami injuri, manitol menurunkan kandungan air pada bagian otak
yang yang tidak mengalami injuri, yang mana bisa memberikan ruangan lebih
untuk bagian otak yang injuri untuk pembengkakan (membesar).
c. Cepatnya pemberian dengan Bolus intravena lebih efektif dari pada infuse
lambat dalam menurunkan Peningkatan Tekanan intra cranial.
d. Terlalu sering pemberian manitol dosis tinggi bisa menimbulkan gagal ginjal.
ini dikarenakan efek osmolalitas yang segera merangsang aktivitas tubulus
dalam mensekresi urine dan dapat menurunkan sirkulasi ginjal.
60
e. Pemberian Manitol bersama Lasik (Furosemid) mengalami efek yang sinergis
dalam menurunkan PTIK. Respon paling baik akan terjadi jika Manitol
diberikan 15 menit sebelum Lasik diberikan. Hal ini harus diikuti dengan
perawatan managemen status volume cairan dan elektrolit selama terapi
Diuretik.
Obat Diuretika
1. Diuretik hemat kalium
Diuretik yang mempertahankan kalium menyebabkan diuresis tanpa
kehilangan kalium dalam urine. Yang termasuk dalam klompok ini antara lain
aldosteron, traimteren dan amilorid.
Antagonis Aldosteron
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan
utama aldosteron ialah memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubuli
serta memperbesar ekskresi kalium. Yang merupakan antagonis aldosteron
adalah spironolakton dan bersaing dengan reseptor tubularnya yang terletak di
nefron sehingga mengakibatkan retensi kalium dan peningkatan ekskresi air
serta natrium. Obat ini juga meningkatkan kerja tiazid dan diuretik loop.
Diuretik yang mempertahankan kalium lainnya termasuk amilorida, yang
bekerja pada duktus pengumpul untuk menurunkan reabsorpsi natrium dan
ekskresi kalium dengan memblok saluran natrium, tempat aldosteron bekerja.
Diuretik ini digunakan bersamaan dengan diuretik yang menyebabkan
kehilangan kalium serta untuk pengobatan edema pada sirosis hepatis. Efek
diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik kuat.
Mekanisme kerja
Penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Bekerja di tubulus renalis
rektus untuk menghambat reabsorpsi Na+, sekresi K+ dan sekresi H+
Farmakokinetik
70% spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirkulasi
enterohepatik dan
metabolisme lintas pertama. Metabolit utamanya kankrenon. Kankrenon
mengalami
interkonversi enzimatik menjadi kakreonat yang tidak aktif.
Efek samping

61
Efek toksik yang paling utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang
sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium
yang berlebihan. Tetapi efek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa
diberikan bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal yang berat. Efek samping yang lebih ringan dan reversibel diantaranya
ginekomastia, dan gejala saluran cerna.
Indikasi
Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi dan
udem yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain dengan
maksud mengurangi ekskresi kalium, disamping memperbesar diuresis.
Sediaan dan dosis
Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100 mg. Dosis dewasa
berkisar antara 25-200mg, tetapi dosis efektif sehari rata-rata 100mg dalam
dosis tunggal atau terbagi.Terdapat pula sediaan kombinasi tetap antara
spironolakton 25 mg dan hidraoklortiazid 25mg, serta antara spironolakton 25
mg dan tiabutazid 2,5 mg.
Triamteren dan Amilorid
Kedua obat ini terutama memperbesar ekskresi natrium dan klorida,
sedangkan eksresi kalium berkurang dan ekskresi bikarbonat tidak mengalami
perubahan. Triamteren menurunkan ekskresi K+ dengan menghambat sekresi
kalium di sel tubuli distal. Dibandingkan dengan triamteren, amilorid jauh
lebih mudah larut dalam air sehingga lebih mudah larut dalam air sehingga
lebih banyak diteliti. Absorpsi triamteren melalui saluran cerna baik sekali,
obat ini hanya diberikan oral. Efek diuresisnya biasanya mulai tampak setelah
1 jam. Amilorid dan triameteren per oral diserap kira-kira 50% dan efek
diuresisnya terlihat dalam 6 jam dan berkahir sesudah 24 jam.
Efek samping
Efek toksik yang paling berbahaya dari kedua obat ini adalah hiperkalemia.
Triamteren juga dapat menimbulkan efek samping yang berupa mual, muntah,
kejang kaki, dan pusing.
Efek samping amilorid yang paling sering selain hiperkalemia yaitu mual,
muntah, diare dan sakit kepala.
Indikasi

