Disusun oleh:
Shift/Kelompok: A/1
Infus adalah larutan dalam jumlah besar terhitung mulai dari 100 mL yang
diberikan melalui intravena tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok.
Asupan air dan elektrolit dapat terjadi melalui makanan dan minuman dan
dikeluarkan dalam jumlah relatif sama. Ketika terjadi gangguan hemostatif, maka
tubuh harus segera mendapatkan terapi untuk mengembalikan air dan elektrolit.
(Anief ,1991).
Dalam pembuatan infus atau cairan intravena dikemas dalam bentuk dosis
tunggal dalam wadah plastik atau gelas, steril, bebas pirogen serta bebas partikel-
partikel lain. Oleh karena volume yang besar, pengawet tidak pernah digunakan
dalam infus intravena biasanya mengandung zat-zat amino, dekstrosa, elektrolit dan
vitamin (Anief, 1991).
III. DATA PREFORMULASI ZAT AKTIF
3.1 Infus Ringer Laktat
3.1.1 Natrium Klorida (BM = 58,44)
Pemerian : Serbuk kristal berwarna putih atau kristal tidak
berwarna, tidak berbau, rasa asin
pH : 6,7 – 7,3
Titik leleh : 804oC
Titik didih : 1413oC
Kelarutan : Sedikit larut dalam etanol, larut dalam 250 bagian
etanol 95%, larut dalam 10 bagian gliserin, larut dalam
2,8 bagian air, dan larut dalam 2,6 bagian air pada suhu
100oC.
Stabilitas : Larutan NaCl dalam air stabil tetapi dapat
menyebabkan pemisahan partikel kaca dari wadah kaca
jenis tertentu. Larutan NaCl dalam air dapat disterilkan
dengan autoclave atau filtrasi.
Inkompatibilitas : Larutan NaCl dapat merusak besi. Dapat bereaksi
membentuk endapan dengan perak, timah, dan garam
merkuri. Agen perongoksidasi kuat membebaskan
klorin dari pengasaman larutan NaCl. Kelarutan
pengawet metil paraben berkurang dalam larutan NaCl.
Viskositas carbomer gels dan larutan hydroxyethyl
cellulose atau hydroxypropyl cellulose berkurang
dengan penambahan NaCl.
Kegunaan : Agen pengisotonis.
(Dirjen POM, 2020; Rowe, 2009)
3.1.2 Natrium Laktat
Pemerian : Cairan kental, tidak bewarna atau sedikit bewarna
kuning, higroskopis, tidak berbau atau sedikit berbau
dan terasa asin, sedikit seperti sirup.
pH :5–7
Titik lebur : 17 oC dengan dekomposisi pada 140 oC
Titik didih : 112 oC
Kelarutan : Larut dalam methanol 95% dan dalam air, kloroform
dan gliserol.praktis tidak larut dalam kloroform,eter
dan minyak.
Stabilitas : Mudah terbakar dan terurai saat pemanasan.
Inkompatibilitas : Inkompatibel dengan zat pengoksidasi, iodida dan
albumin. Bereaksi hebat dengan asam fluorida dan
asam nitrat.
Kegunaan : Pembawa konsentrat elektrolit dan agen rehidrasi.
(Rowe, 2009; Sweetman, 2009)
Kalsium klorida
0,1 g
× 100% = 0,02%
500 mL
Natrium klorida
3g
× 100% = 0,6%
500 mL
Natrium laktat
1,55 g
× 100% = 0,31%
500 mL
Berat Konsentrasi
Nama Zat E E×%
(500 mL) (%)
Kalium klorida 0,76 × 0,03% =
0,15 g 0,76 0,03%
0,023%
Kalsium klorida 0,70 × 0,02% =
0,1 g 0,70 0,02%
0,014%
Natrium klorida 3g 1 0,6% 1 × 0,6% = 0,6%
Natrium laktat 0,58 × 0,31% =
1,55 g 0,58 0,31%
0,18%
Total 0,817%
Karena jumlah sediaan kurang dari 0,9%, maka dapat dikatakan sediaan
dalam keadaan hipotonis sehingga diperlukan penambahan zat pengisotonis yaitu
NaCl agar sediaan menjadi isotonis.
