Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

FITOKIMIA

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS


ANTIBAKTERI TANAMAN SECANG (Caesalpinia sappan L.)
TERHADAP E. Coli

Disusun oleh :

MG. Rayi Desty P (652007005)


Reza Christiawan (652007011)
Anita D.W (652007033)
Maria Susilawati (652007041)
Kunta Wibawa (652007042)

Program Studi Kimia


FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2010
1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara tropis di dunia yang mempunyai


keanekaragaman hayati baik berupa tanaman, hewan maupun mikroba. Hal ini
menunjukan bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alam hayati dan merupakan bahan
baku terpenting dalam menunjang dunia industri baik obat-obatan maupun farmasi
(Dwiyanto).Tumbuhan-tumbuhan alam yang terdapat di Indonesia banyak yang
berkhasiat sebagai obat-obatan maupun bahan baku kosmetik. Tanaman obat
mengandung berbagai macam senyawa kimia yang bermanfaat bagi manusia, misalnya
fitosterol berkhasiat sebagai anti kanker dan antimikroba. Senyawa kimia yang dapat
membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme (khususnya bakteri) disebut
antibakteri. Antibakteri dapat dimasukkan dalam agen kemoterapi yaitu pengobatan
penyakit dengan senyawa kimia. Senyawa kimia yang dimaksud sebagai hasil sampingan
kegiatan metabolisme tumbuhan (Tobing, 1987).
Penelitian – penelitian antibakteri yang dilakukan pada tanaman sudah banyak,
misalnya thymus yang mengandung timol dan carvacrol yang memiliki efek antibakteri.
Namun para ilmuwan terus berusaha untuk mencari sumber antibakteri, terutama pada
tanaman yang mudah tumbuh di Indonesia. Tanaman yang digunakan untuk obat
tradisional dapat dijadikan alternatif sebagai pencarian senyawa antibakteri karena pada
umumnya memiliki senyawa aktif yang sangat berperan dalam bidang kesehatan
(Rahayu, 2000).
Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat yang memiliki
aktivitas antibakteri adalah secang (Caesalpinia sappan L). Secara empiris kayu secang
dipakai sebagai obat luka, batuk berdarah, berak darah, darah kotor, penawar racun,
sipilis, menghentikan pendarahan, pengobatan pascapersalinan, desinfektan, antidiare dan
nyeri karena gangguan sirkulasi darah (Wijayakusuma dkk, 1992). Penduduk yang kurang
mengetahui khasiat dari tumbuhan ini hanya mengabaikannya saja, ternyata tanaman
secang mempunyai kandungan kimia antara lain brazilin, tanin, alkaloid, flavonoin,
steroid, fenil propana, dan terpenoid (Sudarsono dkk, 2002).
Sanusi (1989) telah mengisolasi zat warna merah yang terkandung dalam kayu secang
yang dikenal sebagai senyawa golongan brazilin. Brazilin merupakan senyawa
antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya. Berdasarkan aktivitas
antioksidannya, brazilin diharapkan mempunyai efek melindungi tubuh dari keracunan
akibat radikal kimia (Moon et al. 1992). Selanjutnya Lim et al. (1997) membuktikan
bahwa indeks antioksidatif dari ekstrak kayu secang lebih tinggi daripada antioksidan
komersial (BHT BHA). Peneliti lain mengungkapkan bahwa brazilin diduga mempunyai
efek anti-inflamasi ( Sundari et al. 1998).
Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk menguji manfaat kayu secang, seperti
khasiatnya sebagai antibakteri. Penelitian Anis (1990) menunjukkan bahwa beberapa
jenis ekstrak kayu secang sebagai anti-bakteri penyebab tukak lambung. Selanjutnya
Sumarmi (1994) menguji daya antibakteri kayu secang terhadap Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli. Untuk menghentikan pendarahan, diduga yang berperan adalah
tanin dan asam galat (Sundari et al. 1998). Tanin juga bersifat sebagai antibakteri dan
astringent atau menciutkan dinding usus yang rusak karena asam atau bakteri. Kadar tanin
ekstrak kayu secang yang diperoleh dengan perebusan selama 20 menit adalah 0,137%
(Winarti dan Sembiring 1998). Oleh karena itu, para peneliti berusaha untuk menemukan
dan mengembangkan obat (antibiotik) baru yang efektif dan relatif aman. Salah satunya
adalah dengan menggali sumber daya alam yang kaya hayati untuk mencari senyawa baru
yang berkhasiat sebagai antibakteri.

1.2 Tujuan

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan yaitu :
1. Mendapatkan data skrining fitokimia ekstrak kulit batang kayu secang yang
berhasil dipisahkan.
2. Menentukan aktivitas antibakteri ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan L)
terhadap Escherichia coli.
2. Tinjauan pustaka

2.1 Secang
Secang (Caesalpinia sappan L) merupakan perdu yang umumnya tumbuh di tempat
terbuka sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut seperti di darah pegunungan
yang berbatu tetapi tidak terlalu dingin, tingginya 5 – 10 m, batangnya berkayu, bulat dan
berwarna hijau kecoklatan. Pada batang dan percabangannya terdapat duri-duri tempel
yang bentuknya bengkok dan letaknya terebar.
Daun secang merupakan daun majemuk menyirip ganda dengan panjang 25 – 40 cm,
jumlah anak daunnya 10 -20 pasang yang letaknya berhadapan. Anak daun tidak
bertangkai berbentuk lonjong, pangkal rompang, ujung bulat, tepi daun rata dan hampir
sejajar. Panjang anak daun 10 – 25 mm, lebar 3 – 11 mm, dan berwana hijau.
Bunga secang adalah bunga majemuk berbentuk malai, bunganya keluar dari ujung
tangkai dengan panjang 10 – 40 cm, mahkota bunga berbentuk tabung berwarna kuning.
Buah secang adalah buah polong, panjang 8 – 10 cm, lebar 3 – 4 cm, ujung seperti paruh
berisi 3 – 4 biji, jika masak berwarna hitam. Bijinya bulat memanjang dengan panjang 15
– 18 mm dan lebar 8 – 11 mm, tebalnya 5 – 7 mm, warnanya kuning kecoklatan. Akar
secang adalah akar tunggang berwarna coklat kotor.

Gambar 1. Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L)

2.2 Kandungan Senyawa Aktif


Daun dan batang secang mengandung saponin dan flavonoid. Selain itu daunnya
mengandung polifenol dan 0,16% – 0,20% minyak atsiri, batang/kayunya mengandung
tanin, asam galat, resin, resorsin, brasilin, brasilein, d-alfa-phellandrene, oscimene, dan
minyak atsiri.
2.3. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan langkah awal untuk mengetahui senyawa-senyawa
kimia yang terdapat pada suatu ekstrak. Menurut Ciulei(1984) dan Siregar (1999),
skrining fitokimia meliputi uji alkaloid, saponin, kardenolida bufadieral, flavonoid,
tannin, antraquinon, dan terpenoid.

2.3.1 Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan senyawa organic yang paling banyak ditemukan di
alam. Alkaloid pada umumnya tidak volatile dan tidak berwarna, selain itu juga
merupakan basa bebas yang sebagian besar tidak larut dalam air tetapi larut dalam
pelarut organik seperti eter, klorofom, methanol, dan petroleum eter (Robinson,1991).

