Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

PERCOBAAN 3
OBAT-OBAT SISTEM SARAF PUSAT
(STIMULAN SSP, DEPRESAN SSP, DAN ANESTETIKA UMUM)

Asisten Penanggung Jawab:


apt. Muhammad Fakhrur Rajih, M.Farm.

Disusun oleh:
Shift/Kelompok: A/2

Khodimul Haramain 10060319007


Nadia Rahayu 10060319008
Dike Kusniati 10060319009
Dwi Maulidani Fadhlan 10060319010
Novia Nur Islamiati 10060319011
Shannie Megaliane 10060319012

Tanggal Praktikum : 27 September 2021


Tanggal Laporan : 04 Oktober 2021

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT D


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2021 M / 1442 H
PERCOBAAN 3
OBAT-OBAT SISTEM SARAF PUSAT
(STIMULAN SSP, DEPRESAN SSP, DAN ANESTETIKA UMUM)

I. Tujuan Percobaan
1.1. Memiliki keterampilan dalam melakukan pengujian aktivitas stimulan
SSP, depresan SSP dan anestetika umum
1.2. Dapat menjelaskan kembali mekanisme kerja dan menjelaskan perbedaan
mekanisme kerja antar berbagai golongan stimulan SSP, depresan SSP,
dan anestetika umum.

