Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH FARMAKOLOGI

IRITASI AKUT DERMAL

DI SUSUN OLEH :

1. ANGGI RIZAL WAHYUDIN ( 194042 )


2. FATKHUL ULUM ( 194052 )
3. PRASTYO DWI SETIA BUDI ( 194066 )
4. TAUFIK TRI WARDANI ( 194075 )

PROGRAM STUDI D3 FARMASI


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN RS TENTARA
dr. SOEPRAOEN MALANG
2020/2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................4


A. TUJUAN PRAKTIKUM................................................................................................4
B. PRINSIP PRAKTIKUM.................................................................................................4
C. ALAT DAN BAHAN.....................................................................................................4
D. HEWAN YANG AKAN DI GUNAKAN......................................................................5
E. PEMBUATAN BAHAN................................................................................................5
F. PROSEDUR KERJA......................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................8

i
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bidang toksikologi sudah dikenal adanya Postulat Paracelcus: “All


substances are poisons; there is none which is not a poison. The right dose differentiates a
poison from a remedy”, "Semua zat adalah racun, tidak ada yang bukan racun. Dosis yang
tepat yang membedakan racun dari obat." [1].

Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensi memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu
organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di
reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme,
paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila
menggunakan istilah toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme
biologi di mana efek berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari
suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan
mekanisme biologi pada suatu organisme.

Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam


memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang
informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme
biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia
tersebut berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah
tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada
mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu
terjadi.

Toksisitas adalah pernyataan kemampuan racun menyebabkan timbulnya gejala


keracunan. Toksisitas ditetapkan di laboratorium, umumnya menggunakan hewan coba dengan
cara ingesti, pemaparan pada kulit, inhalasi, gavage, atau meletakkan bahan dalam air,
atau udara pada lingkungan hewan coba.

Uji iritasi akut dermal adalah suatu uji pada hewan (kelinci albino) untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada dermal selama
3 menit sampai 4 jam. Hasil uji dievaluasi berdasarkan kriteria bahaya dari Globally

1
[2].
Harmonised System (GHS) for The Classification of Chemical (2009) Kriteria tersebut
digunakan terutama untuk mengkategorikan sediaan uji yang berbahaya/ toksik. Bila
sediaan uji sudah diketahui mempunyai pH ekstrim (pH ≤ 2 atau ≥ 11,5), maka sediaan
tersebut tidak boleh diuji pada hewan uji.

Kriteria penggolongan sediaan uji yang bersifat korosif/iritan pada kulit GHS, 2009

Katagori Kriteria
Kategori 1 1A Respon korosif terjadi pada pemaparan selama ≤ 3 menit,
Korosif pengamatan selama ≤ 1 jam pada ≥ 1 dari 3 ekor hewan uji
1B Respon korosif terjadi pada pemaparan selama >3 menit sampai ≤
1 jam, pengamatan selama ≤ 14 hari pada ≥ 1 dari 3 ekor hewan
Uji
1C Respon korosif terjadi pada pemaparan selama >1 jam sampai ≤ 4
jam, pengamatan selama ≤ 14 hari pada ≥ 1 dari 3 ekor hewan uji
Kategori 2, i. Skor rata-rata untuk eritema/udema ≥ 2,3 sampai ≤ 4,0
Iritan setelah pemaparan selama 4 jam, pengamatan selama 3 hari,
pada minimal 2 dari 3 ekor hewan uji atau
ii. Inflamasi tidak sembuh sampai hari ke 14 minimal pada 2 ekor
hewan uji, terjadi alopecia pada daerah tertentu, hyperplasia,
scaling atau
iii. Terdapat efek eritema/udema yang jelas pada 1 ekor hewan uji
walau tidak memenuhi kreteria diatas
Kategori 3, Skor rata-rata untuk eritema/udema ≥ 1,5 sampai ≤ 2,3 setelah
Iritan ringan pemaparan selama 4 jam, pengamatan selama 3 hari setelah
terjadinya reaksi kulit tetapi tidak termasuk kategori seperti
diatas, pada minimal 2 dari 3 ekor hewan uji

Juga dapat dilakukan penilaian terhadap sediaan uji yang mengakibatkan terjadinya
[3],
reaksi kulit (ISO 10993-10) terutama untuk sediaan uji yang berupa obat-obatan atau
kosmetik.Nilai rata-rata dari kategori respon biasanya disebut sebagai Indeks Iritasi
Primer.

Kategori respon iritasi pada kelinci ISO 10993-10, 2002

Nilai Rata-rata Kategori respon


2
0,0 – 0,4 Sangat ringan (negligible)
0,5 – 1,9 Iritan ringan (slight)
2,0 – 4,9 Iritan sedang (moderate)
5,0 – 8,0 Iritan kuat (severe)

Penilaian Reaksi Pada Kulit OECD, 2002

Pembentukan Eritema Skor


Tidak ada eritema 0

Eritema sangat kecil (hampir tidak dapat dibedakan 1

Eritema terlihat jelas 2

Eritema sedang sampai parah 3

Eritema parah (darah daging) sampai pembentukan sechar yang 4


menghambat penilaian eritema

Pembentukan Udema Skor


Tidak ada udema 0

Udema sangat kecil (hampir tidak dapat dibedakan)


1

Udema kecil (batas area terlihat jelas) 2

Udema tingkat menengah (luasnya bertambah sekitar 1 mm) ... 3

Udema parah (luas bertambah lebih dari 1 mm dan melebar 4


melebihi area pemaparan oleh sediaan uji)

BAB II

PEMBAHASAN

3
A. TUJUAN PRAKTIKUM
Uji ini digunakan untuk menentukan adanya efek iritasi pada kulit serta untuk
menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila terpapar pada kulit.

B. PRINSIP PRAKTIKUM
Prinsip uji iritasi akut dermal adalah pemaparan sediaan uji dalam dosis
tunggal kepada kulit hewan uji dengan area kulit yang tidak diberi perlakuan berfungsi
sebagai kontrol. Derajat iritasi dinilai pada interval waktu tertentu yaitu pada jam ke
1, 24, 48 dan 72 setelah pemaparan sediaan uji. Untuk melihat reversibilitas,
pengamatan dilanjutkan sampai 14 hari. Hewan yang menunjukkan tanda-tanda
kesakitan atau penderitaan yang parah harus dikorbankan sesuai dengan prosedur
pemusnahan hewan. Selain pengamatan terhadap iritasi, semua pengaruh zat toksik
terhadap kulit, seperti defatting of skin (OECD TG 404-2002) [4] dan pengaruh toksisitas
lainnya serta berat badan harus dijelaskan dan dicatat. Pemeriksaan histopatologi perlu
dipertimbangkan untuk menjelaskan respon yang meragukan.

C. ALAT DAN BAHAN


a. ALAT :
1. Pencukur bulu
2. Kassa steril Onemed plester non iritan Onemed
3. Gunting,
4. Spidol dan penggaris
b. BAHAN :
1) Body lotion antioksidan Natur-E (Darya-Varia, Indonesia) sebanyak 0,5 gram,
2) Formula body lotion yang berisi ekstrak kulit biji pinang (Areca catechu L.)
dengan konsentrasi 1%, 2%, 3% sebanyak 0,5 gram,

D. HEWAN YANG DI GUNANAKAN


Kelinci yang digunakan adalah kelinci albino (Oryctolagus cuniculus), galur New
Zealand sebanyak 3 ekor yaitu 2 ekor betina dan 1 ekor jantan yang sehat dan
4
dewasa. Jenis kelamin dipilih kelinci jantan dan betina karena kejadian iritasi akut
.
pada kulit dapat terjadi pada pria maupun wanita(OECD, 2002) Berat hewan
kelinci ditentukan ±2 kg guna mengurangi variabilitas efek karena pengaruh
perbedaan berat badan. Berat badan kelinci 1 yaitu 2 kg; kelinci 2 yaitu 2,2 kg; dan
kelinci 3 yaitu 2,1 kg.

E. PEMBUATAN BAHAN ( PERHITUNGAN DOSIS, PEMBUATAN SUSPENSI


,DSB )
Dosis yang digunakan untuk sediaan uji cair adalah 0,5 mL dan untuk sediaan uji
padat atau semi padat sebanyak 0,5 gram, serta dosis yang digunakan dari larutan hasil
ekstraksi masing-masing sebanyak 0,5 mL.
 PERHITUNGAN DOSIS
Dosis ekstrak biji pinang yang digunakan adalah 0,5 konversi dosis ekstrak biji pinang
dari manusia ke kelinci
14,2 x 500mg = 7.100 mg/kg BB
1.000
7.100 x = 99,4 mg
7.000

F. PROSEDUR KERJA
 Penyiapan hewan uji
1. Siapkan kelinci albino jantan atau betina yang sehat dan dewasa, berat sekitar 2
kg.
2. Sebelum pengujian dimulai, hewan uji diaklimatisasi di ruang percobaan
kurang lebih selama 5 hari dan hewan ditempatkan pada kandang individual
(1 kandang untuk 1 ekor).
3. Sekurang- kurangnya 24 jam sebelum pengujian, bulu hewan harus dicukur pada
daerah punggung seluas lebih kurang 10 x 15 cm atau tidak kurang 10% dari
permukaan tubuh untuk tempat pemaparan sediaan uji
4. Pencukuran dimulai dari area tulang belikat (bahu) sampai tulang pangkal paha
(tulang pinggang) dan setengah kebawah badan pada tiap sisi.
5. Hewan yang digunakan untuk percobaan adalah hewan yang mempunyai kulit
yang sehat[5].

 Perlakuan Hewan Uji


5
1. Siapkan bahan dan alat yang digunakan
2. Siapkan hewan uji kelinci yang berbadan sehat dan normal
3. Pada tahap uji iritasi akut dermal ini dibagi menjadi 6 kelompok yaitu
kontrol negatif berupa body lotion yang tidak berisi ekstrak kulit biji pinang,
kontrol positif berupa body lotion yang beredar dimasyarakat, dan kontrol
normal sebagai pembanding yang merupakan hewan uji yang tidak diberi
perlakuan apapun[6].
4. Serta 3 formula dengan masing-masing formula berisi ekstrak kulit biji pinang
dengan konsentrasi 1%, 2%, dan 3% masing-masing pada area seluas ± 6 cm2
5. Dosis uji body lotion sebanyak 0,5 gram dipaparkan pada kulit kelinci seluas
±6 (2x3) cm2
6. Pemaparan dilakukan 24 jam setelah pencukuran bulu hewan uji
7. dan ditutup menggunakan kassa dan direkatkan dengan plester yang bersifat
non iritan
8. Kemudian diamati ada atau tidaknya efek eritema dan udema yang timbul,
penilaian respon dilakukan pada jam ke 1, 24, 48, dan 72 setelah pembukaan
tempelan.

HASIL PENGAMATAN (TABEL PENGAMATAN)

Pengamatan Sediaan Diduga Mengiritasi

Waktu Efek Kelompok Uji (Skor)

6
Iritasi
K Nor KN KP F1 F2 F3
Menit ke Eritema 0 1 1 1 1 1
3 Udema 0 0 0 0 0 0
Jam ke 1 Eritema 0 0 1 1 1 1
Udema 0 0 0 0 0 0
Jam ke 4 Eritema 0 0 0 0 0 0
Udema 0 0 0 0 0 0
Indeks Iritasi 0 0 0

Pengamatan Sediaan Diduga Tidak Mengiritasi

Waktu Efek Kelompok Uji (X± SD)


Iritasi
K Nor KN KP F1 F2 F3
Jam ke Eritema 0.0±0.0 0.3±0.5 0.0±0.0 0.3±0.5 0.3±0.5 0.3±0.5
24 Udema 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
Jam ke Eritema 0.0±0.0 0.3±0.5 0.0±0.0 0.3±0.5 0.3±0.5 0.3±0.05
48 Udema 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
Jam ke Eritema 0.0±0.0 0.3±0.5 0.0±0.0 0.3±0.5 0.3±0.5 0.3±0.5
72 Udema 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
Indeks Iritasi 0 0 0

Keterangan

K Nor = Kontrol normal yaitu tanpa diberi perlakuan apapun

KP = Kontrol positif yaitu body lotion yang beredar dipasaran

KN = Kontrol negatif yaitu basis body lotion tanpa penambahan ekstrak

F1 = Formula 1 dengan konsentrasi ekstrak kulit biji pinang 1 %

F2 = Formula 2 dengan konsentrasi ekstrak kulit biji pinang 2 %

F3 = Formula 3 dengan konsentrasi ekstrak kulit biji pinang 3 %

Eritema = Kemerahan pada kulit

Udema = Bengkak pada kulit

DAFTAR PUSTAKA

1. Muji Rahayu, S.Si, M.Sc, Apt Drs.Moch Firman Solihat, M.T.2018


Buku Toksikologi Klinik Kemenkes

7
2. United Nations Economic Commission for Europe, 2009. Globally Harmonized

System (GHS) of Clasification and Labelling of Chemical, 3rd revised edition

3. International Standard ISO 10993-10, 2002. Biological Evaluation of Medical

Devices, Part 10 – Tests for Irritation and delayed-type hypersensitivity, Second


Edition.

4. Organization for Economic Cooperation and Development, 2002. OECD 404


Guidelines for Testing of Chemicals – Acute Dermal Irritation/Corrotion

5. BPOM Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia,
(2014), Nomor 7 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo.

6. Zainur Rahman Hakim, Kharisma Ayu Purbarini, Tjiptasurasa Tjiptasurasa Tjiptasurasa,


2018 Farmaka Jurnal Uji Iritasi Akut Dermal Pada Hewan Uji Kelinci Albino Terhadap
Sediaan Body Lotion Ekstrak Kulit Biji Pinang (Areca Catechu L.) Volume 18 Nomor 1

Anda mungkin juga menyukai