Anda di halaman 1dari 93

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK 11

SKENARIO 1 OBAT OTONOM


BLOK 13 FARMAKOLOGI, FARMASI, DAN OBAT ALAMI

Pembimbing :
drg. Erawati Wulandari, M.Kes.

Oleh :
Syifa Af Ida Haffiz (181610101111)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas laporan ini. Laporan ini disusun dengan
tujuan untuk mengetahui dan memahami obat otonom Kedokteran Gigi. Dalam penyelesaian
laporan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. drg. Erawati Wulandari, M.Kes selaku dosen dan fasilitator yang telah
membimbing kami hingga selesainya laporan ini.
2. Seluruh anggota kelompok 11 yang telah berperan aktif dalam penyelesaian
laporan ini.
Dalam penulisan laporan ini, penulis sadar bahwa masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran agar penulis dapat
memperbaiki dan tidak terulang di waktu kedepan. Akhir kata penulis mengucapkan
terimakasih.

Jember, 16 Mei 2020

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... 2


DAFTAR ISI ..................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 4
I.1 Latar Belakang............................................................................................... 4
I.2 Skenario. .. ................................................................................................... 5
I.3 Rumusan Masalah. ....................................................................................... 7
I.4 Mapping Permasalahan ................................................................................ 27
I.5 Learning Objectives. .................................................................................... 27
BAB II PEMBAHASAN. ................................................................................. 28
BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 92

3
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi visceral tubuh.
Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung
kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan
memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat
meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik,
berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung
kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis
mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia.
Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral
Sistem saraf otonom bersama-sama dengan sistem endokrin mengkoordinasi pengaturan dan
integrasi fungsi-fungsi tubuh. Sistem endokrin mengirimkan sinyal pada jaringan targetnya
melalui hormon yang kadarnya bervariasi dalam darah. Sebaliknya, sistem saraf menghantarkan
sinyal melalui transmisi implus listrik secara cepat melalui serabut-serabut saraf yang berakhir
pada organ efektor, dan efek khusus akan timbul sebagai akibat pelepasan substansi
neuromediator. Obat-obat yang menghasilkan efek terapeutik utamanya dengan menyerupai atau
mengubah fungsi sistem saraf otonom disebut dengan obat-obat otonom. Obat-obat otonom
bekerja dengan cara menstimulasi saraf otonom atau dengan cara menghambat kerja sistem saraf
ini.
Obat-obat yang mempengaruhi sistem saraf otonom dibagi dalam subgrup sesuai dengan
mekanisme kerjanya terhadap tipe neuron yang dipengaruhinya.Grup pertama obat-obat
Adrenergik, yang bekerja terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin atau epinefrin. Grup
kedua obat-obat Kolinergik, yang bekerja terhadap reseptor yang diaktifkan oleh asetikolin. Obat
kolinergik dan adrenergik bekerja dengan memacu atau menyekat neuron dalam sistem saraf
otonom.Obat golongan pelumpuh otot (muscle relaxant) menghambat transmisi neuromuskular
sehingga menimbulkan paresis otot bergaris. Menurut mekanisme kerjanya obat ini dibagi 2,
yaitu non-depolarizing dan depolarizing neuromuskular blocking agents.

4
SKENARIO 1
OBAT – OBAT OTONOM
Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf
perifer. Sistem saraf perifer selanjutnya dibagi dalam divisi eferen dan aferen. Divisi eferen
dibagi dalam 2 subdivisi fungsional utama yaitu sistem somatik dan otonom.Sistem saraf otonom
(SSO) tidak dipengaruhi kesadaran dalam mengatur kebutuhan tubuh sehari-hari. SSO
menghantarkan sinyal melalui transmisi implus listrik secara cepat melalui serabut- serabut saraf
yang berakhir pada organ efektor dan efek khusus akan timbul sebagai akibat pelepasan
substansi neuromediator. SSO menginervasi otot polos organ visera, otot jantung, pembuluh
darah dan kelenjar eksokrin.. Obat-obat Otonom bekerja dengan cara menstimulasi SSO atau
dengan cara menghambat kerja SSO.Obat-obat Otonom menghasilkan efek terapi yang
menyerupai atau mengubah fungsi SSO. Obat – obat otonom terdiri dari 2 grup utama, yaitu
Obat-obat Kolinergik (Agonis dan antagonis) dan Obat-obat Adrenergik (Agonis dan
Antagonis).

Kata Sulit :

- System saraf pusat :sistem tubuh yang menerima dan memproses semua informasi dari
seluruh bagiantubuh. Ini terdiri dari otak, sumsum tulang belakang, dan neuron yang
dilindungi tulang kranium dan kanal vertebral. Sistem saraf pusat ini fungsinya untuk
memegang segala kendali dan pengaturan atas kerja jaringan saraf hingga kepada sel
saraf.
- System saraf perifer : bagian dari system saraf sebagai pengendali aktivitas tubuh
meliputi jaringan system saraf diluar system saraf pusat yang mana berfungsi menerima
rangsang, menghantarkan informasi sensorik dan membawa perintah motoric ke efektor.
- Divisi aferen: salah satu bentuk system saraf perifer dimana berfungsi membawa impuls
saraf dari reseptor menuju ke system saraf pusat.
- Organ visceral: Organ tubuh yang terdapat dalam rongga dada, rongga perut, daleman
atau jeroan
- Obat kolinergik: istilah adalah istilah obat yang digunakan pada sistem syaraf
parasimpatik. Dimana obat kolinergik ini menurut skenario terdiri atas dua jenis, yaitu
agonis kolinergik/kolinergik/parasimpatomimetik (istilah obat perangsang parasimpatik)

5
dan antagonis kolinergik/antikolinergik/antiparasimpatis (istilah obat penghambat
parasimpatik).
- Obat andregenic: obat obat yang merangsang sistem saraf simpatis, disebut juga sebagai
simpatomimetik karena obat ini menyerupai neurotransmitter simpatis, yaitu noerpinefrin
dan epinefrin.
- Antagonis agonis :Agonis yaitu suatu obat atau senyawa yang berikatan dengan reseptor
dan mengaktifkannya, menghasilkan respon farmakologis (kontraksi, relaksasi, sekresi,
aktivasi enzim, dll). Antagonis yaitu suatu obat atau senyawa yang melemahkan efek
agonis. Macamnya bisa kompetitif, contoh mengikat reversibel ke daerah reseptor yang
sama dengan agonis, menempati situs yang sama namun tanpa mengaktifkan mekanisme
efektor.
- System somatic :Sistem saraf sadar atau yang biasa disebut dengan sistem saraf somatik
merupakan sistem saraf yang memiliki fungsi untuk mengatur aktivitas-aktivitas yang
disadari. Seperti kontraksi pada otot-otot kaki untuk berjalan. Sistem saraf somatik
(sadar) berhubungan dengan otot rangka atau otot lurik. Untuk sistem saraf sadar tersusun
atas sistem saraf kranial dan sistem saraf spinal.
- Divisi eferen: bagian yang berfungsi untuk menerima impuls dari otak dan meneruskan
ke medulla spinalis ke sel-sel organ efektor.
- Neuromediator: neurotransmitter yang dapat memengaruhi neuron dalam jumlah besar
pada satu waktu.
- obat otonom: yaitu obat yang bekerja pada berbagai tahap transmisi dalam sistem saraf
otonom, mulai dari sel saraf sampai efektor. Sistem saraf otonom itu sendiri adalah
bagian sistem saraf tepi yang bersifat otonom (indenden) dimana aktivitas nya tidak
dibawah kontrol kesadaran. Didalam istem saraf otonom dibagi menjadi 2 bagian yaitu
divisi simpatis (tarakolumbal) dan divisi parasimpatis (kraniosakral). Kedua divisi ini
diawali dari sistem saraf pusat yg memunculkan serabut saraf eferen preganglionik yang
keluar dari batang otak atau medula spinalis dan berakhir pada ganglia motrik
(pascaganglion)

6
Rumusan Masalah dan Pnjelasan

1. Pengertian dan fungsi kolinergik


Kolinergik merupakan obat yang merangsang saraf parasimpatomimetik. Tugas
utama Saraf parasimpatik yaitumengumpulkan energi dari makanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbulah
sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek pemberian obat
kolinergik ini seperti penurunan heart rate, vasodilatasi pembuluh darah. Kolinergk dapat
juga disebut sebagai anti-adrenergik (simpatolitik ).
Obat-obat kolinergik adalah istilah obat pada system saraf parasimpatik, dimana
menurut scenario, obat-obat kolinergik itu terdiri atas dua jenis, yaitu agonis dan
antagonis. Agonis kolinergik atau yang sering disebut dengan KOLINERGIK adalah
sekumpulan zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi pada susunan
parasimpatis karena melepaskan neuron asetilkoli diujung neuronnya. Kolinergik dapat
berfungsi untuk 1. menstimulasi sekresi kelenjar-kelenjar yang menerima persarafan
kolinergik parasimpatis atau simpatis termasuk kelenjar lakrimal, saliva, pencernaan,
trakeobronkial, dan keringat 2. mestimulasi otot polos pada saluran gastrointestinal
sehingga dapat meningkatkan torus dan motilitas 3. menstimulasi saluran gastrointestinal
tanpa adanya efek kardiovaskular yang signifikan. 4. mengatasi retensi urine dan
pengosongan kandung kemih yang tidak memadai jika tidak adanya obstruksi organik 5.
menstimulasi konstriktor pupil dan otot siliari.
Obat-obat yang merangsang sistem saraf parasimpatis disebut sebagai obat-
obat kolinergik, atau parasimpatomimetik, karena mereka menyerupai
neurotransmitter parasimpatis, asetilkolin. Obat-obat kolinergik juga dikenal dengan
kolinomimetik, perangsang kolinergik, atau agonis kolinergik. Asetilkolin (AK) adalah
neurotransmitter yang terdapat pada ganglion dan ujung saraf terminal parasimpatis
dan mempersarafi reseptorreseptor pada organ, jaringan dan kelenjar. Ada dua jenis
reseptor kolinergik: (1) reseptor muskarinik yang merangsang otot polos dan
memperlambat denyut jantung dan (2) reseptor nikotinik (neuromuscular) yang
memengaruhi otot rangka. Banyak dari obatobat kolinergik bersifat nonselektif karena
mereka memengaruhi baik reseptor muskarinik maupun reseptor nikotinik. Obat-obat

7
kolinergik pada SSO selektif untuk reseptor muskarinik dan tidak memengaruhi
reseptor nikotinik.(Sujati W., 2016)

2. Pengertian dan fungsi adrenergik


Obat adrenergic adalah obat yang berfungsi untuk memicu aktivitas saraf simpatis
karena menyerupai neurotransmitter yaitu norepinapfrin dan epinephrine. Obat ini
bekerja pada suatu reseptor adrenergic yang terdapat pada sel-sel otot polos seperti
jantuung, dinding bronkiolus, saluran gastrointestinal, kandung kemih, dan otot siliaris
pada mata. Reseptor adrenergic meliputi a1, a2, b1, dan b2. Farmakodinamika pada obat
ini adalah Inotropik yaitu dapat pengaruhi kontraksi otot Dan untuk Efek sampingnya
saat peningkatan dosis antara lain : Pusing, Mual dan muntah, Hipertensi, Tremor , dan
lain sebagainya. Untuk Kontraindikasi dari penyakit ini yaitu Tidak boleh digunakan
pada ibu hamil dan Tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami anoreksia serta
pasien insomnia.

Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkannya mirip
perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmiter norepinefrin dan
epinefrin (yang disebut juga noradrenalin dan adrenalin). Golongan obat ini disebut juga
obat simpatik atau simpatomimetik.Cara kerja obat adrenergik dibagi dalam 7 jenis (1)
perangsangan organ perifer: otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa serta kelenjar
air liur dan keringat (2) penghambatan organ perifer: otot polos usu, bronkus dan
pembuluh darah otot rangka (3) perangsangan jantung: dengan akibat peningkatan denyut
jantung dan kekuatan kontraksi (4) perangsangan SSP: misalnya perangsangan
pernafasan, peningkatan kewaspadaan, aktivitas psikomotorik dan pengurangan nafsu
makan (5) efek metabolik: misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis
dan penglepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak (6)efek endokrin: misalnya
modulasi sekresi insulin, renin dan hipofisis dan (7) efek prasinaptik: dengan akibat
hambatan atau peningkatan penglepasan neurotransmitter NE atay Ach.
Obat-obat simpatomimetik yang merangsang reseptor adrenergic
diklasifikasikan ke dalam 3 golongan berdasarkan efeknya pada sel-sel organ: (1)
simpatomimetik yang bekerja langsung, yang langsung merangsang reseptor

8
adrenergic (contoh epinefrin atau norepinefrin), (2) simpatomimetik yang bekerja
tidak langsung, yang merangsang pelepasan norepinefrin dari ujung saraf terminal
(contoh, amfetamin) dan (3) simpatomimetik yang bekerja campuran (baik langsung
maupun tidak langsung), yang merangsang reseptor adrenergic dan merangsang
pelepasan norepinefrin dari ujung saraf terminal.(Sujati W., 2016)

3. Macam obat agonis kolinergik


Obat-obat kolinergik yang bekerja tidak langsung tidak bekerja pada reseptor,
tetapi mereka menghambat enzim kolinesterase, sehingga memungkinkan asetilkolin
menumpuk pada tempat reseptor. Karena cara kerjanya demikian, maka obat ini uga
dikenal dengan nama penghambat kolinesterase, atau antikolinesterase, yang
mempunyai dua jenis, yaitu: reversible dan ireversibel. Penghambat-penghambat ini
dipakai untuk menimbulkan kontriksi pupil dalam pengobatan glaucoma dan untuk
meningkatkan kekuatan otot pada klien dengan miastenia gravis (suatu kelainan
neuromuscular). Efek-efek obat menetap selama beberapa jam. Obat-obat yang
dipakai untuk meningkatkan kekuatan otot pada mistenia gravis adalah neostigmin
(masa kerja singkat), piridostigmin bromida (masa kerja sedang), ambenonium klorida
(masa kerja panjang), dan edrofonium klorida (masa kerja singkat untuk tujuan
diagnosis). Penghambat-penghambat ireversibel adalah agen yang kuat karena efek
jangka panjangnya. Enzim kolinesterase harus diregenerasi sebelum efek obat
menghilang, suatu proses yang dapat memakan waktu berhari-hari atau berminggu-
minggu. Obat-obat ini dipakai untuk menghasilkan kontriksi pupil dan untuk
pembuatan insektisida organofosfat. (Sujati W., 2016)
Macam-macam agonis kolinergik
1. kerja langsung
Banyak obat dalam kelompok ini terutama selektif untuk reseptor muskarinik,
tetapi nonspesifik karena reseptor muskarinik berada dalam otot polos saluran GI
dan genitourinarius, kelenjar dan jantung maka penggunaan klinisnya terbatas.
a. Asetilkolin
Dalam terapi kurang penting kerjanya beragam dan sangat cepat diinaktifkan
oleh asetilkolinesterase. Aktivitasnya muskarinik dan nikotinik

9
Kerjanya:
•Menurunkan denyut jantung dan curah jantung
•Menurunkan tekanan darah
•Meningkatkan sekresi saliva, memacu sekresi dan gerakan usus, memacu
sekresi bronchial
•Pada mata, memacu kontraksi otot siliaris utk melihat dekat dan
mengkontraksi otot sfingter pupil shg terjadi miosis
b. Betanekol
• Tidak dihidrolisis oleh asetilkolin esterase
• Masa kerjanya sekitar 1 jam
• kerja utamanya thd otot polos kandung kemih dan salura cerna
• Memacu langsung reseptor muskarinik shg tonus dan motilitas usus
meningkat
• Untuk meningkatkan berkemih, dapat merangsang motilitas lambung
c. Karbakol
• Bekerja sebagai muskarinik maupun nikotinik
• Tidak dapat dihancurkan asetilkolinesterase
• Pd pemberian injeksi memperkuat tonus otot polos usus dan kandung
kemih
• Digunakan : merangsang peristaltik setelah operasi, terapi atonik kandung
kemih ; mengeluarkan gas dr usus besar sebelum pemeriksaan X-ray pd
perut ; sbg miotikum tuk kontraksi pupil dan menurunkan tekanan bola
mata
d. Pilokarpin
• Menunjukkan aktivitas muskarinik dan stabil dr hidrolisis
asetilkolinesterase
• Topikal pada kornea menimbulkan miosis dg cepat dan kontraksi otot
siliaris
• Pemacu sekresi kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tp tidak digunakan
utk maksud demikian
• Drug of choice pd keadaan gawat utk glaukoma

10
• Efek samping: menimbulkan gangguan SSP dan merangsang keringat dan
saliva yg berlebihan.

2. Agonis kolinergik tak langsung (reversible)

Asetilkolinesterase adalah enzim khusus yang memecah asetilkolin


menjadi asetat dan kolin, enzim ini melekat pada pre dan pasca sinap. Obat
penyekat asetilkolinesterase ( anti kolinesterase) secara tidak langsung bekerja
sebagai kolinergik dengan memperpanjang keberadaan asetilkolin endogen yang
dilepas oleh ujung saraf kolinergik, keadaan ini menimbulkan penumpukan
asetilkolin dalam ruang sinaptik. Antikolinesterase mampu memacu respon semua
kolinesterase pada SSO, sambungan neuromuskular dan otak. Obat ini merupakan
substrat untuk asetilkolinesterase, dan membentuk senyawa perantara enzim-
substrat yang relatif stabil yang berfungsi menginaktifkan secara reversibel
asetilkolinesterase. Akibatnya terjadipotensiasi aktivitas kolinergik di seluruh
tubuh.

Macam-macam:

- Edrofonium adalah suatu amin kuartener yang mempunyai kerja mirip dengan
neostigmine dan bila dibandingkan dengan neostigmin, obat ini lebih cepat
diserap dan masa kerjanya lebih singkat antara 10-20 menit. Penggunaan
klinisnya untuk miastenia gravis (kelemahan otot).
- Neostigmin dimana ini sama dengan fisostigmin, tapi lebih polar sehingga
tidak dapat masuk SSP. Efek terhadap otot rangka lebih kuat dari fisostigmin
sehingga dapat memacu kontraktilitas sebelum terjadi kelumpuhan.
Digunakan untuk memacu kandung kemih dan sal cerna serta sebagai
antidotum keracunan tubokurarin. Efek samping berupa salivasi, muka merah
dan panas, tekanan darah menurun, mual, nyeri perut, diare dan bronkospasme
- Fisostigmin bekerja luas pada reseptor muskarinik dan nikotinik dari SSO dan
reseptor Nikotinik pada Neuromuskular. Lama kerja 2 – 4 jam. Obat dapat
mencapai dan memacu SSP. Fungsinya untuk meningkatkan gerakan usus dan
kandung kemih sehingga mengobati kelumpuhan pada kedua organ tersebut,
Dapat untuk glaukoma, tapi pilokarpin lebih efektif, Untuk mengobati kerja

11
antikolinergik yang berlebihan (atropin, fenotiazin, obat anti depresi siklik).
Efek samping : Kejang, bradikardi. Hambatan pada asetilkolinesterase pada
Neuromuskular justru menimbulkan penumpukan asetilkolin dan dapat terjadi
kelumpuhan, namun pada dosis terapi jarang terjadi
- Piridostigmin yang fungsinya untuk pengobatan jangka panjang miastenia
gravis. Masa kerja lebih panjang (3 – 6 jam), neostigmin (2 - 4 jam)

Agonis kolinergik (Kolinomimetik), merupakan obat atau senyawa yang


memperkuat atau meningkatkan aktivitas syaraf kolinergik, dibagi menjadi 2 golongan
berdasarkan target aksinya:

1) Agonis kolinergik langsung, dibagi menjadi 3:

a) Golongan ester

Memiliki bentuk yg hampir mirip dengan struktur asetil kolin. namun obat
golongan ini lebih tahan terhadap enzim pendegradasi Asetilkolin esterase.
karenanya efek obatnya dapat bertahan lama. Contoh : Carbachol, Methacholine,
dan Betanechol (selektif untuk reseptor muskarinik).

b) Golongan alkaloid

Berasal dari tanaman. sehingga tidak dapat dimetabolisme oleh enzim asetil-
kolinesterase, contoh: arekolin, muskarin dan pilokarpin.

c) Golongan nikotin

Untuk terapi membantu pasien menghentikan kebiasaan merokok.

2) Kolinesterase inhibitor, merupakan obat atau senyawa yang menghambat kerja enzim
asetilkolinesterase (yang mendegradasi asetilkolin). dibagi menjadi 2 golongan, namun
cara kerja keduanya sama yaitu sebagai substrat palsu sehingga Asetilkolin
menggandeng obat tersebut, bukan asetil-kolinesterase

a) Kerja tidak langsung (reversible)

Menghambat interaksi asetilkolin dengan enzim asetil-kolinesterase. namun


setelah waktu tertentu kompleks tersebut bisa lepas. Sehingga kadar asetilkolin

12
akan meningkat dan biasanya digunakan untuk penyakit yang kadar asetilkolinnya
turun (alzheimer, myasthenia gravis, demensia). obatnya:

- Edroponium: digunakan untuk diagnosis apakah pasien menderita myasthenia


gravis (penyakit autoimun dimana ototnya lemah).

- Neostigmin dan piridostigmin: untuk terapi secara per oral.

b) Kerja tidak langsung (irreversible) ( bukan obat)

Memfosforilasi enzimnya sehingga enzim terinaktivasi. namun sayangnya mereka


kurang selektif dibanding golongan di atas sehingga bisa menghambat berbagai
enzim yang ada serine-nya.

Jika asetil-kolinesterase dihambat kuat, maka kadar asetilkolin akan meningkat


karena tidak ada yang menginaktivasi. Akibatnya seolah-olah otot terasa kuat dan
juga keringat berlebihan.

Biasanya golongan senyawa ini digunakan pada insektisida, yang lebih bahaya
adalah senyawa organofosfat bisa menembus semua membran: kulit bahkan barier
darah otak

4. Macam obat antagonis kolinergik

Antagonis kolinergik (disebut juga obat penghambat kolinergik, parasimpatolitik,


atau obat antikolinergik) berikatan dengan kolinoseptor, tetapi tidak memicu efek
intraseluler yang diperantarai reseptor, seperti biasanya.Manfaat terbesar obat golongan
ini adalah efek penghambatan sinaps muskarinik secara selektif pada saraf parasimpatis.
Oleh sebab itu, efek persarafan parasimpatis menjadi terganggu dan kerja perangsangan
simpatis muncul tanpa hambatan. Kelompok kedua obat ini, penghambat ganglionik,
lebih menghambat reseptor nikotinik pada ganglia simpatetik dan parasimpatetik. Secara
klinis, golongan obat yang ini kurang penting di antara obat-obat antikolinergik lain.
Kelompok ketiga senyawa ini, obat pelemas neuromuskular, mengganggu transmisi
impuls eferen yang menuju otot rangka. Obat-obat kelompok ketiga ini digunakan
sebagai ajuvan anestetik selama pembedahan.

13
Antagonis kolinergik diklasifikasikan menjadi 3 yaitu obat anti muskarinik,
penyakit ganglionik, dan penyakit neuromuscular. Obat anti muskarinik menyekat
reseptor muskarinik shg menghambat smua fungsi muskarinik dan tidak mempengaruhi
sambungan saraf otot rangka atau ganglia otonom dan juga menyekat neuron simpatis yg
jg kolinergik, spt saraf simpatis yg menuju ke kelenjar keringat. Contohnya adalah
atropin, ipratorium, dan skopolamin. Atropin memiliki afinitas yg kuat terhadap reseptor
muskarinik, dimana obat ini terikat sec. kompetitif shg mencegah asetilkolin terikat pd
tempatnya di reseptor muskarinik. Penggunaan klinik sebagai Oftalmik, Obat
antispasmodic, Antidotum utk agonis kolinergik, dan Obat anti sekresi. Skopolamin
biasanya digunakan untuk pencegahan mabuk perjalanan dan penumpulan daya ingat
jangka pendek. Serta ipratropium bermanfaat utk pengobatan asma dan penyakit paru
obstruktif menahun (PPOM) pada px yg tidak cocok dg agonis adrenergic.

Macam-macam dan jenisnya obat antagonis kolinergik, dapat dibagi menjadi 3:

1. Berdasarkan obat anti muskarinik (Atropin, Ipratropium, Skopolamin).


Anti muskarinik merupakan klasifikasi antikolinergik yang melawan respon
Muskarinik sehingga menghambat semua fungsi muskarinik dan tidak mempengaruhi
sambungan saraf otot rangka atau ganglia otonom.
2. Berdasarkan penyekat ganglionik ( Mekamilamin, Nikotin, Trimetafan)
Untuk klasifikasi berdasarkan penyekat ganglionik, dimana pbat ini akan berada pada
respon nikotinik pada semua keluaran sistem saraf otonom. Untuk klasifikasi ini
memiliki respon yang cukup sulit karena penyekat ganglionik jarang digunakan
untuk maksud terapi. Disinin tidak terdapat selektivitas pada ganglia simpatis
maupun parasimpatis sebagai penyekat neuromuskular. Kenapa obat ini jarang
digunakan, karena lebih sering digunakan sebagai alat dalam eksperimental
farmakologi.
3. Berdasarkan penyekat neuromuskular (Atrakurium, Dokaakurium, Metokurium,
Mivakurium, Panikuronium, Piperkuronium, Rekurenium, Sukainikolin, Tubokurarin,
Vekuronium). Sedangkan untuk pengklasifikasian berdasarkan obat penyekat
neuromuskular, yaitu memiliki struktur yang analog dengan Asetilkolin dan
sistemnya bisa antagonis maupun agonis.

14
 Obat-obatanti kolinergik-antiparkinsonisme
Atropin pernah diberikan kepada klien dengan penyakit Parkinson
untuk mengurangi salivasi dan berliur. Ternyata ditemukan bahwa atropine
juga mempunyai efek terhadap manifestasi motorik dari penyakit ini dengan
mengurangi tremor dan rigiditas. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan
bahwa agen-agen antikolinergik (antimuskarinik) juga memengaruhi SSP
selain sistem saraf parasimpatis. Obat-obat antikolinergik ini memengaruhi
SSP dengan menekan tremor dan rigiditas otot dari parkinsonisme, tetapi
hanya sedikit menimbulkan efek pada mobilitas dan kelemahan otot. Akibat
dari penemuan ini, maka dikembangkan beberapa obat antikolinergik, seperti
triheksifenidil, prosiklidin, biperiden, dan benztropin, untuk pengobatan
penyakitParkinson. Kini obat-obat tersebut dapat dipakai dengan kombinasi
dengan levodopa untuk mengendalikan parkinsonisme atau dipakai tunggal
untuk mengobati pseudoparkinsonisme akibat efek samping dari fenotiazin
dalam obat-obat antipsikotik.

 Antihistamin untuk mengobati mabuk jalan


Efek antikolinergik pada SSP menguntungkan klien yang peka terhadap
mabuk perjalanan. Salah satu contoh dari antikolinergik yang demikian,
diklasifikasikan sebagai antihistamin untuk mabuk perjalanan, adalah
skopolamin. Obat ini tersedia dalam bentuk topical sebagai skin-patch
(Transdermcop) yang dipakai di belakang telinga. Skopolamin transdermal
dilepaskan selama 3 hari dan sering kali diresepkan untuk kegiatan yang
menyangkut penerbangan, perjalanan laut atau perjalanan darat. Obat-obat
lain yang diklasifikasikan ke dalam antihistamin untuk mabuk perjalanan
adalah dimenhidrinat, siklizin, dan meklizin. Kebanyakan dari obat ini dapat
dibeli bebas kecuali Transdermcop. (Sujati W., 2016)

15
5. Macam obat agonis adrenergik
a. Agonis adrenergik langsung

Obat yang termasuk tipe ini langsung berikatan pada reseptor adrenergik, sehingga
mengaktivasi reseptor tersebutObat 2 yg bertindak sebagai agonis adrenergik langsung
memiliki afinitas terhadap reseptor2 tertentu. Misalnya :

1. Norepinefrin : memiliki afinitas terhadap reseptor α, β1

2. Epinefrin : memiliki afinitas terhadap reseptor α, β1, β2

3. Isoproterenol: memiliki afinitas terhadap reseptor β1, β2

Efek terhadap tubuh

1. Stimulasi jantung

2. Efek terhadap otot polos.Terhadap 2 reseptor: α dan β

stimulasi terhadap reseptor α akan menyebabkan vasokonstriksi

stimulasi terhadap reseptor β akan menyebabkan vasodilatasi

3. Bronkodilatasi

4. Efek metabolism

Pemacuan reseptor β akan menginduksi proses glukoneogenesis (glikogen jadi


glukosa)

Obat lain :

1. Fenileprin, metaraminol, dan methoxamine

Ketiga obat di atas efeknya terhadap reseptor α menyebabkan vasokonstriksi dan


peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik Karena efeknya sebagai
vasokonstriktor maka ketiga obat tersebut digunakan untuk mengembalikan
tekanan darah selama anestesi spinal maupun keadaan hipotensif lainnya.
fenileprin juga secara luas dipakai sebagai nasal dekongestan namun jangan

16
diberikan kepada penderita glaukoma karena dikhawatirkan terjadi peningkatan
tekanan intraocular

2. Dobutamin

Efek terhadap reseptor β1. Fungsinya untuk meningkatkan denyut jantung.

3. Terbutaline dan Albuterol

Untuk obat penyakit asma karena merupakan agonis selektif untuk reseptor β2.

b. Agonis adrenergik tidak langsung

1. Menghambat re-uptake : jika NE banyak atau tidak digunakan maka akan


mengalami reuptake masuk kembali ke sel syaraf semula dan disimpan dalam
granul.

2. Menghambat MAO (mono amin oksidase) : karena MAO-lah yg menginaktivasi


neuro transmitter.

3. Menyebabkan pelepasan NE.

Obat Agonis Adrenergik tidak Langsung

1. Efedrin

Dapat menembus sawar darah otak dan mempengaruhi sistem saraf pusat. Cara
kerjanya adalah melepaskan norepinefrin. Namun ada juga efek lainnya yaitu
sebagai bronkodilator.

2. Amphetamine dan turunannya

Efeknya sama kaya efedrin yaitu bisa menembus sawar darah otak namun efeknya
jauh lebih kuat para atlit yg minum ini akan merasa betenaga dan tidak merasa
capek. Sekarang sudah tidak direkomendasikan sebagai obat lagi karena
disalahgunakan.

Macam-macam obat agonis andrenergik yaitu secara langsung, tidak langsung dan
campuran Obat yg termasuk tipe ini langsung berikatan pada reseptor adrenergik.
sehingga mengaktivasi reseptor tersebut agonis andrenergik secara langsungobat2 yg

17
bertindak sebagai agonis adrenergik langsung memiliki afinitas terhadap reseptor2
tertentu. misalnya:

1. Norepinefrin : memiliki afinitas terhadap reseptor α, β1

2. Epinefrin : memiliki afinitas terhadap reseptor α, β1, β2

3. Isoproterenol: memiliki afinitas terhadap reseptor β1, β2

Agonis yang ini dia bereaksi secara tidak langsung. cara kerjanya:

Obat agonis adrenergic (obat simpatis/ agonis simpatis/ simpatomimetik/


adrenomimetik) dibagi menjadi tiga macam, yaitu: langsung, tak langsung, campuran
Langsung:
1. Epineferin/ adrenaline
memiliki afinitas terhadap reseptor α, β1, β2
2. Norepinefrin
memiliki afinitas terhadap reseptor α, β1
3. Dopamine (stimulasi terhadap d1, d2, d3, d4)
4. Isoproterenol
Memiliki afinitas terhadap reseptor β1, β2
Keterangan:
.α = stimulasi terhadap reseptor α otot polos akan menyebabkan vasokonstriksi
β = menginduksi proses glukoneogenesis (glikogen jadi glukosa), stimulasi terhadap
reseptor β otot polos akan menyebabkan vasodilatasi
β1 = reseptor pada jantung
β2 = Reseptor apa yg ada di bronkus

a. Direct-acting agonists, obat golongan ini langsung berikatan dengan reseptor α dan β,
menghasilkan efek yang sama dengan stimulus saraf simpatis ataupun efek yang
dihasilkan hormon epinefrin yang disekresikan oleh kelenjar adrenal medula. Yang
termasuk golongan obat ini adalah: epinefrin, norepinefrin, isoproterenol, dopamin
dan fenilefrin.

18
b. Indirect-acting agonists, obat golongan ini mampu memasuki neuron presinaptik dan
merangsang pelepasan norepinefrin dari sitoplasma neuron maupun dari vesikel
penyimpanan. Akibat stimulus ini, norepinefrin dilepaskankemudian berikatan dengan
reseptor dan menghasilkan efek simpatomimetik. Yang termasuk golongan ini adalah:
Amfetamin dan tiramin.
c. Mixed-action agonist, beberapa oabat agonis adrenergic mempunyai kemampuan
untuk berikatan langsung dengan reseptor α, β maupun menstimulus pelepasan
norepinefrin dari neuron pre sinaptik. Yang termasuk golongan ini adalah efedrin dan
metaraminol. (Asep Sukohar, 2014)

6. Macam obat antagonis adrenergik

Macam-macam obat antagonis adrenergic /simpatolitik adalah golongan


penghambat reseptor adrenergic α (alpha blocker), golongan penghambat reseptor
adrenergic β (beta blocker) , dan golongan penghambat saraf adrenergic atau disebut juga
sebagai central acting (central blocker). dimana alpha blocker dibagi lagi menjadi non
selective dan selective . selective dibagi lagi menjadi alpha 1 dan alpha 2. contoh obat α
blocker non selective adalah phenoxybenzamine dan phentolamine. contoh obat α blocker
selective alpha 1 adalah prazosin, terazosin, doxazosin,tamsulosin, alfuzosin, dan
silodosin. contoh obat α blocker selective alpha 2 adalah yohimbin. untuk beta blocker
juga dibagi lagi menjadi non selective (β1 + β2) dan selective. selective dibagi lagi
menjadi beta 1 (cardioselective) dan beta2 . contoh obat non selective adalah propranol,
sotalol, nadolol, timolol, alprenolol, pindolol, labetalol, dan carvedilol. contoh obat
selective beta 1 adalah metoprolol, atenolol, bisoprolol, dan celiprolol. contoh obat
selective beta 2 adalah butoxamine. untuk central acting, contoh obatnya adalah
guanethidin, guanadrel, reserpin, dan metirosin.

Antagonis adrenergik (Adrenolitik / simpatolitik) ialah golongan obat yang


menghambat perangsangan adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya golongan obat ini
dibagi menjadi antagonis adrenoreseptor dan penghambat saraf adrenergik. Antagonis
adrenoreseptor atau adrenoreseptor bloker adalah obat yang menduduki adrenoreseptor
sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat adrenergik, dan dengan

19
demikian menghalangi kerja obat adremergik pada sel efektornya. Untuk masing-masing
adrenoreseptor α dan β ada penghambatnya yang selektif. (1) Antagonis adrenoreseptor α
atau α-blocker memblok reseptor α dan tidak menduduki reseptor β. (2) antagonis
adrenoreseptor β atau β –blocker memblok hanya pada reseptor β dan tidak
mempengaruhi reseptor α (3) Untuk penghambat saraf adrenergik adalah obat yang
mengurangi respon sel efektor terhadap perangsangan saraf adrenergik, tetapi tidak
terhadap obat adrenergik eksogen. Obat golongan ini bekerja pada ujung saraf
adrenergik, mengganggu pelepasab atay penyimpanan norepinefrin (NE)

(1) Antagonis adrenoreseptor α atau α-blocker, dibagi menjadi :


 α-blocker nonselektif : terbagi menjadi 3 kelompok yaitu derivat haloalkilamin,
derivat imadiazolin, alkaloid ergot
 α1-blocker selektif : terbagi menjadi derivat kunazolin dan beberapa obat lain
misalnya indoramin dan urapidil
 α2-blocker : hanya dikenal yohimbin, struktur kimia nya mirip reserpin

(2) Antagonis adrenoreseptor β atau β –blocker

Dikloroisoproterenol adalah β –blocker yang pertama ditemukan tapi tidak


digunakan karena obat ini merupakan agonis parsial yang cukup kuat. Propranolol
kemudian ditemukan,

(3) Penghambat saraf adrenegik

Penghambat saraf adrenegik menghambat aktivitas saraf adrenergik berdasrkan


gangguan sintesis atau penyimpanan dan pelepasan neurotransmitter di ujung
saraf adrenergik. Dalam kelompok ini termasuk guametidin, guanadrel, reserpin
dan metirosin.

Antagonis adrenergic merupakan obat yang mengeblok sistem saraf simpatik dengan
mekanisme:

a) menurunkan rangsang simpatetik dari otak

b) mengeblok reseptor adrenergik

c) menurunkan pengeluaran NE

20
1. α Blocker : obat atau senyawa yang mengeblok reseptor alfa adrenergik, dibagi
menjadi:

o Pengeblok α

Tugasnya mengeblok reseptor α secara tidak spesifik (α 1 dan α 2 sama2


diblok). Contoh obatnya seperti: fentolamin, tolazolin. Yang fungsinya
untuk vasodilator.

o Pengeblok α-1

Spesifik hanya untuk α-1. Contoh obatnya seperti: prazosin, trimazolin,


terazolin. Dengan fungsinya sebagai obat antihipertensi (α-1 yang
menyebabkan vasokonstriksi).

o Pengeblok α-2
Bertugas dengan spesifiknnya hanya untuk α-2. Contoh obatnya seperti:
yohimbin. efek samping: aprodisiaka
2. β Blocker : obat atau senyawa yg mengeblok resptor beta adrenergik, dibagi
menjadi:
o Pengeblok β

Mengeblok reseptor β secara tidak spesifik. karenanya jarang digunakan.


Contoh obat: propanolol, karteolol, pindolol, timolol. Fungsi :
menurunkan denyut jantung, kardiak output, tekanan darah.

o Pengeblok β-1

Spesifik hanya untuk β-1. Contoh obat: asebutolol, atenolol, betaxolol.


Fungsinya : menurunkan frekuensi denyut jantung dan untuk pengobatan
hipertensi.

o Pengeblok β-2
Spesifik hanya untuk β-2. Contoh: butaxamine, menyebabkan
bronkokonstriksi.

21
3. Central bloker

Mekanismenya dengan menurunkan aktivitas sel syaraf simpatik. Dengan


menghambat rangsan simpatetik dari otak maupun menghambat pengeluaran
NE dari ujung syaraf simpatik

 Antagonis- α
- Prazosin, terazosin, doksazosin (Afinitas reseptor 1 >>>>2)
- Fenoksibenzamin (Afinitas reseptor 1 >2)
- Fentolamin (Afinitas reseptor 1 = 2)
- Rauwolschin, yohimbin, tolazolin (Afinitas reseptor 2 >>1)
 Antagonis kombinasi
- Labetalol, Carvedilol (Afinitas reseptor 1,= 2 1, >2)
 Antagonis-
- Metoprolol, acebutolol, alprenolol, atenolol, betaxolol, celiprolol,
esmolol (Afinitas reseptor 1,>>>2 (cardioselective))
- Propranolol, carteolol, penbutolol, pindolol, timolol (Afinitas
reseptor 1,= 2 (nonselective))
- Butoxamine (Afinitas reseptor 2>>>)
 Antagonis- with (+) ISA
- Acebutolol, carteolol, celiprolol, penbutolol, pindolol (Asep Sukohar,
2014)

7. Cara kerja kolinergik

Ester kolin (koligernik kerja langsung). Bekerja hampir mirip dengan kerja
astilkolin pada reseptor kolinergik. Obat-obat ini berkaitan dengan reseptor pada
membrane sel-sel organ target mengubah permeabilitas membrane sel dan mempermudah
pengaliran kalsium dan natrium ke dalam sel yang menyebabkan stimulasi otot. Biasanya
efek samping yang dihasilkan oleh efek-efek nonspesifiknya pada sistem saraf
parasimpatik, seperti pengunaan betanekol mengurangi urin.
Mekanisme kerja dari ester kolin (kolinergik kerja tidak langsung):Obat-obat
antikolinesterase meningkatkan kadar dan efek ach pada tempat reseptor dalam SSP atau

22
ganglia otonomik, pada sel-sel efektor di viscera, dan pada motor end plate. Bergantung
pada tempat kerja, dosis obat, dan masa kerjanya, obat-obat ini dapat memberikan efek
stimulasi atau efek depresi pada reseptor kolinergik. Dimana efek samping yang umum
terjadi berupa efek parasimpatomimetik. Pada mata berupa penglihatan kabur, penurunan
akomodasi, miosis; pada kulit akan keluar banyak keringat; pada saluran cerna akan
terjadi peningkatan salvias, kembung, mual, muntah, kram usus dan diare.Efek
brokontriksi: nafas terasa pendek, mengi, atau terasa tegang di dada. Vasodilatasi:
penurunan denyut jantung dan pengurangan kontraksi otot jantung.Efek pada SSP:
Irritabilitas, ansietas atau rasa takut (pada beberapa kasus), dan terjadi kejang.
Dalam sistem cara kerja kolinergik, terdapat 2 jenis enzim yang sangat berperan
penting, yakni kolinasetilase dan kolinesterase,keduanya ini berhubungan erat dengan
Ach. Kolinasetilase sendiri memiliki fungsi mengkatalisis sintesis Ach saat tahap
pemindahan gugus asetil dari asetikoenzim-A ke molekul kolim. Setelah itu, enzim ini
akan disintesis dalam perikarion sel saraf dan ditransporkan ke Asetil KoA untuk
disintesis, sedangkan kolinnya akan didapatkan melaluinujung saraf. Kemudian, enzim
ini akan menghidrolisi Ach menjadi kolin dan asam asetat. Sedangkan untuk ezim yang
satunya, yaitu enzim kolinesterase, dimana untuk enzim ini ada 2 jenis yaitu
asetilkolinesterase dan butirilkolinesterase. Asetilkolinesterase biasanya terdapat di
membran pra maupun pascasinaps, sedangakan untuk butirilkolinesterase lebih banyak
terdapat di plasma dan hati. Faktor yang berpengaruh pada cara kerja kolinergi ada 4:

1. Hambatan pada sintesis atau penglepasan transmitor


Untuk faktor pertama yaitu hambatan pada sintesis atau penglepasan transmitor,
dapat seperti pada obat Hemikolinium, memiliki efek menghambat kolin ke dalam
ujung saraf sehingga mengurangi sintesis Ach, selain itu juga terdapat toksin
batolimun menghambat pelepasan Ach pada saraf kolinergik dan memicu adanya
kematian.
2. Menyebabkan penglepasan transmitor
Untuk faktor kedua, yaitu yang dapat menyebabkan penglepasan transmitor,
contohnya seperti pada laba-laba black widow yang menyebabkan pelepasa Ach
(eksositosis) yang berlebihan dan disusul dengan blokade saat pengelepasan.

23
3. Ikatan dengan reseptor
Untuk faktor ketiga yaitu adanya ikatan dengan reseptor yang menimbulkan adanya
sifat obat ogonis dan obat antagonis.
4. Hambatan destruksi transmitor
Untuk faktor keempat yaitu hambatan destruksi transmitor seperti adanya
antikolinesterase yang dapat menghambat destruksi Ach yang kemudia dapat disusul
dengan adanya blokade di reseptor nikotinik.

Obat otonom adalah obat yang pengaruhi penerusan impuls dalam SSO dengan
cara mengganggu sintesis, penimbunan, pembebasan atau penguraian NT atau
memengaruhi kerjanya atas reseptor khusus. Berikut adalah contoh untuk tiap
mekanisme kerja obat otonom:

a. Sintesis transmitter yaitu metiltirosin melalui penghambatan tirosin hidroksilase,


metildopa menghambat dopa dekarboksilase  memblok sintesis NE.
Hemikolinium menghambat ambilan kolin kedalam ujung saraf  hambat
sintesis ACh.
b. Pelepasan transmitter yaitu toksin botulinus/tetanus menghambat pelepasan
Ach, guanetidin, dan bretilium menghambat pelepasan NE. Racun laba-laba
black-widow menyebabkan pelepasan Ach (eksositosis) disusul dengan blokade.
c. Ikatan dengan reseptor agonis dan antagonis adrenergik dan kolinergik.
d. Hambatan destruksi transmittor dimana kokain dan antidepresi trisiklik
menghambat ambilan kembali NE. Fisostigmin hambat asetilkolinesterase 
hambat destruksi Ach. Tranilsipromin menghambat MAO  hambat destruksi
NE. (Sujati W., 2016)

8. Cara kerja adrenergik

Mekanisme/ cara kerja agonis adrenergic.

 Agonis bekerja langsung


Obat ini bekerja langsung pada reseptor alfa maupun beta dengan mnimbulkan
efek mirip pacuan saraf simpatis atau pelepasan hormone epinefrin dari medulla

24
 Agonis bekerja tidak langsung
Amfetamin dan tiramin ditarik kedalam neuron presinaptik dan menyebabkan
pelepasan norepinefrin dari simpanannya dalam sitoplasma atau vesikel neuron
adrenergic. Begitu ada pacu neuronal , maka norepinefrin masuk dan melintas
sinaps lalu terikat pada reseptor alfadan beta

Mekanisme kerja obat adrenergik merangsang reseptor α dan β pada sel efektor.
Pengaruh dari kerja obat adrenergik adalah :

o Kardio vascular, terjadinya vasokonstriksi (tekanan darah, denyut jantung &


kekuatan kontraksi jantung naik)
o SSP: kegelisahan, rasa kuatir, nyeri kepala dan tremor
o Otot polos : efeknya tergantung pd jenis reseptor pada organ tersebut.
o Pada saluran cerna : relaksasi otot polos saluran cerna,
o Uterus : penghambatan tonus dan kontraksi uterus,
o Kandung kemih : relaksasi otot detrusor kandung kemih,
o Pernafasan : relaksasi otot polos bronkus.
o Proses metabolik: menstimulasi glikogenolisis di sel-sel hati dan otot rangka,
lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
o Menhambat sekresi kelenjar , menurunkan tekanan intraokular, mempercepat
pembekuan darah

Obat adrenergic bekerja pada suatu reseptor adrenergic meliputi a1, a2, b1, dan
b2. yang terdapat pada sel-sel otot polos seperti jantuung, dinding bronkiolus, saluran
gastrointestinal, kandung kemih, dan otot siliaris pada mata. Kerja obat ini dapat dibagi
menjadi 7 jenis yaitu :

1. Perangsang perifer terhadap otot polos, pembuluh darah, kulit, dan mukosa, serta
kelenjar air liur dan kelenjar keringat

2. Penghambat perifer terhadap otot polos, usus, bronkus, pembuluh darah, dan otot
rangka

3. Perangsang jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi

25
4. Perangsang SSP, misalnya merangsang pernafasan, peningkata kewaspadaan , aktivitas
psikomotor, dan pengurangan nafsu makan

5. Efek metabolic, misalnya peningkatan glikogenesis di hati dan otot, lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak

6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi insulin, rennin dan hormone, hipofisis

7. Efek presinaps, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitter


NE dan Ach

Obat otonom adalah obat yang pengaruhi penerusan impuls dalam SSO dengan
cara mengganggu sintesis, penimbunan, pembebasan atau penguraian NT atau
memengaruhi kerjanya atas reseptor khusus. Berikut adalah contoh untuk tiap
mekanisme kerja obat otonom:

a. Sintesis transmitter yaitu metiltirosin melalui penghambatan tirosin hidroksilase,


metildopa menghambat dopa dekarboksilase  memblok sintesis NE.
Hemikolinium menghambat ambilan kolin kedalam ujung saraf  hambat
sintesis ACh.
b. Pelepasan transmitter yaitu toksin botulinus/tetanus menghambat pelepasan
Ach, guanetidin, dan bretilium menghambat pelepasan NE. Racun laba-laba
black-widow menyebabkan pelepasan Ach (eksositosis) disusul dengan blokade.
c. Ikatan dengan reseptor agonis dan antagonis adrenergik dan kolinergik.
d. Hambatan destruksi transmittor dimana kokain dan antidepresi trisiklik
menghambat ambilan kembali NE. Fisostigmin hambat asetilkolinesterase 
hambat destruksi Ach. Tranilsipromin menghambat MAO  hambat destruksi
NE. (Sujati W., 2016)

26
Mind Map

Learning Objective (LO)

1. Mahasiswa mampu memahami anatomi dan fisiologi dari sistem saraf otonom dan
pelepasan neurotransmitter serta jenis reseptor
2. Mahasiswa mampu memahami klasifikasi dari obat otonom
3. Mahasiswa mampu memahami indikasi dan kotraindikasi dari obat otonom
4. Mahasiswa mampu memahami farmako kinetik, farmako dinamik, penggunaan terapi,
efek samping serta cara kerja dari obat kolinergik (agonis dan antagonis)
5. Mahasiswa mampu memahami farmako kinetik, farmako dinamik, penggunaan terapi,
efek samping serta cara kerja dari obat adregenik (agonis dan antagonis)

27
BAB II

PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE

1. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM SARAF OTONOM DAN PELEPASAN


NEUROTRANSMITTER SERTA JENIS RESEPTOR
A. Anatomi Fisiologi SSO
Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu sistem saraf pusat (SSP)
yang terdiri dari otak dan medulla spinalis, serta sistem saraf tepi yang merupakan
sel-sel saraf yang terletak diluar otak dan medulla spinalis yaitu saraf-saraf yang -
masuk dan keluar sistem saraf pusat. Sistem saraf tepi selanajutnya dibagi dalam
divisi eferen yaitu neuron yang membawa sinyal dari otak dan medulla spinalis ke
jaringan tepi, serta divisi aferen yang membawa informasi dari perifer ke sistem
saraf pusat.
Sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan medulla spinalis
merupakan sistem saraf utama dari tubuh. Sistem saraf tepi terletak diluar otak
dan medulla spinalis, terdiri dari dua bagian: otonom dan somatic. Setelah
ditafsirkan oleh SSP, sistem saraf tepi menerima rangsangan dan memulai respons
terhadap rangsangan itu.
Sistem saraf otonom (SSO), juga disebut sebagai sistem visceral, bekerja pada
otot polos dan kelenjar. Fungsi dari SSO adalah mengendalikan dan mengatur
jantung, sistem pernapasan, saluran gastrointestinal (GI), kandung kemih, mata
dan kelenjar. SSO bekerja pada otot polos, tetapi SSO merupakan sistem saraf
involunter yang kita tidak atau sedikit bisa kendalikan. Kita bernapas jantung kita
berdenyut, dan peristaltic terjadi tanpa kita sadari. Tetapi, tidak seperti sistem saraf
otonom, sistem saraf somatic merupakan sistem saraf volunteer yang mempersarafi
otot rangka, yang dapat kita kendalikan. (Sujati W., 2016)
Bagian eferen sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam 2 subdivisi fungsional
utama, yaitu sistem somatik dan sistem otonom. Eferen somatik dapat dipengarui oleh
kesadaran yang mengatur fungsi-fugsi seperti kontraksi otot untuk memndahkan suatu
benda. Sedangkan sistem otonom tidak dipengaruhi kesadaran dalam mengatur
kebutuhan tubuh sehari-hari. Sistem saraf otonom terutama terdiri atas saraf motorik

28
visera (eferen) yang menginevarsi otot polos organ visera, otot jantung, pembuluh
darah dan kelenjar eksokrin.
Sistem saraf otonom bersama-sama dengan sistem endokrin mengkoordinasikan
pengaturan dan integrasi fungsi-fungsi tubuh. Sistem endokrin mengirimkan sinyal
pada jaringan targetnya melalui hormon yang kadarnya bervariasi dalam darah.
Sebaliknya, sistem saraf menghantarkannya melalui transmisi impuls listrik secara
sepat melalui serabut-serabut saraf yang berakhir pada organ efektor, dan efek khusus
akan timbul sebagai akibat pelepasan substansi neuromediator.

Sistem saraf otonom (SSO) disebut juga susunan saraf vegetatif, meliputi antara
lain saraf-saraf dan ganglia (majemuk dari ganglion = simpul saraf) yang merupakan
persarafan ke otot polos dari berbagai organ ( bronchia, lambung, usus, pembuluh
darah, dan lain-lain). termasuk keompok ini pula adalah, otot jantung (lurik) serta
beberapa kelenjar (ludah, keringat, dan pencernaan).dengan demikian, SSO tersebar
luas diseluruh tubuh dan fungsinya adalah mengatur secara otomatis keadaan
fisiologi yang konstan, seperti suhu badan, tekanan dan perearan darah, serta
pernapasan.

Dua perangkat neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer
adalah: (1) neuron aferen, atau sensorik dan neuron eferen, atau motorik. Neuron
aferen mengirim impuls ke SSP, dimana impuls itu diinterprestasikan. Neuron
eferen menerima impuls (informasi) dari otak dan meneruskan impuls itu melalui
medulla spinalis ke sel-sel organ efektor. Impuls dihantarkan dari neuron ke
neuron oleh neurotransmitter. Jalur eferen dalam SSO dibagi menjadi dua cabang:
simpatis dan parasimpatis, yang keseluruhannya disebut sebagai sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis. (Sujati W., 2016)
SSO dipecah lagi dalam dua cabang, yakni Susunan (Ortho) Simpatik (SO)
dan Susunan Parasimpatik (SP). Pada umunya dapat dikatakan bahwa kedua susunan
ini bekerja antagonistis: bila satu sistem merintangi fungsi tertentu, sistem lainnya
justru menstimulasinya. Tetapi, dalam beberapa hal, khasiatnya berlainan sama sekali
atau bahkan bersifat sinergistis. Untuk jelasnya, percabangan sistem dapat
digambarkan sebagai berikut :

29
Pada bagan diatas dimuat efek-efek terpenting dari perangsangan SO (saraf
simpatik) dan SP (saraf parasimpaik) terhadap berbagai organ tubuh. Jadi dapat
disimpulkan, stimulasi susunan adrenergik menimbulkan reaksi yang perlu guna
meningkatkan penggunaan zat-zat oleh tubuh, seperti bila kita berada dalam keadaan
aktif dan memerlukan energi. Sebaliknya, bila susunan kolinergik dirangsang, maka
akan timbul efek dengan tujuan menghemat penggunaan zat-zat yang membutuhkan
enersi. Hal ini terjadi bila tubuh berada dalam keadaan istrahat atau tidur. Dalam
tubuh yang sehat terdapat keseimbangan antara kedua kelompok saraf tersebut.
Peran system saraf otonom adalah untuk terus menyempurnakan fungsi organ
dan system organ sesuai dengan rangsangan baik internal maupun eksternal. System
saraf otonom membantu untuk mempertahankan homeostasis (stabil internal dan
keseimbangan) melalui koordinasi berbagai kegiatan seperti hormon, sirklasi,
respirasi, pencernaan dan eksresi.
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun
dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini
terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang kompleks
dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat pada pangkal ganglion
disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung ganglion disebut urat saraf
post ganglion.

30
Anatomi sistem saraf simpatis
Sistem saraf simpatis dimulai dari medula spinalis segmen torakolumbal (torak
1 sampai lumbal 2). Serabut-serabut saraf ini melalui rangkaian paravertebral
simpatetik yang berada disisi lateral korda spinalis yang selanjutnya akan menuju
jaringan dan organ-organ yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. Tiap saraf
dari sistem saraf simpatis terdiri dari satu neuron preganglion dan saraf
postganglion. Badan sel neuron preganglion berlokasi di intermediolateral dari korda
spinalis. Serabut saraf simpatis vertebra ini kemudian meninggalkan korda spinalis
melalui rami putih menjadi salah satu dari 22 pasang ganglia dari rangkaian
paravertebral simpatik. Ganglia prevertebra yang berlokasi di abdomen dan pelvis,
terdiri dari ganglia coeliaca, ganglia aoarticorenal, mesenterica superior dan
inferior.Ganglia terminal berlokasi dekat dengan organ yang disarafi contohnya
vesica urinaria dan rektum.
Berdasarkan letaknya, ganglia simpatetik digolongkan menjadi :
1. Ganglia servikalis, terdiri dari 3 ganglia yaitu :
- ganglia servikalis superior
- ganglia servikalis media
- ganglia servikalis inferior
2. Ganglia thorakalis
3. Ganglia lumbalis
Sistem saraf simpatis juga dikenal sebagai sistem saraf adrenergik karena
menggunakan adrenalin atau noradrenalin (norepinefrin, NE) sebagai
neurotransmitternya. Obat-obat yang menyerupai efek dari norepinefrin disebut
sebagai obat adrenergik, atau simpatomimetik. Obat-obat itu juga dikenal dengan
nama agonis adrenergik karena memulai respons pada tempat reseptor adrenergik.
Obat-obat yang menghambat efek norepinefrin disebut sebagai penghambat
adrenergik, atau simpatolitik. Obat ini dikenal juga dengan nama antagonis
adrenergik karena mencegah respons pada tempat reseptor. Ada tiga jenis sel-sel
organ reseptor adrenergik: alfa, beta-1 dan beta-2 (Gambar 5.1.3). NE dilepaskan dari
ujung saraf adrenergik dan merangsang reseptor sel untuk menghasilkan suatu
respons.(Sujati W.,2016)

31
Anatomi sistem saraf parasimpatis
Saraf dari sistem saraf parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat melalui
saraf-saraf kranial III,VII, IX dan X serta saraf sakral spinal kedua dan ketiga;
kadangkala saraf sakral pertama dan keempat. Kira-kira 75% dari seluruh serabut
saraf parasimpatis didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X) yang melalui
daerah torakal dan abdominal,seperti diketahui nervus vagus mempersarafi jantung,
paruparu,esophagus, lambung, usus kecil, hati, kandung kemih, pankreas, dan
bagian atas uterus. Serabut saraf parasimpatis nervus III menuju mata, sedangkan
kelenjar air mata,hidung,dan glandula submaksilla menerima innervasi dari saraf
kranial VII, dan glandula parotis menerima innervasi dari saraf kranial IX.
segmennya. Sebagai contoh, serabut yang berasal dari torakal 1 biasanya melewati
rangkaian paravertebral simpatik naik kedaerah kepala, torakal 2 untuk leher,
torakal 3 sampai torakal 6 untuk dada, torakal 7 sampai torakal 11 ke abdomen
dan torakal 12, lumbal 1 sampai lumbal 2 ke ekstremitas inferior. Pembagian ini hanya
kurang lebih demikian dan sebagian besar saling tumpang tindih.
Sistem saraf parasimpatis daerah sakral terdiri dari saraf sakral II dan III
serta kadang-kadang saraf sakral I dan IV. Serabut -serabut saraf ini mempersarafi
bagian distal kolon,rektum, kandung kemih, dan bagian bawah uterus, juga
mempersarafi genitalia eksterna yang dapat menimbulkan respon seksual. Berbeda
dengan sistem saraf simpatis,serabut preganglion parasimpatis menuju ganglia atau
organ yang dipersarafi secara langsung tanpa hambatan. Serabut postganglion saraf

32
parasimpatis pendek karena langsung berada di ganglia yang sesuai,ini berbeda
dengan sistem saraf simpatis, dimana neuron postganglion relatif panjang, ini
menggambarkan ganglia dari rangkaian paravertebra simpatis yang berada jauh
dengan organ yang dipersarafinya.

Sistem saraf parasimpatis juga dikenal sebagai sistem kolinergik karena


neurotransmitter yang terdapat pada ujung neuron yang mempersarafi otot adalah
asetilkolin (AK). Obat-obat yang menyerupai efek dariasetilkolin disebut sebagai obat
kolinergik, atau parasimpatomimetik. Obat-obat itu juga dikenal dengan nama
agonis kolinergik karena memulai respons kolinergik. (Sujati W., 2016)

33
Fisiologi sistem saraf otonom
Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis mensekresikan salah satu dari
kedua bahan transmiter sinaps ini, asetilkolin atau norepinefrin. Serabut postganglion
sistem saraf simpatis mengekskresikan norepinefrin sebagai neurotransmitter. Neuron-
neuron yang mengeluarkan norepinefrin ini dikenal dengan serabut adrenergik.
Serabut postganglion sistem saraf parasimpatis mensekresikan asetilkolin sebagai
neurotransmitter dan dikenal sebagai serabut kolinergik. Sebagai tambahan serabut
postgangli on saraf simpatis kelenjar keringat dan beberapa pembuluh darah juga
melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmitter. Semua saraf preganglion simpatis
dan parasimpatis melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmitter karenanya dikenal
sebagai serabut kolinergik. Sedangkan asetilkolin yang dilepaskan dari serabut

34
preganglion mengaktivasi baik postganglion simpatis maupun parasimpatis
Struktur jaringan yang dikontrol oleh sistem saraf otonom yaitu otot jantung,
pembuluh darah, iris mata, organ thorakalis, abdominalis, dan kelenjar tubuh. Secara
umu, sistem saraf otonom dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis.

1. Sistem Saraf Simpatis

Sistem saraf simpatis terbagi juga menjadi dua bagian, yaitu saraf otonom
cranial dan otonom sacral. Sistem saraf ini berhubungan dengan sumsum tulang
belakang melalui serabut-serabut sarafnya, letaknya didepan column vertebrae.
2. Sistem Saraf Parasimpatis

Sistem saraf parasimpatis, hampir sama dengan sistem saraf simpatis,


hanya sistem kerjanya saja yang berbeda. Jika saraf simpatis memacu jantung
misalnya, maka sistem saraf parasimpatis memperlambat denyut jantung.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem simpatis dan parasimpatis


memperlihatkan fungsi yang antagonistik. Bila yang satu menghambat suatu
fungsi maka yang lain memacu fungsi tersebut. Contoh yang jelas ialah
midriasis terjadi dibawah pengaruh saraf simpatis dan miosis dibawah
pengaruh parasimpatis. 2 Organ tubuh umumnya dipersarafi oleh saraf
simpatis dan parasimpatis, dan tonus yang terjadi merupakan hasil
perimbangan kedua sistem tersebut. Inhibisi salah satu sistem oleh obat
maupun akibat denervasi menyebabkan aktifitas organ tersebut didominasi
oleh sistem yang lain. Antagonisme ini tidak terjadi pada semua organ, kadang
kadang efeknya sama, misalnya untuk ereksi. Sekresi liur dirangsang baik oleh
saraf simpatis maupun parasimpatis, tetapi sekret yang dihasilkan berbeda
kualitasnya pada perangsangan simpatis liur kental, sedangkan pada
perangsangan parasimpatis liur lebih encer. Fungsi dua sistem tersebut dapat
juga saling melengkapi, misalnya pada fungsi seksual, ereksi merupakan fungsi
parasimpatis sedangkan ejakulasi efek simpatis. Secara umum dapat dikatakan
bahwa sistem parasimpatis berperan dalam fungsi konservasi dan reservasi
tubuh. sedangkan sistem simpatis berfungsi mempertahankan diri terhadap

35
tantangan dari luar tubuh dengan reaksi berupa perlawanan atau pertahanan
diri yang dikenal dengan fight or flight reaction.
Sistem parasimpatis fungsinya lebih terlokalisir, tidak difus seperti
sistem simpatis, dengan fungsi utama menjaga dan memelihara sewaktu
aktifitas organisme minimal. Sistem ini mempertahankan denyut jantung dan
tekanan darah pada fungsi basal, menstimulasi sistem pencernaan berupa
peningkatan motilitas dan sekresi getah pencernaan, meningkatkan absorbsi
makanan, memproteksi retina terhadap cahaya berlebihan, mengosongkan
rektum dan kandung kemih. Dengan demikian saraf parasimpatis tidak perlu
bekerja secara serentak. (Indra I, 2012)

B. Pelepasan Penerusan impuls oleh neurotransmitter

Komunikasi antar sel saraf dan antara sel saraf dengan organ efektor terjadi melalui
pelepasan substansi kimiawi khusus yg dinamakan neurotranmiter
Tipe Neurotransmiter:

1. Asetilkolin, serat saraf yang ujungnya mengeluarkan asetilkolin disebut serat


kolinergik
2. Norepinefrin dan epinefrin/ adrenalin, serat saraf yang ujungnya
mengeluarkan epi/norepinefrin disebut serat adrenergik

Susunan saraf motoris mengatur obat-obat lurik dengan impuls listrik


(rangsangan) yang secara langsung dikirim dari SSP melalui saraf motoris ke otot
tersebut. Pada SSO, impuls disalurkan keorgan tujuan (efektor, organ ujung)
secara tak langsung. Saraf otonom dibeberapa tempat terkumpul di sel-sel
ganglion, dimana terdapat sinaps, yaitu sela diantara dua neuron (sel saraf). Saraf
yang meneruskan impuls dari SSP ke ganglia dinamakan neuron preganglioner,
sedangkan saraf antara ganglia dan organ ujung disebut neuron post-ganglioner.
Impuls dari SSP dalam sinaps dialihkan dari satu neuron kepada yang lain
secara kimiawi dengan jalan neurotransmitter. Bila dalam suatu neuron impuls
tiba di sinaps, maka pada saat itu juga neuron tersebut membebaskan suatu
neurohormon diujungnya, yang melintasi sinaps dan merangsang neuron
berikutnya. Pada sinaps yang berikut dibebaskan pula neurohormon dan

36
seterusnya hingga impuls tiba di organ efektor.
Tahap transmisi neurohumural yaitu sintesis, penyimpanan, dan pelepasan,
ikatan transmiter dengan reseptor dan eliminasi transmiter merupakan dasar untuk
pengertian kerja obat otonom. Obat yang berkerja pada saraf otonom
mempengaruhi salah satu tahap transmisi neurohumoral tersebutm yaitu pada
transmisi adrenergik atau transmisi kolinergik tanpa membedakan apakah saraf
tersebut termasuk simpatis, parasimpatis atau somatik.
Tahapan transmisi neurohumoral :

a. Sintesis, penyimpanan, dan pelepasan transmitter

Transmiter di sintesis di di sitoplasma da disimpan dalam organel sel yang disebut


gelembung (vesikel) sinaps. Gelembung sinaps (GS) bergerombol didekat membran
prasinaptik yang disebut zone aktif. Tempat ini merupakan unit otonom berisi
berbagai komponen untuk “vesicle docking”, eksositosis, endositosis, daur ulang
membran dan recovery transmiter. Dalam GS ditemukan 20-40 jenis protein yang
berperan sebagai transpoter atau protein trafik (trafficking). Transpor transimter dari
sitoplasma ke dalam GS merupakan proses aktif yang melibatkan protein transporter

dan dipacu oleh perbedaan elektrokimiawi yang digenerasi oleh pompa proton
vakuolar. Fungsi protein trafik belum diketahui secara rinci tetapi sinaptobrevin GS
bergabung dalam protein membran SNAP-25 dan Sintaksin 1, sedangkan
sinaptotagmin di membran vesikel bergabung dengan neuroksin di membran pre
sinaps membentuk kompleks inti yang memicu fusi GS dengan membran prasinaps.
Proses eksositosis yang berlangsung lama dalam waktu kurang dari milidetik dipicu

37
Ca++ dan diperantarai oleh kelompok protein sinaptobrevin (Gambar 1-2). Transmiter
yang dikeluarkan dari ujung saraf pre ganglionik ialah asetilkolin (Ach)

Gambar 1-2. Zone aktif prasinaps saraf otonom

Sumber Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2008. Farmakologi dan


Terapi Edisi 5.

b. Penggabungan transmiter dengan reseptor

ACh berdifusi sepanjang celah sinaps selebar 100-500 Amsrom dan


bergabung dengan reseptornya dengan akibat terjadinya depolarisasi
membran pasca ganglion yang disebut potensial perangsangan pasca sinaps
(exitatory postsynaptic potensial, EPSP). Depolarisasi terjadi terutamanakibat
peningkatan Na+. Potensial perangsangan pascasinaps akan merangsang
terjadinya PAS disaraf pascaganglion yang sesamapainya di sinaps saraf
efektor akan menyebabkan penglepasan transmiter lagi untuk menerukan
sinyal ke efektor. Pada sinaps saraf efektor ini dilepaskan transmiter ACh
pada saraf pasca ganglion parasimpatis dan norepinefrin (NE) pada saraf
pascaganglion simpatis (Gambar 1-3). Suatu transmisi neurohumoral tidak
selalu menyebabkan depolarisasi tetapi juga menyebabkan hiperpolarisasi.
Hiperpolarisasi pada membran saraf pascaganglion disebut potensial inhibisi
pascasinaps (inhibitory postsynaptic potensial, IPSP) dan menyebabkan
hambatan organ pascasinaps. Hiperpolarisasi terjadi akibat peningkatan
permeabilitas K+ dan Cl- (Gambar 1-4).

38
Gambar 1-3. Bagan susunan saraf otonom
Sumber Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.

Gambar 1-4. Perubahan potensial pada neuron


Sumber Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2008. Farmakologi dan
Terapi Edisi

c. Terminasi transmisi neurohumural

Bila transmiter tidak di aktifkan maka transmisi sinaptik akan terus


berlangsung pada membran pascasinaps dengan akibat terjadinya
perangsangan yang berlebihan atau bahkan disusul dengan blokade. Karena
itu ahrus terdapat mekanisme untuk menghentikannya. Pada sinaps
kolonergik terdapat asetilkoli- enterase, yaitu suatu enzim penghidrolisis
Ach yang kerjanya sangat cepat. Pada sinaps adrenergik, NE diambil
kembali oleh ujung saraf adrenergik. Ambilan kembali NE ini selain untuk

39
mengehtikan transmisi sinaps juga berfungsi untuk menghemat NE.
Saraf mensintesis dan melepaskan ACh disebut saraf kolinergik,
yakni saraf prganglion simpatis dan parasimpatis, saraf pascaganglion
parasimpatis dan saraf somatik yang mempersarafi otot rangka. Saraf yang
mensintesis dan melepaskan NE disebut saraf adrenergik.
Transmisi Neurohumoral
Impuls saraf dari susunan saraf pusat (SSP) hanya dapat diteruskan ke
ganglion dan sel efektor melalui pelepasan suatu zat kimia yang khas yang
disebut transmitor neurohumoral atau disingkat transmitor. Pada dosis terapi,
tidak banyak obat yang dapat mempengaruhi konduksi akson, tetapi banyak
sekali zat yang dapat mengubah transmisi neurohumoral. Konduksi saraf
hanya dapat dipengaruhi oleh anestetik lokal dosis terapi yang diinfiltrasikan
dalam kadar yang relatif tinggi di sekitar serabut saraf, dan oleh beberap zat
lain seperti tetradoksin.
Pada akson, potensial membran istirahat sekitar -70 mV. Potensial
negatif ini disebabkan oleh kadar ion K+ didalam sel saraf 40 kali lebih besar
daripada kadarnya diluar sel, sedangkan ion Na+ dan Cl+ jauh lebih banyak di
luar sel. Dalam keadaan potensial istirahat ini, ion Na+ tidak dapat memasuki
sel. Bila ada depolarisasi yang mencapai ambang rangsang, maka
permeabilitas terhadap ion Na+ sangat meningkat sehingga ion Na+ masuk ke
dalam aksoplasma dan menyebabkan potensial yang negatif tadi menuju netral
dan bahkan menjadi positif . Hal ini diikuti dengan repolarisasi, yaitu
kembalinya potensial istirahat dengan terhentinya pemasukan ion Na+ dan
keluarnya ion K+ . Perubahan potensial tersebut disebut potensial aksi (impuls)
saraf (nerve action potential, NAP). Gambar 2.

40
NAP akan berjalan sepanjang akson sampai di ujung saraf, di sinaps
akan menyebabkan pelepasan transmitor. Transmitor akan melintasi celah
sinaps selebar 100-500 Angstrom ke membran pasca sinaps. Transmitor ini
disintesis dan disimpan di ujung akson dalam organel yang disebut gelembung
(vesikel) sinaps. Transmitor yang dilepaskan dari ujung saraf preganglion
ialah asetilkolin (ACh), (lihat gambar 3). ACh berdifusi sepanjang celah sinaps
dan mencapai membran pasca sinaps; disini ACh bergabung dengan
reseptornya dan mengakibatkan terjadinya depolarisasi membran saraf pasca
ganglion yang disebut potensial perangsangan pasca sinaps (excitatory
postsynaptic potential, EPSP). Depolarisasi terjadi akibat peningkatan
permeabilitas ion Na+ dan K+ sekaligus. EPSP akan merangsang terjadinya
NAP di saraf pasca ganglion yang sesampainya di sinaps saraf-efektor akan
menyebabkan penglepasan ttransmitor lagi untuk meneruskan sinyal ke sel
efektor. Pada sinaps saraf-efektor ini dilepaskan transmitor ACh pada saraf
pascaganglion parasimpatis dan norepinefrin (NE) pada saraf pascaganglion
simpatis. Reaksi sel efektor dapat berupa perangsangan atau penghambatan
tergantung jenis transmitor dan jenis reseptornya.
Suatu transmisi neurohumoral tidak selalu menyebabkan depolarisasi
tetapi juga dapat menyebabkan hiperpolarisasi. Hiperpolarisasi pada membran
saraf pasca ganglion disebut potensial inhibisi pasca sinaps (inhibitory
postsynaptic potential. JPSP) dan menyebabkan hambatan organ pascasinaps.
Bila transmitor tidak diinaktifkan maka transmisi sinaptik akan terus
berlangsung pada membran pasca sinaps dengan akibat terjadinya
perangsangan yang berlebihan atau bahkan disusul dengan blokade. Karena

41
itu perlu ada mekanisme untuk menghentikannya. Pada sinaps kolinergik
terdapat asetilkolinesterase, suatu enzim penghidrolisis ACh yang kerjanya
cepat sekali. Pada sinaps adrenergik, NE terutama diambil kembali (reuptake)
oleh ujung saraf adrenergik. Ambilan kembali NE ini selain untuk
menghentikan transmisi sinaps juga berfungsi untuk menghemat NE.
Saraf yang mensistesis dan melepaskan ACh disebut saraf kolinergik,
yakni saraf praganglion simpatis dan parasimpatis, saraf pasca ganglion
parasimpatis dan saraf Keempat tahap transmisi neurohumoral yaitu sintesis,
penyimpanan, pelepasan, ikatan dengan reseptor dan eliminasi transmitor
merupakan dasar untuk pengertian kerja obat otonom. Obat yang bekerja pada
saraf otonom mempengaruhi salah satu tahap transmisi neurohumoral
tersebut, yaitu pada transmisi adrenergik atau transmisi kolinergik tanpa
membedakan apakah saraf tersebut termasuk sistem simpatis, parasimpatis
atau somatic. (Indra I, 2012)

C. Jenis Reseptor

1. Adrenoseptor (Reseptor Simpatis/Adrenergik)


Adrenergic dapat dibagi dalam dua kelompok menurut titik kerjanya di sel-sel
efektor dari organ –ujung, yakni reseptor-alfa dan reseptor-beta. Perbedaan antara
kedua jenis reseptor didasarkan atas kepekaannya bagi adrenalin, noradrenalin
(NA) dan isoprenalin. Reseptor alfa lebih peka bagi NA sedangkan reseptor-beta
lebih sensitive bagi isoprenalin. Diferensiasi lebih lanjut dapat dilakukan menurut
efek fisiologisnya yaitu dalam alfa-1 dan alfa-2 serta beta-1 dan beta-2. Pada
umumnya stimulasi dari masing-masing resptor itu menghasilkan efek-efek sbagai
berikut :
- Alfa-1 : menimbulkan vasokonstriksi dari otot polos dan menstimulasi sel-sl
kelenjar dengan bertambahnya antara lain sekresi liur dan keringat

- Alfa-2 : menghambat pelepasan NA pada saraf-saraf adrenergik dengan


turunnya tekanan darah. Mungkin pelepasan Ach di saraf kolinergik dalam
usus pun terhambat sehingga antara lain menurunnya peristaltic.

42
- Beta-1 : mmemperkuat daya dan frekuensi kontraksi jantung (efek inotrop dan
konotrop)

- Beta-2 : bronchodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak


Lokasi resptor ini umumnya adalah sebagai berikut
- Alfa-1 dan beta-1 : postsinaptis artinya lewat sinaps di organ efektor

- Alfa-2 dan beta-2 : presinaptis dan ekstrasi-naptis yaitu dimuka sinaps atau
diluarnya antara lain dikulit otak, rahim, dan pelat pelat darah. Resptor a1 juga
terdapat presenaptis

2. Kolinoseptor (Reseptor Parasimpatis/Kolinergik)

Ada berbagai reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik dan reseptor


mukarinik dan berbagai suptipe nya. Reseptor nikotinik yang terdapat diganglia
otonom, adrenal medula dan SSP disebut dengan reseptor nikotinik neural (NN),
sedangkan reseptor nikotinik yang terdapat di sambungan saraf otot disebut
reseptor nikotinik otot (NM= nikotinic muscle). Semua reseptor nikotinik
berhungan langsung dengan kanal kation, aktivasi nya menyebabkan peningkatan
permeabilitas Na+ dan K+ sehingga terjadi depolarisasi, yakni EPP pada otot
rangka (yang menimbulkan potensial aksi otot dan kontraksi otot rangka) dan
EPSP pada ganglia (yang menimbulkan potensial aksi neuron pascaganglion dan
sekresi epinefrin dan NE pada medula adrenal).
Reseptor msukarinik ada 5 subtipe yaitu M1 di ganglia dan berbagai
kelenjar, M2 di jantung dan M3 di otot polos dan kelenjar. Reseptor M1 dan M3
menstimulasi fosfolipase C melalui protein G yang belum dikenal, dan
menyebabkan peningkatan kadar Ca++ intrasel sehingga terjadi komtraksi otot
polos dan sekresi kelenjar serta late EPSP pada ganglia. Aktivasi reseptor M2 di
jantung melalui protein Gi menyababkan hambatan adenil siklase dan aktivasi
kanal K+, yang mengakibatkan efek kronotropik fsn inotropik negatif dari ACh.
Reseptor M4 mirip M2 sedangkan M5 mirip M1, mengenai kedua reseptor terakhir
belum jelas diketahui fungsinya.

43
3. Reseptor Presinap (Autoreseptor)

Adalah reseptor yang berada pada ujung saraf (presinap). Fungsinya untuk
pengaturan umpan balik, yaitu rangsangan pada reseptor persinap dapat
menghambat atau merangsang pengeluaran transmitter

2. MAHASISWA MAMPU MEMAHAMI KLASIFIKASI DARI OBAT OTONOM

1. Kolinergik (merangsang saraf parasimaptik)

2. Adrenergik (merangsang saraf simpatik)

3. Anti-Adrenergik (menghambat saraf simpatik)

4. Anti-Kolinergik (menghambat saraf parasimpatik)

Prinsipnya, obat adrenergik adalah obat yang bekerja dengan cara merangsang saraf
simpatis (simpatomimetik). efek serupa jika memberikan obat anti-kolinergik (karena
efek simpatik dan parasimpatik berlawanan). Karena menghambat efek parasimpatis, obat
anti-kolinergik disebut juga obat parasimpatolitik. Begitu juga dengan kolinergik,
prinsipdari obat kolinergik adalah obat yang bekerja dengan cara merangsang saraf
parasimpatis (parasimpatomimetik). efek pemberiannya ke pasien adalah penurunan heart
rate dan vasodilatasi pembuluh darah. Dan, seperti hubungan obat adrenergik dan anti-
kolinergik, efek obat kolinergik dan anti-adrenergik (simpatolitik) adalah sama.

1. Obat Kolinergik (Agonis Kolinergik)


Obat kolinergik sering disebut sebagai obat parasimpatomimetik karena bekerjanya
mirip dengan rangsangan saraf parasimpatis.Berdasarkan mekanisme kerjanya obat
kolinergik dibagi dalam 2 kelompok yaitu obat yang bekerja langsung pada reseptor
kolinergik sebagai agonis sehingga disebut juga agonis kolinergik dan obat yang
bekerjanya tidak langsung yaitu dengan cara menghambat enzim asetilkolinesterase
sehingga terjadi peningkatan kadar asetilkolin yang pada akhirnya bekerja pada reseptor
kolinergik.
Reseptor simpatis yang berperan : α1,α2,β1 dan β2.

