GANGGUAN BIPOLAR
Oleh :
SALMA MAULIDIYAH
41181396100061
Pembimbing :
dr. Rininta Mardiani, SpKJ
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan rahmat-Nya dapat menyelesasikan makalah presentasi kasus dalam
Kepaniteraan Klinik Psikiatri Program Studi Profesi Dokter FK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta di RS. DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat, serta seluruh umat islam.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada para pengajar
di KSM Psikiatri RS. DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor khususnya dr. Rininta Mardiani,
SpKJ selaku pembimbing dalam menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari bahwa pemaparan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi pembaca nya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menjadi salah
satu bahan dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, khususnya bagi kami yang
sedang menempuh pendidikan profesi dokter.
Wassalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh
SALMA MAULIDIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan bipolar merupakan gangguan mood yang kronis dan berat yang
ditandai dengan episode mania, hipomania, campuran dan depresi. Sebelumnya
gangguan bipolar disebut dengan manik depresif, gangguan afektif bipolar atau
gangguan spektrum bipolar. Gangguan ini bersifat episode berulang (sekurang-
kurangnya dua episode) dimana afek dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada
waktu tertentu terdiri peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktivitas dan
pada waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktivitas.1,2
Angka morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi. Tingginya angka mortalitas
disebabkan oleh seringnya terjadi komorbiditas antara GB dengan penyakit fisik,
misalnya, dengan diabetes melitus, penyakit jantung koroner, dan kanker.
Komorbiditas dapat pula terjadi dengan penyakit psikiatrik lainnya misalnya, dengan
ketergaotungan zat dan alkohol yang juga turut berkontribusi dalam meningkatkan
mortalitas. Selain itu, tingginya mortalitas juga dapat disebabkan oleh bunuh diri.
Sekitar 25% penderita gangguan bipolar pemah melakukan percobaan bunuh diri,
paling sedikitsatu kali dalam kehidupannya. Oleh karena itu, penderita GB harus
diobati dengan segera dan mendapat penanganan yang tepat.1,3
Ada empat jenis GB tertera di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders IV-Text Revision (DSM-IV TR) yaitu GB I, GB II. gangguan siklotimia, dan GB yang
tak dapat dispesifikasikan.1,4
Prevalensi gangguan bipolar di Indonesia hanya sekitar 2% sama dengan
prevalensi skizofrenia. Prevalensi antara laki-laki dan wanita sama besar. Onset
gangguan bipolar adalah dari masa anak-anak (usia 5-6 tahun) sampai 50 tahun atau
lebih. Rata-rata usia yang terkena adalah usia 30 tahun. Penyebab gangguan bipolar
multifaktor. Secara biologis dikaitkan dengan faktor genetik dan gangguan
neurotransmitter di otak. Secara psikososial dikaitkan dengan pola asuh masa kanak-
kanak, stress yang menyakitkan, stress kehidupan yang berat dan berkepanjangan, dan
banyak lagi faktor lainnya.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Gangguan bipolar merupakan gangguan mood yang kronis dan berat yang
ditandai dengan episode mania, hipomania, campuran dan depresi. Sebelumnya
gangguan bipolar disebut dengan manik depresif, gangguan afektif bipolar atau
gangguan spektrum bipolar.1,2
2.2. Epidemiologi
Menurut American Psychiatric Association gangguan afektif bipolar I mencapai
0.8% dari populasi dewasa, dalam penelitian yang dilakukan dengan komunitas
mencapai antara 0,4-1,6%. Angka ini konsisten di beragam budaya dan kelompok etnis.
Gangguan bipolar II mempengaruhi sekitar 0,5% dari populasi. Sementara gangguan
bipolar II tampaknya lebih umum pada wanita hal ini dperkirakan dipengaruhi oleh
hormon, efek dari melahirkan, stressor psikososial untuk wanita, dan pembelajaran
budaya yang mengajarkan wanita tidak dapat berusaha sendiri (behavioral models of
learned helplessness), gangguan bipolar I mempengaruhi pria dan wanita cukup merata.
Ini perkiraan prevalensi dianggap konservatif. Episode manik lebih banyak didapatkan
pada pria dan depresi lebih umum pada wanita. Saat seorang wanita mengalami episode
manik gelaja yang timbul dapat bercampur antara manik dan depresi. Pada wanita juga
lebih sering ditemukan siklus cepat atau rapid cycling seperti memiliki 4 episode manik
dalam 1 tahun periode.4,5
Gangguan bipolar adalah gangguan yang lebih jarang dibandingkan dengan
gangguan depresif berat. Prevalensi gangguan bipolar di Indonesia hanya sekitar 2%
sama dengan prevalensi skizofrenia. Prevalensi antara laki-laki dan wanita sama besar.