62
Bermanfaat untuk pengobatan beberapa pasien udem. Tetapi obat ini akan
bermanfaat bila diberikan bersama dengan diuretik golongan lain, misalnya
dari golongan tiazid.
Sediaan
Triamteren tersedia sebagai kapsul dari 100mg. Dosisnya 100-300mg sehari.
Untuk tiap penderita harus ditetapkan dosis penunjang tersendiri.Amilorid
terdapat dalam bentuk tablet 5 mg. Dosis sehari sebesar 5-10mg. Sediaan
kombinasi tetap antara amilorid 5 mg dan hidroklortiazid 50 mg terdapat
dalam bentuk tablet dengan dosis sehari antara 1-2 tablet.
2. Diuretik kuat
Tempat kerja utamanya dibagian epitel ansa Henle bagian asenden, karena itu
kelompok ini disebut juga sebagai loop diuretics. Termasuk dalam kelompok
ini adalah asam etakrinat, furosemid, dan bumetanid.
Furosemid
Farmakokinetik :
Obat furosemid mudah diserap melalui saluran cerna. Bioavabilitas furosemid
65% diuretik kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif sehingga tidak
difiltrasi di glomerolus tetapi cepat sekali disekresi melalui system transport
asam organik ditubuli proksimal. Dengan cara ini obat ini terakumulasi di
cairan tubuli dan mungkin sekali ditempat kerja didaerah yang lebih distal
lagi.
Mula kerja Furosemid pesat, oral 0,5 – 1 jam dan bertahan 4 – 6 jam, intravena
dalam beberapa menit dan 2,5 jam lamanya reabsorbsinya dari usus ± 50%.

63
BAB 3
METODELOGI PRAKTIKUM

I. Alat
- Spuit injeksi 1 ml, sonde, timbangan hewan, kandang diuretik, beaker glass,
gelas ukur.
II. Bahan
- CMC Na1% secara PO.
- Furosemid 20 mg/ 79kgBB manusia secara PO.
- Spironolakton 100 mg/ kgBB manusia secara PO.
- Air hangat 50 ml/ kgBB tikus.
III. Perhitungan dosis

Spironolakton :

Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70kg = 100mg

Ditanya : Dosis fenobarbital pada tikus 176 gram?

Jawab :

Faktor konversi manusia 70kg = 200 gram tikus adalah 0,018 maka dosis
fenobarbibal pada kelinci 176 gram

= 0,018 x 100mg

= 1,8

176 𝑔𝑟𝑎𝑚
Konversi = 𝑥 1,8𝑚𝑔 = 0,88𝑚𝑔
200𝑔

Volume pemberian obat pada tikus 176 gram

0,88𝑚𝑔
= 100𝑚𝑔 𝑥 50𝑚𝑙 = 0,44𝑚𝑙

IV. Prosedur kerja


1. Puasakan tikus selama 12 - 16 jam, tetapi tetap di berikan minum.
2. Sebelum pemberian obat, berikan air hangat per oral sebanyak 5 ml/ kgBB
tikus.

64
3. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing masing kelompok terdiri
dari 2 ekor tikus dengan perbedaan dosis obat yang diberikan :
a. Kelompok 1 : CMC Na1% secara PO.
b. Kelompok 2 : Furosemid 20 mg/ 79kgBB manusia secara PO.
c. Kelompok 3 : Spironolakton 100 mg/ kgBB manusia secara PO.
4. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing - masing
tikus.
5. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing – masing.
6. Tempatkan tikus ke dalam kandang diuretik.
7. Kumpulkan urine selama 2 jam, catat frekuensi pengeluaran urine dan jumlah
urinesetiap kali diekskresikan.
8. Catat dan tabelkan pengamatan.
9. Hitung persentase volume kumulatif urine yang di eksresikan :
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑢𝑟𝑖𝑛𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑘𝑟𝑒𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 2𝑗𝑎𝑚
𝑥 100%
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑖𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑜𝑟𝑎𝑙

Efek diuretik postif jika persentase volume kumulatif urine yang diekskresikan
> 75% dari volume air yang diberikan.

65
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Diuretik

Percobaan Bahan Obat Efek Diuretik


Potensi CMC Na1% Frekuensi Urinasi
Diuretika Tikus secara PO (menit ke) 27 49 88
0,8 1 0,5
Kelompok 5 Volume urine (ml) ml ml ml
Volume urine
kumulatif selama 2 2,3
jam ml
Volume air yang di
berikan secara oral 5 ml
Potensi diuretik 46%
CMC Na1% Frekuensi Urinasi
secara PO (menit ke) 27 49 60 117
1,8 1 0,5
Kelompok 6 Volume urine (ml) 1 ml ml ml ml
Volume urine
kumulatif selama 2 3,4
jam ml
Volume air yang di
berikan secara oral 5 ml
Potensi diuretik 68%
Furosemid 20 Frekuensi Urinasi
mg/ 79kgBB (menit ke) 19 57 75 106
manusia 1 1 1
secara PO Volume urine (ml) 1 ml ml ml ml
Volume urine
kumulatif selama 2
Kelompok 3 jam 4 ml

