Anda di halaman 1dari 15

LABORATORIUM FARMAKOLOGI FARMASI

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LAPORAN FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI 2


SISTEM SARAF OTONOM

DISUSUN OLEH :
NAMA

: JUMRIANI

NIM

: 15020150125

ASISTEN

: DINA MARDIANA

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016

ARTIKEL HASIL PRAKTIKUM

SISTEM SARAF OTONOM

Dipersiapkan dan disusun oleh


Jumriani
15020150125

Telah dipertahankan di asisten pendamping


Pada tanggal 18 November 2016

Telah disetujui oleh :

Asisten pendamping

Dina Mardiana
(nama asisten)

tanggal, 18 November 2016

LAPORAN PRAKTIKUM

UJI SISTEM SARAF OTONOM PADA MENCIT (Mus Musculus)


Jumriani1, Dina Mardiana2
1

Mahasiswa Fakultas Farmasi, UMI

Asisten Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi, UMI


Email : jumriani2911@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: sistem saraf otonom bersama dengan sistem endokrin,
mengoordinasi pengaturan dan integrase fungsi-fungsi tubuh. Jika sistem endokrin
dapat mengirim sinyal ke jaringan target melalu jaringan, maka berbeda dengan
halnya sistem saraf karena dapat memicu pengaruhnya melalui transmisi impuls
listrik secara capat pada serabut-serabut saraf yang yang berakhir pada sel-sel
efektor, yang secara spesifik merespon pelepasan substansi-substansi
neuromediator.
Tujuan Prakitkum: untuk menentukan efek farmakodinamik dari obat pada
hewan coba yaitu mencit (Mus muscullus) dengan parameter pengamatan berupa
grooming salivasi, vasokontriksi, vasodilatasi, takikardia, bradikardia, srraub,
piloreksi dan diare
Metode: pada praktikum ini kita menggunakan 5 mencit yang nantinya akan di
bagi menjadi 5 kelompok dan diberi perlakuan yang berbeda-beda dengan obat
yang kita gunakan nanti yaitu cendocarpin, cendotropin, efinefrin, dan propanolol
Hasil: pada percobaan sistem saraf otonom ternyata setelah perlakuan
cendotropin mencit mengalami midriosis, vasodilatasi, vasokontriksi, grooming,
piloereksi, takikardia, dan bradikardia.
Kesimpulan: setelah melihat hasil pengamatan ini ternyata efek yang terjadi pada
mencit terjadi pada menit 15, 30, dan 90. Namun paling sering terjadi pada menit
ke 90.
Kata Kunci: obat golongan simpatis dan parasimpatis
PENDAHUHULUAN
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kemampuan suatu
obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan
fisiologi, resorpsi dan nasipnya didalam organisme hidup.

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang efek racun dari obat
ketika masuk ke dalah tubuh, karena pada dasarnya obat memiliki efek teraupetis
yang cukup berbahaya jika penggunaan dosis tidak sesuai. Sehingga pada jumlah
dosis yang besar maka obat tersebut akan menjadi racun dan membunuh
oraganisme.
Sedangkan Sistem saraf otonom bekerja menghantarkan rangsang dari SSP
ke otot polos, otot jantung dan kelenjar.Sistem saraf otonom merupakan saraf
eferen (motorik), dan merupakan bagian dari saraf perifer. Sistem saraf otonom ini
dibagi dalam 2 bagian, yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis.
Pada umumnya jika fungsi salah satu sistem dirangsang maka sistem yang lain
akan dihambat.
Sistem saraf otonom tersusun atas saraf praganglion, ganglion dan saraf
postganglion. Impuls saraf diteruskan dengan bantuan neurotransmitter, yang
dikeluarkan oleh saraf praganglion maupun saraf postganglion.
Pada praktikum kali ini kita melakukan uji pada hewan coba untuk
mengetahui efek yang akan terjadi, dan pengaruh apa saja yang dapat ditimbulkan
setelah pemeberian obat, yang berkaitan dengan mekanisme kerja sistem saraf
otonom.
TINJAUN PUSTAKA
Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur
fungsi visceral tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi
gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan
aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang
sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat meningkat
hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik,
berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga
pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan
pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis
dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO
merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).

