Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Farmakologi merupakan salah satu ilmu yang dipelajari dalam bidang

kesehatan. Dalam hal ini dipelajari tentang pengaruh senyawa terhadap sel

hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor serta efek samping yang

ditimbulkan terhadap sel hidup. Pengaruh senyawa terhadap sel hidup

tersebut salah satunya diakibatkan oleh adanya sistem saraf otonom.

Sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang tidak dapat dikendalikan

oleh kemauan kita melalui otak. Sistem saraf otonom mengendalikan

beberapa organ tubuh seperti jantung, pembuluh darah, ginjal, pupil mata,

lambung dan usus. Sistem saraf ini dipacu (induksi) atau dihambat (inhibisi)

oleh senyawa obat. Berdasarkan hal ini kerja sistem saraf otonom dapat

digolongkan menjadi dua bagian yaitu saraf simpatis dan parasimpatis

dimana kedua saraf ini bekerja pada efektor atau organ yang sama tetapi

memiliki efek yang saling berlawanan.

Sistem saraf simpatis yaitu sistem saraf yang memiliki ganglion yang

terletak disepanjang tulang belakang yang menempel pada sumsum tulang

belakang. Dimana obat-obat simpatik atau obat adrenergik mampu

memberikan efek terhadap tubuh berupa pupil mata membesar, bronkus

dilatasi, kontraksi jantung dipercepat, dan penyempitan pembuluh darah.

1
Sistem saraf parasimpatis berbeda dengan sistem saraf simpatis,

dimana sistem saraf parasimpatis merupakan saraf vagus dari medula

oblongata. Dalam hal ini sistem saraf parasimpatis memberikan efek pada

tubuh berupa yang berbalikan dengan sistem saraf simpatis yaitu pupil mata

mengecil, bronkus kontriksi, kontriksi jantung diperlambat, dan pelebaran

pembuluh darah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan pengertian obat saraf otonom!

2. Jelaskan klasifikasi obat saraf otonom!

3. Jelaskan farmakokinetik obat saraf otonom!

4. Jelaskan farmakodinamik obat saraf otonom!

5. Jelaskan efek samping obat sraf otonom!

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui:

1. Pengertian obat otonom.

2. Klasifikasi obat otonom.

3. Farmakokinetik obat otonom.

4. Farmakodinamik obat otonom.

5. Efek samping obat otonom.

2
1.4 Manfaat Penulisan

Makalah ini sekiranya dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan

mengenai obat saraf otonom serta dapat menambah wawasan mahasiswa

keperawatan secara lebih dalam tentang obat saraf otonom.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Obat Otonom

Sistem saraf otonom atau saraf tak sadar merupakan bagian dari

sistem saraf tepi (SST) yang terletak khusus pada sumsum tulang belakang

yang bekerja mengatur dan mengendalikan otot jantung, otot–otot polos,

dan sejumlah kelenjar secara permanen. Artinya, sistem saraf tersebut

bekerja melayani berbagai struktur dalam tubuh. Misalnya, jantung, paru–

paru, saluran pencernaan, pembuluh darah, kantong kemih, dan kelenjar

keringat. Disebut sistem saraf otonom karena sifat kerja sistem saraf ini

tidak menurut kemauan atau kehendak kita.

Sistem ini merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang

mempersarafi organ viseral umum, mengatur, menyelaraskan, dan

mengkoordinasikan aktivitas visel vital, termasuk pencernaan,suhu badan,

tekanan darah dan segi perilaku emosional lainnya. Bagian sistem saraf

inilah yang mengatur fungsi viseral tubuh disebut sebagai sistem saraf

otonomik. Sistem ini membantu mengatur tekanan arteri, motilitas, dan

sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat,suhu

tubuh dan banyak aktivitas lainnya, dimana beberapa diantaranya atau

sebagian diatur oleh sistem saraf otonom.

4
Salah satu sifat yang menonjol dari sistem saraf otonomik adalah

kecepatan atau intensitas yang ada di dalam sistem saraf ini dapat mengubah

fungsi viseral (refleks otonom). Dalam waktu beberapa detik secara tidak

disadari dapat timbul keringat dan terjadi pengosongan kandung kemih.

Jadi, sistem saraf yang bekerja melalui serat-serat saraf otonomik dapat

dengan cepat dan secara efektif mengatur sebagian besar atau seluruh fungsi

internal tubuh. Sistem saraf otonom, terutama diaktifkan oleh pusat-pusat

yang terletak pada medula spinalis, batang otak dan hipotalamus.

Seringkali sistem saraf otonom ini bekerja sebagai refleks viseral.

Jadi, sinyal pusat di dalam ganglion otonomik, medula, batang otak atau

hipotalamus, pusat-pusat ini sebaliknya akan menjalarkan respons refleks

yang sesuai kembali ke organ-organ viseral dan mengatur organ-organ

tersebut. Sistem saraf otonom bergantung pada sistem saraf pusat dan antara

keduanya dihubungkan oleh urat-urat saraf eferen dan saraf eferen ini

seolah-olah berfungsi sebagai sistem saraf pusat saraf otonom terutama

berkenaan dengan organ-organ dalam. Menurut sifat kerjanya, terdiri dari

dua bagian yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis.

Sistem Saraf simpatik adalah bagian dari sistem saraf otonom yang

cenderung bertindak berlawanan terhadap sistem saraf parasimpatik, seperti

mempercepat detak jantung dan menyebabkan kontraksi pembuluh darah.

Sistem ini mengatur fungsi kelenjar keringat dan merangsang sekresi

glukosa dalam hati. Sistem saraf simpatik diaktifkan terutama dalam kondisi

stres.

5
Saraf parasimpatik merupakan saraf yang berpangkal pada sumsum

lanjutan (medula oblongata) dan dari sakum yang merupakan saraf pre-

ganglion dan post-ganglion. sistem saraf ini di sebut juga dengan sistem

saraf kraniosakral, karena saraf preganglion keluar dari daerah otak dan

daerah sakral. Fungsi dari saraf Parasimpatik umumnya memperlambat

kerja organ-organ tubuh. Susunan saraf parasimpatik berupa jaring- jaring

yang berhubung-hubungan dengan ganglion yang tersebar di seluruh tubuh.

Urat sarafnya menuju ke organ tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf

simpatik.

Obat Otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian

susunan saraf otonom, mulaidari sel saraf sampai dengan sel efektor.Secara

anatomi susunan saraf otonom terdiri atas praganglion, ganglion dan

pascaganglionyang mempersarafi sel efektor. Serat eferen persarafan

otonom terbagi atas sistem persarafansimpatis dan parasimpatis.

2.2 Klasifikasi Obat Otonom

Menurut efek utamanya maka obat otonom dapat dibagi menjadi 5

golongan obat saraf otonom, yaitu:

1. Parasimpatomimetik atau kolinergik

Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas

susunan saraf parasimpatis.

2. Simpatomimetik atau adrenergik

6
Efeknya menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf

simpastis.

3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik

Menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimatis.

4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik

Menghambat timbulnya efek akibat aktivitas saraf simpatis.

5. Obat ganglion

Merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion.

2.3 Farmakodinamik, Farmakokinetik, dan Efek samping

A. Kolinergik

Obat kolinergik singkatnya disebut kolinergik juga disebut

parasimpatomimetik, berarti obat yang kerja serupa perasangan saraf

parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara anatomis termasuk saraf

simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih

tepat dari pada istilah parasimpatomimetik. Obat kolinergik dibagi dalam

tiga golongan:

1. ESTER KOLIN

Asetilkolin (ACh) merupakan prototip dari obat golongan ester kolin.

Sekarang telah terbukti bahwa, ACh merupakan transmitor di berbagai

sinaps dan akhiran saraf pada saraf simpatis, parasimpatis dan somatik.

Asetilkolin hanya bermanfaat dalam penelitian dan tidak berguna secara

klinis karena efeknya menyebar ke berbagai organ sehingga titik tangkapnya

7
terlalu luas dan terlalu singkat. Selain itu ACh tidak dapat diberikan per

oral, karena dihidrolisis oleh asam lambung.

1.1 FARMAKODINAMIK

Asetilkolin eksogen secara umum memperlihatkan efek yang sama

dengan ACh endogen, yang eksogen kerjanya tentu lebih menyebar (difus)

dan memerlukan kadar yang lebih besar untuk menimbulkan efek yang

sama. Efek farmakodinamik esterkolin maupun obat kolinergik lainnya

dapat dimengerti bila diketahui efek ACh pada berbagai organ. Secara

umum farmakodinamik dari ACh dibagi dalam dua golongan, yaitu

terhadap:

a. Kelenjar eksokrin dan otot polos, yang disebut efek muskarinik

b. Ganglion (simpatis dan parasimpatis) dan otot rangka, yang disebut

efek nikotinik.

1.2 EFEK SAMPING

Dosis berlebihan dari ester kolin sangat berbahaya karena itu jangan

diberikan secara IV, kecuali asetilkolin yang lama kerjanya sangat singkat.

Pemberian oral atau SK merupakan cara yang lazim digunakan. Kombinasi

dengan prostigmin atau obat kolinergik lain juga tidak boleh digunakan,

karena terjadinya potensiasi yang dapat membawa akibat buruk. Ester kolin

dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina

pektoris, karena tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner.

