Anda di halaman 1dari 19

PENGUJIAN EFEK OBAT CENDOCARPIN PADA HEWAN COBA

MENCIT (Mus muscullus) DENGAN PARAMETER PENGAMATAN


BERUPA MIOSIS, MIDRIASIS, DIARE, TREMOR, VASODILATASI,
VASOKONTRIKSI, GROOMING, PILOEREKSI, TAKIKARDIA,
BRADIKARDIA DAN SALIVASI

Mardina H. Halik1, Rizqi Nur Azizah2

1
Mahasiswa Fakultas Farmasi

2
Asisten Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi, UMI

Email : mardinahalik97@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang : Sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang tidak dapat
dikendalikan oleh kemauan kita melalui otak. Sistem saraf otonom dibedakkan
menjadi dua yaitu sistem saraf simpatik dan parasimpatik. Sistem saraf
parasimpatik mekanisme kerjanya menggunakan suatu zat kimia atau saraf
adrenergik, senyawa yang memacu saraf parasimpatik disebut kolinergik.
Senyawa yang memacu saraf simpatik disebut adrenergik, dan yang menhambat
disebut antiadrenergik.
Tujuan Penelitian : Untuk menentukan efek farmakodinamik dari obat
cendocarpin pada hewan coba mencit dengan parameter pengamatan berupa
miosis, midriasis, diare, tremor, vasodilatasi, vasokontriksi, grooming, piloereksi,
takikardia, bradikardia dan saliva.
Metode : Penelitian ini menggunakan 10 ekor mencit dibagi dalam 5 kelompok.
Kelompok I diberi obat cendotropin, kelompok II diberi obat cendocarpin,
kelompok III diberi epinefrin, kelompok IV diberi obat propranolol dengan
cendocarpin, dan kelompok V diberi Na-CMC. Pemberian dilakukan secara ip
pada obat cendotropin, cendocarpin dan epinefrin. Sedangkan obat propanolol dan
Na.CMC pemberian secara oral. Pada setiap kelompok mendapat 2 mencit agar
dijadikan sebagai pembanding. Sebelum perlakuan, semua mencit yang di beri
obat secara ip dilakukan perlakuan dengan pemberian alcohol pada bagian yang
akan di suntik. Pengamatan dilakukan pada menit ke 15, 30, 60 dan 90 setelah
pemberian obat.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek farmakodinamik obat
cedocarpin pada hewan uji mencit (Mus musculus) memberikan efek Miosis,
Diare, Tremor, Vasodilatasi, Piloereksi, Takikardia, dan Saliva.
Kesimpulan : Efek Miosis, Diare, Tremor, Vasodilatasi, Piloereksi, Takikardia,
dan Saliva merupakan efek yang ditimbulkan oleh perangsangan saraf
parasimpatis. Dengan demikian diketahui bahwa pilokarpin merupakan salah satu
golongan parasimpatomimetik.
Kata Kunci : Cendocarpin, Asetilkolin, Epinefrin, Miosis, Midriasis, Diare,
Tremor, Vasodilatasi, Vasokontriksi, Grooming, Piloereksi,
Takikardia, Bradikardia dan Saliva.
PENDAHULUAN
Sistem persarafan mempunyai fungsi mengumpulkan informasi, baik dari
dalam maupun dari luar tubuh dan kemudian informasi ini diteruskan ke otak
(sistem afferen) untuk dianalisis, selanjutnya mengirimkan impuls melalui sistem
afferen untuk direspon sesuai dengan yang diinginkan. (Rusbandi sarpini, 2014)
Secara umum sistem saraf dibagi 2 bagian besar (Rusbandi sarpini, 2014 :
a. Sistem saraf pusat, terdiri dari otak dan medulla spinalis pada SSP kumpulan
neuron disebut Nukleus.
b. Sistem saraf perifer, terdiri dari banyak jaringan saraf dan saraf otak yang
menghubungkan tubuh ke otak dan medulla spinalis. Sistem saraf perifer
dibagi lagi menjadi ;
I. Sistem saraf otonom (mengontrol tanpa sadar involuntary dari organ-
organ dalam tubuh, pembuluh darah, otot-otot polos dan otot jantung),
terdiri dari sistem saraf simpatik dan parasimpatik.
II. Sistem saraf somatik (mengontrol secara sadar/voluntary dari kulit,
tulang, sendi dan otot rangka).
Sistem saraf otonom adalah serangkaian organ yang kompleks dan
berkesinambungan serta terutama terdiri dari jaringan saraf dan tidak dapat
dikendalikan oleh kemauan kita melalui otak (Djamhuri, 2001).
Sistem saraf tak sadar atau saraf otonom merupakan bagian dari susunan
saraf tepi yang bekerjanya tidak dapat disadari dan bekerja secara otomatis.
Sistem saraf otonom mengendalikan kegiatan organ-organ dalam seperti otot
perut, pembuluh darah, jantung dan alat-alat reproduksi. Menurut fungsinya
sistem saraf otonom dibagi menjadi 2 yaitu saraf simpatik dan parasimpatik.
Kedua sistem ini bekerja secara berlawanan dalam mengendalikan kinerja suatu
organ tubuh. Berikut akan diberikan perbedaan antara saraf simpatik dan
parasimpatik (Giri wiarto, 2014):
Saraf simpatik
a. Melebarkan pupil mata
b. Menghambat sekresi keenjar ludah
c. Mempercepat denyut jantung
d. Merelaksasi bronki paru-paru
e. Menghambat aktivitas lambung dan usus
f. Menghambat aktivitas pankreas
g. Merangsang pelepasan glukosa dan menghambat kantung empedu
h. Menghambat pengosongan kantung kemih
i. Meningkatkan ejakulasi dan kontraksi vagina
Saraf parasimpatik
a. Menyempitkan pupil mata
b. Merangsang kelenjar ludah