Susunan Saraf Otonom (SSO) dapat dipecah lagi dalam dua cabang yaitu
Susunan (Ortho) Simpatik (SO) dan Susunan Parasimpatik (SP). Pada umumnya
dapat dikatakan bahwa kedua susunan ini bekerja antagonis: bila suatu sistem
merintangi fungsi tertentu, sistem lainnya justru menstimulasinya. Tetapi, dalam
beberapa hal, khasiatnya berlainan sama sekali bahkan bersifat sinergis (Tjay,
2002).
Susunan saraf motoris mengatur otot-otot lurik dengan impuls listrik
(rangsangan) yang secara langsung dikirim dari SSP melalui saraf motoris ke otot
tersebut (Tjay, 2002).
Pada susunan saraf otonom, impuls disalurkan ke organ tujuan (efektor,
organ ujung) secara tak langsung. Saraf otonom di beberapa tempat terkumpul di
sel-sel ganglion, dimana terdapat sinaps, yaitu sela di antara dua neuron (sel
saraf). Saraf yang meneruskan impuls dari SSP ke ganglia dinamakan neuron
preganglioner, sedangkan saraf antara ganglia dan organ ujung disebut neuron
post-ganglioner. Impuls dari SSP dalam sinaps dialihkan dari satu neuron kepada
yang lain secara kimiawi dengan jalan neurotransmitter (juga disebut
neurohormon). Bila dalam suatu neuron impuls tiba di sinaps, maka pada saat itu
juga neuron tersebut membebaskan suatu neurohormon di ujungnya, yang
melintasi sinaps dan merangsang neuron berikutnya. Pada sinaps yang berikut
dibebaskan pula neurohormon dan seterusnya hingga impuls tiba di organ efektor
(Tjay, 2002).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah
obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel
saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom,
tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis
kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan
saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau
penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce,
2002).
Obat-obat otonom adalah obat-obat yang dapat mempengaruhi penerusan
impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa,

penimbunan, pembebasan, atau penguraian neurotransmitter atau mempengaruhi


kerjanya atas atas reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot
polos dan organ, jantung, dan kelenjar dopamin (Tjay, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat
pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai
berikut: (Richard, 2013)
a. Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat-obat yang berpengaruh pada
reseptor yanh diransang oleh norepinefrin dan epinefrin. Contohnya,
efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
b. Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang menghambat kerja
neurotransmitter pada reseptor, sedangkan obat lain memengaruhi fungsi
adrenergic dengan menghentikan pelepasan norepinefrin dari neuron
adrenergic. contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain.
2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai
berikut:
a. Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan
dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan
phisostigmin
b. Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna (atropine)
Pada dasarnya agonis adrenergic terbagi menjadi 3 golongan obat yaitu
kerja langsung dimana obat langsung berkerja pada reseptor yang ingin dituju,
obat tak langsung dimana obat tak langsung bekerja pada repseptornya dan obat
campuran dimana obat dapang melakukan kedua kerja tersebut secara bersamaan.
AGONIS ADRENERGIK
Obat yang termasuk agonis adrenergek kerja langsung yaitu (Richard,
2013)
1. Epinefrin

Merupakan salah satu dari 4 katekolamin-epenefrin, norepinefrin, pinefrin,


dopamine, dan dobutamin, sering digunakan dalam terapi. 3 diantaranya
bersifat alamiah dalam tubuh sebagai neurotransmitter, sedangkan yang
lain bersifat sintetik.
2. Norepinefrin
Merupakan neuromediator untuk saraf adrenergic, secara teoritis,
seharusnya zat ini merangsang semua jenis reseptor adrenergic, namun
nyatanya ketika obat diberikan kepada pasien dalam dosis terapi, reseptor paling besar terkena efek
3. Isoproterenol
Merupakan katekolamin sintetik kerja-langsung yang predominan
merangsang reseptor adrenergic-1 maupun 2. Ketidakseletifannya
merupakan salah satu kelemahannya dan menjadi alasan obat ini jarang
dipakai dalam terapi. Kerja pada reseptor- tidak signifikan.
4. Dopamine
Merupakan precursor metabolic norepinefrin yang paling dekat, terdapat
secara ilmiah di SSP dalam ganglia basalis, yang berfungsi sebagai
neurotransmitter,

juga

ditemukan

di

medulla

adrenal.

Dopamin

mengaktifkan reseptor aderenergik- dan .


