Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI SEDIAAN LIKUID & SEMISOLID (STERIL)


PERCOBAAN 3
INFUS

Asisten Penanggung Jawab:


Jihan Sahira, S. Farm

Disusun oleh:
Shift/Kelompok: A/1

Raihan Hafidz Fachrizal 10060319001


Devi Zulfitriyana 10060319003
Ivanka Salsabilla Nurhadi 10060319004
Annas Tasya Pertiwi 10060319005
Khodimul Haramain 10060319007
Nadia Rahayu 10060319008
Dike Kusniati 10060319009
Dwi Maulidani Fadhlan 10060319010

Tanggal Praktikum : 07 Desember 2021


Tanggal Laporan : 14 Desember 2021

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT E


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2021 M / 1443 H
PERCOBAAN 3
INFUS

I. NAMA SEDIAAN DAN KEKUATAN SEDIAAN


1.1 Infus Ringer Laktat
Nama sediaan : Infus Ringer Laktat
Nama dagang : Infus Ritat
Kekuatan sediaan : Menurut (USP, 2008: 3138) Formula standar
Kalium Klorida (KCl) 0,03%
CaCl2 anhidrat 0,02%
Natrium Klorida (NaCl) 0,6%
Natrium Laktat Anhidrat 0,31%
Volume Sediaan : 500 ml
Jumlah : 2 botol
1.2 Infus Na Bikarbonat
Nama generic : Infus Natrium Bikarbonat 8,4%
Nama dagang : Infus Nabonat
Kekuatan sediaan : Natrium Bikarbonat 8,4%
Volume sediaan : 500ml
Jumlah sediaan : 2 botol

II. TEORI DASAR


Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril,
secara tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat
penghancuran dan penghilangan sumua mikroorganisme hidup. Konsep ini
menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai konotasi relative dan
kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya dapat
diduga atas dasar proyeksi kinetis angka kematian mikroba (Lachman,1994).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, larutan intravena volume besar
adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam wadah bertanda
volume lebih dari 100 mL. Menurut FI Edisi III, infus intravenous adalah sediaan
steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin dibuat
isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena, dengan volume
relatife banyak. Kecuali dinyatakan lain, infus intravenous tidak diperbolehkan
mengandung bakterisida dan zat dapar. Larutan untuk infus intravenous harus jernih
dan praktis bebas partikel.

Infus adalah larutan dalam jumlah besar terhitung mulai dari 100 mL yang
diberikan melalui intravena tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok.
Asupan air dan elektrolit dapat terjadi melalui makanan dan minuman dan
dikeluarkan dalam jumlah relatif sama. Ketika terjadi gangguan hemostatif, maka
tubuh harus segera mendapatkan terapi untuk mengembalikan air dan elektrolit.
(Anief ,1991).

Injeksi volume besar atau injeksi yang dimaksudkan untuk pemberian


langsung ke dalam pembuluh darah vena harus steril dan isotonis dengan darah,
dikemas dalam wadah tunggal berukuran 100 mL - 2000 mL. Pembuatan sediaan
yang akan digunakan untuk infus harus dilakukan dengan hati-hati untuk
menghindari kontaminasi mikroba dan bahan asing. Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB) juga mempersyaratkan tiap wadah akhir infus harus diamati secara
fisik dan tiap wadah yang menunjukkan pencemaran bahan asing yang terlihat
secara visual harus di tolak. Air yang digunakan untuk infus biasanya Aqua Pro
injeksi, A.P.I. ini dibuat dengan menyuling kembali air suling segar dengan alat
gelas netral atau wadah logam yang cocok dengan label. Hasil sulingan pertama
dibuang dan sulingan selanjutnya ditampung dan segera digunakan.

Dalam pembuatan infus atau cairan intravena dikemas dalam bentuk dosis
tunggal dalam wadah plastik atau gelas, steril, bebas pirogen serta bebas partikel-
partikel lain. Oleh karena volume yang besar, pengawet tidak pernah digunakan
dalam infus intravena biasanya mengandung zat-zat amino, dekstrosa, elektrolit dan
vitamin (Anief, 1991).
III. DATA PREFORMULASI ZAT AKTIF
3.1 Infus Ringer Laktat
3.1.1 Natrium Klorida (BM = 58,44)
Pemerian : Serbuk kristal berwarna putih atau kristal tidak
berwarna, tidak berbau, rasa asin
pH : 6,7 – 7,3
Titik leleh : 804oC
Titik didih : 1413oC
Kelarutan : Sedikit larut dalam etanol, larut dalam 250 bagian
etanol 95%, larut dalam 10 bagian gliserin, larut dalam
2,8 bagian air, dan larut dalam 2,6 bagian air pada suhu
100oC.
Stabilitas : Larutan NaCl dalam air stabil tetapi dapat
menyebabkan pemisahan partikel kaca dari wadah kaca
jenis tertentu. Larutan NaCl dalam air dapat disterilkan
dengan autoclave atau filtrasi.
Inkompatibilitas : Larutan NaCl dapat merusak besi. Dapat bereaksi
membentuk endapan dengan perak, timah, dan garam
merkuri. Agen perongoksidasi kuat membebaskan
klorin dari pengasaman larutan NaCl. Kelarutan
pengawet metil paraben berkurang dalam larutan NaCl.
Viskositas carbomer gels dan larutan hydroxyethyl
cellulose atau hydroxypropyl cellulose berkurang
dengan penambahan NaCl.
Kegunaan : Agen pengisotonis.
(Dirjen POM, 2020; Rowe, 2009)
3.1.2 Natrium Laktat
Pemerian : Cairan kental, tidak bewarna atau sedikit bewarna
kuning, higroskopis, tidak berbau atau sedikit berbau
dan terasa asin, sedikit seperti sirup.
pH :5–7
Titik lebur : 17 oC dengan dekomposisi pada 140 oC
Titik didih : 112 oC
Kelarutan : Larut dalam methanol 95% dan dalam air, kloroform
dan gliserol.praktis tidak larut dalam kloroform,eter
dan minyak.
Stabilitas : Mudah terbakar dan terurai saat pemanasan.
Inkompatibilitas : Inkompatibel dengan zat pengoksidasi, iodida dan
albumin. Bereaksi hebat dengan asam fluorida dan
asam nitrat.
Kegunaan : Pembawa konsentrat elektrolit dan agen rehidrasi.
(Rowe, 2009; Sweetman, 2009)

3.1.3 Kalium Klorida (BM = 74,55)


Pemerian : Hablur bentuk memanjang, prisma atau kubus, atau
serbuk granul putih, tidak berbau, tidak bewarna, rasa
asin.
pH : 3,5 – 6,5
Titik lebur : 790 oC
Kelarutan : Mudah larut dalam air, tidak larut dalam etanol, praktis
tidak larut dalam aseton dan eter, larut dalam 250
bagian etanol (95%), larut dalam 14 bagian gliiserin,
larut dalam 2,8 bagian air.
Stabilitas : Kalium klorida stabil secara kimiawi stabil di udara.
Inkompatibilitas : Bereaksi hebat dengan bromin trifuorida. Dengan
protein hidrolisat. Mengendap dengan garam timbal
dan perak.
Kegunaan : Antimikroba.
(Dirjen POM, 2020; Rowe, 2009)

3.1.4 Kalsium Klorida (BM = 110,98)


Pemerian : Granul atau serpihan putih, keras, dan tidak berbau.
pH : 4,5 – 9,2
Titik leleh : 772 oC
Kelarutan : Sangat mudah laru dalam air mendidih, mudah larut
dalam air, etanol, dan etanol mendidih.
Stabilitas : Secara kimia kalsium klorida stabil, bagaimanapun
perlu dilindungi dari kelembapan harus disimpan
dalam wadah tertutup rapat, ditempat sejuk dan kering
Inkompatibilitas : Kalsium klorida tidak cocok dengan karbonat terlarut,
fosfat, dan sulfat. Kalium klorida bereaksi hebat
dengan bromin trifluorida, dan reaksi dengan seng
melepaskan gas hidrogen yang mudah meledak.
Kegunaan : Anion ekstraseluler.
(Dirjen POM, 2020; Rowe, 2009)

3.2 Infus Na Bikarbonat


3.2.1 Natrium Bikarbonat (BM = 84,01)
Pemerian : Serbuk hablur tidak bewarna dan tidak berbau, rasa
sedikit alkali. Struktur kristal berbentuk prisma
monosiklik.
pH : 8,3
Titik leleh : 270 oC
Kelarutan : Larut dalam air, tak larut dalam etanol.
Stabilitas : Stabil di udara kering, tetapi dalam udara lembab
secara perlahan terurai.
Inkompatibilitas : Bereaksi dengan asam, garam asam, dan garam
alkaloid, dengan perkembangan dari karbondioksida.
Natrium bikarbonat juga dapat meningkatkan
penggelapan salisilat. Dalam bentuk serbuk,
kelembapan atmosfer air kristalisasi dari unsur lain
cukup membuat natrium bikarbonat bereaksi dengan
senyawa seperti asam borat dan tawas. Dalam
campuran yang mengandung bismuth subnitrat,
natrium bikarbonat bereaksi dengan bentuk asam
garam bismuth.
Kegunaan : Agen alkali, dan terapeutik.
(Dirjen POM, 2020; Rowe, 2009)

IV. DATA PREFORMULASI EKSIPIEN


4.1 Infus Ringer Laktat
4.1.1 Karbon Adsorben
Pemerian : Serbuk halus, bebas dari butiran, hitam, tidak berbau,
tidak berasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol
Stabilitas : Dapat mengadsorbsi air dan disimpan dalam wadah
tertutup rapat.
Inkompatibilitas : Dapat menurunkan ketersediaan hayati beberapa obat
seperti loperamid dan riboflavin. Reaksi hidrolisis
dapat dinaikkan.
Kegunaan : Adsorpsi pirogen.
(Depkes RI, 2014; Rowe, 2009)

4.1.2 Aqua Pro Injection


Pemerian : Cairan jernih, tidak bewarna, tidak berbau, tidak
berasa.
pH :7
Kelarutan : Larut dengan kebanyakan pelarut polar.
Stabilitas : secara kimiawi, air stabil terhadap semua bentuk fisik
(es, cair, gas).
Inkompatibilitas : Air dapat bereaksi dengan obat-obatan dan eksipien
lain yang rentan terhadap hidrolisis (penguraian dalam
keberadaan air atau uap air).
Kegunaan : Pembawa / pelarut.
(Dirjen POM, 1995; Rowe, 2009)

4.2 Infus Na Bikarbonat


4.2.1 Karbon Adsorben
Pemerian : Serbuk halus, bebas dari butiran, hitam, tidak berbau,
tidak berasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol
Stabilitas : Dapat mengadsorbsi air dan disimpan dalam wadah
tertutup rapat.
Inkompatibilitas : Dapat menurunkan ketersediaan hayati beberapa obat
seperti loperamid dan riboflavin. Reaksi hidrolisis
dapat dinaikkan.
Kegunaan : Adsorpsi pirogen.
(Depkes RI, 2014; Rowe, 2009)

4.2.2 Aqua Pro Injection


Pemerian : Cairan jernih, tidak bewarna, tidak berbau, tidak
berasa.
pH :7
Kelarutan : Larut dengan kebanyakan pelarut polar.
Stabilitas : secara kimiawi, air stabil terhadap semua bentuk fisik
(es, cair, gas).
Inkompatibilitas : Air dapat bereaksi dengan obat-obatan dan eksipien
lain yang rentan terhadap hidrolisis (penguraian dalam
keberadaan air atau uap air).
Kegunaan : Pembawa / pelarut.
(Dirjen POM, 1995; Rowe, 2009)