c. Memperlambat denyut jantung
d. Menyempitkan bronki paru-paru
e. Merangsang aktifitas lambung dan usus
f. Merangsang aktifitas pankreas
g. Merangsang kantung empedu
h. Meningkatkan pengosongan kantung kemih
i. Meningkatkan ereksi genitalia
Sistem saraf parasimpatis menjaga fungsi tubuh esensial seperti proses
pencernaan makanan dan pengurangan zat-zat sisa, dan hal ini diperlukan untuk
mempertahankan kehidupan. Sistem ini biasanya bekerja melawan dan
mengimbangi aksi simpatis dan biasanya lebih dominan daripada sistem simpatis
pada situasi istirahat dan mencerna. Sistem saraf parasimpatis bukanlah suatu
perwujudan fungsional seperti system simpatis dan tidak pernah mengatasi
sebagai suatu system yang lengkap. Jika sistem ini bekerja, akan menghasilkan
gejala yang massif, tidak diharapkan dan tidak menyenangkan. Sebagai gantinya,
serabut-serabut parasimpatis yang terpisah-pisah akan diaktivasi secara terpisah
pula dan sistem bekerja mempengaruhi organ-organ spesifik seperti lambung dan
mata (Sastradipradja,D, 2003).
Saraf kolinergik. Semua neuron preganglioner, baik dari SO maupun dari
SP, menghasilkan neurohormon asetilkolin, begitu pula neuron post-ganglioner
dari SP. Saraf-saraf ini disebut saraf kolihnergik. Asetilkolin (ACh) merupakan
transmitter pula untuk saraf motoris pada penerusan impuls ke otot-otot lurik
(Tjay dan Rahardja, 2002).
Saraf adrenergik. Sebaliknya, neuron post-ganglioner dari SO meneruskan
impuls dari SSP dengan melepaskan neurohormon adrealin da atau non-adrenalin
(NA) pada ujungnya. Neuron ini dinamakan saraf adrenergik. Adrenalin juga
dihasilkan oleh bagian dalam (medulla) dari anak ginjal (Gibson, 2002).
Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatis:
1) Simpatomimetik / adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatis oleh noradrenalin, contohnya efedrin, isoprenalin dll.
a Efedrin
Alkaloida dari tumbuhan Ephedra vulgaris yang sekarang ini dibuat
secara sintetis. Digunakan pada penderita asma atas dasar efek
bronkodilatasinya yang lama,dekongestiv dan midriatik. Efek samping
dosis tinggi pada jantung yaitu cemas, gelisah, sukar tidur, gemetaran
dan takikardia serta kerja sentral. Pseudo efedrin merupakan isomer
efedrin yang dikombinasikan dengan dengan obat-obat batuk dan
pilek sedangkan norefedriun adalah turunan efedrin yang
dikombinasikan dengan obat-obat asma dan batuk.
b. Isoprenalin
Memiliki efek bronkodilatasi dan stimulasi jantung maka digunakan
untuk pengobatan dan pencegahan serangan asma. Karena absorbsi
dalam usus tidak sempurna maka biasanya digunakan dalam bentuk
sublingual, inhalasi atau spray. Efek samping dosis tinggi pada jantung
adalah berdebar, gelisah, gemetaran dan muka merah. Turunan yang
paling sering digunakan adalah feneterol, terbutalin dan salbutamol.
2) Simpatolitik / adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf
parasimpatis ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida
sekale, propanolol, dll. Khasiat yang terpenting adalah stimulasi otot polos
terutama pembuluh darah perifer dan rahim dengan efek kontraksi otot
uterus (oksitosik), vasokontriksi dan tekanan darah naik. Efek samping
pada penggunaan lama dan dosis yang tinggi adalah matinya jaringan di
ujung jari (gangrein) akibat vasokontriksi. Digunakan untuk menghentikan
pendarahan setelah persalinan dan pada keadaan haid yang berlebihan.
Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatis:
1) simpatomimetik / kolinergik
Kolenergik atau parasimpatomimetik adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis
(SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung
neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan
dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila
neuron SP dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan
istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi
pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah
dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, dan lain-lain, memperkuat
sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi,
dan penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain
dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi
otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi
kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin,
dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada
permulaan menstimulasinya .
Stimulasi reseptor ini oleh kolenergika menimbulkan efek yang
menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama sekali.
Misalnya vasokonstriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan
jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi
otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade
neuromuskuler.
Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja
langsung dan zat-zat dengan kerja tak langsung. Kolinergika yang bekerja secara
langsung meliputi karbachol, pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari
pinang, Areca catechu). Zat-zat ini bekerja secara langsung terhadap organ-organ
ujung dengan kerja utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah
zat-zat amonium kwaterner yang bersifat hidrofil dan sukar larut memasuki SSP,
kecuali arekolin (Hidayat. M, 2005).
Sedangkan kolinergika yang bekerja secara tak langsung meliputi zat-zat
antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, dan piridogstimin. Obat-obat ini
merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara.
Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh segera akan
dirombak lagi. Disamping itu, ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara
irreversibel, misalnya parathion dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang,
karena bertahan sampai enzim baru terbentuk lagi. Zat ini banyak digunakan
sebagai insektisid beracun kuat di bidang pertanian (parathion) dan sebagai obat
kutu rambut (malathion). Gas saraf yang digunakan sebagai senjata perang
termasuk pula kelompok organofosfat ini, misalnya Sarin, Soman, dan sebagainya
(katzung, 2004).
3) Parasimpatolitik / anti kolinergik
yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatis ditekan atau
melawan efek kolinergik. Semua antikolinergik memperlihatkan kerja
yang hampir sama tetapi daya afinitasnya berbeda terhadap berbagai
organ, misalnya atropin hanya menekan sekresi liur, mukus bronkus dan
keringat pada dosis kecil, tetapi pada dosis besar dapat menyebabkan
dilatasi pupil mata, gangguan akomodasi dan penghambatan saraf fagus
pada jantung. Antikolinergik juga memperlihatkan efek sentral yaitu
merangsang pada dosis kecil tetapi mendepresi pada dosis toksik.
Penggunaan :
Obat-obat ini digunakan dalam pengobatan untuk bermacam-macam
gangguan, tergantung dari khasiat spesifiknya masing-masing, antara lain
(TJay, 2002) :
Spasmolitika, dengan meredakan ketegangan otot polos, terutama
merelaksasi kejang dan kolik di saluran lambung-usus, empedu dan
kemih.
Midriatikum, dengan melebarkan pupil mata dan melemahkan
akomodasi mata.
Borok lambung-usus, dengan menekan sekresi dan mengurangi
peristaltik
Hiperhidrosis, dengan menekan sekresi keringat yang berlebihan
Berdasarkan efeknya terhadap sistim saraf sentral
Sedatif pada premedikasi operasi bersama anestetika umum.
Parkinson.
Contoh obat (Jay,than hoon dkk, 2002) :
1 Alkaloida Belladonna
Alkaloida yang didapat dari tanaman Atropa Belladonnae
seperti hiosiamin, atropin dan skopolamin. Didapatkan juga dari
tanaman Datura stramonium dan Hyoscyamus niger
2 Atropin
Khasiat antikolinergiknya kuat, sedativa , bronkodilatasi ringan
(guna melawan depresi pernafasan). Penggunaan sebagai midriatikum,
spasmolitikum asma, batuk rejan, kejang pada lambung-usus serta
antidotum yang paling efektif terhadap overdosis pilokarpin dan
kolinergik lainnya. Turunan sintetiknya adalah Homatropin dan
Benzatropin yang digunakan sebagai anti Parkinson.
Pada susunan saraf otonom, impuls disalurkan ke organ tujuan (efektor,
organ ujung) secara tak langsung. Saraf otonom di beberapa tempat terkumpul di
sel-sel ganglion, dimana terdapat sinaps, yaitu sela di antara dua neuron (sel
saraf). Saraf yang meneruskan impuls dari SSP ke ganglia dinamakan neuron
preganglioner, sedangkan saraf antara ganglia dan organ ujung disebut neuron
post-ganglioner. Impuls dari SSP dalam sinaps dialihkan dari satu neuron kepada
yang lain secara kimiawi dengan jalan neurotransmitter (juga disebut
neurohormon). Bila dalam suatu neuron impuls tiba di sinaps, maka pada saat itu
juga neuron tersebut membebaskan suatu neurohormon di ujungnya, yang
melintasi sinaps dan merangsang neuron berikutnya. Pada sinaps yang berikut
dibebaskan pula neurohormon dan seterusnya hingga impuls tiba di organ efektor
(Tjay dan Rahardja, 2002: 450-452).
Penggolongan obat SSO dapat juga sebagai berikut:
1. Agonis kolinergik
Agonis kolinergik dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
a) Bekerja langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: Asetilkolin, betanekol,
karbakol, dan pilokarpin.
b) Bekerja tak langsung (reversibel)
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: edrofonium, neostigmin,
fisostigmin, dan piridostigmin.
c) Bekerja tak langsung (ireversibel)
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: ekotiofat dan isoflurofat.
2. Antagonis kolinergik
Antagonis kolinergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a) Obat antimuskarinik
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: atropin, ipratropium, dan