5. Dobutamin
Merupakan katekolamin sintetik dengan kerja langsung yang merupakan
agonis reseptor 1. Obat ini tersedia sebagai campuran rasemik. Salah satu
stereoisomernya memiliki aktivitas perangsangan. Dobutamin dapat
meningkatkan frekuensi dan curah jangtung dengan sedikit efektif pada
vascular.
6. Phelylephrine
Merupakan obat sintetik yang dapat mengikat reseptor dan lebih
cenderung pada 1 daripada 2.
7. Methoxamine
Merupakan obat sintetik yang berikatan dengan resepor , lebih cenderung
pada 1 daripada 2. Methoxamin dapat meningkatkan tekanan darah

melalui

perangsangan

reseptor

pada

arteriol,

menimbulkan

vasokontriksi yang dapat meningkatkan tahapan perifer total


8. Clonidine
Merupakan agonis 2 yang digunakan pada hiperlepsi esensial untuk
menurunkan tekanan darah karena kerjanya pada SSP. Obat ini dapat
digunakan untuk memperkecil gejala yang menyertai putus-obat opiate
atau benzodiazepine. Clonidine bekerja secara sentral guna menimbulkan
inhibasi di pusat vasomotor simpatis sehingga memperkecil aliran simpatis
ke perifer.
9. Metaprotetenol
Merupakan obat kimiawi namun bukan suatu ketokolamin yang resisten
terhadap metilasi oleh COMT. Obat ini dapat diberikan secara oral atau
inhalasi. Bekerja pada reseptor 2, dengan menghasilkan sedikit efek pada
jantung.

Metaproterenol

menghasilkan

dilatasi

bronkiolus

dan

memperbaiki fungsi jalan napas, juga berguna sebagai bronkodilator


dalam penatalaksanakan asama dan mengatasi brokopasme.
10. Albuterol, Pirbuterol, dan Terbutaline
Merupakan agonis 2 kerja yang singkat terutama digunakan sebagai
bronkodilator dan diberikan melalui metered-dose-inhaler.
11. Salmeterol dan formoferol
Merupakan bronkodilator selektif adrenergic-2 kerja-panjang. Dosis
tunggal yang diberikan melalui metered-dose-inhaler.
Agonis adrenergic kerja tidak langsung, menyebabkan perepasan
norepinefrin dari terminal prasinaps atau menghambat pengambilan norepinefrin.
Obat-obat ini memperkuat efek norepinefrin endogen, tetapi tidak secara langsung
mempengaruhi reseptor pascasinaps. Contohnya amphetamine, tyramin dan
cocain (Richard, 2013).
Agonis kerja campuran memicu pelepasan norepinefrin dari ujung akhir
prasinaps, dan obat ini meningkatkan reseptor adrenergic pada membrane
pascasinaps. Contohnya ephedrine dan pseudoephedrine yang merupakan alkaloid
tanaman yang sekarang diproduksi secara sintetik.

ANTAGONIS ADRENERGIK
Berikatan dengan adrenoseptor, tetapi tidak mencetuskan efek intraseluler
yang diperantai reseptor pada umumnya. Obat-obat ini bekerja secara reversible
dan irreversible melalui perkenalan pada reseptor sehingga mencegah pengaktifan
reseptor oleh katekolamin endogen. Pada tahap ini ada 3 golongan obat yang
dimilikinya yaitu penghambat- yang mempengaruhi tekanan darah, penghambat yang dapat menurunkan tekanan darah namun efektif untuk pengobatan angina,
aritmia jangtung, infark miokardium, gagal jangtung kongestif, hipertiroidisme,
dan glaucoma, serta sebagai profilaksis untuk nyeri kepala migraine. Sedangkang
obat-obat

yang

mempengaruhi

pelepasan

atau

pengambiln

kembali

neurotransmitter ada 3 yaitu reserpine, guanethidine, dan cocain (Richard, 2013).


AGONIS KOLINERGIK
Penggolongan obat agonis kolinergik terbagi menjadi 3 yaitu (Richrard,
2013)
1. Golongan kerja langsung
Obat-obat ini, secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok
yaitu ester kolin yang meliputi asetil kolin dan ester kolin sintetis dan
bentuk alkaloid ilmiah.
a. Asetilkolin
Merupakan suatu senyawa ammonium kuartener yang tidak mampu
menembus membrane. Dengan mekanisme yang beragam dan cepat dinonaktifkan oleh asetilkolinesterase. Aktivitasnya yang bersifat
muskarinik dan nikotinik, yang meliputi: menurunnya denyut jantung
dan curah jantung , menurunkan tekanan darah, dan dengan
mekanisme kerja yang lain seperti meningkatkan sekresi saliva dan
merangsang sekresi dan motilitas serta sekresi bronkus juga di pacu.
b. Bethanecol
Mempunyai struktur yang berkaitan dengan asetilkolin yaitu gugus
asetat yang diganti dengan karbamat dan kolin yang dimetilasi. Kerja
nikoniknya sangat kecil karena adanya penambahan gugus metil, tetapi
kerja muskariniknya sangat kuat. Kerja utamanya pada otot polos