II. Teori Dasar


Sel saraf merupakan adalah serangkaian organ yang kompleks dan
bersambungan serta terdiri terutama dalam jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem
saraf, lingkungan internal dan stimuls eksternal dipantau dan diatur oleh
kemampuan khusus seperti iritabilitas, atau sensitifitas terhadap stimulus, dan
konduktifitas atau kemampuan untuk mentransmisi suatu respon terhadap stimulus
(Sloane, 2013).
Organisasi struktur sistem saraf terbagi atas (Sloane, 2013) :
1. Sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan medulla spinalis yang dilindung
tulang kranium dan kanal vertebral.
2. Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem
ini terdiri dari saraf kranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak dan
medulla spinalis dengan reseptor dan efektor.
Dalam menjalankan fungsinya, SSP dibantu oleh system syarat perifer
yang berfungsi menghantarkan impuls dari dan ke susunan saraf pusat atau
dengan istilah yang lain yaitu dari saraf efferent (motor) ke saraf afferen. Pada
rangsangan seperti sakit, panas, rasa, cahaya, suara mula-mula diterima oleh sel-
sel penerima (reseptor) dan kemudian dilanjutkan ke otak dan sum-sum tulang
belakang. Rasa sakit dapat disebabkan oleh perangsangan rasa sakit diotak besar
sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi emosional yang timbulkan oleh rasa
sakit tersebut (Ganiswara, 2007).
Obat-obat yang bekerja terhadap susunan saraf pusat berdasarkan efek
farmakodinamiknya dibagi atas dua golongan besar yaitu (Stringer, 2006) :
1. Merangsang atau menstimulasi, yang secara langsung maupun tidak
langsung merangsang aktivitas otak, sum-sum tulang belakang beserta
syarafnya.
2. Menghambat atau mendepresi, yang secara langsung maupun tidak
langsung memblokir proses tertentu pada aktivitas otak, sumsum tulang
belakang dansyaraf- syarafnya.
Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi menjadi anestetik umum
(memblokir rasa sakit), hipnotik sedative (menyebabkan tidur), Stimulan Sistem
Saraf, antidepresi, antikunvulasi (menghilangkan kejang), analgetik (menngurangi
rasa sakit), opoid, analgeik-antipiretik-antiinflamasi dan peragsang susuan saraf
pusat (Tjay, 2007).
Obat-obatan stimulan sistem saraf pusat adalah obat-obatan yang dapat
bereaksi secara langsung ataupun secara tidak langsung pada SSP.Yang termasuk
obat stimulan SSP adalah amphetamine, methylphenidate, pemoline, cocaine,
efedrin, amfetamin, metilfenidat, MDMA, dan modafinil. Stimulan yang paling
ideal dan paling sering digunakan adalah dextroamphetamine (Dexedrine) , Obat-
obat stimulan tersebut termasuk dalam kelompok II adalah obat yang termasuk
golongan obat terlarang karena mengakibatkan pengguna menjadi orang yang
bersifat dan berkelakuan melawan hukum dan ketagihan (Sunardi, 2006).
Namun Wibowo dan Gofir (2001) menyebutkan bahwa obat-obatan
stimulan SSP memiliki efek sebagai berikut :
1. Amfetamin
 Mempengaruhi dopamin dan norepinefrin: pelepasan dopamin dan
norepineprin dari neuron prasinaps
 Efek agonis pada pasca sinaptik
 Menghambat katabolisme katekolamin
2. Metilfenidat
 Menambah aktivitas katekolamin sentral, dopaminergik sentral
 Beraaksi primer pada pool neurotransmiter katekolaminergik
(karena itu bermanfaat juga pada Parkinsonisme)
 Menurunkan gejala hiperkinesia, agresivitas dan impulsivitas
3. Pemolin
 Menaikkan aktivitas katekolamin sentral
 Menaikkan sintesis dopamin dan konsentrasi dopamin
 Memperbaiki learning performance, atensi dan menurunkan
impulsivitas
Stimulan yang diberikan short term (1-2 minggu) menyebabkan euphoria,
optimism, perasaan senang secara umum dan meningkatkan perhatian. Efek lain
yang mungkin muncul adalah anoreksia, insomnia, ansietas, iritabilitas,
mengurangi kelelahan, meningkatkan tekanan darah, menurunkan depresi.
Stimulan tidak dapat dicampur dengan antidepresan atau obat over-the-counter
(OTC) yang berisi dekongestan karena antidepresan dapat mempengaruhi efek
stimulan dan kombinasi stimulan dengan dekongestan dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi yang membahayakan pasien dan dapat menyebabkan
terjadinya irama jantung ireguler (Sunardi, 2006).
Istilah anastesia yang artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang
disertai maupun yang tidak disertai hilang kesadaran, diperkenalkan oleh Oliver
W. Holmes pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anastesia
disebut sebagai anastetik, dan kelompok obat ini dibedakan dalam naestetik umum
dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat
memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri, atau efek anestesia yaitu
analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya
dapat menimbulkan efek analgesia. Anastetik umum bekerja di susunan saraf
pusat sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada serabut saraf di perifer
(Elysabeth, 2009).
Anastesi yaitu hilangnya sensasi, biasanya akibat cedera saraf
ataureseptor. Hilangnya kemampuan untuk merasakan nyeri, disebabkan oleh
pemberian obat atau intervensi medis lainya (Hartanto, 2014).
Ada 2 macam yaitu anestesia umum merupakan keadaan tidak terdapatnya
sensasi yang berhubungan denganhilangnya kesadaran yang reversibel. Anestetik
lokal adalah obat yang digunakan untuk mencegah rasa nyeri dengan memblok
konduksi sepanjangserabut saraf secara reversibel (Kadzung, 2013).
Anastetik umum merupakan depresan sistem saraf pusat, dibedakan
menjadi anastetik inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap dan anastetik
parenteral. Pada percobaan hewan dalam farmakologi yang digunakan hanya
anastetik menguap dan anastetik parenteral (Sjamsuhidajat, 2005).
Dalam mempengaruhi kemampuan mengatur suatu pembiusan perlu
dipertimbangkan bahwa dalam pembiusan yang ditimbulkan oleh suatu obat
pembius tertentu ditentukan oleh konsentrasinya dalam sistem saraf pusat dan
bahwa ini bergantung pada (Champe, 2013) :
1. Konsentrasi obat pembius dalam udara inspirasi
2. Frekuensi pernapasan dalam pernapasan
3. Ketetapan membran alveoli-kapiler
4. Pasokan darah pada paru-paru dan otak
5. Kelarutan obat pembius dalam darah
6. Koefisien distribusinya antara darah dan jaringan dalam otak.
Depresi merupakan aktivitas fungsional yang merendah atau
menurun,suatu keadaan mental mood yang menurun yang ditandai dengan
kesedihan, perasaan, putus asa dan tidak bersemangat (Mycek, 2013).
Antidepresi adalah obat-obat yang mampu memperbaiki suasana
jiwadengan menghilangkan atau merngankan gejala keadaan murung, yang tidak
disebabkan oleh kesulitan soisal ekonomi, obat-obatan atau penyakit.Antidepresan
bekerja dengan jalan menghambat re-uptake serotonin dannoradrenalin di ujung-
ujung saraf otak dan dengan demikian memperpanjangwaktu tersedianya
neurotransmitter tersebut. Disamping itu antidepresive dapat mempengaruhi
reseptor postsinaps. Adapun efek samping dari antidepresan ini dapat
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan dan banyak mirip dengan efek
samping antipsikotika yaitu sedasi, gangguan mood dan lain-lain (Tjay, 2007).
Hipnotik merupakan zat-zat yang dalam dosis terapi
diperuntukkanmeningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah
ataumenyebabkan tidur. Hipnotik itu sendiri dapat menimbulkan rasa
kantuk,mempercepat tidur dan sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur
yangmennyerupai tidur alamiah mengenai sifat-sifat EEGnya. Sedangkan sedative
berfungsi untuk menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan dannmenenangkan
penggunanya (Tjay, 2007).
Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf
pusat (SSP). Efeknya bergantung kepada dosis, mulai dari yang ringan yaitu
menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya
kesadaran, keadaan anestesi, koma, dan mati. Pada dosis terapi, obat sedatif
menekan aktivitas mental, menurunkan respons terhadap rangsangan emosi
sehingga menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah
tidur yang menyerupai tidur fisiologis (Wiria, 2009).
Mekanisme kerja hipnotik-sedative yaitu pengikatan GABA
kereseptornya. Pada membran sel akan membuka saluran klorida, meninkat
kanefek konduksi klorida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan
hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup
danmeniadakan pembentukan kerja potensial (Tjay, 2007).
Neurotransmiternya yaitu GABA, dan reseptornya adalah
GABAA,GABAB, GABAC. Neurotransmitter adalah suatu penghantaran impuls
yang menyebabkan mediator kimia. Adapun Neurotransmitter SSP antara lain
(Mycek, 2013) :
1. Glutomat, dimana neurotransmitter ini terdapat dalam konsentrasi tinggi
diotak maupun sum-sum tulang belakag dibangdingkaan neurotransmitter
lainnya.
2. GAMA (Gamma Amine Butyric Acid) merupakan neurotransmitter
penghambat utama dibagian otak, sedangkan glisin
merupakanneurotransmitter penghambat di sum-sum tulang belakang. Selain
itu,GABA juga merupakan reseptor transmembran metabopropik baik di SSP
ataupun SS perifer.
3. Dopamine mempunyai peran penting dalam otak dan terlibat dalam beberapa
penyakit otak misalnnya Parkinson, skizofrenia,. Dalam otak jumlah
dopamine relatif lebih sedikit dibanding norepinefrin.
4. Serotinin disebut juga dengan 5-hidroksitriptamin. Serotonin mengalami
metabolism melalui reaksi deaminase oksidatif dengan enzim MAO. Proses
penyimpanan, pelepasan dan pengambilan kembali serotonin adalah mirip
dengan norepinefrin.
5. Asetilkolin merupakan neurotransmitter penting dalam system syaraf, baik
SSP maupun SS perifer. Seperti halnya di SS perifer, di SSP juga terdapat
dua reseptor nikotinik.
6. Norepinefrin merupakan proses sintesis, penyimpanan dan pelepasannya
sama dengan di SS perifer. Bagian soma sel noradrenergic berasal dari pons
dan medulla, aksonnya mencabang dan berujung diberapa lokasi di kortik.
Locus cerules merupakan bagian dari pons, tempat dimana norepinefrin
banyak dihasilkan dalam otak, dan berperan dalam kesadaran dan aktivitas
eksploratif.
7. Histamin di otak sangat kecil dibanding di jaringan dan pelepasannya diotak
mengikuti siklus sirkardian. Syaraf ini kolinergik akan aktif di sianghari,
sedangkan potensial aksinya berkurang pada malam ini.
Penggolongan obat hipnotik sedative terbagi menjadi golongan
benzodiazepine seperti alprazolam, klorazolam, diazepam, lorazepam,triazolam,
golongan antagonis benzodiazepine seperti flumazenil, golonganobat barbiturate
seperti fenobarbital, pentobarbital, thiopental, golongan obatsedative non
barbiturate seperti etanol, antihistamin, klorathidrat, dan golonganobat ansiolitik
lain seperti buspiron dan hidroksizin (Mycek, 2013).
Adapun mekanisme kerja dari tiap golongan obat hipnotik sedatif sebagai
berikut (Champe, 2013) :
1. Benzodiazepine
Target kerja benzodiazepine adalah reseptor asam (ɣ-aminobutiryc
acid/GABAA). Reseptor – reseptor ini terutama tersusun oleh sub unit α, β, dan ɣ
yang merupakan kombinasi utama atau lebih rentangan membran pascasinaps.
Bergantung pada tipe, jumlah sub unit dan lokalisasi regio otak, pengaktifan
reseptor menyebabkan perbedaan efek farmakokinetik. Benzodiazepine
memodulasi efek GABA melalui ikatan dengan tempat yang berafinitas tinggi dan
spesifik pada lokasi pertemuan antara sub unit α dan ɣ2. Lokasi reseptor
benzodiazepine pada SSP paralel dengan neuron GABA.
2. Antagonis benzodiazepine
Flumazem berkhasiat mengadakan efek sentral dari benzodiazepine
dengan jalan mendesaknya secara bersebrangan reseptornya ditolak dan bersifat
antagonis terhadap daya kerja obat-obatan yang menstimulasi transmisi impuls
GABAergvia reseptor benzodiazepine.
3. Obat-obatan anxiolitik lainnya
Buspirone yang tampaknya bekerja diperankan reseptor serotonin S-HTA
meskipun reseptor lain dapat juga terlihat karena buspiroe menunjukkan beberapa
afinitas terhadap reseptor dopamin DA, dan reseptor serotonin S-HTA.
4. Barbiturat
Kerja hipnotik sedatif barbiturat dapat muncul akibat interaksinya dengan
reseptor GABA, yang merangsang transmisi GABAergik. Ikatan dengan siklus
pengikatnya berbeda dengan benzodiazepin. Barbiturat memotensiasi kerja
GABA aliran masuk klorida yang menuju neuron dengan memperpanjang durasi
pembukaan kanal klorida. Selain itu, barbiturat dapat menghambat reseptor
glutamat eksitatorik.
5. Obat hipnotik lainnya
Ramelteon, aginis selektif pada reseptor melatonin subtipe MT dan MT₂.
Rangsangan reseptor MT₁ dan MT₂ oleh melatonin pada nukleus surakiamas
(SCN) mampu menginduksi dan menciptakan tidur.
III. Alat dan Bahan
Alat Bahan
1. Alat suntik 1 mL 1. Diazepam
2. Bulu sikat 2. Kafein
3. Pinset 3. Ketamin
4. Sonde oral 4. Larutan CMC-Na
5. Tali
6. Timbangan mencit