skopolamin.
b) Penyekat ganglionik
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: mekamilamin, nikotin, dan
trimetafan.
c) Penyekat neuromuskular
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: atrakurium, doksakurium,
metokurin, mivakurium, pankuronium, piperkuronium, rokuronium, suksinilkolin,
tubokurarin, dan vekuronium.
3. Agonis adrenergik
Agonis adrenergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a) Bekerja langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: albuterol, klonidin,
dobutamin*, dopami*, epinefrin*, isopreterenol*, metapreterenol, metoksamin,
norepinefrin*, fenilefrin, ritodrin, dan terbutalin.
b) Bekerja tak langsung
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: amfetamin dan tiramin.
c) Bekarja ganda
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: efedrin dan metaraminol.
4. Antagonis adrenergik
Antagonis adrenergik terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a) Penyekat-
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: doxazosin,
fenoksinbenzamin, fentolamin, prazosin, dan terazosin.
b) Penyekat-
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: asebutolol, atenolol,
labetalol, metoprolol, nadolol, pindolol, propranolol, dan timolol.
(Mycek, Mary.J, dkk. 2001)
Neurotransmitter pada neuron kolinergik meliputi < tahapan yang berurut, e
mpat tahapan pertama#sintesis, penyimpanan, pelepasan dan pengikatan asetilkoli
n pada satu reseptor#diikuti kemudian tahap kelima, penghancuran neurotransmitt
er pada celah sinaps , dan tahap keenam adalah daur ulang kolin(Harvey,2009)
Susunan Saraf Otonom (SSO), juga disebut susunan saraf vegetatif, meliputi
antara lain saraf-saraf dan ganglia (majemuk dari ganglion yang artinya simpul
saraf) yang merupakan persarafan ke otot polos dari berbagai organ (bronchia,
lambung, usus, pembuluh darah, dan lain-lain). Termasuk kelompok ini pula
adalah otot jantung (lurik) serta beberapa kelenjar (ludah, keringat, dan
pencernaan). Dengan demikin, sistem saraf otonom tersebar luas di seluruh tubuh
dan fungsinya adalah mengatur secara otonom keadaan fisiologi yang konstan,
seperti suhu badan, tekanan, dan peredaran darah serta pernafasan (Tan dan
Rahardja, 2002).
Penggolongan obat sistem saraf otonom mengacu pada dua sistem saraf
yaitu saraf adrenergik dan saraf kolonergik. Dasar penggolongan lain adalah
apakah golongan obat tersebut memacu atau menghambat kedua saraf
tersebut. Obat yang memacu dinamakan agonis, sedangkan yang menghambat
dinamakan antagonis. Meskipun sebenarnya istilah agonis maupun antagonis
berkaitan dengan apakah obat tersebut ketika berintekrasi dengan reseptornya
menghasilkan efek atau tidak (Nugroho, 2015).
Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan
menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP
dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur.
Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan
memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga
sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan
jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan,
antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar,
kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung
kemih dan ureter denganefek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh
dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan
menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002).
Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma
adalah pilokarpin. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari
hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan
turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas
muskarinik dan terutama digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada
kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada
mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada
jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek (Aprilia, 2010).
Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat
pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk
maksud demikian. Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang
dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun
bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di
sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turun dengan segera akibat
cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung sekitar sehari
dan dapat diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofat dan
ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobati
glaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat
mencapaiotak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan
salivasi yangberlebihan (Mycek, 2001).