NaCl yang ditambahkan = 0,9% - 0,817% = 0,083% = 0,083 g/100 mL
0,083 g
Untuk 500 mL = 100 mL × 500 mL = 0,415 g/500 mL = 415 mg/500 mL
Kalsium klorida
0,02%
× 0,206° = 0,008°
0,5%
Natrium klorida
0,6%
× 0,289° = 0,347°
0,5%
Natrium laktat
0,31%
× 0,164° = 0,102°
0,5%
Konsentrasi
Nama zat ∆Tf ∆Tf × %
(%)
Kalium klorida 0,03% 0,013 0,03% × 0,013 = 0,00039%
Kalsium klorida 0,02% 0,008 0,02% × 0,008 = 0,00016%
Natrium klorida 0,6% 0,347 0,6% × 0,347 = 0,2082%
Natrium laktat 0,31% 0,102 0,31% × 0,102 = 0,03162%
Total 0,24037%
Karena jumlah sediaan kurang dari 0,52°, maka dapat dikatakan sediaan
dalam keadaan hipotonis sehingga diperlukan penambahan zat pengisotonis yaitu
NaCl agar sediaan menjadi isotonis.
0,52−0,24037
NaCl yang ditambahkan (W) = = 0,482% = 0,482 g/100 mL
0,58
0,482 g
Untuk 500 mL = 100 mL × 500 mL = 02,41 g/500 mL = 2410 mg/500 mL
5.2 Penimbangan
5.2.1 Infus Ringer Laktat
Volume sediaan ditambahkan 2% untuk sediaan yang memiliki volume
lebih dari 50 mL (Depkes RI, 1995).
Maka, 500 mL + 2% = 510 mL
Selain itu juga dilebihkan 5% untuk mengatasi berkurangnya konsentrasi zat aktif
akibat adsorpsi oleh karbon (saat depirogenisasi).
Nama Zat Bobot Jumlah untuk 1 botol Jumlah untuk 2 botol
0,3 g
× 510 mL
1000 mL
Kalium klorida 0,3 g 0,322 g
= 0,153 g + 5% = 0,161 g
0,2 g
× 510 mL
1000 mL
Kalsium klorida 0,2 g 0,214 g
= 0,102 g + 5% = 0,107 g
6g
× 510 mL
1000 mL
Natrium klorida 6g 6,426 g
= 3,06 g + 5% = 3,213 g
3,1 g
× 510 mL
1000 mL
Natrium laktat 3,1 g 3,32 g
= 1,581 g + 5% = 1,66 g
0,1 g
× 510 mL=0,051
1000 mL
Karbon aktif 0,1% 0,102 g
g
Aqua p.i 500 mL + 2% = 510 mL 1020 mL
VIII. PEMBAHASAN
8.1 Infus Ringer Laktat
Infus merupakan sediaan steril, dimana dapat berupa larutan atau emulsi
dengan air sebagai fase kontinyunya, infus sendiri biasanya dibuat isotonis dengan
kadar darah. Infus berprinsip untuk pemberian dalam volume yang besar pada
tubuh. Infus harus berupa sediaan injeksi dosis tunggal dengan tujuan intravena dan
dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 mL (Perdana, 2016). Tujuan
pembuatan sediaan infus dikarenakan sediaan ini dapat mensuplai kebutuhan
nutrisi, kebutuhan air, elektrolit, dan karbohidrat sederhana yang diperlukan oleh
tubuh. Serta infus juga dapat bertindak sebagai pembawa untuk obat-obatan yang
dicampurkan dengan larutan infus, sebagai larutan untuk memperbaiki
keseimbangan asam-basa tubuh, sebagai agen dialisis pada pasien penderita gagal
ginjal dan sebagai cairan pengganti cairan plasma tubuh. Sediaan infus memiliki
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu sediaan harus steril dapat berupa
larutan atau emulsi (air sebagai fase luar), bebas pirogen, harus dibuat isotonis
terhadap kadar darah dalam tubuh, infus tidak mengandung mikroorganisme dan
zat dapar, larutan untuk infus harus jernih dan praktis bebas partikel, sementara
emulsi untuk infus intravena setelah dikocok harus homogen atau tidak
menunjukkan pemisahan fase dan dalam etiketnya harus diberi penandaan yang
menyatakan konsentrasi mosmol total dalam satuan mosol/L (miliosmol/liter).
