Anda di halaman 1dari 50

Case Report Session

NASKAH PSIKIATRI
F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik

Oleh

Aina Almaaidah Morgan P.3049 A


Yenny Handayani Sihite P.2992 A

Preseptor

dr. Taufik Ashal, Sp. KJ

BAGIAN PSIKIATRI
RUMAH SAKIT JIWA PROF HB SAANIN PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dan
shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas Case Report Session dengan judul “Episode Depresi Berat
tanpa Gejala Psikotik” yang merupakan salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu
Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Dalam usaha penyelesaian tugas Case Report Session ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Taufik Ashal, Sp. KJ, selaku pembimbing dalam
penyusunan Case Report Session ini.
Kami menyadari bahwa di dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan kritik yang membangun
guna penyempurnaan tugas ini. Akhir kata, semoga Case Report Session ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.

Padang, 27 Juni 2022

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan depresi termasuk ke dalam gangguan suasana perasaan (mood) utama


selain mania dan gangguan bipolar. Selain itu juga terdapat tiga kategori tambahan dalam
gangguan mood, yakni hipomania, siklotimia, dan distimia. Orang dengan keadaan mood
depresi akan menunjukkan gejala kehilangan energi dan minat, merasa bersalah, sulit
berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, bahkan ada ide untuk bunuh diri. Gangguan ini
disertai dengan perubahan aktivitas serta hendaya dalam hubungan interpersonal, fungsi
sosial, dan fungsi pekerjaan seseorang. Seseorang dikatakan mengalami gangguan depresi
apabila gejala-gejala tersebut telah berlangsung minimal dua minggu serta tidak ada
riwayat episode manik, campur, atau hipomanik.1,2
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa gangguan depresi akan
menjadi penyakit terbesar kedua yang akan memberikan beban besar bagi masyarakat
dunia. Selain itu, depresi merupakan penyebab terbanyak seseorang untuk datang ke
dokter jiwa atau psikiater.3 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2018, prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala
depresi untuk usia 15 tahun ke atas yang didapatkan melalui wawancara dengan Mini
International Neuropsychiatric Interview (MINI) mencapai sekitar 6.1% dari jumlah
penduduk Indonesia.4 Perempuan memiliki risiko lebih besar dua kali lipat dibandingkan
laki-laki untuk mengalami gangguan depresi. Hal ini diduga karena adanya perbedaan
hormon serta perbedaan stressor psikososial antara perempuan dan laki-laki. Rerata usia
penderita gangguan depresi berkisar di usia 40 tahun-an. Selain itu, gangguan depresi berat
sering dialami remaja usia di bawah 20 tahun dimana hal ini dikaitkan dengan
penyalahgunaan alkohol serta zat lain yang rentan dalam rentang usia tersebut.1,2
Penatalaksanaan gangguan depresi dilakukan dengan farmakoterapi dan
psikoterapi. Data menunjukkan kombinasi farmakoterapi dan psikoterapi merupakan
pengobatan yang paling efektif untuk gangguan depresi. Psikoterapi ditujukan untuk
membantu penderita dalam mengembangkan strategi coping sehingga penderita dapat
menghadapi stressor dengan lebih baik.1,2

2
1.2 Batasan Masalah

Penulisan Case Report Session ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, etiologi,
prinsip diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dari
gangguan depresi.
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan Case Report Session ini adalah untuk menambah pengetahuan
dan pemahaman mengenai gangguan depresi.
1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan Case Report Session ini berupa tinjauan kepustakaan yang
merujuk kepada berbagai literatur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gangguan depresi merupakan suatu gangguan suasana perasaan yang ditandai


dengan adanya episode depresi yang berlangsung minimal selama dua minggu. Biasanya
penderita gangguan depresi mengeluhkan gejala berupa perubahan nafsu makan dan berat
badan, perubahan pola tidur dan aktivitas, kekurangan energi, adanya rasa bersalah,
mengalami masalah dalam berpikir dan membuat keputusan, serta adanya ide untuk
melakukan bunuh diri. Penderita dikatakan mengalami gangguan depresi apabila
ditemukan gejala-gejala tersebut selama minimal dua minggu serta tidak adanya riwayat
episode hipomanik, campur, atau manik. Selain gangguan depresi, juga terdapat gangguan
distimik yang ditandai dengan mood depresi yang berlangsung setidaknya selama dua
tahun serta gejalanya tidak begitu parah sehingga tidak dapat dimasukkan ke dalam
gangguan depresi.1

2.2 Epidemiologi

Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa 322 juta orang
di dunia mengalami gangguan depresi. WHO mengestimasikan bahwa 4,4% dari populasi
dunia mengalami gangguan depresi pada tahun 2015.5 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan
dengan gejala-gejala depresi untuk usia 15 tahun ke atas yang didapatkan melalui
wawancara dengan Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI) mencapai
sekitar 6.1% dari jumlah penduduk Indonesia.4 Individu dengan predisposisi genetik untuk
depresi (terutama first degree relatives) memiliki kemungkinan mengalami gangguan
depresi lebih besar dibanding populasi umum. Selain itu, perempuan memiliki risiko lebih
besar dua kali lipat dibandingkan laki-laki untuk mengalami gangguan depresi. Hal ini
diduga karena adanya perbedaan hormon serta perbedaan stressor psikososial antara
perempuan dan laki-laki. Rerata usia penderita gangguan depresi berkisar di usia 40 tahun-
an. Selain itu, gangguan depresi berat sering dialami remaja usia di bawah 20 tahun
dimana hal ini dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol serta zat lain yang rentan dalam
rentang usia tersebut.1,2
4
Beberapa penyakit memiliki hubungan yang erat dengan depresi, seperti individu
dengan kanker dan AIDS memiliki risiko mengalami gangguan depresi yang lebih tinggi
dibandingkan populasi umum. Depresi pada pasien kanker dikaitkan dengan prognosis
yang buruk sedangkan pada pasien HIV/AIDS dikaitkan dengan stigma sosial yang buruk
terhadap penyakit tersebut. Insiden depresi tinggi pada pasien HIV/AIDS terutama pada
pasien perempuan, bereduaksi rendah, serta pasien yang tidak mendapatkan konseling
setelah didiagnosis HIV/AIDS.6,7

2.3 Etiologi

1. Faktor Biologis

Neurotransmitter mono-amin (norepinefrin, dopamin serotonin, dan histamin)


memainkan peran penting dalam menimbulkan gangguan mood. Selain itu, pada gangguan
mood terdapat disregulasi pada metabolit biogenik amin seperti 5-hydroxy indole acetic
acid (5HIAA), homovalinic acid (HVA), 3-methoxy-4-hydrophenylglycol (MHPG) di
darah, urin, dan cairan serebrospinal. Norepinefrin dan serotonin merupakan biogenik
amin yang sangat berperan dalam menimbulkan gangguan mood.1,2
a. Norepinefrin

Dicurigai bahwa down regulation atau penurunan sensitivitas dari reseptor


beta adrenergik serta respon klinik pemberian anti depresan mungkin merupakan
peran langsung sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti lain yang melibatkan
reseptor β2- presinaptik pada depresi ialah pengaktifan reseptor tersebut
mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin. Reseptor β2-
presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik dan mengatur jumlah pelepasan
serotonin.1
b. Serotonin

Serotonin merupakan neurotransmitter utama pada gangguan depresi.


Serotonin berukurang saat depresi dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kadar serotonin yang berkurang di celah sinaps bertanggung jawab dalam
menimbulkan depresi. Selain itu, beberapa pasien dengan ide bunuh diri
menunjukkan kadar metabolit serotonin yang rendah di cairan serebrospinal.1

5
c. Dopamin

Data menunjukkan bahwa kadar dopamin berkurang pada gangguan


depresi. Terdapat 2 teori yang menjelaskan keterlibatan dopamin pada gangguan
depresi, yakni disfungsi jalur mesolimbik dan hipoaktif reseptor dopamin D1
receptor.1

Adanya perubahan pada regulasi hormon juga berkaitan dengan timbulnya


gangguan depresi, disamping perubahan neurotransmitter yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada individu yang depresi
ditemukan peningkatan aktivitas hypothalamic-pituitary adrenal (HPA) yang disertai
dengan perubahan struktur korteks cerebri (atrofi atau penurunan volume).1
HPA axis merupakan pusat regulasi yang mengatur respon stress. HPA axis
merespon stres baik itu dari lingkungan, psikologi, maupun fisik melalui peningkatan
sekresi corticotropin- releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP) dari
hipotalamus. Pelepasan neuropeptide tersebut akan merangsang pelepasan
adrenocorticotropic releasing hormone (ACTH) dari pituitari. ACTH kemudian
merangsang kelenjar adrenal untuk menghasilkan hormon kortisol yang dapat
menimbulkan respon stres. Hormon kortisol juga memberikan feedback negatif terhadap
HPA axis melalui reseptornya yang ada di hipotalamus dan kelenjar pituitari. Pada
individu dengan gangguan depresi, regulasi HPA axis terganggu sehingga terjadi
peningkatan kadar kortisol yang berujung pada disregulasi sistem imun dan proses
inflamasi. Mediator inflamasi dapat menimbulkan gejala depresi melalui efek langsung ke
otak, modulasi sistem serotonergik, ataupun dengan menginisiasi proses
neurodegenaratif.8
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa adanya kemungkinan bahwa gangguan
mood melibatkan perubahan patologi yang terjadi di otak. Para peneliti memfokuskannya
kepada 4 regio otak yang berkaitan erat dengan pengaturan emosi yakni korteks prefontral,
anterior cingulate, hippocampus, dan amigdala.1

2. Faktor Genetik

Pada keluarga dengan salah satu orang tuanya memiliki gangguan mood, maka
anaknya berisiko 10-25% mengalami gangguan mood. Jika kedua orang tuanya menderita
gangguan mood maka risiko tersebut menjadi 2 kali lipat dari sebelumnya (10-25%).2