44
Keterangan:
o α :stimulasi terhadap reseptor αototpolos akan menyebabkan vasokonstriksi
o α1 : menimbulkan vasokontriksi otot polos (kecuali otot polos usus vasodilatasi)
dan menstimulasi sel-sel kelenjar (meningkatkan sekresi liur dan keringat).
o α2 : : menghambat pelepasan NA pada saraf – saraf adrenergik dengan turunnya
tekanan darah, mungkin juga pelepasan Ach pada saraf kolinergis pada usus
terhambat sehingga turunnya periltastik
o Β :menginduksi proses glukoneogenesis (glikogen jadi glukosa), stimulasi
terhadap reseptor β otot polos akan menyebabkan vasodilatasi
o β1 :memperkuat daya dan kontraksi otot jantung (efek inotrop dan kronotrop)
o β2 :bronchodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak.
Lokasi reseptor ini umumnya adalah seagai berikut :
1) Alfa-1 dan beta-1 pada postsinapsis, artinya lewat sinaps di organ
efektor
2) Alfa-2 dan beta-2 pada presinapsis dan ekstrasinaps antara lain di kulit
otak, rahim dan pelat – pelat darah (trombosit).
Agonis kolinergik diklasifikasikan menjadi 2 yaitu kerja langsung dan kerja tak
langsung (reversibel dan ireversibel).
Agonis kolinergik kerja langsung contohnya seperti:
 asetilkolin,
 betanekol,
 karbakol, dan
 pilokorpin.
Agonis kolinergik kerja tak langsung (reversibel) seperti:
 endrofonium,
 neostigmin,
 fisostigmin, dan
 piridostigmin.
Sedangkanagonis kolinergik kerja tak langsung (ireversibel) seperti:
 ekotiofat
 isoflurofat.

45
Untuk reaktivasi esterase yaitu pralidoksim:
Obat agonis kolinergik bekerja secara langsung pada resptor kolinergik muskarinik
dan nikotinik. Khusus nikotin dan Iobelin terutama bekerja pada reseptor nikotinik.
Sedangkan obat penghambat enzim asetilkolinesterase menyebabkan neurotransmiter
asetilkolin tidak mengalami hidrolisa sehingga terjadi peningkatan kadar asetilkolin
endogen pada celah sinap dan sambungan neromuskular. Asetilkolin yang meningkat ini
pada akhirnya akan bekerja pada reseptor kolinergik muskarinik dan nikotinik.

Obat Kolinergik
Obat-obat kolinergik (agonis kolinergik) ialah obat yang bekerja secara langsung
atau tidak langsung meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin.Kolinergik juga
disebut parasimpatomimetik karena menghasilkan efek yang mirip dengan perangsangan
Sistem saraf parasimpatis.
Obat-obat kolinergik memiliki 3 indikasi utama, yaitu:
a. Menurunkan tekanan intraocular pada pasien glaucoma atau operasi mata
b. Mengobati atoni saluran cerna atau vesika urinaria
c. Untuk mendiagnosis dan pengobatan miastenia gravis.
Beberapa obat kolinergik merupakan antidotum penting untuk obat-obat
blokade neuromuscular, antidepresan trisiklik, dan alkaloid beladona.Obat –obat
kolinergik memperlihatkan efeknya dengan menunjukkan salah satu dari 2 cara yaitu
bekerja mirip dengan asetilkolin atau menghambat destruksi asetilkolin oleh enzim
asetilkolinesterase di tempat-tempat reseptornya.
Obat-obat yang merangsang sistem saraf parasimpatis disebut sebagai obat-
obat kolinergik, atau parasimpatomimetik, karena mereka menyerupai
neurotransmitter parasimpatis, asetilkolin. Obat-obat kolinergik juga dikenal dengan
kolinomimetik, perangsang kolinergik, atau agonis kolinergik. Asetilkolin (AK) adalah
neurotransmitter yang terdapat pada ganglion dan ujung saraf terminal parasimpatis
dan mempersarafi reseptorreseptor pada organ, jaringan dan kelenjar. Ada dua jenis
reseptor kolinergik: (1) reseptor muskarinik yang merangsang otot polos dan
memperlambat denyut jantung dan (2) reseptor nikotinik (neuromuscular) yang

46
memengaruhi otot rangka. Banyak dari obatobat kolinergik bersifat nonselektif karena
mereka memengaruhi baik reseptor muskarinik maupun reseptor nikotinik. Obat-obat
kolinergik pada SSO selektif untuk reseptor muskarinik dan tidak memengaruhi
reseptor nikotinik. Gambar 5.2.1. memperlihatkan respons organ terhadap rangsang
parasimpatis atau kolinergik.

Ada obat-obat kolinergik yang bekerja langsung dan ada juga obat-obat
kolinergik yang bekerja tidak langsung. Obat kolinergik yang bekerja langsung
bekerja pada reseptor yang mengaktivasi respons jaringan (Gambar 5.2.2A). Obat
kolinergik yang bekerja tidak langsung menghambat kerja enzim kolinesterase
(asetilkolinesterase). Asetilkolin diakhiri kerjanya oleh penguraian enzim
asetilkolinesterase menjadi asam asetat dan kolin. Suatu obat yang menghambat
kolinesterase disebut sebagai penghambat kolinesterase, atau obat antikolinesterase.
Kolinesterase dapat merusak asetilkolin sebelum ia mencapai reseptor atau sesudah
asetilkolin menempel pada tempat reseptor. Dengan menghambat atau merusak
enzim kolinesterase, maka lebih banyak asetilkolin tersedia untuk merangsang
reseptor dan menempel lebih lama. (Gambar. 5.2.2B).

47
Penghambat kolinesterase dapat dibagi menjadi penghambat reversible dan
penghambat ireversibel. Penghambat reversible berikatan dengan enzim,
kolinesterase selama beberapa menit sampai jam, dan penghambat ireversibel
berikatan dengan enzim secara menetap. Efek yang ditimbulkan berbeda-beda
tergantung dari lamanya kolinesterase berikatan. Respons utama dari obat-obat
kolinergik adalah merangsang tonus kandung kemih dan GI, kontriksi pupil mata
(miosis), dan meningkatkan transmisi neuromuscular. Efek lain dari obat-obat
kolinergik adalah menurunkan denyut jantung dan tekanan darah dan menambah
salivasi, sekresi GI dan kelenjar bronkus. Table 5.2.1. memuat fungsi dari obat-obat
kolinergik yang bekerja langsung dan yang bekerja tidak langsung. (Sujati W., 2016)

48
Klasifikasi Obat Kolinergik
Obat-obat kolinergik merangsang reseptor kolinergik.Karena itu, kerjanya mirip
dengan asetilkolin endogen. Obat-obat golongan ini dapat dikelompokkan berdasarkan:
1. Spektrum efeknya, yaitu muskarinik atau nikotinik; dan
2. Mekanisme kerjanya, yaitu yang bekerja langsung pada reseptor asetilkolin atau
secara tidak langsung melalui penghambatan asetilkolinesterase. Beberapa obat,
seperti neostigmin termasuk dalam lebih dari satu subkelas.
3. Penggolongan obat-obat kolinergik beserta prototype, analog utama dan obat lain.

2. Obat Antagonis Kolinergik


Obat antikolinergik atau antagonis reseptor kolinergik meliputi anti muskarinik dan
anti nikotinik. Obat obat yang lebih memberi efek anti nikotinik adalah ganglion bloker
dan neromuskular juntion bloker.
Obat antagonis kolinergik diklasifikasikan menjadi 3, yaitu obat antimuskarinik,
penyekat ganglionik, dan pterenyekat neuromuskular. Antagonis kolinergik
antimuskarinik contohnya adalah:
 atropin,
 ipratrorium, dan
 skopolamin.
49
Untuk penyekat ganglionik contohnya adalah
 mekamilamin,
 nikotin,
 trimetafan.
Sedangkan penyekat neuromuskular contohnya:
 atrakurium,
 doksakurium,
 metokurin,
 mivakurium,
 pankuronium,
 piperkuronium,
 rokuronium,
 suksinilkolin,
 tubokurarin, dan
 vekuronium

Obat Antikolinergik Obat-obat yang menghambat kerja asetilkolin dengan


menempati reseptor-reseptor asetilkolin disebut dengan antikolinergik atau
parasimpatolitik. Nama lain untuk antikolinergik adalah agen-agen penghambat
kolinergik, agen-agen antiparasimpatis, agenagen antimuskarinik, atau
antispasmodic. Jaringan tubuh dan organ utama yang dipengaruhi oleh kelompok

50
obat antikolinergik ini ialah jantung, saluran pernapasan, saluran GI, kandung
kemih, mata dan kelenjar eksokrin. Dengan menghambat saraf-saraf parasimpatis,
sistem saraf simpatis (adrenergic) menjadi dominant. Obat-obat antikolinergik dan
adrenergic menghasilkan banyak respons yang sama

Obat-obat antikolinergik dan kolinergik mempunyai efek yang berlawanan.


Respon utama dari antikolinergik adalah menurunkan motilitas GI, mengurangi
salivasi, dilatasi pupil mata (midriasis), dan meningkatkan denyut nadi. Efek-efek
lain dari antikolinergik adalah menurunkan kontraksi kandung kemih, yang
mengakibatkan retensi urin, dan mengurangi rigiditas dan tremor yang berkaitan
dengan eksitasi neuromuscular. Antikolinergik juga dapat bekerja sebagai antidote
terhadap toksisitas yang disebabkan oleh penghambat kolinesterase serta minum
organofosfat. Berbagai efek dari antikolinergik dijelaskan dalam Table 5.2.3. (Sujati
W., 2016)

KLASIFIKASI

Penggolongan obat anti kolinergik ini dibagi berdasarkan afinitas reseptor spesifik
mereka, yaitu :

1. Kelompok Antimuskarinik

Terdapat 5 subtype reseptor antimuskarinik (M1, M2, M3, M4, M5).

Obat golongan ini bekerja mengantagonis reseptor muskarinik yang menyebabkan


hambatan semua fungsi muskarinik.Obat ini mengantagonis sedikit kecuali neuron

51
simpatis yg jg kolinergik seperti saraf simpatis yg menuju ke kelenjar keringat.Obat ini
tidak mengantagonis reseptor nikotinik, maka obat antimuskarinik ini sedikit atau tidak
mempengaruhi sambungan saraf otot rangka atau ganglia otonom.Contoh obat adalah
Atropin, Skopolamin, Propantelin, Glikopirolat,Ipratropium, Pirenzepin, dan
Benzfropium.

a. Atropine
Berasal dari tanaman Atropa belladonna.Memiliki afinitas kuat terhadap reseptor
muskarinik, obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat
pada tempatnya di reseptor muskarinik Atropin mengantagonis reseptor muskarinik
baik di sentral maupun di saraf tepi.

Efektifitas Atropin
1. Mata
Atropin mengantagonis semua aktifitas kolinergik pd mata sehingga menimbulkan
midriasis (dilatasi pupil) mata menjadi tdk bereaksi terhadap cahaya. • melemahnya
kontraksi dari otot silier ( sikloplo gia ), hilangnya kemampuan akomodasi mata, mata
tidak bisa fokus pada penglihatan jarak dekat. • menurunnya sekresi air mata. mata
kering ketika menerima obat antimuskarinik dalam dosis besar.
2. Gastrointestinal
Antagonis reseptor muskarinik • menimbulkan efek terhadap motilitas • beberapa
fungsi sekresi pada saluran cerna. • Rangsangan muskarinik eksogen lebih efektif
dihambat dibanding efek dari aktivitas saraf para simpatis (vagal= nervus vagus).

52
3. Sistem Kemih
Otot polos ureter dan dinding kandung kemih relaksasi • Aktivitas defekasi
diperlambat oleh kerja atropin. • Efek ini bermanfaat untuk penanggulangan
spasme yang ditimbulkan oleh karena inflamasi ringan dan gangguan neurologis
tertentu • Mempercepat terjadinya kumulasi urin
4. Kardiovaskular
Atrium dan nodus sinoatrial sangat sensitif terhadap antagonis reseptor
muskarinik. • Efek pemberian atropin pada jantung normal adalah menghambat
aktivitas N vagal menyebabkan takikardia.
5. Sekresi
Pengaturan suhu oleh keringat di tekan oleh atropine. • Reseptor muskarinik pada
kelenjar keringat dipersarafi oleh serabut kolinergik simpatetik dan dapat
dipengaruhi oleh obat antimuskarinik. • Dosis tinggi efek antimuskarinik pada
dewasa menimbulkan peningkatan suhu tubuh, bayi dan anak-anak dosis biasapun
menimbulkan demam atropine (atropine fever )
6. Sistem pernafasan
Otot polos atau sel kelenjar mukosa saluran pernafasan dipersarafi oleh N vagus
dan mengandung reseptor muskarini. • Individu normal, memberikan efek
bronkodilatasi dan pengurangan sekresi • Efek lebih nyata pada pasien gangguan
saluran pernafasan, • Obat antimuskarinik ini tidak sebaik agonis reseptor β-
adrenergik pada pengobatan asma • Obat antimuskarinik ini berguna bagi pasien
asma atau penyakit paru obstruktif menahun ( COPD ). • Efektifitas yang tidak
selektif dlm menangani COPD sangat terbatas karena blokade reseptor M2, •
Autoinhibitory pada saraf parasimpatis pasca ganglion mengantagonis
bronkodilatasi yang disebabkan oleh blokade reseptor M3 didalam otot polos
saluran nafas.
b. spokalamin
Berasal dari tanaman hyosyamus niger • Mempunyai efek sama dengan atropin •
Efeknya lebih nyata pada SSP • Masa kerjanya lebih lama dibandingkan dengan
atropine. Efeknya : Efektif sebagai antimabuk perjalanan • Dapat pula
menimbulkan efek penurunan daya ingat jangka pendek. • Bertolak belakang

53
dengan atropin, obat ini menyebabkan sedasi, rasa mengantuk, • Tetapi pada dosis
yang lebih tinggi bahkan menimbulkan kegelisahan / kegaduhan jiwa

2. Kelompok Antinikotinik

Terbentuk dari ganglion blockers dan neuromuscular blockers. Contoh obat


adalah Heksametonium (HC-3), Mekamilamin, Tetraetilamonium, d-Tubokurarin,
danDekametonium.

3. Obat Adrenergik (Agonis Adrenergik)


Obat adrenergik atau agonis adrenergik sering disebut sebagai obat simpatomimetik,
karena bekerjanya mirip dengan rangsangan saraf simpatis yaitu mirip kerja epinefrin dan
norepinefrin pada reseptornya. Berdasarkan mekanisme kerjanya obat agonis adrenergik
diklasifikasikan menjadi 3, yaitu agonis adrenergik bekerja langsung, agonis adrenergik
bekerja tak langsung, dan agonis adrenergik bekerja campur.
Agonis adrenergik bekerja langsung contohnya:
 albiterol,
 klonidin,
 dobutamin,
 dopamin, epinefrin,
 isoproterenol,
 metaproterenol,
 metoksamin,
 norepinefrin,
 fenilefrin,
 ritodrin, dan
 terbutalin.
Agonis adrenergik bekerja tak langsung contohnya:
 amfetamin
 tiramin.
Serta agonis adrenergik bekerja campur contohnya:
 efedrin

54
 metaraminol.
Obat-obat yang merangsang sistem saraf simpatis disebut dengan adrenergic,
agonis adrenergic atau simpatomimetik karena obat-obat ini menyerupai
neurotransmitter simpatis (norepinefrin dan epinefrin). Obat-obat ini bekerja pada
satu tempat atau lebih dari reseptor adrenergic yang terdapat pada sel-sel otot polos,
seperti pada jantung, dinding bronkiolus, saluran GI, kandung kemih dan otot siliaris
pada mata. Ada empat reseptor adrenergic: alfa1, alfa-2, beta-1 dan beta-2, yang
menjadi perantara respons utama, seperti yang dijelaskan pada Gambar 5.1.4A dan
Gambar 5.1.4B.
Obat-obat simpatomimetik yang merangsang reseptor adrenergic
diklasifikasikan ke dalam 3 golongan berdasarkan efeknya pada sel-sel organ: (1)
simpatomimetik yang bekerja langsung, yang langsung merangsang reseptor
adrenergic (contoh epinefrin atau norepinefrin), (2) simpatomimetik yang bekerja
tidak langsung, yang merangsang pelepasan norepinefrin dari ujung saraf terminal
(contoh, amfetamin) dan (3) simpatomimetik yang bekerja campuran (baik langsung
maupun tidak langsung), yang merangsang reseptor adrenergic dan merangsang
pelepasan norepinefrin dari ujung saraf terminal (Gambar 5.1.4). (Sujati W., 2016).

TRANSMISI
• Tirosin merupakan salah satu asam amino esensial yang dapat masuk ke dalam
sitoplasma akson serabut simpatis postganglionik mekemudiani sodium dependent
carrier, kemudian dihidroksilasi oleh enzim tirosin hidroksilase, sehingga
menghasilkan dihidroksifenilalanin (DOPA). Perubahan ini dapat dihambat oleh

55
analog tirosin yaitu metyrosine. DOPA terdekarboksilasi sehingga dihasilkan
Dopamin
• Dopamin yang terbentuk, masuk ke dalam vesikel melalui amine transporter system
yang terdapat pada dinding vesikel. Protein carrier ini dapat dihambat oleh reserpin
alkaloid. Selanjutnya, di dalam vesikel, dopamin dihidroksilasi oleh enzim dopamine-
β-hydroxylase menjadi norepinefrin. Norepinefrin yang terbentuk disimpan dalam
vesikel sampai terjadi stimulasi. Tidak semua norepinefrin disimpan dalam vesikel,
beberapa diantaranya terdapat pada sitoplasma
• Lima fitur kunci fungsi neurotransmiter dapat dijadikan sasaran bagi terapi
farmakologis: sintesis, penyimpanan, pelepasan, dan penghentian kekuatan
transmiter, serta efek reseptor

FARMAKODINAMIK
• Obat-obat yang merangsang sistem saraf simpatis disebut dengan adrenergic, agonis
adrenergic atau simpatomimetik karena obat-obat ini menyerupai neurotransmitter
simpatis (norepinefrin dan epinefrin).

56
• Obat-obat ini bekerja pada satu tempat atau lebih dari reseptor adrenergic
(Adrenoreseptor) yang terdapat pada sel-sel otot polos, seperti pada jantung, dinding
bronkiolus, saluran GI, kandung kemih dan otot siliaris pada mata
• Golongan umum adrenoseptor dapat dibagi lebih lanjut menjadi α-adrenoseptor,
βadrenoseptor, dan reseptor dopamine

RESEPTOR

FARMAKOKINETIK
Obat agonis adrenergic golongan katekolamin, pemberian per oral tidak mencapai
dosis terapi karena di rusak oleh enzim COMT (Catekolamin-o-metil-transferase) dan
MAO (Monoamin-oksidase) yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati.Pada
penyuntikan SK absorpsi lambat karena vasokontriksi local, dapat dipercepat dengan
memijat tempat suntikan.Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM
(intramuscular).Pada pemberian lokal secara inhalasi, efeknya terbatas terutama pada
saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi terutama bila digunakan dosis
besar.Epinefrin dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan ke dalam urin. 24 jam, urin
akan menghasilkan .etabolit akhir yang berupa metanefrin dan asam vanilil mandelik
(VAM).