IV. Prosedur
4.1 Pengamatan aktivitas stimulasi SSP dari kafein
Hewan percobaan ditimbang terlebih dahulu untuk dilakukan konversi
dosis. Selanjutnya dilakukan perhitungan dosis untuk diberikan kepada hewan
percobaan, kemudian ekor atau punggung mencit diberi tanda dan dilakukan
pengamatan terhadap mencit sebelum diberikan sediaan. Pengamatan dilakukan di
menit ke 0, 15, 60 dst, parameter-parameter perilaku mencit di atas platform yaitu
sebagai berikut:
Tabel 4.1 Parameter-parameter perilaku mencit di atas platform
Efek yang diamati Kelompok Perlakuan
Platform (menjengukkan kepala ke bawah)
Normal (%)
Sikap tubuh Tidak
Normal (%)
Naik (%)
Normal (%)
Aktivitas Motorik
Turun (%)
Diam (%)
Straub (%)
Piloereksi (%)
Ptosis (%)
Lakrimasi (%)
Grooming (%)
Defekasi (%)
Urinasi (%)
Salivasi (%)
Vokalisasi (%)
Tremor (%)
Kejang (%)
Writhing (%)
Cepat (%)
Pernapasan Normal (%)
Sesak (%)
Menggelantung (%)
Retablishmen (%)
Fleksi (%)
Hafner (%)
Refleks pineal (%)
Refleks kornea (%)
Righting refleks (%)
Setelah dilakukan pengamatan, mencit diberikan sediaan uji kontrol
(CMC-Na) secara oral dan diamati perilaku mencit seperti mencit normal dan
dicatat hasil data pengamatan tersebut. Kemudian mencit diberikan sediaan uji
(kafein) secara oral dan diamati kembali perilaku mencit lalu dicatat hasil data
pengamatan tersebut.
4.2 Depresan Sistem Saraf Pusat
Hewan percobaan ditimbang terlebih dahulu untuk dilakukan konversi
dosis. Selanjutnya dilakukan perhitungan dosis untuk diberikan kepada hewan
percobaan, kemudian ekor atau punggung mencit diberi tanda dan dilakukan
pengamatan terhadap mencit sebelum diberikan sediaan. Pengamatan dilakukan di
menit ke 0, 15, 60 dst, parameter-parameter perilaku mencit di atas platform
diamati dengan data sesuai pada tabel 4.1.
Setelah dilakukan pengamatan, mencit diberikan sediaan uji kontrol
(CMC-Na) secara oral dan diamati perilaku mencit seperti mencit normal dan
dicatat hasil data pengamatan tersebut. Kemudian mencit diberikan sediaan uji
(diazepam) secara oral dan diamati kembali perilaku mencit lalu dicatat hasil data
pengamatan tersebut.
4.3 Anestetika Umum
Hewan percobaan ditimbang terlebih dahulu untuk dilakukan konversi
dosis. Selanjutnya dilakukan perhitungan dosis untuk diberikan kepada hewan
percobaan, kemudian ekor atau punggung mencit diberi tanda dan dilakukan
pengamatan terhadap mencit sebelum diberikan sediaan. Pengamatan dilakukan di
menit ke 0, 15, 60 dst, parameter-parameter perilaku mencit di atas platform
diamati dengan data sesuai pada tabel 4.1.
Setelah dilakukan pengamatan, mencit diberikan sediaan uji kontrol
(CMC-Na) secara injeksi intraperitoneal dan diamati perilaku mencit seperti
mencit normal dan dicatat hasil data pengamatan tersebut. Kemudian mencit
diberikan sediaan uji (ketamin) secara injeksi intraperitoneal dan diamati kembali
perilaku mencit lalu dicatat hasil data pengamatan tersebut.

V. Data Pengamatan
Konversi dosis
Kafein : 80 mg (kekuatan sediaan 0,32 mg/mL)
Diazepam : 10 mg (kekuatan sediaan 0,26 mg/mL)
Ketamin : 50 mg (kekuatan sediaan 10 mg/mL)
CMC Na : 0,5 mL / 20 gram
Bobot Mencit
Mencit kontrol : 26 gram
Mencit kafein : 26 gram
Mencit diazepam : 27 gram
Mencit ketamin : 27 gram
Perhitungan konversi dosis kafein
 Dosis obat untuk mencit
Dosis obat x faktor konversi
80 mg x 0,0026 = 0,208 / 20 gram BB mencit
 Untuk mencit 26 gram
0,208 𝑚𝑔 𝑥
=
20 𝑔𝑟𝑎𝑚 26 𝑔𝑟𝑎𝑚

x = 0,2704 mg
 Volume pemberian obat
Dosis konversi x konsentrasi sediaan
0,2704 𝑚𝑔 0,32 𝑚𝑔
=
𝑥 1 𝑚𝐿

x = 0,854 mL
Perhitungan konversi dosis diazepam
 Dosis obat untuk mencit
Dosis obat x faktor konversi
10 mg x 0,0026 = 0,026 / 20 gram BB mencit
 Untuk mencit 27 gram
0,026 𝑚𝑔 𝑥
=
20 𝑔𝑟𝑎𝑚 27 𝑔𝑟𝑎𝑚

x = 0,0351 mg
 Volume pemberian obat
Dosis konversi x konsentrasi sediaan
0,0351 𝑚𝑔 0,26 𝑚𝑔
=
𝑥 1 𝑚𝐿