6
3. Faktor Psikososial

a. Life Events dan Stres Lingkungan

Adanya peristiwa kehidupan seseorang yang menimbulkan stress dapat


mencetuskan depresi. Stres yang terjadi sebelum episode depresi pertama
berkaitan dengan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan tersebut
meliputi perubahan neurotransmitter dan persinyalan intraneuron sehingga
seseorang akan berisiko untuk mengalami episode berulang walaupun tanpa
stresor luar.1,2
b. Faktor Kepribadian

Diketahui bahwa individu dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsi,


histrionik, dan ambang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
gangguan depresi dibandingkan dengan gangguan kepribadian paranoid atau
antisosial.1
c. Faktor Psikodinamik

Terdapat teori yang menjelaskan psikodinamik dari gangguan depresi


dimana teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud dan Karl Abraham. Ada 4 poin
penting dalam teori ini, yakni gangguan hubungan bayi-ibu pada fase oral (10-18
bulan), adanya kehilangan sesuatu baik itu nyata maupun sekedar fantasi saja, ada
defense mechanism berupa introjeksi yang muncul akibat kehilangan tersebut, dan
rasa benci- cinta yang timbul akibat kehilangan tersebut serta perasaan marah yang
diarahkan ke diri sendiri.1,2

2.4 Diagnosis

Merujuk kepada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di


Indonesia III (PPDGJ III), gangguan depresi termasuk ke dalam gangguan suasana
perasaan (mood) atau gangguan afektif. Gangguan depresi ditandai dengan episode
depresif baik itu tunggal maupun multipel. Gejala pada gangguan depresi dibagi menjadi
tiga gejala utama dan gejala tambahan lainnya, yakni sebagai berikut:9
a. Afek depresif

b. Kehilangan minat dan kegembiraan

c. Berkurangnya energi yang ditunjukkan dengan mudah lelah dan

7
berkurangnya aktivitas

Beberapa gejala lainnya yang menunjang diagnosis dari episode depresif yakni
sebagai berikut:9

a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

b. Harga diri dan kepercayaan berkurang

c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

f. Tidur terganggu

g. Nafsu makan menurun

Episode depresif tersebut harus berlangsung minimal selama dua minggu


untuk menegakkan diagnosis kecuali apabila gejalanya berat dan berlangsung
cepat.9
1. Episode Depresif Ringan (F32.0)9

● Minimal harus ada 2 dari 3 gejala utama.

● Disertai minimal 2 gejala lainnya (diluar gejala utama).

● Tidak ada gejala berat.

● Berlangsung minimal 2 minggu.

● Hanya sedikit mengalami kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial.

2. Episode Depresif Sedang (F32.1)9

● Minimal harus ada 2 dari 3 gejala utama.

● Disertai minimal 3 (sebaiknya 4) gejala lainnya (diluar gejala utama).

● Berlangsung minimal 2 minggu.

● Mengalami kesulitan yang nyata dalam melakukan pekerjaan, kegiatan


sosial, dan urusan rumah tangga.
3. Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik (F32.2)9
8
● Semua 3 gejala utama harus ada.

● Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di antaranya


harus berintensitas berat.
● Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan
banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara meyeluruh
terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.

● Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan


tetapi jika gejala amat berat dan ber-onset sangat cepat, maka masih dibenarkan
untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.

● Sangat tidak mungkin bagi pasien untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan,
atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
4. Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik (F32.3)9

● Memenuhi kriteria untuk F32.2 diatas.

● Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif.

5. Gangguan Depresif Berulang (F33)9

● Gangguan depresif berulang merupakan suatu episode berulang dari episode


depresif ringan, sedang, atau berat.
● Setiap episode rata-rata berlangsung sekitar 6 bulan, akan tetapi frekuensinya lebih
jarang dibandingkan dengan gangguan bipolar.
● Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian afek dan hiperaktifitas
yang memenuhi kriteria mania. Namun kategori ini tetap harus digunakan jika
ternyata ada episode singkat dari peninggian afek dan hiperaktifitas ringan yang
memenuhi kriteria hipomania segera sesudah suatu episode depresif (kadang-
kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi).
● Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode, namun sebagian kecil
pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya menetap, terutama pada usia
lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini tetap harus digunakan).
● Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali dicetuskan
oleh peristiwa kehidupan yang penuh stres atau trauma mental lain (adanya stres
tidak esensial untuk penegakkaan diagnosis).
9
6. Gangguan Depresif Berulang, Kini dalam Remisi (F33.4)9

● Memenuhi kriteria depresif berulang (F33.-) akan tetapi saat ini tidak memenuhi
kriteria episode depresif manapun ataupun gangguan lain dalam F30-F39
(gangguan suasana perasaan).
● Minimal 2 episode telah berlangsung selama minimal 2 minggu dengan selang
beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.

2.5 Diagnosis Banding

Diagnosis gangguan depresi ditegakan pada kriteria berdasarkan pada PPGDJ dan
DSM- V, dan juga memperhatikan kondisi yang dapat menyerupai maupun kondisi yang
dapat berdampingan dengan depresi. Maka langkah pertama yang mesti dilakukan sebelum
penatalakasanaan yang tepat yaitu membuat diagnosis yang akurat. Pada suatu penelitian
dikatakan dokter dilayanan primer bisa melakukan rule-out depresi pada individu yang
tidak depresi (false positif). Kesalahan dalam menegakan diagnosis gangguan depresi
dapat mempengaruhi prognosis pasien.
a. Gangguan penyesuaian

Gangguan penyesuaian adalah respons emosional terhadap peristiwa stres seperti


masalah perkawinan atau hubungan, kehilangan pekerjaan atau penyakit akut. Pasien
dapat datang dengan penurunan afek, tetapi diagnosis ini dibuat hanya jika kriteria penuh
untuk episode depresi utama tidak terpenuhi.10 Dapat menyebabkan morbiditas yang
signifikan dan meningkatkan risiko bunuh diri.
b. Gangguan Afektif yang Disebabkan oleh Kondisi Medis Umum

Gejala depresi dapat terjadi sebagai efek fisiologis oleh karena kondisi medis
tertentu yang terjadi sebelumnya terutama pada pasien dengan gejala somatis yang
menonjol. Pada individu lanjut usia (lansia), kondisi organik lebih dipertimbangkan dalam
penegakkan diagnosis. Sebaliknya, gejala fisik dari suatu penyakit medis utama sulit untuk
dapat didiagnosis karena adanya gangguan depresi berat komorbid ini. The Hospital
Anxiety and Depression Scale (HADS) sangat berguna sebagai alat pendeteksi pasien
dengan penyakit medis.11 Dalam skala tersebut digunakan pertanyaan yang berfokus pada
gejala kognitif dibandingkan dengan gejala somatik. Gangguan depresi berat sering terjadi
pada pasien penyakit kronis, contohnya pada disfungsi tiroid, karena dapat timbul gejala

10
penurunan afek dan gejala somatis nonspesifik lainnya.12
Kondisi neurologis seperti demensia, penyakit Parkinson dan multiple sclerosis
memiliki gejala yang tumpang tindih dengan depresi berat. Pada penyakit Parkinson,
penurunan afek dan gejala afektif lainnya bahkan dapat muncul lebih awal daripada gejala
motorik. Pasien dengan gangguan kognitif dapat datang dengan penurunan afek;
sebaliknya, mereka yang mengalami depresi berat bisa memiliki daya konsentrasi yang
buruk. Depresi berat itu sendiri mungkin merupakan faktor risiko pada terjadinya kejadian
demensia.13
c . Gangguan Afektif yang Disebabkan oleh Zat

Efek samping obat (baik yang diresepkan atau tidak) dapat menimbulkan gejala
depresi contohnya pada penggunaan alkohol berlebihan. Maka itulah, gangguan afektif
yang disebabkan oleh zat harus dipertimbangkan dalam mendiagnosis gangguan depresi
berat. Riwayat pengobatan pasien juga merupakan hal penting, karena obat yang diresep
dapat menjadi penyebab potensial dari depresi berat. Sebuah penelitian menemukan
hubungan yang kuat antara depresi berat dan finasteride, isotretinoin dan obat pada
penghentian kebiasaan merokok, Varenicline. Para peneliti merekomendasikan agar
dokter berhati-hati ketika meresepkan obat- obatan ini dan sangat mempertimbangkan
pertimbangan risiko-manfaat, terutama pada orang yang memiliki kecenderungan untuk
mengalami depresi berat. Obat-obat lain antara lain golongan beta blocker, penghambat
kanal kalsium, penghambat enzim pengonversi angiotensin dan penghambat reseptor
angiotensin II.14
Gejala depresi karena pengaruh obat dapat disembuhkan dengan menghentikan
penggunaan obat tersebut. Gejala putus obat ini dapat berlangsung selama beberapa bulan.
Obat yang umum disalahgunakan tersebut antara lain alkohol, amfetamin, ansiolitik,
kokain, zat-zat halusinogen, hipnotik, inhalan, opioid, fensiklidin, dan sedatif.14
d. Gangguan afektif bipolar

Pasien dengan gangguan afektif bipolar sering salah didiagnosis dengan depresi
berat unipolar, terutama pada pasien gangguan afektif bipolar dengan manifestasi awal
depresi dan pada layanan kesehatan primer dan ada yang menetap hingga 10 tahun. Pasien
dengan gangguan afektif bipolar lebih sering datang dengan afek menurun daripada mania
atau hypomania, dan karenanya sering didiagnosis mengalami depresi berat. Hipomania
pada gangguan afektif bipolar sering dikaitkan dengan peningkatan kreativitas dan energi