66
Volume air yang di
berikan secara oral 5 ml
Potensi diuretik 80%
Furosemid 20 Frekuensi Urinasi
mg/ 79kgBB (menit ke) 20 51 80 103
manusia 1 1 1
secara PO Volume urine (ml) 1 ml ml ml ml
Volume urine
kumulatif selama 2
Kelompok 4 jam 4 ml
Volume air yang di
berikan secara oral 5 ml
Potensi diuretik 80%
Spironolakton Frekuensi Urinasi
100 mg/ kgBB (menit ke) 39 51 61 74
manusia 1,8 1,8 0,5 1,9
secara PO Volume urine (ml) ml ml ml ml
Volume urine
kumulatif selama 2
Kelompok 1 jam 6 ml
Volume air yang di
berikan secara oral 5 ml
Potensi diuretik 120%
Spironolakton Frekuensi Urinasi
100 mg/ kgBB (menit ke) 30 45 50 57 66 75
manusia 0,5 1 1 1 1 1
secara PO Volume urine (ml) ml ml ml ml ml ml
Volume urine
kumulatif selama 2 5,6
Kelompok 2 jam ml
Volume air yang di
berikan secara oral 5 ml
Potensi diuretik 112%

67
Pada percobaan ini digunakan beberapa obat dalam uji diuretic diantaranya adalah :

1. CMC Na 1%

Pada kelompok 5 volume urine kumulatif selama 2 jam adalah 2,3 ml dengan
potensi diuretika 46%. Dimana CMC Na 1% sebagai control negative. Karena hasil
persentase 46% ini sesuai dengan teori dimana CMC Na 1% bukanlah obat yang
menghasilkan efek diuretika.

Pada kelompok 6 volume urine kumulatif selama 2 jam adalah 3,4 ml dengan
potensi diuretika 68%. Dimana angka % pada kelompok 6 ini mendekati 75% yang
berarti akan menunjukkan efek diuretika. Seharusnya angka potensi diuretic ini
kurang dari 50%. Dimana dia tidak akan memberikan efek diuretika. Faktor yang
menyebabkan angka potensi diuretika ini besar karena perlakuan hewan coba dimana
tikus menjadi stres

2. Furosemida 20 mg/ 70kgBB manusia secara PO

Pada kelompok 3 volume urine kumulatif selama 2 jam adalah 4 ml dengan


potensi diuretika 80%. Begitupula dengan kelompok 4 dengan hasil yang serupa
dimana yang berbeda adalah frekuensi urinasinya (menit). Potensi angka diuretika 2
kelompok ini adalah 80% hal ini menunjukkan bahwa furosemida memiliki efek
diuretika. Cara kerja furosemida adalah menghilangkan air dan garam dari tubuh pada
ginjal. Bahan - bahan seperti air, garam dan molekul kecil lainnya biasanya akan
disaring keluar dari darah dan masuk ke dalam tubulus ginjal. Furosemida bekerja
menghalangi penyerrapan natrium, klorida, dan air dari cairan yang disaring dalam
tubulus ginjal menyebabkan peningkatan mendalam output urine. Dan obat ini
termasuk kedalam golongan diuretika kuat.

3. Spironolakton 100mg/ 70kgBB manusia secara PO

Pada kelompok 1 volume urine kumulatif selama 2 jam adalah 6 ml dengan


potensi diuretika 120%. Hasil ini melebihi percobaan pada kelompok dengan obat
Furosemida 20 mg/ 70kgBB manusia secara PO. Dimana seharusnya hasil dari
percobaan ini lebih rendah dari obat furosemida (80%). Hal ini dikarenakan dosis obat
yang dipakai besar yaitu 100 mg, sehingga menyebabkan frekuensi diuretika lebih
besar juga.

68
Begitupula dengan kelompok 2 volume urine kumulatif selama 2 jam adalah 5,6
ml dengan potensi diuretika 112%. Yang mana hasil ini juga melebihi hasil percobaan
dengan obat Furosemida 20 mg/ 70kgBB manusia secara PO.

Cara kerja spironolakton adalah antagonis aldosterone, menghambat aldosterone


yang menstimulansi penyerapan kembali Na dan pengeluaran K. Biasanya obat ini
dikombinasikan dengan obat antihipertensi

69
BAB 5

PENUTUP

I. Kesimpulan

Dari percobaan ini didapat hasil efek diuretika yang maksimal adalah
spironolakton, furosemida, dan CMC Na. Dimana secara teori seharusnya
furosemida ada diurutan pertama karena dia memberikan efek diuretika kuat yang
kemudian diikuti spironolakton dan CMC Na.

Cara kerja furosemida adalah meningkatkan produksi urine sedangkan


spironolakton menstimulansi penyerapan kembali Na dan pengeluaran K
(antagonis aldosterone). Fungsi utama diuretika adalah memobilisasi cairan urine.

II. Saran

Untuk melihat hasil lebih baik mungkin bisa dilakukan dengan variasi obat
pada setiap kelompok yang mana menghasilkan efek diuretic lebih kuat.

Daftar Pustaka

 Katzung, Bertram.E. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : EGC.


 Ganiswara, sulistia. 1995. Farmakologi dan terapi edisi IV. Jakarta. FKUI.
 Tjay, T. H. dan Rahardja. K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi
Kelima Cetakan Kedua. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
 H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995, Farmakologi dan Terapi, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta.

70

Anda mungkin juga menyukai