57
KLASIFIKASI AGONIS ADRENERGIC
1. Direct-acting agonis
Obat yg termasuk tipe ini langsung berikatan pada reseptor adrenergik, sehingga
mengaktivasi reseptor tersebut obat-obat yang bertindak sebagai agonis adrenergik
langsung memiliki afinitas terhadap reseptor2 tertentu.misalnya: 1. Norepinefrin :
memiliki afinitas terhadap reseptor α, β1 2. Epinefrin : memiliki afinitas terhadap
reseptor α, β1, β2 3. Isoproterenol: memiliki afinitas terhadap reseptor β1, β2
2. Indirect-acting agonist
menghambat re-uptake : jika NE banyak atau tidak digunakan maka akan mengalami
reuptake masuk kembali ke sel syaraf semula dan disimpan dalam granul  2.
menghambat MAO (mono amin oksidase): karena MAO-lah yg menginaktivasi neuro
transmitter.  3. Menyebabkan pelepasan NE.
Obat Agonis Adrenergik tidak Langsung :
1. Efedrin  Dapat menembus sawar darah otak dan mempengaruhi sistem saraf
pusat.Cara kerjanya adalah melepaskan norepinefrin.namun ada juga efek lainnya
yaitu sebagai bronkodilator.
2. Amphetamine dan turunannya  Efeknya sama kaya efedrin yaitu bisa menembus
sawar darah otak namun efeknya jauh lebih kuat! para atlit yg minum ini akan merasa
beternaga dan tidak merasa capek. Sekarang sudah tidak direkomendasikan sebagai
obat lagi karena disalahgunakan.
3. Mixed-action agonist

4. Obat Antagonis Adrenergik


Obat antiadrenergik atau antagonis reseptor adrenergik menghambat interaksi antara
Epinefrin, NE dan obat simpatomimetik lain dengan reseptor adrenergik α dan β.
Obat obatan ini banyak digunakan di klinik karena efek hambatannya di reseptor
adrenergik α dan β dapat menghambat berbagai penyakit yang patoflsiologinya melalui
aktivitas simpatis.
Obat-obat yang menghambat efek neurotransmitter adrenergic disebut sebagai
Penghambat adrenergic, atau simpatolitik. Obat-obat ini merupakan antagonis
terhadap agonis adrenergic dengan menghambat tempat-tempat reseptor alfa dan

58
beta. Kebanyakan dari penghambat adrenergic menghambat reseptor alfa atau beta.
Obat-obat ini menghambat efek neurotransmitter secara langsung dengan menempati
reseptor alfa atau beta, atau tidak langsung dengan menghambat pelepasan
neurotransmitter, NE atau E. Ketiga reseptor simpatolitik adalah alfa-1, beta-1 dan
beta-2. Hubungan reseptor dengan respons penghambat adrenergic dapat dilihat pada
Tabel 5.1.2.

 Penghambat Adrenergik Alfa


Obat-obat yang menghambat respons pada tempat reseptor adrenergic alfa
disebut sebagai penghambat adrenergic alfa, atau lebih sering disebut sebagai
penghambat alfa. Penghambat alfa menimbulkan vasodilatasi, sehingga
mengakibatkan penurunan tekanan darah. Jika vasodilatasi berlangsung terus,
maka dapat terjadi hipotensi ortostatik. Pusing juga dapat merupakan salah
satu gejala penurunan tekanan darah. Dengan menurunnya tekanan darah,
denyut nadi biasanya meningkat untuk mengkompensasi tekanan darah yang
rendah dan aliran darah yang tidak memadai. Penghambat alfa dapat dipakai
untuk mengobati penyakit pembuluh darah tepi, seperti penyakit Raynaud.
Dengan terjadinya vasodilatasi, maka akan lebih banyak darah mengalir ke
anggota gerak.

 Penghambat Adrenergik Beta

Penghambat adrenergik beta, seringkali disebut sebagai penghambat beta,


menurunkan denyut jantung, biasanya akan diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kebanyakan dari penghambat beta bersifat nonselektif,
menghambat baik reseptor beta-1 maupun beta-2. Bukan hanya terjadi

59
penurunan denyut nadi akibat penghambatan beta-1, tetapi terjadi juga
bronkokontriksi. Penghambat beta nonselektif sudah pasti tidak boleh dipakai
oleh penderita penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) atau asma yang
berat. Jika efek yang diinginkan adalah menurunkan denyut nadi dan
tekanan darah, maka dapat dipakai penghambat beta-1 selektif, seperti
metoprolol tartrat.

 Penghambat Neuron Adrenergik

Obat-obat yang menghambat pelepasan NE dari neuron terminal simpatis


disebut sebagai Penghambat neuron adrenergic, yang diklasifikasikan sebagai
penghambat adrenergic. Pemakaian dalam klinik dari penghambat neuron
(adrenergic) adalah untuk menurunkan tekanan darah. Guanetidin dan
guanadrel adalah contoh-contoh dari penghambat neuron adrenergic, yang
merupakan agen antihipertensi yang kuat. Guanetidin bekerja terhadap
bagian post-ganglioner dari saraf simpatis dengan cara mencegah pelepasan
katekolamin, digunakan untuk glaukoma tertentu. (Sujati W., 2016)

60
Antagonis adrenergik diklasifikasikan menjadi 2 yaitu penyekat α (alpha blocker) dan
penyekat β (beta blocker).
Antagonis adrenergik penyekat α (alpha blocker) contohnya:
 doxazosin,
 fentolamin,
 prazosin, dan
 terazosin.
Sedangkan penyekat β (beta blocker) contohnya:
 asebutol,
 atenolol,
 metoprolol,
 nadolol,
 propanolol,
 timolol.
Dan obat yang mempengaruhi pelepasan neurotransmitter adalah:re
 kokain,
 guanetidin, serta
 reserpin.
Klasifikasi
(Farmakologi dan terapi FK UI Edisi 5 cetak ulang dengan tambahan tahun 2012).
1. Golongan penghambat reseptor adrenergic α/alpha blockers
a. Non selective
Bisa memblock alpha 1 and 2 receptors. Contoh obatnya adalah Phentolamine
and phenoxybenzamine, yang bisa digunakan utk terapi hipertensi karena
pheochromocytoma, tumor adrenal glands yang mensekresikan katekolamin
khususnya Norephinephrine dan ephinephrine.Blockade alpha 1 bisa
menyebabkan vasodilatasi namun dia juga block alpha 2 receptor yang banyak
ditemukan di presynaptic nerve ending.NE bertindak sebagai alpha2 receptor
untuk menginhibit keluarnya NE itu sendiri, sehingga menyebabkan lebih banyak
NE yg dihasilkan.Nedapat menstimulasi beta1 receptors di jantung, ini sebabnya
non selective bisa menyebabkan takikardi dan cardiac arythmia.

61
Contoh obatnya :
 Phenoxybenzamine
Farmakokinetik
• Bekerja dengan berikatan secara kovalen dengan alpha 1 & 2 receptors.
Hal ini menyebabkan blokade irreversible (berlangsung selama 14-48
jam). Tubuh bisa mengatasi obat ini dengan membuat adrenergic
receptors baru yg butuh 24 jam atau lebih
• Mengurangi vasokonstriksi yang diinduksi oleh katekolamin
• Diberikan per oral dimulai dari 10mg/hari dan ditingkatkan sampai
efek yang diinginkan tercapai
Farmakodinamik
• Penurunan tekanan darah pada kondisi emergency pasien
pheochromocytoma
• Efek samping: hipotensi ortostatik, takikardia, hidung tersumbat,
inhibisi ejakulasi. Karena dapat masuk ke susunan saraf pusat dapat
menyebabkan efek non spesifik seperti lesu, mengantuk, dan mual
 Phentolamine
Farmakokinetik
• Merupakan antagonis kompetitif poten untuk reseptor alpha 1dan 2.
• Obat ini menurunkan resistensi perifer melalui blokade reseptor alpha
1 & 2 di otot polos pembuluh darah yang menyebabkan turunnya
tekanan darah.
• Phentolamine juga memiliki efek inhibitorik ringan pada reseptor
serotonin dan efek agonis di reseptor muskarinik dan histamin
• Bersifat revesibel, paruh waktu obat sekitar 4 jam di dalam tubuh
• Waktu paruh sekitar 45menit setelah suntikan intravena. Namun
sediaan oral maupun intravena sudah jarang digunakan.
Farmakodinamik
• Pengobatan pheochromocytoma
• Pemulihan anastesi lokal di jaringan lunak

62
• Efek samping: berhubungan dengan stimulasi jantung spt takikardi,
aritmia, dan iskemia miokardium
b. Selective
Alpha 1
 Prazosin
Farmakokinetik
• Suatu pepirazinil kuinozolin yang efektif dalam menangani hipertensi
• Sangat selektif untuk reseptor alpha1
• Prazosin bekerja dengan melemaskan otot polos arteri dan vena, serta
otot polos di prostat
• Di metabolisme secara ekstensif di dalam tubuh: karena degradasi
metabolik hati, hanya sekitar 50% obat tersedia jika diberikan per oral
• Waktu paruh sekitar 3 jam
Farmakodinamik
• Turunnya tekanan darah pada px hipertensi (lebih efektif utk px
hipertensi)
• Ekskresi urin kembali normal pada pasien BPH (benign prostate
hypertrophy)
 Doxazosin
Farmakokinetik
• Biovabilitas moderat dan dimetabolisasi secara ekstensif, dengan
hanya sedikit obat induk diekskresikan di urin atau tinja
• Per oral dalam bentuk tablet 1,2,4,8 mg
• Paruh waktu lebih lama 22 jam
Farmakodinamik
• Turunnya tekanan darah pada px hipertensi (lebih efektif utk px
hipertensi)
• Ekskresi urin kembali normal pada pasien BPH (benign prostate
hypertrophy)

63
 Terazosin
Farmakodinamik
• Sangat selektif untuk reseptor alpha1
• Biovabilitas tinggi tetapi dimetabolisasi secara ekstensif di hati, dengan
hanya sebagian kecil obat yang tidak berubah diekskresikan di urin.
• Per oral tablet atau kapsul 1,2,5,10 mg
• Waktu paruh 9-12 jam
Farmakodinamik
• Menurunkan tekanan darah pada px hipertensi
• Meringankan gejala saluran kemih akibat BPH
 Tamsulosin
Farmakokinetik
• Memiliki struktur cukup berbeda dari alpha blockers lainnya, dan
memiliki afinitas lebih tinggi pada reseptor alpha-1A (subtipe alpha
yang memerantai kontraksi otot polos prostat)
• Memiliki biovabilitas tinggi dan dimetabolisasi secara ekstensif di hati
• Per oral berbentuk kapsul 0,4mg. Waktu paruh 9-15 jam
Farmakodinamik
• Meringankan gejala saluran kemih akibat BPH
• Efek samping: peningkatan resiko intraopperative floppy iris syndrome
(IFIS) pada bedah katarak yang ditandai dengan menggelembungnya
iris, prolaps iris, dan konstriksi pupil progresif intraoperasi
 Alfuzosin
 Silodosin

Alpha 2

 Yohimbin

• Antagonis alpha-2 selective

• Dahulu digunakan untuk mengobati disfungsi ereksi pada pria,


sekarang banyak digunakan untuk campuran obat diet.

64
• Kadang digunakan untuk mengobati hipotensi ortostatik karena
menyebabkan pengeluaran norephinephrine melalui blokade reseptor
alpha-2 di susunan saraf pusat dan perifer

• Sering digunakan oleh dokter hewan untuk membalikkan efek anastesi

• Sedang dikembangkan untuk menjadi obat DM tipe 2 (alpha-2


menghambat sekresi insulin)

EFEK PADA RONGGA MULUT


• Walaupun reseptor alpha 1 mayoritas berada pada pembuluh darah dan kelenjar
prostat dan organ organ spt ginjal& hepar. Ditemukan juga adanya alpha-1 receptors
pada kelenjar saliva
• Hal ini menyebabkan obat alpha blockers menyebabkan berkurangnya flow saliva
(hyposalivation) dan berkurangnya enzim amylase (menyebabkan kurang dapatnya
mengecap rasa)

2. Golongan penghambat reseptor adrenergic β


KLASIFIKASI
a. non selective (β1 + β2)
• propranol
• sotalol,
• nadolol
• timolol
• alprenolol
• pindolol
• labetalol
• carvedilol
b. β1selective
• metoprolol
• atenolol
• bisoprolol
• celiprolol

65
c. β2selective
• butoxamine

3. Golongan penghambat saraf adrenergic/central acting


Penghambat saraf adrenergic menghambat aktivitas saraf adrenergic dengan cara
menganggu sintesis, penyimpanan, atau pelepasan neurotransmitter (Norepinefrin dan
Epinefrin) di terminal saraf adrenergic.
Obat yang termasuk dalam golongan ini:
1. Guanethidin
2. Guanadrel
3. Reserpin
4. Metirosin

3. MAHASISWA MAMPU MEMAHAMI INDIKASI DAN KOTRAINDIKASI DARI


OBAT OTONOM

A. Agonis Adrenegik

1. Epinefrin (adrenalin)
o Indikasi : Pasien dengan henti jantung, syok anafilatik, dan bronkosposme
(asma).
o Kontraindikasi : Pasien hipersensitivitas terhadap obat ini, hipertensi dan
penyakit jantung coroner.

66
2. Efadrin
o Indikasi : Pasien dengan hipotensi, bronkospasme, kongesti hidung, dan
hipotensi ortoristik.
o Kontraindikasi : Pasien dengan riwayat hipersensitivitas obat ini, glaukoma
sudut tertutup dan penggunaan bersama siklopropan atau halotan.
3. Norepinefrin (lavarterenol)
o Indikasi : Pasien dengan syok kardiogenik dan hipotensi dengan heart rate cepat.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, hipertensi,
kehamilan, dan laktasi.
4. Dopamine (intropin)
o Indikasi : Pasien dengan hipotensi, syok kardiogenik, gagal ginjal, dan sepsis
o Kontraindikasi : Pasien dengan pheochromocytoma (tumor kelenjar adrenal),
hipertiroidisme, hipersensitivitas dengan obat ini, pasien fibrilasi ventrikel
dan takiaritmia yang belum terkoreksi.
5. Fenilefrin (neosynephrine)
o Indikasi : Pasien dengan kongesti hidung (hidung tersumbat), sinusitis, dan
bronkitis.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas pada obat ini.
6. Fenilpropanolamin
o Indikasi : Pasien dengan dekongestan dan hidung tersumbat (menyusutkan
pembuluh darah).
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, penyakit
jantung, hipertensi, diabetes, glaukoma, penyakit hati dan ginjal.
7. Dobutamin
o Indikasi : Pasien dengan dekompensasi jantung, syok kardiogenik, obesitas,
dan hipotensi berat.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas pada obat ini, dan idiopatic
hypertropic subaortc stenosis.
8. Isoprotenol (isoprel)
o Indikasi : Pasien dengan gagal jantung dan payah jantung kongestif.

67
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, angina
pectoris, dan pasien yang menggunakan antidepresan.
9. Metaprotenol
o Indikasi : Pasien dengan bronkospasme dan blok jantung akut( hanya dipakai
pada bradikardi yang refrakter terhadap atropine).
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini.
10. Albuterol
o Indikasi : Pasien dengan bronkospasme pada semua jenis asma, bronkitis
kronik, dan emfisema.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini.
11. Ritodrin
o Indikasi : Pasien dengan nyeri haid dan nyeri setelah persalinan.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, eklamsia
atau preeklamsia berat, kehamilan, penyakit jantung, plasenta preva, dan
kematian janin intrauterin.
12. Amfetamin
o Indikasi : Pasien dengan narkolepsi dan attention defiat hyperactivity disorder.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, gangguan
jantung, sindrom touretie, arteriosklerosis, hipertensi, dan hipertiroidisme.
13. Tiramin
o Indikasi : Pasien dengan alergi, pilek, mata berair, tenggorokan gatal, syok
anafilatik, rinitis, dan urtikaria.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini.

B. Antagonis Adrenegik
1. Tolazolin (proscoline)
o Indikasi : Pasien dengan gangguan pembuluh darah tepi (Raynaud), arterisklerosis
obliterans, dan hipertensi.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, hipotensi,
stroke, dan jantung iskemik.

68
2. Fentolamin (regitine)
o Indikasi : Pasien dengan Pasien dengan gangguan pembuluh darah perifer,
hipertensi, impotensi, dan tumor kelenjar adrenal.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, kelainan
ginjal atau hati, dan masalah kardiovaskuler.
3. Prazosin (minipress)
o Indikasi : Pasien dengan hipertensi, gangguan pembuluh darah tepi (
Raynaud), benign prostatic hyperplasia, dan batu ginjal
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini dan hipotensi.
4. Propranolol (Inderal)
o Indikasi : Pasien dengan hipertensi, aritmia, angina pectoris, dan pasca infark
miokardium.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, bronchitis,
penyakit ginjal, hipoglikemi, gagal jantung, dan asma.
5. Nadolol (corgard)
o Indikasi :Pasien dengan hipertensi dan angina pectoris.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, asma,
diabetes, hipertyroidisme, penyakit pembuluh darah, gagal jantung, dan
bradikardia.
` 6. Timolol (blocarden)
o Indikasi : Pasien dengan hipertensi dan pasca infark miokardium.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, asma, gagal
jantung, dan diabetes.
7. Meetoprolol (Lopressor)
o Indikasi : Pasien dengan hipertensi, angina, dan pasca infark miokardium.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini,
hipotensi,syok kardiogenik dan diabetes.
8. Atenolol (temormin)
o Indikasi : Pasien dengan hipertensi dan angina.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, diabetes,
gagal jantung, dan bradikardia.

69
` 9. Asebutol (spectral)
o Indikasi : Pasien dengan hipertensi, aritmia ventrikel, dan infark miokard.
o Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap obat ini, hipotensi,
gagal jantung, angina, syok kardiogenik, sindrom sinus asidosis metabolik.

C. Agonis Kolinergic

1. Epinefrin
o Indikasi : Epinefrin bekerja pada tempat reseptor adrenergic alfa-1, beta-1
dan beta-2. Respons dari tempat-tempat ini adalah meningkatkan tekanan
darah, dilatasi pupil, meningkatkan denyut jantung (takikardia), dan
bronkodilatasi. Pada syok jenis-jenis tertentu (yaitu: kardiogenik,
anafilaktik), epinefrin adalah obat yang berguna karena meningkatkan
tekanan darah, denyut jantung dan aliran udara melalui paru-paru melalui
bronkodilatasi.
o Kontraindikasi : Pemakaian dekongestan dengan epinefrin mempunyai efek
aditif. Jika epinefrin diberikan bersama digoksin, maka dapat terjadi aritmia
jantung. Penghambat beta dapat menyebabkan menurunnya kerja epinefrin
2. Albuterol sulfat
o Indikasi : pasien dengan asma
o Kontraindikasi : Jika albuterol dipakai bersama penghambat MAO, dapat
terjadi krisis hipertensi. Penghambat beta dapat menghambat kerja
albuterol.
3. Klonidin dan metildopa
o Indikasi : pasien dengan hipertensi
o Kontraindikasi : Efek samping yang sering timbul pada obat-obat adrenergic
adalah hipertensi, takikardi, palpitasi, aritmia, tremor, pusing, kesulitan
berkemih, mual dan muntah.

D. Antagonis Kolinergic

1. Propanolol HCl
o Indikasi : diresepkan untuk mengobati angina, aritmia jantung, dan
hipertensi

70
o Kontraindikasi : Obat ini merupakan kontraindikasi bagi klien penderita
asma, atau blok jantung derajat dua atau tiga
2. Nodolol
o Indikasi : Hipertensi, Angina
o Kontraindikasi : Asidosis metabolic. (Sujati W., 2016)

4. MAHASISWA MAMPU MEMAHAMI FARMAKO KINETIK, FARMAKO


DINAMIK, PENGGUNAAN TERAPI, EFEK SAMPING SERTA CARA KERJA DARI
OBAT KOLINERGIK (AGONIS DAN ANTAGONIS)

Farmakokinetik adalah bagian farmakologi yang mempelajari tentang perjalanan


dan nasib obat di dalam tubuh (absorpsi, distribusi, metabolism/biotransformasi,
ekskresi). Sedangkan Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang memelajari
efek biokimiawi, fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan memelajari mekanisme
kerja obat adalah untuk mengetahui obat-obat yang menghambat kerja asetilkolin dengan
menempati reseptor-reseptor asetilkolin disebut dengan antikolinergik atau
parasimpatolitik. Nama lain untuk antikolinergik adalah agen- agen penghambat
kolinergik, agen-agen antiparasimpatis, agenagen antimuskarinik, atau antispasmodic.
Jaringan tubuh dan organ utama yang dipengaruhi oleh kelompok obat antikolinergik ini
ialah jantung, saluran pernapasan, saluran GI, kandung kemih, mata dan kelenjar eksokrin.
Dengan menghambat saraf-saraf parasimpatis, sistem saraf simpatis (adrenergic) menjadi
dominant.

Obat-obat yang merangsang sistem saraf parasimpatis disebut sebagai obat-


obat kolinergik, atau parasimpatomimetik, karena mereka menyerupai
neurotransmitter parasimpatis, asetilkolin. Obat-obat kolinergik juga dikenal dengan
kolinomimetik, perangsang kolinergik, atau agonis kolinergik. Asetilkolin (AK) adalah
neurotransmitter yang terdapat pada ganglion dan ujung saraf terminal parasimpatis
dan mempersarafi reseptorreseptor pada organ, jaringan dan kelenjar. Ada dua jenis
reseptor kolinergik: (1) reseptor muskarinik yang merangsang otot polos dan
memperlambat denyut jantung dan (2) reseptor nikotinik (neuromuscular) yang
memengaruhi otot rangka. Banyak dari obatobat kolinergik bersifat nonselektif karena

71
mereka memengaruhi baik reseptor muskarinik maupun reseptor nikotinik. Obat-obat
kolinergik pada SSO selektif untuk reseptor muskarinik dan tidak memengaruhi
reseptor nikotinik. (Sujati W., 2016).

Obat-obat antikolinergik dan adrenergic menghasilkan banyak respons yang sama.


Obat- obat antikolinergik dan kolinergik mempunyai efek yang berlawanan. Respon
utama dari antikolinergik adalah menurunkan motilitas GI, mengurangi salivasi, dilatasi
pupil mata (midriasis), dan meningkatkan denyut nadi. Efek-efek lain dari antikolinergik
adalah menurunkan kontraksi kandung kemih, yang mengakibatkan retensi urin, dan
mengurangi rigiditas dan tremor yang berkaitan dengan eksitasi neuromuscular.
Antikolinergik juga dapat bekerja sebagai antidote terhadap toksisitas yang disebabkan
oleh penghambat kolinesterase serta minum organofosfat

72
Reseptor-reseptor muskarinik, yang merupakan reseptor kolinergik, berperan
dalam respons jaringan dan organ terhadap antikolinergik, karena antikolinergik
menghambat kerja asetilkolin dengan menempati tempat reseptor-reseptor ini. Gambar
5.2.3. menggambarkan kerja obat-obat antikolinergik tersebut. Obat-obat antikolinergik
dapat menghambat efek parasimpatomimetik yang bekerja langsung, seperti betanekol
dan pilokarpin, dan dapat menghambat parasimpatomimetik yang bekerja tidak langsung,
seperti fisostigmin dan neostigmin.

Contoh dari obat antikolinergik beserta farmakokinetik dan farmakodinamiknya:

1. Propantelin bromide
A. Penggunaan terapi
Obat ini digunakan untuk mengurangi sekresi lambung dan GI.

73
B. Farmakokinetik
Famakokinetik Propantelin sebagian diabsorpsi melalui saluran GI, meskipun
sebagian dari obat ini diinaktivasi di dalam saluran usus halus. Efek pengikatan
pada protein dan waktu paruhnya tidak diketahui. Obat ini diekskresi ke dalam
empedu dan urin.
C. Farmakodinamik dan cara kerjanya
Farmakodinamik Propantelin menghambat efek muskarinik dari asetilkolin pada
tempat reseptor (reseptor postganglionic muskarinik). Akibatnya timbul penurunan
sekresi lambung dan berkurangnya spasme. Mula kerjanya adalah 0,5 -1 jam, waktu
untuk mencapai konsentrasi puncak 2-4 jam, dan lama kerjanya 6 jam. Propantelin
banyak mempunyai efek samping yang sama dengan obat-obat antikolinergik lain,
yaitu mulut kering, meningkatnya denyut jantung, konstipasi dan retensi urin.
D. Efek samping
Semenjak diperkenalkannya memiliki efek samping penghambat histamine (H2),
agen-agen antikolinergik, seperti, propantelin, dan tidak lagi sering dipakai untuk
mengurangi sekresi lambung.
2. Triheksifenidil
A. Penggunaan terapi
Triheksifenidil dipakai tunggal untuk mengobati pseudoparkinsonisme akibat efek
samping dari fenotiazin dalam obat-obat antipsikotik.
B. Farmakokinetik
Farmakokinetik Triheksifenidil diabsorpsi dengan baik dalam saluran GI.
Pengikatan pada protein dan waktu paruhnya tidak diketahui. Obat ini
diekskresikan ke dalam urin.
C. Farmakodinamik dan cara kerjanya
Farmakodinamik Triheksifenidil mengurangi pergerakan invulunter dan
menghilangkan tanda- tanda dan gejala-gejala tremor dan rigiditas otot yang terjadi
pada penyakit parkinson dan pseudoparkinsonisme. Obat ini tersedia dalam bentuk
tablet, eliksir dan kapsul sustained release. Lama kerja preparat sustained release
dua kali lebih lama daripada bentuk oral dan eliksir. Alkohol, narkotik, fenotiazin
dan antihistamin dapat meningkatkan efek triheksifenidil.

74
D. Efek samping
Efek sampingnya serupa dengan obat-obat antikolinergik lain.

Obat-Obat Kolinergik
Obat-obat kolinergik (agonis kolinergik) ialah obat yang bekerja secara langsung
atau tidak langsung meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin. Kolinergik juga
disebut parasimpatomimetik karena menghasilkan efek yang mirip dengan perangsangan
Sistem saraf parasimpatis.
Obat-obat kolinergik memiliki 3 indikasi utama, yaitu:
a. Menurunkan tekanan intraocular pada pasien glaucoma atau operasi mata.
b. Mengobati atoni saluran cerna atau vesika urinaria.
c. Untuk mendiagnosis dan pengobatan miastenia gravis.
Beberapa obat kolinergik merupakan antidotum penting untuk obat-obat blokade
neuromuscular, antidepresan trisiklik, dan alkaloid beladona. Obat –obat kolinergik
memperlihatkan efeknya dengan menunjukkan salah satu dari 2 cara yaitu bekerja mirip
dengan asetilkolin atau menghambat destruksi asetilkolin oleh enzim asetilkolinesterase di
tempat-tempat reseptornya.

Klasifikasi
Obat-obat kolinergik merangsang reseptor kolinergik. Karena itu, kerjanya mirip dengan
asetilkolin endogen. Obat-obat golongan ini dapat dikelompokkan berdasarkan:
a. Spektrum efeknya, yaitu muskarinik atau nikotinik; dan
b. Mekanisme kerjanya, yaitu yang bekerja langsung pada reseptor asetilkolin atau
secara tidak langsung melalui penghambatan asetilkolinesterase. Beberapa obat, seperti
neostigmin termasuk dalam lebih dari satu subkelas.
Penggolongan obat-obat kolinergik beserta prototype, analog utama, dan obat lain.

Cara kerja Golongan Prototip Analog Obat


utama penting lain
Kerja Agonis Asetilkolin Muskarin, Karbamolko
langsung muskarinik Betanikol, lin

75
Pilokarpin Metakolin
Arekolin
Agonis Asetilkolin Nikotin Karbamikoli
nikotinik Suksinilkoli n
n
Neostigmin
Kerja tidak Penghambat Neostigmin Edrofonium Pridostigmin
langsung aktif Fisostigmin
kolinesterase Karbaril
(reversible)
Ekotiofat Parathion Isofluorofat
Penghambat (disopropil
kolinesterase fluorofosfat
(irreversible) DFP)
Malation Diklorvos
Kolinergik Metoklopra
lain mid
Sisaprid

a. Ester Kolin (Kolinergik Kerja Langsung)


Golongan kolinergik kerja langsung ini meliputi ester kolin (asetilkolin,
metakolin, karbamoilkolin, dan betanekol) dan alkaloid alamiah (muskarin, pilokarpin,
nikotin, lobelin). Beberapa obat sintetik (oksetremorin, dimetilfenilpiperazinium,
DMPP) masih terus diteliti. Diantaraanggota-anggota subkelas ini, terdapat perbedaan
dalam spectrum efek (potensi stimulasi muskarinik dan nikotinik) dan
farmakokinetiknya. Kedua macam perbedaan ini memengaruhi penggunaan kliniknya)

Mekanisme Kerja:
Agonis kolinergik bekerja mirip dengan kerjaastilkolin pada reseptor
kolinergik. Obat-obat ini berkaitan dengan reseptor padamembran sel-sel organ target

76
mengubah permeabilitas membrane sel dan mempermudah pengaliran kalsium dan
natrium ke dalam sel yang menyebabkan stimulasi otot

Efek samping:
Biasanya efek samping dihasilkan oleh efek-efek nonspesifiknya pada system
saraf parasimpatik. Agonis kolinergik yang berkaitan khusus dengan reseptor di system
saraf parasimpatikmenimbulkan efek parasimpatomimetik yang tidak diinginkan diluar
organ target. Sebagai contoh, penggunaan betanekol mengurangi retensi urin, juga dapat
meningkatkan motilitas saluran cerna, yang dapat menimbulkan mual, kembung,
muntah, kram usus, dan diare.

Sediaan-sediaan
1. Asetilkolin
Merupakan senyawaammonium kuartener dengan aktifitas muskarinik dan
nikotinik serta tidak dapat menembus membrane sel. Tidak dapat digunakan
untuk pengobatan karena kerjanya yang berlangsung sangat cepat dan segera
diinaktifkan oleh enzim asetilkolinesterase
2. Metakolin
Masa kerja lebih lama resisten terhadap hidrolisis oleh kolinesterase non
spesifik, relative resisten terhadap hidrolisi oleh ACh.
Indikasi:
a. Pengobatan gawat darurat glaukoma sudut sempit untuk menurunkan
intraocular
b. Uji diagnostik untuk pasien yang diduga mengidap asma.
3. Karbakol
Merupakan ester asam karbamat yang juga merupakan substrat yang tidak
cocok untuk asetilkolinesterase. Karena potensinya yang cukup tinggi dan
kerjanya berlangsung lama, obat ini jarang digunakan untuk terapi, kecuali untuk
mata sebagai miotikum dan untuk menurunkan tekanan dalam bola mata.

77
4. Betanekol
Mempunyai struktur kimia yang berkaitan dengan ACh. Bekerja secara
langsung memacu reseptor muskarinik sehingga meningkatkan tonus dan
motilitas usus, meningkatkan tonus otot detrusor kandung kemih, serta
merelaksasi trigonum dan sfingter sehingga berefek pengeluaran urine. Indikasi:
pengobatan atonia kandung kemih pasca persalinan atau pascabedah
5. Pilokarpin
Merupakan suatu amin tersier yang stabil terhadap hidrolisis oleh
asetilkolinesterase, termasuk obat yang lemah disbanding dengan asetilkolin dan
turunannya. Aktivitas utamanyaadalah muskarinik dan digunakan untuk
oftalmologi, serta di indikasikan dalam terapi glaukoma.

b. Obat Antikolinesterase (Kolinergik Kerja Tidak Langsung)


Obat-obat kolinergik yang bekerja tidak langsung tidak bekerja pada reseptor,
tetapi mereka menghambat enzim kolinesterase, sehingga memungkinkan asetilkolin
menumpuk pada tempat reseptor. Karena cara kerjanya demikian, maka obat ini juga
dikenal dengan nama penghambat kolinesterase, atau antikolinesterase, yang
mempunyai dua jenis, yaitu: reversible dan ireversibel.
Penghambat kolinesterase reversible. Penghambat-penghambat ini dipakai
untuk menimbulkan kontriksi pupil dalam pengobatan glaucoma dan untuk
meningkatkan kekuatan otot pada klien dengan miastenia gravis (suatu kelainan
neuromuscular). Efek-efek obat menetap selama beberapa jam. Obat-obat yang
dipakai untuk meningkatkan kekuatan otot pada mistenia gravis adalah neostigmin
(masa kerja singkat), piridostigmin bromida (masa kerja sedang), ambenonium klorida
(masa kerja panjang), dan edrofonium klorida (masa kerja singkat untuk tujuan
diagnosis). Obat-obat ini akan dibahas lebih perinci pada materi akhir topik ini.
Penghambat kolinesterase irreversible.
Penghambat-penghambat ireversibel adalah agen yang kuat karena efek
jangka panjangnya. Enzim kolinesterase harus diregenerasi sebelum efek obat
menghilang, suatu proses yang dapat memakan waktu berhari-hari atau berminggu-

78
minggu. Obat-obat ini dipakai untuk menghasilkan kontriksi pupil dan untuk
pembuatan insektisida organofosfat. (Sujati W., 2016).
Antikolinesterase menghambat enzim asetilkolinesterasi (yang menguraikan
ACh menjadi asetat dan kolin) sehinggaACh menumpuk ditempat reseptor ACh.
Akibatnya, stimulasi reseptor kolinergik di seluruh tubuh berlangsung lebih lama.
Dalam golongan ini kita kenal dua kelompok obat yaitu :
1. Golongan karbamat (ester asam karbamat), dapat disebut juga golongan
antikolinesterase reversible, kecuali edrofonium yang bukan merupakan suatu
ester. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah ambenonium, edrofonium
klorida, neostigmin, fisostigmin salisilat, dan pridostigmin.
2. Golongan fosfat (ester asam fosfat) atau golongan ireversibel. Mempunyai masa
kerja yang sangat lama, dan membentuk kompleks yang sangat stabil dengan
enzim serta dihidrolisis dalam waktu berhari-hari atau berminggu-minggu
Mekanisme Kerja:
Obat-obat antikolinesterase meningkatkan kadar dan efek ach pada tempat
reseptor dalam SSP atau ganglia otonomik, pada sel-sel efektor di viscera, dan pada
motor end plate. Bergantung pada tempat kerja, dosis obat, dan masa kerjanya, obat-
obat ini dapat memberikan efek stimulasi atau efek depresi pada reseptor kolinergik
Efek Samping:
o Efek samping yang umum terjadi berupa efek parasimpatomimetik. Pada
mata berupa penglihatan kabur, penurunan akomodasi, miosis; pada kulit
akan keluar banyak keringat; pada saluran cernaakan terjadi peningkatan
salvias, kembung, mual, muntah, kram usus dan diare.
o Efek brokontriksi: nafas terasa pendek, mengi, atau terasa tegang di dada.
Vasodilatasi: penurunan denyut jantung dan pengurangan kontraksi otot
jantung.
o Efek pada SSP: Irritabilitas, ansietas atau rasa takut (pada beberapa
kasus), dan terjadi kejang

79
Sediaan-sediaan
Fisostigmin
Fisostigmin berupaamin tersier suatu alkaloid (senyawa nitrogen yang terdapat
dalam tumbuh-tumbuhan). Obat ini adalah substrat untuk asetilkolinesterase, dan
membentuk senyawa perantara enzim-substrat yang relative stabil yang berfungsi
menginaktifkan secara reversible ACh.
Edrofonium
Edrofonium adalah suatu amin kuartener yang mempunyai kerja mirip dengan
neostigmin; dan bila dibandingkan dengan neostigmin, obat ini lebih cepat diserap dan
masa kerjanya lebih singkat (sekitar 10-20 menit). Penggunaan klinisnya untuk
miastenia gravis (kelemahan otot). Kelebihan dosis dapat menimbulkan krisis
kolinergik. Bila terjadi keracunan berikan atropine sebagai antidotum.

5. MAHASISWA MAMPU MEMAHAMI FARMAKO KINETIK, FARMAKO


DINAMIK, PENGGUNAAN TERAPI, EFEK SAMPING SERTA CARA KERJA DARI
OBAT ADREGENIK (AGONIS DAN ANTAGONIS)

ANTAGONIS ADRENERGIK

Antagonis adrenergik/Penghambat Adrenergik merupakan sekelompok senyawa yang


bekerja menghambat efek neurotransmitter secara langsung dengan menempati reseptor α dan
β, atau tidak langsung dengan menghambat pelepasan norepinephrine dan
epinephrine.Antagonis adrenergik disebut juga sympatholytics. Adrenergik antagonis dibagi
menjadi 2 sesuai dengan afinitasnya α dan β.

Obat-obat yang menghambat efek neurotransmitter adrenergic disebut sebagai


Penghambat adrenergic, atau simpatolitik. Obat-obat ini merupakan antagonis terhadap
agonis adrenergic dengan menghambat tempat-tempat reseptor alfa dan beta. Kebanyakan
dari penghambat adrenergic menghambat reseptor alfa atau beta. Obat-obat ini
menghambat efek neurotransmitter secara langsung dengan menempati reseptor alfa atau
beta, atau tidak langsung dengan menghambat pelepasan neurotransmitter, NE atau E.
Ketiga reseptor simpatolitik adalah alfa-1, beta-1 dan beta-2. Hubungan reseptor dengan
respons penghambat adrenergic dapat dilihat pada Tabel 5.1.2. (Sujati W., 2016)

80
1. Antagonis adrenergik reseptor alpha (α blocker)

Dari segi selektifitasnya maka α-bloker dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu α
bloker non selektif dimana golongan obat ini bekerja memblokade reseptor adrenergik α1
dan α2. Dan kelompok kedua adalah golongan α-bloker selektif dimana golongan obat ini
hanya memblokade reseptor α1 atau hanya reseptor α2 saja.

a. α blocker Non-selektif
Saat ini dikenal berberapa derivat yang tergolong kepada α-bloker non selektif yaitu,
Derivat haloalkilamin (dibenamin, fenoksibenzamin) dan Derivat imidazolin
(fentolamin, tolazolin).
 Fenoksibenzamin
- Farmakokinetik
Fenoksibenzamin bekerja dengan berikatan secara kovalen dengan reseptor α,
menyebabkan blokade ireversibel yang berlangsung lama (14-48 jam atau
lebih). Obat ini agak selektif untuk reseptor αl tetapi kurang jika dibandingkan
dengan prazosin. Obat ini juga menghambat penyerapan kembali norepinefrin
yang telah dilepaskan oleh ujung saraf adrenergik prasinaps. Fenoksibenzamin
juga menghambat reseptor histamin (H1), asetilkolin, dan serotonin serta
reseptor α.
- Farmakodinamik
Efek paling signifikan adalah berkurangnya vasokonstriksi yang diinduksi
oleh katekolamin. Sementara fenoksibenzamin menyebabkan penurunan
tekanan darah minimal pada orang normal dalam posisi terlentang, namun
obat ini mengurangi tekanan darah ketika tonus simpatis tinggi, mis. akibat

81
posisi berdiri atau karena berkurangnya volume darah. Curah jantung
mungkin meningkat karena efek refleks dan karena adanya blokade reseptor
α2 prasinaps di saraf-saraf simpatis jantung. Fenoksibenzamin diserap setelah
pemberian oral meskipun bioavaibilitasnya rendah dan sifat-sifat kinetiknya
belum diketahui pasti. Obat biasanya diberikan per oral, dimulai dengan dosis
10 mg/ hari dan secara progresif ditingkatkan sampai efek yang diinginkan
tercapai. Dosis kurang dari 100 mg/hari biasanya sudah memadai untuk
mencapai blokade reseptor α yang adekuat. Pemakaian utama
fenoksibenzamin adalah untuk mengobati feokromositoma.
- Efek samping
Sebagian besar efek samping fenoksibenzamin berasal dari efeknya dalam
menghambat reseptor α; yang terpenting adalah hipotensi ortostatik dan
takikardia. Hidung tersumbat dan inhibisi ejakulasi juga dapat terjadi. Karena
dapat masuk ke susunan saraf pusat, fenoksibenzamin dapat menyebabkan
efek-efek non-spesifik seperti rasa lesu, mengantuk, dan mual. Karena
merupakan bahan pengalkil, maka fenoksibenzamin mungkin memiliki efek
samping lain yang belum diketahui pasti.
 Fentolamin
- Farmakokinetik
Fentolamin merupakan antagonis kompetitif poten untuk reseptor αl dan α2
(Tabel 10-1). Obat ini menurunkan resistensi perifer melalui blokade reseptor
al dan mungkin reseptor α2 di otot polos pembuluh darah. Stimulasinya
terhadap jantung disebabkan oleh antagonisme reseptor α2 prasinaps (yang
menyebabkan peningkatan pengeluaran norepinefrin dari saraf simpatis) dan
pengaktifan simpatis dari mekanisme barorefleks.
- Farmakodinamik
Fentolamin telah digunakan untuk mengobati feokromositoma. Selain kadang
digunakan untuk memulihkan anestesia lokal di jaringan lunak; antestetik
lokal sering dicampur dengan vasokonstriktor untuk memperlama kerjanya.
Fentolamin lokal memungkinkan pemulihan pada akhir prosedur. Sayangnya

82
sediaan oral dan intravena fentolamin tidak lagi tersedia secara konsisten di
Amerika Serikat.
- Efek samping
Fentolamin juga memiliki efek inhibitorik ringan pada reseptor serotonin dan
efek agonis di reseptor muskarinik dan histamin H1 dan H2. Efek samping
utama fentolamin berhubungan dengan stimulasi jantung, yang dapat
menyebabkan takikardia berat, aritmia, dan iskemia miokardium.

b. α blocker Selektif
Untuk α blocker selektif ini bisa memblock α1 and α2 receptors. Blokadeα1 bisa
menyebabkan vasodilatasi namun dia juga memblockade α2 receptor yang banyak
ditemukan di presynaptic nerve ending. Derivat yang termasuk α-bloker selektif
adalah derivat kuinazolin dan obat lain seperti indoramin dan urapidil. Yang termasuk
drivat kuinazolin adalah prazosin, terazosin, doksazosin, alfulozin, dan tamsulosin.
Prazosin, terazosin, doksazosin dan alfulozin.

 Prazosin
- Farmakokinetik
Prazosin adalah suatu piperazinil kuinazolin yang efektif dalam menangani
hipertensi. Obat ini sangat selektif untuk reseptor αl dan biasanya 1000 kali
kurang poten untuk reseptor α2. Hal ini mungkin dapat menjelaskan relatif
tidak terjadinya bradikardia pada pemberian prazosin dibandingkan dengan
pemberian fentolamin dan fenoksibenzamin. Prazosin melemaskan otot polos
arteri dan vena, serta otot polos di prostat, karena blokade reseptor αl.
Prazosin dimetabolisasi secara ekstensif di dalam tubuh; karena degradasi
metabolik oleh hati, hanya sekitar 50% obat tersedia jika diberikan per oral.
Waktu paruh normal adalah sekitar 3 jam.
- Farmakodinamik
Turunnya tekanan darah pada px hipertensi (lebih efektif utk px hipertensi).
Dan juga ekskresi urin kembali normal pada pasien BPH (benign prostate
hypertrophy).

83
 Doksazosin
- Farmakokinetik
Doksazosin efektif untuk mengobati hipertensi dan BPH. Obat ini berbeda
dari prazosin dan terazosin yaitu memiliki waktu paruh lebih lama (sekitar 22
jam). Doksazosin memiliki bioavaibilitas yang moderat dan dimetabolisasi
secara ekstensif, dengan hanya sedikit obat induk yang diekskresikan di urin
atau tinja. Obat ini memiliki metabolit-metabolit aktif, meskipun kontribusi
mereka bagi efek obat mungkin kecil.
- Farmakodinamik
Turunnya tekanan darah pada penderita hipertensi (lebih efektif utk penderita
hipertensi). Dan juga ekskresi urin kembali normal pada pasien BPH (benign
prostate hypertrophy)
 Tamsulosin
- Farmakokinetik
Tamsulosin adalah antagonis kompetitif al dengan struktur yang cukup
berbeda dan struktur kebanyakan penghambat reseptor αl. Obat ini memiliki
bioavaibilitas yang tinggi dan waktu paruh 9-15 jam. Tamsulosin
dimetabolisasi secara ekstensif di hati. Obat ini memiliki afinitas yang lebih
tinggi terhadap reseptor αlA dan αID daripada subtipe α1B. Bukti
menyarankan bahwa tamsulosin memiliki potensi yang relatif lebih besar
dalam menghambat kontraksi otot polos prostat versus ototpolos vaskular
dibandingkan dengan antagonis αl selektif lainya. Efikasi obat pada BPH
mengisyaratkan bahwa subtipe αlA mungkin merupakan subtipe α terpenting
yang memerantarai kontraksi otot polos prostat .Selain itu, dibandingkan
dengan antagonis lain, tamsulosin tidak banyak berefek pada tekanan darah
saat berdiri. Bagaimanapun, pemberian setiap antagonis α pada pasien dengan
penurunan fungsi sistem saraf simpatis perlu dilakukan dengan hati-hati.
- Farmakodinamik
Bukti menyarankan bahwa tamsulosin memiliki potensi yang relatif lebih
besar dalam menghambat kontraksi ototpolos prostat versus ototpolos
vaskular dibandingkan dengan antagonis αl selektif lainya. Efikasi obat pada

84
BPH mengisyaratkan bahwa subtipe αlA mungkin merupakan subtipe α
terpenting yang memerantarai kontraksi otot polos prostat.
- Efek samping
Efek samping dari tamsulosin ini yaitu meningkatkan resiko intraopperative
floppy iris syndrome (IFIS) pada bedah katarak yang ditandai dengan
menggelembungnya iris, prolaps iris, dan konstriksi pupil progresif
intraoperasi.
 Yohimbin
- Farmakokinetik
suatu alkaloid indol, adalah antagonis α2 selektif. Obat ini kadang digunakan
untuk mengobati hi-potensi ortostatik karena menyebabkan pengeluaran
norepinefrin melalui blokade reseptor α2 di susunan saraf pusat dan perifer.
Hal ini meningkatkan pengaktifan simpatis sentral dan juga mendorong
pelepasan norepinefrin di perifer. Obat ini dahulu digunakan secara luas untuk
mengobati disfungsi ereksi pria, tetapi telah digantikan oleh inhibitor
fosfodiesterase-5 seperti sildenafil.Obat ini digunakan dalam kedokteran
hewan untuk mengatasi anestesia yang dihasilkan oleh xilazin, suatu agonis
α2 untuk menenangkan hewan.
- Farmakodinamik
Yohimbin dapat meningkatkan tekanan darah jika diberikan kepada pasien
yang sedang mendapat obat penghambat transpor norepinefrin.Yohimbin
membalikkan efek antihipertensi agonis adrenoseptor α2, misalnya klonidin.
2. Antagonis adrenergik reseptor beta
Antagonis-antagonis reseptor beta memiliki kesamaan yaitu melawan efek
katekolamin pada adrenoseptor β. Obat penghambat beta menempati reseptor β dan
secara kompetitif mengurangi tingkat hunian reseptor oleh katekolamin dan agonis β
lainnya (Beberapa anggota dari kelompok ini, yang hanya digunakan untuk kepentingan
eksperimen, berikatan secara ireversibel dengan reseptor β).
Penghambat adrenergik beta, seringkali disebut sebagai penghambat beta,
menurunkan denyut jantung, biasanya akan diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kebanyakan dari penghambat beta bersifat nonselektif, menghambat baik reseptor

85
beta-1 maupun beta-2. Bukan hanya terjadi penurunan denyut nadi akibat
penghambatan beta-1, tetapi terjadi juga bronkokontriksi. Penghambat beta
nonselektif sudah pasti tidak boleh dipakai oleh penderita penyakit paru obstruktif
menahun (PPOM) atau asma yang berat. Jika efek yang diinginkan adalah
menurunkan denyut nadi dan tekanan darah, maka dapat dipakai penghambat beta-1
selektif, seperti metoprolol tartrat. (Sujati W., 2016)
Efek utama adalah mengurangi aktivitas jantung dengan mengurangi stimulasi
reseptor β1 di jantung.β-Blocker efektif dalam mengobati hipertensi, angina, aritmia
jantung, infark miokard, gagal jantung, hipertiroidisme, dan glaukoma. Mereka juga
digunakan untuk profilaksis sakit kepala migrain. Perlu juga diketahui bahwa: Nama-
nama dari semua β-blocker diakhiri dengan "-olol" kecuali untuk labetalol dan carvedilol.
- Farmakokinetik
Sebagian besar obat dalam kelas ini diserap baik setelah pemberian oral;
konsentrasi puncak terjadi 1-3 jam setelah ingesti. Tersedia sediaan lepas
lambat propranolol dan metoprolol.
Proporsi obat yang mencapai sirkulasi sistemik meningkat seiring dengan
peningkatan dosis, yang mengisyaratkan bahwa mekanisme esktraksi di hati
mungkin menjadi jenuh.
Antagonis β cepat tersebar dan memiliki volume distribusi yang
besar.Sebagian besar antagonis β memiliki waktu paruh dalam kisaran 3-10
jam. Pengecualian utama adalah esmolol, yang cepat dihidrolisis dan memiliki
waktu-paruh sekitar 10 menit.
- Farmakodinamik
Sebagian besar efek obat-obat ini disebabkan oleh dihuninya dan
terhambatnya reseptor β. Efek obat-bat penghambat reseptor beta terhadap
kondisi fisiologis tubuh antara lain:
a) Efek pada sistem kardiovaskuler
Obat penghambat beta yang diberikan jangka-panjang akan menurunkan
tekanan darah pada pasien dengan hipertensi. Mekanisme yang berperan
belum sepenuhnya dipahami tetapi mungkin mencakup supresi
pengeluaran renin dan efek pada susunan saraf pusat. Obat-obat ini

86
biasanya tidak menyebabkan hipotensi pada orang sehat dengan tekanan
darah normal.Antagonis reseptor β memiliki efek menonjol pada jantung
dan sangat berguna untuk mengobati angina dan gagal jantung kronik serta
setelah infark miokardium.
b) Efek pada saluran nafas
Blokade reseptor β2 di otot polos bronkus dapat menyebabkan
peningkatan resistensi saluran napas, terutama pada pasien dengan asma.
c) Efek pada mata
Obat penghambat beta mengurangi tekanan intraokulus, khususnya pada
glaukoma. Mekanisme yang biasanya dilaporkan adalah berkurangnya
produksi aqueoushumor.
d) Efek pada metabolisme dan eksokrin
Pemakaian jangka-panjang antagonis adrenoseptor β dilaporkan
menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma lipoprotein berdensitas
sangat rendah dan penurunan konsentrasi kolesterol HDL. Kedua
perubahan ini berpotensi merugikan dalam kaitannya dengan risiko
penyakit kardiovaskular.Mekanisme bagaimana antagonis reseptor
menyebabkan perubahanperubahan tersebut belum diketahui, meskipun
perubahan pada sensitivitas terhadap efek insulin mungkin ikut berperan.
- Efek samping
Bradikardia adalah efek samping jantung tersering dari obat-obat
penghambat β.Kadang pasien merasa tangan dan kaki mereka dingin pada
musim dingin. Efek pada susunan saraf pusat mencakup mengantuk ringan,
mimpi terasa jelas, dan, meskipun jarang, depresi.
Efek samping utama antagonis reseptor β berkaitan dengan konsekuensi
blokade β. Blokade reseptor β2 yang berkaitan dengan pemakaian obat non-
selektif sering memperburuk asma yang sudah ada atau bentuk-bentuk lain
obstruksi saluran napas tanpa menimbulkan hal yang sama pada orang normal.
Sementara obat selektif β1 mungkin kurang berefek pada saluran napas
daripada antagonis β non-selektif namun mereka perlu digunakan secara
sangat hati-hati pada pasien dengan penyakit saluran napas reaktif.

87
Pasien dengan penyakit jantung iskemik atau hipertensi renovaskular
mungkin mengalami peningkatan risiko jika blokade β mendadak
dihentikan.Insidens serangan hipoglikemia yang dipicu oleh penghambat β
pada pengidap diabetes tidak diketahui.

Adapun obat-obat an yang tergolong dalam β blocker antara lain:

 Propanolol
- Farmakokinetik
Propranolol diserap dengan baik setelah pemberian oral. Konsentrasi
puncak terjadi setelah 1-3 jam setelah pemberian. Propranolol mengalami
metabolisme lintasan pertama hepatik yang luas. Proporsi obat, mencapai
sirkulasi sistemik meningkat ketika dosis meningkat ketika sirkulasi hati
menjadi jenuh. Ini cepat didistribusikan karena larut dalam lemak. Dapat
dengan mudah melewati sawar darah otak (BBB). Sangat terikat dengan
protein plasma (90% hingga 95%). Protein pengikat utama adalah α1-asam
glikoprotein. Waktu paruh plasma adalah 3 sampai 6 jam, dan diekskresikan
melalui urin (95%) ASI & 5% dalam feses sebagai metabolit glukuronida.
Propanolol diabsorpsi dengan baik melalui saluran GI. Obat ini
menembus sawar darah otak dan plasenta, dan ditemukan dalam ASI. Obat
ini dimetabolisme oleh hati, mengalami first-pass hepatic sehingga hanya
sejumlah kecil yang mencapai sirkulasi sistemik. Mempunyai waktu paruh
yang singkat, yaitu 3-6 jam. (Sujati W., 2016)
- Farmakodinamik
Dengan menghambat kedua jenis reseptor beta, propanolol menurunkan
denyut jantung dan tekanan darah. Obat ini juga menyebabkan kontriksi
saluran bronchial dan kontraksi uterus. Obat ini tersedia dalam bentuk oral
tablet, kapsul sustained release dan untuk pemakaian intravena. Mula kerja,
waktu mencapai kadar puncak dan lama kerja formula preparat sustained
release lebih lama daripada tablet. Bentuk ini efektif untuk pemberian dosis
satu kali sehari, khususnya untuk pasien yang tidak patuh dengan dosis
beberapa kali sehari.

88
Nebivolol adalah penghambat reseptor β2-adrenergik yang paling selektif,
meskipun sebagian dari metabolitnya mungkin tidak memiliki spesifisitas
setinggi itu. Nebivolol juga dapat menyebabkan vasodilatasi. Hal ini
disebabkan oleh efek obat pada produksi nitrat oksida endotel. Nebivolol
dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan tidak memperburuk profil lemak.
 Carvedilol
- Farmakokinetik
Carvedilol diserap dengan baik setelah pemberian oral dengan kadar serum
puncak terjadi setelah satu jam. Ekskresi terutama dalam empedu dan
akumulasi signifikan carvedilol atau metabolit aktifnya tidak mungkin pada
pasien dengan gangguan ginjal.
- Farmakodinamik
Mekanisme dimana β-blokade menghasilkan efek antihipertensi belum
ditetapkan. Aktivitas pemblokiran β-adrenoreseptor telah dibuktikan dalam
penelitian pada hewan dan manusia yang menunjukkan bahwa carvedilol; (1)
mengurangi curah jantung pada subjek normal; (2) mengurangi takikardia
akibat olahraga dan / atau isoproterenol; dan (3) mengurangi refleks takikardia
ortostatik. Efek pemblokiran β-adrenoreseptor yang signifikan biasanya
terlihat dalam 1 jam setelah pemberian obat.
 Metaprolol
- Farmakokinetik
Level plasma yang dicapai sangat bervariasi setelah pemberian oral. Hanya
sebagian kecil dari obat (sekitar 12%) terikat dengan albumin serum manusia.
Metoprolol adalah campuran rasemat dari R- dan Senantiomer, dan terutama
dimetabolisme oleh CYP2D6. Ketika diberikan secara oral, itu menunjukkan
metabolisme stereoselektif yang bergantung pada fenotip oksidasi. Eliminasi
terutama oleh biotransformasi di hati, dan waktu paruh plasma berkisar antara
3 hingga 7 jam. Metoprolol dimetabolisme terutama oleh CYP2D6, enzim
yang tidak ada di sekitar 8% Kaukasia (metabolisme buruk) dan sekitar 2%
dari kebanyakan populasi lainnya. CYP2D6 dapat dihambat oleh sejumlah
obat. Penggunaan obat penghambat secara bersamaan dalam metabolisme

89
yang buruk akan meningkatkan kadar metoprolol dalam darah beberapa kali
lipat, mengurangi kardioselektivitas metoprolol.
- Farmakodinamik
Obat-obat ini mungkin lebih aman pada pasien yang mengalami
bronkokonstriksi pada pemberian propranolol. Karena selektivitas β1-nya
tidak terlalu tinggi maka mereka perlu digunakan dengan hati-hati, kalaupun
diberikan, pada semua pasien dengan riwayat asma. Namun, pada pasien
tertentu dengan PPOK manfaat mungkin melebihi risiko, mis. pada pasien
dengan infark miokardium. Antagonis selektif-β1 mungkin lebih disarankan
pada pasien dengan diabetes atau penyakit vaskular perifer jika mereka
membutuhkan penghambat β, karena reseptor β2 mungkin penting di hati
(pemulihan dari hipoglikemia) dan pembuluh darah (vasodilatasi).

90
BAB III
KESIMPULAN

Obat otonom adalah obat yang pengaruhi penerusan impuls dalam SSO dengan cara
mengganggu sintesis, penimbunan, pembebasan atau penguraian NT atau memengaruhi
kerjanya atas reseptor khusus. Obat-obat yang menyerupai NE atau AK menghasilkan
respons yang saling berlawanan pada organ yang sama.Obat Otonom terdiri dari obat
kolinergik dan obat adrenergik. Obat-obat yang merangsang sistem saraf simpatis disebut
dengan adrenergic, agonis adrenergic atau simpatomimetik karena obat-obat ini menyerupai
neurotransmitter simpatis (norepinefrin dan epinefrin). Sedangkan obat kolinergik
digunakan antara lain untuk: Atonia otot polos akibat peningkatan aktivitas adrenergic pasca
bedah (prostigmin dan neostigmine), Miotikum sesudah pemberian atropin pada funduskopi
(fisostigmin), memperlancar aliran cairan intraokuler (glaukoma) (pilokarpin), miastenia
gravis (antikolinesterase: prostigmin, piridostigmin, dan edrofonium).
Antikolinergik digunakan untuk: Spasmolitikum (atropine, pirenzepin, klidinium dan
disiklomin), rinitis akut, bronkhitis kronis dan medikasi preanestesia untuk mengurangi
sekresi lendir hidung dan saluran napas (atropine), midriatikum dan melumpuhkan
akomodasi (atropine, homatropin, tropikamid), anti mabuk jalan (skopolamin),
parkinsonisme (triheksifenidil, biperiden, orfenadrin, prosiklidin) serta antidotum keracunan
Ach (atropine). Pelemas otot meredakan spasme dan nyeri otot akibat cedera traumatic dan
gangguan pada penyakit berat yang kronik, seperti sclerosis multiple, stroke (gangguan
pembuluh darah otak = CVA = cerebrovascular accident), serebral palsi, dan cedera medulla
spinalis.Pelemas otot yang bekerja sentral antara lain baclofen, karisoprodol dan yang
bekerja perifer adalah dantrolen.

91
DAFTAR PUSTAKA

Asep Sukohar. 2014. BUKU AJAR FARMAKOLOGI : Neurofarmakologi - Asetilkolin


dan Nore Efinefrin. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Indra, Imail. 2012. Aktivitas Otonom. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 13(3): 180-186.

Sujati Woro Indijah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi; “Farmakologi”.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pusdik SDM Kesehatan, Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Jakarta
Selatan

Bertram G. Katzung . 2012. “Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 12”. McGraw-Hill Medical.
Amerika Serikat

Cahyono,Iwan Dwi., Sasongko, Himawan., Primatika,Aria Dian. 2009. Neurotransmitter Dalam


Fisiologi Saraf Otonom. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr.
Kariadi, Semarang : Jurnal Anestesiologi Indonesia. Volume I, Nomor 1, Tahun 2009
Departemen farmakologi dan terapeutik FK UI. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta.
Badan Penerbit FK UI.

Indijah, Sujati Woro, Purnama Fajri. 2016. Farmakologi. Jakarta: Modul Bahan Ajar Cetak
Farmasi Pusdik SDM Kesehatan.

Joyce L. Kee, et al. 1996. Farmakologi pendekatan proses keperawatan. Jakarta EGC

Katzung, B.G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. 8th ed. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.
Katzung BG, dkk. 2012. Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 12. Diterbitkan oleh The McGraw-
Hill Companies, Inc. ISBN: 978-0-07-176402-5

Kee J.L, Hayes E.R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC.
Lestari, Siti. 2013. Farmakologi. Jakarta :Badan PPSDM Kesehatan, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Singh, Surender. 2007. Pharmacology For Dentistry. Institute of Medical Sciences, New Delhi.

92
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2008.
Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi II. Jakarta: EGC.

Sujati Woro Indijah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi; “Farmakologi”. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. Pusdik SDM Kesehatan, Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Jakarta Selatan

Whalen, karen. 2015. Pharmacology: Sixth Edition. Department of Pharmacotherapy and


Translational Research. University of Florida: College of Pharmacy, Gainesville, Florida

93

Anda mungkin juga menyukai