11
tanpa gangguan fungsi, yang mungkin tidak dianggap negatif oleh pasien dan sering tidak
mencari penatalaksanaan medis. Kesalahan diagnosis seperti depresi berat mengarah ke
pengobatan yang tidak sesuai dengan antidepresan bukan mood stabilizer.15 Karena ini
berkontribusi outcome yang memburuk dan dapat menyebabkan mania, setiap pasien yang
memiliki gejala depresi berat harus dievaluasi untuk kemungkinan gangguan bipolar.
Ciri-ciri lain yang dapat membantu membedakan gangguan afektif bipolar dari
depresi berat termasuk usia onset yang lebih muda, riwayat keluarga gangguan afektif
bipolar, episode depresi sebelumnya yang lebih tinggi (misalnya terlalu banyak untuk
diingat), manifestasi depresi atipikal (misalnya hipersomnia hingga insomnia atau
hiperfagia hingga nafsu makan yang buruk), gejala somatik yang lebih sedikit dan
peningkatan fobia (misalnya kegelapan, orang asing atau orang banyak).16

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dengan medikamentosa saja dan psikoterapi singkat {cognitive-


behavioral therapy (CBT), terapi interpersonal} saja dapat meringankan gejala depresi.
Terapi kombinasi juga berhubungan dengan peningkatan perbaikan gejala depresi sehingga
menjadi lebih baik; peningkatan kualitas hidup; dan kepatuhan pengobatan yang lebih baik.
Dukungan empiris untuk melakukan CBT untuk mencegah kekambuhan.17,18
Terapi electroconvulsive (ECT) berguna untuk pasien yang tidak merespon dengan
baik terhadap obat-obatan atau bunuh diri.19
a. Terapi medikamentosa

1. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI)

SSRI memiliki keunggulan yaitu mudah dalam dosis dan toksisitas rendah
pada overdosis juga merupakan obat lini pertama untuk depresi onset lambat.
Obat- obat yang termasuk golongan SSRI antara lain; citalopram, escitalopram,
fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine, sertraline, vilazodone, dan vortioxetine.
2. Serotonin/norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI)

Obat-obatan golongan SNRI antara lain; venlafaxine, desvenlafaxine,


duloxetine, dan levomilnacipran dapat digunakan sebagai agen lini pertama,
terutama pada pasien dengan gejala kelelahan yang signifikan atau nyeri yang
berhubungan dengan episode depresi. SNRI juga memiliki peran penting sebagai
agen lini kedua pada pasien yang tidak respon dengan terapi SSRI.

12
3. Antidepressants atipikal

Obat-obatan golongan antidepresan atipikal antara lain; bupropion,


mirtazapine, nefazodone, dan trazodone. Pemberian antidepressants atipikal
terbukti efektif dalam monoterapi pada gangguan depresi berat dan dapat
digunakan dalam terapi kombinasi untuk mengatasi depresi dengan komplikasi.
4. Serotonin-Dopamine Activity Modulators (SDAM)

Obat-obatan golongan SDAM diantaranya brexpiprazole dan aripiprazole.


SDAMs bertindak sebagai agonis parsial pada reseptor 5-HT1A dan dopamin D2
pada potensi yang sama, dan sebagai antagonis pada 5-HT2A dan noradrenalin.
Brexpiprazole diindikasikan sebagai terapi tambahan untuk gangguan depresi
mayor (MDD).
5. Tricyclic antidepressants (TCA)

TCA meliputi: Amitriptyline, clomipramine, desipramine, doxepin,


imipramine, nortriptyline, protriptyline, dan trimipramine. TCA memiliki catatan
keberhasilan yang panjang dalam pengobatan depresi. Obat-obatan golongan ini
lebih jarang digunakan karena efek samping dan toksisitas yang besar pada
overdosis.
6. Monoamine oxidase inhibitors (MAOI)

MAOI termasuk isocarboxazid, phenelzine, selegiline, dan


tranylcypromine. Agen-agen ini sangat efektif dalam berbagai gangguan afektif
dan kecemasan. Karena risiko krisis hipertensi, pasien yang menjalani pengobatan
ini harus mengikuti diet rendah tyramine. Efek samping lainnya dapat termasuk
insomnia, kecemasan, ortostasis, penambahan berat badan, dan disfungsi seksual.
b. Psikoterapi

1. cognitive-behavioral therapy (CBT)

CBT adalah bentuk terapi terstruktur, dan didaktik yang berfokus pada
membantu individu mengidentifikasi dan memodifikasi pola pikir maladaptif dan
pola perilaku (16 hingga 20 sesi). Hal ini didasarkan pada premis bahwa pasien
yang mengalami depresi menunjukkan "triad kognitif" depresi, yang mencakup
pandangan negatif tentang diri mereka sendiri, dunia, dan masa depan. Pasien
dengan depresi juga menunjukkan distorsi kognitif yang membantu
13
mempertahankan kepercayaan negatif mereka. CBT untuk depresi biasanya
mencakup strategi perilaku (mis., Penjadwalan aktivitas), serta restrukturisasi
kognitif untuk mengubah pikiran otomatis negatif dan mengatasi skema
maladaptif.
Penelitian mendukung penggunaan CBT dengan individu dari segala usia
dan juga dapat mencegah timbulnya kekambuhan. CBT juga sangat berharga untuk
pasien usia lanjut, yang mungkin lebih rentan terhadap masalah atau efek samping
dengan obat- obatan.
2. Terapi interpersonal (IPT)
Terapi interpersonal (IPT) adalah pengobatan terbatas waktu (biasanya 16 sesi)
untuk gangguan depresi mayor. IPT menarik dari teori kelekatan dan menekankan
peran hubungan interpersonal, dengan fokus pada kesulitan antarpribadi saat ini.
Bidang- bidang penekanan khusus meliputi kesedihan, perselisihan antarpribadi,
transisi peran, dan defisit antarpribadi.
c. Terapi electroconvulsive (ECT)

ECT adalah pengobatan yang sangat efektif untuk depresi. Timbulnya efek terapi
lebih cepat daripada pengobatan obat, dengan manfaat sering terlihat dalam 1 minggu
setelah memulai pengobatan. Kursus ECT (biasanya hingga 12 sesi) adalah pengobatan
pilihan bagi pasien yang tidak menanggapi terapi obat, psikotik, atau bunuh diri atau
berbahaya bagi diri mereka sendiri. Dengan demikian, indikasi untuk penggunaan ECT
meliputi:
1. Kegagalan terapi obat

2. Sejarah respons yang baik terhadap ECT

3. Preferensi pasien

4. Risiko bunuh diri yang tinggi

5. Risiko tinggi morbiditas dan mortalitas medis

Meskipun kemajuan dalam anestesi singkat dan kelumpuhan neuromuskuler telah


meningkatkan keamanan dan tolerabilitas ECT, modalitas ini menimbulkan banyak risiko,
termasuk yang terkait dengan anestesi umum, kebingungan postiktal, dan komplikasi yang
lebih jarang yaitu kesulitan memori jangka pendek.

14
2.7 Komplikasi

Bunuh diri merupakan konsekuensi paling tragis dari depresi. Sulit untuk
memprediksi risiko bunuh diri dalam masa penilaian yang singkat. Dalam penegakan
diagnosis risiko bunuh diri, perhatian harus diberikan terhadap ada tidaknya dukungan
sosial, metode potensial yang akan digunakan, ancaman kematian pada metode dan
kesempatan bunuh diri sebelumnya, dan sifat-sifat kepribadian seperti impulsivitas.1,2
Awal pengobatan menjadi periode yang penting diperhatikan. Risiko bunuh diri
menjadi lebih tinggi karena sebagian gejala mungkin memberat sebelum pasien sempat
mencari pertolongan, pasien dapat mengalami efek samping dini (seperti kecemasan atau
agitasi), yang dapat memperburuk risiko bunuh diri, dan gejala fisik pasien dapat
meningkat secara nyata (energi misalnya) sebelum gejala kognitif (putus asa misalnya).
Kesemuanya itu dapat menjadi dorongan untuk bunuh diri.1,2

Faktor risiko bunuh diri yang berhubungan dengan episode depresi: 1,2

● Terdapat rencana bunuh diri

● Pernah mencoba bunuh diri sebelumnya

● Depresi berat

● Adanya keputusasaan dan rasa bersalah

● Pasien yang baru keluar dari rawat inap

● Gangguan bipolar

● Mixed state (dengan agitasi), mania disforik

● Gejala psikotik

● Komorbiditas (ansietas, penyalahgunaan zat, kondisi medis yang serius)

Faktor risiko bunuh diri yang berhubungan dengan keadaan demografis: 1,2

● Pria

● Remaja atau usia tua

● Gangguan afektif usia dini

● Gangguan kepribadian (terutama Cluster B)


15
● Riwayat keluarga dengan bunuh diri

● Pengalaman traumatik pada masa kanak-kanak (trauma, penyakit, perpisahan


dengan orang tua)
● Peristiwa traumatik dalam sirkumstansi kehidupan (pemutusan hubungan
kerja, isolasi sosial)
● Stresor psikososial sebelumnya

● Kurangnya dukungan

2.8 Prognosis

Gangguan depresi memiliki tingkat moribiditas dan mortalitas yang sangat tinggi,
hal ini berhubungan dengan peningkatan keinginan dan percobaan bunuh diri.
Penatalaksanaan yang tepat dan efektif dapat menurunkan kemungkinan tersebut, tetapi
penatalaksanaan dini tidak dilakukan pada hampir 50% kejadian. Remisi total/komplit
tidak sering terjadi, tetapi hampir 40% mencapat remisi parsial setelah 12 bulan
ditatalaksana.20
Gangguan depresi juga dapat terjadi kembali atau relapse, hal ini sering terjadi
dan banyak pasien yang membutuhkan tatalaksana yang bervariasi untuk mengkontrol
gangguan tersebut. Kualitas hidup dari pasien dengan depresi juga menurun dan dapat
memburuk hingga dapat menyebabkan percobaan bunuh diri.20
Prediktor yang berhubungan dengan prognosis antara lain21,22:

