Anda di halaman 1dari 18

You'll Never Ever Walk Alone,,

Selasa, 23 Agustus 2011

FARMAKOKINETIKA OBAT – OBAT


ADRENERGIK
BAB I
PENDAHULUAN

SISTEM SARAF PUSAT (SSP)

Sistem saraf pusat (SSP)  terdiri dari otak dan medulla spinalis merupakan system saraf utama
dari tubuh, sedangkan system saraf tepi terletak diluar otak dan medulla spinalis,terdiri dari dua
bagian, otonomdan somatic. Setelah ditafsirkan di SSP, system saraf tepi menerima rangsangan dan
memulai respon terhadap rangsangan itu.

Obat yang mempengaruhi sistem saraf sangat banyak. Berdasarkan cara kerja dan sifatnya obat
yang mempengaruhi sistem saraf dapat dikelompokkkan menjadi:
1. Obat yang mempengaruhi sistem saraf parasimpatik yang terdiri atas obat-obat kolinergik,
antikolinergik dan antikolinesterase
2. Obat yang mempengaruhi sistem saraf simpatik yang terdiri atas obat adrenergik dan
antiadrenergik
3. Obat anastetik dan analgesik
4. Obat antiansietas, sedatif dan hipnotik
5. Obat antiepilepsi
6. Obat psikotropik

SARAF OTONOM

System saraf otonom dibagi menjadi dua yaitu system saraf simpatis dam system saraf
parasimpatis yang bekerja pada organ- organ yang sama tetapi  menghasilkan respon yang
berlawanan  agar tercapainya homeostatis (keseimbangan), system saraf simpatis  dikenal juga system
saraf adrenergic (simpatomimetik) sedangkan system saraf parasimpatis disebut jug asistem saraf
kolinergik (parasimpatpmimetik).

Sistem saraf otonom disebut juga sebagai system visceral, bekerja pada otot polos dan kelenjar
yang merupakan system saraf involunter yang kita tidak atau sedikit bisa kendalikan, berfungsi untuk
mengatur dan mengendalikan jantung, system  sedangkan system saraf somatik merupakan system
saraf volunter yang mensarafi otot rangka, yang dapat kita kendalikan.

Dua perangkat neuron dalam komponen otonom pada system saraf perifer adalah neuron aferen
atau sensorik yang mengirim implus ke SSP dan neuron eferen atau motorik yang menerima implus
dari otak dan meneruskan implus ini melalui jendela spinalis ke sel-sel organ efektor.

      Anatomi Susunan Saraf Otonom           

Saraf otonom terdiri dari saraf praganglion, ganglion, dan saraf pasca ganglion yang
mempersarafi sel efektor. Lingkaran saraf refleks saraf otonom terdiri dari : serat aaferen yang
sentripetal disalurkan melalui N, vagus, pelvikus, splanknikus dan saraf-saraf otonom lainnya. Tidak
ada perbedaan yang jelas antara serabut aferen system saraf otonom dengan serabut aferen sisten saraf
somatic, sehingga tidak dikenal obat yang secara spesifik dapat memepengaruhi serabut aferen
otonom.

Saraf otonom juga berhubungn dengan saraf somatic; sebaliknya, kejadian somatic dapat
mempengaruhi fungsi organ otonom. Pada susunan saraf pusat terdapat beberapa pusat otonom,
misalnya di medulla oblongata terdapat pengaturan pernapasan dan tekanan darah; hipotalamus dan
hipofisis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan air metabolisme karbohidarat dan lemak, pusat
tidur, dsb. Hipotalamus dianggap sebagai pusat susunan saraf otonom. Walaupun demikian ada pusat
yang lebih tinggi lagi yang dapat mempengaruhinya yaitu krpus striatum dan korteks serebrum yang
dianggap sebagai koordinator antara system otonom dan somatic.
Serat eferen terbagi dalam system simpatis dan parasimpatis.

Sistem simpatis disalurkan melalui serat torakolumbal dari torakal 1 sampai lumbal 3, dalam
system ini termasuk ganlia paravertebral, pravertebal, dan ganglia terminal.

Sistem parasimpatis atau kranosakal outflow disalurkan melalui saraf otak ke III, VII, IX, dan
X, dan N.

      Perbedaan antara system saraf otonom dan somatic :


· Saraf otonom menginervasi semua struktur dalam tubuh kecuali otot rangaka.
· Sinaps saraf aotonom yang paling distal terletak dalam ganglia yang berada di luar susunan saraf
pusat. Sinaps saraf somatic semuanya terletak di dalam susunan saraf pusat.
· Saraf otonom membentuk pleksus yang terletak di luar susunan saraf pusat, saraf somatic tidak
membentuk pleksus.
· Saraf somatic diselubungi sarung myelin, saraf otonom pasca ganglion tidak bermielin.
· Saraf otonom menginervasi sel efektor y ang bersifat otonom; artinya, sel efektor itu masih dapat
bekerja tanpa persarafan. Sebaliknya jika saraf somatic outus maka otot rangka yang bersangkutan
mengalami paralysis dan kemudian atrofi.