x = 0,135 mL
Perhitungan konversi dosis ketamin
 Dosis obat untuk mencit
Dosis obat x faktor konversi
50 mg x 0,0026 = 0,13 / 20 gram BB mencit
 Untuk mencit 27 gram
0,13 𝑚𝑔 𝑥
=
20 𝑔𝑟𝑎𝑚 27 𝑔𝑟𝑎𝑚
x = 0,1755 mg
 Volume pemberian obat
Dosis konversi x konsentrasi sediaan
0,1755 𝑚𝑔 10 𝑚𝑔
=
𝑥 1 𝑚𝐿

x = 0,01755 mL
Perhitungan konversi dosis ketamin
 Volume pemberian obat
0,5 𝑚𝐿 𝑥
=
20 𝑔𝑟𝑎𝑚 26 𝑔𝑟𝑎𝑚

x = 0,65 mL
PENGAMATAN AKTIVITAS STIMULASI SSP DARI KAFEIN
Mencit Kontrol (CMC-Na)
Parameter – Parameter Perilaku Mencit di Atas Platform
Pengamatan Mencit Normal Waktu (menit)
Efek yang Diamati 0 15 30 45 60
Jengukan kepala ke Jumlah 5 5 4 3 3
bawah
Normal     
Sikap Tubuh
Tidak Normal
Aktivitas Motorik Jumlah 2 3 2 2 1
Straub ** - - - - -
Piloreksi ** - - - - -
Ptosis * - - - - -
Lakrimasi ** - - - - -
Grooming * ++ + - - -
Defekasi * + - - + -
Urinasi * - + + - -
Salivasi * - - - - -
Vokalisasi ** - - - - -
Tremor * - - - - -
Kejang * - - - - -
Writhing * - - - - -
Cepat
Pernafasan Normal     
Sesak
Menggelantung * +++ +++ +++ +++ +++
Retablishmen * +++ +++ +++ +++ +++
Fleksi * +++ +++ +++ +++ +++
Hafner * +++ +++ +++ +++ +++
Refleks Pineal * +++ +++ +++ +++ +++
Refleks Kornea * +++ +++ +++ +++ +++
Righting Refleks * +++ +++ +++ +++ +++

*Keterangan **Keterangan
(-) tidak ada (-) tidak ada
(+) sangat lemah (+) ada
(++) lemah
(+++) kuat
(++++) sangat kuat
PENGAMATAN AKTIVITAS STIMULASI SSP DARI KAFEIN
Mencit Kafein
Parameter – Parameter Perilaku Mencit di Atas Platform
Pengamatan Mencit Normal Waktu (menit)
Efek yang Diamati 0 15 30 45 60
Jengukan kepala ke Jumlah 5 8 10 12 7
bawah
Normal     
Sikap Tubuh
Tidak Normal
Aktivitas Motorik Jumlah 3 6 9 6 4
Straub ** - - - - -
Piloreksi ** - - - - -
Ptosis * - - - - -
Lakrimasi ** - - - - -
Grooming * + ++ - - +
Defekasi * - + - - -
Urinasi * - +++ +++ ++ -
Salivasi * - - - - -
Vokalisasi ** - - - - -
Tremor * - - - - -
Kejang * - - - - -
Writhing * - - - - -
Cepat   
Pernafasan Normal  
Sesak
Menggelantung * +++ +++ +++ +++ +++
+ + +
Retablishmen * +++ +++ +++ +++ +++
+ + +
Fleksi * +++ +++ +++ +++ +++
Hafner * ++ ++ ++ ++ ++
Refleks Pineal * +++ +++ +++ +++ +++
Refleks Kornea * +++ +++ +++ +++ +++
Righting Refleks * +++ +++ +++ +++ +++
+ + +

*Keterangan **Keterangan
(-) tidak ada (-) tidak ada
(+) sangat lemah (+) ada
(++) lemah
(+++) kuat
(++++) sangat kuat
PENGAMATAN AKTIVITAS STIMULASI SSP DARI DIAZEPAM
Mencit Kontrol (CMC-Na)
Parameter – Parameter Perilaku Mencit di Atas Platform
Pengamatan Mencit Normal Waktu (menit)
Efek yang Diamati 0 15 30 45 60
Jengukan kepala ke Jumlah 5 5 4 3 3
bawah
Normal     
Sikap Tubuh
Tidak Normal
Aktivitas Motorik Jumlah 2 3 2 2 1
Straub ** - - - - -
Piloreksi ** - - - - -
Ptosis * - - - - -
Lakrimasi ** - - - - -
Grooming * ++ + - - -
Defekasi * + - - + -
Urinasi * - + + - -
Salivasi * - - - - -
Vokalisasi ** - - - - -
Tremor * - - - - -
Kejang * - - - - -
Writhing * - - - - -
Cepat
Pernafasan Normal     
Sesak
Menggelantung * +++ +++ +++ +++ +++
Retablishmen * +++ +++ +++ +++ +++
Fleksi * +++ +++ +++ +++ +++
Hafner * +++ +++ +++ +++ +++
Refleks Pineal * +++ +++ +++ +++ +++
Refleks Kornea * +++ +++ +++ +++ +++
Righting Refleks * +++ +++ +++ +++ +++

*Keterangan **Keterangan
(-) tidak ada (-) tidak ada
(+) sangat lemah (+) ada
(++) lemah
(+++) kuat
(++++) sangat kuat
PENGAMATAN AKTIVITAS STIMULASI SSP DARI DIAZEPAM
Mencit Diazepam
Parameter – Parameter Perilaku Mencit di Atas Platform
Pengamatan Mencit Normal Waktu (menit)
Efek yang Diamati 0 15 30 45 60
Jengukan kepala ke Jumlah 4 - - - 2
bawah
Normal   
Sikap Tubuh
Tidak Normal  
Aktivitas Motorik Jumlah 5 - - 2 2
Straub ** - - - - -
Piloreksi ** - - - - -
Ptosis * - +++ +++ - -
Lakrimasi ** - - - - -
Grooming * ++ - - + -
Defekasi * ++ - - - -
Urinasi * - - - - -
Salivasi * - - - - -
Vokalisasi ** - - - - -
Tremor * - - - - -
Kejang * - - - - -
Writhing * - - - - -
Cepat
Pernafasan Normal     
Sesak
Menggelantung * +++ + + ++ +++
Retablishmen * +++ + + ++ +++
Fleksi * +++ + + ++ +++
Hafner * +++ + + ++ +++
Refleks Pineal * +++ + + ++ +++
Refleks Kornea * +++ + + ++ +++
Righting Refleks * +++ + + ++ +++