1. Durasi dari episode depresi sebelumnya23

2. Tingkat keparahan atau severitas depresi

3. Durasi dari gangguan depresi terbaru hingga pasien datang

4. Remisi inkomplet dari episode depresi terakhir pada gangguan depresi berulang23

5. Onset pada usia muda23

6. Waktu yang dibutuhkan dari obat antidepresan menimbulkan respon pada pasien

7. Komorbid dari aspek psikiatri (seperti; gangguan cemas, PTSD, gangguan obsesif
konvulsif, gangguan kepribadian, keadaan yang menimbulkan stres dan trauma psikis
diwaktu kecil)24
8. Komorbid dari penyakit medis lain (seperti; nyeri, penyakit kardiovaskular, penyakit
16
neurologik, dan penyakit lain)21,22,25
9. Resisten terhadap obat antidepresan

10. Berdasarkan pemeriksaan neuroimaging adanya keterkaitan deaktivasi


cingulate posterior, penebalan substansia grisea pada korteks cingulate anterior26
11. Berdasarkan pemeriksaan marker pada darah (terdapat peningkatan dari C-reactive
protein (CRP), tumor necrosis factor alpha (TNFα), and interleukin-6 (IL-6)).27
12. Dukungan sosial yang kurang, fungsi keluarga yang buruk, dan lemahnya keadaan
ekonomi keluarga21,22
13. Faktor genetik28

17
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

KETERANGAN PRIBADI PASIEN


Nama (inisial) : Ny. YW Panggilan : Y
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat & tanggal lahir/ Umur : Pasaman Barat, 02 Februari 1999
Status perkawinan : Belum menikah
Kewarganegaraan : Indonesia
Suku bangsa : Mandailing
Negeri Asal : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat & Telepon : Pasaman
Barat/0822xxxxxxxx
Nama, Alamat, No. KTP keluarga terdekat di
Padang (untuk pasien luar kota padang) : Ikhwan, Jl Jati No 17, Padang

KETERANGAN DIRI ALLO/INFORMAN (Tidak ada Informan)

Nama (Inisial) : Tn. I


Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 28 tahun
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan : S1
Alamat & Telepon : Jln. Jati, No.17, Padang/ 0852xxxxxxxx
Hubungan dengan pasien :-
Keakraban dengan pasien : Abang kandung
Sudah berapa lama mengenal pasien : sejak lahir
Kesan pemeriksa/dokter terhadap keterangan
yang diberikannya : dapat dipercaya

18
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Keterangan/ anamnesis di bawah ini diperoleh dari (lingkari angka di bawah ini )
1
1. Pasien sendiri (autoanamnesis)
2. Informan ( alloanamnesis)

1. Pasien datang ke fasilitas kesehatan ini atas keinginan (lingkari pada


huruf yang sesuai)
a. Sendiri
a
b. Keluarga
c. Polisi
d. Jaksa/ Hakim
e. Dan lain-lain

2. Sebab Utama

Pasien datang ke poliklinik jiwa RSUP DR M Djamil Padang karena


sulit tidur yang tidak membaik sejak 6 bulan terakhir.

3. Keluhan Utama (Chief Complaint)

Pasien datang ke poliklinik jiwa RSUP DR M Djamil Padang karena


sulit tidur yang tidak membaik sejak 6 bulan terakhir. Pasien merupakan pasien
kontrol rutin berobat sejak 1 minggu yang lalu.

4. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang

Pasien datang bersama abang kandung ke poli RSUP DR M Djamil


Padang pada tanggal 20 Juni 2022 dengan keluhan sulit tidur sejak 6 bulan
terakhir. Pasien telah berusaha untuk tidur, namun tetap saja pasien sulit untuk
tertidur. Pasien merasa cemas, gelisah, termenung dan merasa sedih pada malam
hari dikarenakan memikirkan hubungan dengan pacarnya tidak direstui orang
tua pasien. Perasaan gelisah ini tidak disertai dengan jantung berdebar-debar,
berkeringat, gemetar, kaku, dan sesak nafas. Pada pagi hari, pasien juga tidak
mengantuk.
Sulit tidur ini diiringi dengan berkurangnya energi dimana pasien tidak
ada keinginan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti memasak dan

19
menyapu dan mengaku lebih sering beraktifitas di kamar. Pasien mengatakan
telah cuti kuliah dan berhenti bekerja sejak Desember 2021. Pasien lebih sering
menangis tiba - tiba tanpa penyebab yang jelas, lebih perasa dari biasanya.
Pasien tidak ada keinginan untuk makan sedikitpun. Bahkan pasien
dibawa ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut dan dirawat selama 4 hari di
RSUD Pasaman Barat. Nafsu makan tetap tidak membaik walaupun sudah
diberikan makanan kesukaan pasien. Pasien juga mengatakan sulit untuk fokus
dan menjadi mudah lupa. Pasien merasa mudah lupa dalam mengingat suatu
obrolan.
Awalnya keluhan sulit tidur dan nafsu makan berkurang ini muncul sejak
6 bulan yang lalu. kemudian pasien dibawa berobat ke 7 dukun yang berbeda
di daerah tempat tinggal pasien oleh keluarganya dan mengatakan pasien telah
diguna - guna, namun tidak mengalami perbaikan. Kemudian keluarga pasien
membawa pasien ke Puskesmas. Pasien diberikan obat tidur, namun pasien
tetap mengeluhkan kesulitan tidur. Setelah itu pasien meminta untuk berobat
ke Padang setelah pasien disarankan oleh kakaknya.
Keluhan pertama kali muncul ketika pasien menuruti keinginan pacar
pasien untuk bertelanjang dada saat melakukan video call. Hal tersebut
menyebabkan pasien merasa cemas karena takut foto disebarkan, pasien juga
merasa bersalah dan berdosa. Oleh karena itu, pasien ingin menikahi pacar
pasien. Tetapi, orang tua pasien tidak merestui hubungan pasien dengan
pacarnya. Pasien juga sempat berpikir ingin mengakhiri hidupnya.
Pasien sekarang tinggal dengan Abang kandung di Padang sejak 1 bulan
yang lalu untuk membatasi interaksi pasien dengan pacarnya. Pasien terakhir
berkomunikasi dengan pacarnya 2 minggu yang lalu. Hal tersebut diketahui
oleh Abang pasien dan Abang pasien menyita hp pasien agar tidak dapat
berkomunikasi lagi. Pasien tidak ada riwayat trauma riwayat minum alkohol
dan tidak ada mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Pasien tidak pernah
mengamuk, bicara sendiri atau melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang
lain.
5. Riwayat Penyakit Sebelumnya

a. Riwayat Gangguan Psikiatri


Pasien tidak pernah memiliki riwayat gangguan psikiatri
b. Riwayat Gangguan Medis

20
Tidak ada riwayat gangguan medis

c. Riwayat Penggunaan NAPZA

Tidak ada riwayat penggunaan NAPZA

6. Riwayat Keluarga

a) Identitas orang tua


IDENTITAS Orang Tua Keterangan
Bapak Ibu
Kewargane Indonesia Indonesia Pendidikan
garaan terakhir ayah
Suku Mandailing Mandailing pasien SD,
Bangsa pendidikan
Agama Islam Islam terakhir ibu
Pendidikan - - pasien SMP
Pekerjaan Petani Ibu Rumah Tangga
Umur - -
Alamat - -
Hubungan Akrab Akrab
pasien*
Biasa Biasa
Kurang Kurang
Tak Peduli Tak Peduli

b) Sifat/ Perilaku Orang tua tua kandung


Bapak (Dijelaskan oleh pasien dapat dipercaya/ diragukan)
Pemalas (-), Pendiam (-), Pemarah (+), Mudah tersinggung (-), Tak suka Bergaul (-),
Banyak teman(+), Pemalu(-), Perokok berat(-), Penjudi(-), Peminum (-), Pecemas(-),
Penyedih(-), Perfeksionis(-), Dramatisasi (-), Pencuriga (-), Pencemburu (-), Egois (-),

19 Penakut (-), Tak bertanggung jawab (-).


bu (Dijelaskan oleh pasien dapat dipercaya/ diragukan )
Pemalas (-), Pendiam (-), Pemarah (-), Mudah tersinggung (-), Tak suka Bergaul (-),
Banyak teman(-), Pemalu(-), Perokok berat(-), Penjudi(-), Peminum (-), Pecemas(-),
Penyedih(-), Perfeksionis(-), Dramatisasi (-), Pencuriga (-), Pencemburu (-), Egois (-
), Penakut (-), Tak bertanggung jawab (-).