METODE PRAKTIKUM
Alat dan Bahan PRAKTIKUM
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat suntik dan jarum suntik,
kanula, papan datar bulat (platform), gelas piala, erlenmeyer, labu takar 10, 25,
50, dan 100 mL serta stopwatch.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu cendotropin, cendocarpin,
epinefrin, propanolon dan Na-CMC.

Prosedur Kerja
1. Penyiapan Hewan Uji
Diambil hewan uji mencit (Mus musculus) kemudian ditimbang. Hewan uji
dipuasakan kemudian dikelompokkan lalu dipilih.
2. Perlakuan Hewan Uji
Hewan uji mencit (Mus musculus) yang berjumlah 10 dikelompokkan
menjadi 5 kelompok. Kelompok I diberi obat cendotropin, kelompok II diberi
obat cendocarpin, kelompok III diberi epinefrin, kelompok IV diberi obat
propanolol dengan cendocarpin, dan kelompok V diberi Na-CMC. Pemberian
dilakukan secara ip pada obat cendotropin, cendocarpin dan epinefrin.
Sedangkan obat propanolol dan Na-CMC pemberian secara oral. Seelah itu,
diamati efek farmakodinamik yang ditimbulkan oleh obat yang diberikan pada
mencit (Mus musculus) setiap selang waktu 15, 30, 60 dan 90.
Analisis Hasil
Mencit yang telah di suntik obat cendocarpin diamati efek
farmakodinamiknya pada menit ke 15, 30, 60 dan 90. Pengamatan meliputi
miosis, midriasis, diare, tremor, vasodilatasi, vasokontriksi, grooming, piloereksi,
takikardia, bradikardia dan saliva. Sedangkan mencit satunya sebagai
pembanding.

HASIL PRAKTIKUM
Tabel 1. Pengamatan kelompok satu pada obat cendotropin BB mencit 30 gram.

Perlakuan Pengamatan pada


menit
obat 15 30 60 90
cendotropi
n
Miosis Tabel 2. Pengamatan
Midriasis kelompok dua obat
Diare
cendocarpin BB mencit 30
Tremor
Vasodilatas gram
i
Vasokontrik
Perlakuan
Pengamatan pada
si menit
Grooming
obat 15 30 60 90
Piloereksi
cendocarpi
n Takikardia
Miosis
Bradikardia
Salivasi
Midriasis
Diare
Tremor
Vasodilatas
i
Vasokontri
ksi
Grooming
piloereksi
Takikardia
Bradikardia
Salivasi

Tabel 3. Kelompok tiga obat efinefrin BB mencit 26 gram

Tabel 4. Kelompok empat obat propanolol dan cendocarpin BB mencit 20 gram

Perlakuan Pengamatan pada


menit
obat
propanolol 15 30 60 90
+
cendocarpi
n
Miosis
Midriasis
Diare
Tremor
Vasodilatas
i
Vasokontri
ksi
Grooming
Piloereksi
Takikardia
Bradikardia
Salivasi

Tabel 5. Kelompok lima obat Na-CMC BB mencit 30 gram

Perlakuan Pengamatan
pada menit
obat Na- 1 30 60 90
MCM 5
Miosis

Midriasis
Diare

Tremor

Vasodilata
si
Vasokontri
ksi
Grooming
piloereksi
Takikardia
Bradikardi
a
Salivasi

PEMBAHASAN
Sistem saraf otonom adalah serangkaian organ yang kompleks dan
berkesinambungan serta terutama terdiri dari jaringan saraf dan tidak dapat
dikendalikan oleh kemauan kita melalui otak (Djamhuri, 2001).
Sistem saraf tak sadar atau saraf otonom merupakan bagian dari susunan
saraf tepi yang bekerjanya tidak dapat disadari dan bekerja secara otomatis.
Sistem saraf otonom mengendalikan kegiatan organ-organ dalam seperti otot
perut, pembuluh darah, jantung dan alat-alat reproduksi. Menurut fungsinya
sistem saraf otonom dibagi menjadi 2 yaitu saraf simpatik dan parasimpatik.
Kedua sistem ini bekerja secara berlawanan dalam mengendalikan kinerja suatu
organ tubuh (Giri wiarto, 2014).
Dalam percobaan ini yang akan diamati adalah efek simpatis dan
parasimpatis yang dihasilkan setelah dilakukan pemberian obat tersebut dan
membandingkan efek yang terjadi. Praktikum farmakologi kali ini mengenai obat
sistem saraf otonom atau obat kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap
pengaruh aktivitas obat-obat sistem saraf otonom pada mencit. Saraf otonom atau
dapat disebut juga sebagai sistem saraf tak sadar merupakan saraf-saraf yang
bekerja tanpa disadari atau bekerja secara otomatis tanpa diperintah oleh sistem
saraf pusat dan terletak khusus pada sumsum tulang belakang. Sistem saraf
otonom ini terdiri dari neuron-neuron motorik yang mengatur kegiatan organ-
organ dalam, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar keringat, otot polos
sistem pencernaan dan otot polos pembuluh darah.
Percobaan dimulai dengan mempersiapkan semua alat dan bahan yang akan
digunakan untuk praktikum. Kemudian dipilih mencit, lalu ditimbang.
Penimbangan mencit ini dilakukan dengan meletakkan seekor mencit yang akan
digunakan, diatas neraca ohauss dan diamati angka yang menunjukkan berat
badan mencit. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perhitungan dosis yang tepat
pada perlakuan percobaan.
Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal yang berbeda. Hal
ini bertujuan agar mempermudah mengenali mencit baik pada saat pemberian
serta mengetahui berat badan mencit saat dilakukan pengamatan terhadap
percobaan.
Setelah itu mencit dibagi menjadi 5 kelompok, yang nantinya akan
diberikan perlakuan yang berbeda. Pada kelompok dua diberikan cendocarpin
dengan dosis yang sesuai, secara intraperitonial menggunakan jarum suntik.
Cendocarpin yang diberikan dalam bentuk larutan. Pemberian dilakukan dengan
cara memegang tengkuk antara jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Jarum
disuntik dengan membentuk sudut sekitar 10. Penyuntikan harus sedikit menepi
dari garis tengah, untuk menghindari terkenanya kandung kemih. Jangan pula
terlalu tinggi agar tidak mengenai hati. Dilakukan pengamatan pada hewan uji dan
diamati pada menit ke 15, 30, 60 dan 90.
Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk menentukan efek farmakodinamik
dari obat system saraf otonom yakni pemberian secara oral Cendocarpine,
Cendotropine, ,Epinefrin , propanolol, dan Na-CMC terhadap hewan coba
mencit (Mus musculus).
Hewan yang digunakan pada percobaan ini yaitu Mencit karena struktur
anatomi mencit mirip dengan struktur anatomi manusia, Mencit yang digunakan
adalah Mencit jantan. Hal ini disebabkan Karena hormon hewan jantan lebih
rendah daripada hormon pada hewan betina sehingga pada saat penelitian kita
lebih mudah melihat efek yang terjadi pada hewan coba dengan jenis kelamin
jantan.
Cendocarpin mengandung obat agonis kolinergik kerja langsung yaitu
pilokarpin. Pilokarpin yang diberikan kepada mencit bertujuan agar mencit
tersebut dapat mengeluarkan saliva.
Polikarpin merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik
yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan
mengaktifkan kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva. Obat
kolinergik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama
dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon
asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Efek kolinergis yang ditimbulkan
juga termasuk dalam merangsang atau menstimulasi sekresi kelenjar ludah,
sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya hipersalivasi sehingga air liur atau
saliva yang dikeluarkan oleh mencit menjadi lebih banyak karena pilokarpin
merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar saliva.
Setelah beberapa menit setelah obat diberikan pada mencit (Mus musculus)
memberikan efek pada mencit Tremor, Miosis, Diare, Piloereksi, Vasodilatasi,
Takikardia, dan Saliva. Efek-efek tersebut merupakan efek yang ditimbulkan oleh
perangsangan dari saraf parasimpatis. Dengan demikian diketahui bahwa
pilokarpin merupakan salah satu golongan agonis kolinergik kerja langsung atau
parasimpatomimetik. Pada menit ke 90 mencit kembali ke adaan normalnya di
mana tidak ada lagi efek obat cendocarpin.
KESIMPULAN
Adapun efek farmakodinamik obat cedocarpin pada hewan uji mencit (Mus
musculus) memberikan efek pada mencit Tremor, Miosis, Diare, Piloereksi,
Vasodilatasi, Takikardia, dan Saliva. Efek-efek tersebut merupakan efek yang
ditimbulkan oleh perangsangan dari saraf parasimpatis. Dengan demikian
diketahui bahwa pilokarpin merupakan salah satu golongan agonis kolinergik
kerja langsung atau parasimpatomimetik.
SARAN
Dalam melakukan sebuah praktikum, praktikan sebaiknya senantiasa teliti
dan berhati-hati, agar tidak terjadi hal-hal yang berakibat fatal dan hasil yang
diperoleh lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Amrun Hidayat. M. 2005. Alkaloid Turunan Triptofan.P.15

Aprilia, Dwi. 2010. Obat Kolinergik & Antikolinergik. Available Online


athttp://www.scribd.com/doc/44889033/Obat-Kolinergik-Antikolinergik.
Diakses pada tanggal [01-04-2011]

Betram. G. katzung. 2004. Farmakologi dasar dan klinik. EGC : Jakarta.

Djamhuri, Agus, 2001. Sinapsis Farmakologi. Hipokrates : Jakarta

Gibson , John, 2002. Fisiologi dan Anatomi modern untuk perawat. Edisi 2, EGC :
Jakarta

Mycek, Mary. J. dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta:


Widya medika.

Nugroho, Agung Endro.2015. Farmakologi Obat-Obat Penting dalam


Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta

Sarpini, rusbandi. 2014. Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta: In


Media.
Sastradipradja,D, 2003. Penggunaan Heawan Coba Dalam Penilitian. Bogor :
Institut Pertanian Bogor.

Tjay, T.H. dan Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Elex Media
Kompoitindo Gramedia.
Wiarto, giri. 2014. Mengenal Fungsi Tubuh Manusia. Yogyakarta: Gosyen
publishing.

Anda mungkin juga menyukai