8
2. OBAT ANTIKOLINESTERASE

Antikolinesterase menghambat kerja kolinesterase (dengan mengikat

kolinesterase) dan mengakibatkan perangsangan saraf kolinergik terus

menerus karena ACh tidak dihidrolisis.

2.1 FARMAKODINAMIK

Efek utama antikolinesterase yang menyangkut terapi terlihat dari

pupil, usus dan sambungan saraf-otot. Efek-efek lain hanya mempunyai arti

toksikologik.

MATA: Bila fisostigmin (eserin) atau DFP diteteskan pada konjungtiva

bulbi, maka terlihat suatu perubahan yang nyata pada pupil berupa miosis,

hilangnya daya akomodasi dan hiperemia konjungtiva. Miosis terjadi cepat

sekali, dalam beberapa menit, dan menjadi maksimal setelah setengah jam.

SALURAN CERNA: Prostigmin paling efektif terhadap saluran cerna. Pada

manusia pemberian prostigmin meningkatkan peristalsis dan kontraksi

lambung serta sekresi asam lambung. Perbaikan peristalsis ini merupakan

dasar pengobatan meteorisme dan penggunaan prostigmin pasca bedah.

SAMBUNGAN SARAF-OTOT: Antikolinesterase memperlihatkan efek

nikotinik terhadap otot rangka dan asetilkolin yang tertimbun pada

sambungan saraf-otot menyebabkan otot rangka dalam keadaan terangsang

terus menerus. Hal ini menimbulkan tremor, fibrilasi otot, dan dalam

keadaan keracunan, kejang-kejang.

9
TEMPAT-TEMPAT LAIN: Pada umumnya antikolinesterase, melalui efek

muskarinik, memperbesar sekresi semua kelenjar eksokrin misalnya

kelenjar pada bronkus, kelenjar air mata, kelenjar keringat, kelenjar liur, dan

kelenjar saluran cerna.

2.2 FARMAKOKINETIK

Fisostigmin mudah diserap melalui saluran cerna, tempat suntikan

maupun elaput lendir lain. Seperti atropin, fisostigmin dalam obat tetes mata

dapat menyebabkam efrek sistemik. Hal ini dapat dicegah dengan menekan

sudut medial mata dimana terdapat kanalis lakrimalis. Prostigmin dapat

diserap secara baik pada pemberian parenteral, sedangkan pada pemberian

ora diperlukan dosis 30 kali lebih besar, lagi pula penyerapan tidak teratur.

3. ALKALOID TUMBUHAN

3.1 FARMAKOLOGI

Dalam golongan ini termausk 3 alkaloid yaitu muskarin yang berasal

dari jamur Amerika muscaria, pilokarpin yang berasal dari tanaman

pilocarpus jaborandi dan pilokarpus microphylius, dan arekolin yang berasal

dari Areca caterchu (pinang).

Pada umumnya ketiga obat ini bekerja pada efektor muskarinik,

kecuali pilokarpin yang juga memperlihatkan efek nikotinik. Efek nikotinik

ini juga terlihat setelah diadakan denervasi. Piokarpin terutama

menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat, kelenjar air mata dan

kelenjar ludah. Produksi keringat dapat mencapai tiga liter. Efek terhadap

10
kelenjar keringat ini terjadi karena perangsangan langsung (efek

muskarinik) dan sebagian perangsangan ganglion (efek nikotinik).

4. OBAT KOLINERGIK LAINNYA

4.1 METOKLOPRAMID

Metoklopramid merupakan senyawa golongan benzamid. Gugus

kimianya mirip prokainamid, tetapi metoklopramid memiliki efek anestetik

lokal yang sanagt lemah dan hampir tidak berpengaruh terhadap miokard.

Efek farmakologi metoklopramid sangat nyata pada saluran cerna; obat ini

juga dapat meningkatkan sekresi proklatin.

Meknisme kerja metoklopramid pada saluran cerna belum diketahui

secara pasti. Tapi jelas bahwa efeknya dapat dihambat oleh antikolinergik

dan diperkuat oleh obat-obat kolinergik misalnya karbakol dan metakolin.

a. FARMAKODINAMIK: Saluran cerna metoklopramid memperkuat

tonus sfingter esofagus distal dan meningkatkan amplitudo kontraksi

esofagus. Pada gaster, metoklopramid memperkuat kontraksi terutama

pada bagian antrum, memperbaiki koordinasi kontraktilitas antrum dan

duodenum sehingga mempercepat pengosongan lambung. Efek

antiemetik: Efek ini timbul berdasarkan mekaisme sentral maupun

perifer. Secara sentral metoklopramid mempertinggi ambang rangsang

muntah di Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ), sedangkan secara perifer

obat ini menurunkan kepekaan saraf viseral yang menghantarkan impuls

11
aferen dari saluran yang menghantarkan impuls aferen dari slauran cerna

ke pusat muntah.

b. EFEK SAMPING: Efek samping yang timbul pada penggunaan

metoklopramid pada umumnya ringan. Yang penting diantaranya adalah

kantuk, diare, semeblit dan gejala ekstrapiramidal.

4.2 SISAPRID

Sisaprid merupakan senyawa benzamid yang merangsang motilitas

saluran cerna. Kerja obat ini diduga meningkatkan penglepasan ACh di

saluran cerna. Kerja pada reseptor lain termasuk reseptor dopamin belum

dapat disingkirkan. Berbeda dengan kolinergik lain obat ini cenderung

menyebabkan takikardia.

Eksperimental pada hewan: Sisaprid meningkatkan tonus istirahat

sfingter bawah esofagus dan meningkatkan amplitudo kontraksi esofagus

bagian distal. Pengosongan lambung dipercepat, waktu transit mulut-

saekum memendek, peristalsis kolon meningkat.

B. Antimuskarinik

1. ALKALOID BELLADONA

1.1 FARMAKODINAMIK

Atropin sebagai prototip antimuskarinik akan dibicarakan sebagai

contoh dan antimuskarinik lain akan disebut bila ada perbedaan. Hambatan

oleh atropin bersifat reversible danndapat diatasi dengan pemberian

12
asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase.

antropin memblok asetilkolin amendogen maupun eksogen, tetapi

hambatannya jauh lebih kuat terhadap eksogen. Skopolamin memiliki efek

depresi sentral yang lebih besar daripada atropin, sedangkan efek perifer

terhadap jantung, usus, dan otot bronkus lebih kuat dipengaruhi oleh

atropin. Atropin merangsang medula oblongata dan pusat lain di otak. dalam

dosis 0,5 mg atropin merangsang N. vagus dan frekuensi jantung berkurang.

1.2 FARMAKOKONETIK

Alkaloid belladona mudah diserap dari semua tempat, kecuali dari

kulit. pemberian atropin sebagai obat tetes mata, terutama pada anak dapat

menyebabkan absorbsi dalam jumlah yanh cukup besar lewat mukosa nasal,

sehingga menimbulkan efek sistemik dan bahkan keracunan. Dari sirkulasi

darah, atropin cepat memasuki jaringan dan kebanyakan mengalami

hidrolisis enzimatik oleh hepar. Sebagian dieksresi melalui ginjal dalam

bentuk asal.

Antikolinergik sintetik yang merupakan amonium kuaterner, misalnya

skopolamin metilbromida, lebih sulit diabsorbsi sehingga perlu diberikan

dalam dosis yang besar (2,5 mg), tetapi efek sentralnya tidak sekuat antropin

karena tidak melewati sawar darah otak. Absorbsi pirenzepin tidak lengkap

dan dipengaruhi adanya makanan dalam lambung. Masa paruh eliminasinya

sekitar 11 jam. sebagian besar pirenzepin diekskresikan melalui urin dan

feses dalam bentuk senyawa asalnya.

13
1.3 EFEK SAMPING

Efek samping obat ini pada orang muda yaitu, mulut kering,

gangguan miksi, meteorisme sering terjadi tetapi tidak membahayakan.

Sedangkan, pada orang tua dapat terjadi sindrom demensia. Selain dari itu,

memburuknya retensi urin pada pasien hipertrofi prostat dan penglihatan

pada pasien glaukoma, menyebabkan obat ini kurang diterima. Muka merah

setelah pemberian atropin bukan alergi melainkan efek samping sehubungan

vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Alergi terhadap atropin tidak sering

ditemukan.

C. Adrenergik

Obat-obat yang merangsang system saraf simpatis disebut dengan

adrenergic. Obat-obat ini bekerja pada satu tempat atau lebih dari reseptor

adrenergik yang terdapat pada sel-sel otot polos. Ada empat reseptor

adrenergik : alfa1, alfa2, beta1 dan beta2.

Reseptor adrenergik alfa terletak pada jaringan pembuluh darah dari

otot polos. Jika reseptor alfa dirangsang, arteriola dan venula mengalami

konstriksi, sehingga meningkatkan resistensi perifer dan aliran darah balik

ke jantung. Sirkulasi akan bertambah baik dan tekanan darah akan

meningkat. Jika terjadi terlalu banyak perangsangan, aliran darah yang

menuju ke organ vital akan berkurang. Reseptor alfa 2 terdapat pada ujung

saraf post ganglionik, dan jika dilepaskan akan menghambat pelepasan

norepinefrin sehingga tekanan daran akan menurun.

14
Reseptor adrenergik beta1 terutama terdapat pada jantung.

Perangsangan reptor beta1 meningkatkan kontraktilitas miokard jantung dan

denyut jantung. Reseptor beta2 terutama terdapat pada otot polos paru-paru,

arteriol otot rangka dan otot otot uterus.

Reseptor adrenergik lainnya terdapat adalah dopaminergik, terdapat

pada arteri ginjal, mesenterium, koroner dan serebral. Jika reseptor ini

dirangsang, pembuluh darah berdilatasi dan aliran darah bertambah. Hanya

dopamin yang dapat mengaktivasi reseptor ini.

Obat-obat simpatomimetik yang merangsang reseptor adrenergik

diklasifikasikan ke dalam tiga golongan berdasarkan efeknya pada sel-sel

organ, antara lain:

a. Simpatomimetik yang bekerja langsung, yang langsung

merangsang reseptor adrenergik (epinefrin atau norepinefrin).

b. Simpatomimetik yang bekerja tidak langsung, yang

merangsang pelepasan norepinefrindari ujung saraf terminal (amfetamin).

c. Simpatomimetik yang bekerja langsung maupun tidak

langsung, yang merangsang reseptor adrenergik dan pelepasan norepinefrin.

Banyak dari obat adrenergik merangsang lebih dari satu tempat

reseptor adrenergik, contohnya adalah epinefrin yang bekerja pada reseptor

alfa1, beta1 dan beta2. Respons dari tempat reseptor ini adalah meningkatkan

tekanan darah, dilatasi pupil meningkatkan denyut jantung dan

15
bronkodilatasi. Karena epinefrin mempengaruhi tiga reseptor adrenergik

yang berbeda, maka epinefrin tidak memiliki selektifitas.

1.1 FARMAKODINAMIK

Epineprin sering kali digunakan dalam keadaan gawat darurat untuk

mengatasi anafilatiksis, yang merupakan respon alergik yang mengancam

nyawa. Obat ini merupakan inotropik (daya kontraksi otot) kuat,

menimbulkan kontraksi pembuluh darah, meningkatkan denyut jantung, dan

dilatasi saluran bronchial. Dosis tinggi dapat mengakibatkan aritmia

jantung, oleh karena itu perlu di pantau dengan elektrokardiogram (EKG).

Epineprin juga mengakibatkan vasokontriksi ginjal, sehingga mengurangi

perfusi ginjal dan pengeluaran urine. Epineprin biasanya diberikan subkutan

atau intravena. Tetapi juga dapat diberikan dengan inhalasi.

Mula kerja dan waktu untuk mencapai konsentrasi puncak adalah

cepat. Pemakean dekongestan dan epinephrine mempunyai efek adiktif. Jika

epinefrin diberikan bersama digoksin, maka dapat terjadi aritmia jantung.

Penghambat beta dapat menyebabkan menurunya kerja epinephrine.

Isoproterenol hidroklorida (Isuprel), suatu obat adrenergic, mengaktifasi

reseptor beta1 dan beta2. Obat ini lebih spesifik daripada epinephrine,

karena bekerja pada dua reseptor adrenergic tetapi tidak sepenuhnya

selektif. Respon terhadap perangsangan beta1 dan beta2 adalah

meningkatkan denyut jantung dan bronkodilatasi. Jika seorang klien

memakai isoproterenol untuk mengendalikan asma dengan dilatasi bronkus,

maka terjadi juga peningkatan denyut jantung akibat perangsangan beta1.

16
Jika isoproterenol dipakai dengan berlebihan, maka dapat terjadi takikardia

yang berat. Albuterol silfat (Proventil) adalah selektif untuk reseptor

adrenergic beta2, sehingga responya hanya bronkodilatasi. Seorang klien

asma dapat memberikan respon lebih baik jika memakai albuterol dari pada

isoproterenol karena kerja utamanya adalah pada reseptor beta 2. Dengan

menggunakan simpatomimetik selektif, maka lebih sedikit respon yang

tidak diinginkan (efek samping). Tetapi, dosis tinggi dari albuterol dapat

mempengaruhi reseptor beta1, sehingga meningkatkan denyut jantung.

1.2 FARMAKOKINETIK

Epinefrin dapat diberikan melalui rute parenteral, inhalasi atau topikal.

Persentase obat yang berikatan dengan protein dan waktu paruhnya tidak

diketahui. Epinefrin dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan ke dalam

urin.

2. ADRENERGIK LAIN

2.1 FARMAKODINAMIK

NOREPINEFRIN

Obat ini juga dikenal sebagai levarterenol, I-arterenol atau l-

noradrenalin, dan merupakan neutransmitor yang dilepas oleh serat pasca

ganglion adrenergik. NE bekerja terutama pada reseptor alpa, tetapi efeknya

masih sedikit lemah bila dibandingkan dengan Epi. NE mempunya efek

Beta1 pada jantung yabg sebandung dengan Epi, tetapi efek Beta2 nya jauh

lebih lemah daripada Epi. Infus NE pada manusia menimbulkan

17
peningkatan tekanan diastolik, tekanan sistolik, dan biasanya juga tekanan

nadi

ISOPROTERENOL.

Infus Isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi perifer,

terutama pada otot rangka, tetapi juga pada ginjal dan mesenterium,

sehingga tekanan diastolik menurun. Curah jantung meningkat karene efek

inotropik dan kronotropik positif yang langsung dari obat. Pada dosis

isoproterenol yang biasa diberikan pada manusia, peningkatan curah jantung

umumnya cukup besar untuk mempertahankan atau meningkatkan tekanan

sistolik, tetapi tekanan rata-rata menurun. Aliran darah ginjal sangay

ditingkatkan pada penderita dengan syok kardiogenik maupun syok septik.

Tekanan darah paru tidak berubah. Dosis isoproterenol yang lebih besar

menimbulkan penurunan tekanan darah rata-rata yang hebat.

DOPAMIN

Dopamin berkerja dalam reseptor dopaminergik D1 pembuluh darah

terutama di ginjal, mesenterium dan pembuluh darah koroner dengan kadar

yang rendah. Stimulas itersebut mengakibatkan vasodilatasi melalui

aktivitas adenilsiklase .Pada kadar sedikit lebih tinggi, dopamine akan

meningkatkan kontraktilitas miokard melalui aktivitas adrenoreseptor β1,

Dopamin juga melepaskan NE endogen yang menambah efeknya ke

jantung. Pada dosis rendah hingga sedang, resistensi perifer total tidak

berubah dopamine meningkatkan tekanan sistolik dan tekanan nadi tanpa

18
mengubah tekanan diastolic akibatnya berguna untuk curah jantung rendah

dengan gangguan fungsi ginjal seperti syok kardiogenik dan gagal jantung

berat. Pada kadar yang tinggi dapat menyebabkan vasokontriksi maka dari

itu untuk penatalaksanaan syok tekanan darah dan fungsi ginjal harus

dimonitor.

DOBUTAMIN

Dobutamin mengaktivasi adrenoreseptor beta, terutama reseptor B1.

Selain reseptor beta 1, dobutamin juga berpengaruh sedikit terhadap

reseptor beta-2 dan reseptor alfa. Dobutamin menghasilkan efek inotropik,

kronotropik ringan, aritmogenik, dan vasodilatasi.

Dobutamin yang berikatan dengan miokardium dan mengaktivasi

reseptor beta 1 akan memberikan efek inotropik. Dobutamin meningkatkan

kontraktilitas yang menyebabkan volume end-systolic berkurang sehingga

stroke volume meningkat. Stroke volume yang meningkat akan

meningkatkan cardiac output, sehingga baroreseptor akan menurunkan

resistensi vaskular sistemik, namun penurunan hanya sedikit atau dapat

tidak menyebabkan perubahan sama sekali pada tekanan darah arterial. Pada

reseptor beta 2 pembuluh darah, dobutamin akan mereduksi resistensi

vaskular sehingga terjadi vasodilatasi. Pada reseptor alfa, dobutamin akan

menyebabkan vasokonstriksi yang dinegasikan oleh respon baroreseptor dan

aktivitas beta 2.

19
Efek hemodinamik dobutamin bergantung terhadap dosis.

Peningkatan dosis akan menyebabkan peningkatan stroke volume dan laju

detak jantung, serta penurunan filling pressure pada ventrikular kiri dan

resistensi sistemik vaskular. Pada dosis yang besar, dobutamin juga dapat

menurunkan resistensi pulmonal. Dobutamin dapat menyebabkan aritmia.

Hal tersebut akibat penurunan waktu pemulihan dari sinus node dan waktu

konduksi dari AV. Pada anak – anak, respon hemodinamik akibat

dobutamin berbeda dengan orang dewasa. Dobutamin meningkatkan cardiac

output pada kedua kelompok tersebut, namun peningkatan laju jantung dan

tekanan darah arteri lebih banyak meningkat pada anak–anak dibanding

dewasa.

METAMFETAMIN

Farmakodinamik shabu merupakan aspek farmakologis yang meliputi

cara kerja shabu dan efek shabu terhadap berbagai fungsi organ. Shabu

termasuk obat simpatomimetik yang bekerja secara tidak langsung, yang

artinya shabu dapat menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan

katekolamin endogen yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergik.