21
c) Saudara
Jumlah bersaudara 6 orang dan pasien anak ke 4
d) Urutan bersaudara dan cantumkan usianya dalam tanda kurung untuk pasien
sendiri lingkari nomornya.*
1. Pr 31 tahun
2. Lk, 28 tahun
3. Pr 25 tahun
4. Pr (23 tahun)
5. Lk, 20 tahun
6. Lk, 18 tahun

e) Gambaran sikap/ perilaku masing-masing saudara pasien dan hubungan pasien


terhadap masing-masing saudara tersebut, hal yang dinyatakan serupa dengan yang
dinyatakan pada gambaran sikap/ perilaku pada orang tua.*

Saudara ke Gambaran sikap dan perilaku Kualitas hubungan dengan


saudara
(akrab/biasa,/kurang/tak
peduli)
1 Baik Akrab
2 Baik Akrab
3 Baik Akrab
4 Pasien Akrab
5 Baik Akrab
6 Baik Akrab

f) Orang lain yang tinggal di rumah pasien dengan gambaran sikap dan tingkah
laku dan bagaimana pasien dengan mereka.*
No Hubungan dengan Gambaran sikap dan Kualitas hubungan
pasien tingkah laku (akrab/ biasa,/kurang/tak
peduli)
1 Bapak Perhatian Akrab
2 Ibu Perhatian Akrab

22
3 Adik laki-laki Perhatian Akrab
4 Adik laki-laki Perhatian Akrab

g) Apakah ada riwayat penyakit jiwa, kebiasaan-kebiasaan dan penyakit fisik (yang
ada kaitannya dengan gangguan jiwa) pada anggota keluarga o.s :

Anggota Penyakit Jiwa Kebiasaan Penyakit


Keluarga Fisik
Bapak Tidak ada Merokok -
Ibu Tidak ada - -
Saudara 1 Tidak ada - -
Saudara 2 Tidak ada Merokok -
Saudara 3 Tidak ada - -
Saudara 4 Tidak ada - -
Saudara 5 Tidak ada - -

Skema Pedegree
(tiga generasi)

` Keterangan : : Pria : Pasien

: Wanita : yang sakit

23
h) Riwayat tempat tinggal yang pernah didiami pasien:

No Rumah tempat tinggal Keadaan rumah


Tenang Cocok Nyaman Tidak
nyaman
1 Rumah orang tua ✓ -
2 Rumah di Tempat Kerja ✓ -
3 Rumah Abang -

7. Gambaran seluruh faktor-faktor dan mental yang bersangkut paut


dengan perkembangan kejiwaan pasien selama masa sebelum sakit
(premorbid) yang meliputi :
a) Riwayat sewaktu dalam kandungan dan dilahirkan.
- Keadaan ibu sewaktu hamil (sebutkan penyakit-penyakit fisik
dan atau kondisi-kondisi mental yang diderita si ibu)
● Kesehatan Fisik :-
● Kesehatan Mental :-
- Keadaan melahirkan :

● Aterm (✓), partus spontan (✓), partus tindakan (-)

● Pasien adalah anak yang direncanakan/ diinginkan (ya/tidak)


● Jenis kelamin anak sesuai harapan (ya/tidak)

b) Riwayat masa bayi dan kanak-kanak


● Pertumbuhan fisik : baik, biasa, kurang*

● Minum ASI : (✓), sampai usia tidak diketahui

● Usia mulai bicara : 1 tahun


● Usia mulai jalan : 1 tahun
● Sukar makan (-), anoreksia (-), bulimia (-), pika (-),
gangguan hubungan ibu-anak (-), pola tidur baik (-), cemas
terhadap orang asing sesuai umur (-), cemas perpisahan(-)

24
c) Simtom-simtom sehubungan dengan problem perilaku yang dijumpai
pada masa kanak-kanak, misalnya: mengisap jari (-), ngompol (-), BAB
di tempat tidur (-), night teror (-), temper tantrum (-), gagap (-), tik (-),
masturbasi (-), mutisme selektif (-), dan lain-lain.

d) Toilet training (tidak ada informasi)


Umur :-
Sikap orang tua : (memaksa/menghargai/membiarkan/)

Perasaan anak untuk toilet training ini: -

e) Kesehatan fisik masa kanak-kanak : demam tinggi disertai menggigau (-),


kejang-kejang (-), demam berlangsung lama (-), trauma kapitis disertai
hilangnya kesadaran (-), dan lain-lain.
f) Temperamen sewaktu anak-anak : pemalu (-), gelisah (-) overaktif (-),
menarik diri (-), suka bergaul (-), suka berolahraga (-), dan lain-lain

g) Masa Sekolah
Perihal SD SMP SMA
Umur 6 Tahun 12 Tahun 15 Tahun
Prestasi* Baik Baik Baik
Sedang Sedang Sedang
Kurang Kurang Kurang

Aktifitas Sekolah* Baik Baik Baik


Sedang Sedang Sedang
Kurang Kurang Kurang

Sikap Terhadap Teman * Baik Baik Baik


Kurang Kurang Kurang

Sikap Terhadap Guru Baik Baik Baik


Kurang Kurang Kurang

Kemampuan Khusus - - -
(Bakat)

25
Tingkah Laku Baik Baik Baik

h) Masa remaja: Fobia (-), masturbasi (-), ngompol (-), lari dari rumah (-),
kenakalan remaja (-), perokok berat (-), penggunaan obat terlarang (-),
peminum minuman keras (-), problem berat badan (-), anoreksia nervosa
(-), bulimia (-), perasaan depresi (-), rasa rendah diri (-), cemas (-),
gangguan tidur (-), sering sakit kepala (-), dan lain-lain.

i) Riwayat Pekerjaan
Usia mulai bekerja 19 tahun, kepuasan kerja (+), pindah-pindah kerja (-
), pekerjaan yang pernah dilakukan tidak ada
Konflik dalam pekerjaan : (-), konflik dengan atasan (-), konflik dengan
bawahan (-), konflik dengan kelompok (-).
Keadaan ekonomi* : baik, sedang, kurang (menurut pasien)

j) Percintaan, Perkawinan, Kehidupan Seksual dan Rumah Tangga

● Haid pertama* (sudah/belum), usia haid pertama 13 tahun, persepsi


baik

● Awal pengetahuan tentang seks tidak diketahui, sikap orang tua baik
● Hubungan seks sebelum menikah tidak ada
● Riwayat pelecehan seksual tidak ada 23

● Orientasi seksual normal


● Keterangan pribadi suami :
Nama : -
Umur :-
Suku :-
Kebangsaan :-
Agama :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-

26
Status sosial/ekonomi :-
● Perkawinan didahului dengan pacaran (-), kawin terpaksa (-),
kawin paksa (-), perkawinan kurang disetujui orang tua (-), kawin
lari (-), sekarang ini perkawinan yang pertama. Kepuasan dalam
hubungan suami istri : sering, sesekali, tidak pernah (ai)*, kelainan
hubungan seksual (-) ai (bila ada jelaskan di halaman kiri).
● Kehidupan rumah tangga : rukun (-), masalah rumah tangga (-)
(bila ada jelaskan masalah tersebut di halaman kiri).
● Keuangan : kebutuhan sehari-hari terpenuhi (-), pengeluaran dan
pendapatan seimbang (-), dapat menabung (-).
● Mendidik anak : suami-istri bersama-sama (-), istri saja (-), suami
saja (-), selain orang tua sebutkan (-).

k) Situasi sosial saat ini:


1. Tempat tinggal : rumah sendiri (-), rumah kontrak (+), rumah susun
(-), apartemen (-), rumah orang tua (-), serumah dengan mertua (-), di
asrama ( -) dan lain-lain
2. Polusi lingkungan : bising (-), kotor (-), bau (-), ramai (-)
dan lain-lain. Ket : *coret yang tidak perlu, **( ), diisi (+)
atau (-)
ai: atas indikasi
l) Ciri Kepribadian sebelumnya/ Gangguan kepribadian
(untuk axis II) Keterangan: ( ), beri tanda (+) atau (-)

Kepribadian Gambaran Klinis

Skizoid Emosi dingin (-), tidak acuh pada orang lain (-), perasaan hangat atau
lembut pada orang lain (-), peduli terhadap pujian maupun kecaman (-),
kurang teman (-), pemalu (-), sering melamun (+), kurang tertarik untuk
mengalami pengalaman seksual (-), suka aktivitas yang
dilakukan sendiri (-)

27
Paranoid Merasa akan ditipu atau dirugikan (-), kewaspadaan berlebihan (-), sikap
berjaga-jaga atau menutup-nutupi (-), tidak mau menerima kritik (-),
meragukan kesetiaan orang lain (-), secara intensif mencari- cari
kesalahan dan bukti tentang prasangkanya (-), perhatian yang berlebihan
terhadap motif-motif yang tersembunyi (-), cemburu patologik (-),
hipersensifitas (-), keterbatasan kehidupan afektif (-).
Skizotipal Pikiran gaib (-), ideas of reference (-), isolasi sosial (-), ilusi berulang(-),
pembicaraan yang ganjil (-), bila bertatap muka dengan orang lain
tampak dingin atau tidak acuh (-).
Siklotimik Ambisi berlebihan (-), optimis berlebihan (-), aktivitas seksual yang
berlebihan tanpa menghiraukan akibat yang merugikan (-), melibatkan
dirinya secara berlebihan dalam aktivitas yang menyenangkan tanpa
menghiraukan kemungkinan yang merugikan dirinya (-), melucu
berlebihan (-), kurangnya kebutuhan tidur (+), pesimis (-), putus asa
(-), insomnia (+), hipersomnia (-), kurang bersemangat (+), rasa
rendah diri (+), penurunan aktivitas (+), mudah merasa sedih dan
menangis
(+), dan lain-lain.
Histrionik Dramatisasi (-), selalu berusaha menarik perhatian bagi dirinya (-),
mendambakan rangsangan aktivitas yang menggairahkan (-), bereaksi
berlebihan terhadap hal-hal sepele (-), egosentris (-), suka menuntut (-),
dependen (-), dan lain-lain.
Narsisistik Merasa bangga berlebihan terhadap kehebatan dirinya (-), preokupasi
dengan fantasi tentang sukses, kekuasaan dan kecantikan(-
),ekshibisionisme (-),membutuhkan perhatian dan pujian yang terus
menerus (-),hubungan interpersonal yang eksploitatif (-),merasa marah,
malu, terhina dan rendah diri bila dikritik (-),dan lain-lain.