2.3.2 Saponin
Saponin terdiri atas gugus glikosida yang terdapat pada tanaman dan merupakan
surfaktan alami atau deterjen yang terdapat di dalam tumbuhan (Davidson, 2001). Lebih
lanjut, Robinson (1991) menjelaskan bahwa saponin memiliki struktur yang meliputi 2
bagian yaitu lipofil dan hidrofil. Kehadiran dua gugus ini menyebabkan saponin
memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan, seperti sifat yang
dimiliki sabun.

2.3.3 Kardenolida Bufadienol


Kardenolida dan bufadienol merupakan gugus steroid yang mempunyai atom C 23 dan
C24 yang bersifat racun. Kardenolida merupakan steroid yang mengandung atom C 23
dengan rantai samping terdiri cincin lakton 5- anggota tidak jenuh dan α-β menempel
pada atom C17 bentuk β. Bufadienol merupakan senyawa berupa hemolog dari
kardenolida dengan atom C24 dan mempunyai rantai samping cincin keton 6- anggota
tidak jenuh ganda yang menempel pada atom C17 (Gunawan, 2004).

2.3.4 Flavonoid
Flavonoid merupakan anti oksidan yang menetralisir radikal bebas yang menyerang
sel-sel tubuh kita. Radikal bebas dapat menyebabkan kanker, penyakit jantung dan
penuaan dini. Flavonoid dapat ditemukan pada jeruk, kiwi, apel, anggur merah, brokoli
dan teh hijau. Flavonoid adalah bagian dari senyawa fenolik yang terdapat pada pigmen
tumbuh-tumbuhan. Kesehatan manusia sangat mengandalkan flavonoid sebagai
antioksidan untuk mencegah kanker. Manfaat utama flavonoid adalah untuk melindungi
struktur sel, membantu memaksimalkan manfaat vitamin C, mencegah keropos tulang,
sebagai antibiotik dan antiinflamasi. Pada banyak mikroorganisme seperti virus dan
bakteri, kehidupan dan fungsi selnya terancam karena keberadaan flavonoid yang
bertindak langsung sebagai antibiotik (Fadhli, 2008).

2.3.5 Tanin dan Polifenol


Tanin adalah polifenol tanaman yang berfungsi mengikat dan mengendapkan protein.
Tanin juga dipakai untuk menyamak kulit. Dalam dunia pengobatan, tanin berfungsi
untuk mengobati diare, menghentikan pendarahan, dan mengobati ambeien. Polifenol
alami merupakan metabolit sekunder tanaman tertentu, termasuk dalam atau menyusun
golongan tanin. Tanin adalah senyawa fenolik kompleks yang memiliki berat molekul
500-3000. Tanin dibagi menjadi dua kelompok atas dasar tipe struktur dan aktivitasnya
terhadap senyawa hidrolitik terutama asam, tanin terkondensasi (condensed tannin) dan
tanin yang dapat dihidrolisis (hyrolyzable tannin). Polifenol memiliki spektrum luas
dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh
gugus hidroksil pada senyawa tersebut yang dimiliki berbeda jumlah dan posisinya.
Dengan demikian, ekstraksi menggunakan berbagai pelarut akan menghasilkan
komponen polifenol yang berbeda pula. Fitokimia polifenol banyak terdapat pada buah –
buahan dan sayur – sayuran hijau, penelitian pada hewan dan manusia menunjukan
bahwa polifenol dapat mengatur kadar gula darah seperti anti kanker, anti oksidan dan
anti mikroba (Fadhli, 2008).

2.3.6 Antraquinon
Biosintesa senyawa antrakinon diselidiki di dalam mikroorganisme. Dan
disimpulkan bahwa biosintesa pada tumbuhan tinggi terjadi melalui proses yang
serupa, salah satu contoh yang sederhana ialah pembentukan turunan antrakinon
dari asam asetat yang diberi label dalam Peniccilium islandicum, jenis Penicillium
yang dikenal menghasilkan bermacam-macam turunan antrakinon. Terjadinya proses
biosintesa emodin atau senyawa antrakinon lainnya dapat diikuti dengan memberi
label (tanda) pada asam asetat, yang dimaksud dengan memberi label adalah
menggunakan senyawa yang sebagian unsur-unsurnya diberi muatan radio aktif
dengan menggunakan isotopnya yang radioaktif.

2.3.7 Terpenoid
Terpenoid atau isoprenoid yaitu suatu subklas dari prenyllipids (terpenes,
prenylquinones, dan sterol) yang merupakan kelompok tertua produk molekul kecil
disintesis oleh tanaman dan mungkin menjadi kelompok yang paling luas produk alami.
Terpenoid dapat digambarkan sebagai terpenes diubah, di mana kelompok metil
dipindahkan atau dihapus, atau atom oksigen ditambahkan. Selama abad ke-19, bahan
kimia bekerja pada terpentin yang menyebabkan nama terpena hidrokarbon dengan rumus
umum C10H16. Terpenes ini sering ditemukan di pabrik minyak atsiri yang berisi "Quinta
bahan penting", aroma tanaman.
terpenoid secara universal hadir dalam jumlah kecil dalam organisme hidup dan
memainkan peran penting dalam fisiologi tanaman serta fungsi penting dalam semua
membran selular. Terpenoid juga dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok molekul
yang strukturnya didasarkan pada jumlah dan berbagai unit isoprena (methylbuta-1 ,3-
diena, bernama hemiterpene, dengan 5 atom karbon).
Terpenoid adalah luar biasa beragam tetapi semua berasal melalui kondensasi dari
derivatif terfosforilasi universal hemiterpene, isopentenyl difosfat (IPP), dan difosfat
dimethylallyl (DMAPP) memberikan geranyl pirofosfat (GPP).

Pada tanaman yang lebih tinggi, IPP berasal dari asam jalur mevalonic klasik di
sitosol, tapi dari jalur fosfat methylerythritol di plastida. Hal ini berlaku umum bahwa
kolam sitosol IPP berfungsi sebagai prekursor seskuiterpen, triterpenes, sterol dan
politerpena sedangkan kolam Plastida IPP menyediakan precursor mono-, di-dan
tetraterpenes ( Bohlmann J et al. , Proc Natl Acad Sci USA 1998, 95, 4126). Beberapa
pengecualian telah diuraikan menunjukkan bahwa interaksi antara kedua jalur biosintesis
mungkin ada (Dudareva N et al., Proc Natl Acad Sci USA 2005, 102, 933).

2.4. Bakteri
Bakteri merupakan mikroorganisme bersel tunggal yang berkembang biak dengan
cara membelah diri dan hanya dapat dilihat dengan mikroskop. Bakteri termasuk
golongan organisme prokariotik, yaitu tubuhnya terdiri atas sel yang tidak mempunyai
selaput pembungkus inti yang strukturnya lebih sederhana dari eukariotik (Fardiaz, 1989;
Supani, 1996). Ukurannya hanya sekitar 0,3 – 2 mµ m. (1µ m – 1/1000 mm). Walaupun
tubuhnya hanya terdiri atas satu sel, bakteri dapat menjalankan sistem biosintesisnya
sendiri dan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu banyak ahli yang menggolongkan
bakteri sebagai tumbuh- tumbuhan. Namun sebagian mengklasifikasikan bakteri ke dalam
kelompok monera atau protista (Anonim, 2003). Bakteri ada yang bersifat patogen dan
ada pula yang tidak (Poerwa darminta, 1976).
Berdasarkan bentuk dasarnya, bakteri dibagi menjadi 3 yaitu: batang (basil), bulat
(kokus), dan lengkung (koma/vibrion, dan spiral). Umumnya sel- sel bakteri yang
berbentuk batang dan bulat seringkali membentuk kumpulan sel. Kumpulan sel yang
mungkin di bentuk oleh sel- sel berbentuk batang antara lain diplobasil (berpasangan dua-
dua) dan streptobasil (seperti rantai). Sedangkan kumpulan sel yang mungkin dibentuk
oleh sel- sel yang berbentuk bulat antara lain diplokokus (berpasangan dua- dua),
streptokokus (seperti rantai), stafilokokus (bergerombol), tetrakokus (seperti bujur
sangkar dengan empat sel) dan sarkina (seperti kubus delapan sel).
Umumnya sel bakteri berbentuk bulat mempunyai diameter sekitar 0,7 – 1,3 mikron,
sedangkan sel bakteri yang berbentuk batang lebarnya sekitar 0,2 – 2,0 mikron dan
panjangnya 0,7 – 3,7 mikron. Ukuran sel bakteri sering kali dipengaruhi oleh umur
bakteri, perubahan lingkungan dan cara pewarnaan sel bakteri (Timotius, 1982).
Adapun bagian- bagian sel bakteri dibagi menjadi tiga golongan yaitu: dinding sel,
protoplasma (membran sel, mesosom, ribosom, nukleoid, endospora, dan lain- lain) dan
bagian sel yang terletak di luar dinding sel (kapsul, flagel) (Volk, 1993).
Berdasarkan pewarnaan gram, bakteri dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu
bakteri gram positif dan gram negatif. Bakteri gram positif yang umum dikenal adalah
Bacillus, Streptococcus, dan Staphylococcus. Sedangkan bakteri gram negatif yang umum
dikenal adalah E.coli dan Salmonella. Kedua golongan tersebut mempunyai dinding sel
yang berbeda- beda susunan kimianya. Dinding sel bakteri gram negatif lebih rumit
susunannya daripada bakteri gram positif.
Bakteri yang digunakan dalam percobaan ini adalah E. coli. E. coli merupakan bakteri
gram negatif yang berbentuk batang lurus dengan ukuran 1,1 – 1,5 μm x 2,0 – 6,0 μm
yang motil dengan peritrikus dan nonmotil. Bakteri ini dapat tumbuh dengan mudah pada
media nutrien sederhana serta dapat memfermentasi laktosa yang menghasilkan asam dan
gas (Pelctzar, J.M., 1998).
2.4. Antibakteri
Antibakteri adalah sifat suatu senyawa kimia atau biologi yang dapat membunuh
atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Antibakteri dapat dimasukkan dalam
agen kemoterapi. Bahan atau senyawa kimia yang mematikan bakteri disebut bakterisidal,
sedangkan bahan atau senyawa kimia yang menghambat pertumbuhan bakteri disebut
bakteriostatik. Bahan antimikroba dapat bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah,
namun bersifat bakteriosidal pada konsentrasi tinggi (Volk, 1993) cara kerja senyawa
yang memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik pada organisme yang rentan adalah
dengan merusak dinding sel, mengubah molekul protein atau asam nukleat, menghambat
kerja enzim dan menghambat kerja enzim dan menghambat sintesis asam nukleat dan
protein (Jawet, 1960).
Ada tiga kondisi yang harus dipenuhi untuk mengetahui efek antibakteri dalam
ekstrak tumbuhan.
1. Harus ada kontak antara ekstrak tumbuhan dengan dinding sel bakteri.
2. Kondisinya harus memungkinkan bagi bakteri untuk tumbuh dengan baik jika
tidak ada senyawa antibakteri
3. Harus ada beberapa cara untuk menentukan jumlah pertumbuhan bakteri
(Berghe, 1991).
Salah satu cara untuk menentukan efek antibakteri suatu bahan atau senyawa
kimia adalah dengan metode difusi agar. Metode yang biasanya digunakan adalah metode
Kirby – Bauer (1966). Prinsip kerja pada metode ini yaitu adanya kontak langsung antara
medium pada cawan yang telah diinakulasi bakteri dengan cakram yang berisi sampel
ekstrak yang akan diuji.Setelah cawan diinkubasi, diameter zona terang yang muncul
disekitar cawan yang mengandung senyawa anti bakteri diukur dan disebut sebagai
diameter daerah hambatan (DDH) (Lay, 1994) Potensi senyawa antibakteri dapat
diketahui dengan mengukur zona radikal. Cara difusi ini dikenal dua pengertian yaitu
zona radikal dan zona iradikal.

2.5. Metode Pengujian Antibakteri


2.5.1 Difusi agar
Sejauh ini metoda untuk menguji aktivitas antimikrobia yang paling banyak
digunakan adalah Metoda Difusi Kirby-Bauer. Metode ini didasar atas difusi senyawa
yang diuji ke dalam media agar. Jika senyawa tersebut memiliki efek antimikrobia maka
setelah inkubasi akan muncul daerah hambatan yang tidak ditumbuhi oleh mikrob. Jarak
dari sumber senyawa ke batas paling luar hambatan merupakan konsentrasi minimum
untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Anonim).
Berdasarkan alasan tersebut maka metoda difusi sering dianggap sebagai metode
kuantitatif. Semakin potensial suatu senyawa antimikrobia, semakin kecil konsentrasi
yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikrobia (Lay)
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap metode difusi agar yaitu:
1. Konsentrasi senyawa dalam wadah harus dapat ditentukan. Semakin pekat atau besar
konsentrasinya semakin besar daerah hambatannya.
2. Waktu difusi juga berpengaruh terhadap luasnya daerah hambatan. Semakin lama
waktu difusi semakin tinggi konsentrasi senyawa tersebut
3. Kemampuan difusi senyawa tersebut ke dalam media agar. Meskipun senyawa
tersebut sangat berpotensi sebagai mikrobia, tetapi bila tdk mampu berdoifusi ke
dalam media akan menghasilkan DDH diameter daerah hambatan yang sempit.
4. Kecepatan pertumbuhan mikrobia dan kecepatan difusi senyawa juga akan
berpengaruh terhadap DDH yang muincul (Anonim)
Sebagai kontrol pembanding biasanya digunakan antibiotik. Adapun penggolongan
antibiotic didasarkan pada kemampuannya membunuh bakteri. Antibiotik yang hanya
mampu membunuh bakteri gram positif saja atau bakteri gram negatif saja dinamakan
antibiotika spektrum sempit, contohnya : penisilin, eritromisin, klindamisin. Sedangkan
antibiotik yang mampu membunuh gram positif maupun gram negatif dinamakan
antibiotik spektrum luas, contohnya : kloramfenikol, tetrasiklin, ampisilin dsb. (Anonim,
1997) Antibiotik yang sering digunakan dalam penelitian in vitro adalah antibiotik
spektrum luas seperti tetrasiklin dan kloramfenikol. Tetrasiklin merupakan antibiotik
yang diisolasi dari bakterium Escherichia coli, dan memiliki rumus struktur.
3. Bahan dan metoda