V. PERHITUNGAN DAN PENIMBANGAN


5.1 Perhitungan Tonisitas/Osmolaritas
5.1.1 Infus Ringer Laktat
Menurut Ikatan Apoteker Indonesia (2019) dalam buku Informasi Spesialite
Obat (ISO) volume 52, infus ringer laktat mengandung:
KCl 0,3 g
CaCl2 anhidrat 0,2 g
NaCl 6g
Natrium laktat 3,1 g
Aqua pro injection ad 1000 mL
Maka untuk volume sediaan 500 mL diantaranya:
 KCl
0,3 g
× 500 mL = 𝟎, 𝟏𝟓 𝐠
1000 mL
 CaCl2 anhidrat
0,2 g
× 500 mL = 𝟎, 𝟏 𝐠
1000 mL
 NaCl
6g
× 500 mL = 𝟑 𝐠
1000 mL
 Natrium laktat
3,1 g
× 500 mL = 𝟏, 𝟓𝟓 𝐠
1000 mL
 Aqua pro injection ad 500 mL
Perhitungan Osmolaritas
gram
zat terlarut (L)
Mosmol = × 1000 × jumlah ion
BM zat terlarut
Jumlah ion dan BM
 KCl → K+ + Cl- = 2
BM = 74,5
 CaCl2 → Ca2+ + 2Cl- = 3
BM = 147,02
 NaCl → Na+ + Cl- = 2
BM = 58,44
 Natrium laktat → Na+ + C3H5O3- = 2
BM = 112,06
Nama Zat Perhitungan Mosmol
0,15 g
Kalium klorida 0,5 L
× 1000 × 2 = 8,053 mosmol/L
74,5
0,1 g
Kalsium klorida 0,5 L
× 1000 × 3 = 4,086 mosmol/L
147,02
3g
Natrium klorida 0,5 L
× 1000 × 2 = 205,338 mosmol/L
58,44
1,55 g
Natrium laktat 0,5 L
× 1000 × 2 = 55,327 mosmol/L
112,06

Total 272,804 mosmol/L


Berdasarkan hasil yang didapat bahwa sediaan pada kondisi isotonis, karena
memasuki rentang isotonis yaitu 270 – 328 mosmol/L.

Perhitungan Tonisitas Metode Ekivalensi


Perhitungan konsentrasi (b/v)
 Kalium klorida
0,15 g
× 100% = 0,03%
500 mL

 Kalsium klorida
0,1 g
× 100% = 0,02%
500 mL
 Natrium klorida
3g
× 100% = 0,6%
500 mL

 Natrium laktat
1,55 g
× 100% = 0,31%
500 mL

Berat Konsentrasi
Nama Zat E E×%
(500 mL) (%)
Kalium klorida 0,76 × 0,03% =
0,15 g 0,76 0,03%
0,023%
Kalsium klorida 0,70 × 0,02% =
0,1 g 0,70 0,02%
0,014%
Natrium klorida 3g 1 0,6% 1 × 0,6% = 0,6%
Natrium laktat 0,58 × 0,31% =
1,55 g 0,58 0,31%
0,18%
Total 0,817%
Karena jumlah sediaan kurang dari 0,9%, maka dapat dikatakan sediaan
dalam keadaan hipotonis sehingga diperlukan penambahan zat pengisotonis yaitu
NaCl agar sediaan menjadi isotonis.
NaCl yang ditambahkan = 0,9% - 0,817% = 0,083% = 0,083 g/100 mL
0,083 g
Untuk 500 mL = 100 mL × 500 mL = 0,415 g/500 mL = 415 mg/500 mL

Perhitungan Tonisitas Metode Penurunan Titik Beku


Perhitungan konversi ∆Tf
 Kalium klorida
0,03%
× 0,219° = 0,013°
0,5%

 Kalsium klorida
0,02%
× 0,206° = 0,008°
0,5%

 Natrium klorida
0,6%
× 0,289° = 0,347°
0,5%
 Natrium laktat
0,31%
× 0,164° = 0,102°
0,5%

Konsentrasi
Nama zat ∆Tf ∆Tf × %
(%)
Kalium klorida 0,03% 0,013 0,03% × 0,013 = 0,00039%
Kalsium klorida 0,02% 0,008 0,02% × 0,008 = 0,00016%
Natrium klorida 0,6% 0,347 0,6% × 0,347 = 0,2082%
Natrium laktat 0,31% 0,102 0,31% × 0,102 = 0,03162%
Total 0,24037%
Karena jumlah sediaan kurang dari 0,52°, maka dapat dikatakan sediaan
dalam keadaan hipotonis sehingga diperlukan penambahan zat pengisotonis yaitu
NaCl agar sediaan menjadi isotonis.
0,52−0,24037
NaCl yang ditambahkan (W) = = 0,482% = 0,482 g/100 mL
0,58
0,482 g
Untuk 500 mL = 100 mL × 500 mL = 02,41 g/500 mL = 2410 mg/500 mL

Catatan: Karena berdasarkan hasil perhitungan osmolaritas sediaan diketahui


dalam keadaan isotonis, maka tidak perlu ditambahkan NaCl sebagai zat
pengisotonis.

5.1.2 Infus Na Bikarbonat


Perhitungan Osmolaritas
gram
zat terlarut (L)
Mosmol = × 1000 × jumlah ion
BM zat terlarut
Konsentrasi Natrium bikarbonat 8,4%
Jumlah ion = Na+ + HCO3- = 2
84
Mosmol = 84 × 1000 × 2 = 2000 mosmol/L

Berdasarkan hasil yang didapat bahwa sediaan pada kondisi hipertonis,


karena memasuki rentang hipertonis yaitu di atas 350 mosmol/L.
Perhitungan Tonisitas Metode Ekivalensi
8,4 g
Natrium bikarbonat 8,4% = 100 mL × 500 mL = 42 g

Nama Zat Berat E Konsentrasi (%) E×%


Natrium bikarbonat 42 g 0,65 8,4% 0,65 × 8,4% = 5,46%
Total 5,46%
Karena jumlah sediaan lebih dari 0,9%, maka dapat dikatakan sediaan dalam
keadaan hipertonis sehingga diperlukan pengenceran agar sediaan menjadi isotonis.

Perhitungan Tonisitas Metode Penurunan Titik Beku


Perhitungan konversi ∆Tf
8,4%
Natrium bikarbonat = × 0,38° = 3,192
1%

Nama Zat ∆Tf Konsentrasi (%) ∆Tf × %


Natrium bikarbonat 3,192 8,4% 3,192 × 8,4% = 26,813%
Total 26,813%
Karena jumlah sediaan lebih dari 0,52, maka dapat dikatakan sediaan dalam
keadaan hipertonis sehingga diperlukan pengenceran agar sediaan menjadi isotonis.
Catatan: Karena berdasarkan hasil perhitungan osmolaritas sediaan diketahui
dalam keadaan hipertonis, pengenceran tidak dilakukan karena infus
merupakan sediaan dengan volume besar yang pemberiannya berkala
pada tubuh serta natrium bikarbonat untuk mengatasi asidosis metabolik,
alkalinisasi urin dan pengobatan radikal pruritas (Syarif, 2012).

5.2 Penimbangan
5.2.1 Infus Ringer Laktat
Volume sediaan ditambahkan 2% untuk sediaan yang memiliki volume
lebih dari 50 mL (Depkes RI, 1995).
Maka, 500 mL + 2% = 510 mL
Selain itu juga dilebihkan 5% untuk mengatasi berkurangnya konsentrasi zat aktif
akibat adsorpsi oleh karbon (saat depirogenisasi).
Nama Zat Bobot Jumlah untuk 1 botol Jumlah untuk 2 botol
0,3 g
× 510 mL
1000 mL
Kalium klorida 0,3 g 0,322 g
= 0,153 g + 5% = 0,161 g
0,2 g
× 510 mL
1000 mL
Kalsium klorida 0,2 g 0,214 g
= 0,102 g + 5% = 0,107 g
6g
× 510 mL
1000 mL
Natrium klorida 6g 6,426 g
= 3,06 g + 5% = 3,213 g
3,1 g
× 510 mL
1000 mL
Natrium laktat 3,1 g 3,32 g
= 1,581 g + 5% = 1,66 g
0,1 g
× 510 mL=0,051
1000 mL
Karbon aktif 0,1% 0,102 g
g
Aqua p.i 500 mL + 2% = 510 mL 1020 mL

5.2.2 Infus Na Bikarbonat


Volume sediaan ditambahkan 2% untuk sediaan yang memiliki volume
lebih dari 50 mL (Depkes RI, 1995).
Maka, 500 mL + 2% = 510 mL
Selain itu juga dilebihkan 5% untuk mengatasi berkurangnya konsentrasi zat aktif
akibat adsorpsi oleh karbon (saat depirogenisasi).
Nama Zat Bobot Jumlah untuk 1 botol Jumlah untuk 2 botol
8,4 g
Natrium × 510 mL
100 mL
8,4% 89,96 g
bikarbonat = 42,84 g + 5% = 44,98 g
0,1 g
× 510 mL=0,051
1000 mL
Karbon aktif 0,1% 0,102 g
g
Aqua p.i 500 mL + 2% = 510 mL 1020 mL
VI. PROSEDUR PEMBUATAN SEDIAAN DAN EVALUASI SEDIAAN
6.1 Alat dan Bahan
6.1.1 Infus Ringer Laktat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah autoklaf, batang pengaduk,
botol infus, corong, erlenmeyer, filter apparatus, gelas kimia, gelas ukur, hot plate,
oven, kaca arloji, labu takar, pH meter, pipet tetes, pipet volume dan spatel.
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah aqua pro injection, kalium
klorida, kalsium klorida anhidrat, karbon aktif, natrium klorida dan natrium laktat.
6.1.2 Infus Na Bikarbonat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah autoklaf, batang pengaduk,
botol infus, corong, erlenmeyer, filter apparatus, gelas kimia, gelas ukur, hot plate,
oven, kaca arloji, labu takar, pH meter, pipet tetes, pipet volume dan spatel.
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah aqua pro injection, karbon
aktif dan natrium bikarbonat.
6.2 Metode Sterilisasi
6.2.1 Infus Ringer Laktat
Metode Sterilisasi Bahan
No Nama Bahan Metode Sterilisasi Alasan
1 Natrium Laktat Sterilisasi panas Karena zat tahan pemanasan
lembab (autoclave) dan dapat bercampur dengan air
(tahan penembusan uap air)
2 Natrium Klorida Sterilisasi panas Karena zat tahan pemanasan
lembab (autoclave) dan dapat bercampur dengan air
(tahan penembusan uap air)
3 Kalium Klorida Sterilisasi panas Karena zat tahan pemanasan
lembab (autoclave) dan dapat bercampur dengan air
(tahan penembusan uap air)
4 Kalsium Klorida Sterilisasi panas Karena zat tahan pemanasan
lembab (autoclave) dan dapat bercampur dengan air
(tahan penembusan uap air)
5 Aqua Pro Injection Sterilisasi panas Karena berupa cairan yang
lembab (autoclave) kompatibel terhadap uap air
6 Karbon Adsorben Sterilisasi panas Zat tahan terhadap panas dan
lembab (autoclave) berada dalam botol plastik/kaca
juga efektifitasnya lebih tinggi
ketika di sterilisasi
menggunakan autoklaf
7 Sediaan akhir infus Sterilisasi panas Karena sediaan infus bersifat
Ringer Laktat lembab (autoclave) termostabil (tahan panas) dan
tahan penembusan uap air
(karena berupa larutan dengan
pembawa air)

Metode Sterilisasi Alat


No Nama Alat Metode sterilisasi Alasan
1. Botol Infus Sterilisasi panas Karena botol infus bukan
lembab (autoclave) termasuk alat presisi atau alat
ukur sehingga keakuratan tak
dipermasalahkan jika berubah
akibat pemanasan. Sterilisasi
panas lembab dipilih karena
tutup flakon berbahan dasar
karet sehingga tidak bisa
disterilisasi dengan suhu sangat
tinggi sehingga digunakan
autoclave.
2. Batang Sterilisasi panas Karena batang pengaduk bukan
pengaduk kering (oven) termasuk alat presisi atau alat
ukur yang perlu dijaga
keakuratannya dari pemuaian
juga tahan pemanasan suhu
tinggi.
3. Corong Sterilisasi panas Karena corong bukan termasuk
kering (oven) alat presisi atau alat ukur yang
perlu dijaga keakuratannya dari
pemuaian juga tahan
pemanasan suhu tinggi.
4. Erlenmenyer Sterilisasi panas Karena erlenmeyer bukan
kering (oven) termasuk alat presisi atau alat
ukur yang perlu dijaga
keakuratannya dari pemuaian
juga tahan pemanasan suhu
tinggi.
5. Gelas ukur Sterilisasi panas Karena gelas ukur merupakan
lembab (autoclave) alat presisi atau alat ukur
sehingga perlu dijaga dari
pemuaian agar pengukuran
tetap akurat.
6. Gelas kimia Sterilisasi panas Karena gelas kimia bukan
kering (oven) termasuk alat presisi atau alat
ukur yang perlu dijaga
keakuratannya dari pemuaian
juga tahan pemanasan suhu
tinggi.
7. Kaca Arloji Sterilisasi panas Karena kaca arloji bukan
kering (oven) termasuk alat presisi atau alat
ukur yang perlu dijaga
keakuratannya dari pemuaian
juga tahan pemanasan suhu
tinggi.
8. Labu ukur Sterilisasi panas Karena labu ukur merupakan
lembab (autoclave) alat presisi atau alat ukur
sehingga perlu dijaga dari
pemuaian agar pengukuran
tetap akurat.
9. Pipet tetes Sterilisasi panas Karena pipet tetes bukan
kering/ panas lembab termasuk alat presisi atau alat
ukur yang perlu dijaga
keakuratannya dari pemuaian
juga tahan pemanasan suhu
tinggi. Namun tutup pipet
berbahan dasar karet yang tidak
tahan pemanasan suhu tinggi
sehingga lebih baik di sterilisasi
dengan autoklaf ataupun di
sterilisasi secara terpisah.
10. Pipet volume Sterilisasi panas Karena pipet volume
lembab (autoclave) merupakan alat presisi atau alat
ukur sehingga perlu dijaga dari
pemuaian agar pengukuran
tetap akurat juga tutup pipet
berbahan dasar karet yang tidak
tahan pemanasan suhu tinggi.
11. Spatel Sterilisasi panas Karena spatel bukan termasuk
kering (oven) alat presisi atau alat ukur yang
perlu dijaga keakuratannya dari
pemuaian juga tahan
pemanasan suhu tinggi.
6.2.2 Infus Na Bikarbonat
Metode Sterilisasi Bahan
No Nama Bahan Metode Sterilisasi Alasan
1 Natrium Bikarbonat Awal : Teknik aseptis Na Bikarbonat bersifat
Akhir : Sterilisasi termolabil (tidak tahan
filtrasi dengan pemanasan)
membran filter
2 Aqua pro injeksi Sterilisasi panas Karena Aqua P.I berupa
lembab (autoclave) cairan yang kompatibel
terhadap uap air
3 Karbon Adsorben Sterilisasi panas Zat tahan terhadap panas
lembab (autoclave) dan berada dalam botol
plastik/kaca juga
efektifitasnya lebih tinggi
ketika di sterilisasi
menggunakan autoklaf
4 Sediaan akhir infus Sterilisasi panas Karena sediaan infus
Na Bikarbonat lembab (autoclave) bersifat termostabil dan
tahan penembusan uap air
(karena berupa larutan
dengan pembawa air)

Metode Sterilisasi Alat


No Nama Alat Metode sterilisasi Alasan
1. Botol Infus Sterilisasi panas Karena botol infus bukan
lembab (autoclave) termasuk alat presisi atau alat
ukur sehingga keakuratan tak
dipermasalahkan jika berubah
akibat pemanasan. Sterilisasi
panas lembab dipilih karena
tutup flakon berbahan dasar
karet sehingga tidak bisa
disterilisasi dengan suhu sangat
tinggi sehingga digunakan
autoclave.
2. Batang Sterilisasi panas Karena batang pengaduk bukan
pengaduk kering (oven) termasuk alat presisi atau alat
ukur yang perlu dijaga
keakuratannya dari pemuaian
juga tahan pemanasan suhu
tinggi.
3. Corong Sterilisasi panas Karena corong bukan termasuk
kering (oven) alat presisi atau alat ukur yang
perlu dijaga keakuratannya dari
pemuaian juga tahan
pemanasan suhu tinggi.
4. Erlenmenyer Sterilisasi panas Karena erlenmeyer bukan
kering (oven) termasuk alat presisi atau alat
ukur yang perlu dijaga
keakuratannya dari pemuaian
juga tahan pemanasan suhu
tinggi.
5. Gelas ukur Sterilisasi panas Karena gelas ukur merupakan
lembab (autoclave) alat presisi atau alat ukur
sehingga perlu dijaga dari
pemuaian agar pengukuran
tetap akurat.
6. Gelas kimia Sterilisasi panas Karena gelas kimia bukan
kering (oven) termasuk alat presisi atau alat
ukur yang perlu dijaga
keakuratannya dari pemuaian
juga tahan pemanasan suhu
tinggi.
7. Kaca Arloji Sterilisasi panas Karena kaca arloji bukan
kering (oven) termasuk alat presisi atau alat
ukur yang perlu dijaga
keakuratannya dari pemuaian
juga tahan pemanasan suhu
tinggi.
8. Labu ukur Sterilisasi panas Karena labu ukur merupakan
lembab (autoclave) alat presisi atau alat ukur
sehingga perlu dijaga dari
pemuaian agar pengukuran
tetap akurat.
9. Pipet tetes Sterilisasi panas Karena pipet tetes bukan
kering/ panas lembab termasuk alat presisi atau alat
ukur yang perlu dijaga
keakuratannya dari pemuaian
juga tahan pemanasan suhu
tinggi. Namun tutup pipet
berbahan dasar karet yang tidak
tahan pemanasan suhu tinggi
sehingga lebih baik di sterilisasi
dengan autoklaf ataupun di
sterilisasi secara terpisah.
10. Pipet volume Sterilisasi panas Karena pipet volume
lembab (autoclave) merupakan alat presisi atau alat
ukur sehingga perlu dijaga dari
pemuaian agar pengukuran
tetap akurat juga tutup pipet
berbahan dasar karet yang tidak
tahan pemanasan suhu tinggi.
11. Spatel Sterilisasi panas Karena spatel bukan termasuk
kering (oven) alat presisi atau alat ukur yang
perlu dijaga keakuratannya dari
pemuaian juga tahan
pemanasan suhu tinggi.

6.3 Prosedur Pembuatan Sediaan


6.3.1 Infus Ringer Laktat
Untuk prosedur pembuatan infus Ringer Laktat langkah pertama yaitu
disiapkan alat juga bahan yang akan digunakan kemudian semua alat disterilisasi
menggunakan cara sterilisasi yang sesuai. Natrium laktat, NaCl, KCl, dan CaCl2
ditimbang lalu masing-masing zat dilarutkan dengan Aqua Pro Injection, setelah itu
zat yang sudah dilarutkan dimasukkan ke dalam gelas kimia, diaduk hingga
homogen. Selanjutnya karbon aktif ditambahkan ke dalam larutan sediaan infus lalu
larutan dipanaskan diatas hotplate (60°C-70°C) selama 15 menit sambil sesekali
diaduk. Berikutnya larutan infus yang sudah dipanaskan, disaring menggunakan
filter apparatus setelah itu larutan infus yang ditampung, dipindahkan ke dalam
botol lalu ditambahkan sisa Aqua Pro Injection hingga 500 ml kedalam botol.
Kemudian sediaan infus diberi label, lalu sediaan infus ditali dengan menggunakan
benang kasur untuk disterilisasi akhir dengan metode panas lembap menggunakan
autoklaf 121°C selama 15 menit. Dan pada akhirnya dilakukan evaluasi pada
sediaan infus Ringer Laktat.

6.3.2 Infus Na Bikarbonat


Untuk prosedur pembuatan infus Natrium Bikarbonat pertama-tama
disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, selanjutnya semua alat disterilisasi
menggunakan cara sterilisasi yang sesuai. Pada proses pembuatan sediaan infus
Natrium bikarbonat dilakukan dengan teknik aseptik dibawah Laminar Air Flow
(LAF). Kemudian Na bikarbnat dilarutkan menggunakan Aqua Pro Injection lalu
diaduk hingga melarut setelah itu ditambahkan karbon aktif ke dalam larutan
sediaan infus. Langkah selanjutnya ialah larutan dipanaskan diatas hotplate (60°C-
70°C) selama 15 menit sambil diaduk sesekali. Larutan infus yang telah dipanaskan,
kemudian disaring menggunakan filter apparatus setelah itu larutan infus yang
ditampung, dipindahkan ke dalam botol dan ditambahkan sisa Aqua Pro Injection
hingga 500 ml. Lalu sediaan infus diberi label kemudian disterilisasi akhir dengan
sterilisasi filtrasi dan selanjutnya dilakukan evaluasi pada sediaan infus Natrium
Bikarbonat.

6.4 Evaluasi Sediaan


6.4.1 Infus Ringer Laktat
A. Uji Organoleptik
Uji organoleptik bertujuan untuk mengetahui mutu atau kualitas dari sediaan
atau zat menggunakan indera manusia sebagai alat utama. Prinsipnya dengan
dilakukan pengujian secara organoleptis untuk identifikasi kejernihan, bau, rasa,
dan warna (Soekarto, 1985). Sediaan memenuhi syarat apabila warna dan bau
sesuai dengan spesifikasi formula sediaan yang ditargetkan.
Setelah diamati diperoleh hasil bahwa sediaan infus Ringer Laktat tidak
berwarna dan tidak berbau.
B. Uji Penetapan pH
Uji penetapan pH dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pH sediaan
yang sesuai dengan persyaratan yang sudah ditentukan. Prinsip dari pengujian ini
adalah Pengukuran pH sediaan dengan menggunakan pH meter yang telah
dibakukan. Alat yang digunakan adalah pH meter (Dirjen, POM. 2020: 2066).
Sediaan memenuhi syarat apabila pH sesuai dengan spesifikasi formula sediaan
yang ditargetkan.
Pertama-tama dimasukan pH indikator kedalam sediaan infus, kemudian
diamati hasil yang diperoleh. Dilihat dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
pH sediaan infus memiliki pH 7.
C. Uji Kejernihan Larutan
Uji ini bertujuan untuk memastikan larutan terbebas dari pengotor dan sesuai
dengan yang di persyaratkan. Prinsipnya yaitu pengujian dilakukan dengan
mengamati secara visual pada latar hitam atau putih dan jika perlu disorot dengan
menggunakan senter. (Lachman, 1989:1355)
Sediaan infus Ringer Laktat diamati pada latar hitam atau putih dan dibantu
dengan sorotan cahaya senter. Setelah diamati diperoleh hasil bahwa sediaan infus
Ringer Laktat jernih.
D. Uji Bahan Partikulat
Tujuan dari pengujian ini adalah mengetahui ada atau tidaknya partikel dalam
sediaan infus. Prinsip pada pengujian ini adalah dengan mengamati partikel pada
sediaan menggunakan visual menggunakan latar hitam atau putih serta senter
sebagai alat bantu.
Sediaan infus Ringer Laktat diamati pada latar hitam atau putih dengan
menggunakan sorotan cahaya senter. Setelah diamati diperoleh hasil bahwa sediaan
infus Ringer Laktat tidak mengandung partikulat asing.
E. Uji Kebocoran
Uji kebocoran ini dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa keutuhan
kemasan untuk menjaga sterilitas dan volume serta kestabilan sediaan. Prinsipnya
adalah mengetahui kelayakan kemasan apakan mengalami kebocoran atau tidak
dengan membalikan wadah yang sudah di tutup dan diberi dasar kertas lalu diamati
apakah ada cairan yang keluar yang ditandai oleh basahnya dasar kertas.
Cara yang dilakukan yaitu dengan pengamatan alat indera mata (visual)
terhadap jumlah kecil, sedangkan jumlah besar tidak mungkin bisa dikerjakan.
Untuk Injeksi Ringer Laktat yang menggunakan wadah-wadah takaran tunggal
disterilkan terbalik yaitu dengan cara ujungnya dibawah ini digunakan pada
pembuatan dalam skala kecil. Jika terjadi kebocoran maka larutan ini akan keluar
dari dalam wadah dan wadah menjadi kosong (Agoes, 2006: 191). Diperoleh hasil
bahwa sediaan infus Ringer Laktat tidak mengalami kebocoran (tidak ada tetesan
cairan yang keluar).
F. Uji Volume Terpindahkan
Uji penetapan volume dalam wadah bertujuan untuk menetapkan volume
injeksi yang dimasukkan dalam wadah agar volume injeksi yang digunakan tepat
atau sesuai dengan yang tertera pada penandaan. Prinsipnya dengan cara
memindahkan sediaan infus kedalam gelas ukur dan diamati volumenya. Sediaan
memenuhi syarat apabila volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah
bila diuji satu persatu.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa volume masing masing sediaan
infus tersebut sesuai dengan volume yang diharapkan.
G. Uji Pirogen
Uji pirogen ditujukan untuk volume sekali penyuntikan > 10 mL. Tujuan dari
uji pirogen yaitu untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat
diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi.
Prinsipnya ialah dengan pengukuran kenaikan suhu kelinci setelah
penyuntikan larutan uji secara intravena (IV) dan ditujukan untuk sediaan yang
dapat ditoleransi dengan uji kelinci dengan dosis penyuntikan tidak lebih dari 10
mL/kg bb dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 menit. Dilakukan pengukuran
suhu tubuh setiap 30 menit selama 3 jam. Sediaan memenuhi syarat apabila tidak
seekor kelinci pun yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5°C atau lebih (Dirjen POM,
1995: 908-909).
H. Depirogenisasi
Depirogenisasi merupakan proses untuk menghilangkan pyrogen dari suatu
larutan atau kemasan obat.
1. Depirogenisasi dengan menghilangkan endotoksin ;
a. Destilasi
Bertujuan menghilangkan endotoksin dengan menghilangkan
pelarut, seperti air dari endotoksin dan bahan tidak murni lainnya
sehingga dimungkinkan untuk menghilangkan beban endotoksin
atau ‘beban pyro’ yang terlalu tinggi.
b. Pembilasan
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dari partikel padat yang
tidak di depirogenisasi oleh panas kering. Bahan kimia untuk
membantu proses ini diantaranya ; Surfaktan, NaOH (0,05-0,5M),
atau bahan pembersih komersial
c. Adsorbsi
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dengan cara Karbon
aktif dimasukkan kedalam sediaan infus lalu dipanaskan pada suhu
60-70°C lalu didiamkan selama 15 menit kemudian disaring
menggunakan vakum filter apparatus untuk menghilangkan karbon
aktif dari larutan selanjutnya sediaan infus siap untuk di sterilisasi
akhir. Metode ini digunakan pada sediaan infus Ringer Laktat yang
dibuat dalam percobaan.
d. Ultrafiltrasi
Variabilitas yang tinggi dari ukuran endotoksin, mungkin sulit untuk
memilih membrane yang benar, oleh karena itu metode ini paling
baik digunakan hanya jika semua endotoksin yang ada lebih besar
dari 300.000 Da. Filter ultra yang tersedia secara komersial telah
terbukti menghilangkan pyrogen ke tingkat dibawah 0,001EU/mL
e. Osmosa balik
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dengan memaksa air
melalui pori pori yang sangat kecil dalam membrane melawan
gradien osmotic; air melewati membrane, tetapi endotoksin tidak.
2. Dengan menginaktivasi endotoksin ;
a. Hidrolisis asam
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dengan menghilangkan
aktivasi biologi dari lippolisakarida bakteri dengan aktivasi lemak
A. Prinsipnya dengan menginaktivasi pyrogen dengan asam yaitu
dengan 0,12 M HCl selama 30 menit diikuti dengan pembilasan
yang luas ; 0,05 HCl selama 30 menit di 100°C ; 1% asam asetat
glasial selama 2 sampai 3 jam pada 100°C.
b. Hidrolisis basa
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dengan saponifikasi
asam lemak dari lipid A. Contoh : NaOH konsentrasi antara 0,05 dan
0,5 M. Selain perusakan endotoksin dengan hidrolisis, pada pH
tinggi afinitas permukaan endotoksin berkurang dan solubilisasinya
meningkat, sehingga memungkinkan untuk mudah dibilas.
c. Oksidasi
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dengan oksidasi
menggunakan H2O2 yang terbukti efektif digunakan dalam
menginaktivasi pyrogen. Contoh lain ETO adalah agen pengoksidasi
lain. Hal ini banyak digunakan untuk mensterilkan bahan, terutama
peralatan medis. Berdasarkan literatur ETO dapat menonaktifkan
endotoksin tetapi tidak cukup efektif untuk mencapai pengurangan
yang signifikan.
d. Pemanasan
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin untuk silicon seperti
tabung dengan panas kering, tetapi pada suhu 250°C membuat
tabung rapuh dan rentan terhadap retak dan kerusakan. Suhu 180°C
efektif menghancurkan endotoksin dengan waktu lwbih cepat. USP
menyatakan umumnya digunakan pengaturan waktu dan suhu 30
menit pada 250°C.

6.4.2 Infus Na Bikarbonat


A. Uji Organoleptik
Uji organoleptik bertujuan untuk mengetahui mutu atau kualitas dari sediaan
atau zat menggunakan indera manusia sebagai alat utama. Prinsipnya dengan
dilakukan pengujian secara organoleptis untuk identifikasi kejernihan, bau, rasa,
dan warna (Soekarto, 1985). Sediaan memenuhi syarat apabila warna dan bau
sesuai dengan spesifikasi formula sediaan yang ditargetkan.
Setelah diamati diperoleh hasil bahwa sediaan infus Na Bikarbonat tidak
berwarna dan tidak berbau.
B. Uji Penetapan pH
Uji penetapan pH dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pH sediaan
yang sesuai dengan persyaratan yang sudah ditentukan. Prinsip dari pengujian ini
adalah Pengukuran pH sediaan dengan menggunakan pH meter yang telah
dibakukan. Alat yang digunakan adalah pH meter (Dirjen, POM. 2020: 2066).
Sediaan memenuhi syarat apabila pH sesuai dengan spesifikasi formula sediaan
yang ditargetkan.
Pertama-tama dimasukan pH indikator kedalam sediaan infus, kemudian
diamati hasil yang diperoleh. Dilihat dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
pH sediaan infus memiliki pH 7.
C. Uji Kejernihan Larutan
Uji ini bertujuan untuk memastikan larutan terbebas dari pengotor dan sesuai
dengan yang di persyaratkan. Prinsipnya yaitu pengujian dilakukan dengan
mengamati secara visual pada latar hitam atau putih dan jika perlu disorot dengan
menggunakan senter. (Lachman, 1989:1355)
Sediaan infus Na Bikarbonat diamati pada latar hitam atau putih dan dibantu
dengan sorotan cahaya senter. Setelah diamati diperoleh hasil bahwa sediaan infus
Na Bikarbonat jernih.
D. Uji Bahan Partikulat
Tujuan dari pengujian ini adalah mengetahui ada atau tidaknya partikel dalam
sediaan infus. Prinsip pada pengujian ini adalah dengan mengamati partikel pada
sediaan menggunakan visual menggunakan latar hitam atau putih serta senter
sebagai alat bantu.
Sediaan infus Na Bikarbonat diamati pada latar hitam atau putih dengan
menggunakan sorotan cahaya senter. Setelah diamati diperoleh hasil bahwa sediaan
infus Na Bikarbonat tidak mengandung partikulat asing.
E. Uji Kebocoran
Uji kobocoran ini dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa keutuhan
kemasan untuk menjaga sterilitas dan volume serta kestabilan sediaan. Prinsipnya
adalah mengetahui kelayakan kemasan apakan mengalami kebocoran atau tidak
dengan membalikan wadah yang sudah di tutup dan diberi dasar kertas lalu diamati
apakah ada cairan yang keluar yang ditandai oleh basahnya dasar kertas.
Cara yang dilakukan yaitu dengan pengamatan alat indera mata (visual)
terhadap jumlah kecil, sedangkan jumlah besar tidak mungkin bisa dikerjakan.
Untuk Injeksi Na Bikarbonat yang menggunakan wadah-wadah takaran tunggal
disterilkan terbalik yaitu dengan cara ujungnya dibawah ini digunakan pada
pembuatan dalam skala kecil. Jika terjadi kebocoran maka larutan ini akan keluar
dari dalam wadah dan wadah menjadi kosong (Agoes, 2006: 191). Diperoleh hasil
bahwa sediaan infus Na Bikarbonat tidak mengalami kebocoran (tidak ada tetesan
cairan yang keluar).
F. Uji Volume Terpindahkan
Uji penetapan volume dalam wadah bertujuan untuk menetapkan volume
injeksi yang dimasukkan dalam wadah agar volume injeksi yang digunakan tepat
atau sesuai dengan yang tertera pada penandaan. Prinsipnya dengan cara
memindahkan sediaan infus kedalam gelas ukur dan diamati volumenya. Sediaan
memenuhi syarat apabila volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah
bila diuji satu persatu.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa volume masing masing sediaan
infus tersebut sesuai dengan volume yang diharapkan.
G. Uji Pirogen
Uji pirogen ditujukan untuk volume sekali penyuntikan > 10 mL. Tujuan dari
uji pirogen yaitu untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat
diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi.
Prinsipnya ialah dengan pengukuran kenaikan suhu kelinci setelah
penyuntikan larutan uji secara intravena (IV) dan ditujukan untuk sediaan yang
dapat ditoleransi dengan uji kelinci dengan dosis penyuntikan tidak lebih dari 10
mL/kg bb dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 menit. Dilakukan pengukuran
suhu tubuh setiap 30 menit selama 3 jam. Sediaan memenuhi syarat apabila tidak
seekor kelinci pun yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5°C atau lebih (Dirjen POM,
1995: 908-909).
H. Depirogenasi
Depirogenisasi merupakan proses untuk menghilangkan pyrogen dari suatu
larutan atau kemasan obat.
1. Depirogenisasi dengan menghilangkan endotoksin ;
a. Destilasi
Bertujuan menghilangkan endotoksin dengan menghilangkan
pelarut, seperti air dari endotoksin dan bahan tidak murni lainnya
sehingga dimungkinkan untuk menghilangkan beban endotoksin
atau ‘beban pyro’ yang terlalu tinggi.
b. Pembilasan
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dari partikel padat yang
tidak di depirogenisasi oleh panas kering. Bahan kimia untuk
membantu proses ini diantaranya ; Surfaktan, NaOH (0,05-0,5M),
atau bahan pembersih komersial
c. Adsorbsi
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dengan cara Karbon
aktif dimasukkan kedalam sediaan infus lalu dipanaskan pada suhu
60-70°C lalu didiamkan selama 15 menit kemudian disaring
menggunakan vakum filter apparatus untuk menghilangkan karbon
aktif dari larutan selanjutnya sediaan infus siap untuk di sterilisasi
akhir. Metode ini digunakan pada sediaan infus Natrium Karbonat
yang dibuat dalam percobaan.
d. Ultrafiltrasi
Variabilitas yang tinggi dari ukuran endotoksin, mungkin sulit untuk
memilih membrane yang benar, oleh karena itu metode ini paling
baik digunakan hanya jika semua endotoksin yang ada lebih besar
dari 300.000 Da. Filter ultra yang tersedia secara komersial telah
terbukti menghilangkan pyrogen ke tingkat dibawah 0,001EU/mL
e. Osmosa balik
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dengan memaksa air
melalui pori pori yang sangat kecil dalam membrane melawan
gradien osmotic; air melewati membrane, tetapi endotoksin tidak.
2. Dengan menginaktivasi endotoksin ;
a. Hidrolisis asam
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dengan menghilangkan
aktivasi biologi dari lippolisakarida bakteri dengan aktivasi lemak
A. Prinsipnya dengan menginaktivasi pyrogen dengan asam yaitu
dengan 0,12 M HCl selama 30 menit diikuti dengan pembilasan
yang luas ; 0,05 HCl selama 30 menit di 100°C ; 1% asam asetat
glasial selama 2 sampai 3 jam pada 100°C.
b. Hidrolisis basa
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dengan saponifikasi
asam lemak dari lipid A. Contoh : NaOH konsentrasi antara 0,05 dan
0,5 M. Selain perusakan endotoksin dengan hidrolisis, pada pH
tinggi afinitas permukaan endotoksin berkurang dan solubilisasinya
meningkat, sehingga memungkinkan untuk mudah dibilas.
c. Oksidasi
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin dengan oksidasi
menggunakan H2O2 yang terbukti efektif digunakan dalam
menginaktivasi pyrogen. Contoh lain ETO adalah agen pengoksidasi
lain. Hal ini banyak digunakan untuk mensterilkan bahan, terutama
peralatan medis. Berdasarkan literatur ETO dapat menonaktifkan
endotoksin tetapi tidak cukup efektif untuk mencapai pengurangan
yang signifikan.
d. Pemanasan
Bertujuan untuk menghilangkan endotoksin untuk silicon seperti
tabung dengan panas kering, tetapi pada suhu 250°C membuat
tabung rapuh dan rentan terhadap retak dan kerusakan. Suhu 180°C
efektif menghancurkan endotoksin dengan waktu lebih cepat. USP
menyatakan umumnya digunakan pengaturan waktu dan suhu 30
menit pada 250°C.
VII. HASIL PENGAMATAN
7.1 Infus Ringer Laktat
Organoleptik pH Uji Uji Volume Uji Uji
Warna Bau Kejernihan Kebocoran Terpindahkan Partikulat Pirogen
Tidak Tidak 7,421 Jernih Tidak bocor 99% Tidak ada Tidak
berwarna berbau ada
Tidak Tidak 7,395 Jernih Tidak bocor 100% Tidak ada Tidak
berwarna berbau ada

7.2 Infus Na Bikarbonat


Organoleptik pH Uji Uji Volume Uji Uji
Warna Bau Kejernihan Kebocoran Terpindahkan Partikulat Pirogen
Tidak Tidak 7,382 Jernih Tidak bocor 100% Tidak ada Tidak
berwarna berbau ada
Tidak Tidak 7,415 Jernih Tidak bocor 100% Tidak ada Tidak
berwarna berbau ada

VIII. PEMBAHASAN
8.1 Infus Ringer Laktat
Infus merupakan sediaan steril, dimana dapat berupa larutan atau emulsi
dengan air sebagai fase kontinyunya, infus sendiri biasanya dibuat isotonis dengan
kadar darah. Infus berprinsip untuk pemberian dalam volume yang besar pada
tubuh. Infus harus berupa sediaan injeksi dosis tunggal dengan tujuan intravena dan
dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 mL (Perdana, 2016). Tujuan
pembuatan sediaan infus dikarenakan sediaan ini dapat mensuplai kebutuhan
nutrisi, kebutuhan air, elektrolit, dan karbohidrat sederhana yang diperlukan oleh
tubuh. Serta infus juga dapat bertindak sebagai pembawa untuk obat-obatan yang
dicampurkan dengan larutan infus, sebagai larutan untuk memperbaiki
keseimbangan asam-basa tubuh, sebagai agen dialisis pada pasien penderita gagal
ginjal dan sebagai cairan pengganti cairan plasma tubuh. Sediaan infus memiliki
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu sediaan harus steril dapat berupa
larutan atau emulsi (air sebagai fase luar), bebas pirogen, harus dibuat isotonis
terhadap kadar darah dalam tubuh, infus tidak mengandung mikroorganisme dan
zat dapar, larutan untuk infus harus jernih dan praktis bebas partikel, sementara
emulsi untuk infus intravena setelah dikocok harus homogen atau tidak
menunjukkan pemisahan fase dan dalam etiketnya harus diberi penandaan yang
menyatakan konsentrasi mosmol total dalam satuan mosol/L (miliosmol/liter).

Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan sediaan steril berupa sediaan
Infus Ringer Laktat dengan volume sediaan 500 mL. Sediaan infus ringer laktat
harus dibuat steril, bebas mikroba maupun pirogen karena akan berhubungan
langsung dengan darah atau cairan tubuh serta jaringan tubuh yang pertahanannya
terhadap zat asing tidak sekompleks pada bagian tubuh lainnya seperti saluran cerna
atau gastrointestinal. Menurut (Soenarjo. J, 2013) Ringer laktat merupakan cairan
yang isotonis dengan kadar darah dan dimaksudkan untuk pengganti cairan tubuh.
Menurut (Syamsuhidayat. R, 2010) Ringer laktat merupakan cairan kristaloid,
ringer laktat biasanya digunakan untuk luka bakar, syok, dan cairan preload pada
saat operasi. Menurut (Leksana E. 2006) Ringer laktat merupakan cairan yang
memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma darah. Satu liter cairan ringer
laktat memiliki kandungan 130 mEq ion natrium yang setara dengan 130 mmol/L,
109 mEq ion klorida yang setara dengan 109 mmol/L, 28 mq laktat yang setara
dengan 28 mmol/L, 4 mEq ion kalium yang setara dengan 4 mmol/L, 3 mEq ion
kalsium yang setara dengan 1,5 mmol/L. Adapun anion laktat yang terdapat dalam
ringer laktat akan dimetabolisme di hati dan diubah menjadi bikarbonat untuk
memperbaiki keadaan asidosis (kondisi yang terjadi ketika kadar asam di dalam
tubuh sangat tinggi), sehingga ringer laktat baik untuk memperbaiki keadaaan
asidosis. Menurut (Zander R. 2006) Laktat dalam ringer laktat sebagian besar akan
dimetabolisme melalui proses glukoneogenesis. Dimana setiap satu mol laktat akan
menghasilkan satu mol bikarbonat. Menurut (Muchlis M, 2012) Pasien dengan
kondisi hamil memiliki kadar laktat yang berbeda karena plasenta atau ari-ari akan
menghasilkan laktat yang nantinya menuju sirkulasi maternal.
Zat aktif yang digunakan dalam pembuatan sediaan infus ringer laktat 500
mL yaitu natrium laktat 0,31%, kalium klorida 0,02%, kalsium klorida 0,03% dan
natrium klorida 0,6%. Natrium laktat bertindak sebagai buffer dan agen isotonis.
Selain itu laktat dalam sediaan Ringer laktat juga dapat digunakan untuk
memperbaiki asidosis metabolik dan penyakit lainnya. Natrium klorida dapat
digunakan sebagai cairan resusitasi (terapi pengganti) untuk mengisi kembali cairan
tubuh atau elektrolit yang hilang dalam tubuh, dan sebagai pengencer sel darah
merah sebelum transfusi darah. Kalium klorida bertindak sebagai agen antibakteri,
dan kalsium klorida bertindak sebagai agen penyerapan air dan antibakteri. Selain
itu eksipient yang digunakan dalam produksi infus Ringer laktat adalah karbon
adsorben 0,1% dan injeksi aqua pro 500 mL. Adsorben carbo bertindak sebagai
adsorben atau penjerat sehingga zat pembawa tidak memiliki pirogen, sedangkan
aqua pro injection bertindak sebagai zat pembawa sediaan dimana telah melewati
proses sterilisasi sediaan injeksi intravena. Karena rute pemberiannya harus steril
(tanpa mikroorganisme dan partikel asing).

Sebelum pembuatan sediaan infus, terlebih dahulu dilakukan perhitungan


tonisitas dan osmolaritas. Menurut (Suhartini, 2015) Osmolaritas merupakan istilah
kimia yang menggambarkan berapa banyak molekul yang dilarutkan dalam cairan.
Jika semakin banyak zat - zat yang dilarutkan dalam cairan, maka semakin tinggi
osmolaritas tersebut. Perbedaan utama antara tonisitas dan osmolaritas adalah
tonisitas hanya mengukur konsentrasi zat terlarut yang tidak menembus melalui
membran semipermeabel, sedangkan osmolaritas mengukur konsentrasi total zat
terlarut yang nantinya menembus dan yang tidak menembus. Menurut (Khoerunisa,
2017) Larutan isotonis adalah larutan yang memiliki tekanan osmosis yang sama
dengan tubuh, dan larutan yang disuntikkan dalam keadaan isotonis tidak akan
menimbulkan rasa sakit. Larutan hipotonis dapat menyebabkan sel cairan tubuh
pecah atau larut, karena tekanan di luar sel rendah maka cairan di dalam sel akan
membengkak dan pecah. Karena tekanan osmosis berubah dari cairan konsentrasi
rendah (encer) ke konsentrasi tinggi. Pada keadaan hipertonis, keadaan di luar sel
akan lebih tinggi daripada keadaan di dalam sel, yang menyebabkan cairan di dalam
sel mengalir keluar dan menyebabkan sel menyusut. Keadaan hipotonis lebih
berbahaya daripada hipertonis, karena hipotonis bersifat ireversibel (terutama jika
sel pecah), dan hipertonis bersifat reversibel, karena jika sel menyusut, dalam
beberapa kasus seiring bertambahnya cairan tubuh, sel dapat kembali ke keadaan
semula. Sehingga jika sediaan dibuat sedikit hipertonis tidak apa, selain karena sifat
hipertonis yang reversible, sediaan infus secara single dose dengan pemberian
sedikit demi sedikit yang tidak membahayakan tubuh. Didapatkan hasil perhitungan
tonisitas didapatkan %E yaitu 0,817% dimana %E kurang dari 0,9% sehingga
sediaan bersifat hipotonis maka dilakukan penambahan NaCl sebanyak 0,083%.
Keadaan larutan bersifat hipotonis, dimana sejumlah besar cairan akan masuk ke
dalam sel dengan konsentrasi yang lebih tinggi, yang dapat menyebabkan
pembengkakan dan nyeri. Selain itu, pemisahan sel (hemolisis) dapat terjadi, yang
dapat menyebabkan kerusakan permanen pada pasien, sehingga NaCl ditambahkan
untuk membuat larutan menjadi isotonis. Namun perbedaannya adalah jika
larutannya hipertonis, maka cairan di dalam sel akan tertarik, sel akan menyusut
(tidak berfungsi dengan baik) dan akan timbul rasa sakit, namun kerusakan yang
ditimbulkan tidak permanen dan sel akan kembali normal. Biasanya hal ini terjadi
setelah cairan tersebut masuk ke dalam tubuh. Kemudian didapatkan tekanan
osmosis yang dihitung dari sediaan infus Ringer laktat adalah 272,28 MOsmol/L,
sehingga sediaan infus tersebut isotonis dan memenuhi persyaratan sediaan infus
isotonis bagi darah.

Setelah dilakukan perhitungan tonisitas dan osmolaritas, dilakukan


penyiapan alat dan penimbangan bahan yang digunakan. Untuk mengatasi
penurunan konsentrasi bahan yaitu natrium laktat, kalium klorida, kalsium klorida
dan natrium klorida ditambahkan 5% untuk bahan pada saat penimbangan. Dan
untuk injeksi aqua pro ditambahkan 2% untuk mengurangi penguapan saat
dipanaskan di atas hot plate. Kemudian dilakukan sterilisasi semua alat dan bahan
menggunakan metode sterilisasi yang sesuai. dilarutkan semua bahan dengan aqua
pro injeksi sesuai dengan kelarutannya dan dicampurkan ke dalam gelas kimia
sampai merata. Kemudian ditambahkan karbon adsorben ke dalam larutan infus dan
dipanaskan di atas hot plate pada suhu 60-70 °C selama 15 menit sambil sesekali
diaduk. Karbon adsorben dapat mengadsorbsi gas dan senyawa kimia karena
memiliki jumlah pori yang banyak serta memiliki daya serap yang relatif tinggi
sehingga sediaan nantinya bebas pirogen. Kemudian, diamkan hingga suhu sedikit
hangat dan disaring dengan alat filtrasi vakum filter apparatus. Salah satu teknik
filtrasi yang menggunakan vakum dengan prinsip metode filtrasi yang
menggunakan pompa vakum sebagai penggerak atau pendorong agar proses filtrasi
menjadi lebih cepat. Adanya pompa vakum akan menyedot cairan melalui media
filter (kertas saring) sehingga lebih cepat dibandingkan tanpa bantuan pompa.
Media filter memiliki pori-pori dengan diameter yang berbeda-beda, pada
praktikum kali ini kertas saring Whatman dipilih sesuai dengan ukuran partikel
yang akan disaring. Setelah disaring, dimasukkan infus lalu ditambahkan sisa aqua
pro injeksi sampai 500 mL, lalu dipindahkan ke botol tertutup dengan etiket
informasi formulasi. Kemudian sediaan infus disterilkan dengan sterilisasi akhir
dengan cara meletakkan sediaan infus yang dikaitakan dengan benang/tali Kasur
lalu dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Pemilihan
metode sterilisasi akhir dengan cara autoklaf karena sediaan infus ringer laktat
bersifat termostabil dan tahan terhadap penembusan uap air.

Selain itu, infus Ringer laktat juga dievaluasi. Evaluasi sediaan bertujuan
untuk melihat apakah sediaan infus yang disiapkan memenuhi persyaratan yang
dipersyaratkan. Uji evaluasi infus Ringer Laktat meliputi uji organoleptis, uji
penentuan volume wadah infus, uji penetapan pH, uji kejernihan larutan, uji
partikel, uji kebocoran dan uji depirogenasi yaitu dari larutan atau wadah/kemasan
obat Keluarkan pirogen. Depirogenasi untuk menghilangkan endotoksin dapat
dilakukan dengan destilasi, pembilasan, adsorpsi, dan ultrafiltrasi. Depirogenasi
endotoksin yang tidak aktif dilakukan dengan beberapa cara, yaitu hidrolisis asam,
hidrolisis basa, oksidasi dan pemanasan. Pengujian pirogen dilakukan untuk
membatasi risiko reaksi demam pada tingkat yang dapat diterima oleh pasien pada
pemberian sediaan dengan cara rabbit test. Keuntungan dari metode uji ini yaitu
kelinci memiliki sensitivitas terhadap substansi yang mirip dengan manusia,
kenaikan suhu akibat substansi-pirogenik sampai batas tertentu masih dapat
diterima oleh manusia. Adapun, kelemahan dari metode uji ini yaitu memerlukan
waktu pemeliharaan dan perawatan yang lebih intensif, sensitivitas dipengaruhi
oleh musim dan variabilitas biologis. Hasil dari evaluasi sediaan terlampir pada Bab
Hasil Pengamatan dan Pengolahan Data.

8.2 Infus Na Bikarbonat


Pada praktikum kali ini membuat sediaan steril infus Natrium Bikarbonat.
Menurut Syamsuni (2006: 228), infus intravena (infundabilia) adalah sediaan steril
berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis
terhadap darah, dan disuntikkan lansung ke dalam vena dalam volume relatif
banyak. Menurut BP (2009: 6552), infus tidak mengandung tambahan berupa
pengawet antimikroba. Larutan untuk infus, diperiksa secara visibel pada kondisi
yang sesuai adalah jernih dan praktis bebas partikel-partikel. Emulsi pada infus
tidak menunjukkan adanya pemisahan fase. Menurut Agoes (2013), sediaan
parenteral volume besar adalah produk obat dengan pembawa air dalam bentuk
kontener dosis tunggal, disterilkan secara terminal dengan kapasitas 100 mililiter
atau lebih, yang akan diberikan atau digunakan pada manusia.

Menurut Syamsuni (2006: 228-229), tujuan pemberian infus intravena


diantaranya:

1. Mengganti cairan tubuh dan mengimbangi jumlah elektrolit dalam tubuh,


misalnya Sol. Ringer Laktat (RL), Sol. NaCl 0.9% b⁄v.
2. Dalam bentuk larutan koloid dapat dipakai mengganti darah manusia, misalnya
larutan koloid PVP 3,5% (Polivinilpirolidon/ Povidon).
3. Dapat diberikan dengan maksud untuk penambahan kalori, misalnya Aminovel-
600, 1000, Aminofusin-600,850, 1000.
4. Sebagai obat, diberikan dalam jumlah besar dan terus menerus jika tidak dapat
disuntikan secara biasa, misalnya obat antikanker, antibiotik, anestetik, hormone
yang larut dalam air, vitamin.
Menurut Syamsuni (2006: 229-230), syarat-syarat infus intravena,
diantaranya:
1. Jika bentuk emulsi, dibuat dengan air sebagai fase luar, diameter fase dalam
tidak lebih dari 5 μm.
2. Tidak boleh mengandung bakterisida dan zat dapar.
3. Harus jernih dan bebas partikel.
4. Bentuk emulsi jika dikocok harut tetap homogen dan tidak menunjukkan
pemisahan.
Menurut Syamsuni (2006), keuntungan sediaan infus, diantaranya:
1. Dapat digunakan untuk pemberian obat agar bekerja cepat, seperti pada keadaan
darurat.
2. Dapat digunakan untuk penderita yang tidak dapat diajak bekerja sama dengan
baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan melalui oral.
3. Pelepasan obat ke dalam darah dapat diatur.
Menurut Syamsuni (2006), kerugian sediaan infus, diantaranya:
1. Terdapat gumpalan udara pada pembuluh darah.
2. Inkompatibilitas obat (bisa sebelum atau sesudah penyuntikan).
3. Hipersensitivitas.
4. Infiltrasi atau ekstravasasi (rasa nyeri pada daerah sekitar).
5. Sepsis (infeksi bakteri sistemik).
6. Pemakaian sediaan lebih sulit dan lebih tidak disukai oleh pasien.
7. Obat yang telah diberikan secara intravena tidak dapat ditarik lagi.
Bahan aktif yang digunakan yaitu Natrium Bikarbonat yang dapat dengan
cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi. Natrium bikarbonat
adalah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk mengatasi
asidosis metabolik, alkalinisasi urin dan pengobatan radikal pruritus (Syarif, 2012).
Natrium bikarbonat bersifat alkalis dengan efek antasid yang sama dengan kalsium
karbonat. Efek sampingnya pada penggunaan berlebihan adalah terjadinya alkalosis
dengan gejala sakit kepala, perasaan haus sekali, mual dan muntah-muntah (Tjay
Tan, 2007). Juga dapat digunakan sebagai komponen garam rehidrasi oral dan
sebagai sumber bikarbonat dalam cairan dialisis (Rowe, 2006). Natrium bikarbonat
merupakan alkali natrium yang paling lemah, mempunyai pH 8,3 dalam larutan air
dalam konsentrasi 0,85%. Zat ini menghasilkan kira-kira 52% karbondioksida
(Siregar dan Wikarsa, 2010).
Infus natrium bikarbonat memiliki konsentrasi 7,5% dan 8,4% (DailyMed,
2019). Infus Natrium Bikarbonat 8,4% per ml dalam 1 ampul memiliki rute
pemberian yaitu intravena karena merupakan rute yang dapat menerima sediaan
dalam volume besar (>10 ml) (Rowe, 2009). Pada pemberian intravena mula kerja
dari natrium bikarbonat adalah 15 menit. Kemudian durasi natrium bikarbonat pada
rute intravena durasi natrium bikarbonat selama 1-2 jam. Dimana mekanisme
kerjanya yaitu memberikan ion bikarbonat yang akan menetralkan konsentrasi ion
hydrogen dan meningkatkan pH darah atau urin (MIMS, 2017).
Sediaan infus dibuat dengan tujuan untuk pemberian rute intravena dimana
merupakan rute pemberian cairan obat dalam jumlah besar yang akan terdispersi
dengan cepat pada keselruhan tubuh agar dicapai efek terapeutik dengan cepat.
Pemberian obat sevara intravena dapat menghilangkan mekanisme perlindungan
tubuh dan reaksi yang tidak diinginkan pada pemberian permulaan (onset) yang
mungkin terjadi disebabkan oleh beberapa hal dan dapat berlansung secara cepat
seperti halnya efek keuntungan pda pemberian obat infus (Agoes, 2013).
Natrium bikarbonat dibuat menjadi sediaan infus karena digunakan untuk
dapat mengendalikan asidosis metabolik yang berat (seperti pada gagal ginjal).
Dalam keadaan ini natrium bikarbonat paling baik diberikan dalam volume kecil
larutan hipertonik seperti larutan 8,4% secara intravena dan pH plasma harus
dimonitor. Infus natrium bikarbonat juga digunakan pada penanganan darurat
hiperkalemia (BPOM RI, 2015). Sehingga efek terapeutik segera dapat tercapai
karena penghantaran obat ke tempat target berlansung cepat, adsorbsi total
memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan, kecepatan
pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan maupun
dimodifikasi, (Perry dan Potter, 2005).
Natrium bikarbonat larut sempurna dalam air, tidak higroskopis, tidak
mahal, banyak tersedia di pasaran dalam lima tingkat ukuran partikel (mulai dari
serbuk halus sampai granula seragam yang mengalir bebas (Siregar dan Wikarsa,
2010). Sehingga pada infus natrium bikarbonat digunakan bahan tambahan sebagai
pelarut/pembawa yaitu aqua pro injection (API). Menurut Ansel (1989), aqua pro
injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilisasi dan dikemas dengan cara yang
sesuai, tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya. Selain
itu, sediaan infus natrum bikarbonat juga terdapat penambahan karbon aktif.
Menurut Sudjadi (2008), karbon aktif berguna sebagai agen pendepirogenisasi yaitu
agen yang bekerja dalam menghilangkan pyrogen yang dapat menyebabkan demam
pada saat masuk ke dalam darah.
Sediaan infus intravena dibuat karena sediaan diinginkan dalam bentuk
injeksi dengan pemberian melalui intravena dan dibuat berupa large volume
parenteral. Zat aktif yang digunakan merupakan mudah larut dalam air sehingga
dibuat sediaan berupa larutan. Sediaan yang dibuat berupa infus large volume
parenteral dengan pemberiannya diinjeksikan melalui intravena, maka sediaan tidak
ditambahkan zat pendapar dan pengawet karena akan memberikan efek toksik yang
cenderung lebih besar di dalam tubuh. Maka dari itu sediaan large volume
parenteral umumnya single dose dengan diberikan melalui tetesan dengan
kecepatan tertentu (Putri, 2015).
Karakteristik fisikokimia larutan infus intravena yang paling umum
digunakan dan relevan secara klinik adalah parameter aktivitas osmotik yang
dinyatakan dalam terminologi osmolalitas (jumlah osmol zat terlarut per kg
pelarut), osmolaritas (jumlah osmol zat terlarut per liter larutan), dan isotonisitas.
Osmolalitas larutan adalah jumlah osmos zat terlarut per kilogram pelarut
(mosmol/kg), sedangkan osmolaritas larutan adalah jumlah osmol zat terlarut per
liter larutan (mosmol/liter). Osmolalitas kurang lebih sama dengan osmolaritas
pada larutan encer tapi tidak pada larutan pekat. Osmolalitas normal plasma 280-
295 mosmol⁄kg. Larutan isoosmotik memiliki osmolalitas sama dengan

osmolalitas normal plasma. Osmolalitas dan tonisitas sangat penting dalam terapi
infus secara intravena. Osmosis adalah besar difusi cairan dari tempat
berkonsentrasi rendah (encer) ke tempat berkonsentrasi zat tinggi (kental). Tekanan
osmotik berbanding terbalik dengan konsentrasi air (Agoes, 2013).
Pada hasil perhitungan osmolaritas, konsentrasi natrium bikarbonat 8,4%
didapatkan hasil sebesar 2000 𝑚𝑜𝑠𝑚𝑜𝑙⁄𝐿 dimana sediaan dapat dikatakan dalam

keadaan hipertonis karena melebihi diatas rentang 350 𝑚𝑜𝑠𝑚𝑜𝑙⁄𝐿. Sehingga infus
natrium bikarbonat memiliki konsentrasi yang berbeda dengan cairan tubuh. Pada
perhitungan tonisitas metode ekivalensi didapatkan hasil 5,46% dimana lebih dari
standar NaCL (0,9%) dapat dikatakan hipertonis namun karena pemberian dapat
dilakukan dengan lambat maka tidak perlu dilakukan. Pada perhitungan tonisitas
metode penurunan titik beku didapatkan hasil 26,813% dimana hasil lebih dari
standar 0,52 maka dapat dikatakan hipertonis namun menurut Syarif (2012) infus
adalah sediaan dengan pemberian bervolume besar yang berskala pada tubuh juga
natrium bikarbonat berfungsi untuk mengatasi asidosis metabolic, alkalinisasi urin,
dan pengobatan radikal pruritus maka tidak perlu dilakukan pengenceran.
Didukung dengan referensi dari Anief (1993), karena diberikan secara lambat maka
tidak perlu dilakukan pengenceran karena larutan hipertonis diberikan pada
kecepatan yang lambat walaupun pada awal penyuntikan akan terasa sakit.
Dalam proses pembuatan sediaan steril infus natrium bikarbonat, hal
pertama yang harus dilakukan adalah sterilisasi alat dan bahan yang akan digunakan
dalam pembuatan sediaan steril infus. Agar dapat mengurangi kontaminan dari
mikroorganisme maka semua harus dalam keadaan steril dilakukan dengan teknik
aseptis di bawah LAF. LAF (Laminar Air Flow) digunakan sebagai ruangan untuk
pengerjaan secara aseptis dimana prinsipnya adalah berdasarkan aliran udara keluar
dengan kontaminas udara dapat diminimalkan. Sterilisasi dilakukan pada ruangan
sesuai dengan metode sterilisasi yang digunakan. Bahan tambahan yang digunakan
seperti karbon absorben dan aqua pro injection dilakukan metode sterilisasi dengan
panas lembab menggunakan autoclave pada suhu 121℃ selama 15 menit.
Sedangkan alat yang digunakan seperti batang pengaduk, corong, erlenmeyer, gelas
kimia, kaca arlogi, dan spatel menggunakan metode sterilisasi panas kering (oven)
karena bukan merupakan alat gelas presisi/ ukur yang tidak perlu dijaga
keakuratannya. Dan untuk alat gelas presisi/ukur menggunakan sterilisasi panas
lembab (autoclave) seperti gelas ukur, pipet tetes, dan pipet volume karena dapat
ditembus oleh uap air, terdapat karet pada pipet tetes yang dapat rusak jika
disterilisasi panas kering juga keakuratan dapat terganggu pada pipet volume.
Setelah itu dilakukan proses penimbangan zat aktif dan dilebihkan sebesar
5% agar zat aktif tidak berkurang pada saat proses depirogenisasi pada karbon aktif
karena dapat menyerap zat aktif sehingga ikut terbuang dengan pirogen. Menurut
Farmakope Indonesia Edisi IV, dalam penambahan volume sediaan injeksi sebesar
2% dilakukan untuk mengantisipasi kehilangan volume infus yang hilang ketika
proses sterilisasi dan proses penimbangan. Sehingga penimbangan untuk natrium
bikarbonat sejumlah 2 botol sebesar 89,96 gram, untuk karbon aktif sejumlah 2
botol sebesar 1,02 gram, dan untuk aqua pro injection sejumlah 2 botol sebesar
1020 ml. Natrium bikarbonat dilarutkan dengan API hingga homogen karena
sebagai pelarut dan menghindari suatu partikel dari zat aktif yang belum larut
sempurna sehingga dapat membuat pembuluh darah menjadi tersumbat ketika infus
digunakan pada pasien.
Lalu proses penambahan karbon aktif ke dalam sediaan infus. Menurut
Darmawan (2013), karbon aktif adalah senyawa amorf yang dihasilkan dari bahan
yang mengandung karbon atau untuk mendapatkan daya absorbsi yang tinggi. Lalu
dipanaskan pada suhu 60-70℃ selama 15 menit dan sesekali diaduk sebagai proses
depirogenasi karena dapat meghilangkan pirogen dengan cara menyerap pirogen
dalam infus dan konsentrasi yang digunakan sebesar 0.01%. Proses depirogenasi
ini hanya dilakukan pada sediaan large volume parenteral. Menurut Sudjadi (2008),
pirogen adalah senyawa yang jika masuk ke aliran darah akan mempengaruhi suhu
tubuh dan biasanya menyebabkan demam. Pengobatan demam disebabkan oleh
pirogen sangat sulit dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.
Proses depirogenasi dapat dengan menghilangkan endotoksin diataranya
destilasi, pembilasan, adsorbsi, ultra filtrasi, dan osmosa balik. Destilasi dapat
menghilangkan pelarut seperti air dari endotoksin dan bahan tidak murni lainnya
dengan sangat efektif. Hal ini memungkinkan untuk menghilangkan beban
endotoksin atau beban pyro yang terlalu tinggi. Dengan pembilasan untuk
menghilangkan endotoksin dari partikel padat yang tidak dapat depirogenasasi oleh
panas kering. Dengan adsorpsi memiliki cara karbon aktif dapat dihilangkan dari
larutan dengan menyaring larutan menggunakan vakum filter apparatus. Dengan
ultrafiltrasi ukuran pirogen sangat bervariatif sehingga sulit untuk memilih
membran yang sesuai oleh sebab itu metode ini dapat dipilih karena cocok untuk
endotoksin hingga ukuran 300.000 Da. Dengan osmosa balik memiliki cara air
dipaksa melalui pori-pori yang sangat kecil dalam membrane melawan gradien
osmotik. Membran selektif harus bersifat selektif.
Kemudian proses selanjutnya, disaring dengan menggunakan filter
apparatus menggunakan pompa vakum sebagai gaya pendorong agar proses proses
penyaringan menjadi lebih cepat. Lalu ditambahkan sisa dari aqua pro injection
hingga 500 ml dan dipindahkan ke dalam botol karena zat aktif harus disimpan
dalam wadah kedap udara maka digunakan botol infus yang tertutup rapat dalam
penyimpanannya dan diikat dengan tali benang agar terhindar dari kontaminasi.
Botol diberi label pada etiket sediaan infus dengan mencantumkan osmolaritas yang
diperlukan dalam monografi masing-masing (hendaknya disebutkan kadar osmolar
total dalam miliosmol per liter). Sediaan infus yang telah jadi dilakukan sterilisasi
akhir dengan sterilisasi filtrasi dengan membran filter berukuran 0.22 μm karena
menurut Lachman (1994), cocok bagi zat yang bersifat termolabil atau tidak tahan
panas selain itu natrium bikarbonat memiliki sifat terurai pada uap air. Terakhir
dilakukan evaluasi sediaan infus agar sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan.
Terdapat evaluasi uji organoleptis menurut Heruwati, dkk (2015), adalah uji
menggunakan indera manusia untuk mengukur tekstur, penampakan, aroma, dan
rasa. Pada hasil percobaan didapatkan hasil tidak berwarna dan tidak berbau.
Selanjutnya evaluasi penetapan pH menurut Depkes RI (2014: 1563-1564),
memiliki tujuan untuk mengetahui pH suatu bahan atau sediaan dan untuk
mengetahui kesesuaiannya dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dengan
prisnip pengukuran pH cairan uji berdasarkan beda potensial dari pasangan
elektroda menggunakan pH meter indikator yang telah diketahui. Pada hasil
percobaan didapatkan pH sebesar 7,382 dan 7,415.
Selanjutnya evaluasi uji kejernihan larutan menurut Agoes (2013), memiliki
tujuan memastikan larutan injeksi bebas dari partikulat yang dapat terlihat secara
visual. Pada hasil percobaan didapatkan hasil jernih sehingga memenuhi syarat dan
bebas dari partikulat yang terlihat visual. Ini sesuai dengan interpretasi menurut
Agoes (2013), akan memenuhi syarat jika tidak ditemukan kotoran dalam larutan.
Selanjutnya evaluasi uji kebocoran menurut Agoes (2013), memiliki tujuan
untuk memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan volume serta
kestabilan sediaan. Dengan impretasi sediaan memenuhi syarat bila larutan dalam
wadah tidak menjadi biru dan kertas saring atau kertas tidak basah. Pada hasil
percobaan didapatkan hasil tidak bocor. Ini sesuai dengan interpretasi menurut
Agoes (2013), sediaan akan memenuhi syarat jika larutan dalam wadah tidak
menjadi biru dan kertas saring atau kapas tidak basah.
Selanjutnya evaluasi penetapan volume injeksi dalam wadah menurut
Depkes RI (2014: 1570), memiliki tujuan untuk menetapkan volume injeksi yang
dimasukkan dalam wadah agar volume injeksi yang digunakan tepat/sesuai dengan
tertera pada penandaan. Dengan prinsip penentuan volume dilakukan dengan cara
mengambil sampel dengan alat suntik hipodermik dan memasukkan ke dalam gelas
ukur yang sesuai. Pada hasil percobaan didapatkan hasil 100% yang artinya bahwa
volume masing-masing sediaan infus tersebut sesuai dengan volume yang
diharapkan yaitu 500 ml. Ini sesuai dengan interpretasi menurut FI V (hal.1570),
sediaan akan memenuhi syarat jika volume tidak kurang dari volume yang tertera
pada wadah bila diuji satu per satu.
Selanjutnya bahan partikulat dalam injeksi menurut Depkes RI (2014: 1494-
1504), memiliki tujuan untuk menghitung partikel asing subvisibel dalam rentang
ukuran tertentu dalam sediaan injeksi. Dengan prinsip pengukuran jumlah partikel
berdasarkan hamburan cahayanya larutan uji dan perhitungan partikel yang terlihat
dengan mikroskop. Pada hasil percobaan didapatkan hasil bahwa tidak ada
partikulat asing dalam sediaan infus yang dibuat.
Selanjutnya evaluasi uji pirogen menurut Depkes RI (2014: 1412), memiliki
tujuan untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat diterima oleh
pasien pada pemberian sediaan injeksi. Dengan prinsip pengukuran kenaikan suhu
kelinci setelah penyuntikan larutan uji secara intravena dan untuk sediaan yang
dapat ditoeransi dengan uji kelinci dengan dosis penyuntikan dibawah 10 ml dalam
jangka waktu tidak lebih dari 10 menit. Pada hasil percobaan didapatkan hasil
bahwa tidak ada pirogen dalam sediaan infus yang dibuat. Ini sesuai dengan
interpretasi menurut FI V (hal.1412-909), sediaan akan memenuhi syarat jika setiap
penurunan suhu dianggap nol. Sediaan memenuhi syarat apabila tak seekor kelinci
pun menunjukkan kenaikan suhu 0,5℃ atau lebih.

IX. FORMULA AKHIR & ANALISIS FORMULA


9.1 Formula Akhir Infus Ringer Laktat
R/ Kalium Klorida (KCL) 0,153 gram
CaCl2 anhidrat 0,102 gram
Natrium Klorida (NaCl) 3,06 gram
Natrium Laktat Anhidrat 1,581 gram
Karbon adsorben 0,1 gram
Aqua Pro Injection ad 500 ml
9.1.1. Analisis Formula Infus Ringer Laktat
Dalam praktikum kali ini dibuat sediaan infus ringer laktat yang
berkekuatan kalium klorida 0,03%, CaCl2 anhidrat 0,02%, natrium klorida 0,6%
dan natrium laktat anhidrat 0,31% dengan volume sediaan sebesar 500ml dan dibuat
sebanyak 2 botol. Komposisi ringer laktat adalah garam- garam yang berfungsi
untuk memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh maka
sesuai dengan tujuan dibuat infus (Gennaro, 1998: 1570). Ringer laktat adalah
perawatan yang disiapkan untuk beberapa defesiensi ketika rehidrasi oral tidak
memungkinkan. Meskipun larutan ini lebih mendekati perkiraan konsentrasi
elektrolit ekstraseluler normal, penambahan elektrolit dibutuhkan untuk mencapai
kebutuhan spesifik dan pasien untuk memperbaiki oksidosis, alkalosis atau deficit
individu (elektrolit) (Lachman, 1986: 1292).
Injeksi ringer laktat adalah larutan steril dari kalsium klorida, kalium
klorida, natrium kloridadalam air untuk injeksi. Sediaan ini tidak mengandung
bahan antimikroba. Kalsium, kalium dan natrium terdiri atas kira-kira 2,7 dan 130
mEq/L masing-masing (Gennaro, 1986: 806). Zat terlarut yang dibuat dalam cairan
tubuh adalah elektrolit dan nonelektrolit kation (Na+, K+, Mg2+, dan Ca+) dan anion
(Cl-, HCO3-, SO42-, dan HPO4-) adalah elektrolit utama yang terdapat dalam tubuh.
Keseimbangan kimia selalu dipertahankan. Elektrolit mengkonstribuusikan
hubungan osmotic, mempertahankan keseimbangan asam basa dan kebutuhan
untuk konduksi saraf (Turco, 1970: 200-203).
Garam yang paling sering digunakan ketika aksi kalium diinginkan. Ini
digunakan ketika hipokalemia/ hipokloremia alkalosis setelah diare yang panjang
dan muntah atau untuk terapi adrenal steroid dengan diuretic tertentu, khususnya
tiazid. Ia digunakan untuk mengelevasi level kalium normal plasma sebagai
pengobatan intoksikasi digitalis (Gennaro, 1986: 819).
Ion kalsium disiapkan dalam perawatan hipokalsemia tetani. Ion Ca juga
menggambarkan spasme otot dan nyeri otot dan block widow-bites. Bahan ini
diberikan selama trasnsfuse penggantian supaya memperbaiki kekurangan Ca darah
tersirat. Ion Ca adalah antispasmodik untuk otot halus dan efektif dala
mengambarkan nyeri abnormal dan diare, tubercolusis dan kolik logam (Gennaro,
1986: 817).
Natrium laktat sebagai pengganti natrium bikarbonat dalam larutan untu
terapi elektrolit dan cairan parenteral. Karena ion laktat secara umum
dimetabolisme secara cepat dalam tubuh, garam ini adalah sumber potensial kation
tercampurkan untuk memperbaiki metabolic asidosis (Gennaro,1986: 821).
Karbon aktif sebagai peraturan mempunyai sifat adsorpsi tidak hanya
tentang warna, tetapi juga untuk banyak sediaan obat pada bahan aktifnya, seperti
alkaloid dan glikosida (Gennaro, 1986: 1464). Karbon aktif kadang- kadang
digunakan untuk kejernihan dan kenyamanannya untuk banyak larutan seperti
dekstrosa, NaCl, dan pentilentetrazol (Jenkins, 1969: 205).
Aqua Pro Injection adalah air melalui destilasi atau dengan osmosa balik,
bebas pyrogen dan tidak mengandung bahan tambahan (Parfitt, 1994: 1670). Sejauh
ini pembawa yang paling seting digunakan untuk produk steril adalah air, karena
air merupakan pembawa untuk semua cairan tubuh (Lachman, 1986: 1294). Air
steril untuk injeksi pada temperature tinggi akan mencegah terjadinya reaksi
pyrogen dengan cara penghambatan pertumbuhan mikroorganisme (Turco, 1970:
19).
9.2 Formula Akhir Infus Na Bikarbonat
R/ Natrium Bikarbonat 8,4%
Karbon Absorben 0,1%
Aqua Pro Injecion ad 500 ml
9.2.1. Analisis Formula Infus Na Bikarbonat
Dalam praktikum kali ini dibuat sediian infus natrium bikarbonat dengan
kekuatan sediaan 8,4%, dengan volume sediaan sebanyak 500ml dan dibuat
sebanyak 2 botol. Sediaan ini dibuat yaitu infus intravena dengan zat aktif natrium
bikarbonat. Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya
larutnya tinggi. Karbon dioksida yang terbentuk dalam lambung akan menimbulkan
sendawa. Natrium bikarbonat digunakan untuk mengataso asidosis metabolik,
alkalinisasi urin dan pengobatanradikal pruritus (Syarif, 2012).
Natrium bikarbonat merupakan agen pembasa yang berdisosiasi dalam
darah yang asam menjadi ion bikarbonat. Pada penderita asidosis, keseimbangan
asam basa pada darah berubah karena ion karbonat menurun yang akan
menstimulasi berbagai macam pertukaran ion. Kation- kation dalam tubuh seperti
natrium dan kalium dapat bertukar dengan ion hydrogen pada cairan ekstrasel
(Gunawan, 2007).
Karbon aktif sebagai peraturan mempunyai sifat adsorpsi tidak hanya
tentang warna, tetapi juga untuk banyak sediaan obat pada bahan aktifnya, seperti
alkaloid dan glikosida (Gennaro, 1986: 1464). Karbon aktif kadang- kadang
digunakan untuk kejernihan dan kenyamanannya untuk banyak larutan seperti
dekstrosa, NaCl, dan pentilentetrazol (Jenkins, 1969: 205).
Aqua Pro Injection adalah air melalui destilasi atau dengan osmosa balik,
bebas pyrogen dan tidak mengandung bahan tambahan (Parfitt, 1994: 1670). Sejauh
ini pembawa yang paling seting digunakan untuk produk steril adalah air, karena
air merupakan pembawa untuk semua cairan tubuh (Lachman, 1986: 1294). Air
steril untuk injeksi pada temperature tinggi akan mencegah terjadinya reaksi
pyrogen dengan cara penghambatan pertumbuhan mikroorganisme (Turco, 1970:
19).
X. KESIMPULAN
10.1 Infus Ringer Laktat
1. Infus Ringer Laktat yang telah dibuat telah memenuhi standar evaluasi
dengan keterangan jernih tidak berwarna, tidak berbau, pH 7, tidak bocor,
bebas partikulat dan bebas pirogen.
2. Infus Ringer Laktat bersifat hipotonis sehingga dilakukan penambahan NaCl
sebanyak 0,415 g/500 mL
10.2 Infus Na Bikarbonat
1. Infus Na Bikarbonat yang telah dibuat telah memenuhi standar evaluasi
dengan keterangan jernih tidak berwarna, tidak berbau, pH 7, tidak bocor,
bebas partikulat dan bebas pirogen.
2. Infus Na Bikarbonat bersifat hipertonis namun tidak perlu diencekan karena
sediaan infus diberikan dalam jangka waktu yang lama
XI. RANCANGAN KEMASAN
11.1 Infus Ringer Laktat
11.1.1 Kemasan

11.1.2 Label
11.1.3 Brosur

11.2 Infus Na Bikarbonat


11.2.1 Kemasan
11.2.2 Label

11.2.3 Brosur
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Goeswin. (2013). Sediaan Farmasi Steril (Sediaan Farmasi Industri) Edisi
4. Bandung: Penerbit ITB.

Anief, M. (1993). Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Anief. (1991). Farmasetika. Yogyakarta: UGM Press.

Ansel. (1989). Pengatur Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

BP Group. (2009). British National Formulary (BNF). London: The Royal


Pharmaceutical Society.

BPOM RI. (2015). Gizi dan Darah. Jakarta: Badan POM RI.

DailyMed. (2019). ISOVUE. US: National Library of Medicine.

Darmawan. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI.

DEPKES RI. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: DEPKES RI.

DEPKES RI. (2014). Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: DEPKES RI.

Depkes RI. (2020). Farmakope Indonesia Edisi VI. Jakarta: Depkes RI.

Drs. H. A. Syamsuni, Apt. (2006). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Gennaro, A.R. (1998). Remington’s Pharmaceutical Science 18th Edition. Easton:


Marck Publishing Co.
Gunawan, gan sulistia. (2007). Farmakologi dan terapi edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Teurapeutik: FKUI.

Heruwati, dkk. (2015). Pengujian Indrawi Bahan Pangan. Malang: ITENAS.

Jenkins, G.L. (1969). Scoville’s: The Art of Compounding. USA: Burgess


Publishing Co.
Khoirunisa. (2017). Pembuatan Larutan Ringer Laktat. Surakarta : FMIPA
Universitas Sebelas Maret

Lachman, L, et all. (1986). The Theory and Practise of Industrial Pharmacy Third
Edition. Philadelphia: Lea and Febiger.

Lachman, L., & Lieberman, H. A. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri,
Edisi Kedua. Jakarta: UI Press.

Leksana, E. (2006). Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi Cairan. Semarang


FK Universitas Diponegoro.

Medidata. (2017). MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 16. Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer.

Muchlis M, Satoto H. (2012). Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat


Dibandingkan Nacl 0,9% Terhadap Keseimbangan Asam-Basa Pada Pasien
Sectio Caesaria Dengan Anestesi Regional. Semarang : Jurnal Anestesiologi
Indonesia

Parfitt, K. (1994). Martindale The Complete Drug Reference 32nd edition.


Pharmacy Press.

Perdana. (2016). Rancangan Bangun Alat Pemantau Cairan Intravena Jenis Ringer
Laktat Menggunakan Jaringan GSM. Jurnal Nasional Informasi dan
Komunikasi.

Perry dan Potter. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 Volume 1.
Jakarta: EGC.

Putri, Indah. (2015). Sediaan Steril Infus Intravena Natrium Bikarbonat. Bandung:
POLTEKKES.

Rowe, Raymond C. (2006). Handbook of Pharmaceutical Excipients. 6thed.


London: Pharmaceutical Press.

Rowe, Raymond C. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients. 9thed.


London: Pharmaceutical Press.
Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S. (2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar-
Dasar Praktis, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Soenarjo, Jatmiko. (2013). Anestesiologi Edisi 2. Semarang : FK Universitas


Diponegoro

Sudjadi. (2008). Bioteknologi Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Suhartini. (2015). Osmolaritas. Bandung : Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia.

Sweetman. (2009). Martindale 36th Ed. USA: The Pharmaceutical Press.

Syamsuhidayat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC

Syarif, Amir, dkk. (2012). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Tjay Tan, dan Tahardha Kirana. (2007). Obat-Obat Penting (Khasiat, Cara,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya) Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex
Medika Komputindo.

Turco, S, dkk. (1970). Sterile Dosage Forms. Philadelphia: Lea and Febiger.

Zander, R. (2006). Fluid Management. Berlin : Bibliomed.


LAMPIRAN
1. Raihan Hafidz Fachrizal (10060319001)
Teori dasar, data preformulasi zat aktif dan data preformulasi eksipien
2. Devi Zulfitriyana (10060319003)
Rancangan kemasan, Brosur dan Label
3. Ivanka Salsabilla Nurhadi (10060319004)
Penentuan metode sterilisasi, alat dan bahan, prosedur pembuatan dan hasil
evaluasi akhir
4. Annas Tasya Pertiwi (10060319005)
Nama sediaan, kekuatan sediaan, pengembangan formula/evaluasi formula,
formula akhir dan daftar pustaka
5. Khodimul Haramain (10060319007)
Cover, hasil pengamatan, kesimpulan dan edit
6. Nadia Rahayu (10060319008)
Pembahasan Infus Na Bikarbonat
7. Dike Kusniati (10060319009)
Perhitungan tonisitas/osmolaritas, perhitungan dan penimbangan bahan
8. Dwi Maulidani Fadhlan (10060319010)
Pembahasan Infus Ringer Laktat

Anda mungkin juga menyukai