28
Dissosial Tidak peduli dengan perasaan orang lain(-),sikap yang amat tidak
bertanggung jawab dan berlangsung terus menerus (-),tidak mampu
mengalami rasa bersalah dan menarik manfaat dari pengalaman(-), tidak
peduli pada norma-norma, peraturan dan kewajiban sosial (-),tidak
mampu memelihara suatu hubungan agar berlangsung lama (-
),iritabilitas (-),agresivitas (-),impulsif (-),sering berbohong (-),sangat
cenderung menyalahkan orang lain atau menawarkan rasionalisasi yang
masuk akal, untuk perilaku yang membuat pasien konflik dengan
masyarakat (-)

Ambang Pola hubungan interpersonal yang mendalam dan tidak stabil (- ),


kurangnya pengendalian terhadap kemarahan (-), gangguan identitas (-),
afek yang tidak mantap (-), tidak tahan untuk berada sendirian (-
),tindakan mencederai diri sendiri (-),rasa bosan kronik (-), dan lain-lain
Menghindar Perasaan tegang dan takut yang pervasif (-),merasa dirinya tidak mampu,
tidak menarik atau lebih rendah dari orang lain (-), keengganan untuk
terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin disukai (-), preokupasi
yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan dalam situasi sosial (-),
menghindari aktivitas sosial atau pekerjaan yang banyak melibatkan
kontak interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung
atau ditolak.
Anankastik Perasaan ragu-ragu yang hati-hati yang berlebihan (-), preokupasi pada
hal-hal yang rinci (details), peraturan, daftar, urutan, organisasi dan
jadwal (-), perfeksionisme (-),ketelitian yang berlebihan (-),kaku dan
keras kepala (-),pengabdian yang berlebihan terhadap pekerjaan
sehingga menyampingkan kesenangan dan nilai-nilai hubungan
interpersonal (-
),pemaksaan yang berlebihan agar orang lain mengikuti persis caranya
mengerjakan sesuatu (-), keterpakuan yang berlebihan
pada kebiasaan sosial (-),dan lain-lain.

29
Dependen Mengalami kesulitan untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa
nasehat dan masukan dari orang lain (-), membutuhkan orang lain untuk
mengambil tanggung jawab pada banyak hal dalam hidupnya (-),
perasaan tidak enak atau tidak berdaya apabila sendirian, karena
ketakutan yang dibesar-besarkan tentang ketidakmampuan mengurus
diri sendiri (-), takut ditinggalkan oleh orang yang dekat
dengannya (+)

8. Stresor psikososial (axis IV)


Pertunangan (-), perkawinan (-), perceraian (-), kawin paksa (-), kawin
lari ( -), kawin terpaksa (-), kawin gantung (-), kematian pasangan (-),
problem punya anak (-), anak sakit (-), persoalan dengan anak (-),
persoalan dengan orang tua (+), persoalan dengan mertua (-), masalah
dengan teman dekat (-),masalah dengan atasan/ bawahan (-),mulai
pertama kali bekerja (-),masuk sekolah (-),pindah kerja (-),persiapan
masuk pension (-),pensiun (-),berhenti bekerja (-),masalah di sekolah (-
),masalah jabatan/ kenaikan pangkat (-), pindah rumah (-),pindah ke kota
lain (-), transmigrasi (-), pencurian (-), perampokan (-), ancaman (-
),keadaan ekonomi yang kurang (-),memiliki hutang (-), usaha
bangkrut(-), masalah warisan (-),mengalami tuntutan hukum (-),masuk
penjara(-), memasuki masa pubertas(-), memasuki usia dewasa (-
),menopause(-), mencapai usia 50 tahun (-), menderita penyakit fisik
yang parah (-), kecelakaan (-), pembedahan (-), abortus (-),hubungan
yang buruk antar orang tua (-), terdapatnya gangguan fisik atau mental
dalam keluarga (-), cara pendidikan anak yang berbeda oleh kedua orang
tua atau kakek nenek (- ), sikap orang tua yang acuh tak acuh pada anak
(-), sikap orang tua yang kasar atau keras terhadap anak (-),campur
tangan atau perhatian yang lebih dari orang tua terhadap anak (-),orang
tua yang jarang berada di rumah (-), terdapat istri lain (-),sikap atau
kontrol yang tidak konsisten (-), kontrol yang tidak cukup (-), kurang
stimulasi kognitif dan sosial (), bencana alam (-), amukan masa (-),
diskriminasi sosial (-), perkosaan(-), tugas militer(-),
kehamilan(-), melahirkan di luar perkawinan (-),dan lain-lain.

30
9. Risiko suicide (+)

10. Riwayat pelanggaran hukum


Tidak pernah ada riwayat pelanggaran hukum.

11. Riwayat agama


Pasien beragama islam, pasien sholat 5 waktu dengan kesadaran sendiri.

12. Persepsi Dan Harapan Keluarga


Tidak ada informasi

13. Persepsi Dan Harapan Pasien

Pasien menyadari penyakit jiwa yang dialami, pasien berharap segera


sembuh, dan bisa melakukan aktivitas seperti biasanya.

31
GRAFIK PERJALANAN PENYAKIT

Bulan
Desember Januari April Mei 2022 Juni 2022
Februari Maret 2022
2021 2022 2022
2022

Keluhan pertama kali dirasakan, yaitu saat pasien video


call dengan pacarnya tanpa berbusana. Hal tersebut
menyebabkan pasien gelisah, tidak bisa tidur

32
III. STATUS INTERNUS
● Keadaan Umum : baik

● Kesadaran : CMC

● Tekanan Darah : 113/68 mmHg

● Nadi : 80x/ menit

● Nafas : 16x/ menit

● Suhu : 36,5

● Tinggi Badan : 161 cm

● Berat Badan : 49 kg

● Status Gizi : Cukup

● Sistem Kardiovaskuler : Dalam batas normal

● Sistem Respiratorik : Dalam batas normal

● Kelainan Khusus : Tidak ditemukan

IV. STATUS NEUROLOGIKUS


GCS :E4M5V6
Tanda ransangan Meningeal : Tidak ada Tanda-tanda efek samping
piramidal : Tidak ada
● Tremor tangan : Tidak ada
● Akatisia : Tidak ada
● Bradikinesia : Tidak ada
● Cara berjalan : Tidak ada
● Keseimbangan : Tidak ada
● Rigiditas : Tidak ada
● Kekuatan motorik : 5 untuk setiap ekstremitas
● Sensorik : Normal
● Refleks : Bisep (++/++), trisep (++/++), KPR (++/++),
33
APR (++/++)

V. STATUS MENTAL
A. Keadaan Umum

1. Kesadaran/ sensorium : compos mentis (+), somnolen (-), stupor


(-), kesadaran berkabut (-), konfusi (-), koma (-), delirium (-),
kesadaran berubah (-), dan lain-lain

2. Penampilan
● Sikap tubuh: biasa(+), diam(-), aneh(-), sikap tegang(-), kaku (-),
gelisah (-), kelihatan seperti tua(-), kelihatan seperti muda (-),
berpakaian sesuai gender (+).

● Cara berpakaian : rapi (+), biasa (-), tak menentu (-),


sesuai dengan situasi (+), kotor(-), kesan ( dapat/
tidak dapat mengurus diri)*
● Kesehatan fisik : sehat (+), pucat (-), lemas (-), apatis (-),
telapak tangan basah (-) dahi berkeringat (-), mata terbelalak (-)

3. Kontak psikis
Dapat dilakukan (+) tidak dapat dilakukan (-) wajar (+), kurang wajar
(-)sebentar (-), lama (+).

4. Sikap
Kooperatif (+), penuh perhatian (+), berterus terang (+),
menggoda (-), bermusuhan (-), suka main-main (-), berusaha supaya
disayangi (-), selalu menghindar (-), berhati-hati (-), dependen (-),
infantil (-), curiga (-), pasif (-), dan lain-lain.

5. Tingkah laku dan aktifitas psikomotor

34
● Cara berjalan : biasa (+), sempoyongan (-), kaku (-), dan lain-lain.
● Ekhopraksia (-), katalepsi (-), luapan katatonik (-), stupor
katatonik (-), rigiditas katatonik(-), posturing katatonik (-), cerea
flexibilitas (-), negativisme (-), katapleksi (-),stereotipik (-),
mannerisme (-), otomatisme (-), otomatisme perintah (-),
mutisme (-), agitasi(-) psikomotor (-), hiperaktivitas/
hiperkinesis (-), tik (-), somnabulisme (-), akathisia (-), kompulsi
(-), ataksia, hipoaktivitas(-), mimikri (-), agresi (-), acting out (-
), abulia (-), tremor (-), ataksia (-), chorea (-), distonia (-),
bradikinesia (-), rigiditas otot (-), diskinesia (-),convulsi (-
),seizure (-), piromania (-), vagabondage (-).

B. Verbalisasi dan cara berbicara


● Arus pembicaraan* : biasa, cepat, lambat
● Produktivitas pembicaraan* : biasa, sedikit, banyak
● Perbendaharaan* : biasa, sedikit, banyak
● Nada pembicaraan* : biasa, menurun, meninggi
● Volume pembicaraan* : biasa, menurun, meninggi
● Isi pembicaraan* : sesuai/ tidak sesuai
● Penekanan pada pembicaraan* : Ada/ tidak
● Spontanitas pembicaraan * : spontan/ tidak

● Logorrhea (-), poverty of speech (-), diprosodi (-), disatria (-),


gagap (-), afasia (-), bicarakacau (-).

C. Emosi
● Hidup emosi*: stabilitas (stabil/ tidak), pengendalian (adekuat/tidak
adekuat), echt/unecht, dalam/dangkal, skala diffrensiasi
(sempit/luas), arus emosi (biasa/lambat/cepat).

1. Afek
Afek appropriate/ serasi (+), afek inappropriate/ tidak serasi (-), afek
tumpul (-),

35
afek yang terbatas (-), afek datar (-), afek yang labil(-).

2. Mood
mood eutimik (-), mood disforik (-), mood yang meluap-luap (expansive mood)
(-), mood yang iritabel (-), mood yang labil (swing mood) (-), mood meninggi
(elevated mood/ hipertim) (-), euforia (-), ectasy (-), mood depresi (hipotim)
(+), anhedonia (-), duka cita (-), aleksitimia (-), elasi (-), hipomania (-), mania (-
), melankolia(-), La belle indifference (-), tidak ada harapan (-).