kandung kemih, dan saluran ceerna, dengan masa kerja sekitar 1 jam.
Efek samping yang dapat ditimbulkan yaitu berkeringat, nyeri
abdomen, diare dan bronkospasme.
c. Carbachol
Mempunyai mekanisme kerja muskarinik dan nikotinik karena tidak
memiliki gugus metil. Obat ini merupakan suatu ester carbamic acid
dan substrat yang tidak sesuai untuk asetilkolinesterase. Efek
pemberiang tunggal senyawa ini bertahan selama 1 jam. Efek
sampingnya, jika diberikan dalam dosis oftalmologi, maka efek
sampingnya kecil atau tidak ada sama sekali karena memenetrasi
sistemis (amina kuartener).
d. Pilocarpin
Merupakan alkaloid adalah suatu amina tersier dan bersifat stabil
terhadap hidrolisis oleh asetilkolonesterase. Pilokarpin digunakan pada
bidang oftalmologi. Dengan efek samping, dapat mencapai otak dan
menyebabkan gangguan SSP, juga dapat merangsang keringat dan
saliva yang berlebihan.
2. Agonis kolinergik kerja tidak langsung/antikolinesterase (reversible)
Asetilkolinesterase adalah suatu enzim yang khusus memecah
asetilkolin menjadi asetat dan kolin sehingga mengakhiri kerja asetilkolin.
Enzim ini terdapat pada ujung saraf pra- dan pasca-sinaps tempat terikat
pada membrane. Obat ini menghambat asetilkolinesterase secara tidak
langsung

bersifat

kolinergik

dengan

memperpanjang

keberadaan

asetilkolin endogen yang dilepas oleh ujung saraf kolinergik.. obat ini
mampu memacu respon pada semua kolinoseptor dalam tubuh baik
reseptor muskarinik maupun nikotinik sistem saraf otonom, demikian pula
pada taut neuromuscular dan otak. Pada golongan ini terdapat obat
physostigmin, neostigmine, pyridostigmin, ambenonium, demecarium,
edrophonim, tacrin, donezepil, rivastigmin, daln galantamin.
3. Agonis kolinergik kerja tidak langsung/antikolinesterase (irreversible)

Pada keadaan ini dapat memperlambat efek asetilkolin pada semua


lokasi pelepasannya. Obat ini sangat siklik dan dikembangkan hanya untuk
keperluan militer untuk memengaruhi fungsi saraf. Senyawa ini
turunannya, seperti parathion sebagai insektisida. Pada golongan ini hanya
satu obat yang digunakan yaitu echothiophate.
ANTAGONIS KOLINERGIK
Disebut juga sebagai penghambat kolinergik, parasimpatolitik atau obat
antikolinergik berikatan dengan kolinoseptor, tapi tidak memicu efek intraseluler
yang diperantarai reseptor. Manfaatnya adalah efek penghambatan sinapas
muskarinik secara selektif pada saraf parasimpatis. Oleh karena itu efek
persarafan jadi terganggudan kerja perangsangan simpatis muncul tanpa
hambatan. Yang kedua yaitu penghambat ganglion, yang lebih menghambat
reseptor nikotinik pada ganglia simpatetik dan parasimpatetik. Ketiga pelemas
neuromuscular, menggangu transmisi impuls eferen yang yang menuju otot
rangka. Obat ini digunakan sebagai ajuan anestetik selama pembedahan (Richard,
2013)
METODE PRAKTIKUM
Alat-alat yang akan kita gunakan dalam praktikum ini yaitu, spoit, dan
kanula. Sedangkan untuk bahan-bahan yang akan digunanakan adalah
cendocarpin, cendotropin, epinefrin dan propanolon.
PROSEDUR KERJA
Setiap kelompok memiliki 2 ekor mencit, dengan perlakuan sesuai dengan
pembagian kelompok hewan tersebut
1. Hewan coba dikelompokkan menjadi 5 kelompok
2. Kelompok`I, mencit diberi Cendocarpin secara i.p
3. Kelompok II, mencit diberi Cendotropin secara i.p
4.