3.1. Bahan dan piranti


3.1.1 Sampel
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang tanaman secang yang
diperoleh dari laboratorium Kimia Universitas Kristen Satya Wacana.
3.1.2 Bahan kimia
Bahan kimia yang digunakan adalah methanol, aquades, etil asetat, klorofom, H2SO4,
NH4OH, HCl, NaCl, Reagen Mayer, reagen Wagner, reagen Dragendorf, NH 3 28%,
heksan, Na2SO4 anhidrit, asam asetat anhidrit, FeCl3, serbuk Mg, amylac, gelatin. KOH,
H2O2, asam asetat glacial, toluene, mullen hinton agar, nutrient brot, biakan E. Coly,
spirtus, etanol, I2
3.1.3 Piranti
Piranti yang digunakan adalah peralatan gelas, orbital shaker KS501 digital Kika
laborteknik, neraca Mettler, neraca 2 digit, rotary evaporator, corong pisah,
spektrofotometer, Uv-Vis mini Shimatsu 1240, open, furnance, stopwatch, inkase,
incubator, kulkas, paper disk, pipet 20 mikroliter, plat KLT, UV-Vis 254 nm, 350 nm,
grinder.

3.2 Metoda
3.2.1 Kadar Air
Sebanyak ± 1 g sampel (kayu secang) dipotong kecil- kecil, dimasukkan ke dalam
cawan petri yang sudah ditimbang dengan neraca analitik Metller, kemudian dimasukkan
dalam oven pada suhu 105oC selama 30 menit, lalu diangkat dan dimasukkan kedalam
desikator. Diukur beratnya, dan diulangi tiap 30 menit sampai berat konstan, dihitung
kadar air sampel (kayu secang).

3.2.2 Ekstraksi
3.2.2.1 Ekstraksi Methanol
Kulit batang secang dipotong kecil – kecil kemudian digrinder dan ditimbang
sebanyak 50 gram ditambah 480 ml methanol : 120 ml H 2O, dimasukkan dalam
Erlenmeyer 1000 ml yang ditutup alumunium foil setelah itu dishaker dengan kecepatan
122 mot 1/min selama 1 jam 45 menit, lalu disimpan dalam kulkas. Kemudian dishaker
setiap hari selama 30 menit dalam waktu 1 minggu dan sampel disaring dengan kertas
saring. Setelah itu dievaporasi sampai volume mencapai 1/10 volume awal, sehingga hasil
yang didapat berupa fraksi methanol.
3.2.2.2 Ekstraksi Air Asam
Filtrat dari fraksi methanol ditambah dengan H2SO4 sampai asam (di tes dengan
lakmus). Hasil yang diperoleh diekstraksi dengan CHCl3 dengan 3x pengulangan,
pengulangan yang digunakan 50 ml, 30 ml, 20 ml. Hasil yang didapat berupa air asam
CHCl3 dan disimpan dalam kulkas.
3.2.2.3 Ekstraksi Etil Asetat
Ampas yang diperoleh dari ekstraksi methanol ditambah dengan etil asetat sampai
ampas terendam oleh pelarut dan dishaker selama 1 jam. Filtrat yang diperoleh disaring
dan ditampung dalam erlenmeyer, dan hasil yang diperoleh berupa fraksi etil asetat.
3.2.2.4 Ekstraksi Air Basa
Filtrat yang diperoleh dari fraksi air asam ditambah dengan NH4OH sampai pH 10 (di
tes dengan lakmus). Diekstraksi dengan methanol : CHCl3 yaitu 3 : 1. Lapisan atas (fraksi
air basa) ditampung dalam botol sampel kemudian disimpan dalam kulkas.
3.2.2.5 Ekstraksi CHCl3 – Methanol
Filtrat yang diperoleh dari fraksi air asam ditambah dengan NH4OH sampai pH 10 (di
tes dengan lakmus). Diekstraksi dengan methanol : CHCl3 dengan perbandingan 3 : 1.
Lapisan bawah (fraksi CHCl3 – methanol) ditampung dalam botol sampel kemudian
disimpan dalam kulkas.