3. Emosi lainnya
Ansietas (+), free floating anxiety (-), ketakutan (-), agitasi (-), tension
(ketegangan) (-), panic (-), apati (-), ambivalensi (-), abreaksional (-), rasa malu
(-), rasa berdosa/ bersalah (+), kontrol impuls (-).

4. Gangguan fisiologis yang berhubungan dengan mood


Anoreksia (-), hiperfagia (-), insomnia (+), hipersomnia (-), variasi diurnal (-),
penurunan libido (-), konstispasi (-), fatigue (-), pica (-), pseudocyesis (-),
bulimia (-).

D. Pikiran/ Proses Pikir (Thinking)


● Kecepatan proses pikir (biasa/cepat/lambat)
● Mutu proses pikir (jelas/tajam)

1. Gangguan Umum dalam Bentuk Pikiran


Gangguan mental (-), psikosis (-), tes realitas ( terganggu/ tidak ), gangguan
pikiran formal(-), berpikir tidak logis (-), pikiran autistik (-), dereisme (-),
berpikir magis (-), proses berpikir primer (-).

2. Gangguan Spesifik dalam Bentuk Pikiran


Neologisme (-), word salad (-), sirkumstansialitas (-), tangensialitas (-),
inkohenrensia (-), perseverasi (-), verbigerasi (-), ekolalia (-), kondensasi(-),
jawaban yang tidak relevan (-), pengenduran asosiasi (-), derailment (-), flight of
ideas (-), clang association (-), blocking (-), glossolalia (-).

36
3. Gangguan Spesifik dalam Isi Pikiran
● Kemiskinan isi pikiran (-),Gagasan yang berlebihan (-).

● Delusi/ waham
waham bizarre (-), waham tersistematisasi (-), waham yang sejalan dengan mood (-
),waham yang tidak sejalan dengan mood (-), waham nihilistik (-), waham
kemiskinan (-), waham somatik (-), waham persekutorik (-), waham kebesaran (-),
waham referensi (-), though of withdrawal (-), though of broadcasting (-), though
of insertion (-), though of control (-), Waham cemburu/waham ketidaksetiaan (-),
waham menyalahkan diri sendiri (-), erotomania (-), pseudologia fantastika (-),
waham agama.

● Idea of reference
Preokupasi pikiran (-), egomania (-), hipokondria (-), obsesi (-), kompulsi (-),
koprolalia (-), hipokondria (-), obsesi (-), koprolalia (-), fobia(-), noesis (-), unio
mystica (-).

E. Persepsi
● Halusinasi
Non patologis: Halusinasi hipnagogik (-),halusinasi hipnopompik (-),
Halusinasi auditorik (-), halusinasi visual (-), halusinasi olfaktorik (-),
halusinasi gustatorik (-), halusinasi taktil (-), halusinasi somatik (-), halusinasi
liliput (-), halusinasi sejalan denganmood (-), halusinasi yang tidak sejalan
dengan mood (-), halusinosis (-), sinestesia (-),halusinasi perintah (command
halusination), trailing phenomenon (-).
● Ilusi (-)
● Depersonalisasi (-),derealisasi (-).

F. Mimpi dan Fantasi


Mimpi : (-)
Fantasi : (-)

G. Fungsi kognitif dan fungsi intelektual


37
1. Orientasi waktu (baik/ terganggu), orientasi tempat (baik/ terganggu),
orientasi personal(baik/ terganggu), orientasi situasi (baik/ terganggu).
2. Atensi (perhatian) (+), distractibilty (-), inatensi selektif (-), hipervigilance(-),
3. Konsentrasi (baik/terganggu), kalkulasi ( baik/ terganggu )
4. Memori (daya ingat) : gangguan memori jangka lama/ remote (-), gangguan
memori jangka menengah/recent past (-), gangguan memori jangka
pendek/baru saja/ recent (-), gangguan memori segera/ immediate (-), Amnesia
(-), konfabulasi (-), paramnesia (-).
5. Luas pengetahuan umum: baik/ terganggu
6. Pikiran konkrit : baik/ terganggu
7. Pikiran abstrak : baik/ terganggu
8. Kemunduran intelek : (Ada/tidak), Retardasi mental (-), demensia (-),
pseudodemensia (-)

Discriminative Insight*

Derajat I (penyangkalan)

Derajat II (ambigu)
Derajat III (sadar, melemparkan kesalahan kepada orang/ hal
lain)
Derajat IV ( sadar, tidak mengetahui penyebab)
Derajat V (tilikan intelektual)
Derajat VI (tilikan emosional sesungguhnya)

Discriminative Judgement
● Judgment tes : dapat dipercaya
● Judgment sosial : dapat dipercaya

VI. Pemeriksaan Laboratorium dan diagnostik khusus lainnya


● Rutin : tidak ada
● Anjuran : tidak ada

VII. Pemeriksaan oleh Psikolog / petugas sosial lainnya


38
Tidak ada

VIII. Ikhtisiar Penemuan Bermakna

Telah diperiksa pasien Ny. YW berusia 23 tahun seorang perempuan,


beragama islam, suku bangsa mandailing, pendidikan terakhir SMA, dan belum
menikah. Pasien mengeluhkan sulit tidur yang tidak membaik sejak 6 bulan
terakhir. Sulit tidur ini diiringi dengan berkurangnya energi dimana pasien
kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari – hari dan mengaku lebih sering
beraktifitas di kamar. Pasien mengatakan telah cuti kuliah dan berhenti bekerja
sejak Desember 2021. Pasien mengeluhkan lebih sering menangis tiba – tiba
tanpa penyebab yang jelas, lebih perasa dari biasanya. Pasien tidak mau makan
sama sekali dan menolak meskipun disuruh makan. Pasien juga mengatakan
sulit untuk fokus dan menjadi mudah lupa. Pasien merasa mudah lupa dalam
mengingat suatu obrolan.
Keluhan pertama kali dirasakan pada Desember 2021, yaitu ketika pasien
menuruti keinginan pacar pasien untuk bertelanjang dada saat melakukan video
call. Hal tersebut menyebabkan pasien merasa cemas karena takut foto
disebarkan dan pasien juga merasa gelisah, tidak bisa tidur karena merasa
bersalah dan berdosa. Pasien juga sempat berpikir ingin mengakhiri hidupnya.
Lalu keluhan ini terus berlanjut hingga pasien tidak bisa melakukan melakukan
aktivitas sehari – hari. Pasien merasa bersalah dan berdosa sehingga pasien
ingin menikah dengan pacarnya, namun orangtua pasien tidak merestui
hubungan pasien.

IX. Formulasi diagnosis


Diagnosis Depresi berdasarkan PPDGJ III

39
Gejala Ada/Tidak
Gejala Utama
• Afek depresif Ada
• Kehilangan minat dan kegembiraan Ada
• Berkurangnya energi Ada

Gejala lainnya
(a) Konsentrasi dan perhatian berkurang
(b) Harga diri dan kepercayaan diri
Ada
berkurang
(c) Gagasan tentang rasa bersalah dan
tidak berguna Ada
(d) Pandangan masa depan yang suram Ada
dan pesimistis Tidak ada
(e) Gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri
(f) Tidur terganggu Ada
Ada
(g) Nafsu makan berkurang
Ada

Total gejala saat ini : 3 gejala utama dan 6 gejala lainnya (mencukupi syarat diagnosis
gangguan depresi berat; lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2
minggu).

X. Diagnosis Multiaksial

Axis I : F32.2 Episode Depresif Berat Tanpa Gejala Psikotik


Axis II : Z03.2 tidak ada diagnosis
Axis III : tidak ada (none)

Axis IV : Z63.0 masalah dalam hubungan dengan pasangan (partner)

Axis V : GAF 40 – 31

XI. Diagnosis Banding Axis I

F41.2 Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi

F51.0 Insomnia Non-organik


40
XII. Penatalaksanaan

A. Farmakoterapi

Fluoxetine 20 mg 1 x 1

Merlopam 0,5 mg 1 x 1

Curcuma 1 x 1

B. Non Farmakoterapi

o Psikoterapi

Kepada pasien:

o Psikoterapi suportif

Memberikan dukungan, kehangatan, empati, dan optimistic kepada pasien,


membantu pasien mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya.

o Psikoedukasi

Membantu pasien untuk mengetahui lebih banyak mengenai gangguan yang


dideritanya, diharapkan pasien mempunyai kemampuan yang semakin
efektif untuk mengenali gejala, mencegah munculnya gejala dan segera
mendapatkan pertolongan. Menjelaskan kepada pasien untuk menyadari
bahwa obat merupakan kebutuhan bagi dirinya agar sembuh.

Kepada keluarga:

o Psikoedukasi

Memberikan penjelasan yang bersifat komunikatif, informatif, dan


edukatif tentang penyakit pasien (penyebab, gejala, hubungan antara
gejala dan perilaku, perjalanan penyakit, serta prognosis). Pada
akhirnya, diharapkan keluarga bisa mendukung proses penyembuhan
dan mencegah kekambuhan. Serta menjelaskan bahwa gangguan jiwa
merupakan penyakit yang membutuhkan pengobatan yang lama dan
41
berkelanjutan.

o Terapi

Memberi penjelasan mengenai terapi yang diberikan pada pasien


(kegunaan obat terhadap gejala pasien dan efek samping yang
mungkin timbul pada pengobatan). Selain itu, juga ditekankan
pentingnya pasien kontrol dan minum obat secara teratur.