*Keterangan **Keterangan
(-) tidak ada (-) tidak ada
(+) sangat lemah (+) ada
(++) lemah
(+++) kuat
(++++) sangat kuat
PENGAMATAN AKTIVITAS STIMULASI SSP DARI KETAMIN
Mencit Kontrol (CMC-Na)
Parameter – Parameter Perilaku Mencit di Atas Platform
Pengamatan Mencit Normal Waktu (menit)
Efek yang Diamati 0 15 30 45 60
Jengukan kepala ke Jumlah 5 5 4 3 3
bawah
Normal     
Sikap Tubuh
Tidak Normal
Aktivitas Motorik Jumlah 2 3 2 2 1
Straub ** - - - - -
Piloreksi ** - - - - -
Ptosis * - - - - -
Lakrimasi ** - - - - -
Grooming * ++ + - - -
Defekasi * + - - + -
Urinasi * - + + - -
Salivasi * - - - - -
Vokalisasi ** - - - - -
Tremor * - - - - -
Kejang * - - - - -
Writhing * - - - - -
Cepat
Pernafasan Normal     
Sesak
Menggelantung * +++ +++ +++ +++ +++
Retablishmen * +++ +++ +++ +++ +++
Fleksi * +++ +++ +++ +++ +++
Hafner * +++ +++ +++ +++ +++
Refleks Pineal * +++ +++ +++ +++ +++
Refleks Kornea * +++ +++ +++ +++ +++
Righting Refleks * +++ +++ +++ +++ +++

*Keterangan **Keterangan
(-) tidak ada (-) tidak ada
(+) sangat lemah (+) ada
(++) lemah
(+++) kuat
(++++) sangat kuat
PENGAMATAN AKTIVITAS STIMULASI SSP DARI KETAMIN
Mencit Ketamin
Parameter – Parameter Perilaku Mencit di Atas Platform
Pengamatan Mencit Normal Waktu (menit)
Efek yang Diamati 0 15 30 45 60
Jengukan kepala ke Jumlah 6 - - - -
bawah
Normal  
Sikap Tubuh
Tidak Normal   
Aktivitas Motorik Jumlah 5 - - - 1
Straub ** - - - - -
Piloreksi ** - - - - -
Ptosis * - +++ +++ ++ -
Lakrimasi ** - - - - -
Grooming * + - - - -
Defekasi * + - - - -
Urinasi * + - - - -
Salivasi * - - - - -
Vokalisasi ** - - - - -
Tremor * - - - - -
Kejang * - - - - -
Writhing * - - - - -
Cepat
Pernafasan Normal     
Sesak
Menggelantung * +++ - - - -
Retablishmen * +++ - - - -
Fleksi * +++ - - - +
Hafner * +++ - - - +
Refleks Pineal * +++ - - - +
Refleks Kornea * +++ - - - +
Righting Refleks * +++ - - - +

