PENDAHULUAN
Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi
visceral tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal,
pengosongan kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas lain. Karakteristik
utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa
detik saj denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan
tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam
beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk
melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap
homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO
merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).
Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya disebut
SSP). Neuron orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis maupun di
batang otak. Akson neuron orde pertama ini disebut dengan serabut preganglion
(preganglionic fiber). Serabut ini bersinaps dengan badan sel neuron orde kedua yang
terletak di dalam ganglion. Serabut pascaganglion menangkap sinyal dari serabut
preganglion melalui neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut preganglion. Seperti
yang telah diketahui, ganglion merupakan kumpulan badan sel yang terletak di luar SSP.
Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan serabut pascaganglion (postganglionic
fiber) muncul dari ganglion menuju organ yang akan diinervasi. Organ efektor menerima
impuls melalui pelepasan neurotransmiter oleh serabut pascaganglion. Kecuali untuk
medulla adrenal, baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengikuti pola seperti yang
telah dijelaskan di atas (Regar, 2010).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat
yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai
dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom
mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom
bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan
mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut
dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada
sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik
Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan
lain-lain.
Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale,
propanolol, dan lain-lain.
2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik
Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari
saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin.
Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna (atropine)
1. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan
terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot
rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan
kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, penungkatan kewaspadaan,
aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak.
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone hipofisis.
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach.
METODOLOGI PRAKTIKUM
Alat suntik
Timbangan
Wadah tempat pengamatan
Gelas ukur
Kelinci
Fenobarbital 25mg/kg BB
Pilokarpin nitrat 5mg/kg BB
Atropine sulfat 0,25mg/kg BB
b. Dosis pilokarpin
Digunakan sejumlah 5 mg/kg BB
Sediaan pilokarpin : 20 mg/5ml
Jadi dosis untuk kelinci adalah 2,44 kg x 5 mg/kg = 12,2 mg
12,2
Jumlah pilokarpin yang harus diambil adalah 1 = 3.05
4
c. Dosis Atropin
Digunakan sejumlah 0,25 mg/kg BB
Sediaan atropine : 0,25 mg/ml
Jadi dosis untuk kelinci adalah 2,44 kg x 0,25 mg/kg = 0,61 mg
0,61
Jumlah atropine yang harus diambil adalah 0,25 1 = 2,44
4.2 Hasil Pengamatan
Rute Jumlah air liur
Obat yang Efek yang Waktu
pemberiaan yang dihasilkan
disuntikan dihasilkan timbulnya efek
obat (ml) selama 5 menit
14:53 WIB (5
Phenobarbital Intravena
Sedasi (tenang) menit setelah -
(1,20ml) (telinga kelinci)
penyuntikan)
Pilokarpin Intra muscular
hipersaliva 14:58 WIB 5ml
(3,05ml) (otot paha)
Atropin Pengurangan
intravena 15:03 WIB 2,4ml
(2,40ml) saliva
4.3 Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan pengamatan untuk mengetahui efek obat kolinergik
dan antikolinergik pada kelenjar saliva kelinci. Terlebih dahulu kelinci ditimbang untuk
selanjutnya dihitung dosis Phenobarbital yang akan disuntikkan. Phenobarbital yang
disuntikkan sebanyak 1,2 ml. Hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan efek sedasi pada
kelinci sehingga kelinci akan lebih tenang dan saraf parasimpatis dapat bekerja maksimal
merangsang eksresi kelenjar saliva ketika kelinci dalam keadaan tenang atau istirahat.
Selanjutnya kelinci disuntikkan obat kolinergik pilokarpin sebanyak 3,05 ml secara
intra muscular. Hasil yang diperoleh adalah ekskresi air liur dari kelinci sebanyak 5 ml
selama 5 menit. Kelinci mengalami hipersalivasi setelah penyuntikan pilokarpin. Setelah
5 menit penyuntikan pilokarpin, kelinci kembali disuntikkan obat atropine sebanyak 2,4
ml. Diperoleh hasil berupa eksresi air liur kelinci sebanyak 2,4 ml.
Terjadi pengurangan pengeluaran air liur kelinci sebanyak 2,6 ml setelah
penyuntikkan atropine sulfat. Hal ini membuktikan bahwa pemberian obat kolinergik
pilokarpin dapat meningkatkan kelenjar saliva kelinci untuk mengeluarkan air liur karena
pilokarpin memberikan efek muskarinik dan efek nikotinik. Pilokorpin dapat
menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar ludah yang terjadi karena perangsangan
langsung (efek muskarinik) dan sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik).
Sedangkan pemberian obat atropine dapat menghambat eksresi kelenjar saliva. Atropin
sulfat merupakan antikolinergik golongan anti muskarinik yaitu golongan yang menyekat
sinaps muskarinik saraf parasimpatis secara selektif. Pada percobaan, atropin
memperlihatkan efek hambatan terhadap saraf parasimpatis dan rangsangan terhadap
saraf simpatis yaitu mukosa mulut kering (saliva berkurang).
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari praktikum yang dilakukan yaitu percobaan efek obat kolinergik dan antikolinergik
pada sekresi kelenjar ludah dapat disimpulkan bahwa :
Pemberian Phenobarbital pada hewan uji bertujuan untuk menghasilkan efek sedasi
yang memaksimalkan kerja saraf parasimpatis untuk merangsang eksresi kelenjar
saliva ketika kelinci dalam keadaan tenang atau istirahat.
Pemberian obat kolinergik (pilokarpin) dapat meningkatkan kelenjar saliva untuk
mengeluarkan air liur karena pilokarpin memberikan efek muskarinik dan efek
nikotinik.
Pemberian obat antikolinergik (atropine) dapat menghambat eksresi kelenjar saliva,
yaitu yang menyekat sinaps muskarinik saraf parasimpatis secara selektif.
DAFTAR PUSTAKA
Katzung, B. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ganiswara, S. 2008. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit Falkultas Kedokteran
Universitas Indonesia.