Katekolamin merupakan golongan neurotransmitter yang memiliki satu

cincin benzen, dua gugus etil dan satu gugus amino, contohnya

neurotransmitter golongan ini adalah dopamine, serotonin, dan norefineprin.

Shabu memiliki kesamaan struktur dengan katekolamin endogen tersebut

sehingga mampu memfasilitasi peningkatan pelepasan katekolamin.

20
Mekanisme kerja shabu yaitu pertama, shabu penetrasi masuk ke

ujung saraf presinaps dengan cara difusi pasif melewati membran lipid atau

melalui tempat ikatan transporter-neurotransmiter pada membran tersebut.

Setelah berada dalam sitosol, shabu menghambat fungsi kerja vesicular

monoamine transporter (VMAT2) menyebabkan redistribusi katekolamin

dari vesikel ke dalam sitosol memungkinkan meningkatnya konsentrasi

katekolamin dalam sitosol.

Kedua, shabu turut serta mengganggu kesetimbangan pH dalam

sitosol akibatnya mempercepat akumulasi molekul-molekul katekolamin ke

dalam vesikel sehingga proses pembentukan katekolamin lebih cepat.

Ketiga, shabu mampu meningkatkan aktivitas enzim tirosin

hidroksilase menyebabkan proses reaksi dari tirosin menjadi L-3,4-

dihydroxylphenylalanine (L-DOPA) dan kemudian proses L-DOPA menjadi

dopamin menjadi lebih cepat (Gambar 5.iv). Pada keadaan normal, setelah

katekolamin berada pada celah sinaps, maka katekolamin akan berikatan

dengan reseptor masing-masing di ujung saraf postsinaps baru kemudian

katekolamin tersebut di re-uptake dan dimetabolisme oleh tubuh. Keadaan

berbeda ketika seseorang menggunakan shabu, shabu diketahui memiliki

kemampuan untuk meningkatkan aktivitas katekolamin di celah sinaps

dengan cara menghalangi proses re-uptake oleh saraf presinaps dan dengan

cara mengubah enzim monoamin oksidase (MAO) menjadi enzim mandelat

yang bersifat tidak aktif. Akibat mekanisme shabu tersebut konsentrasi

21
serotonin, dopamin, dan norepinefrin meningkat di tempat masing-masing

neurotransmitter tersebut dibentuk.

Peningkatan pelepasan dopamin di frontal korteks, sistem limbik,

basal ganglia, talamus, hipofisis posterior, medula spinalis akan

mempengaruhi fungsi pergerakan dan koordinasi, emosional, penilaian,

motivasi dan efek euforia. Tetapi dalam jangka panjang akan menyebabkan

skizofrenia dan sifat agresif. Sedangkan peningkatan pelepasan norepinefrin

di sistem saraf otonom dan sistem saraf pusat seperti talamus, sistem limbik,

hipokampus, serebelum, korteks serebri akan sangat mempengaruhi fungsi

pernafasan, pikiran, persepsi, daya penggerak, fungsi kardiovaskuler, tidur

dan bangun. Serotonin yang dilepaskan berlebihan pada hipotalamus,

talamus, sistem limbik, korteks serebral, serebelum, medula spinalis akan

sangat mempengaruhi fungsi tidur, bangun, libido, nafsu makan, perasaan

nyaman, agresi persepsi nyeri, dan koordinasi. Tetapi dalam jangka panjang

shabu akan menyebabkan munculnya paranoid, hilangnya percaya diri,

putus asa dan kecemasan yang berlebihan.

EFEDRIN

Efedrin adalah alkaloid yang terdapat pada tumbuhan jenis Efedra.

Efek farmakodinamik efedrin banyak menyerupai efek Epi. Perbedaannya

adalah bahwa efedrin efektif pada pemberian oral, masa kerjanya jauh lebih

panjang, efek sentralnya lebih kuat, tetapi diperlukan dosis yang jauh lebih

besar dari pada epi. Obat ini merupakan agonis reseptor dan 1 dan 2, dan

22
dapat merangsang pelepasan norepinefrin dari neuron simpatis. Efek perifer

efedrin malaui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja

tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis terhadap efek

perifernya. Efedrin masuk dalam kelompok obat simpatomimetik dan dapat

dipakai dalam bentuk oral.

Efedrin menstimulasi detak jantung dan cardiac output, sehingga

menaikan tekanan darah. Efek kardiovaskular efedrin menyerupai efek Epi

tetapi berlangsung kira kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat,

dan biasanya juga tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar.

Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokonstriksi,

tetapi terutama oleh stimulasi jantung. Denyut jantung mungkin tidak

berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah.

Aliran darah ginjal dan visceral berkurang ,s edangkan aliran darah koroner,

otak, dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epi, penurunan tekanan

darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin. Bronkorelaksasi oleh

efedrin lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama dari pada Epi. Penetesan

larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Refleks cahaya, daya

akomodasi, dan tekanan intra okular tidak berubah. Aktivitas uterus

biasanya dikurangi oleh efedrin, efek ini dapat dimanfaatkan ada dismenore.

Efedrin kurang meningkatkan gula darah dibandingkan dengan Epi.

Stimulasi reseptor alfa pada otot kandung kemih dapat meningkatkan

resistensi pengeluaran urin. Aktifasi reseptor beta pada paru-paru

menimbulkan bronko dilatasi. Obat ini juga dipakai sebagai stimulan ssp.

23
Efedrin dieksresi di urin dalam bentuk yang sama, t1/2 = 3 - 6 jam. Obat ini

tidak dipakai pada pasien asma, karena digunakan agonis beta 2 selektif.

Efedrin digunakan untuk meningkatkan kontinensi urin, terutama pada

pasien dengan hiperplasia prostat jinak. Juga digunakan untuk hipotensi

pada anestesi spinal.

2.2 FARMAKOKINETIK

Norepinefrin, isopriterenol, dopamin, dan dobutamin, sebagai

katekolamin, tidak efektif pada pemberian oral. NE tidak diabsorbsi dengan

baik pada pemberian SK. Isoproterenol diabsorbsi dengan baik pada

pemberian parenteral atau sebagai aerosol, tetapi tidak dapat diandalkan

pada pemberian oral atau sublingual sehingga tidak dianjurkan. Obat ini

merupakan substrat yang baik untuk COMT tetapi bukan substrat baik untuk

MAO, sehingga kerjanya sedikir lebih panjang daripada Epi. Disamping itu,

isoproterenol tidak diambil oleh ujung saraf adrenergik.

2.3 EFEK SAMPING

NOREPINEFRIN: Rasa khawatir, sukar bernafas, denyut jantung

yang lambat tetapi kuat, dan nyeri kepala selintas.

ISPROTERENOL: Palpitasi, takikardia, nyeri kepala, dan kemerahan

kulit; kadang-kadang aritmia, serangan angina, nausea, tremor, rasa pusing,

rasa lemah, san pengeluarah keringat.

24
DOPAMIN: Nausea, muntah, takikardi, artmia, nyeri dada, nyeri

kepala, hipertensi, dan peningkatan tekanan diastolik.

DOBUTAMIN: Meningkatkan denyut jantung atau tekanan sistolik.

AMFETAMIN: Gelisah, pusing, tremor, refleks hiperaktif, suka

bicara, rasa tegang, musah tersinggung, insomnia, dan kadang-kadang

euforia.

EFEDRIN: Serupa dengan efek samping epinefrin, dengan tambahan

efek sentral epedrin yaitu insomnia.

METOKSAMIN: Perangsangan pilomotor dan efek kencing.

MAFETERMIN: Rasa mengantuk, Incoherence, dan kejang-kejang

serta peningkatan tekanan darah berlebihan dan aritmia.

D. Penghambat Adrenergik

Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan obat yang

menghambat perangsangan adrenergik. Anatgonis adrenoseptor atau

adrenoseptor bloker ialah obat yang menduduki adrenoseptor sehingga

menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat adrenergik, dan dengan

demikian menghalangi kerja obat adrenergik pada sel efektornya. Antagonis

adrenoseptor α atau α-bloker memblok hanya reseptor α dan tidak

menduduki reseptor β. Sebaliknya, antagonis adrenoseptor β atau β-bloker

memblok hanya reseptor β dan tidak mempengaruhi reseptor α.

25
Penghambat saraf adrenergik ialah obat yang mengurangi respons

sel efektor terhadap perangsangan saraf adrenergoik, tetapi tidak terhadap

obat adrenergik eksogen.

1. ANTAGONIS ADRENOSEPTOR α (α-BLOKER)

1.1 α-BLOKER NONSELEKTIF

Ada 3 kelompok : (1) derivat haloalkilamin ;(2) derivat imidazolin;(3)

alkaloid ergot.

FARMAKODINAMIK: Karena sifat hambatan yang praktis irreversibel,

fenoksibenzamin dan dibenamin dapat dianggap bekerja cara mengurangi

jumlah adrenoseptor α yang tersedia untuk dirangsang. Pada dosis yang

lebih tinggi, fenoksibenzamin juga memblok secara irreversibel reseptor

serotonin, histamin dan ACh.

FARMAKOKINETIK: Absorpsi fenoksibenzamin dari saluran cerna hanya

20%-30%. Waktu paruhnya kurang dari 24 jam, tetapi lama kerjanya

bergantung juga pada kecepatan sintesis reseptor α. Fenoksibenzamin

tersedia daam bentuk kapsul 10 mg untuk pemberian oral.

INTOKSIKASI DAN EFEK SAMPING: Efek samping utama adalah

hipotensi postural, yang sering disertai dengan refleks takikardia dan aritmia

lainnya. Hipotensi yang berat terjadi pada hipovolemia atau keadaan-

keadaan yang menyebabkan vasodilatasi (obat vasodilator, latihan fisik,

minum alkohol atau makan banyak).

PENGGUNAAN TERAPI: Penggunaan utama fenoksibenzamin adalah

untuk pengobatan feokromositoma, yakni tumor anak ginjal yang

26
melepaskan sejumlah besar NE dan Epi ke dalam sirkulasi dan

menimbulkan hipertensi yang episodik dan berat.

DERIVAT IMIDAZOLIN

Fefentolamin dan tolazolin adalah α-bloker nonselektif yang

kompetitif. Efeknya pada sistem kardiovaskuler mirip sekali dengan

fenoksibenzamin.

Efek samping yang utama adalah hipotensi. Refleks stimulasi jantung

menyebabkan takikardia yang hebat, aritmia jantung dan iskemia miokard,

sampai infark miokard. Obat-obat ii harus diberikan dengan sangat hati-hati

pada penderita dengan penyakit jnatung koroner atau dengan riwayat ulkus

peptikum.

ALKALOID ERGOT

Terdapat 3 jenis alkaloid ergot alam yaknin ergonovin. Ergotamin dan

ergotoktin. Jenis ergonovin, yang tidak mempunyai rantai samping

polipeptida, tidak menunjukkan efek penghambatan adrenergik.

Alkaloid ergot secara klinis tidak berguna sebagai α-bloker karena efek ini

baru timbul pada dosis besar yang tidak dapat ditoleransi oleh manusia.

Semua alkaloid ergot alam meningkatkan tekanan darah melalui

vasokontriksi perifer, yang lebih kuat pada pembuluh pascakapiler dari pada

pembuluh prekapiler.

Penggunaan utama alkaloid ergot adalah untuk stimulasi kontraksi uterus

setelah partus dan untuk mengurangi nyeri migren.

1.2 α1-BLOKER SELEKTIF

27
Dalam golongan ini termasuk derivat kuinazolin dan beberapa obat

lain, misalnya indoramin dan urapidil.

DERIVAT KUINAZOLIN

FARMAKODINAMIK: Efeknya yang utama adalah hasil hambatan

reseptor α1 pada otot polos arteriol dan vena, yang menimbulkan zaso dan

venodilatasi sehingga menurunkan resistensi perifer dan alir balik vena.

Penurunan resistensi perifer menyebabkan penurunan tekanan darah tetapi

biasanya tidak menimbulkan refleks takikardia.

FARMAKOKINETIK: Semua derivat kuinazolin di absorpsi dengan

baik pada pemberian oral, terikat kuat pada protein plasma, mengalami

metabolisme yang ekstensif di hati, dan hal sedikit yang dieksresi utuh

melalui ginjal.

EFEK SAMPING:Efek samping utama yang potensial dapat terjadi

pada pemberian α1-bloker adalah fenomen dosis pertama, yakni hipotensi

postural yang hebat dan sinkop yang terjadi 30-90 menit setelah pemberian

dosis pertama. Hal ini disebabkan oleh penurunan tekanan darah yang cepat

tanpa disertai refleks takikardia sebagai kompensasi, bahkan diperkuat oleh

kerja sentral yang mengurangi aktivitas simpatis, di samping dosis awal

yang terlalu besar. Efek samping yang paling sering berupa pusing

(hipotensi postural), sakit kepala, ngantuk, palpitasi, edema perifer dan

nausea.

1.3 α2-BLOKER SELEKTIF

28
Sebagai α1-bloker yang selektif hanya dikenal yohimbin, yang

ditemukan dalam kulit batang pohon Pausinystalia yohimbe dan dalam akar

rauwoifia.

2. ANTAGONIS ADRENOSEPTOR β( β-BLOKER)

FARMAKODINAMIK

β-bloker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik NE

dan Epi endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada adrenoseptor β.

Potensi penghambatan dilihat dari kemampuan obat ini dalam menghambat

takikardia yang ditimbulkan oleh isoproterenol atau oleh exercise. Karena

penghambatan ini bersifat kompetitif, maka dapat diatasi dengan

meningkatkan kadar obat adrenergik.

FARMAKOKINETIK

Berdasarkan sifat-sifat β-bloker dapat dibagi atas 3 golongan:

(1) β-bloker yang mudah larut dalam lemak, yakni propranolol,

alprenolol,oksprenolol,labetalol, dan metoprolol. Semuanya diabsorpsi

dengan baik dari saluran cerna, tetapi bioavailabilitasnya rendah karena

mengalami metabolisme lintas pertama yang ekstensif di hati.

(2) β-bloker yang mudah larut dalam air, yakni sotalol, nadolol dan atenolol.

Sotalol diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna, dan tidak mengalami

metabolisme lintas pertama yang berarti sehingga diperoleh beioavailabilitas

yang tinggi. Nadolol dan atenolol kurang baik absorpsinya dari saluran

cerna sehingga bioavailabilitasnya rendah.

29
(3) β-bloker yang kelarutannya terletak diantara golongan (1) dan (2), yakni

timolol,bisoprolol,asebutolol dan pindolol. Obat ini diabsorpsi dengan baik

dari saluran cerna, tetapi mengalami metabolisme lintas pertama yang

berbeda derajatnya.

EFEK SAMPING DAN PERHATIAN

Kebanyakan efek samping β-bloker adalah akibat hambatan reseptor

β; efek samping yang tidak berhubungan dengan reseptor β jarang

terjadi.karena itu, β-bloker tidak bermanfaat untuk ansietas kronik maupun

ansietas yang gejala-gejala somatiknya tidak jelas.

3. PENGHAMBAT SARAF ADRENERGIK

Penghambat saraf adrenergik menghambat aktivitas saraf adrenergik

berdasarkan gangguan sintesis, atau penyimpanan dan penglepasan

neurotransmitor di ujung saraf adrenergik.

3.1 GUANETIDIN DAN GUANADREL

GUANETIDIN

Guanetidin adalah prototipe penghambat saraf adrenergik. Guanetidin

dan guanadrel memiliki gugus guanidin yang bersifat basa relatif kuat.

FARMAKODINAMIK

Oleh karena guanetidin menyebabkan pengosongan NE, maka obat ini

menyebabkan hambatan reseptor α maupun β. Guanetidin tidak

mempengaruhi kadar katekolamin dalam medula adrenal maupun

penglepasannya.

30
Guanetidin meningkatkan motilitas saluran cerna dan dapat

menyebabkan diare yang cukup berat. Hal ini dihubungkan dengan

dominasi sistem parasimpatis akibat hambatan sistem simpatis.

FARMAKOKINETIK

Bioavailabilitas oral guanetidin rendah dan bervariasi, antara 3-50%.

Obat ini dengan cepat diangkut ke tempat kerjanya dalam saraf, dari sini

dieleminasi dengan waktu paruh 5 hari. Sekitar 50% mengalami

metabolisme dan sisanya dieksresi utuh dalam urin.

EFEK SAMPING

Efek samping guanetidin bersifat kumulatif dan masih bertahan

berhari-hari setelah pengobatan dihentikan. Yang paling penting adalah

hipotensi ortostatik, yang paling menonjol pada waktu penderita baru

bangun tidur, dan dapat diperberat oleh alkohol, hawa panas atau latihan

fisik.hipotensi dapat disertai gejala-gejala iskemia serebral dan iskemia

miokard. Tekanan darah waktu berdiri dan berbaring perlu dipertimbangkan

dalam menyesuaikan dosis guanetidin.

GUANADREL

Guanadrel dan guanetidin bekerja dengan cara yang sama. Perbedaan

utama antara keduanya adalah dalam sifat-sifat farmakokinetiknya.

Guanadrel tersedia dalam bentuk tablet 10mg dan 25mg.

Efektivitas dan efek samping guanadrel mirip dengan guanetidin,

kecuali insidens diare lebih rendah dengan guanadrel. Interaksi obat pada

pemberian guanadrel juga sama dengan guanetidin.

31
3.2 RESEPRIN

Reseprin adalah alkaloid terpenting dari Ratu wolfia serpentina.

FARMAKODINAMIK

Curah jantung dan resistensi perifer berkurang pada terapi jangka

panjang dengan resepirn. Penurunan tekanan darah berlangsung dengan

lambat. Karena reseprin mengosongkan berbagai amin dalam otak maupun

dalam saraf adrenergik perifer, mungkin efek antihipertensinya merupakan

hasil kerja sentral maupun perifernya. Hipotensi postural dapat terjadi tetapi

biasanya tidak menimbulkan gejala.

FARMAKOKINETIK

Reseprin dimetabolisme seluruhnya, tidak ada bentuk utuh yang

dieksresi dalam urin.

TOKSISITAS DAN EFEK SAMPING

Kebanyakan efek samping reseprin akibat efeknya pada SSP. Yang

paling sering adalah sedasi dan tidak mampu berkonsentrasi atau melakukan

tugas yang kompleks. Kadang-kadang terjadi depresi psikotik sampai

akhirnya bunuh diri.