      Faal Susunan Saraf Otonom

Secara umum dapat dikatakan bahwa system simpatis dan parasimpatis memperlihatkan
fungsi ang antagonistic. Bila satu mengahambat suatu fungsi , maka yang lain memacu fungsi
tersebut. Contoh yang jelas adalah midriasis terjadi dibawah pengaruh saraf simpatis dan miosis di
bawah pengaruh parasimpatis.

Organ tubuh umunya di persarafi oleh saraf simaptis dan para simpatis, dan tonus yang erlihat
amerupakan hasil perinbangan kedua system tersebut. Inhibisi salah satu system oleh obat maupun
akibat denervasi menyebabkan aktifitas organ tersebut didominasi oleh siatem yang lain. Tidak pada
semua organ terjadi antagonisme ini, kadang-kadang efeknya sama, missal pada kelenjar liur. Sekresi
liur dirngsang baik oleh saraf simpatis maupun parasimpatis, tetapi sekrket yang dihasilkan berbeda
kualitasnya; pada perangsanagn simpatis luir kental, sedang pada perangsangan parasimpatis liur lebih
encer.

Sistem simpatis aktif setiap saat walupun aktifitasnya bervariasi dari waktu ke waktu. Dengan
demikian penyesuaian tubuh terhadap lingkungan terjadi terus menerus . Dalam keadaan darurat
system simpatoadrenal berfungsi sebagai satu kesatuan. Sistem ini bekerja secara serentak: denyut
jantung meningkat, tekanan darah meningkat, darah terutama dialirkan ke otot rangaka, glukosa darah
meningkat, dilatasi bronkus, dan midriasis.

Sistem simpatis fungsinya lebih terlokalisasai , tidak difus seperti system simpatis, dengan
fungsi primer reservasi dan konservasi sewaktu aktifitas organisme minimal. Sistem ini
mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah pada fungsi basal, menstimulasi system
pencernaan berupa peniengakatanaaa motilitas dan sekresi getah pencernaan, meningkatkan absorbsi
makanan, memproteksi retina terhadap cahaya berlebihan, serta mengosongkan rectum dan kandung
kemih.

      Transmisi Neurohumoral    

Yang disebut dengan transmitor neurohumoral atau yang biasa disingkat dengan transmitor
ialah impuls saraf dari SSP yang hanya dapat diteruskan ke ganglion dan sel efektor memalaluii
penglepasan zat kimia. Tidak banyak obat yang pada dosis terapi dapat mempengaruhi konduksi
akson, tetapi banak sekali xazat yang dapat mengubah transmisi neurohumoral. Konduksi saraf hanya
dapat dipengaruhi oleh anantetik local dosis terapi yang diinfiltrasikan dalam kadar yang relatif tinggi
di sekitar batang saraf, an oleh beberapa zat lain seperti tetrodoktosin.

Suatu transmisi neurohumoral tidak selalu menyebabkan depolarisasi tetapi juga dapat
menyebabkan hiperpolarisasai. Hiperpolarisasi pada embran saraf pasca ganglion disebut potensial
inhibisi pascasidaps dan menyebabkan hambatan organ pasca sinaps Hi perpolarisasi terjadi akibat
peningkatan permeabilitas ion K+.

Ada empat tahap trasmisi neurohumoral, yaitu sintesis, penyimpanan, penglepasan, ikatan
dengan reseptor, dan eliminiasi transamitor yang merupakan dasar untuk pengertian kerja obat
otonom. Obat yang bekerja pada saraf otonom mempengaruhi salah satu tahap transmisi
neurohumoral tersebut, yaitu pada transmisi adrenergik atau kolinergik tanpa membedakan apakah
saraf tersebut termasuk system simpatis, parasimpatis, atau somatic. Hal tersebut menjelaskan
mengapa pembicaraan obat yang bekerja pada saraf otonom bertolak dari transmisi kolinergik ke
transmisi adrenergik dan bukan simpatis-parasimpatis. Demikian juga dari segi farmakologi tidak
perluada pembicaraan mengenai obat yang bekerja pada sarafsomatik secara terpisah karena saraf
somatic ialah suatu saraf kolinergik.

      Transmisi Kolinergik
Terdapat dua jenis enzim yang berhubungan erat dengan Ach yaitu kolinasetilase dan kolinesterase.

       Kolinasetilase
Zat ini mengkatalis sintesis ACh, pada tahap pemindahan gugus asetil dari asetilkoenzim-A ke
molekul kolin. Reaksi merupakan langakh terakhir dalam sintesis ACh , yang terjadi dalam sitoplasma
ujung saraf, yang kemudian ditransportsi ke dalam gelembung sinaps tempat ACh disimpan dalam
kadar tinggi.

        Kolinesterase
Asetilkolin sebagain transmitor harus diinaktifkan dalam waktu yang cepat. Kecepatan inaktivasi
tergantung dari macamnya sinaps dan macanm neuron. Kolinesterase yang tersebar luas di berbagai
jaringan dan cairan tubuh, menghidrolisis Ach menjadi kolin dan asam asetat.