· Istirahat yang cukup

· Makan yang seimbang dan teratur

· Olahraga yang teratur

· Mendekatkan diri kepada Allah

XIII. PROGNOSIS

Quo et vitam : dubia ad bonam

Quo et fungsionam : dubia ad bonam

Quo et sanctionam : dubia ad bonam

Prognosis Baik Prognosis Buruk

Awitan Tua Awitan muda

Ada factor presipitasi yang jelas Tidak ada factor presipitasi

Awitan akut Awitan insidious

Riwayat social, seksual dan pekerjaan Riwayat social, seksual dan pekerjaan
pramorbid baik pramorbid buruk

Gejala gangguan mood (terutama depresi) Perilaku autistic, menarik diri

42
Menikah Lajang, cerai, atau menjanda / duda

Riwayat keluarga dengan gangguan mood Riwayat keluarga dengan skizofrenia

Sistem pendukung baik Sistem pendukung buruk

Gejala positif Gejala negatif

Tanda dan gejala neurologis

Riwayat trauma perinatal

Tanpa remisi dalam 3 tahun

Berulang kali relaps

Riwayat melakukan tindakan penyerangan

43
BAB IV
DISKUSI

Perempuan usia 23 tahun datang ke poli RSUP DR M Djamil padang dengan


keluhan sulit tidur yang tidak membaik sejak 6 bulan terakhir. Pasien telah berusaha
untuk tidur, namun tetap saja pasien sulit untuk tertidur. Pasien merasa cemas, gelisah,
termenung dan merasa sedih pada malam hari dikarenakan memikirkan hubungan
dengan pacarnya tidak direstui orang tua pasien. Disertai dengan berkurangnya energi
dimana pasien tidak ada keinginan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti
memasak dan menyapu dan mengaku lebih sering beraktivitas di kamar. Pasien
mengatakan telah cuti kuliah dan berhenti bekerja sejak Desember 2021. Pasien lebih
sering menangis tiba - tiba tanpa penyebab yang jelas, lebih perasa dari biasanya.
Pasien tidak ada keinginan untuk makan sedikitpun. Pasien juga mengatakan sulit
untuk fokus dan menjadi mudah lupa. Keluhan pertama kali muncul ketika pasien
menuruti keinginan pacar pasien untuk bertelanjang dada saat melakukan video call.
Hal tersebut menyebabkan pasien merasa cemas karena takut foto disebarkan, pasien
juga merasa bersalah dan berdosa. Oleh karena itu, pasien ingin menikahi pacar
pasien. Tetapi, orang tua pasien tidak merestui hubungan pasien dengan pacarnya.
Pasien juga sempat berpikir ingin mengakhiri hidupnya.
Dari anamnesis yang didapat, pasien mengalami depresi berat tanpa gejala
psikotik, sesuai dengan kriteria pada PPDGJ III yaitu ada 3 dari 3 gejala depresi
utama ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya. Gangguan depresi
merupakan suatu gangguan suasana perasaan yang ditandai dengan adanya episode
depresi yang berlangsung minimal selama dua minggu, tidak disertai adanya waham,
halusinasi, atau, stupor depresif
Saat ini pasien mendapatkan obat Fluoxetine 20 mg 1 x 1, Merlopam 0,5 mg
1 x1, Curcuma 1x1. Fluoxetine adalah golongan obat SSRI yang memiliki
keunggulan yaitu mudah dalam dosis, dan toksisitas rendah pada overdosis, serta
merupakan obat lini pertama untuk depresi onset lambat. Merlopam (Lorazepam)
adalah golongan obat benzodiazepine yang merupakan obat pilihan untuk
pengelolaan ansietas termasuk depresi. Obat ini bekerja dalam mencetuskan sedasi
atau tidur. Curcuma diberikan kepada pasien untuk meningkatkan nafsu makan.
44
Selain terapi farmakologi pasien juga mendapat terapi psikoterapi
serta psikoedukasi untuk pasien dan keluarga pasien. Membantu pasien untuk
mengetahui lebih banyak mengetahui penyakit yang dideritanya, dengan harapan
pasien mempunyai kemampuan yang semakin efektif untuk mengenali penyakitnya.
Dalam menatalaksana pasien gangguan jiwa terutama depresi sangat diperlukan
support grup baik dari keluarga maupun lingkungan.

45
BAB 4
KESIMPULAN

Gangguan depresi merupakan suatu gangguan suasana perasaan yang ditandai dengan
adanya episode depresi yang berlangsung minimal selama dua minggu. Gangguan depresi
terdiri atas tiga episode yaitu episode depresi ringan, sedang, dan berat. Pengobatan didasarkan
atas dasar gejala yang tampak, keparahannya, dan tingkat kesenangan dan pengalaman klinisi
sendiri terhadap berbagai modalitas pengobatan. Di samping pengobatan dengan farmakoterapi
kita memanfaatkan pengobatan lainnya seperti terapi psikologik/psikiatrik, psikososial dan
psikoreligius.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Virginia AS, Pedro R. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer;
2015. p. 347-379.
2. Ismail RI, Kristiana S. Gangguan Depresi. In: Elvira SD, Gitayanti H, editors.
Buku Ajar Psikiatri. 2nd Ed. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2013. p. 228-243
3. Iyer K, Khan ZA. Depression: A Review. Research Journal of Recent Sciences.
2012; 1(4): 79-87.
4. Balitbangkes Kementrian Kesehatan RI. Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta:
Balitbangkes Kementrian Kesehatan RI; 2018.
5. World Health Organization. Depression and Other Common Mental Health
Disorders: Global Health Estimates; 2017. p. 8-9.
6. Sotelo JL, Dominique M, Charles N. The Biology of Depression in Cancer and the
Relationship between Depression and Cancer Progression. International Review
of Pscchiatry. 2014; 26(1): 16-30.
7. Elbadawi H, Mirghani. Depression among HIV/AIDS Sudanese Patients: A Cross-
Sectional Analytic Study. The Pan African Medical Journal. 2017; 26: 43.
8. Nikkheslat N, Carmine MP, Patricia AZ. Neuroendocrine Abnormalities in Major
Depression: An Insight into Glucocorticoid, Cytokines, and the Kynurenine
Pathway. In: Baune BT, editors. Inflammation and Immunity in Depression. 1st
Ed. Amsterdam: Elsevier; 2018. p. 45-60.
9. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-
5. Jakarta :Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya; 2013. p. 58-69.
10. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. 5th ed. Washington, DC: American Psychiatric Association; 2013.
11. Annunziata MA, Muzzatti B, Bidoli E, et al. Hospital Anxiety and Depression
Scale (HADS) accuracy in cancer patients [published online ahead of print, 2019
Dec 19]. Support Care Cancer. 2019;10.1007/s00520-019-05244-8.
doi:10.1007/s00520- 019-05244-8
12. Ng CW, How CH, Ng YP. Major depression in primary care: making the
diagnosis. Singapore Med J. 2016;57(11):591‐597.
13. Mirza SS, Wolters FJ, Swanson SA, et al. 10-year trajectories of depressive
symptoms and risk of dementia: a population-based study. Lancet Psychiatry.

47
2016;3:628–35.
14. Kuboki T, Hashizume M. Clinical Diagnosis and Treatment of Mild depression.
J MAJ. 2011; 52(2):76-80.
15. Viktorin A, Lichtenstein P, Thase ME, et al. The risk of switch to mania in patients
with bipolar disorder during treatment with an antidepressant alone and in
combination with a mood stabilizer. Am J Psychiatry. 2014;171:1067–73.

16. Culpepper L. The diagnosis and treatment of bipolar disorder: decision-making in


primary care. Prim Care Companion CNS Disord. 2014;16(3):PCC.13r01609.
17. Horowitz MA, Taylor D. Tapering of SSRI treatment to mitigate withdrawal
symptoms. Lancet Psychiatry. 2019 Jun;6(6):538-546.
18. Knappe S, Einsle F, Rummel-Kluge C, Heinz I, Wieder G, Venz J, Schouler-Ocak
M, Wittchen HU, Lieb R, Hoye J, Schmitt J, Bergmann A, Beesdo-Baum K.
[Simple guideline-oriented supportive tools in primary care: Effects on adherence
to the S3/NV guideline unipolar depression]. Z Psychosom Med Psychother. 2018
Sep;64(3):298-311.
19. Saracino RM, Nelson CJ. Identification and treatment of depressive disorders in
older adults with cancer. J Geriatr Oncol. 2019 Sep;10(5):680-684.
20. Chand SP, Arif H. Depression. [Updated 2019 Aug 3]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430847
21. Zeeck A, von Wietersheim J, Weiss H, et al. Prognostic and prescriptive predictors
of improvement in a naturalistic study on inpatient and day hospital treatment of
depression. J Affect Disord. 2016;197:205‐214. doi:10.1016/j.jad.2016.03.039
22. Kraus C, Kadriu B, Lanzenberger R, Zarate CA Jr, Kasper S. Prognosis and
improved outcomes in major depression: a review. Transl Psychiatry.
2019;9(1):127.
23. Balestri M, Calati R, Souery D, Kautzky A, Kasper S, Montgomery S, Zohar J,
Mendlewicz J, Serretti A. J Affect Disord. 2016 Jan 1; 189():224-32.
24. Henriksen CA, et al. Identifying factors that predict longitudinal outcomes of
untreated common mental disorders. Psychiatr. Serv. 2015;66:163–170.
25. Racine M. Chronic pain and suicide risk: A comprehensive review. Prog.
Neuropsychopharmacol. Biol. Psychiatry. 2018;87:269–280.
26. Phillips JL, Batten LA, Tremblay P, Aldosary F, Blier P. A prospective,

48
longitudinal study of the effect of remission on cortical thickness and hippocampal
volume in patients with treatment-resistant depression. Int. J.
Neuropsychopharmacol. / Off. Sci.
J. Coll. Int. Neuropsychopharmacol. 2015;18:pyv037.
27. Strawbridge R, et al. Inflammation and clinical response to treatment in
depression: A meta-analysis. Eur. Neuropsychopharmacol.: J. Eur.
Coll. Neuropsychopharmacol. 2015;25:1532–1543. doi:
10.1016/j.euroneuro.2015.06.007.
28. Wray NR, et al. Genome-wide association analyses identify 44 risk variants and
refine the genetic architecture of major depression. Nat. Genet. 2018;50:668–681.
doi: 10.1038/s41588-018-0090-3.

49

Anda mungkin juga menyukai