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan sediaan steril berupa sediaan
Infus Ringer Laktat dengan volume sediaan 500 mL. Sediaan infus ringer laktat
harus dibuat steril, bebas mikroba maupun pirogen karena akan berhubungan
langsung dengan darah atau cairan tubuh serta jaringan tubuh yang pertahanannya
terhadap zat asing tidak sekompleks pada bagian tubuh lainnya seperti saluran cerna
atau gastrointestinal. Menurut (Soenarjo. J, 2013) Ringer laktat merupakan cairan
yang isotonis dengan kadar darah dan dimaksudkan untuk pengganti cairan tubuh.
Menurut (Syamsuhidayat. R, 2010) Ringer laktat merupakan cairan kristaloid,
ringer laktat biasanya digunakan untuk luka bakar, syok, dan cairan preload pada
saat operasi. Menurut (Leksana E. 2006) Ringer laktat merupakan cairan yang
memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma darah. Satu liter cairan ringer
laktat memiliki kandungan 130 mEq ion natrium yang setara dengan 130 mmol/L,
109 mEq ion klorida yang setara dengan 109 mmol/L, 28 mq laktat yang setara
dengan 28 mmol/L, 4 mEq ion kalium yang setara dengan 4 mmol/L, 3 mEq ion
kalsium yang setara dengan 1,5 mmol/L. Adapun anion laktat yang terdapat dalam
ringer laktat akan dimetabolisme di hati dan diubah menjadi bikarbonat untuk
memperbaiki keadaan asidosis (kondisi yang terjadi ketika kadar asam di dalam
tubuh sangat tinggi), sehingga ringer laktat baik untuk memperbaiki keadaaan
asidosis. Menurut (Zander R. 2006) Laktat dalam ringer laktat sebagian besar akan
dimetabolisme melalui proses glukoneogenesis. Dimana setiap satu mol laktat akan
menghasilkan satu mol bikarbonat. Menurut (Muchlis M, 2012) Pasien dengan
kondisi hamil memiliki kadar laktat yang berbeda karena plasenta atau ari-ari akan
menghasilkan laktat yang nantinya menuju sirkulasi maternal.
Zat aktif yang digunakan dalam pembuatan sediaan infus ringer laktat 500
mL yaitu natrium laktat 0,31%, kalium klorida 0,02%, kalsium klorida 0,03% dan
natrium klorida 0,6%. Natrium laktat bertindak sebagai buffer dan agen isotonis.
Selain itu laktat dalam sediaan Ringer laktat juga dapat digunakan untuk
memperbaiki asidosis metabolik dan penyakit lainnya. Natrium klorida dapat
digunakan sebagai cairan resusitasi (terapi pengganti) untuk mengisi kembali cairan
tubuh atau elektrolit yang hilang dalam tubuh, dan sebagai pengencer sel darah
merah sebelum transfusi darah. Kalium klorida bertindak sebagai agen antibakteri,
dan kalsium klorida bertindak sebagai agen penyerapan air dan antibakteri. Selain
itu eksipient yang digunakan dalam produksi infus Ringer laktat adalah karbon
adsorben 0,1% dan injeksi aqua pro 500 mL. Adsorben carbo bertindak sebagai
adsorben atau penjerat sehingga zat pembawa tidak memiliki pirogen, sedangkan
aqua pro injection bertindak sebagai zat pembawa sediaan dimana telah melewati
proses sterilisasi sediaan injeksi intravena. Karena rute pemberiannya harus steril
(tanpa mikroorganisme dan partikel asing).
Selain itu, infus Ringer laktat juga dievaluasi. Evaluasi sediaan bertujuan
untuk melihat apakah sediaan infus yang disiapkan memenuhi persyaratan yang
dipersyaratkan. Uji evaluasi infus Ringer Laktat meliputi uji organoleptis, uji
penentuan volume wadah infus, uji penetapan pH, uji kejernihan larutan, uji
partikel, uji kebocoran dan uji depirogenasi yaitu dari larutan atau wadah/kemasan
obat Keluarkan pirogen. Depirogenasi untuk menghilangkan endotoksin dapat
dilakukan dengan destilasi, pembilasan, adsorpsi, dan ultrafiltrasi. Depirogenasi
endotoksin yang tidak aktif dilakukan dengan beberapa cara, yaitu hidrolisis asam,
hidrolisis basa, oksidasi dan pemanasan. Pengujian pirogen dilakukan untuk
membatasi risiko reaksi demam pada tingkat yang dapat diterima oleh pasien pada
pemberian sediaan dengan cara rabbit test. Keuntungan dari metode uji ini yaitu
kelinci memiliki sensitivitas terhadap substansi yang mirip dengan manusia,
kenaikan suhu akibat substansi-pirogenik sampai batas tertentu masih dapat
diterima oleh manusia. Adapun, kelemahan dari metode uji ini yaitu memerlukan
waktu pemeliharaan dan perawatan yang lebih intensif, sensitivitas dipengaruhi
oleh musim dan variabilitas biologis. Hasil dari evaluasi sediaan terlampir pada Bab
Hasil Pengamatan dan Pengolahan Data.
osmolalitas normal plasma. Osmolalitas dan tonisitas sangat penting dalam terapi
infus secara intravena. Osmosis adalah besar difusi cairan dari tempat
berkonsentrasi rendah (encer) ke tempat berkonsentrasi zat tinggi (kental). Tekanan
osmotik berbanding terbalik dengan konsentrasi air (Agoes, 2013).
Pada hasil perhitungan osmolaritas, konsentrasi natrium bikarbonat 8,4%
didapatkan hasil sebesar 2000 𝑚𝑜𝑠𝑚𝑜𝑙⁄𝐿 dimana sediaan dapat dikatakan dalam
keadaan hipertonis karena melebihi diatas rentang 350 𝑚𝑜𝑠𝑚𝑜𝑙⁄𝐿. Sehingga infus
natrium bikarbonat memiliki konsentrasi yang berbeda dengan cairan tubuh. Pada
perhitungan tonisitas metode ekivalensi didapatkan hasil 5,46% dimana lebih dari
standar NaCL (0,9%) dapat dikatakan hipertonis namun karena pemberian dapat
dilakukan dengan lambat maka tidak perlu dilakukan. Pada perhitungan tonisitas
metode penurunan titik beku didapatkan hasil 26,813% dimana hasil lebih dari
standar 0,52 maka dapat dikatakan hipertonis namun menurut Syarif (2012) infus
adalah sediaan dengan pemberian bervolume besar yang berskala pada tubuh juga
natrium bikarbonat berfungsi untuk mengatasi asidosis metabolic, alkalinisasi urin,
dan pengobatan radikal pruritus maka tidak perlu dilakukan pengenceran.
Didukung dengan referensi dari Anief (1993), karena diberikan secara lambat maka
tidak perlu dilakukan pengenceran karena larutan hipertonis diberikan pada
kecepatan yang lambat walaupun pada awal penyuntikan akan terasa sakit.
Dalam proses pembuatan sediaan steril infus natrium bikarbonat, hal
pertama yang harus dilakukan adalah sterilisasi alat dan bahan yang akan digunakan
dalam pembuatan sediaan steril infus. Agar dapat mengurangi kontaminan dari
mikroorganisme maka semua harus dalam keadaan steril dilakukan dengan teknik
aseptis di bawah LAF. LAF (Laminar Air Flow) digunakan sebagai ruangan untuk
pengerjaan secara aseptis dimana prinsipnya adalah berdasarkan aliran udara keluar
dengan kontaminas udara dapat diminimalkan. Sterilisasi dilakukan pada ruangan
sesuai dengan metode sterilisasi yang digunakan. Bahan tambahan yang digunakan
seperti karbon absorben dan aqua pro injection dilakukan metode sterilisasi dengan
panas lembab menggunakan autoclave pada suhu 121℃ selama 15 menit.
Sedangkan alat yang digunakan seperti batang pengaduk, corong, erlenmeyer, gelas
kimia, kaca arlogi, dan spatel menggunakan metode sterilisasi panas kering (oven)
karena bukan merupakan alat gelas presisi/ ukur yang tidak perlu dijaga
keakuratannya. Dan untuk alat gelas presisi/ukur menggunakan sterilisasi panas
lembab (autoclave) seperti gelas ukur, pipet tetes, dan pipet volume karena dapat
ditembus oleh uap air, terdapat karet pada pipet tetes yang dapat rusak jika
disterilisasi panas kering juga keakuratan dapat terganggu pada pipet volume.
Setelah itu dilakukan proses penimbangan zat aktif dan dilebihkan sebesar
5% agar zat aktif tidak berkurang pada saat proses depirogenisasi pada karbon aktif
karena dapat menyerap zat aktif sehingga ikut terbuang dengan pirogen. Menurut
Farmakope Indonesia Edisi IV, dalam penambahan volume sediaan injeksi sebesar
2% dilakukan untuk mengantisipasi kehilangan volume infus yang hilang ketika
proses sterilisasi dan proses penimbangan. Sehingga penimbangan untuk natrium
bikarbonat sejumlah 2 botol sebesar 89,96 gram, untuk karbon aktif sejumlah 2
botol sebesar 1,02 gram, dan untuk aqua pro injection sejumlah 2 botol sebesar
1020 ml. Natrium bikarbonat dilarutkan dengan API hingga homogen karena
sebagai pelarut dan menghindari suatu partikel dari zat aktif yang belum larut
sempurna sehingga dapat membuat pembuluh darah menjadi tersumbat ketika infus
digunakan pada pasien.
Lalu proses penambahan karbon aktif ke dalam sediaan infus. Menurut
Darmawan (2013), karbon aktif adalah senyawa amorf yang dihasilkan dari bahan
yang mengandung karbon atau untuk mendapatkan daya absorbsi yang tinggi. Lalu
dipanaskan pada suhu 60-70℃ selama 15 menit dan sesekali diaduk sebagai proses
depirogenasi karena dapat meghilangkan pirogen dengan cara menyerap pirogen
dalam infus dan konsentrasi yang digunakan sebesar 0.01%. Proses depirogenasi
ini hanya dilakukan pada sediaan large volume parenteral. Menurut Sudjadi (2008),
pirogen adalah senyawa yang jika masuk ke aliran darah akan mempengaruhi suhu
tubuh dan biasanya menyebabkan demam. Pengobatan demam disebabkan oleh
pirogen sangat sulit dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.
Proses depirogenasi dapat dengan menghilangkan endotoksin diataranya
destilasi, pembilasan, adsorbsi, ultra filtrasi, dan osmosa balik. Destilasi dapat
menghilangkan pelarut seperti air dari endotoksin dan bahan tidak murni lainnya
dengan sangat efektif. Hal ini memungkinkan untuk menghilangkan beban
endotoksin atau beban pyro yang terlalu tinggi. Dengan pembilasan untuk
menghilangkan endotoksin dari partikel padat yang tidak dapat depirogenasasi oleh
panas kering. Dengan adsorpsi memiliki cara karbon aktif dapat dihilangkan dari
larutan dengan menyaring larutan menggunakan vakum filter apparatus. Dengan
ultrafiltrasi ukuran pirogen sangat bervariatif sehingga sulit untuk memilih
membran yang sesuai oleh sebab itu metode ini dapat dipilih karena cocok untuk
endotoksin hingga ukuran 300.000 Da. Dengan osmosa balik memiliki cara air
dipaksa melalui pori-pori yang sangat kecil dalam membrane melawan gradien
osmotik. Membran selektif harus bersifat selektif.
Kemudian proses selanjutnya, disaring dengan menggunakan filter
apparatus menggunakan pompa vakum sebagai gaya pendorong agar proses proses
penyaringan menjadi lebih cepat. Lalu ditambahkan sisa dari aqua pro injection
hingga 500 ml dan dipindahkan ke dalam botol karena zat aktif harus disimpan
dalam wadah kedap udara maka digunakan botol infus yang tertutup rapat dalam
penyimpanannya dan diikat dengan tali benang agar terhindar dari kontaminasi.
Botol diberi label pada etiket sediaan infus dengan mencantumkan osmolaritas yang
diperlukan dalam monografi masing-masing (hendaknya disebutkan kadar osmolar
total dalam miliosmol per liter). Sediaan infus yang telah jadi dilakukan sterilisasi
akhir dengan sterilisasi filtrasi dengan membran filter berukuran 0.22 μm karena
menurut Lachman (1994), cocok bagi zat yang bersifat termolabil atau tidak tahan
panas selain itu natrium bikarbonat memiliki sifat terurai pada uap air. Terakhir
dilakukan evaluasi sediaan infus agar sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan.
Terdapat evaluasi uji organoleptis menurut Heruwati, dkk (2015), adalah uji
menggunakan indera manusia untuk mengukur tekstur, penampakan, aroma, dan
rasa. Pada hasil percobaan didapatkan hasil tidak berwarna dan tidak berbau.
Selanjutnya evaluasi penetapan pH menurut Depkes RI (2014: 1563-1564),
memiliki tujuan untuk mengetahui pH suatu bahan atau sediaan dan untuk
mengetahui kesesuaiannya dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dengan
prisnip pengukuran pH cairan uji berdasarkan beda potensial dari pasangan
elektroda menggunakan pH meter indikator yang telah diketahui. Pada hasil
percobaan didapatkan pH sebesar 7,382 dan 7,415.
Selanjutnya evaluasi uji kejernihan larutan menurut Agoes (2013), memiliki
tujuan memastikan larutan injeksi bebas dari partikulat yang dapat terlihat secara
visual. Pada hasil percobaan didapatkan hasil jernih sehingga memenuhi syarat dan
bebas dari partikulat yang terlihat visual. Ini sesuai dengan interpretasi menurut
Agoes (2013), akan memenuhi syarat jika tidak ditemukan kotoran dalam larutan.
Selanjutnya evaluasi uji kebocoran menurut Agoes (2013), memiliki tujuan
untuk memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan volume serta
kestabilan sediaan. Dengan impretasi sediaan memenuhi syarat bila larutan dalam
wadah tidak menjadi biru dan kertas saring atau kertas tidak basah. Pada hasil
percobaan didapatkan hasil tidak bocor. Ini sesuai dengan interpretasi menurut
Agoes (2013), sediaan akan memenuhi syarat jika larutan dalam wadah tidak
menjadi biru dan kertas saring atau kapas tidak basah.
Selanjutnya evaluasi penetapan volume injeksi dalam wadah menurut
Depkes RI (2014: 1570), memiliki tujuan untuk menetapkan volume injeksi yang
dimasukkan dalam wadah agar volume injeksi yang digunakan tepat/sesuai dengan
tertera pada penandaan. Dengan prinsip penentuan volume dilakukan dengan cara
mengambil sampel dengan alat suntik hipodermik dan memasukkan ke dalam gelas
ukur yang sesuai. Pada hasil percobaan didapatkan hasil 100% yang artinya bahwa
volume masing-masing sediaan infus tersebut sesuai dengan volume yang
diharapkan yaitu 500 ml. Ini sesuai dengan interpretasi menurut FI V (hal.1570),
sediaan akan memenuhi syarat jika volume tidak kurang dari volume yang tertera
pada wadah bila diuji satu per satu.
Selanjutnya bahan partikulat dalam injeksi menurut Depkes RI (2014: 1494-
1504), memiliki tujuan untuk menghitung partikel asing subvisibel dalam rentang
ukuran tertentu dalam sediaan injeksi. Dengan prinsip pengukuran jumlah partikel
berdasarkan hamburan cahayanya larutan uji dan perhitungan partikel yang terlihat
dengan mikroskop. Pada hasil percobaan didapatkan hasil bahwa tidak ada
partikulat asing dalam sediaan infus yang dibuat.
Selanjutnya evaluasi uji pirogen menurut Depkes RI (2014: 1412), memiliki
tujuan untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat diterima oleh
pasien pada pemberian sediaan injeksi. Dengan prinsip pengukuran kenaikan suhu
kelinci setelah penyuntikan larutan uji secara intravena dan untuk sediaan yang
dapat ditoeransi dengan uji kelinci dengan dosis penyuntikan dibawah 10 ml dalam
jangka waktu tidak lebih dari 10 menit. Pada hasil percobaan didapatkan hasil
bahwa tidak ada pirogen dalam sediaan infus yang dibuat. Ini sesuai dengan
interpretasi menurut FI V (hal.1412-909), sediaan akan memenuhi syarat jika setiap
penurunan suhu dianggap nol. Sediaan memenuhi syarat apabila tak seekor kelinci
pun menunjukkan kenaikan suhu 0,5℃ atau lebih.
11.1.2 Label
11.1.3 Brosur
11.2.3 Brosur
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Goeswin. (2013). Sediaan Farmasi Steril (Sediaan Farmasi Industri) Edisi
4. Bandung: Penerbit ITB.
Anief, M. (1993). Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
BPOM RI. (2015). Gizi dan Darah. Jakarta: Badan POM RI.
Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI.
DEPKES RI. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: DEPKES RI.
Depkes RI. (2020). Farmakope Indonesia Edisi VI. Jakarta: Depkes RI.
Drs. H. A. Syamsuni, Apt. (2006). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Lachman, L, et all. (1986). The Theory and Practise of Industrial Pharmacy Third
Edition. Philadelphia: Lea and Febiger.
Lachman, L., & Lieberman, H. A. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri,
Edisi Kedua. Jakarta: UI Press.
Medidata. (2017). MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 16. Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer.
Perdana. (2016). Rancangan Bangun Alat Pemantau Cairan Intravena Jenis Ringer
Laktat Menggunakan Jaringan GSM. Jurnal Nasional Informasi dan
Komunikasi.
Perry dan Potter. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 Volume 1.
Jakarta: EGC.
Putri, Indah. (2015). Sediaan Steril Infus Intravena Natrium Bikarbonat. Bandung:
POLTEKKES.
Syarif, Amir, dkk. (2012). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Tjay Tan, dan Tahardha Kirana. (2007). Obat-Obat Penting (Khasiat, Cara,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya) Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex
Medika Komputindo.
Turco, S, dkk. (1970). Sterile Dosage Forms. Philadelphia: Lea and Febiger.