Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

PERCOBAAN 4
PENGUJIAN ANTIDEPRESAN

Asisten Penanggung Jawab:


apt. Muhammad Fakhrur Rajih, M.Farm.

Disusun oleh:
Shift/Kelompok: A/2

Khodimul Haramain 10060319007


Nadia Rahayu 10060319008
Dike Kusniati 10060319009
Dwi Maulidani Fadhlan 10060319010
Novia Nur Islamiati 10060319011
Shannie Megaliane 10060319012

Tanggal Praktikum : 04 Oktober 2021


Tanggal Laporan : 11 Oktober 2021

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT D


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2021 M / 1442 H
PERCOBAAN 4
PENGUJIAN ANTIDEPRESAN
I. Tujuan Percobaan
1.1 Mempunyai keterampilan dalam melakukan pengujian aktivitas antidepresan.
1.2 Dapat menjelaskan mekanisme kerja berbagai golongan obat antidepresan.
II. Teori Dasar
Depresi adalah suatu kondisi medis-psikiatris dan bukan sekedar suatu
keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya
aktivitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu gangguan
depresi. Beberapa gejala gangguan depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang
berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas
beraktivitas, dan gangguan pola tidur. Gejalanya tidak disebabkan oleh kondisi
medis, efek samping obat, atau aktivitas kehidupan. Kondisi yang cukup parah
menyebabkan gangguan klinis yang signifikan atau perusakan dalam keadaan
sosial, pekerjaan, atau bidang- bidang penting lainnya (Yustinus, 2006).
Depresi yaitu gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif,
gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar
serta bipolar (Depkes, 2007).
Depresi dapat juga diartikan sebagai suatu periode terganggunya fungsi
manusia yang dikaitkan dengan perasaan yang sedih serta gejala penyertanya yang
mencakup hal-hal seperti perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, rasa lelah, murung, rasa tak berdaya, putus asa dan bunuh diri
(Kaplan et al., 1997).
Pada penyakit psikis terjadi gangguan neurotransmitter, terutama pada
monoamin aromatik yaitu dopamine, noradrenalin, dan serotonin. Psikofarmaka
akan berinteraksi dengan penghantar rangsang fisiologik dan akan bekerja pada
pengaturan saraf sehingga kesetimbangan neurotransmitter yang terganggu akan
diperbaiki, tidak mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan penyakit psikis,
hanya mempengaruhi gejala tujuan tertentu seperti halusinasi (Mutcler,1991).
Faktor penyebab depresi menurut Kaplan di bagi menjadi tiga yaitu faktor
biologi, faktor genetik dan faktor psikososial. Faktor biologi menunjukkan bahwa
terdapat kelainan pada amin biogenik, 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid),
HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam
darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter
yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan
serotonin dapat meyebabbkan depresi, pada pasien bunuh diri, dan beberapa
pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori
bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain
itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada
pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit
dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala
depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin,
amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan
aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter
amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin.
Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-
Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik
sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid,
dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak
diteliti (Landefeld et al, 2004). Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis
HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi
diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau
adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang
mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi
seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus
(PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur
oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan
peningkatan sekresi CRH (Landefeld, 2004).
Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen.
Estrogen berfungsi melindungi sistem dopaminergik negrostriatal terhadap
neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. Estrogen bersama
dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase (Unutzer dkk, 2002).
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami
kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses menua. Walaupun
ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang hidup,
degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam
lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001).
Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang penurunan
aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak.
Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-an
tahun dibandingkan dengan umur 60- an tahun (Kane dkk, 1999).
Faktor genetik menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota
keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar)
diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka
keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot
(Davies, 1999). Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara
khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga
dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.
Faktor psikososial menurut Freud dalam teori psikodinamikanya,
penyebab depresi adalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada
sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental
pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor
psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian
teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri,
keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010) Sedangkan
menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan
untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian,
perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 1999).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa
kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang
berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah
kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut,
seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan
finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman
keamanan dapat menimbulkan depresi (hardywinoto, 1999).
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada
individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan
paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif)
mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).
Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan
bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010).
Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan
(2010) mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia
menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara
internal karena identifikasi dengan objek yang hilang.
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu,
menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup,
penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif
tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010)
Pengobatan depresi bisa di lakukan dengan pemberian obat antidepresan,
gangguan obsesif-kompulsif, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan panik,
gangguanfobik dan pada kasus tertentu, enuresis nokturnal (antidepresn trisiklik)
danbulimia nervosa (fluoxetine). antidepresan terbagi menjadi beberapa golongan
yaitu triciklic antidepressants (TCA), selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRI), serotonin/norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI), atypical
antidepressants dan monoamine oksidase inhibitors (MAOI) Perbedaan jenis
antidepresan membedakan efektivitas, keamanan dan efek samping oleh karena
itu pemilihan antidepresan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain, tolerabilitas,
reaksi obat sebelumnya, kondisi medis yang menyertai, interaksi obat dan faktor
harga yang sesuai dengan kemampuan pasien.
Mekanisme kerja trisiklik antidepresan (TCA) menghambat reuptake
neurotransmiter: TCA menghambat norepinefrin dan serotonin neuron masuk ke
terminal saraf prasinaptik. Dengan menghambat jalan utama pengeluaran
neurotransmiter, TCA akan meningkatkan konsentrasi monoamin dalam celah
sinaptik, menimbulkan efek antidepresan. Obat yang masuk dalam golongan
antidepresan trisikilik adalah imipramin, amitriptilin, desipramin, suatu derivat
demetilasi, imiprami, nortripli, protriptilin dan doksepin. Amitriptilin bekerja
dengan menghambat pengambilan kembali neurotransmiter di otak. Amitriptilin
mempunyai 2 gugus metil, termasuk amin tersier sehingga lebih resposif terhadap
depresi akibat kekurangan serotonin. Senyawa ini juga mempunyaiaktivitas
sedatif dan antikolinergik yang cukup kuat. Pada pemberian oral, Amitriptilin
diaborpsi dengan baik, kurang lebih 90% berkaitan dengan protein plasma dan
tersebar luas dalam jaringan dan susunan syraf pusat. Metabolisme di hati
berlngsung lambat dan waktu paruh 10,3-25,3 jam, kemudian diekskresi bersama
urin. Efek samping berupa rasa kering dimulut, sembelit, retensi urin, sedasi,
leukopenia, nausea, postural hipotensi, dizziness, tremor, skin rash.
(Mutchler,1991)
III. Alat dan Bahan
No. Alat Bahan Hewan
1 Alat suntik 1 mL Amitripilin Mencit putih
2 Anak timbangan CMC Na sekelamin
3 Bejana untuk berenang mencit Nacl Fisiologis
4 Sonde oral mencit
5 Stopwatch
6 Timbangan mencit

IV. Prosedur
Pengujian dilakukan dengan metode berenang (Forced Swimming Test).
Disiapkan alat, bahan dan hewan yang diperlukan. Hewan percobaan dibagi atas
tiga kelompok, yang terdiri dari: Kelompok kontrol yang diberi CMC 1%,
kelompok uji dosis I yang diberi obat amitriptilin dosis I, dan kelompok uji dosis
II yang diberi obat amitriptilin dosis II. Setiap kelompok terdiri dari 3 ekor
mencit, kemudian mencit diberikan obat sesuai kelompok masing-masing secara
oral dengan bantuan alat suntik dan sonde oral. Disiapkan bejana plastik berisi air,
kedalaman air diatur sedemikian rupa sehingga kaki mencit tidak dapat
menyentuh dasar bejana. Setelah 30 menit terhitung sejak diberikan obat uji,
mencit dimasukkan kedalam bejana plastik berisi air. Pergerakan mencit diamati
dan dicatat lamanya sikap tidak bergerak (imobilitas) mencit setiap 5 menit
selama 15 menit waktu pengamatan. Dilakukan analisis data yang diperoleh
secara statistik, kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

V. Data Pengamatan
5.1. Perhitungan Konversi Dosis
Konversi dosis
Amitriptilin dosis I : 12,5 mg (kekuatan sediaan 5,2 mg/20 mL)
Amitriptilin dosis II : 25 mg (kekuatan sediaan 5,2 mg/20 mL)
Bobot mencit
Mencit kontrol : 27 gram
Mencit uji amitriptilin dosis I : 28 gram
Mencit uji amitriptilin dosis II : 26 gram
Perhitungan konversi dosis mencit kontrol
a. Amitriptilin dosis I
 Dosis manusia dewasa
Dosis obat x Faktor konversi
= 12,5 mg x 0,0026
= 0,0325 mg/20 gram BB mencit
 Dosis mencit kontrol BB 27 gram

= 0,043875 mg
 Volume yang diberikan

= 0,16875 mL
b. Amitriptilin dosis II
 Dosis manusia dewasa
Dosis obat x Faktor konversi
= 25 mg x 0,0026
= 0,065 mg/20 gram BB mencit
 Dosis mencit kontrol BB 27 gram

= 0,08775 mg
 Volume yang diberikan

= 0,03375 mL
Perhitungan konversi dosis mencit uji amitriptilin dosis I
 Dosis manusia dewasa
Dosis obat x Faktor Konversi
= 12,5 mg x 0,0026
= 0,0325 mg/20 gram BB mencit
 Dosis mencit uji BB 28 gram

= 0,0455 mg
 Volume yang diberikan
= 0,175 mL
Perhitungan konversi dosis mencit uji amitriptilin dosis II
 Dosis manusia dewasa
Dosis obat x Faktor konversi
= 25 mg x 0,0026
= 0,065 mg/20 gram BB mencit
 Dosis mencit uji BB 26 gram

= 0,0845 mg
 Volume yang diberikan

= 0,325 mL
5.2. Hasil Pengamatan
Tabel 1. Pengujian Antidepresan Metode Forced Swimming Test
Waktu (detik)
Hewan Uji
t15 t30 t45 t60
CMC-Na 62,63 59,25 60,33 46,52
Amitriptilin dosis I 13,50 10,45 11,30 9,48
Amitriptilin dosis II 4,88 5,15 3,45 4,55

5.3. Grafik Pengamatan


Grafik 1. Pengujian Antidepresan Metode Forced Swimming Test
Pengujian Antidepresan Metode Forced Swimming Test
70

60
Waktu imobilitas

50

40

30

20

10

0
15 30 45 60
Waktu pengamatan

CMC-Na Amitriptilin dosis I Amitriptilin dosis II

VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian aktivitas antidepresan
terhadap obat amitriptilin pada mencit. Mencit adalah hewan yang mudah untuk
ditangani dan memberikan efek yang cepat. Terdapat beberapa percobaan yang
dapat dilakukan untuk melihat aktivitas obat antidepresan, yaitu uji renang (forced
swimming test), uji rotary road, dan lain lain. Namun, dalam praktikum ini
dilakukan uji renang (forced swimming test) karena pengujian aktivitas obat
antidepresan dengan pengujian ini tidak memerlukan alat-alat khusus sehingga
lebih mudah dilakukan.
Obat antidepresan yang digunakan pada percobaan ini adalah amitriptilin
yang merupakan obat antidepresan golongan trisiklik yang bekerja memperbaiki
mood paling besar. Golongan trisiklik adalah salah satu kelompok antidepresan
yang mengandung tiga cincin yang menyatu dalam struktur kimiawinya dan
memperkuat kerja katekolamin. Mekanisme kerja obat amitriptilin yaitu dengan
meningkatkan serotonin, norepinefrin, dan dopamine di terminal saraf,
peningkatan 3 NT tersebut dapat menghambat MAOI (Monoamine Oxidase
Inhibitors) di otak. MAOI bekerja dengan menghambat enzim monoamine
oxidase yang dapat menghancurkan serotonin, epinefrin, dan dopamine. Obat
MAOI akan menghambat kinerja senyawa noradrenalin dan serotonin untuk
mencegah timbulnya gejala depresi.
Pada percobaan ini disediakan 3 kelompok mencit percobaan yang terdiri
dari mencit uji kontrol, uji dosis 1 dan uji dosis 2. Mencit kontrol merupakan
mencit yang digunakan sebagai acuan kondisi normal pada mencit yang tidak
diberikan sediaan uji sehingga dapat terlihat perbedaan aktivitas yang signifikan
antara hewan yang diberi sediaan uji dan yang tidak diberikan sediaan uji. Mencit
ditimbang terlebih dahulu untuk menghitung konversi dosis yang akan digunakan.
Pada percobaan ini digunakan mencit kontrol diberikan larutan Na-CMC secara
oral. Kelompok kontrol negatif artinya hewan uji tidak diberikan obat
antidepresan yang akan digunakan sebagai pembanding dengan mencit yang
diberikan obat. Sedangkan untuk mencit kelompok uji dosis 1 diberi amitriptilin
sebesar 0,0455 mg dan kelompok uji dosis 2 diberi amitriptilin sebesar 0,0845
mg. Adanya pemberian tingkatan dosis amitriptilin yang berbeda bertujuan untuk
menganalisis adanya perbedaan efek farmakologi yang ditimbulkan berdasarkan
dosis yang diberikan.
Pada percobaan ini, sediaan uji diberikan secara oral. Setelah pemberian
sediaan uji secara oral, mencit dibiarkan selama 30 menit. Pemberian waktu jeda
30 menit ini bertujuan agar obat yang diberikan secara oral dapat teradsorpsi ke
dalam tubuh mencit secara keseluruhan sehingga dapat menimbulkan efek
farmakologi yang diinginkan. Selanjutnya mencit diuji dengan metode forced
swimming test dengan cara mencit diberenangkan selama 5 menit dan dalam
waktu pengamatan selama 15 menit. Mencit dimasukkan ke dalam bejana berisi
air dan diatur agar kedalaman air pada tabung disesuaikan sehingga membuat kaki
mencit tidak dapat menyentuh dasar bejana dan mencit berenang secara aktif.
Pengujian ini bertujuan untuk melihat sikap mencit terhadap pergantian ekosistem
dimana mencit merupakan hewan yang hidup di darat. Perbedaan ekosistem ini
akan menimbulkan perasaan panik kepada mencit. Anti depressan akan bekerja
untuk menurunkan rasa panik yang ditimbulkan oleh situasi ini sehingga mencit
akan terus berusaha menyelamatkan dirinya agar tidak tenggelam, efek
farmakologi ini dapat dilihat dari immobilitas dari mencit uji, semakin rendah
immobilitas mencit maka semakin rendah tingkat depresinya. Pengamatan
dilakukan dengan cara membiarkan mencit berenang selama 15 menit. Setiap 5
menit, dihitung dengan stopwatch mengenai lama waktu mencit mengalami
depresi, sehingga diperoleh data lamanya depresi tiap mencit pada waktu ke 15,
30, 45, dan 60 menit seperti yang tercantum dalam tabel pengamatan.
Dari data pengamatan kelompok kontrol negatif yang diberikan larutan
CMC-Na 1% pada selang waktu ke 15, 30, 45, dan 60 menit didapatkan sebanyak
62,63 detik; 59,25 detik; 60,33 detik; dan 46,52 detik. Ini membuktikan bahwa
pada kontrol negatif telah sesuai dengan hanya memberikan CMC-Na 1% tidak
akan memberikan efek terhadap pengurangan depresi dari mencit yang diamati.
Mencit yang hanya diberikan CMC-Na 1% mengalami depresi yang akan semakin
parah dan mencit statis saat diberenangkan. Pada mencit yang diberikan
amitriptilin dosis 1 sebanyak 0,0455 mg pada selang waktu ke 15, 30, 45, dan 60
didapatkan sebanyak 13,50 detik; 10,45 detik; 11.30 detik; dan 9,48 detik. Pada
mencit yang diberikan amitriptilin dosis 2 sebanyak 0,0845 mg pada selang waktu
ke 15, 30, 45, dan 60 didapatkan sebanyak 4,88 detik; 5,15 detik; 3,45 detik; dan
4,55 detik.
Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa mencit yang diberikan sediaan
uji amitroptilin dosis 2 memiliki immobilitas paling rendah, dapat disimpulkan
bahwa mencit yang diberikan amitroptilin dosis 2 menimbulkan efek farmakologi
antidepresan sehingga tikus terus berenang dan tidak putus asa. Sedangkan pada
mencit kontrol CMC Na didapatkan hasil bahwa mencit kontrol memiliki tingkat
immobilitas paling tinggi dimana tikus seringkali terdiam dikarenakan stress dan
depresi karena adanya perbedaan ekosistem. Kondisi depresi ini membuat mencit
putus asa sehingga lebih cenderung pasrah untuk tenggelam sehingga tidak terus
menerus berenang untuk menyelamatkan hidupnya. Namun, mencit yang
diberikan amitriptilin sebanyak 0,325 ml imobilitasnya lebih kecil apabila
dibandingkan dengan mencit yang diberikan amitriptilin sebanyak 0,175 ml. Ini
dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi antidepresan yang diberikan maka
imobilitasnya akan mengalami penurunan, begitupun sebaliknya.
Pada grafik terlihat bahwa pemberian CMC-Na memiliki waktu diam yang
paling tinggi. Tetapi pada waktu 15 menit lamanya imobilitas dari pemberian
CMC-Na cenderung sama berada di atas dengan lamanya imobilitas dari
amitriptilin dosis 1 dan 2 karena lamanya amitriptilin memiliki efek antidepresan.
Dapat dilihat bahwa dari ketiga kelompok mencit yang diuji, ketiganya
menunjukkan terjadinya depresi yang ditandai dengan adanya waktu imobilitas,
waktu imobilitas yang paling lama terjadi pada kelompok 1 yang diberi CMC-Na,
pada pemberian amitriptilin dosis 1 lebih tinggi dibandingkan dosis 2. Hal ini
dikarenakan amitriptilin memiliki efek antidepresan yang menghambat terjadinya
depresi pada mencit yang ditandai dengan rendahnya waktu imobilitas.
Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa semakin lama mencit
diberenangkan, maka semakin depresi mencit tersebut sehingga waktu depresinya
pun meningkat. Pada perbandingan kelompok kontrol mengalami tingkat depresi
lebih tinggi dibandingkan kelompok mencit yang diuji dengan obat amitriptilin.
Yang menunjukkan bahwa amitriptilin memiliki aktivitas yang baik dalam
menurunkan depresi.

VII. Kesimpulan
7.1. Pengujian aktivitas antidepresan pada percobaan ini dilakukan dengan metode
Forced Swimming Test, dimana mencit uji diamati pada bejana plastik berisi air
setelah pemberian obat kemudian dilakukan pengamatan sikap imobilitasnya.
7.2. Pengujian antidepresan dengan obat amitriptilin yang merupakan golongan
trisikilik diberikan dengan berbagai dosis berbeda, dengan mekanisme kerjanya
yaitu menekan psikomotorik (menurunkan aktivitas), dimana serotonin akan
dilepaskan kemudian berikatan dengan reseptor post sinap sehingga akan
menaikkan mood dan menghambat terjadinya re-uptake NA atau 5-HT di celah
sinaptik dalam aksoplasma.
DAFTAR PUSTAKA
Davies, A.M. 1999. Ageing and Health A Global Challenge for Twenty First
Century. Kobe, 20-27.
Depkes RI. 2007. Konsep Asuhan Kebidanan. Jakarta: Keputusan Mentri
Kesehatan RI No: 900/MENKES/VII/2007.
Dipiro, J. T., Dipiro, C.V., Wells, B.G., & Scwinghammer, T.L. 2008.
Pharmacoteraphy Handbook Seventh Edition. USA : McGraw-Hill
Company.
Hardywinoto, Setiabudi, T. 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan dari berbagai
Aspek. Jakarta: PT Gramedia.
Kane. 1999. Essentials of Clinical Geriatrics 4th edition. USA : McGrow-Hill
Companies, 231-245
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. 2010. Retardasi Mental dalam Sinopsis Psikiatri.
Tangerang : Binarupa Aksara
Landefeld. 2004. Current Geriatric Diagnosis and Treatmet. USA :McGrow-
Hill, 156-160
Lesler, Zayas, C. 2001. Comprehensive Geriatric Assessment. USA : McGraw
Hill Companies, 465-475.
Mutchler , Ernst. 1991. Dinamika Obat Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB.
Sadock, & Kaplan. 1997. Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri.
Medan: PT Refika Aditama.
Semiun, Drs Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Unutzer dkk. 2002. Collaborative Care Management of Late Life Depression in
The Primary Care Setting. Journal American Medical Association.

Anda mungkin juga menyukai