3.3.3 Identifikasi dan Skrining Senyawa Kimia dalam Secang


3.3.3.1 Identifikasi senyawa kimia dalam secang dengan KLT
Dibuat larutan CHCl3 : MeOH = 19 :1 dalam beaker glass 250 ml, tekanan dalam
beaker dijenuhkan dengan diberi kertas saring dan dibiarkan pelarut merambat dan
membasahi kertas saring. Ekstrak CHCl3, methanol, dan air asam ditotolkan pada plat
KLT dan dibiarkan pelarut merambat hingga garis finis. Setelah sampai garis finis, plat
diangkat dan dibiarkan kering. Spot yang terbentuk digambar dan dihitung Rf nya.
3.3.3.2 Skrining senyawa kimia dalam secang
3.3.3.2.1 Uji Alkaloid
Fraksi yang digunakan dalam uji ini yaitu fraksi methanol, fraksi methanol - klroform,
fraksi lapisan air basa, dan fraksi kloroform.
a. Pendahuluan
Ekstrak ditambah dengan HCl 2M (sampai asam) kemudian dipanaskan selama 5
menit lalu ditambah NaCl 1 spatula, lalu disaring. Filtrat yang ditambahkan dengan HCl
2M sebanyak 5 ml yang kemudian dibagi kedalam 4 tabung. Untuk tabung A ditambah
dengan reagen Mayer, tabung B ditambah dengan reagen Wagner, tabung C ditambah
dengan reagen Dragendorf, sedangkan untuk tabung D digunakan sebagai blanko.
Setelah ditambah reagen dan terbentuk endapan maka uji dinyatakan positif.
b. Penegasan
Untuk tabung D ditambah NH3 28% sampai basa yang diuji dengan kertas lakmus,
setelah itu ditambah CHCl3 sebanyak 2 ml dengan pengulangan 3x dan kemudian
disaring. Fraksi CHCl3 yang didapatkan digabung lalu dipanaskan dan residu yang
diperoleh ditambah dengan 2 ml HCl 2M lalu diaduk dan dibagi menjadi 4 tabung,
setelah itu dilakukan uji seperti pendahuluan. Fraksi air yang diperoleh ditambah
dengan HCl 2M sampai asam yang diuji dengan kertas lakmus
3.3.3.2.2 Uji Saponin
Ekstrak kasar ditambah air (1:1) sambil dikocok selama 5 menit pada tabung reaksi.
Keberadaan gumpalan busa minimal 1 cm tingginya yang bertahan minimal 15 menit
menunjukan positif adanya saponin.
3.3.3.2.3 Uji Kardenolida Bufadienol
a. Liebermann- Burchard
Ekstrak ditambah dengan heksan kemudian dikocok. Lapisan heksan dibuang,
langkah ini diulangi. Setelah itu residu ditambah 2 mlCHCl3 dan dikocok. Filtrat CHCl3
ditambah dengan Na2SO4 anhidrat (tabung A). Tabung A ditambah dengan 3 tetes asetat
anhidrat kemudian dikocok dan ditambah H2SO4 melalui dinding tabung. Lalu diamati
warna yang terbentuk.
b. Keller- Kiliani
Ekstrak ditambah dengan heksan kemudian lapisan heksan dibuang. Hal ini diulang
1 kali. Kemudian residu ditambah 1 ml FeCl3, diaduk dan ditambah 3 tetes H2SO4
melalui dinding tabung. Dan diamati perubahan warnanya.
3.3.3.2.4 Uji Flavonoid
a. Test bate- Smith dan Met Calf
Ekstrak ditambah dengan heksan kemudian lapisan heksan dibuang. Hal ini diulang
1 kali. Setelah itu, residu ditambah etanol 80 % kemudian dibagi menjadi 3 tabung (A,
B, C). Tabung A sebagai kontrol, tabung B ditambah 3 tetes HCl pekat. Warna merah /
violet menunjukkan hasil uji positif (leukoantosianin).
b. Test Wilstarter Sianidin
Tabung C ditambah dengan HCl dan 3 butir Mg. Warna merah, magenta, biru /
hijau menunjukkan hasil uji positif. Setelah itu, ditambah 1 ml aquades dan amil alc
yang menghasilkan uji positif apabila warna berpindah ke fraksi amilak.
3.3.3.2.5 Uji Tanin dan Polifenol
Ekstrak kasar dilarutkan dalam 10 ml air panas. Tambahkan 5 tetes larutan NaCl
10%. Saring dan bagi filtrat menjad 3 bagian. Ambil 1 bagian sebagai control.
Masukkan 3 tetes larutan garam gelatin pada salah satu bagian. Keberadaan
senyawa tannin ditandai dengan terbentuknya endapan. Pengujian untuk menegaskan
senyawa tannin dan polifenol selanjutnya dapat dilakukan dengan meneteskan larutan
FeCl3 pada salah satu bagian filtrat lainnya. Warna biru kehitaman menunjukkan
keberadaan hidrolisable tannin, sedangkan warna hijau kecoklatan mengindikasikan
adanya tannin terkondensasi. Apabila tes gelatin negatif maka warna yang dihasilkan
menunjukkan adanya senyawa polifenol.
3.3.3.2.6 Uji Antraquinon
Ekstrak ditambah KOH 5 M, 1 ml H2O2 5% kemudian dipanaskan selama 10 menit
selanjutnya disaring. Filtrat yang terbentuk ditambah dengan CH3COOH glacial dan
toulen. Filtrat toulen dibagi menjadi 2 tabung (A dan B) Tabung A sebagai kontrol dan
tabung B ditambah dengan NH3. Warna pink menunjukkan bahwa hasil uji positif.
3.3.3.2.7 Uji Terpenoid
Ekstrak ditambah dengan heksan kemudian dipanaskan diwaterbath, lalu lapisan
heksan dibuang (ulangi → heksaan jernih). Residu ditambah 2 ml CHCl3 dan
dipanaskan kembali diwaterbath. Fraksi CHCl3 ditambah Na2SO4 anhydrat dibagi
menjadi 3 tabung (A, B ,C). Tabung A ditambah 3 tetes asetat anhydrat lalu dipanaskan
diwaterbath, setelah itu ditambah H2SO4 melalui dinding tabung. Warna yang dihasilkan
(biru, hijau,merah, pink, ungu/violet) menunjukkan hasil uji tersebut positif.

3.3.4 Uji Antibakteri Dengan Metode Dilusi Agar


3.3.4.1 Persiapan Medium
Satu ose biakan bakteri dari agar miring nutrient agar (NA) disuspensikan ke dalam
medium Nutrien Broth (NB), kemudian diinkubasi selama 24 jam dan diukur OD 0,5
pada λ 550 nm. Selanjutnya satu ml bakteri biakan dalam NB, dimasukkan ke dalam
cawan petri steril lalu ditambahkan sembilan ml medium Mueller Hinton (MH). Cawan
digoyang dan biarkan beberapa saat hingga agar memadat.
3.3.4.2 Uji Antibakteri Dengan Difusi Agar
Cakram kertas yang sudah ditetesi dengan ekstrak kulit batang secang fraksi air basa
sebanyak 20 μl dengan konsentrasi 25.000 ppm, 50.000 ppm, 75.000 ppm, dan 100.000
ppm dimasukkan ke dalam agar yang sudah memadat denngan jarak yang relatif sama
dan agak berjauhan satu dengan yang lain. Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 37o C
selama 24 jam. Sebagai kontrol antibiotik digunakan tetrasiklin dengan konsentrasi 5
mg/ml. Pengukuran dilakukan dengan melihat diameter daerah hambatan (DDH) dari
zona yang dihasilkan.
4. Hasil dan Pembahasan

4.2 Hasil
4.2.1 Kadar Air
Tabel 1. Kadar Air
Cawan
Kadar Air
I II III
Cawan (g) 47.6148 33.5428 49.5485
Cawan + Sampel (g) 48.614 34.5444 50.5483
Massa Sampel (g) 0.9992 1.0016 0.9998

Penurunan I (24jam)
Cawan + Sampel (g) 48.5190 34.4516 50.4576
Massa Penurunan Sampel
0.0950 0.0928 0.0907
(g)

Penurunan II (60 menit)


Cawan + Sampel (g) 48.5185 34.4505 50.457
Massa Penurunan Sampel
0.0955 0.0939 0.0913
(g)

Penurunan III (60 menit)


Cawan + Sampel (g) 48.5179 34.4497 50.4568
Massa Penurunan Sampel
0.0961 0.0947 0.0915
(g)

Kadar Air Cawan I : Kadar Air Cawan II :


0.0950 + 0.0955 + 0.0961 0.0928 + 0.0939 + 0.0947
= 0.0955 = 0.0938
3 3
0.0955 0.0938
Kadar (%) = x100 % = 9.56 % Kadar (%) = x100 % = 9.37 %
0.9992 1.0016

Kadar Air Cawan III : Kadar Air Total :


0.0907 + 0.0913 + 0.0915
= 0.0912
3 9.56% + 9.37% + 9.12%
= 9.35%
0.0912 3
Kadar (%) = x100 % = 9.12 %
0.9998
4.1.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
• Fraksi Air Basa
Rf :
0.1
Orange = = 0.018 cm
5.5
0 .5
coklat = = 0.091 cm
5.5
• Fraksi CHCl3
Rf :
0.5
ungu = = 0.091 cm
5.5
1
kuning muda = = 0.182 cm
5.5
1.4
kuning = = 0.255 cm
5.5
• UV-254nm
2
ungu = = 0.364 cm
5.5
3.6
ungu = = 0.655 cm
5.5
4.6
ungu = = 0.836 cm
5.5
• UV-350nm
2.4
= 0.436 cm
5.5
• Iod
0.8
kuning = = 0.145 cm
5.5
1.6
coklat = = 0.291 cm
5.5
4.1.3 Skrining Fitokimia
Tabel 1. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Kasar Secang (Casalpinia sappan L.) Dalam Berbagai
Fraksi Pelarut
Fraksi
I II III IV V
Senyawa Kimia (Metanol) (CHCl3)
(Methanol- (Air Asam) (Air Basa)
CHCl3)
Alkaloid - - - - +
Saponin - - - - -
Kardenolida - - - - -
& Bufanidenol
Flavonoid - + - + -
Tanin + + - + -
Antraquinon - - - + -
Terpenoid - - - - -
Keterangan : Tanda + menunjukkan hasil positif terhadap pengujian

4.1.4 Pengujian Antibakteri Metode Difusi Agar


Tabel 2. Hasil Uji Antibakteri Fraksi Air-Basa pada Ekstrak Kasar Secang (Casalpinia sappan L.)
Daerah Diameter Konsentrasi (ppm)
25000 50000 75000 100000
Hambatan (cm)
Cawan I 0,740 0,910 1,100 0,900
Cawan II 0,810 1,105 0,905 1,00
Cawan III 0,705 0,800 0,900 0,110
Rata – rata 0,751 0,938 0,968 1,003

4.2 Pembahasan
4.2.1 Kadar Air
Pada percobaan praktikum kali ini, diteliti kandungan kadar air dalam kulit batang
secang. Percobaan dilakukan pertama-tama mengeringkan kulit batang secang yang
dibagi dalam 3 cawan ini di dalam oven selama 24 jam. Setelah itu, cawan dan kulit
batang secang dikeluarkan, didinginkan di desikator sampai massanya konstan, lalu
ditimbang massanya. Setelah itu, kulit batang secang dikeringkan kembali di dalam oven
selama 60 menit. Setelah itu, cawan dan kulit batang secang dikeluarkan dan didinginkan
di desikator sampai massanya konstan, lalu ditimbang juga massanya. Perlakuan ini
diulangi sampai penurunan massanya konstan atau penurunan massanya semakin sedikit.
Proses pengeringan ini bertujuan untuk mempercepat penguapan air dalam sampel
sehingga diperoleh kadar air yang konstan.
Pada percobaan kadar air ini, terdapat kesulitan untuk menentukan massa konstannya,
dikarenakan ketidaktelitian neraca dalam penimbangan massa, sehingga tidak didapat
massa yang benar-benar konstan sehingga cuma 3 data yang diambil yaitu, data yang
paling mendekati massa konstan. Dalam hasil percobaan, didapat kadar air kulit batang
secang dalam cawan I sebesar 9,56%; pada cawan II sebesar 9,37%; dan pada cawan III
sebesar 9,12%. Sehingga didapatkan kadar air total berdasarkan 3 cawan yang didapat
yaitu sebesar 9,35%. Hasil percobaan yang didapat sudah memenuhi standar literatur,
karena kandungan kadar air total yang didapat tidak lebih dari 10%. Hal tersebut
bertujuan agar pertumbuhan jamur dalam ekstrak tidak cepat terjadi. Besarnya kadar air
berpengaruh terhadap bobot simpan suatu sampel, sehingga semakin kecil kadar air suatu
bahan maka semakin lama bobot simpannya serta kandungan senyawa yang terdapat
dalam bahan tersebut akan semakin optimal.

4.2.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Pada percobaan, diidentifikasikan senyawa dari kulit kayu secang dengan
kromatografi Lapis Tipis (KLT). Tujuan dari KLT ini yaitu untuk mengidentifikasi dan
memisahkan senyawa-senyawa yang terkandung pada suatu sampel. Noda-noda yang
terbentuk pada plat KLT setelah mengalami proses elusidasi kemudian diidentifikasi
sehingga dapat diketahui senyawa yang terkandung dalam sampel. Identifikasi senyawa
yang terkandung mengacu pada warna dan nilai Rf yang dihasilkan. Ekstrak CHCl3, Met-
OH, dan air asam menjadi bahan yang akan diberi perlakuan. Pelarut yang digunakan
yaitu CHCl3 dan Met-OH dengan perbandingan yaitu 19 : 1. Hal ini dikarenakan Metanol
dan CHCl3 merupakan pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi sampel sehingga
sangat efektif jika digunakan sebagai eluent. Dan sebagai fase diamnya digunakan silica
gel karena sangat cocok untuk mengadsorpsi senyawa-senyawa fitokimia seperti alkaloid,
dll.
Sebelum plat KLT yang sudah diberi ekstrak diatas dengan menggunakan pipa kapiler
dimasukkan kedalam pelarut, terlebih dahulu tekanan didalam dijenuhkan dengan cara
kertas saring dimasukkan kedalam beaker glass yang berisi pelarut diatas dengan uap
sebagai fase geraknya. Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, diletakkan kertas saring
di dalam beaker glass. Jika fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat
dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh. Volume eluent dalam beaker dibuat agar
tingginya tidak lebih dari totolan sampel.
Selama proses elusidasi, beaker glass ditutup rapat dan selama proses ini juga spot
sampel akan memisah. Hal ini dikarenakan karena perbedaan kepolaran antar senyawa
dalam spot. Dalam percobaan ini, senyawa polar cenderung tertinggal di silica gel dan
lambat terelusidasi karena silica gel bersifat polar. Sedangkan senyawa non polar akan
terbawa pelarut. Proses elusidasi dihentikan saat eluent telah mencapai batas atas plat
KLT. Pada percobaan ini, Identifikasi noda-noda pada plat KLT dilakukan secara mata
telanjang, dengan sinar UV pada panjang gelombang 250 nm dan 350 nm, dan dengan
uap Iod. Spot yang terlihat pada UV-Vis 254 nm menghasilkan 3 warna, yaitu warna
pertama ungu dengan Rf 0.364 cm , warna kedua juga ungu tetapi dengan Rf 0.655 cm ,
dan warna ketiga yang dihasilkan juga ungu dengan Rf 0.836 cm . Sedangkan spot yang
terlihat pada UV-Vis 350 nm yaitu dengan Rf sebesar 0,436. Dan spot yang terlihat
dengan menggunakan Iod menghasilkan warna kuning dengan Rf 0,145cm, dan coklat
dengan Rf sebesar 0.291cm. Dengan sinar UV, noda-noda pada plat KLT akan
mengalami fluoresensi. Pada percobaan ini, noda-noda yang dilihat di bawah sinar UV
berwarna ungu atau violet. Nilai Rf masing-masing spot dapat digunakan untuk
mengidentifikasi senyawa yang terkandung dalam sampel. Nilai Rf dihitung dari
perbandingan antara jarak yang ditempuh oleh spot dari titik asal dengan jarak yang
ditempuh oleh pelarut dari spot.
Dalam percobaan, ditemukan adanya kesulitan untuk mencari pelarut yang benar –
benar cocok untuk masing – masing ekstrak. Pada percobaan ini, digunakan pelarut
CHCl3 dan Met-OH dengan perbandingan 19 : 1, dan hasil yang didapat tidak terlalu
bagus. Oleh karena itu, dilakukan pengulangan tetapi hanya dengan pelarut CHCl3
dengan volume 20 ml, dan hasil yang didapat yaitu spot yang terbentuk hasilnya lebih
bagus dibanding pada perlakuan yang pertama walau pada pengulangan ini tidak terpisah
dengan baik. Sehingga, pada percobaan tetap digunakan pelarut CHCl3 dan Met-OH
dengan perbandingan 19 : 1.

4.1.4 Skrining Fitokimia


Kandungan senyawa kimia dalam ekstrak kayu secang pada percobaan ini dilakukan
dengan tes uji warna. Indentifiksi yang akan diteliti meliputi golongan senyawa alkaloid,
saponin, flavonoid, tanin dan polifenol, antrakuinon, dan terpenoid.
Uji alkaloid pada ekstrak kayu secang mula- mula ekstrak
ditambah dengan HCl 2 M, tujuan penambahan HCl
dikarenakan alkaloid bersifat basa tidak larut dalam air tetapi
larut dalam pelarut organik sehingga alkaloid dapat diekstrak
dengan pelarut yang bersifat asam. Selanjutnya larutan ditambah dengan NaCl dengan
tujuan untuk menghilangkan kandungan protein yang mungkin terdapat dalam sampel
sebab dengan adanya protein dapat mengendap ketika ditambah dengan pereaksi/ reagen
sehingga hasil yang didapat tidak valid. Hasil positif alkaloid pada uji Mayer ditandai
dengan terbentuknya endapan putih keruh, endapan tersebut dikarenakan adanya
kompleks kalium-alkaloid. Reagen Mayer terdiri atas larutan merkurium(II) klorida
ditambah kalium iodida sehingga membentuk endapan merah merkurium(II) iodida.
Pada uji menggunakan reagen Wagner, hasil positif ditandai dengan terbentuknya
endapan coklat merah, endapan tersebut adalah kalium-alkaloid. Reagen Wagner tersusun
atas, iodin yang kemudian bereaksi dengan ion I- dari kalium iodida menghasilkan ion I3-
yang berwarna coklat. Jadi, ion K+ akan berikatan dengan nitrogen pada alkaloid
membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
Reagen Dragendrorff terdiri atas bismut nitrat yang dilarutkan dalam HCl. Digunakan
HCl sebab garam bismut mudah terhidrolisis membentuk ion bismutil (BiO+) sehingga
dengan penambahan HCl garam bismut tidak mudah terhidrolisis. Hasil positif
menggunakan reagen ini terbentukya endapan yang berwarna orange.
Saponin merupakan kelompok glikosida yang terdapat dalam beberapa tanaman.
Saponin memiliki sifat sebagai surfaktan dan menimbulkan busa jika dikocok dalam air.
Uji Saponin dikatakam positif apabila terjadi gumpalan busa minimal 1 cm tingginya
yang bertahan minimal 15 menit. Namun ekstrak kayu secang menunjukkan hasil yang
negatif untuk uji saponin pada semua fraksi. Terbentuknya busa dalam uji saponin
disebabkan oleh adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam
air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya.
Uji Kardenolida dan bufadienol dengan test Lieberman-Burchard merupakan uji
untuk mengetahui sterol tidak jenuh dan triterpen. Hasil positif pada uji Keller Kiliani
menunjukkan adanya deoksi gula untuk glikosida. Sedangkan hasil positif pada uji
Lieberman-Burchard ditandai dengan terbentuknya cincin hijau. Cincin hijau tersebut
terbentuk karena adanya reaksi antara sterol tidak jenuh atau triterpen dengan asam (CH3
COOH dan H2SO4).

Uji flavonid pada fraksi air basa menunjukkan hasil positif.


Flavonid merupakan senyawa yang larut dalam air. Mereka
dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam
lapisan air setelah ekstrak dikocok. Flavonoid berupa
senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah dengan basa atau amonia. Jadi
mereka mudah dideteksi dalam larutan. Flavonoid mengandung sistem aromatik yenng
terkonyugasi dan karena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV
dan spektrum tampak. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan terikat pada gula
sebagai glikosida dan aglikon flavonoid.
Tannin merupakan salah satu kelompok fenol yang
mempunyai ciri khas rasa sepat dan tannin terdapat didalam
tumbuhan berpembuluh. Terdapat dua macam tannin, yaitu
tannin terhidrolisis (pirolagol) dan tannin terkondensasi
(tannin katekol). Pada uji tanin ekstrak kayu secang diperoleh
hasil negatif pada semua fraksi. Secara teori, dengan adanya kandungan senyawa tanin
akan mengendapkan protein pada gelatin. Tanin bereaksi dengan gelatin membentuk
kopolimer mantap yang tidak larut dalam air (Harborne, 1996). Reaksi ini lebih sensitif
dengan penambahan NaCl untuk mempertinggi penggaraman dari tanin-gelatin.
Uji antraquinon merupakan salah satu dari uji identifikasi
fitokimia yang digunakan untuk mengetahui kandungan bahan
secara kualitatif. Dalam suatu tanaman hanya terdapat sedikit saja
antraquinon yang dapat ditemui secara teratur. Pada penelitian
ini, dilakukan uji antraquinon ekstrak kulit batang secang
(Caesalpinia sappan L) dari berbagai fraksi. Uji antraquinon akan menunjukkan hasil positif
yang ditandai dengan munculnya warna merah jambu setelah penambahan NH3. Dari berbagai
fraksi yang diuji, pada fraksi air basa menunjukkan hasil positif yaitu dengan munculnya
warna merah jambu sedangkan fraksi yang lain menunjukkan hasil negatif. Hal ini
dikarenakan bahwa antraquinon memiliki sifat yaitu sedikit larut dalam air dan mudah larut
dalam lemak.

4.2.4 Pengujian Antibakteri Metode Difusi Agar


Secang adalah salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat
yang memiliki aktivitas antibakteri. Secara empiris kayu secang dipakai sebagai obat
luka, batuk berdarah, berak darah, darah kotor, penawar racun, sipilis, menghentikan
pendarahan, pengobatan pascapersalinan, desinfektan, antidiare dan nyeri karena
gangguan sirkulasi darah (Wijayakusuma dkk, 1992). Oleh karena itu dilakukan
pengujian aktivitas terhadap bakteri yang dimiliki oleh secang. Uji aktivitas antibakteri
dari ekstrak secang (Casalpinia sappan L.) dilakukan dengan metode difusi agar pada
fraksi metanol dan fraksi ekstrak polar (air basa) dengan bakteri gram negatif yaitu E.
coli sebagai bakteri ujinya. Sedangkan untuk mediumnya digunakan Muller Hinton Agar.
Pada percobaan ini medium agar yang digunakan jangan terlalu panas karena dapat
menyebabkan bakteri mati. Sebagai kontrol positif, digunakan suatu antibiotik yaitu
Tetracyclin 30 mg dengan volume yang sama yaitu 20 µl. Antibiotik ini akan
memunculkan efek antibakteri dengan munculnya Diameter Daerah Hambatan.
Digunakan metanol-air karena masih banyak senyawa kimia yang terkumpul dalam
fraksi tersebut. Kemudian dilakukan pengamatan setelah 24 jam dan ternyata tidak
terbentuk daerah diameter hambatan sama sekali pada tiga ulangan. Sedangkan pada
ekstrak polar yang diketahui dari skrining fitokimia terdapat kandungan flavonoid, tanin,
dan antraquinon, menunjukkan adanya Daerah Diameter Hambatan. Hal ini kemungkinan
dapat terjadi karena ekstrak metanol-air merupakan campuran dari berbagai komponen
yang kemungkinan ada zat antagonis antibakteri sehingga dalam keadaan tersebut
antagonisnya memberikan efek, sedangkan setelah dilakukan isolasi kembali dengan
pelarut yang lain, antagonisnya tidak berefek dan tidak mengganggu aktivitas zat aktif.
Daerah Diameter Hambatan dari ekstrak polar dapat dilihat pada

Gambar 6. Daerah Diameter Hambatan Antibakteri dari Ekstrak Air-Basa Secang terhadap E.coli
Daerah Diameter Konsentrasi (ppm)
25000 50000 75000 100000
Hambatan (cm)
Cawan I 0,740 0,910 1,100 0,900
Cawan II 0,810 1,105 0,905 1,00
Cawan III 0,705 0,800 0,900 0,110
Rata – rata 0,751 0,938 0,968 1,003
Menurut (cornner dan buchat, 2001), daya hambat yang menentukan tingkat
efektivitas antibakteri
dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Aktivitas kuat mempunyai DDH > 1,1 cm
2. Aktivitas lemah mempunyai DDH 0,6-0,8 cm
3. Sedangkan ekstrak yang mempunyai DDH < 0,6 cm berarti tidak menghambat
bakteri.
Hal diatas memperkuat dugaan bahwa ekstrak polar dari secang memiliki potensi
yang baik sebagai antibakteri. Menurut Pelezar dan Chan (1988 dalam Tyastanti, 2007),
semakin besar konsentrasi suatu zat yang terdapat dalam cakram akan memperbesar
kemampuan difusi zat tersebut pada suatu media sehingga mempermudah penetrasi zat
dalam menghambat pertumbuhan bakteri, dan begitu juga dengan percobaan pada aktivitas
antibakteri pada secang diperoleh semakin meningkatnya aktivitas antibakteri seiring
dengan semakin tinggi konsentrasi yang diberikan.

5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan terhadap kulit batang kayu secang,
maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Ekstrak kulit batang kayu secang mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, dan
antraquinon.
2. Kulit batang kayu secang fraksi air basa memiliki aktifitas antibakteri karena mampu
menghambat pertumbuhan bakteri E. Coli, dengan diameter daerah hambatan sebesar
0,751 pada dosis 25000, 0,938 pada dosis 50000, 0,968 pada dosis 75000, sedangkan
pada dosis 100000 menunjukkan penghambatan dengan DDH sebesar 1,003.

5.2 Saran
Dari hasil percobaan diatas, maka disarankan :
1. Dilakukan pemurnian dari berbagai fraksi dari senyawa antibakterinya, agar
diperoleh aktivitas antibakteri paling optimal.
2. Dilakukan uji sisa pelarut yang belum digunakan khususnya fraksi metanol yang
tidak menimbulkan antibakteri
3. Dilakukan percobaan lanjutan dengan menggunakan senyawa murni yang telah
dideteksi untuk diketahui nilai Konsentrasi Hambatan Minimun (KHM).
6. Daftar Pustaka

Anonym, 1997. Ensiklopedi nasional Indonesia. Vol 2 cetakan ke 3. Delta pamungkas.


Jakarta )
Anonym Benchtop Bioassay : Methods In Chemical Prospecting. Chapter 2, section 5:
AntimicrobialAssay.http://instruct.cit.cornell.edu/courses/biochemprosp/text/section2
5.html)
Anonim, 2003. Benctop Biology. Methods In Chemical Prospectins, HTTP :// instruct. Cit.
Cornell. Edu/courses/biochemprosp/text/section 25.html
Dwiyanto, K ., Peranan Plasma Nutfah Tumbuhan Obat dan Aromatik Untuk Menunjang
Kesinambungan Bahan Baku Indusri, Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan
Aromatik, Bogor, hal 2.
Berghe, P.A, and A.J. Vlientinck ., 1991. Methods In Plant Biochemistry, Faculty, F
Medicine, University Of Antwerd, Belgium.
Fadhli, 2008.UjiFitokimia.http://www.scribd.com/doc/16766643/Ujifitokimia?secret_ pass
word=&autodown=pdf
Fardiaz. S., 1989. Mikrobiologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Gunawan, D., Mulyani, S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid 1, 65-67
Jawetz, E , 1960. Review Of Medical microbiology 4 th edition, Lange Medical Edition,
California.
Lay.,1994.analisis mikroba di laboratorium. PT. raja grafindo. jakarta).
Tobing, L ., 1987. Kimia Bahan Alam. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jendral Pendidikan Tingi, Jakarta, hal 15 – 165.
Lim, D.K., U. Choi, and D.H. Shin. 1997. Antioxidative activity of some solvent extract from
Caesalpinia sappan Linn. Korean J. Food Sci. Technol. 28(1): 77−82.
Moon, C.K., K.S. Park, S.G. Kim, and H.S. Won 1992. Drug and chemical toxicology. Drug
Chem. Toxicol. 15(1): 81−91.
Pelctzar, J.M., dan Chan, E.C.S., 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi, Edisi kedua, Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Rahayu, p., 2000. Aktivitas Antimikrobia Bumbu Masakan Tradisional Hasil Olahan Industri
Pangan dan Perusak, Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol XI, Intistut Pertanian
Bogor, hal 42 – 48.
Sanusi, M. 1989. Isolasi dan identifikasi zat warna kayu sappang. Balai Industri Ujung
Pandang.
Sudarsono, D ., Gunawan, S ., Wahyono ., I. A Donatus dan Purnomo .2002 Tumbuhan
Obat II, Yogyakarta, Pusat Studi Obat Tradisonal, UGM
Sundari, D., L. Widowati, dan M.W. Winarno. 1998. Informasi khasiat, keamanan dan
fitokimia tanaman secang (Caesalpiniasappan L.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia
4(3): 1−3.
Tyastanti, H. 2007. Aktivitas Antibakteri Berbagai Ekstrak Kulit Buah Kakao (Theobroma
cacao L.). Skripsi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika: UKSW.
Supeni, dkk ., 1996. biologi. Erlangga. Jakarta
Timotius, K. H., 1982. Mikrobiologi Dasar. Uksw. Salatiga
Volk, W.A dan M.F Wheeler., 1993. Mikrobiologi Dasar Jilid I. Erlangga. Jakarta
Wijayakusuma, H., S. Dalimartha, A.S. Wirian. 1992-1996.Tanaman Berkhasiat Obat Di
Indonesia. Jilid 1-4. Pustaka Kartini.
Winarti, C. dan B.S. Sembiring. 1998. Pengaruh cara dan lama ekstraksi terhadap kadar tanin
ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappanLinn.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia
4(3): 17−18.

Anda mungkin juga menyukai