Onset gangguan bipolar adalah dari masa anak-anak (usia 5-6 tahun) sampai 50 tahun
atau lebih. Rata-rata usia yang terkena adalah usia 30 tahun. Gangguan bipolar
cenderung mengenai semua ras.4
2.3. Etiologi
a. Faktor Genetik
Studi pada keluarga. Data dari studi ini mengatakan 1 orang tua dengan
gangguan mood, anaknya akan memiliki risiko antara 10-25% untuk menderita
gangguan mood. Jika kedua orang tuanya menderita gangguan mood, maka
kemungkinannya menjadi 2 kali lipat. Risiko ini meningkat jika ada anggota keluarga
dari 1 generasi sebelumnya daripada kerabat jauh. Satu riwayat keluarga gangguan
bipolar dapat meningkatkan risiko untuk gangguan mood secara umum, dan lebih
spesifik pada kemungkianan munculnya bipolar.1,4,5
Studi pada anak kembar. Studi ini menunjukan bahwa gen hanya menjelaskan
50-70% etiologi dari gangguan mood. Studi ini menunjukan rentang gangguan mood
pada monozigot sekitar 70-90% dibandingkan dengan kembar dizigot sekitar 16-
35%.1,4,5
b. Faktor Biologi
Hingga saat ini neurotransmitter monoamine seperti norepinefrin, dopamine, serotonin,
dan histamine menjadi focus teori dan masih diteliti hingga saat ini. Sebagai biogenik
amin norepinefrin dan serotonin adalah neurotransmitter yang paling berpengaruh
dalam patofisiologi gangguan mood ini.1,4,5
- Norepinefrin. Teori ini merujuk pada penurunan regulasi dan penurunan
sensitivitas dari reseptor β adrenergik dan dalam klinik hal ini dibuktikan oleh
respon pada penggunaan anti depresan yang cukup baik sehingga mendukung
adanya peran langsung dari system noradrenergik pada depresi. Bukti lainnya
melibatkan reseptor β2 presinaps pada depresi karena aktivasi pada reseptor ini
menghasilkan penurunan dari pelepasan norepinefrin. Reseptor β2 juga terletak
pada neuron serotoninergic dan berperan dalam regulasi pelepasan serotonin. 4
- Serotonin. Teori ini didukung oleh respon pengobatan SSRI (selective serotonin
reuptake inhibitor) dalam mengatasi depress. Rendahnya kadar serotonin dapat
menjadi factor resipitat depresi, beberapa pasien dengan dorongan bunuh diri
memiliki konsentrasi serotonin yang rendah dalam cairan cerebropinalnya dan
memiliki kadar konsentrasi rendah uptake serotonin pada platelet. 4
- Dopamine. Selain dari norepinefrin dan serotonin, dopamine juga diduga memiliki
peran. Data memperkirakan bahwa aktivitas dopamine dapat mengurangi depresi
dan meningkat pada mania. Dua teori mengenai dopamine dan depresi adalah
bahwa jalur mesolimbic dopamine tidak berfungsi terjadi pada depresi dan
dopamine reseptor D1 hipoaktif pda keadaan depresi. 4
Kelainan di otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini. Terdapat
perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita bipolar. Melalui
pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography
(PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran darah yang berkurang pada
korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu, Blumberg dkk dalam Arch Gen Psychiatry
2003 pun menemukan volume yang kecil pada amygdale dan hippocampus. Korteks
prefrontal, amygdale, dan hippocampus merupakan bagian dari otak yang terlibat dalam
respon emosi (mood dan afek). Penelitian lain menunjukkan ekspresi oligodendrosit-
myelin berkurang pada otak penderita bipolar. Seperti diketahui, oligodendrosit
menghasilkan membran myelin yang membungkus akson sehingga mampu
mempercepat hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit berkurang,
maka dapat dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan lancar.4
c. Faktor Psikososial
Penelitian telah membuktikan faktor lingkungan memegang peranan penting
dalam gangguan perkembangan bipolar. Faktor lingkungan yang sangat berperan pada
kehidupan psikososial dari pasien dapat menyebabkan stress yang dipicu oleh faktor
lingkungan. Stress yang menyertai episode pertama dari gangguan bipolar dapat
menyebabkan perubahan biologik otak yang bertahan lama. Perubahan bertahan lama
tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter
dan sistem pemberian signal intraneuronal. Perubahan mungkin termasuk hilangnya
neuron dan penurunan besar dalam kontak sinaptik. Hasil akhir perubahan tersebut
menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita
Gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stressor eksternal.4
Episode manik, bila derajatnya berat, dapat disertai gejala psikotik, hendaya
berat pada fungsi sosial dan pekerjaan memerlukan hospitalisasi. Mood iritabel pada
mania dapat muncul dalam bentuk perilaku yang suka membantah terutama bila
pasien tersebut diperlakukan kasar. Grandiositas dan gambaran paranoid sering
terlihat pada mania. Waham dan halusinasi juga sering ditemukan pda mania pada
gangguan bipolar dengan ciri psikotik. Kebingungan atau pseudodemensia maupun
negativisme juga sering ditemukan pada mania.
Gangguan Siklotimia
a) Paling sedikit selama dua tahun, terdapat beberapa periode dengan gejala-gejala
hipomania dan beberapa periode dengan gejala-gejala depresi yang tidak
memenuhi criteria untuk Gangguan depresi mayor. Untuk anak-anak dan remaja
durasinya paling sedikit satu tahun.
b) Selama periode dua tahun di atas penderita tidak pernah bebas dari gejala-gejala
pada kriteria a lebih dari dua bulan pada suatu waktu.
c) Tidak ada episode depresi mayor, episode manik, episode campuran, selama dua
tahun Gangguan tersebut
Catatan: setelah dua tahun awal, siklotimia dapat bertumpang tindih dengan
manic atau episode campuran (diagnosis GB I dan Gangguan siklotimia dapat
dibuat) atau episode depresi mayor (diagnosis GB II dengan Gangguan siklotimia
dapat ditegakkan)
d) Gejala-gejala pada criteria a bukan skizoafektif dan tidak bertumpangtindih
dengan skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau dengan Gangguan
psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
e) Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat atau kondisi
medik umum
f) Gejala-gejala di atas menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan atau aspek fungsi
penting lainnya.
F31.1 Gangguan afektif Bipolar, Episode kini Manik Tanpa Gejala Psikotik
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania tanpa gejala psikotik
(F30.1); dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik,
depresif, atau campuran) di masa lampau. 1,3,8,9
F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik dengan gejala psikotik
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan gejala
psikotik (F30.2); dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik,
depresif atau campuran) di masa lampau. 1,3,8,9
F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Ringan atau Sedang
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresi ringan
(F32.0) atau pun sedang (F32.1); dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik, atau
campuran di masa lampau.1,3,8,9
F31.4 gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala psikotik
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
tanpa gejala psikotik (F32.2); dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik, atau
campuran di masa lampau. 1,3,8,9
F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
dengan gejala psikotik (F32.3);dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik, atau
campuran dimasa lampau. 1,3,8,9
Terapi lini 1:
- Litium, diivalproat, olanzapin, risperidon, quetiapin, quetiapin XR, aripiprazol,
litium atau divalproat + risperidon, litium atau divalproat + quetiapin, litium atau
divalproat + olanzapin, litium atau divalproat + aripiprazol.
Terapi lini 2:
- Karbamazepin, Terapi Kejang Listrik (TKL), litium + divalproat, paripalidon
Terapi lini 3:
- Haloperidol, klorpromazin, litium atau divalproat haloperidol, litium
+karbamazepin, klozapin.
Tabel 1. Algoritma Terapi Mania Akut pada Gangguan Bipolar
1. Penyuluhan Psikososial
Informasikan kepada orang dengan gangguan bipolar (tidak dalam episode manik
akut) dan pada anggota keluarga pasien gangguan bipolar.
Penjelasan : gangguan bipolar ialah suatu keadaan alam perasaan yang ekstrim
dimana dapat merasa sangat depresi, lemah, lesu kemudian beralih pada keadaan
energik, sangat semangat.
Dalam keadaan ini diperlukan cara untuk mengawasi alam perasaan dalam waktu
1 hari yang dapat terjadi marah, sensitif dan kesenangan yang berlebihan
Penting untuk mengatur pola tidur yang normal (contohnya waktu saatnya tidur
yang sama, mencoba untuk tidur dalam kuantitas yang sama sebelum sakit serta
hindari kebutuhan tidur yang berlebihan dari biasanya).
Kekambuhan perlu dicegah dengan mengenali gejala, seperti berkurangnya
waktu tidur, menghabiskan uang atau merasa lebih enegik dari biasanya dan
segera mulai terapi jika hal tersebut terjadi.
Pasien yang berada dalam keadaan manik tidak sadar akan penyakit yang sedang
dideritanya dan merasa hebat serta energi yang meluap-luap, jadi pengasuh sangat
perlu menjadi bagian dalam upaya pencegahan.
Hindari penggunaan alkohol maupun zat psikoaktif
Perubahan gaya hidup sebaiknya terus dilanjutkan dan perlu diupayakan serta
direncanakan
Pasien harus diberikan semangat untuk mencari dukungan setelah kejadian yang
menyedihkan dan mebicarakannya pada keluarga dan sahabat.
Perencanaan untuk kembali bekerja atau bersekolah yang dapat menghindari
pengurangan waktu tidur, memperbaiki hubungan dukungan sosial, berdiskusi
serta meminta pendapat tentang keputusan penting misalnya tentang uang atau
keputusan penting lainnya)
Kesehatan fisik, sosial, jiwa anggota keluarga juga patut diperhatikan.
Bangun kepercayaan: rasa percaya antara pasien dan staf perawat memegang
peranan penting dalam perawatan pasien dengan gangguan bipolar, dimana
hubungan saling percaya secara medis ikut membantu pemulihan pasien secara
simultan.
2. Membangun hubungan sosial
Mencari tahu kegiatan pasien, yang jika dianjurkan dapat mebantu secara
langsung maupun tidak langsung dukungan psikososial (contohnya pertemuan
keluarga, bepergian bersama teman, mengunjungi tetangga, berolahraga).
Secara aktif memberi semangat kepada pasien untuk memulai kembali segala
kegiatan sosial yang pernah dijalaninya serta menasehati keluarga pasien
tentang ini.
3. Rehabilitation
Memfasilitasi kesempatan kepada pasien dan perawatnya untuk berpartisipasi
dalam kegitan ekonomi, pendidikan serta kesenian di lingkungannya baik secara
formal maupun informal.
Menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang sulit dalam usaha untuk
mencari pekerjaan yang baik.
4. Follow-up
Follow yang berkesinambungan wajib diperlukan. Tingkat kekambuhannya
tinggi dan pasien yang berada dalam keadaan manik seringkali tidak sadar untuk
mencari pengobatan bagi dirinya, jadi pengobatan serta perawatan yang tidak
dilakukan secara bersamaan sangat merugikan pada saat tertentu.
Pada setiap follow up, gejala serta efek samping dari pengobatan dan kebutuhan
akan intervensi psikososial perlu dicantumkan.
Pasien dengan gangguan manik sebaiknya melakukan evaluasi secara berkala.
Evaluasi harus lebih sering sampai episode manik berakhir.
Kumpulkan informasi mengenai penyakit serta terapi dari pasien dan perawatnya,
khususnya yang tentang gejala dan tanda serta pengelolaan terapi secara
bersamaan, saat hilangnya gejala. Jika pasien tidak memiliki perawat yang
merawatnya amak pemeriksaan dilakukan secara berkala, diusahakan merekrut
seorang perawat, idealnya yang berasal dari lingkungannya dapat teman atau
keluarganya.
2.8.7. Psikoterapi 9
2.9. Prognosis
Gangguan bipolar merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan ditandai
oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi, dan campuran, biasanya rekuren serta
dapat berlangsung seumur hidup. Penyebab gangguan bipolar multifaktor. Secara
biologis dikaitkan dengan faktor genetik dan gangguan neurotransmitter di otak. Secara
psikososial dikaitkan dengan pola asuh masa kanak-kanak, stress yang menyakitkan,
stress kehidupan yang berat dan berkepanjangan, dan banyak lagi faktor lainnya.
Terdapat dua pola gejala dasar pada Gangguan bipolar yaitu, episode depresi dan
episode mania. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria yang terdapat dalam DSM-
IV dibagi menjadi empat, yaitu: gangguan bipolar I, gangguan bipolar II, siklotimia dan
gangguan bipolar yang tidak tergolongkan. Penatalaksanaan gangguan bipolar terdiri
dari farmakoterapi, intervensi psikososial dan psikoterapi. Prognosis tergantung pada
penggunaan obat-obatan dengan dosis yang tepat, pengetahuan komprehensif mengenai
penyakit ini dan efeknya, hubungan positif dengan dokter dan terapis serta kesehatan
fisik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N. Gangguan Bipolar dalam: Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri Edisi
Kedua. FKUI; Jakarta. 2015. h. 204-27
2. Maslim R. Gangguan afektif bipolar dalam: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. Jakarta. 2013.h.61
3. Konsesus Nasional Terapi Gangguan Bipolar. Panduan tatalaksana gangguan bipolar.
Jakarta: Konsesus Nasional Terapi Gangguan Bipolar; 2010.hlm.2-21.
4. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan’s and sadock’s synopsis of psychiatry behavioral sciences
and clinical psychiatry. 10th edition.Philadelphia: Lippincott William and
Wilkins;2007.p.527-62.
5. American Psychiatry Assosiasion. Practice guideline for the treatment of patients with
bipolar disorder. 2nd edition. 2002. Diunduh dari apa.org, 20 April 2013.
6. Wardani IAK. Bipolar Disorder Clinical Pathway Inpatient . Departemen Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.2013
7. Angst J. Bipolor disorders in the DSM-5: strengths, problems, and perspectives. Int J
Bipolar Disord. 2013;1(12):1.
8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di
Indonesisa III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1993.hlm.140-50.
9. Fakultas Kedokteran Universiats Indonesia. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2010.hlm.197-208.
10. Soreff S. Bipolar affective disorder treatment and management. 2016. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/286342-treatment#showall (cited at April 20,
2019).