Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem saraf dibagi menjadi dua berdasarkan divisi anatomis: Sistem


Saraf Pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan medula spinalis, dan Sistem
Saraf Perifer, yang terdiri dari sel-sel saraf selain otak dan medula spinalis-
yaitu saraf-saraf masuk dan keluar dari SSP. Sistem Saraf Perifer, selanjutnya
dibagi menjadi dua, yaitu Divisi Eferen, neuron yang membawa sinyal dari
otak dan medula spinalis menuju jaringan perifer, dan Divisi Aferen, neuron
yang membawa informasi dari perifer menuju SSP. Neuron aferen
menyediakan masukan (input) sensorik untuk memodulasi fungsi divisi
eferen melalui lengkung refleks, yaitu jaras persarafan yang memerantarai
mekanisme refleks.
Dimana Divisi eferen terbagi lagi menjadi dua, yaitu Sistem saraf
otonom dan Sistem saraf somatis. Pada praktikum ini saya akan membahas
tentang Sistem Saraf Otonom.
Sistem Saraf Otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari
otak. Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan
(antagonis). Dua perangkat neuron dalam komponen otonom pada sistem
saraf perifer adalah neuron aferen atau sensorik dan neuron eferen atau
motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls ke SSP, dimana impuls itu
diinterprestasikan. Neuron aferen menerima impuls (informasi) dari otak dan
meneruskan impuls ini melalui medula spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur
eferen dalam sistem saraf otonom dibagi menjadi 2 cabang yaitu sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis.
Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-organ yang sama
tetapi menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya homeostatis
(keseimbangan).
Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan sistem parasimpatis
dapat berupa respon yang merangsang atau menekan.
Dalam dunia farmasi sangat erat hubungannya dengan farmakologi
toksikologi karena kita dapat mengetahui mekanisme kerja obat.

B. Tujuan Praktikum

Tujuan praktikum pada percobaan ini adalah untuk menentukan efek


dari obat Cendocarpin, Cendotropin, Epinefrin, dan Bisoprolol pada hewan
coba mencit (Mus musculus) dengan parameter pengamatan berupa grooming,
salivasi, vasokontriksi, vasodilatasi, takikardia, bradikardia, straub, piloereksi,
dan diare.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Umum