      Transmisi Adrenergik

       Katekolamin

  Sintesis, Penyimpanan, Pelepasan, dan Terminasi Kerjanya:


Proses sintesis ini terjadi di ujung saraf adrenergic. Enzim-enzim yang berperan disintesis dalam
badan sel neuron adrenergic dan ditransportsepanjang aksonke ujung saraf.

  Tiramin dan beberapa aminsimpatomimetik lainnya menyebabkan pelepasan NE dengan dasar yang
berbeda dengn impuls saraf dan memperlihatkan fenomen tafilaksis. Tafilaksis berarti organ
mengalami toleransi dalam waktucepat sehingga efek obat sangat menurun pada pemberian berulang.
Perangsangan saraf masih menyebabkan transmisi adrenergic setelah saraf tidak lagi dapat dirangsang
dengan obat-obatan ini.

  Cara pelepasan NE dari ujung saraf adrenergic setelah suatu NAP sama dengan pelepasan Ach dari
ujung saraf kolinergik, yakni dengan proses eksositosis. Depolarisasi ujung saraf akan membuka
kanal Ca++. Ca++ yang masuk akanberikatan dengan membrane sitoplasma bagian dalam yang
bermuatan negative dan menyebabkan terjadinya fusi antara membrane vesikel dengan membrane
aksoplasma, dengan akibat dikeluarkannya seluruh isi vesikel.

       Metabolisme Epinefrin dan Neronefrin

  Peranan metabolism pada NE dan Epi agak berlainan dengan peranan metabolism pada ACh.Hidrolisis
Ach berlangsung sangat cepat, sehingga dapat menghentikan respons. Pada katekolamin terdapat 2
macam enzim yang berperan dalam metabolismenya,yakni katekol-O-metiltransferase (COMT) dan
monoaminoksidase (MAO). MAO berada dalam ujung saraf adrenergic sedangkan COMT berada
dalam sitoplasma jaringan ekstraneuronal (termasuk sel efektor). COMT menyebabkan metilasi dan
MAO menyebabkan deaminasi kateklamin MAO maupun COMT tersebar luas di seluruh tubuh,
termasuk dalamotak, dengan kadar paling tinggi di hati dan ginjal.

       Reseptor Adrenergik
  Klasifikasi, Distribusi, dan Mekanisme Kerjanya:

 Konsep reseptor α dan β pada sel efektor yang distimulasi oleh agonis adrenergic dan hanya
dihambat oleh antagonisnya, memudahkan pengertian tentang mekanisme kerja obat adrenergic. Pda
umumnya, efek yang ditimbulkan melalui reseptor α pada otot polos adalah perangsangan, seperti
pada otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, Sebaliknya, efek melalui reseptor β pad otot polos
adalah penghambat, seperti pada otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka. Salah
satu kecualiannya adalah otot polos usus yang mempunyai kedua reseptor α dan β, dan aktivasi
keduanya menimbulkan efek penghambatan.

      Respon Berbagai Organ Efektor Terhadap Perangsangan Saraf Otonom


1. Perangsangan saraf adrenergic

Pada perangsangan adrenergic dilepaskan NE dari ujung saraf adrenergic dan Epi dari medulla
adrenal. Respon suatu organ otonom terhadap perangsangan saraf adrenergic bergantung pada jenis
reseptor adrenergic yang dimiliki organ tersebut serta senis organ itu sendiri. Misalnya otot polos
pembuluh darah kulit hanya mempunyai reseptor α dan tidak mempunyai reseptor β, maka
perangsangan saraf adrenergic akan menyebabkan vasokontriksi dan tidak vasodilatasi.
Pada arteriol koroner, paru, dan otot rangka,vasodilatasi dominan akibat autoregulasi metabolic.
Epinefrin dalan kadar fisiologis menyebabkan vasodilatasi (dominasi respon reseptor β) pada otot
rangka dan hati, tetapi vasokontriksi (dominasi respon reseptorα) pada visera abdominal lainnya.
Pembuluh darah ginjal dan mesenteric juga mempunyai reseptor dopaminergik (DA) yang
menyebabkan vasodilatasi.
2. Perangsangan saraf kolinergik

Organ efektor memiliki reseptor muskarinik. Pada berbagai otot polos dan kelenjar, subtype
reseptornya belum dipastikan. Akan tetapi kebanyakan jaringan mengandung berbagai subtype
reseptor muskarinik, ditambah lagi dengan adanya ganlia parasimpatis dalam jaringan.
Pada pembuluh darah tidak ada persarafan parasimpatis kecuali pada organ kelamin pria dan pada
otak. Di samping itu ada persarafan kolinergik simpatis pada organ kelamin pria dan pada otot rangka.
Akan tetapi, semua inervasi kolinergik pada pembuluh darah hanya menghasilkan vasodilatasi
setempat yang tidak mempengaruhi respons fisiologis secara umum (misalnya tekanan darah).

      Cara Kerja Obat Otonom


Terdapat beberapa kemungkinan pengaruh obat pada transmisi system kolinergik maupun
adrenergik, yaitu :
1.      Hambatan pada sintesis atau pelepasan transmitor

∆        Kolinergik

Hemikolinium menghaambat ambilan kolin ke dalam ujung saraf dan dengan demikian mengurangi
sintesis Ach. Toksin botulinus n menghabat pelepasan Ach di semua saraf kolinergik sehingga dapat
menyebabkan kematian akibat paralysis pernapasan perifer. Toksin tersebut memblok secara
ireversibel pelepasan Ach dari gelembung saraf di ujung akson dan merupakan salah satu toksin
paling potenn yang dikenal orang. Toksin tetanus mempunyai mekanisme keraja yang serupa.

∆        Adrenergik

Metiltirosin memblok sintesis NE. Sebaliknya metildopa, penghambat dopa dekarboksilase, seperti
dopa sendiri didekarboksilasi dan dihidroksilasi menjadi a-metil NE. Guanetidin dan bretilium juga
mengganggu pelepasan dan penyimpanan NE.

2.      Menyebabkan pelepasan transmitor

∆        Kolinergik
Racun laba-laba Black window menyebabkan pelepasan Ach(eksositosis) yang berlebihan, disusul
dengan blokade pelepasan ini.

∆        Adrenergik
Banyak obat dapat meningkakan pelepasan NE. Tergantung dari kecepatan dan lamanya pelepasan,
efek yang terlihat dapat berlawanan. Tiramin, efedrin , amfetamin, dan obat sejenisnya menyebabkan
pelepasan NE yang relatif cepat dan singkat sehingga mengahasilkan efek simpatomimetik.
Sebaliknya reser pin, dengan memblok transport aktif NE ke dalam vesikel menyebabkan pelepasan
NE secara lambat dari dalam vesikel ke aksoplasma sehingga NE dipecah oleh MAO. Akibatnya
terjadi blokadd adreergik akibat pengosongan depot NE di ujung saraf.

3.      Ikatan dengan reseptor


Obat yang enduduki reseptor dan dapat menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitor disebut
agonis. Obat yang hanya menduduki reseptor tanpa enimbulkan efek langsung, tetapui efek akibat
hilangnya efek transmitor(karena tergeser transmitor dari reseptor) disebut antagonis atau bloker.
Contoh obat kolinergik : hemikolinium, toksin botolinus, atropine, pirenzepin, trimetafan, dll.
Contoh obat adrenergic : guanetidin, tiramin, amfetamin, imipiramin, klonidin, salbutamol,
doxazosin, dll.

4.     Hambatan destruktif transmitor

∆        Kolinergik
Antikolinesterase merupakan kelompok besar yang menghanbat destruksi Ach karena menghambat
AChE, dengn akibat perangsangan berlebihan di reseptor muskarinik oleh Ach dan terjadinya
perangsangan disusul blockade di reseptor nikotinik.

∆        Adrenergik
Ambilan kembali NE setelah pelepasannya di ujung saraf merupakan mekanisme utama penghentian
transmisi adrenergic. Hambatan proses ini oleh kokain dan impiramin mendasari peningkatan respon
terhadap perangsangan simpatis oleh obat tersebut.

BAB II
ISI
PATOFISIOLOGI

  Berdasarkan efek kardiovaskular

     1.Syok, ada 3 jenis syok, yaitu :

        -Syok hipovolemik

        -Syok kardiogenik                              
        -Syok septik

    2. Hipotensi.

    3. Hipertensi.

    4. Aritmia jantung

5 Efek vasokonstriksi lokal

    6. Dekongestan nasal

  Asma Bronkial

  Mata.

Reaksi Alergi.

  Berdasarkan efek sentral:

   - Narkolepsi

   - Parkinson

   - Obesitas.

   - Keracunan depresan SSP.

OBAT OTONOM

Adalah obat yang mempengaruhi penerusan impuls dalam SSO dengan jalan mengganggu
sintesa, penimbunan, pembebasan, atau penguraian neurotransmitter atau mempengaruhi kerjanya atas
reseptor khusus.

Obat-obat otonom yaitu obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan saraf otonom, mulai
dari sel saraf sampai ke efektor. Banayak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom
mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil.

PENGGOLONGAN OBAT OTONOM

Menurut khasiatnya, obat otonom digolongkan menjadi :


1. Zat-zat yang bekerja terhadap SO, yakni :
  Simpatomimetika (adrenergika)

  Simpatolitika ( adrenolitika )

2.      Zat-zat yang bekerja tehadap SP, yakni :


  Parasimpatomimetika (kolinergika)

  Parasimpatolitika (antikolinerika)

3.      zat-zat perintang ganglion

OBAT ADRENERGIK

Simpatomimetik / adrenergik ialah senyawa yang mempunyai kerja yang mirip dengan kerja
saraf simpatis jika dirangsang atau sama seperti adrenalin dan noradrenalin .

Obat ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkannya mirip efek neurotransmitter
norepinefrin dan epinefrin (dikenal juga sebagai obat noradrenergik dan adrenergik atau simpatik atau
simpatomimetik).

Kerja obat adrenergik dibagi dalam 7 jenis yaitu:

  Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan terhadap kelenjar liur
dan keringat.

  Penghambatan organ perifer : otot polos, usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka.

  Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi.

  Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, peningkatan kewaspadaan, aktivitas


psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.

  Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolosis dan penglepasan asam
lemak bebas dari jaringan lemak.

  Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormon hipofisis.

  Efek parasimpatik, dengan akibat hambatan atau peningkatan penglepasan neurotransmitter NE atau
Ach (secara fisiologis, efek hambatan lebih penting).

MEKANISME OBAT ADRENERGIK

Mekanisme kerja obat adrenergik adalah merangsang reseptor alfa  dan beta  pada sel efektor.

Penggunaan klinis epinefrin adalah pada:

1. Sistem kardiovaskular: terjadinya vasokonstriksi (tekanan darah meningkat), meningkatkan


denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung
2. Susunan Saraf Pusat: terjadinya kegelisahan, rasa kuatir, nyeri kepala dan tremor.
3. Otot polos : efeknya berbeda tergantung pada jenis reseptor yang terdapat pada organ
tersebut. Pada saluran cerna terjadi relaksasi otot polos saluran cerna, pada uterus terjadi
penghambatan tonus dan kontraksi uterus, pada kandung kemih terjadi relaksasi otot detrusor kandung
kemih, pada pernafasan menimbulkan relaksasi otot polos bronkus.
4. Proses metabolik: menstimulasi glikogenolisis di sel-sel hati dan otot rangka, lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
5. lain-lain : menhambat sekresi kelenjar , menurunkan tekanan intraokular, mempercepat
pembekuan darah
Efek samping epinefrin adalah perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang, tremor, kepala
berdenyut, palpitasi.

OBAT-OBAT YANG TERMASUK GOLONGAN ADRENERGIK

Obat-obat yang termasuk golongan adrenergik yaitu:

1. Golongan katekolamin : epineprin, norepinefrin, isoproterenol, dopamin, dobutamin dan


sebagainya
2. Golongan nonkatekolamin: amfetamin, metamfetamin, fenilpropanolamin, metaproterenol
(orsiprenalin), terbutalin, efedrin dan sebagainya.

PENGGOLONGAN OBAT ADRENERGIK

Adrenergika dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni:

1. Obat adrenergik kerja langsung


    Agonis bekerja langsung terikat pada reseptor adrenergik tanpa berinteraksi dengan neuron
presinaptik. Reseptor yang diaktifkan ini mengawali sintesis pembawa pesan kedua dan menimbulkan
sinyal di dalam sel.

  Sama seperti adrenalin dan noradrenalin, merangsang reseptor adrenergik. Bergantung pada reseptor
yang mana senyawa tersebut bekerja, dibedakan atas α-simpatomimetik dan β-simpatomimetik.

  Ciri obat adrenergik kerja langsung adalah bahwa responnya tidak berkurang setelah terlebih dulu
diberikan reserpin atau guanetidin yang menyebabkan deplesi NE dari saraf simpatis, tetapi bahkan
meningkat karena adanya peningkatan sintesis reseptor sebagai mekanisme kompensasi terhadap
hilangnya neurotransmiter. 

2.      Obat adrenergik kerja tidak langsung

      Noradrenalin disintesa dan disimpan di ujung-ujung saraf adrenergik dan dapat


dibebaskan dari depotnya dengan jalan merangsang saraf bersangkutan, dan dapat pula dengan cara
perantaraan obat-obat seperti efedrin,amfetamin,guanetidin dan reserpin. Agonis adrenergik bekerja
tidak langsung menyebabkan pelepasan noreprinefrin dari ujung presinaptik.

Contoh obat adrenergik yang bekerja secara tidak langsung adalah amfetamin dan
tiramin, artinya menimbulkan efek adrenergik melalui penglepasan NE yang tersimpan dalam ujung
saraf adrenergik. Karena itu, efek obat–obat ini menyerupai efek NE, tetapi timbulnya lebih lambat
dan masa kerjanya lebih lama. Senyawa–senyawa yang tertahan dalam vesikel akan mengurangi
jumlah NE yang tersimpan. Jika saraf distimulasi, sejumlah tertentu gelembung sinaps akan
mengalami eksositosis dan mengeluarkan isinya. Jika gelembung ini mengandung feniletilamin yang
kuran poten disbanding NE, maka efek perangsangan simpatis akan berkurang.

PENGUNAAN OBAT ADRENERGIK

Berdasarkan titik kerjanya pada sel- sel efektor dari ujung adrenergic dibagi menjadi reseptor
(α) alfa dan (β) beta, dan berdasarkan efek fesiologisnya dibagi menjadi alfa1, alfa2,beta1, dan beta2.
Pada umumnya stimulasi pada reseptor menghasilkan efek- efek sebagai berikut:

  Alfa 1, mengaktifkan organ- organ efektor seperti otot –otot polos (vasokontriksi) dan sel- sel
kelenjar dengan efek tambahannya sekresi ludah dan keringat.

  Alfa 2, menghambat pelepasan noradrenalin pada saraf- saraf adrenergic dengan efek turunya
tekanan darah.

  Beta 1, memperkuat daya dan frekuensi kontraksi jantung.

  Beta 2, bronkodilatasi dan stimulasi metabolism glikogen dan lemak.

Penggunaan obat-obat adrenergic, antara lain:

  Shock, dengan memperkuat kerja jantung(β1) dan melawan hipotensi (α),contohnya adrenalin dan
noradrenalin.

  Asma, dengan mencapai bronkodilatasi (β2), contohnya salbutamol dan turunannya, adrenalin dan
efedrin.

  Hipertensi, dengan menurunkan day atahan perifer dari dinding pembuluh melalui penghambat
pelepasan noradrenalin(α2), contohnya metildopa dan klonidin.

  Vasodilator perifer, dengan menciutkan pembuluh darah  di pangkal betis dan paha (cladicatio
intermitens).

  Pilek (rhinitis), guna menciutkan selaput lender yang bengkak(α) contohnya imidazolin, efedrin,
dan adrenalin.
  Midriatikum, ysaitu dengan memperlebar pupil mata (α), contohnya fenilefrin dan nafazolin.

  Anoreksans, dengan mengurangi napsu makan pada obesitas (β2), contohnya fenfluramin dan
mazindol.

  Penghambat his dan nyeri haid (dysmenore) dengan relaksasi pada otot rahim (β2), contohnya
isoxuprin dan ritordin.

FARMAKOKINETIKA OBAT – OBAT ADRENERGIC

1.      Epineprin

Epinefrin terdapat dalam kelenjar adrenal atau dapat dibuat secara sintetis. Obat ini
merupakan katekolamin endogen dengan aktivitas pada medula adrenal. Bentuk levorotatori isomer
15X lebih aktif dibanding bentuk dekstrorotatori

Absorpsi

      Pada pemberian per oral  epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena sebagian besar dirusak oleh
enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati.

      Pada pemberian parenteral subkutan  absorbsi lambat karena terjadi vasokonstriksi lokal, dapat
dipercepat dengan memijat tempat suntikan.

      Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan intramuscular.

      Pada pemberian lokal secara inhalasi  efeknya terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek
sistemik dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar.

Distribusi

      Setelah diabsorpsi, obat didistribusikan keseluruhan jaringan melalui sirkulasi sistemik.

      Epinefrin stabil dalam darah.

      Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian:

Injeksi parenteral, Dewasa : 0.3-0.5 mg SC atau IM; dapat diulang bila perlu tiap 10-15 menit untuk
anafilaksis, atau tiap 20 menit hingga 4 jam untuk asthma. Dosis tunggal maksimal 1 mg. Pada kasus
syok yang berat, harus digunakan rute IV. Dosis 0.1-0.25 mg IV (diencerkan 1:10.000) pelan-pelan
dalam waktu 5-10 menit, bila perlu dapat diulang tiap 5-15 menit, dan diikuti pemberian infus IV 1-4
mcg/menit. Anak-anak dan bayi : 0.01 mg/kg atau 0.3 mg/m2 SC; bila perlu dapat diulang setelah 20
menit hingga 4-jam (dosis tunggal maksimal: 0.5 mg). Atau, 0.1 mg IV pelan-pelan dalam waktu 5-10
menit (diencerkan 1:100.000) diikuti 0.1-1.5 mcg/kg/menit infus IV.
Biotransformasi dan Ekskresi

      Degradasi Epinefrin terutama terjadi dalam hati yang banyak mengandung kedua enzim COMT dan
MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini.

      Sebagian besar Epinefrin mengalami biotransformasi, mula-mula dirusak oleh COMT dan MAO,
kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan atau konjugasi, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-
hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konjugasi glukuronat dan sulfat.

      Metabolit-metabolit ini bersama Epinefrin yang tidak diubah dikeluarkan melalui urine.

      Pada orang normal, jumlah Epinefrin yang utuh dalam urine hanya sedikit.

      Pada penderita feokromositoma, urine mengandung Epinefrin dan NE utuh dalam jumlah besar
bersama metabolitnya.

Sifat Fisikokimia

      Epinefrin berbentuk mikrokristalin berwarna putih, mudah larut dalam air; sedikit larut dalam etanol;
praktis tidak larut dalam kloroform dan dalam eter.

Indikasi

      Pengobatan anafilaksis berupa bronkospasme akut atau eksaserbasi asthma yang berat.

Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian

      Injeksi parenteral, Dewasa : 0.3-0.5 mg SC atau IM; dapat diulang bila perlu tiap 10-15 menit untuk
anafilaksis, atau tiap 20 menit hingga 4 jam untuk asthma. Dosis tunggal maksimal 1 mg. Pada kasus
syok yang berat, harus digunakan rute IV. Dosis 0.1-0.25 mg IV (diencerkan 1:10.000) pelan-pelan
dalam waktu 5-10 menit, bila perlu dapat diulang tiap 5-15 menit, dan diikuti pemberian infus IV 1-4
mcg/menit. Anak-anak dan bayi : 0.01 mg/kg atau 0.3 mg/m2 SC; bila perlu dapat diulang setelah 20
menit hingga 4-jam (dosis tunggal maksimal: 0.5 mg). Atau, 0.1 mg IV pelan-pelan dalam waktu 5-10
menit (diencerkan 1:100.000) diikuti 0.1-1.5 mcg/kg/menit infus IV.

Farmakologi

          Farmakodinamika/Kinetika : Onset : Bronkodilatasi : SC : 5-10 menit; Inhalasi : 1 menit.


Metabolisme : diambil oleh saraf adrenergik dan dimetabolisme oleh monoamine oxidase dan
catechol-o-methyltransferase; obat dalam sirkulasi mengalami metabolisme di hepar. Ekskresi : Urin
(sebagai metabolit inaktif metanefrin, dan sulfat dan derivat hidroksi asam mandelat, jumlah kecil
dalam bentuk tidak berubah)

Stabilitas Penyimpanan

          Penyiapan infus IV : Encerkan 1 mg dalam 250 mL  D5W atau NS (4 mcg/mL). Kecepatan
pemberian awal 1 mcg/menit dan naikkan hingga efek yang dikehendaki.  Stabil dalam : dextran 6%
dalam dextrose, dextran 6% dalam NS, D5LR, D51/4NS, D51/2NS, D5NS, D5W, D10W, D10NS,
LR, NS; inkompatibel dengan natrium bikarbonat 5%.

Penyimpanan

          Epinefrin peka terhadap udara dan cahaya. Oksidasi akan mengubah warna larutan menjadi
merah jambu kemudian coklat. Jangan digunakan bila terjadi perubahan warna atau terdapat endapan.

Kontraindikasi

          Meskipun diindikasikan untuk open-angled glaucoma, epinefrin kontraindikasi mutlak pada
closed-angle glaucoma karena dapat memperparah kondisi ini. Hindari ekstravasasi epinefrin, karena
dapat menyebabkan kerusakan jaringan da/atau gangren atau reksi injeksi setempat di sekitar
suntikan. Epinefrin jangan disuntikkan ke dalam jari tangan, ibu jari, hidung, dan genitalia, dapat
menyebabkan nekrosis jaringan karena terjadi vasokonstriksi pembuluh kapiler. Epinefrin, terutama
bila diberikan IV, kontraindikasi mutlak pada syok selain syok anafilaksi. Gangguan kardiovaskuler
yang kontraindikasi epinefrin misalnya syok hemoragi, insufisiensi pembuluh koroner jantung,
penyakit arteri koroner (mis., angina, infark miokard akut) dilatasi jantung dan aritmia jantung
(takikardi). Efek epinefrin pada kardiovaskuler (mis., peningkatan kebutuhan oksigen miokard,
kronotropik, potensial proaritmia, dan vasoaktivitas) dapat memperparah kondisi ini.

Efek Samping

          Kardiovaskuler : Angina, aritmia jantung, nyeri dada, flushing, hipertensi, peningkatan
kebutuhan oksigen, pallor, palpitasi, kematian mendadak, takikardi (parenteral), vasokonstriksi, ektopi
ventrikuler.

Interaksi

          - Dengan Obat Lain : Karena epinefrin merupakan obat simpatomimetik dengan aksi agonis
pada reseptor alfa maupun beta, harus digunakan hati-hati bersama obat simpatomimetik lain karena
kemungkinan efek farmakodinamik yang aditif, yang kemungkinan tidak diinginkan. Juga hati-hati
digunakan pada pasien yang menerima obat-obat seperti: albuterol, dobutamin, dopamin,
isoproterenol, metaproterenol, norepinefrin, fenilefrin, fenilpropanolamin, pseudoefedrin, ritodrin,
salmeterol dan terbutalin.

          - Dengan Makanan : Epinefrin tidak digunakan melalui oral

Pengaruh

          - Terahadap Kehamilan : Klasifikasi kehamilan untuk epinefrin adalah kategori C. Epinefrin
kontraindikasi mutlak sewaktu proses kelahiran karena merupakan agonis reseptor beta2, yang dapat
menunda kelahiran.
          - Terhadap Ibu Menyusui : Tidak diketahui apakah epinefrin dikeluarkan melalui ASI. Secara
teori, epinefrin akan rusak di dalam saluran pencernaan bayi, jadi pemaparannya terbatas.
Bagaimanapun, tetap harus hati-hati jika diberikan pada ibu menyusui.

Parameter Monitoring

          EKG pada pasien yang mendapat epinefrin IV, PFTs

Bentuk Sediaan

          Injeksi, Ampul 1mg/ml

Peringatan

          Epinefrin dikontraindikasikan pada penyakit serebrovaskuler seperti arteriosklerosis serebral


atau 'organic brain syndrome' karena efek simpatomimetik (diduga alfa) pada sistem serebrovaskuler
dan potensial perdarahan otak pada penggunaan IV. Hati-hati penggunaan epinefrin pada pasien
hipertensi karena risiko menambah berat penyakit. 'Hati-hati penggunaan epinefrin pada pasien DM,
obat ini dapat meningkatkan kadar gula darah dengan cara meningkatkan glikogenolisis di hepar,
mengurangi ambilan glukosa oleh jaringan dan menghambat pelepasan insulin dari pankreas.

Mekanisme Aksi

          Menstimulasi reseptor alfa-, beta1-, dan beta2-adrenergik yang berefek relaksasi otot polos
bronki, stimulasi jantung, dan dilatasi vaskulatur otot skelet; dosis kecil berefek vasodilatasi melalui
reseptor beta2-vaskuler; dosis besar menyebabkan konstriksi otot polos vaskuler dan skelet.

Monitoring Penggunaan Obat

          Kaji penggunaan obat lain yang diminum pasien terhadap kemungkinan interaksi atau
mempengaruhi efektivitasnya. Pantau tanda-tanda vital dan berikan informasi tentang penggunaan
obat, efek samping yang mungkin timbul dan cara mengatasinya.

2.      Amfetamin

Amfetamin atau Amphetamine atau Alfa-Metil-Fenetilamin atau beta-fenil-isopropilamin, atau


benzedrin, adalah obat golongan stimulansia (hanya dapat diperoleh dengan resep dokter) yang
biasanya digunakan hanya untuk mengobati gangguan hiperaktif karena kurang perhatian atau
Attention-deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) pada pasien dewasa dan anak-anak. Juga digunakan
untuk mengobati gejala-gejala luka-luka traumatik pada otak dan gejala mengantuk pada siang hari
pada kasus narkolepsi dan sindrom kelelahan kronis.

Pada awalnya, amfetamin sangat populer digunakan untuk mengurangi nafsu makan dan
mengontrol berat badan. Merk dagang Amfetamin (di AS) antara lain Adderall, dan Dexedrine.
Sementara di Indonesia dijual dalam kemasan injeksi dengan merk dagang generik. Obat ini juga
digunakan secara ilegal sebagai obat untuk kesenangan (Recreational Club Drug) dan sebagai
peningkat penampilan (menambah percaya diri atau PD). Istilah "Amftamin" sering digunakan pada
campuran-campuran yang diturunkan dari Amfetamin.

Indikasi

      untuk narkolepsi, gangguan penurunan perhatian

Efek samping
      Euforia dan kesiagaan

      Tidak dapat tidur, gelisah

      Tremor

      Iritabilitas dan beberapa masalah kardiovaskuler (Tachicardia, palpitasi, aritmia, dll)

waktu paruh
      4-30 jam, diekskresikan lebih cepat pada urin asam daripada urin basa

Reaksi yang merugikan


Menimbulkan efek- efek yang buruk pada sistem saraf pusat, kardiovaskuler, gastroinstestinal,
dan endokrin.

Dosis

      Dewasa : 5-20 mg

      Anak > 6 th : 2,5-5 mg/hari

       

3.      Fenilpropanolamin Hidroklorida

Fenilpropanolamin hidroklorida merupakan senyawa adrenergik yaitu adrenomimetik yang


berefek campuran yang dapat menimbulkan efek melalui pengaktifan adrenoseptor dan melepaskan
katekolamin dari tempat penyimpanan atau menghambat pemasukan katekolamin. Tempat kerja
beberapa senyawa adrenomimetik adalah pada ujung saraf simpatetik (Siswandono, 1995).

Fenilpropanolamin hidroklorida mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari
101,0% C9H13NO.HCl, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan dan memiliki berat molekul
187,67. Fenilpropanolamin hidroklorida berupa serbuk hablur putih; bau aromatis lemah, dan
dipengaruhi oleh cahaya, mudah larut dalam air dan dalam etanol; tidak larut dalam eter. Dengan titik
leleh antara 1910 sampai 1960 (Farmakope IV, 1995).
Berdasarkan struktur molekulnya fenilpropanolamin hidroklorida memiliki gugus kromofor
berupa cincin benzen yang mengandung elektron pi (π) terkonjugasi sehingga dapat mengabsorpsi
sinar pada panjang gelombang tertentu di daerah UV (200-400 nm), dan memiliki gugus auksokrom
pada perpanjangan alkil yaitu –NH2 dan –OH sehingga dapat memberikan nilai serapan (Siswandono,
1995).

Fenilpropanolamin hidroklorida mempunyai spektrum serapan UV dalam pelarut metanol


memberikan panjang gelombang maksimum antara 252-264 nm (Florey, 1987).

Anda mungkin juga menyukai