Efek samping lain adalah hidung tersumbat dan eksaserbasi ulkus

peptikum, yang terakhir ini jarang terjadi pada dosis rendah.

3.3 METIROSIN

Metirosin adalah l-α-metitirosin. Merupakan penghambat enzim

tirosin hidroksilase yang mengkatalisis konversi tirosin menjadi DOPA, dan

yang merupakan enzim penentu dalam biosintesis NE dan Epi. Pada

32
dosisnya 1-4 g sehari, obat ini mengurangi biosintesis NE dan Epi sebanyak

35-80% pada penderita feokromositoma. Efek maksimal terjadi setelah

berhari-hari; efek ini dapat dilihat dengan mengukur kadar katekolamin dam

metabolitnya dalam urin.

E. Pelumpuh Otot

1. PENGHAMBAT TRANSMISI NEUROMUSKULER

Obat dalam golongan ini menghambat tansmisi neuromuskuler

sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme

mekanisme kerjanya, obat ini dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : 1.

(obat penghambat kompetitif yang menstabilkan membran, misalnya d-

tubokorarin. 2obat penghambat secara depolarisasi persisten misalnya

suksinilkolin. Kedua golongan ini akan di bahas bersama

1.2 FARMAKODINAMIK

ACH yang dilepaskan dari ujung saraf motorik akan berinteraksi

dengan reseptor nikotinik otot (NM) dilempeng akhir saraf (ENDPLATE)

pada membran sel otot rangka dan menyebabkan depolarisasi lokal

(endplate potensial, EPP ) yang bisa melewati ambang rangsang (ET) akan

menghasilkan potensial aksi otot (muscleaction pontesial, MAP).

Selanjutnya, map akan menimbulkan kontraksi otot.

d-Tubokurarin dan penghambat kompetitiff lainnya mempunyai cara

kerja yang sama, yaitu menduduki reseptor nikotinik otot(nm) sehingga

menghalanggi interaksinya dengan ech. Akibatanya EPP menurun dan epp

33
yang menurun sampai kurang dari 70% tidak menyapai et sehinga tidak

menghasilkan map dan kontraksi otot tidak terjadi tetapi simulasi listrik

langsung pada ototnya dapat menimbulkan kontrakasi. Influs dalam akson

tidak terganggu.

Berbeda dalam penghambat konpetitif, c10 dan subsinikolin

menghambat dengan cara menimbulkan depolarisasi lokal (endplate

potensial, EEP) yang bila melewati ambang rangsang akan menghasilkan

potensial aksi otot (muscule action potensial, MAP). Selanjutnya, MAP

akan menimbulkan kontraksi otot.

D-Tubokurarin dan penghambat komperititif lainnya mempunyai cara

kerja yang sama, yaitu sama memnduduki reseptor nikotinik otot (NM)

sehingga menghalagi interaksinya dengan Ach. Akibatnnya EPP menurun,

dan EPP yang menurun sampai kurang dari 70% tidak mencapai Et sehingga

tidak menghasilkan MAP dan kontraksi otot tidak terjadi. Tetapi stimulasi

listrik langsung pada ototnya dapat menimbulkan kontraksi. Impuls dalam

akson tidak terganggu.

Berbeda dengan penghambat kopetitif, C10 dan sunsisnilkotin

menghambat dengan cara menimbulkan depolarisasi persisten pada lempeng

akhir saraf (EPP persisten pada lempeng diatas Et) karena obat-obat ini

bekerja sebagai agonis ACh tetapi tidak segera dipecah seperti halnya

dengan ACh. Jadi, hambatan ini menyerupai efek ACh dalam dosis besar

sekali atau seperti pemberian antikolinesterase. Pada mulanya EPP

menghasilkan beberapa MAP yang menyebabkan terjadinya fiikulasi otot

34
sellintas. Kemudian memban otot mengalami akomodasi terhadap

rangsangan yang persisten dari EPP sehingga tidak lagi membentuk MAP,

kejadian ini desibut blok fase I. kejadian ini disusul dengan repolarisasi EPP

walaupun obat masih terikat pada reseptor NM. keadaan desensilisasi

reseptor terhadap obata ini disebut blok fase II. Sifat relaksasi otot rangka,

kurare menyebabkan kelumpuhan dengan urutan tertentu. Pertaj,a ialah otot

rangka yang kecil dan bergerak cepat seperti otot ekstrinsik mata, jara kaki

dan tangan, kemudian disusul oleh otot yang lebih besar seperti otot-otot

tangan,tungkai,leher dan badan. Selanjutnya otot interkotal dam yang

terakhir lumpuh adalah diafragma. Kemudian dapat dihindarkan dengan

memberikan napas buatan sampai otot-otot pernapasan berfungsi kembali

(masa kerja d-Tc kira-kira 1/2 jam) penyembuhan terjadi dengan urutan

terbalik, dengan demikian diafragma yang pertama sekali sembuh dan otot-

otot kecil yang paling akhir.

Suksinilkolin mempunyai oerbedaan penting dengan obat pelumpuh

otot yang lain dalam keccepatan dan lama kerjanya . dengan sifatnya ini,

derajat relaksasi otot rangka dapat diubah dalam 1/2 – 1 menit setelah

pengubahan kecepatan infus. Setelah penghentian infus, efek relaksasi

hilang dalam 5 menit.

1.3 FARMAKOKINETIK

Semua pelumpuh otot tidak dengan baik melalui usus kecuali β-

eritroidin, yang merupakan bahan aktif dalam racun panah tidak

35
menyebabkan keracunan jika daging hewan yang mati terpanah itu dimakan

oleh orang indian. Namun tubokasin diserap dengan baik melalui

penyuntikan IM. Pada manusia, 2/3 dari dosis d-tubokarin diekskresi utuh

dalam urin. Walaupun efek paralisis mulai menghilang dalam waktu 20

menit setelah suntikan IV, beberapa gejala masih terlihat sampai 2-4 jam

atau lebih. Distribusi, eliminasi dan masa kerja metokurin sama dengan

tubokurarin. Pankuronium sebagian mengalami hidroksilasi diati, tetapi juga

mempunyai masa kerja yang sama. Atrakurium dikonversi oleh esterase

plasma dan secara spontan menjadi metabolit yang kurang aktif, hal ini

menyebabkan masa kerjanya setengah dari masa kerja pankuronium (sekitar

30 menit). Vekuronium sebagian mengalami metabolism, masa kerjanya

juga setengah masa kerja pankuronium, dan tidak memperhatikan kumulasi

pada pemberian berulang, galamin dan C10 hampir seluruhnya dieksresi

utuh melalui ginjal.

Suksinilkolin dengan cepat dihidrosis oleh pseudokolinesterase

yang banyak terdapat dalam hepar dan plasma, sehingga masa kerjanya

sangat pendek. Diantara penderita dengan apne yang berkepanjangan setelah

pemberian suksinilkolin, sebagian mempunyai kolinesterase plas,a yang

atipik atau defisiensi enxim tersebut akibat kelainan genetic, penyakut hati

atau gangguan gizi tetapu pada beberapa orang, aktivitas esterase plasma

normal.

1.4 EFEK SAMPING

36
Efek toksik yang ditimbulkan oleh obat golongan ini disebabkan

dosis berlebih atau sinergisme dengan berbagai macam obat. Yang paling

sering dialami ialah apne yang terlalu lama, kolaps kardiovaskuler dan

akibat penglepasan histamin.

2. PENGHAMBATEXCITATION CONTRATION COUPLING

2.1 DANTROLEN

2.1.1 FARMAKODINAMIK

Dantrolen menyebabkan kelumpuhan otot rangka dengan cara

menghambat penglepasan ion Ca dari retikulum sarkoplasmik kekuatan

kontraksi otot menurun paling banyak 75-80%. Dalam dosis terapi, obat ini

tidak mempengaruhi saraf, otot jantung, maupun otot polos, dan juga tidak

mempunyai kerja GABA-ERGIK.

2.1.2 FARMAKOKINETIK

Absorbsi oral lebih dari 70%, kadar puncak dicapai setelah satu

sampai empat jam metabollik utamanya, 5-hidroksidantrolen, aktif tetapi

lebih lemah dibanding dantrolen sendiri. Waktu paruh dantrolen 6-9 jam,

sedangkat waktu paruh 5-hidroksidantrolen 15,5jam. Kadarnya meningkat

dengan peningkatan dosis sampai 200mg sehari, tetapi tidak dengan dosis

400mg sehari (Karena terbatasnya kapasitas arbsofsi atau ikatan protein).

Dosis oral melebihi 100mg sehari seringkali tidak meningkatkan efek obat.

Dantrolen tersedia dalam bentuk kapsul 25,50 dan 100mg, dan

bubuk steril 20mg untuk dilarutkan menjadi 70ml larutan IV yang

37
mengandung 0,32mg dantrolen atau ml dan diare. Reaksi hipersensitifitas

berupa kerusakan hati yang dapat berakibat fatal.

2.1.3 EFEK SAMPING

Efek samping yang sering terjadi yaitu kelemahan otot, mengantuk,

pusing, malaise dan diare. Resiko terjadinya reaksi ini paling tinggi pada

wanita diatas 35 tahun dan 3-12 bulan pengobatan. Kebanyakan kasus

refersifel bila obat dihentikan. Obat ini dikontraindikasikan pada penyakit

hati yang aktif.

F. Obat Ganglion

Transmisi di ganglion lebih rumit di bandingkan dengan transmisi di

sambungan saraf-efektor. Dengan pencatatan elektroda lntrasel didapatkan

sekuang-kurangnya 4 perubahan potensial pada perangsangan ganglion.

Aksi potensial yang primer terjadi sehubungan dengan depolarisasi

membran pascasinaps oleh asetilkolim. Reseptornya dikenal sebagai

reseptor nikotinik, dan reseptor ini sensitif terhadap penghambatan oleh

heksametonium. Aktivasi melalui jalur (pathway) ini terlihat sebagal

potensial perangsangan pascasinaps awal (EPSP). Depolarisasi ini terjadi

cepat, terutama disebabkan oleh arus Na+ ke dalam sel akibat transmisi

kolinergi. EPSP tersebut menimbulkan aksi potensial pada saraf

pascaganglion bila dicapai ampiltudo tertentu. Pada mamalia perlu

dirangsang banyak sinaps untuk menghasilkan transmisi yang efektif di

ganglion.

38
Jalur transmisi sekunder tidak sensitif terhadap penghambatan dengan

heksametonium. Polensial aksi yang lerjadi terdiri dari (1) EPSP lambat

(slow EPSP) (2) EPSP akhir yang juga lambat, dan (3) suatu IPSP

(inhibitory postsynaptic potential). EPSP lambat ditimbulkan oleh agonis

muskarinik dan diblok oleh akropin. EPSP lambat ini memperlihatkan masa

laten panjang dan berlangsung 30-60 sekon, berbeda dengan EPSP akhir

yang berlangsung beberapa menit. Yang terakhir ini diinisiasi oleh peptida

yang ditemukan di gangllon tertentu Kedua EPSP lambat ini disebabkan

oleh penurunan konduktan K+. Depolarisasi mengaktifkan saluran K+,

sedangkan agonis muskarinik dan peptida menekan konduktan saluran ini.

IPSP, juga tidak sensitif terhadap heksametonium tetapi sering kali dapat

diblok oleh atropin. Terdapat bukti-bukti yang menyokong peranan

katekolamin dalam terjadinya IPSP. Atas dasar fakta yang ditemukan

diduga bahwa ACh yang dilepaskan saraf pregangIinon berinteraksi dengan

suatu neuron perantara yang melepaskan katekolamin. IPSP ini dapat diblok

oleh antagonis adrenoseptor maupun atropin, sehingga diduga ACh yang

dilepas berinterksi dengan interneuron yang melepaskan katekolamin yang

selanjutnya menyebabkan hiperpolarisasi sel ganglion. Jalur transmisi

sekunder ini hanya memodulasi jalur transmusi yang pertama yaitu dengan

meningkatkan atau menekan sinyal yang ada. Penghambatan jalur pertama

jelas menghambat transmisi ganglion, sedang penghambalan jalur sekunder

tidak selalu menyebabkan hambatan transmisi. diduga jalur transmisi kedua

ini berperan bila transmisi primer gagal.

39
Zat yang menstimulasi koinoseptor di ganglion otonom dapat dibagi 2

golongan. Golongan pertama terdiri dari nikotin dan lobelin Efek

perangsangannya terjadi cepat, diblok oleh heksametonium dan mirip EPSP

awal. Golongan kedua adalah muskarin, metakolin dan sebagian

antikolinesterase. Efek perangsangannya timbul lambat, diblok oleh atropin,

dan mirip EPSP lambat.

Zat penghambat ganglion juga ada 2 golongan yaitu yang merangsang

lalu menghambat, dan yang langsung menghambat. Nikotin merupakan

prototip golongan pertama. sedang heksametonium dan trimetafan termasuk

golongan kedua. Obat perangsang ganglion tidak dibahas dalam buku ini

karena tidak ada kepentingan klinisnya. Pada bab ini akan dibahas nikotin

sebagal prototip penghambat ganglion golongan satu, kemudian

heksametonium, mekamilamin dan trimetafan sebagai penghambat

golongan kedua.

OBAT YANG MERANGSANG GANGLION

Nikotin penting bukan karena kegunaannya dalam terapi tetapi karena

terdapat dalam tembakau. Bersifat toksis dan menimbulkan ketergantingan

psikis. Nikotin pertama kali diisolasi dari Nicotiana tabacum oleh Posselt

dan Reiman di tahun 1828. kemudan Orfila melakukan penelitian

farmakologik di tahun 1843. Langley dan Dickinson di tahun 1889

mendemonstrasikan bahwa tempat kerjanya di ganglion.

KIMIA.

40
Nikotin merupakan alkaloid alam berbentuk cairan. Tidak berwarna,

suatu basa yang mudah menguap (volatile base) dengan pKa =8,5. Zat ini

berubah warna menjadi coklat dan berbau mirip tembakau setelah

bersentuhan dengan udara. Kadarnya dalam tembakau antara 1-2%.

FARMAKODINAMIK

GANGLION. Perubahan dalam tubuh setelah pemberian nikotin

sangat rumit dan sering tidak dapat diramalkan. Hal ini disebabkan kerja

nikotin yang sangat luas terhadap ganglion simpatis maupun parasimpatis

dan efek bifasiknya terhadap ganglion. Takikardi misalnya dapat terjadi

karena perangsangan ganglion simpatis atau penghambatan ganglion

parasimpatis, hal yang sebaliknya mendasari terjadinya bradikardi. Selain

itu nikotin dapat merangsang medula adrenal dengan akibat penglepasan

katekolamin yang menimbulkan takikardi dan kenaikan tekanan darah. Efek

yang terlihat merupakan suatu resultante dari berbagai mekanisme tersebut,

ditambah lagi dengan keadaan tonus jaringan sewaktu obat diberikan dan

refleks-refleks kompensasi tubuh.

Perangsangan ganglion terjadi dengan dosis kecil dan disebabkan oleh

depolarisasi; dengan dosis yang lebih besar terjadi penghambatan ganglion

karena elek depolarisasi persisten. Efek bifasik lni juga terlihat pada medula

adrenal yang secara embriologik merupakan suatu ganglion simpatis.

OTOT RANGKA. perubahan yang terlihat pada otot rangka dapat

disamakan dengan apa yang terjadi pada ganglion karena terdapat juga 2

41
fase. Tetapi efek nikotin terhadap ganglion jauh lebih jelas dan spesifik.

Selain itu fase perangsangan kurang jelas karena ditutupi oleh efek paralisis

yang timbul cepat.

SUSUNAN SARAF PUSAT. Nikotin adalah suatu perangsangan SSP

yang kuat yang akan menimbulkan tremor serta konvulsi pada dosis besar.

Belum dapat dipastikan tempat mana di SSP yang menerima impuls

perangsangan ini, mungkin dikorteks serebri, substansia retikularis atau

hipokampus. Efek sentral ini dapat dihambat dengan berbagai jenis obat

misalnya atropin, kurare, obat antikonvulsi hipnotik dan adrenolitik.

Perangsangan medula oblongata mengakibatkan stimulasi respirasi yang

pada dosis toksik disusul dengan depresi. Hal ini, ditambah dengan

penghambatan otot respirasi, merupakan sebab kematian pada keracunan

nikotin.

SISTEM KARDIOVASKULAR. Efek pada sistem ini merupakan

resultante dari perangsangan ganglion dan medula adrenal. Setelah

pemberian nikotin biasanya tonus simpatis lebih jelas sehingga terlihat

takikardia dan vasokonstriksi. Marokok untuk jangka waktu lama dapat

menimbulkan hipertensi. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu dapat

terjadi hipotensi; hal ini terlihat pada mereka yang mengalami hipotensi bila

merokok.

SALURAN CERNA. Berlainan dengan efek terhadap sistem

kardiovaskular, nikotin menyebabkan perangsangan parasimpatis pada usus.

42
Tonus usus dan peristalsis meninggi, kadang-kadang menyebabkan muntah.

Efek farmakodinamik ini agaknya mendasari kebiasaan merokok sebelum

ke kamar kecil pada individu tertentu.

KELENJAR EKSOKRIN. Salivasi yang timbul waktu merokok

sebagian diakibatkan oleh iritasi asap rokok, namun nikotin sendiri

menyebabkan perangsangan sekresi air liur dan sekret bronkus disusul

penghambatannya.

FARMAKOKINETIK

Nikotin dapat diserap dari semua tempat termasuk kulit. Keracunan

berat dilaporkan terjadi akibat absorpsi dikulit. Absorpsi di lambung sedikit

karena sifat nikotin sebagai basa kuat. Absorpsi intestinal cukup untuk

menyebabkan keracunan per oral. Nikotin terutama mengalami metabolisme

dihati, juga diparu dan ginjal. Nikotin yang diinhalasi, dimetabolisme dalam

jumlah yang berarti diparu-paru. Metabolit utamanya ialah kotinin dan

nikotin-1'-N-oksid. Masa paruh setelah pemberian oral atau parenteral kira-

kira 2 jam. Kecepatan ekskresi melalui urin tergantung dari pH urin;

berkurang pada pH alkali dan meningkat pada pH asam. Nikotin diekskresi

melalui air susu. Kadarnya dalam air susu pada perokok berat dapat

mencapai 0,5mg/l.

INTOKSIKASI

INTOKSIKASI AKUT. Dosis fatal pada manusia diperkirakan sekitar

60mg. Satu batang rokok putih mengandung 15-20mg nikotin. Tiga hingga

43
4 batang rokok dalam air sudah merupakan dosis fatal bila diminum

sekaligus. Absorpsi nikotin dalam tembakau per oral terjadi lambat, karena

terjadi penundaan pengosongan lambung. Selain itu, muntah yang

berdasarkan efek sentral oleh fraksi yang diabsorpsi, mengeluarkan

tembakau yang tersisa di lambung.

Gejala keracunan dapat timbul cepat sekali dan kematian mungkin

terjadi dalam beberapa menit. Karena itu nikotin merupakan racun yang

amat berbahaya dan menyamai sianida dalam kecepatan kerjanya. Pertama-

tama timbul mual dan salivasi disertai dengan kolik usus, muntah dan diare.

Selanjutnya timbul keringat dingin, sakit kepala, pusing, pendengaran dan

penglihatan terganggu, serta otot-otot menjadi lemah. Frekuensi napas

meninggi dan tekanan darah naik; nadi pada permulaan lambat dan akhirnya

menjadi cepat. Pupil menunjukkan miosis yang kemudian berubah menjadi

midriasis. Sebelum kematian yang dapat terjadi dalam beberapa menit,

tekanan darah turun dan pernapasan menjadi dangkal akibat depresi sentral

dan kelumpuhan otot respirasi.

Tidak ada obat spesifik untuk keracunan nikotin, karena itu tindakan

mengatasinya bersifat simtomatik. Bila diduga racun masih tertinggal

dilambung, bilas lambung penting sekali dilakukan. Untuk ini dapat dipakai

larutan kalium permanganat 1:10.000 untuk mengoksidasi nikotin,

sedangkan zat alkali tidak dianjurkan karena akan mengakibatkan absorpsi

nikotin. Bila pernapasan buatan dapat dilakukan, ada kemungkinan ekskresi

44
melalui ginjal dapat mengakhiri keracunan. Tidak dibenarkan menggunakan

obat perangsang sentral untuk mengatasi depresi napas.

INTOKSIKASI KRONIK

Keadaan ini biasanya terjadi pada perokok berat. Dalam asap rokok,

nikotin tidak diserap dengan sempurna sehingga sebagian kecil saja

mencapai aliran darah. Selain nikotin, masih terdapat kira-kira 500 jenis zat

kimia yang berefek buruk yang dihasilkan pada pembakaran tembakau,

diantaranya : piridin, asam-asam yang mudah menguap, bahan-bahan ini

tentu menambah sifat toksik dari asap rokok. Perangsangan terhadap saluran

napas menyebabkan penderita mudah terserang penyakit saluran napas

seperti faringitis, dan sindrom pernapasan perokok (smoker's respiratory

syndrome).

Frekuensi karsinoma bronkus jelas lebih besar pada pecandu rokok

dibanding bukan perokok dengan perbandingan 11:1. Asap rokok

merangsang kelenjar air liur dan mengurangi rasa lapar. Terhadap jantung.

Merokok dapat menyebabkan ekstrasistol dan takikardi atrium paroksismal

pada beberapa penderita; frekuensi serangan nyeri jantung dapat meningkat

pada perokok. Penyakit buerger mempunyai hubungan yang amat jelas

dengan merokok. Vasokonstriksi perifer terutama didaerah kulit

menyebabkan perasaan dingin dan ini mungkin disebabkan oleh efek

terhadap ganglion simpatis. Perangsangan sentral oleh nikotin berupa tremor

45
dan insomnia. Hal yang terakhir ini mungkin terlihat pada mereka yang

merokok banyak sekali pada malam hari.

OBAT PENGHAMBAT GANGLION

Dalam golongan ini termasuk : heksametonium (C6), pentolinium

(C5), tetraetilamonium (TEA), klorisondamin, mekamilamin dan trimetafan.

Berbeda dengan penghambatan oleh nikotin dan metakolin, efek

penghambatan obat-obat tersebut tidak diketahui oleh suatu perangsangan.

Hambatan ini terjadi secara kompetitif dengan menduduki reseptor

asetilkolin. Penglepasan asetilkolin dari ujung serat prasinaps tidak

diganggu.

FARMAKODINAMIK

Kerja C6 dan obat-obat lain dalam golongan ini pada alat tubuh

hampir semua nya dapat diterangkan dengan penghambatan pada ganglion

simpatis dan parasimpatis. Hasil penghambatannya bergantung pada tonus

otonom semula; tonus yang dominan akan dihambat lebih jelas.

Heksametonium adalah prototip golongan ini.

SISTEM KARDIOVASKULAR Arteri dan vena didominasi oleh

tonus simpatis, sehingga heksametonium menghambat lebih nyata ganglion

simpatis dan menyebabkan vasodilatasi serta pengurangan alir balik vena.

Tekanan darah dalam sikap berdiri dapat menurun dan menimbulkan

hipotensi ortostatik. Dalam sikap berbaring, tekanan darah tidak begitu

banyak dipengaruhi.

46
Perubahan denyut jantung setelah pemberian penghambat ganglion

tergantung tonus semula. Umumnya, terjadi takikardi ringan karena jantung

didominasi tonus parasimpatis. Tetapi bradikardia dapat terjadi bila

sebelumnya denyut jantung tinggi.

SALURAN CERNA DAN SALURAN KEMIH Sekresi lambung jelas

berkurang sesudah pengobatan dengan C6; begitu juga sekresi pankreas

serta air liur. Tonus dan peristalsis lambung, usus kecil serta kolon dihambat

sehingga keinginan untuk defekasi tidak ada. Ini merupakan efek samping

yang sangat mengganggu pada pengobatan dengan obat golongan ini.

Penghambatan ganglion vagal juga mengurangi tonus kandung kemih dan

menambah kapasitasnya sehingga terjadi retensi urin dan kesukaran

berkemih.

EFEK LAIN

Pupil umumnya akan mengalami midriasis karena tonus parasimpatis

yang lebih dominan dalam pengaturan lebar pupil. Pada pengobatan dengan

heksametonium, hasilnya ialah suatu midriasis yang moderat. Kelenjar

keringat dihambat, dan pada dosis yang lebih besar, terlihat juga efek

kurariform terhadap sambungan saraf-otot. Trimetafan dapat menyebabkan

penglepasan histamin sehingga harus digunakan dengan hati-hati pada

pasien alergi.

FARMAKOKINETIK

47
Absorpsi oral dari obat golongan ini sangat tidak teratur karena

senyawa-senyawa tersebut tergolong dalam amonium kuaterner yang sukar

melewati membran sel. Selain itu hambatan pengosongan lambung dapat

memperlambat absorpsi diseling dengan episode penyerapan dalam jumlah

besar akibat beberapa dosis obat sekaligus masuk usus halus dari lambung.

Oleh karena itu dosis sukar sekali ditetapkan. Pengecualian untuk ini ialah

mekamilamin yang diserap secara lengkap oleh usus, terutama karena

sebagian obat ini diekskresi dalam lumen usus melalui empedu dan diserap

kembali. Selain itu mekamilamin bukan suatu amonium kuartener sehingga

dapat melewati sawar darah otak dan sawar uri. Walaupun absorpsi

mekamilamin lebih baik, tetap ada bahaya penurunan aktivitas usus dengan

akibat paralisis usus. Kadar tunggu mekamilamin terkumulasi di hati dan

ginjal dan masa kerjanya relatif lama. Sebagian besar obat gangliolitik

diekskresi oleh ginjal dalam bentuk asal sehingga akumulasi dapat timbul

pada gagal ginjal.

EFEK SAMPING

Karena efek farmakodinamiknya yang luas, maka obat ganglionik

menimbulkan efek samping yang sangt mengganggu. Reaksi yang paling

mengganggu dan mungkin berbahaya ialah hipotensi ortostatik, sembelit

dengan kemungkinan ileus paralitik dan retensi urin. Hipotensi ortostatik

pada pengobatan hipertensi berat pada mencetuskan gagal jantung kiri yang

fatal. Efek inu juga berbahaya pada penderita insufisiensi koroner dan

ginjal. Hipotensi ortostatik demikian beratnya sehingga hampir tidak

48
memungkinkan pemberian penghambat ganglion pada penderita yang

berobat jalan.

49
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sistem saraf otonom atau saraf tak sadar merupakan bagian dari

sistem saraf tepi (SST) yang terletak khusus pada sumsum tulang belakang

yang bekerja mengatur dan mengendalikan otot jantung, otot–otot polos,

dan sejumlah kelenjar secara permanen. Menurut efek utamanya maka

obat otonom dapat dibagi menjadi 5 golongan obat saraf otonom, yaitu:

1. Parasimpatomimetik atau kolinergik

2. Simpatomimetik atau adrenergik

3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik

4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik

5. Obat ganglion

3.2 Saran

Kami selaku penulis menyarankan kepada para pembaca agar

kiranya dapat memperhatikan klasifikasi dan efek samping dalam obat

saraf otonom sehingga kita bisa cermat dalam memilih obat yang akan kita

makan tatkala kita sakit dikemudian hari.

50
DAFTAR PUSTAKA

Farmakologi dan Teurapetok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1995.

Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Kee, Joyce. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC.

51

Anda mungkin juga menyukai