Sistem saraf secara konvensional dibagi menjadi susunan saraf pusat


(SSP; otak dan korda spinalis) dan sistem saraf perifer (jaringan neuron diluar
SSP). Bagian motorik (eferen) sistem saraf dapat dibagi menjadi dua
subdivisi utama ; autonomik dan somatik. Sistem saraf autonom (SSA)
umumnya tidak bergantung (autonom) yaitu aktivitasnya tidak berada
dibawah kontrol kesadaran langsung. Sistem ini terutama berkaitan dengan
fungsi viseral seperti curah jantung, aliran darah ke berbagai organ, dan
pencernaan, yang penting untuk kehidupan. Semakin banyak bukti
menunjukkan bahwa SSA, terutama saraf vagus, juga mempengaruhi fungsi
imun dan beberapa fungsi SSP seperti lepas muatan bangkitan (seizure).
Subdivisi somatik terutama berkaitan dengan fungsi yang dikontrol oleh
kesadaran misalnya gerakan, pernapasan, dan postur. Kedua sistem memiliki
masukan aferen (sensorik) penting yang memberi informasi mengenai
lingkungan internal dan eksternal serta memodifikasi keluaran motorik
melalui lengkung refleks yang ukuran dan kompleksitasnya bervariasi.
(Katzung dkk,2014)
Sistem Saraf Otonom (SSO), juga disebut Susunan Saraf Vegetatif,
meliputi antara lain saraf-saraf dan ganglia (= majemuk dari ganglion =
simpul saraf) yang merupakan persarafan ke semua otot polos dari berbagai
organ (bronchia, lambung, usus, pembuluh darah, dll). Termasu kelompok ini
pula adalah beberapa kelenjar (ludah, keringat dan pencernaan) dan uga otot
jantung, yang sebagai pengecualian bukan merupakan otot polos, tetapi suatu
lurik. Dengan demikian, SSO tersebar luas diseluruh tubuh dan fungsinya
adalah mengatur secara otomatis keadaan fisiologi dan peredaran darah, serta
pernafasan. (Tjay dan Rahardja,2013)
Sistem Saraf Otonom (SSO) dapat dipecah lagi dalam dua cabang,
yakni Susunan(Orto)simpatia (SO) dan Susunan Parasimpatis (SP). Pada
umumnya dapat dikatakan bahwa kedua susunan ini bekerja antagonistis: bila
satu sistem merintangi fungsi tertentu, sistem lainnya justru menstimulirnya.
Tetapi, dalam beberapa hal, khasiatnya berlainan sama sekali atau bahkan
bersifat sinergistis. (Tjay dan Rahardja,2013)
Sistem saraf otonom mengatur kebutuhan harian fungsi tubuh tanpa
dipengaruhi kesadaran atau pikiran. Sistem saraf otonom terdiri atas neuron
eferen yang mempersarafi otot polos viseral, otot jantung, pembuluh darah,
dan kelenjar eksokrin, serta mengatur pencernaan, curah jantung, aliran darah,
dan sekresi kelenjar. (Harvey,2013)
Efek keluaran (output) sistem saraf simpatis adalah meningkatkan
denyut jantung dan tekanan darah, perubahan cadangan energi tubuh, dan
peningkatan aliran darah menuju otot rangka dan otot jantung dengan cara
mengalihkan aliran dari kulit dan organ dalam. Stimulasi simpatis juga
menyebabkan dilatasi pupil dan bronkiolus. Selain itu, dapat pula
memengaruhi motilitas saluran cerna dan fungsi kandung kemih, serta organ-
organ kelamin. (Harvey,2013)
Sistem saraf parasimpatis mempunyai fungsi mempertahankan
denyut jantung dan tekanan darah pada fungsi basal, menstimulasi siste
pencernaan berupa peningkatan motilitas dan sekresi getah pencernaan,
meningkatkan absorpsi makanan, memproteksi retina terhadap cahaya
berlebihan, mengosongkan rektum dan kandung kemih. Dengan demikian,
saraf parasimpatis tidak perlu bekerja secara serentak. (Tim Dosen
Universitas Indonesia,2005)
Berkaitan dengan penghantaran impuls syaraf, dikenal juga istilah
neurotransmitter, yaitu suatu senyawa kimia yang dilepaskan oleh ujung sel
syaraf yang berfungsi menghantarkan impuls syarafmenuju ke sel syaraf lain
atau sel organ efektor. (Nugroho,2012)
Neurotransmisi dalam sistem saraf otonom merupakan contoh proses
umum penyampaian sinyal kimiawi antarsel. Selain neurotransmisi, tipe-tipe
pembentukan sinyal kimiawi yang lain adalah pelepasan mediator lokal dan
sekresi hormon-hormon. Komunikasi antarsel-saraf dan antara sel saraf
dengan organ efektor, terjadi melalui pelepasan sinyal kimiawi yang spesifik
disebut neurotransmiter dari ujung saraf. Pelepasannya tergantung pada
munculnya potensial aksi pada ujung saraf, yang selanjutnya akan
menyebabkan depolarisasi. (Harvey,2013)
Bagaimana sistem saraf pusat bisa mengaktivasi organ efektor? Sistem
saraf pusat menghasilkan impuls listrik karena adanya rangsangan kimia atau
mekanik, sehingga meningkatkan permeabilitas Na2+ pada membran sel saraf
preganglion. Ini mengakibatkan depolarisasi sel saraf preganglion, dan
meningkatkan potensial aksinya. Depolarisasi tersebut diikuti dengan :

1. Terbukanya kanal ion K+ (masih dalam bagian akson yang sama), dan
2. Terbukanya kanal Na2+ dibagian akson sebelahnya (kearah ujung saraf).

Terbukanya kanal ion K+ menyebabkan keluarnya ion K+bmenyababkan


repolarisasi pada bagian akson tersebut dan kembali ke kondisi potensial aksi
istirahat. Dilain pihak,terbuka kanal Na2+ menyebabkan depolarisasi pada
bagian akson tempat kanal Na2+ tersebut. Proses ini berjalan seterusnya,
sehingga potensial aksi bergerak sepanjang akson menuju ke ujung saraf.
Peristiwa ini disebut dengan propagasi potensial aksi. Selain pada saraf
preganglion, proses propagasi potensial aksi ini telah mencapai ujung saraf,
preganglian maka akan memacu pelepasan simpanan neurotransmitter dalam
vesikel intraseluler melalui proses yang tergantung Ca2+ yaitu eksositosis.
Pada proses tersebut, vesikel begerak menuju ke membran ujung sel saraf,
lalu berfusi dengan membran tersebut kemudian membuka ruang ke daerah
ekstraseluler untuk melepaskan neurotransmitter kecelah sinaptik.
Selanjutnya, neurotransmitter berfusi sepanjang celah sinaptik untuk
kemudian berinteraksi dengan reseptornya pada sel saraf postganglion. Hal
ini mengakibatkan propagasi aksi potensial pada akson sel saraf postganglion
hingga mengaktivasi ujung saraf postganglion melepaskan neurotransmitter,
yang kemudian berinteraksi dengan reseptornya pada sel organ efektor.
(Nugroho,2012)

Setelah pelepasan neurotransmitter, efeknya harus dengan segera


dikontrol atau dihentikan untuk mencegah aktivasi reseptornya secara
berlebihan. Pada saraf kolinergik, sel organ efektor melepaskan enzim
asetilkolinesterase untuk menhidrolisis asetilkolin menjadi produk inaktif
yaitu asam asetat dan kolin, sehingga aksi atau efek dari asetilkolin bisa
dikontrol. Kolin, produk inaktiv tersebut, secara cepat diambil kembali
menuju ke ujung saraf kolinergik melalui pompa aktif membran sel saraf.
Kolin ini, dalam ujung saraf kolinergik digunakan lagi dalam proses sintesis
asetilkolin. Biosintesis asetilkoln, substrat kolin mengalami proses asetilasi
yang dikatalis enzim kolin asetiltransferase dengan asetil koenzim sebagai
donor asetil. Asetilkolin yang dihasilkan segera disimpan dalam vesikel
dengan bantuan pembawa asetilkolin (Ach). (Nugroho,2012)

Pada saraf simpatik, kontrol terhadap aksi norepinefrin dapat


dilakukan tanpa melibatkan enzim. Proses inaktivasi pertama melalui proses
pengambilan kembali nor-epinefrin ke ujung saraf adrenergik melalui pompa
reuptake amina yang tergantung energi. Inaktivasi yang kedua bisa melalui
pengambilan kembali melalui proses difusi sederhana menuju kedaerah pada
sel organ efektor yang lokasinya diluar daerah reseptornya pada sel tersebut.
Kemudian, norepinefrin yang di reuptake tersebut kemudian diinaktivasi oleh
enzim hati dan otak. Catechol-o-methyl-transferase (COMT) merupakan
enzim degradatif khususnya dalam hati, yang berperan dalam metabolisme
baik norepinefrin maupun efinefrin. (Nugroho,2012)
Pada biosintesis katekolamin, prekursornya adalah asam amino
tirosin. Tahap pertama, tirosin dihidroksilasi oleh enzim tirosin hidroksilase
membentuk 3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA). Enzim tersebut merupakan
rate-limiting enzyme pada tahap biosintesis katekolamin. Tahap kedua,
DOPA mengalami dekarboksilasi menjadi dopamin, dengan bantuan enzim
L-aromatic amino acid decarboxilase. Dopamin selanjutnya disimpan dalam
vesikel. Pada tahap ketiga, selama proses transpor, dopamin mengalami
proses β-hidroksilasi oleh enzim dopamin-β-hidroksilase menjadi
norefinefrin, dan disimpan dalam vesikel adrenergik bersama dengan ATP.
Neurotransmitter ini akan dilepaskan jika pada ada potensial aksi pada ujung
saraf ini. Proses-proses diatas terjadi dalam sitoplasma sel saraf postganglion
simpatetik. (Nugroho,2012)
Telah disebut diatas bahwa terdapat dua neurotransmitter yaitu
asetilkolin dan non-epinefrin, yang akan berinteraksi dengan reseptornya
masing-masing untuk menghasilkan respon selanjutnya. Terdapat dua
reseptor bagi asetilkolin yaitu reseptor setilkolin muskarinik dan reseptor
asetilkolin nikotinik. Reseptor untuk nor-epinefrin ada dua tipe yaitu
reseptor α dan β adrenergik. (Nugroho,2012)

Meskipun lebih dari 50 molekul sinyal didalam sistem saraf telah


diidentifikasi, enam senyawa sinyal,- norepinefrin, (dan epinefrin yang
berhubungan erat), asetilkolin, dopamin, serotonin, histamin, dan ɣ-
aminobutyric acid- adalah yang paling sering terlibat dalam kerja obat-obat
terapeutik. (Harvey,2013)

Zat-zat yang berguna secara klinis untuk meningkatkan


neurotransmisi meliputi : (Olson,2004)

- Agonis reseptor
- Zat yang menginduksi pelepasan neurotransmitter
- Obat yang mencegah degradasi transmiter

Zat-zat yang berguna secara klinis untuk menekan neurotransmisi


meliputi : (Olson,20014)

- Bloker saraf prasinaptik


- Antagonis reseptor
- Bloker ganglion
Sistem saraf simpatis disebut juga dengan sistem adrenergik yang
dimana terbagi atas agonis adrenergik (simpatomimetik) dan antagonis
adrenergik (simpatolitik). Sedangkan sistem saraf parasimpatis disebut juga
dengan sistem kolinergik yang dimana terbagi atas agonis kolinergik
(parasimpatomimetik) dan antagonis kolinergik (parasimpatolitik).
(Olson,2004)
Agonis adrenergik merupakan obat yang memacu atau
meningkaatkan saraf adrenergik. Obat agonis adrenergik dibagi menjadi dua ,
yaitu agonis adrenergik langsung (langsung dengan reseptor) yang
dimana obatnya yaitu Albuterol, clonidine, dobutamine, dopamine,
epinephrine, formoterol, isoproterenol, metaproterenol dll. Lalu , agonis
adrenergik tidak langsung (tidak berinteraksi langsung dengan reseptor)
yang dimana obatnya yaitu amphetamine, cocaine, dan tyramine. Dan ada
pula yang agonis adrenergik kerja langsung dan kerja tidak langsung
(kerja campuran) yang dimana obatnya yaitu ephedrine, dan
pseudoephedrine. (Harvey,2013)
Antagonis adrenergik terbagi menjadi 3 golongan, yaitu
penghambat α yang dimana obatnya adalah alfuzason, doxazosin,
phentolamine, tamsulosin, prazosin, dll. Penghambat β yang dimana obatnya
adalah acebutolol, atenolol, carvedilol, esmolol, labetalol, nadolol, dll. Obat
yang memengaruhi pelepasan atau pengambilan kembali
neurotransmitter yang dimana obatnya adalah guanethidine dan reserpine.
(Harvey,2013)
Agonis kolinergik terbagi menjadi 4 golongan, yaitu kerja langsung
yang dimana obatnya adalah asetilkolin, bethanecol, carbacol, cevimeline,
dan pilocarpine. Kerja tidak langsung (reversibel) yang dimana obatnya
adalah ambenomium, demecarium, donzepil, edrophonium, galantamine,
neostigmine, dll. kerja tigak langsung (irreversibel) yang dimana obatnya
adalah echotiopate. Reaktivasi asetilkolinesterase yang dimana obatnya
adalah pralidoxime. (Harvey,2013)
Antagonis kolinergik terbagi menjadi 3 golongan, yaitu obat
antimuskarinik yang dimana obatnya adalah atropine, cyclopentolate,
scopolamine, dll. Penghambat ganglionik dimana obatnya adalah
mecamylamine dan nicotine. Pelemas neuromuskular yang dimana obatnya
adalah atracurium, cisatracurium, doxacurium, metocurine, mivacurium, dll.
(Harvey,2013)
Efek farmakodinamik pada masing-masing sistem saraf yakni
tergantung pada kerja sistem saraf tersebut. Yang dimana, simpatomimetik
dan parasimpatolitik memiliki efek farmakodinamik yang sama, yaitu
terjadi takikardia, midriasis, bronkodilatasi, dan vasokontriksi. Sedangkan
pada simpatolitik dan parasimpatomimetik memiliki efek farmakodinamik
yang sama, yaitu kebalikan dari efek farmakodinamik simpatomimetik dan
parasimpatolitik. (Harvey,2013)

B. Uraian Bahan

1. Aqua pro injeksi (Ditjen POM, 1979)

Nama resmi : AQUA STERILE PRO INJECTION

Nama lain : Air steril untuk injeksi

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna dan tidak berbau.

Kegunaan : Sebagai bahan pembuat injeksi dan control.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

2. Na CMC (Ditjen POM, 1979)

Nama resmi : NATRII CARBOXYMETHYLCELLULOSUM

Nama lain : Natrium karboksimetilselulosa

Pemerian : Serbuk atau butiran putih atau putih kuning

gading, tidak berbau atau hamper tidakk berbau

higroskopis.
Kelarutan :Mudah mendispersidalam air, membentuk
suspense, koloid, tidak larut dalam etanol (95% P
dalam eter P dan dalam pelarut organik).
Kegunaan : Sebagai pelarut obat dan larutan control.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

3. Cendotropin (Ditjen POM, 1979)

Nama resmi : ATROPIN SULFAT

Nama lain : Atropin sulfat

Pemerian : Hablur, tidak berwarna atau hablur putih tidak

berbau, mengembang diudara kering.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam

etanol.

Kegunaan : Sebagai obat SSO golongan obat antimuskarinik.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

4. Cendocarpin (Ditjen POM, 1979)

Nama resmi : PILOKARPINI NITRAS

Nama lain : Pilokarpin nitrat

Pemerian : Hablur putih, mengkilat, stabil di udara,

dipengaruhi oleh cahaya.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, agak sukar larut

dalam etanol, tidak larut dalam kloroform dan

dalam eter, larut dalam air bereaksi asam

terhadap kertas lakmus.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.


Kegunaan : Sebagai obat SSO golongan obat agonis kolinergik

kerja langsung.

5. Ephinefrin (Dirjen POM, 1979)

Nama resmi : EPINEPHRINUM

Nama lain : Epinefrin atau adrenalin

Pemerian : Serbuk hablur renik, putih atau putih kuning

gading

Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, tidak larut dalam etanol

(95%) P, mudah larut dalam larutan asam mineral,

dalam natrium hidroksida P dandalam kalium

hidroksida, tetapi tidak larut dalam larutan

amoniak dan alkali atau netral, berubah menjadi

merah jika terkena cahaya

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, berisi dosis ganda,

terlindung dari cahaya

Kegunaan : Sebagai simpatomimetikum

C. Uraian Obat

1. Cendocarpin® (Gunawan, 2001; Ioni, 2000)

Zat aktif : Pilokarpin

Indikasi : anti glaucoma simplek kronis

Kontraindikasi :-
Farmkodinamik : Masa paruh waktu eliminasi jam 7,5 jam untuk

metabolit aktifnya

Farmakokinetik : Pilokarpin menunjukan aktivitas  muskarinik dan

terutama digunakan untuk oftalmologi

Dosis : Oral: 60 - 180 mg ( malam )  Anak: 5-8 mg/kg/hari

2. Cendrotrpine® (Ganiswara, 1995)

Zat aktif : Atropin Sulfat

Indikasi :Mengeringkan secret, menghilangkan bradikardia

yang berlebihan, bersama dengan neostigmine

untuk mengembalikan  penghambatan

neuromuskuler kompetitif

Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap  golongan   ini

Farmkodinamik : Alkaloid belladonna mudah diserap  dari semua

tempat kecuali dari kulit. Pemberian atropine

sebagai obat tetes mata, terutama pada anak

dapat menyebabkan absorbsi dalam jumlah yang

cukup  besar melewati mukosa masal, sehingga

menimbulkan  efek sistemik  dan bahkan

keracunan. Dari sirkulasi darah, atropine cepat

memasuki  jaringan dan kebayakan mengalami

proses enzimatik oleh hepar, sebagian diekskresi

melalui ginjal dalam bentuk asal.


Farmakokinetik : Aktivitas bersama dengan  neostigmi untuk

mengembalikan  penghambatan neuromuscular

kompetitif

Dosis : Dosis atropine  umumnya  berkisar  antara

seperempat sampai 1 mg

3. Epinefrin® (Ganiswara, 1995; Ioni, 2000)

Zat aktif  : Adrenalin

Indikasi : Glukoma kronik, asma bronchial, ulticoria.

Kontraindikasi :Dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat

β-bloker nonselektif

Farmkodinamik :Pada umumnya, pemberian epinefrin menimbulkan

efek mirip stimulasi saraf adrenergik. Ada

beberapa perbedaan karena neurotransmitter pada

saraf adrenergik adalah NE. Efek yang paling

menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos

pembuluh darah dan otot polos lain.

Farmakokinetik : Pada penyuntikan, absorpsi lambat karena

vasokontriksi lokal, dapat dipercepat dengan

memijat tempat penyuntikan.

Dosis : Dosis > 6 tahun 0,3 – 0,5 mg setiap 20 menit

sebanyak 3 dosis. Dosis < 6 tahun 0,01 mg/kg

sampai 0,5 mg setiap 20 menit sebanyak 3 dosis.


BAB III

METODE KERJA

A. Alat Yang Digunakan

Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini adalah Alat suntik
dan Jarum suntik, papan datar bulat (platform), gelas piala, erlenmeyer, dan
labu takar 10, 25, 50, dan 100 ml.

B. Bahan Yang Digunakan

Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah


Cendocarpin, cendotropin, epinefrin, dan bisoprolol, dan aqua pro injeksi.

C. Hewan Yang Digunakan

Adapun hewan yang digunakan dalam raktikum ini adalah mencit


jantan/betina.
D. Cara Kerja
A. Hewan coba dikelompokkan menjadi lima kelompok.

B. Kelompok I, mencit diberi Cendocarpin secara i.p.

C. Kelompok II, mencit diberi Cendotropin secara i.p.

D. Kelompok III, mencit diberi cendotropin secara i.p, kemudian diberi

Cendocarpin secara i.p.

E. Kelompok IV, mecit diberi Epinefrin secara i.p.

F. Kelompok V, Mencit diberi bisoprolol secara oral, kemudian dilanjutkan

dengan pemberian adrenalin secara i.p.

G. Pengamatan dilakukan pada menit 15, 20, 60 dan 90 setelah pemberian

obat. Pengamatan meliputi pupil mata, diare, tremor kejang, warna daun

telinga, grooming dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna, G. Sulistia,dkk. 2005. Farmakologi dan terapi Edisi IV. Jakarta :


Fakultas Kedokteran UI.

Harvey, Richard dan Pamela C.Champe. 2013. Farmakologi Ulasan Bergambar


Edisi IV. Jakarta : EGC.

Tjay, Tan Hoan. 2013. Obat-Obat Penting. Jakarta : Penerbit PT Elex Media
Komputindo Kelompok Kompas-Gramedia.

Olson, James. 2004. Belajar Mudah Farmakologi. Jakarta : EGC.


Nugroho, Endro. 2012. Farmakologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Katzung, G. Bertram,dkk. 2014. Farmakologi dasar dan klinis vol.1. Jakarta :


EGC.

B. Perhitungan dosis

1. Cendocarpin

· Dosis dewasa =

= 0.16 mg/kgBB

· Dosis mencit = 0,16 mg/kg x 37


3

= 1,97 mg/kgBB

· Dosen mencit 30 g = 1,97 mg x 30 gr = 0,06 mg


1000gr
Larutan Encer = 5 ml x 0,06 mg = 0,3 mg/5 ml
1 ml

Pengenceran

Berat etiket = 10 mg / 5 ml

10 mg 5 ml (10 mg / 5ml)

1 ml 5 ml (2 mg / 5 ml)

1 ml 5 ml (0,4 mg / 5 ml)

X 5 ml (0,3 mg/5 ml)

V1.N1 = V2.N2

X = 5 ml x 0,3 mg

0,4 mg

x = 3, 75 ml

2. Cendotropin

· Dosis dewasa =

= 0,083 mg/kgBB

· Dosis mencit = 0,083 mg/kg x 37


3

= 1,024 mg/kgBB

· Dosen mencit 30 g = 1,024 mg x 30 gr = 0,030 mg


1000gr

Larutan Encer = 5 ml x 0,030 mg = 0,15 mg


1 ml
Pengenceran

5 mg 5 ml (5 mg / 5ml)

1 ml 5 ml (1 mg / 5 ml)

1 ml 5 ml (0,2 mg / 5 ml)

X 5 ml (0,15 mg/5 ml)

V1.N1 = V2.N2

X.0,2 = 5.0,15

X = 3,75 ml

3. Epinefrin

· Dosis dewasa =

= 0,016 mg/kgBB

· Dosis mencit = 0,016 mg/kg x 37


3

= 0,197 mg/kgBB

· Dosen mencit 30 g = 0,197 mg x 30 gr = 0,005 mg


1000gr

Larutan Encer = 5 ml x 0,005 mg = 0,025 mg


1 ml

Pengenceran

1 mg 5 ml (0,2 mg / 5ml)

1 ml 5 ml (0,04 mg / 5 ml)

X 5 ml (0,025 mg)

V1.N1 = V2.N2

X = 5 ml . 0,025 mg

0,04 mg

X = 3,125 ml

4. Bisoprolol

· Dosis dewasa =

= 0,083 mg/kgBB

· Dosis mencit = 0,083 mg/kg x 37


3

= 1,023 mg/kgBB

· Dosen mencit 30 g = 1,023 mg x 30 gr = 0,030 mg


1000gr

Larutan Encer = 5 ml x 0,030 mg = 0,15 mg


1 ml

BYD = Berat yang diketahui X berat rata”


BE
= 0,15 mg x 122 mg
5 mg
= 3,66 mg

LAMPIRAN

A. Skema Kerja

H.C. (mencit)
I II III IV V VI

Cendotropin Cendocarpin Cendotropin Epinefrin Bisoprolol Epinefrin


+Cendocarpin +Bisoprolol

Amati efek farmakodinamik pada menit 15,30,60, dan 75

Catat data hasil pengamatan

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
LAPORAN PRAKTIKUM
“SISTEM SARAF OTONOM”

OLEH :
NAMA : TIARA SUCI RAHMADANI

STAMBUK : 15020140130
KELAS : C.5
KELOMPOK :1
ASISTEN : IVA MUKRIMA., S. FARM

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015

Anda mungkin juga menyukai