*Keterangan **Keterangan
(-) tidak ada (-) tidak ada
(+) sangat lemah (+) ada
(++) lemah
(+++) kuat
(++++) sangat kuat
VI. Pembahasan
Pada percobaan kali ini dilakukan pengujian aktivitas stimulan SSP,
depresan SSP dan anestetika umum. Dengan tujuan dapat menjelaskan mekanisme
kerja dan menjelaskan perbededaan mekanisme kerja antar berbagai golongan
stimulan SSP, depresan SSP, dan anestetika umum. Pengujian aktivitas dilakukan
pengamatan perilaku hewan uji yang diberikan stimulan SSP menggunakan
Kafein; depresan SSP menggunakan Diazepam; dan anestetika umum
menggunakan Ketamin. Kemudian dibandingkan terhadap hewan uji kontrol yang
tidak diberikan obat.
Kafein memiliki efek farmakologis sebagai stimulan sistem saraf pusat dan
metabolisme, baik digunakan sebagai pengobatan untuk mengurangi kelelahan
fisik, dan juga dapat meningkatkan kewaspadaan (Wilantari et.al., 2018).
Diazepam merupakan salah satu golongan senyawa benzodiazepin yang memberi
efek sedatif yang kuat kuat terhadap sistem saraf otonom perifer sehingga
menghasilkan efek penenang (Katzung, 2002). Ketamin adalah salah satu derivat
dari Phenycyclidine yang digunakan sebagia obat monoanestetik, dimana dapat
menghasilkan efek analgesi, immobilisasi, amnesia, dan hilangnya kesadaran
(Andila, 2014).
Pada percobaan ini, dilihat bagaimana suatu obat bekerja pada sistem saraf
pusat serta diamati durasi zat-zat yang diberikan kepada hewan uji yaitu mencit
putih. Menurut Mangkoewidjojo (1998), pemilihan hewan uji mencit karena
hewan yang digunakan haruslah memiliki kesamaan struktur dan sistem organ
manusia, harus memperhatikan variasi biologik (usia, jenis kelamin) ras, sifat
genetik, status kesehatan, nutrisi, bobot dan luas permukaan tubuh, serta keadaan
lingkungan fisiologis, memiliki komponen darah yang dapat mewakili mamalia
lainnya khususnya manusia dan mencit mempunyai organ terlengkap sebagai
hewan mamalia. Mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan dalam
penelitian laboratorium sebagai hewan percobaan, yaitu sekitar 40% sampai 80%
(Aditya, 2006).
Mencit Kontrol
Dilakukan pengujian terhadap mencit yang akan diberikan sebuah control
menggunakan senyawa CMC-Na. sebelum dilakukan pengujian, hewan uji
ditimbang terlebih dahulu bobot badannya. Pada perhitungan konversi dosis
mencit diperoleh bobot badan sebesar 26 gr disuntikkan volume pemberian CMC-
Na sebanyak 0,65 mL. CMC-Na diberikan secara oral dengan menggunakan
sonde oral, dimana posisi kepala mencit lebih rendah dibandingkan dengan
abdomennya dan pemberiannya harus diberikan dengan hati-hati. Agar obat yang
diberikan dapat masuk ke kerongkongan dan tidak masuk ke tenggorokan yang
akan menju ke saluran pernafasan. Setelah diberikan CMC-Na, selanjutnya
diamati perilaku tubuh. Hasil yang didapat setelah pengamatan hingga 1 jam (60
menit), pemberian CMC Na ditujukan untuk mengamati banyaknya hewan uji
menggeliat akibat kesakitan karena rangsangan kimia, dan hasilnya antara hewan
uji yang diberi CMC Na dan tidak diberi CMC Na tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Perilaku mencit menunjukkan parameter yang normal dari sikap tubuh,
pernafasan, aktivitas motoric, dan gerak refleks. Digunakan CMC Na bertujuan
agar cairannya mirip dengan cairan tubuh mencit.
Selanjutnya, pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan aktifitas
stimulasi SSP dari kafein, depresan sistem saraf pusat menggunakan obat
diazepam dan anestetika umum menggunakan obat ketamin.
6.1 Pengamatan aktivitas stimulasi SSP dari kafein
Percobaan kali ini adalah membahas tentang bagaimana efek obat stimulan
yang ditimbulkan pada mencit dan gejala konvulsi yang ditimbulkan setelah
pemberian obat. Pada pengamatan aktivitas stimulan SSP menggunakan kafein
dan kontrol dengan menggunakan CMC-Na. Pengamatan aktivitas stimulan SSP
bertujuan untuk mengetahui efek dan gejala konvulasi yang ditimbulkan setelah
pemberian suatu stimulansia SSP terhadap hewan coba mencit. Tujuan
digunakannya kafein karena kafein dapat merangsang SSP, menimbulkan diuresis,
merangsang otot jantung dan merelaksasi otot polos (terutama bronkus).
Sebelum dilakukan pengamatan, sebaiknya dilakukan penimbangan bobot
badan mencit terlebih dahulu untuk dilakukan konversi dosis. Pada perhitungan
yang dilakukan, mencit dengan bobot badan sebesar 26 gr disuntikkan volume
pemberian kaffein sebanyak 0,845 mL. Setelah ditimbang ekor dan punggung
mencit diberi tanda. Sebelum dilakukan pemberian obat, mencit yang dilakukan
pengujian sebaiknya diamati terlebih dahulu pada waktu onset dan durasi di menit
0, 15, 60 dst meliputi jengukan kepala ke bawah, sikap tubuh, aktivitas motorik,
dan gejala lainnya sesuai dengan tabel yang telah dicantumkan. Pada 15 menit
pertama belum terlihat efek yang ditimbulkan dari kafein, hal ini bisa dilihat dari
data pengamatan menit ke 0 yang menunjukkan jengukan kepala ke bawah
sebanyak 5 kali dan aktivitas motorik berjumlah 3 dengan sikap tubuh dan
pernafasan mencit dalam keadaan normal. Namun mencit mengalami peningkatan
mobilitas pada menit ke 15 setelahnya, yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan jengukan kepala ke bawah sebanyak 8 kali, frekuensi pernafasan
cepat, aktivitas motorik seperti grooming (menggaruk-garuk badannya), urinasi,
menggelantung, retablishment, dan righting refleks. Kemudian pada menit ke 60,
frekuensi pernafasan kembali normal, dan aktivitas motoric pun kembali normal
yang menunjukkan efek kafein mulai menghilang. Berdasarkan data tersebut
dapat disimpulkan bahwa onset kafein terjadi pada t15 dan durasinya yaitu dari t15-
t45. Artinya, Kafein mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah mencit
membutuhkan waktu kurang lebih selama 30 menit. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Winata, 2016), yang menyatakan kafein dalam
darah mencapai konsentrasi tertinggi dalam waktu 30-60 menit dan akan
menyebar ke seluruh tubuh menembus blood brain barrier ke otak setelahnya.
Dari hasil praktikum yang didapatkan dilihat dari manifestasi yang terjadi
yang dapat diamati pada hewan uji antara lain peningkatan aktivitas motorik dan
rasa ingin tahu, serta tingkat agresivitas. Hasilnya menunjukkan setelah pemberian
kafein pada mencit diperoleh aktivitas mencit meningkat. Neurotranmitter yang
bekerja pada stimulasi SSP yaitu NT perangsangan yang bekerja menurunkan
potensial membran neuron pasca sinaptik sehingga suatu impuls baru dapat
memprofokasi kuat terjadinya peningkatan neurotransmitter perangsangan. Dan
menstimulasi keluarnya norefinefrin dan dapat menghambat katabolisme NT
tersebut. Dua fenomena tersebut akan meningkatkan kadar neurotransmitter
norefinefrin, akibatnya terjadi peningkatan penghantaran impuls elektrik pada
neuron-neuron di SSP.
Didukung dengan penyataan menurut Tjay dan Rahardja (2007), kafein
sebagai senyawa yang dapat menstimulasi sistem saraf pusat. Senyawa ini akan
memacu sistem saraf pusat dan otot jantung sehingga terjadinya kenaikan
kecepatan metabolisme, kenaikan aktifitas mental mengurangi rasa kantuk dan
lelah. Menurut Mutschler (1999), kafein juga dapat menghambat enzim
fosfodisterase sehingga ATP tidak dapat diubah menjadi AMP sehingga cAMP
dapat menstimulasi enzim fosforilase kinase dengan merubah fosforilase inaktif
menjadi aktif, dimana fosforilase aktif ini yang menstimulasi glikogen untuk
diubah menjadi glukosa. Glikogen dalam otot berperan sebagai cadangan glukosa
yang digunakan dalam sel otot selama kontraksi yang akan menambah energi
selama kontraksi, inilah yang menyebabkan mengapa mencit uji menjadi lincah
tanpa merasakan efek lelah.
6.2 Depresan Sistem Saraf Pusat
Pada pengamatan aktivitas depresan SSP dari diazepam. Obat depresan
sistem saraf pusat adalah obat yang dapat mendepres atau menurunkan aktivitas
SSP. Obat ini bekerja menekan pusat kesadaran, rasa nyeri, denyut jantung dan
pernafasan. Pada pengamatan aktivitas depresan sistem saraf pusat yang bertujuan
untuk mengetahui efek dan gejala konvulasi yang ditimbulkan setelah pemberian
suatu depresan SSP terhadap hewan coba mencit. Obat yang digunakan adalah
diazepam dengan rute pemberian secara oral. Diazepam menghambat pelepasan
asetilkolin dalam synaptosomes hippocampus tikus. Diazepam berikatan dengan
afinitas tinggi untuk sel-sel glial dalam kultur sel hewan. Dan diazepam juga
menurunkan prolaktin rilis di tikus. Diazepam merupakan golongan dari
benzodiazepine yang mengikat ke subunit tertentu pada GABA. Reseptor adalah
saluran inhibisi yang ketika diaktifkan, menurun aktivitas neuronal.
Diazepam merupakan golongan benzodiazepine yang mekanisme kerjanya
meningkatkan ikatan antara Gamma Aminobutyric Acid (GABA) dengan reseptor
GABAA, dan peningkatan konduktansi ion klorida yang dipicu dari GABA dan
resptor GABAA (Eugen, 2009; Katzung et al., 2007). Diazepam bergabung
dengan reseptor stereospesifik Benzodiazepine di Neuron Post-GABA di beberapa
bagian di SSP. Diazepam meningkatkan efektivitas penghambatan GABA untuk
menghasilkan stimulus dengan meningkatkan permeabilitas membran terhadap
ion klorida. Perubahan ini menyebabkan ion klorida berada dalam keadaan
hiperpolarisasi (kurang aktif/kurang menstimulus) dan stabil (Saraswati et. al.,
2009). GABA merupakan neurotransmitter penginhibisi utama pada SSP.
Benzodiazepin meningkatkan efek penghambatan sinapsis GABAergik.
Benzodiazepin tidak menggantikan GABA, tetapi meningkatkan efek alosterik
GABA tanpa secara langsung mengaktifkan reseptor GABA atau membuka
saluran klorida terkait (Katzung et al., 2007).
Sebelum dilakukan pengujian, hewan uji ditimbang terlebih dahulu bobot
badannya, diperoleh bobot badan mencit sebesar 27 gr dengan volume pemberian
obat diazepam sebesar 0,135 mL. Berdasarkan hasil pengamatan, terjadi
perbedaan antara mencit yang diberikan CMC-Na (kontrol) dengan diazepam.
Pada mencit yang diberikan diazepam, di menit ke 0 mencit mengalami jengukan
kepala ke bawah sebanyak 4 kali dan aktivitas motoric berjumlah 5 dengan
kondisi lemah pada grooming dan defekasi. Di menit 15 hingga hingga 30, mencit
mengalami peningkatan salah satu parameter yaitu ptosis dan kondisi sangat
lemah pada saat menggelantung, retablishmen, fleksi, hafner, refleks pineal,
refleks kornea, dan righting refleks. Ptosis adalah parameter yang diamati pada
kelopak mata atas yang jatuh ke bawah secara tidak normal atau kendur (seperti
mengantuk). Di menit 45, terjadi kondisi sedikit normal. Kemudian pada menit ke
60, mencit mulai kembali pada keadaan normal. Hal ini menunjukkan bahwa efek
terapi dari diazepam mulai menghilang. Hal ini sesuai dengan literatur dari
Lullmann (2000) bahwa, dengan pemberian depresan dapat menurunkan aktivitas,
mengurangi ketegangan, dan menenangkan penggunanya. Berdasarkan data ini
dapat disimpulkan bahwa onset diazepam terjadi pada t15-t30.
Dari hasil praktikum yang didapatkan dilihat dari manifestasi yang terjadi
yang dapat diamati pada hewan uji antara lain meliputi penurunan aktivitas
motoric dan rasa ingin tahu, serta timbul efek sedasi bahkan hipnotik. Hasilnya
menunjukkan setelah pemberian diazepam, neurotransmitter yang bekerja pada
depresan SSP yaitu NT penghambatan yang bekerja menghambat penghantaran
impuls pada sinaps. Karena obat-obat depresan sistem saraf pusat terlibat dalam
pelepasan NT penghambatan dan berperan dalam meningkatkan pelepasan
GABA. GABA menghambat penghantaran impuls pada sinaps di SSP. Pada
mencit dilakukan pemberian dosis diazepam secara oral diperoleh aktivitas mencit
menurun. Dengan rute pemberian obat secara oral mengalami efek dari obat yang
diberikan lebih lama karena mengalami absorbsi pada lambung tidak secara
lansung tersebar pada pembuluh darah.
6.3 Anestetika Umum
Pada percobaan pengamatan aktivitas anestetika umum dari ketamin. Obat
anestetika umum sistem saraf pusat adalah obat yang dapat mendepres atau
menurunkan aktivitas SSP serta dapat menghilangkan kesadaran umum.
Mekanisme kerja anestetika umum pada target menyebabkan gangguan fungsi
sistem saraf pada neuron sensori perifer, spinal cordata, brainstem, dan konteks
cerebral dan menghambat aktivitas elektrik di SSP. Mekanisme seluler anestetika
umum menyebabkan hiperpolarisasi neuron, mengganggu transmisi sinaptik,
menghambat eksitasi sinaps dan menimbulkan inhibisi sinaps, dan menghambat
pelepasan neurotransmitter eksitatori. Mekanisme molekular anestetika umum
menyebabkan Ligand-gated Ion Channel merupakan target kerja anestesi, reseptor
GABA yang berada pada gerbang saluran klorida sensitif terhadap anastetika
sehingga menyebabkan neurotransmitter inhibitori dan menekan aktivitas saraf.
Obat ketamin bekerja menekan pusat kesadaran, rasa nyeri, denyut jantung
dan pernafasan. Anastesi umum adalah cara anestesi, dimana rasa sakit hilang
disertai degan hilangnya kesadaran. Anestesi digunakan untuk pembedahan
dengan maksud mencapai keadaan pingsan, merintangi rangsangan nyeri
(analgesia), memblokir reaksi refleks terhadap manipulasi pembedahan serta
menimbulkan pelepasan otot (relaksasi). Anestesi ini terdiri atas injeksi, dimana
obat yang disuntikan (diinjeksikan) ke dalam tubuh dan masuk ke dalam
peredaran darah yang menyebabkan terjadinya peningkatan pembuluh darah,
sehingga obat tersebut menghambat masuknya ion Na+ dan menghambat
keluarnya ion K+. Mekanisme kerja anestesi umum ada 3 yaitu: mempengaruhi
kerja GABA. Terdapat enzim NMDH (n-metil-d-aspartat) yang merupakan
reseptor dari glutamate yang dapat membuka kanal Na+. Apabila ion Na+ yang
bermuatan positif (+) masuk kedalam intrasel yang sebagian besar bermuatan
positif (+), maka akan menyebabkan K+ yang berada pada intrasel keluar dan
terjadi depolarisasi. Dengan adanya penghambatan terhadap ion Na+, maka tidak
terjadi adanya penghantaran impuls ke saraf pusat. Dan menghambat keluarnya
ion K+. Di dalam intrasel sebagian besar bermuatan positif (+). Apabila ion Na+
masuk ke dalam intrasel menyebabkan K+ keluar dan akan mengganti muatan
positif yang berada di intrasel menjadi bermuatan negatif (-). Hal ini
mengakibatkan terjadinya penghantaran impuls ke saraf pusat. Oleh karena itu ion
K+ dihambat agar tidak keluar dari intrasel.
Pada praktikum yang didapatkan dari anestetik umum saraf pusat yang
bertujuan untuk mengetahui efek dan gejala konvulasi yang ditimbulkan setelah
pemberian suatu anestesi umum SSP terhadap hewan coba mencit. Sebelum
dilakukan pengujian, hewan uji ditimbang terlebih dahulu bobot badannya,
diperoleh bobot badan mencit sebesar 27 gr dengan volume pemberian obat
ketamin sebesar 0,01755 mL. setelah diberikan ketamin, terjadi penurunan
kesadaran pada mencit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas hewan
coba memberikan respon yang sedikit kurang normal. Ketamin memberikan efek
seperti memberikan respon yang kurang normal. Ketamin memberikan efek
seperti mempunyai aktivitas simpatomimetik tidak lansung, menginduksi dilatasi
(pupil, salivasi, lakrimasi, pergerakan tungkai, dan peningkatan tonus otot),
meningkatkan aliran darah cerebral, meningkatkan tekanan intraocular,
meningkatkan tekanan darah, heart rate, dan cardiac output (karena menghambat
reuptake katekolamin), paling ringan dalam efek depresi pernafasan, merupakan
bronkodilator yang potent karena efek simpatomimetik, cocok bagi pasien yang
beresiko bronkospasmus. Pemberian obat anestesi umum ketamin secara injeksi
pada hewan coba.
Berdasarkan hasil pengamatan, terjadi beberapa perbedaan antara mencit
yan diberikan CMC-Na (kontrol) dengan ketamin. Pada mencit yang diberi
ketamin, terjadi penurunan mobilitas bahkan sampai menghilangkan rasa, namun
tidak sampai hilang kesadaran. Pada saat petama kali diberikan ketamin,
parameter yang ditunjukkan oleh mencit masih normal, jengukan kepala ke bawah
berjumlah 6 kali, mengalami grooming, defekasi, dan urinasi. Tetapi selang 15
menit hingga menit ke 45, terjadi penurunan kesadaran pada mencit. Penurunan
kesadaran ditunjukan oleh tidak adanya aktivitas motorik, sikap tubuh yang tidak
normal, tidak adanya refleks ketika diberi sentuhan pada mata/telinga/ekor, dan
terjadinya ptosis. Hal ini menunjukan bahwa ketamin bekerja dengan baik karena
dapat memberikan efek yang ditandai dengan tidak berdayanya mencit akibat
diberikannya anestetika yang dapat menurunkan penghantaran impuls ke otak.
Pada menit ke-60, mencit kembali pada keadaan semula dengan sikap tubuh
kembali normal dengan adanya aktivitas motoric berjumlah 1 dan sangat
lemahnya fleksi, hafner, refleks pineal, refleks kornea, dan righting refleks. Hal
tersebut menandakan bahwa efek yang diberikan oleh ketamin telah berakhir.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa onset ketamin terjadi pada t15,
dan durasinya yaitu dari t15-t45.
Dari hasil praktikum yang didapatkan dilihat dari manifestasi yang terjadi
yang dapat diamati pada hewan uji antara lain meliputi penurunan aktivitas
motorik dan rasa ingin tahu, serta timbul efek sedasi bahkan hipnotik. Hasilnya
menunjukkan setelah pemberian ketamin pada mencit diperoleh aktivitas mencit
menurun. Neurotranmitter yang bekerja pada anestesi umum SSP yaitu NT
penghambatan yang bekerja menghambat penghantaran impuls pada sinaps.
Adapun pengaruh pada setiap rute pemberian obat kepada hewan uji,
memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, terutama pada proses absorpsi.
Absorpsi merupakan proses berpindahnya obat dari tempat pemberian ke dalam
pembuluh darah. Banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan dan besarnya
dosis yang diabsorpsi, salah satunya rute pemberian. Rute pemberian secara garis
besar terbagi menjadi rute oral dan parenteral. Pada rute oral, kecepatan dan
jumlah dosis obat dalam darah beragam sehingga efek dan onset obat juga
berbeda. Sedangkan rute parenteral, untuk intravena obat langsung masu ke dalam
darah sedangkan rute parenteral lain membutuhkan proses absorbsi sehingga onset
obat juga membutuhkan waktu (Stevani, 2016). Rute oral obat akan mengalami
proses absorpsi di saluran pencernaan, faktor suasana (pH) dan makanan yang
terdapat di sepanjang saluran pencernaan mempengaruhi efek yang diberikan.
Rute parenteral terbagi menjadi intra vena, intra muskular dan intra peritonial.
Rute inta vena obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga obat dapat
langsung didistribusikan ke seluruh tubuh, sehingga onset serta efek yang
dihasilkan cepat. Untuk rute intra muskular juga memerlukan proses absorpsi dari
otot ke pembuluh darah, namun tidak memerlukan waktu selama rute oral
sehingga onset dan efek yang dicapai pun lebih cepat dibandingkan rute oral.
Sedangkan intra peritonial, obat disuntukkan melalui tubuh bagian peritonial
sehingga membutuhkan waktu untuk absorsi.

VII. Kesimpulan
1. Dalam pengujian aktivitas stimulan SSP dan depresan SSP dilakukan secara
rute oral, sedangkan pada pengujian anestetika umum dilakukan secara injeksi
intraperitoneal. Sebelum dilakukan pengujian aktivitas tersebut pun perlu
dilakukan pengamatan parameter-paramater perilaku hewan percobaan,
sehingga dapat dilihat perbandingannya.
2. Perbedaan mekanisme kerja dari golongan stimulan SSP yaitu dengan
menghasilkan efek stimulan yang dapat meningkatkan aktivitas motorik, pada
golongan depresan SSP yaitu dengan menimbulkan efek sedatif, dimana akan
menimbulkan efek penurunan aktivitas motorik dan pada golongan anestetika
umum menyebabkan penurunan aktivitas motorik hingga efek ptosis pada
mencit.
DAFTAR PUSTAKA
Andila, L. F. (2014). Pengaruh Pemberian Ketamin Intravena Dosis Bertingkat
Terhadap Kadar Gula Darah Tikus Wistar. Semarang: Universitas
Diponegoro
Champe, P.C., dkk. (2013). Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: EGC.
Elysabeth & Zunilda, D. S. (2009). Farmakologi dan Terapi Edisi Ke-5. Jakarta:
Departemen Farmakologi Terapeutik Universitas Indonesia.
Eugen, Trianka. (2009). Benzodiazepines uses Primarily for Emergency
Treatment (Diazepam, Lorazepam and Midazolam). Innsbruck: Wiley
Blackwell.
Ganiswara, Silistia G. (2007). Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.
Hartanto, dkk. (2014). Biokimia Harpe Edisi 27 . Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Kadzung, Bartman dkk. (2013). Farmakologi Dasar dan Klinik . Jakarta: EGC.
Lullmann, H., Mohr, K., Ziegler, A., Bieger, D. (2000). Color Atlas of
Pharmacology 2nd Ed. New York: Thieme.
Mangkoewidjojo, S., Smith B. (1998). Pemeliharaan Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Mutschler, E. (1999). Dinamika Obat Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi.
Bandung: ITB.
Mycek, Mary J. (2013). Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika.
Samekto, Wibowo dan Abdul Gofir. (2001). Farmakoterapi dalam Neurologi.
Jakarta: Salemba Medika.
Saraswati, T. R., Indraswari, E. dan Nurani. (2009). Pengaruh Formalin,
Diazepam dan Minuman Beralkohol Terhadap Konsumsi Pakan, Minum
dan Bobot Tubuh Mus musculus. Jurnal Sains dan Matematika
Universitas Diponegoro, vol 17, 141-144.
Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Sloane Ethel. (2013). Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Stringer, J. L. (2006). Basic Concepts in Pharmacology. New York: McGraw.
Hill.
Sunardi. (2006). Unsur Kimia Deskripsi dan Pemanfaatannya. Bandung:
Yrama Widya.
Tjay, T., Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.
Wilantari, p. D., Putri N. R. A., Putra D. G. P., Nugraha, I. G. A. A. K,
Syawalistianah, Prawitasari, D. N. D., Samirana, P.O. (2018). Isolasi
Kafein dengan Metode Sublimasi dari Fraksi Etil Asetat Serbuk Daun Teh
Hitam (Camelia sinensis). Jurnal Farmasi Udayana, 7(2), 53-62.
Wiria, M. S. S. (2009). Farmakologi dan Terapi Edisi Ke-5. Jakarta: Departemen
Farmakologi Terapeutik Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai