Anda di halaman 1dari 7

1.

Contoh obat2 lasa , high alert, psikotropika, narkotika


Obat di RS Islam Faisal
LASA : Amlodipin 5 mg dan Amlodipin 10 mg
OMOprazol dan LANSOpraloz
Asam MEFENAMAT dan Asam TRANEKSAMAT
High Alert : Bunascan Spinal Inj
Epinefrin Inj
Psikotropika : Diazepam, midazolam, alprazolam
Narkotika : Fentanil, pethidin,
2. Berita acara pemusnahan, saksinya siapa saja .
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan


Bahan Medis Habis Pakai bila:
a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. telah kadaluwarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
d. dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan terdiri dari:
a. membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang akan dimusnahkan;
b. menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
c. mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada
pihak terkait;
d. menyiapkan tempat pemusnahan; dan
e. melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk
sediaan serta peraturan yang berlaku.
3. Pelaporan narkotika

4. Skrining administrasi apa2 sja dan fungsi tiap poinnya apa , kompatibilitas apa ? Trus stabilitas .

5. Apa yg dimaksd resep poli farmasi, duplikasi dan medication eror

pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam
kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit
yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis Obat.
polifarmasi adalah penggunaan obat lebih dari yang diperlukan secara medis. Resep biasa lebih
dari 5.
Duplikasi : Duplikasi pengobatan adalah dosis pengobatan dua kali lipat atau obat yang
sama tetapi melalui rute pemberian yang berbeda (Aslam dkk, 2003). Alergi adalah reaksi
hipersensitif terhadap suatu bahan obat atau makanan, meskipun diberikan dalam jumlah
sedikit (Joenoes, 2003)

Medication eror : Medication errors adalah suatu kegagalan


dalam proses pengobatan yang memiliki
potensi membahayakan pada pasien dalam
proses pengobatan ataupun perawatannya (Aronson, 2009). Kesalahan pengobatan ini
dapat menyebabkan efek yang merugikan
serta berpotensi menimbulkan risiko fatal
dari suatu penyakit (Perwitasari, 2010).
Medication error dapat terjadi pada
setiap tahap proses pengobatan yang
kompleks sehingga tingkat prevalensinya
perlu diperkirakan pada setiap fase pengobatan: prescribing dan dispensing
sesuai dengan dampak klinisnya (Belen et al.,
2010).
Meskipun kesalahan pengobatan
terkadang serius, namun hal tersebut sering
tidak terperhatikan. Penting untuk
mendeteksinya, karena kegagalan sistem
yang awalnya mengakibatkan kesalahan kecil
dapat menyebabkan kesalahan serius
(Aronson, 2009).
Kesalahan yang terjadi ditetapkan
melalui standar tertentu, di mana kesalahan
dapat dinilai. Semua orang yang terlibat
dengan obat-obatan harus menetapkan atau
terbiasa dengan standar tersebut dan
mengamati setiap langkah yang dilakukan
untuk memastikan bahwa kegagalan untuk
memenuhi standar tidak terjadi atau tidak
mungkin terjadi. Semua orang yang terlibat
dalam proses pengobatan bertanggung jawab
atas bagian prosesnya (Aronson, 2009).
Penyebab Terjadinya Medication Errors
Menurut Aronson (2009), kesalahan
obat dapat terjadi pada tahap prescribing,
meliputi resep yang tidak rasional, tidak tepat dan tidak efektif, serta kelebihan dan
kekurangan dosis. Kesalahan dalam tahap
transcribing meliputi kesalahan dalam
mengartikan resep. Kesalahan pada
manufacturing meliputi salah dosis, adanya
kontaminan, salah formula, salah kemasan,
dan salah label, serta kesalahan pada tahap
dispensing, salah dosis, salah rute, salah
frekuensi, dan salah durasi.
Resep adalah perintah tertulis, yang
mencakup rincian instruksi obat yang harus
diberikan, kepada siapa diberikan, bagaimana
formulasi, dosis, rute pemberiannya, kapan
diberikan, bagaimana frekuensi
pemberiannya dan untuk berapa lama
(Aronson, 2006).
Penulisan resep yang lengkap
membutuhkan pengetahuan yang menyeluruh
dan pemahaman pato-fisiologi penyakit, serta
sifat farmakologis obat yang relevan
(Aronson, 2006).
Kesalahan pada tahap prescribing
meliputi resep yang tidak masuk akal, tidak
tepat, dan tidak efektif, resep diberikan
kurang ataupun berlebih, dan kesalahan dalam penulisan resep (termasuk tidak
sahnya resep). Kesalahan pengobatan penting
dihindari agar dapat tercapai penggunaan
obat yang sesuai dengan kondisi pasien dan
batasan yang ditentukan oleh keputusan
terapeutik dalam regimen dosis yang
mengoptimalkan keseimbangan manfaat
yang membahayakan. Pada resep yang
seimbang, mekanisme kerja obat harus sesuai
dengan patofisiologi penyakit (Aronson,
2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh
Beng Yi (2013), kesalahan pengobatan yang
paling umum terdapat pada prescribing.
Lembar transkripsi adalah salinan
perintah dokter yang identik berbentuk
lembar elektronik sebagai bantuan untuk
apoteker. Kesalahan dalam persiapan lembar
transkripsi adalah trascribing error.
Transcribing errors meliputi perubahan pada
nama obat, formulasi obat, rute, dosis,
regimen dosis terhadap perintah resep.
Tipe-tipe trascribing errors antara
lain (Ruchika Garg et al., 2014): 1. Kelalaian: ketika obat diresepkan namun
tidak
2. Kesalahan interval: ketika dosis yang
diperintahkan tidak mencapai pasien pada
waktu yang tepat.
3. Obat alternative: pengobatan diganti oleh
apoteker tanpa sepengetahuan dokter.
4. Kesalahan dosis: misalnya pada resep
0.125 mg menjadi 0.25 mg pada salinan.
5. Kesalahan rute: misalnya pada resep
Ofloxacin tablet menjadi Ofloxacin I.V.
6. Kesalahan informasi detail pasien:
meliputi nama, umur, gender, registrasi yang
tidak ditulis atau salah ditulis pada lembar
salinan.
Pada tahap transcribing, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Callen et al
(2009), 12,1% tulisan tangan dan 13,3%
ringkasan elektronik berisi kesalahan
pengobatan. Jumlah kesalahan tertinggi
terjadi pada obat kardiovaskular dengan
kelalaian obat sebagai kesalahan yang paling
umum. Tingkat kesalahan mengenai 13.566
obat individu untuk 1808 ringkasan serupa dengan tingkat pelatihan dokter medis (intern,
resident, dan registrar).
Kesalahan pada tahap dispensing
meliputi dosis yang tidak berurutan, kelalaian
dosis, salah dosis, salah perumusan obat
(Lisby, 2005). Kesalahan dispensing dapat
berupa kesalahan obat yang diberikan kepada
pasien, kesalahan pada label dan ketika
pasien tidak menerima informasi obat (Sard
BE et al., 2008).
Pada penelitian yang dilakukan oleh
Sard BE (2008), kesalahan pada tahap
dispensing terjadi ketika persiapan obat tidak
tepat dan tidak lengkap atau tidak ada
informasi obat (3,66%). Kesalahan ini dapat
disebabkan oleh tingginya jumlah resep
disaat jumlah apoteker terbatas.
Ketidaklengkapan atau tidak ada informasi
obat kepada pasien dapat menyebabkan
perbedaan antara apa yang dimaksud dokter
pada resep dan apa yang dilaksanakan oleh
pasien. Perbedaan ini dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas
Administering errors merupakan
perbedaan antara apa yang diterima pasien

6. Bagaimana tahapan konseling? Jenis2 pasien yg wajib dikonseling ?

Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas
kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan
pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
Pemberian konseling Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi,
meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan Obat bagi pasien (patient safety).
Secara khusus konseling Obat ditujukan untuk:
a. meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien;
b. menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;
c. membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat;
d. membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan Obat
dengan penyakitnya;
e. meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;
f. mencegah atau meminimalkan masalah terkait Obat;

g. meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal


terapi;
h. mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
i. membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan Obat sehingga dapat
mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.

Kegiatan dalam konseling Obat meliputi:

a. membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;


b. mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan Obat
melalui Three Prime Questions;
c. menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat;
d. memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
pengunaan Obat;
e. melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien; dan
f. dokumentasi.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling Obat:
a. Kriteria Pasien:
1) pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil
dan menyusui);
2) pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan
lain-lain);
3) pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus
(penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off);
4) pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
phenytoin);
5) pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi); dan
6) pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
b. Sarana dan Peralatan:
1) ruangan atau tempat konseling; dan
2) alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).

Petunjuk teknis mengenai konseling akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal
7. Bagaimana pelaksanaan PTO

Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi:
a. pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons terapi,
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
b. pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; dan
c. pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.

Tahapan PTO:
a. pengumpulan data pasien;
b. identifikasi masalah terkait Obat;
c. rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;
d. pemantauan; dan
e. tindak lanjut.

Faktor yang harus diperhatikan:


a. kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti
terkini dan terpercaya (Evidence Best Medicine);
b. kerahasiaan informasi; dan
c. kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).

Petunjuk teknis mengenai pemantauan terapi Obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal

8. Bagaimana form meso ? Dan jelaskan ttg algoritma naranjo

8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon
terhadap Obat yang tidak dikehendaki,

yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang
tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
MESO bertujuan:
a. menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang;
b. menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru
saja ditemukan;
c. mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya ESO;
d. meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang idak dikehendaki; dan
e. mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.

Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:


a. mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);
b. mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami ESO;
c. mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
d. mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Komite/Tim
Farmasi dan Terapi;
e. melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.

Faktor yang perlu diperhatikan:


a. kerjasama dengan Komite/Tim Farmasi dan Terapi dan ruang rawat; dan
b. ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

Petunjuk teknis mengenai monitoring efek samping Obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal.

Anda mungkin juga menyukai