Kelompok III, mencit diberi Cendotropin secara i.p, kemudian diberi


Cendocarpin secara i.p

5. Kelompok IV, mencit diberi Epinefrin secara i.p


6. Kelompok V, mencit diberi Propanolol secara oral

7. Pengamatan di lakukan pada menit ke 15,30, 60, dan 90 setelah pemberian


obat. Pengamatan meliputi pupil mata, diare, tremor, kejang, warna daun
telinga, grooming dan sebagainya.

HASIL PENGAMATAN
Perlakuan
Obat
Pronanolol
Miosis
Midriasis
Diare
Tremor
Vasodilatasi
Vasokontriksi
Grooming
Piloereksi

Pengamatan Pada Mneit


30
60
I
II
I
II
I

15
II

Perlakuan

Pengamatan pada mencit

Obat Cendotropin
BB Mencit : 1 = 25 g

90
II

15
1

30
2

60
2

90
2

2 = 24 g
Miosis

Midriosis
Diare
Tremor
Vasodilatasi
Vasokontriksi

Grooming

Piloereksi
Takikardia

Bradikardia
Saliva
PEMBAHASAN

Sistem saraf otonom merupakan saraf eferen (motorik), dan merupakan


bagian dari saraf perifer. Sistem saraf otonom ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu
sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Pada umumnya jika fungsi
salah satu sistem dirangsang maka sistem yang lain akan dihambat.
Sistem saraf simpatis terjadi ketika adrenalin kita sedang dipaju misalkan
pada keadaan ketakutan sedangkan untuk sistem saraf parasimpatis terjadi ketika
kita sedang tenang dan merasa nyaman seperti pada saat tidur.
Sistem saraf simpatis dibagi menjadi 2 bagian yaitu agonis adrenernik
dimana obat yang termasuk dalam agonis adrenergic ini dapat merangsang obat
melalui

norepinefrin

atau

epinefrin,

sedangkan

antagonis

adrenergic

mengahambat kerja neurotransmitter pada ransangan. Obat-obat yang termasuk


dalah agonis adrenergic kerja langsung yaitu albuterol, clonidine, dobutamin,
dopamine, formoferol, epinefrin, isoproterenol, metoproterenol, methoxamin,
norepinefrin, phenylephrine, piruterol, salmeterol, terbutaline, kerja tidak
langsungnnya amphetamine, cocaine, thyramin, sedangkan untuk kerja campuran
yaitu ephedrine, pseudoepedrin. Obat-obat yang tergolong dalam antagonis
kolinergik yaitu untuk penghambat- alfuzosin, doxazosin, phenoxybenzamine,
phentolamine, prazosin, tamsulosin, terazosin, yohimbine, untuk penghambat-
acebutolol, atenolol, carvedilol, esmolol, labetalol, metaprolol, nadolol, pindolol,
propranolol, tomolol, untuk yang mempengaruhi pelepasan atau pengambilan
kembali neurotransmitter guanethidine, reserpine.

Sistem saraf parasimpatis terbagi menjadi 2 yaitu agonis kolinergik dan


antagonis kolinergik dimana masing-masing memacu dan menghambat kerja
sistem saraf. Obat-obat yang terdapat dalam golongan ini ada yang alami dari
tumbuhan ada juga yang merupakan sintetik.
Pada percobaan ini kita dapat melihat efek-efek yang terjadi pada hewan
coba baik dengan perlakuan berdasarkan obat adrenergic maupun kolinergik .
KESIMPULAN
Setelah melakukan percobaan sistem saraf otonom ternyata mencit yang
diberi perlakuan cendotropin mencit mengalami midriosis, vasodilatasi,
vasokontriksi, grooming, piloereksi, takikardia, dan bradikardia. Setelah melihat
yang terjadi pada mencit terjadi pada menit 15, 30, dan 90. Namun paling sering
terjadi pada menit ke 90.

DAFTAR PUSTAKA
Harvey, A. Richard. 2013, Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 4 Jakarta: Widya
medika.
Mycek, Mary. J. dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta: Widya
medika.
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Umum.

Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Tjay, T.H. dan Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Elex Media
Kompoitindo Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai