Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

Gangguan bipolar merupakan gangguan mood kronis yang ditandai dengan adanya
episode mania atau hipomania yang terjadi secara bergantian atau bercampur
dengan episode depresi. Gangguan bipolar disebut juga sebagai depresi manik,
gangguan afektif bipolar atau gangguan spektrum bipolar.1

Gangguan bipolar dapat diklasifikasikan menjadi gangguan bipolar I, gangguan


bipolar II yang merupakan dua tipe utama serta siklotimia dan gangguan spektrum
bipolar. Gangguan bipolar I terjadi hampir sama rata pada pria dan wanita dengan
prevalensi sebesar 0,4 – 1,6%. Gangguan bipolar II lebih umum terjadi pada wanita
dengan prevalensi sekitar 0,5%.1 Perjalanan penyakit gangguan bipolar ditandai
oleh tingginya tingkat kekambuhan, yang mencapai 80% hingga 90%, rata-rata 0.6
episode per tahun selama periode lima tahun.2

Hingga saat ini belum ada hipotesis tunggal yang dapat menyatukan data genetik,
biokimia, farmakologis, anatomi, dan tidur pada gangguan bipolar. Studi biokimia
sedang dilakukan untuk meneliti transmitter (katekolamin, serotonin, gamma
aminobutyric acid (GABA), glutamat dan lainnya), hormon (brain-derived
neurotrophic factor, tiroid dan lainnya), dan steroid.2

Episode depresi pada gangguan bipolar memiliki kriteria diagnosis dan


karakterisasi yang sama dengan gejala depresi nonbipolar.1 Depresi yang terjadi
pada gangguan bipolar tidak dapat dibedakan dengan mudah dari depresi unipolar
berdasarkan gejala saja.3

Terdapat sejumlah evidence-based treatments untuk depresi bipolar. Episode


depresi bipolar akut umumnya diterapi rawat jalan. Tujuan dari perawatan akut
untuk episode depresi bipolar adalah remisi. Terapi yang dapat digunakan berupa
quetiapine, kombinasi olanzapine / fluoxetine, lamotrigin, dan antidepresan.3

1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan bipolar merupakan gangguan mood kronis yang ditandai dengan adanya
episode mania atau hipomania yang terjadi secara bergantian atau bercampur
dengan episode depresi. Gangguan bipolar disebut juga sebagai depresi manik,
gangguan afektif bipolar atau gangguan spektrum bipolar.1

Istilah mania digunakan ketika terjadi peningkatan mood yang berat dan
berkelanjutan atau terkait dengan gejala psikotik, yang mengarah ke gangguan
perilaku dan fungsi. Hipomania mengacu pada peningkatan mood yang lebih
ringan, yang mungkin cukup singkat, dengan tingkat gangguan yang lebih rendah.
Namun, hipomania dapat berkembang menjadi mania.3 Episode depresi mayor
adalah ketika terdapat 5 atau lebih gejala depresi yang menetap selama setidaknya
2 minggu dan terjadi hampir setiap hari, dan menyebabkan gangguan fungsi atau
stres.3

2.2 Epidemiologi
Gangguan bipolar I terjadi hampir sama rata pada pria dan wanita dengan prevalensi
sebesar 0,4 – 1,6%. Gangguan bipolar II lebih umum terjadi pada wanita dengan
prevalensi sekitar 0,5%. Pada sebuah studi populasi, prevalensi bipolar secara
signifikan lebih tinggi pada wanita. Penelitian yang melibatkan gabungan sampel
dari 61.392 orang yang tinggal di 11 negara, utamanya di Amerika, Eropa dan Asia,
menyebutkan bahwa prevalensi total gangguan bipolar seumur hidup sebesar 2,4%.
Pada tahun 2012, prevalensi penderita gangguan bipolar I dan bipolar II di Kanada
berturut-turut adalah 0,87% dan 0,57%. Prevalensi ini tidak dibedakan atas jenis
kelamin. Prevalensi gangguan bipolar menurun seiring pertambahan usia serta
tingkat pendidikan dan prevalensinya pada individu yang tidak bekerja lebih tinggi
dibandingkan dengan individu yang bekerja. Namun, prevalensi gangguan bipolar
tidak selalu berkaitan dengan jenis kelamin, ras/etnis atau pendapatan.1

2
2.3 Patofisiologi
Hingga saat ini belum ada hipotesis tunggal yang dapat menyatukan data genetik,
biokimia, farmakologis, anatomi, dan tidur pada gangguan bipolar. Studi biokimia
sedang dilakukan untuk meneliti transmitter (katekolamin, serotonin, gamma
aminobutyric acid (GABA), glutamat dan lainnya), hormon (brain-derived
neurotrophic factor, tiroid dan lainnya), dan steroid.2

Bukti epidemiologis menyatakan bahwa gangguan afektif dapat diturunkan. Pada


anggota keluarga dari gangguan bipolar, risiko morbiditasnya adalah antara 2.9 dan
14.5 persen untuk gangguan bipolar dan 4.2 dan 24.3 persen untuk gangguan
unipolar, tergantung pada kriteria diagnostik yang digunakan dan heterogenitas.
Sejauh mana bipolar I, bipolar II, hipomania, siklotimia, dan depresi unipolar
berhubungan secara genetik atau entitas yang berbeda masih belum diketahui.
Masih belum jelas apakah gangguan mood (fenotip) adalah indikator terbaik dari
etiologi genetik. 2

Studi biokimia dan farmakologis telah menyebabkan munculnya hipotesis


katekolamin untuk menjelaskan gangguan bipolar, khususnya mania, dengan
anggapan bahwa mania disebabkan oleh kelebihan katekolamin dan depresi
disebabkan oleh kurangnya katekolamin. Norepinefrin dianggap memainkan peran
paling penting karena kelainan yang terkait dengan depresi termasuk modulasinya
oleh tricyclic antidepressants (TCA). Dopamin juga dianggap terlibat karena
prekursor dopamin L-dopa, amfetamin, dan TCA sering menghasilkan hipomania
pada pasien bipolar. Obat antipsikotik yang secara selektif memblokir reseptor
dopamin (misalnya Pimozide) efektif untuk menangani mania berat. 2

Beberapa hipotesis serotonin juga telah diajukan, baik sendiri atau berhubungan
dengan sistem lain. Hipotesis serotonin menyatakan bahwa fungsi serotonergik
yang rendah berperan dalam keadaan manik dan depresi karena inhibisi yang rusak
pada neurotransmitter lain (terutama norepinefrin dan dopamin). Beberapa ahli

3
menggunakan hipotesis untuk menjelaskan mengapa beberapa pasien bipolar lebih
cocok mendapatkan antidepresan. 2

Berbagai studi neuroanatomical dan neuroimaging sedang dilakukan untuk


mempelajari tentang gangguan bipolar lebih lanjut. Lesi di lobus frontal dan
temporal paling banyak dikaitkan dengan gangguan bipolar. Lesi sisi kiri cenderung
dikaitkan dengan depresi dan lesi sisi kanan dengan mania, meskipun bisa terbalik
di daerah posterior otak (misalnya hubungan depresi dengan lesi parietooksipital
kanan). Tidak ada kelainan yang ditemukan secara konsisten melalui computed
tomography (CT). Magnetic resonance imaging (MRI) dapat menunjukkan
peningkatan intensitas white matter yang terkait dengan gangguan bipolar dan
berkorelasi dengan usia, meskipun signifikansi klinisnya masih belum diketahui.
Secara keseluruhan, sebagian besar studi pencitraan fungsional (single-photon
emission computer tomography [SPECT] dan positron emission tomography
[PET]) telah menemukan hipoaktivitas paralimbik prefrontal dan anterior pada
depresi bipolar. Namun, studi pada pasien manik masih belum menghasilkan
temuan yang konsisten. 2

2.4 Perjalanan Penyakit


Perjalanan penyakit gangguan bipolar ditandai oleh tingginya tingkat kekambuhan,
yang mencapai 80% hingga 90%, rata-rata 0.6 episode per tahun selama periode
lima tahun. Episode pertama mania dikaitkan dengan durasi rawat inap yang lebih
pendek secara signifikan. Probabilitas kumulatif kekambuhan selama tahun
pertama follow-up adalah lebih dari 50%, pada akhir empat tahun sekitar 70%, dan
pada lima tahun hampir 90%. Pasien dengan gejala residual setelah episode akut
atau enam bulan setelah episode pertama mereka memiliki kemungkinan
kekambuhan mania atau depresi berat yang lebih besar. Masih terdapat perdebatan
mengenai apakah usia awitan, jenis kelamin, fungsi psikososial premorbid, jumlah
tahun sakit, dan jumlah episode sebelumnya dapat memprediksi terjadinya
kekambuhan.2

4
2.5 Klasifikasi
Gangguan bipolar dapat diklasifikasikan menjadi gangguan bipolar I, gangguan
bipolar II yang merupakan dua tipe utama serta siklotimia dan gangguan spektrum
bipolar.1 Tipe I didiagnosis ketika diidentifikasi setidaknya satu episode manik.
Biasanya depresi berulang juga terjadi, tetapi pada 5 hingga 10 persen kasus tidak
ada episode depresi mayor yang dapat didiagnosis, meskipun hampir selalu ada
episode depresi minor. Gangguan bipolar tipe II didagnosis bila tidak ada episode
mania, dan ada setidaknya satu episode hipomanik dan setidaknya satu episode
depresi utama.4

Gambar 1. Klasifikasi gangguan bipolar.5

2.6 Gejala
Gejala utama gangguan bipolar ialah mania/hipomania dan depresi. Gejala dari
episode mania diantaranya:1

 Abnormalitas suasana hati seperti euforia.


 Peningkatan energi.
 Peningkatan harga diri.
 Penurunan kebutuhan tidur.
 Lebih banyak berbicara dibanding biasanya.
 Agitasi psikomotor.

5
 Memiliki penilaian yang buruk dan mengambil keputusan secara impulsif
yang mengarah pada perilaku berbahaya.

Hipomania merupakan episode mania yang lebih ringan dengan gejala yang sama
namun terjadi dalam waktu yang lebih singkat, biasanya 4 hari dan biasanya tidak
disadari karena tidak berbeda secara signifikan dengan kebiasaan normal.1

Episode depresi pada gangguan bipolar memiliki kriteria diagnosis dan


karakterisasi yang sama dengan gejala depresi nonbipolar. Gejala – gejala yang
muncul diantaranya:1

 Perubahan pola tidur (insomnia atau hipersomnia)


 Perubahan pola makan dan berat badan.
 Kelelahan.
 Retardasi atau agitasi psikomotor.
 Adanya perasaan tidak berharga atau rasa bersalah.
 Penurunan konsentrasi.
 Memiliki pemikiran tidak wajar seperti keinginan bunuh diri.

Gambar 2. Mood range pada gangguan bipolar.6

6
2.7 Diagnosis
Kriteria diagnosis bipolar berdasarkan DSM V:4

1. Episode Manik:
A. Ditemukan mood yang secara abnormal meningkat atau tidak stabil,
bertahan hampir setiap hari selama setidaknya 1 minggu (atau
selama durasi dari perawatan).
B. Dalam keadaan mood terganggu, 3 (atau lebih) dari gejala berikut
harus ada (4 apabila mood hanya tidak stabil) dan harus ada dalam
derajat yang signifikan.
1) Peningkatan kepercayaan diri atau grandiosity
2) Kurangnya kebutuhan tidur
3) Lebih banyak bicara dari biasanya
4) Flight of ideas
5) Distractibility
6) Increase in goal-directed activity or psychomotor agitation
7) Peningkatan keterlibatan dalam aktivitas yang
menyenangkan pasien yang dapat memberikan konsekuensi
buruk
C. Gangguan mood yang parah dapat menyebabkan pasien terganggu
dalam sosial maupun pekerjaan. Mengganggu fungsi sehari-hari dan
sebaiknya dirawat guna menghindari kemungkinan merugikan diri
sendiri ataupun orang lain. Atau apabila pasien memiliki gangguan
psikotik.
D. Gejala pasien tidak merupakan efek dari substansi lain

7
2. Episode Depresif:
A. Lima (atau lebih) dari gejala berikut harus ada sekurang-kurangnya
selama 2 minggu. Setidaknya salah satu gejalanya merupakan
depressed mood atau loss of interest or pleasure. Gangguan yang
disebabkan oleh kondisi medis lain tidak boleh diikut sertakan.
1) Mood yang depresif hampir setiap hari (seperti merasa sedih,
kosong, atau hopeless). Atau dilihat dari observasi orang lain
(pasien yang terlihat menangis atau murung). Pada anak atau
orang tua dapat terlihat mood yang labil.
2) Kehilangan keinginan atau kesenangan yang nyata dalam
segala hal hampir setiap hari.
3) Penurunan berat badan yang signifikan saat tidak melakukan
diet atau peningkatan berat badan (perubahan 5% dari berat
badan selama 1 bulan), atau peningkatan atau kurangnya
napsu makan hampir setiap hari. (pada anak-anak lebih
memperhatikan kegagalan untuk mencapai berat badan yang
diharapkan).
4) Sulit tidur atau tidur terlalu banyak hampir setiap hari.
5) Psychomotor agitation or retardation hampir setiap hari
(diobservasi dari orang lain atau perasaan subjektif merasa
lamban dan lelah)
6) Lemas atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7) Merasa tidak berguna atau terus merasa bersalah hampir
setiap hari.
8) Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau
berkonsentrasi hampir setiap hari.
9) Pengulangan pikiran untuk mati (atau takut akan kematian),
atau ide untuk bunuh diri tanpa rencana spesifik. Pasien juga
bisa sudah mencoba melakukan bunuh diri atau memiliki
rencana spesifik untuk bunuh diri.

8
B. Gejala tersebut akan mengakibatkan pengurangan atau gangguan
pada kehidupan sosial, pekerjaan, dan lainnya.
C. Episode gejala tersebut bukan merupakan efek dari obat-obatan atau
keadaan medis lain.
3. Gangguan siklotimik:
A. Sekurang-kurangnya 2 tahun (sekurang-kurangnya 1 tahun pada
anak dan remaja) ada banyak periode dengan gejala hipomania yang
tidak memenuhi kriteria episode hipomania dan banyak periode
dengan gejla depresi yang tidak memenuhi kriteria untuk episode
depresi mayor.
B. Selama periode diatas 2 tahun (1 tahun pada anak-anak dan remaja),
Periode hipomania dan depresi ditemukan selama sekurang-
kurangnya setengah dari waktu tersebut dan individu tersebut tidak
pernah tanpa gejala selama lebih dari 2 bulan.
C. Tidak pernah memenuhi kriteria depresi mayor, mania atau
hipomania.
D. Gejala di kriteria A tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
skizoafektif, skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan
delusi, atau skizofrenia spesifikasi lain atau tidak terspesifikasi atau
gangguan psikotik lainnya
E. Gejala bukan disebabkan oleh efek fisiologis dari zat (misalnya
penyalahgunaan obat, obat-obatan) atau kondisi medis lainnya
(misalnya, hipertiroidisme).

Berdasarkan PPDGJ:

1. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Mania dengan Gejala Psikotik


(F31.2):
A. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania
dengan gejala psikotik (F30.2); dan
B. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik,
manik, depresif atau campuran) di masa lampau

9
2. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat tanpa Gejala
Psikotik (F31.4):
A. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode
depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2); dan
B. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik,
manik, atau campuran di masa lampau
3. Gangguan Afektif Bipolar, Kini dalam Remisi (F31.7):
A. Pasien sekarang tidak menderita gangguan afektif yang nyata selama
beberapa bulan terakhir ini, tetapi pernah mengalami sekurang-
kurangnya 1 episode afektif hipomanik, manik atau campuran di
masa lampau dan ditambah sekurang-kurangnya 1 episode afektif
lain (hipomanik, manik, depresif, atau campuran). Apabila periode
remisi pada saat pengobatan profilaksis dimasukkan ke dalam kode
ini.

2.8 Membedakan Bipolar dengan Depresi Unipolar


Depresi yang terjadi pada gangguan bipolar tidak dapat dibedakan dengan mudah
dari depresi unipolar berdasarkan gejala saja. Jika tidak terdapat riwayat mood yang
meningkat, telah diusulkan sebuah pendekatan berdasarkan gejala, riwayat
keluarga, dan perjalanan penyakit.3

Kemungkinan lebih besar mengalami depresi bipolar I:

 Gambaran depresi atipikal (hipersomnia, nafsu makan meningkat, perasaan


" leaden paralysis " yaitu merasa bahwa tubuh atau anggota badan sangat
berat dan sulit untuk bergerak)
 Mood lability
 Gejala psikotik atau rasa bersalah patologis
 Retardasi psikomotor
 Awitan depresi dini (<25 tahun)
 Episode depresi multipel

10
 Riwayat keluarga dengan gangguan bipolar

Kemungkinan lebih besar terjadinya depresi unipolar:

 Insomnia awal
 Kehilangan nafsu makan atau berat badan (atau keduanya)
 Tingkat aktivitas normal atau meningkat
 Masalah somatik (tubuh)
 Awitan depresi lama (> 25 tahun)
 Durasi episode depresi lebih lama

2.9 Terapi Episode Depresi pada Bipolar


Terdapat sejumlah evidence-based treatments untuk depresi bipolar. Episode
depresi bipolar akut umumnya diterapi rawat jalan. Rawat inap biasanya hanya
diperlukan untuk pasien depresi bipolar yang berisiko tinggi untuk bunuh diri,
pasien yang mengalami agitasi berat atau gejala psikotik, atau pasien dengan
kehilangan fungsi yang berat hingga tidak dapat lagi merawat diri sendiri. Tujuan
dari perawatan akut untuk episode depresi bipolar adalah remisi. Karena untuk
mencapai remisi dibutuhkan beberapa minggu, maka tujuan sementara adalah
respon, yang didefinisikan sebagai pengurangan signifikan secara klinis dalam
jumlah dan tingkat keparahan gejala mood, dengan resolusi ide bunuh diri dan
gejala psikotik. Perbaikan gejala depresi harus terjadi tanpa memicu episode manik.
Untuk pasien dengan komorbiditas gangguan penggunaan zat, direkomendasikan
terapi ganda depresi bipolar dan gangguan penggunaan obat-obatan.7

Sebuah meta-analisis dari 19 randomized controlled trials (RCT) pada depresi


bipolar menemukan bukti efikasi quetiapine saat dibandingkan dengan plasebo.
Olanzapine dan kombinasi olanzapine dan fluoxetine (OFC) masing-masing efektif
dalam uji coba tunggal dan lamotrigin efektif tetapi dengan ukuran efek yang kecil
(lima uji coba). Sebuah meta-analisis dari 15 RCT tidak menemukan manfaat
signifikan dari antidepresan dalam pengobatan depresi bipolar. Pedoman saat ini
merekomendasikan bahwa antidepresan harus selalu dikombinasikan dengan obat

11
antimanik untuk mengurangi risiko mood yang tidak stabil. Selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRI) adalah obat pilihan pada depresi bipolar, karena obat-
obat ini tidak menyebabkan peralihan ke mania. Pedoman saat ini juga
merekomendasikan untuk tidak memberikan antidepresi setelah perbaikan gejala
depresi. Terapi psikologis juga harus dipertimbangkan untuk diberikan bersama
obat-obatan, terutama jika terjadi depresi berkepanjangan atau berulang atau gejala
ringan bertahan.3

Gambar 3. Evidence terapi gangguan bipolar.3

2.9.1 Terapi farmakologis yang telah terbukti efektif pada depresi bipolar
a. Kombinasi olanzapine / fluoxetine

Terapi pertama yang disetujui untuk depresi bipolar akut adalah OFC.
Penelitian awal dilakukan pada pasien dengan depresi bipolar untuk menerima
OFC (6 dan 25, 6 dan 50, atau 12 dan 50 mg / hari [n = 86]), olanzapine
monoterapi (n = 370), atau plasebo (n = 377) selama 8 minggu. OFC (rata-rata
dosis harian 7,4 dan 39,3) lebih unggul dibandingkan plasebo dalam tingkat
respons (56,1% vs 30,4%, number needed to treat [NNT] = 4) dan tingkat remisi
(48,8% vs 24,5%, NNT = 5). Monoterapi olanzapine (dosis rata-rata 9,7 mg /
hari) juga lebih unggul dibandingkan dengan plasebo dalam tingkat respons

12
(39,0% vs 30,4%, NNT = 12) dan tingkat remisi (32,8% vs 24,5%, NNT = 12).
8

Sebuah penelitian serupa menyatakan kemanjuran antidepresan yang sama


dengan olanzapine (5-20 mg / hari, n = 343) dalam uji coba terkontrol plasebo
selama 6 minggu (n = 171), NNT untuk respons (52,5% vs 43,3%), dan tingkat
remisi (38,5% vs 29,2%) dalam penelitian ini adalah 11. 8

OFC dikaitkan dengan penambahan berat badan yang signifikan dan disregulasi
metabolik pada pasien dengan depresi bipolar. Proporsi pasien dengan potensi
kenaikan berat badan yang signifikan secara klinis (≥7%) selama pengobatan
OFC lebih tinggi dibandingkan kelompok plasebo (17,4% vs 2,7%, number
needed to harm [NNH] = 7). Selain itu, OFC dikaitkan dengan peningkatan
nafsu makan yang mempengaruhi 12,8% pasien versus 5% pasien yang
menerima plasebo (NNH = 13). Selain itu, telah ditunjukkan bahwa pasien yang
diobati dengan OFC dengan depresi bipolar mengalami diare yang relevan
secara klinis (18,6% vs 6,6%, NNH = 9), tremor (9,3% vs 2,4%, NNH = 15),
asthenia (12,8% vs .2,2%, NNH = 11), dan mulut kering (16,3% vs 6,1%, NNH
= 10) bila dibandingkan dengan plasebo. 8

b. Quetiapine

Quetiapine memiliki evidence base terbesar di antara 3 obat yang disetujui


untuk depresi bipolar. Lima uji coba terkontrol plasebo yang melibatkan lebih
dari 1800 pasien dengan depresi bipolar telah menunjukkan kemanjuran
quetiapin. Studi awal meneliti pasien dengan depresi bipolar untuk menerima
plasebo (n = 181), quetiapine 300 mg (n = 181) atau 600 mg / hari (n = 180)
selama 8 minggu. Kedua dosis quetiapine menghasilkan tingkat respons yang
lebih tinggi (57,9% vs 36,1%, NNT = 5) dan tingkat remisi (52,9% vs 28,4%,
NNT = 4) dibandingkan plasebo. Dua penelitian selanjutnya menggunakan
variasi pada desain yang sama dengan penambahan lithium atau paroxetine
sebagai kontrol aktif. Hasil untuk kelompok quetiapine dan plasebo serupa

13
dengan hasil penelitian sebelumnya, namun tidak ada kelompok kontrol aktif
yang berbeda dari plasebo. 8

Sedasi / mengantuk telah ditemukan pada sekitar setengah dari pasien yang
terdaftar dalam studi depresi bipolar jangka pendek dibandingkan dengan
plasebo (56,2% vs 14,4%, NNH = 3) dan merupakan efek samping yang paling
sering menyebabkan penghentian pengobatan secara prematur. Quetiapine juga
dikaitkan dengan penambahan berat badan pada pasien dengan depresi bipolar
(8,4% vs 1,9%, NNH = 16). Selain itu, pasien dengan depresi bipolar yang
diobati dengan quetiapine terbukti mengalami mulut kering yang relevan secara
klinis (42,5% vs 11,1%, NNH = 4), pusing (16,8% vs 8,0%, NNH = 12),
konstipasi (9,9% vs 4,5%, NNH = 19), sindrom ekstrapiramidal (8,6% vs 3,3%,
NNH = 19), dan kelelahan (9,6% vs 6,0%, NNH = 28) bila dibandingkan dengan
plasebo. 8

c. Lurasidone

Program to Evaluate the Antidepressant Impact of Lurasidone (PREVAIL)


mengevaluasi kemanjuran lurasidone pada depresi bipolar. PREVAIL 1
merekrut 348 pasien bipolar I depresi yang dirawat dengan lithium atau
valproate yang diacak untuk menerima lurasidone tambahan 20-120 mg / hari
(n = 183) yang dibandingkan dengan plasebo (n = 165) selama 6 minggu [26].
Dibandingkan dengan plasebo, lurasidone lebih unggul dalam respons (57,0%
vs 42,2%, NNT = 7) dan tingkat remisi (50,3% vs 35,4%, NNT = 7). Penelitian
PREVAIL 2 meneliti 505 pasien depresi bipolar I selama 6 minggu monoterapi
lurasidone (20-60 mg / hari [n = 166] atau 80-120 mg / hari [n = 169]) atau
plasebo (n = 170) [ 27]. Pada studi tersebut, lurasidone dikaitkan dengan tingkat
respons yang superior (52,0% vs 30,2%, NNT = 5) dan remisi (40,9% vs 24,7%,
NNT = 7) bila dibandingkan dengan plasebo. 8

Efek samping sedikit lebih umum pada dosis yang lebih tinggi (80-120 mg /
hari) dibandingkan pada dosis yang lebih rendah (20–60 mg / hari) dari
monoterapi lurasidone dibandingkan dengan plasebo: mual (dosis lebih tinggi:

14
10,8% vs 2,4%, NNH = 12; dosis lebih rendah: 7,9% vs 2,4%, NNH = 18),
akathisia (dosis lebih tinggi: 17,4% vs 7,7%, NNH = 11; dosis lebih rendah:
10,4% vs 7,7%, NNH = 39), somnolen ( dosis lebih tinggi: 13,8% vs 6,5%,
NNH = 14; dosis lebih rendah: 7,3% vs 6,5%, NNH = 130), sindrom
ekstrapiramidal (dosis lebih tinggi: 9,0% vs 2,4%, NNH = 16 dan dosis rendah:
4,9 % vs 2,4%, NNH = 40), dan muntah (dosis lebih tinggi: 6,0% vs 1,8%, NNH
= 24 dan dosis lebih rendah: 2,4% vs 1,8%, NNH = 154) [30]. Lurasidone
menunjukkan kecenderungan rendah untuk menambah berat badan dalam studi
depresi bipolar (monoterapi: 2,4% vs 0,7%, NNH = 58; tambahan untuk lithium
atau valproat: 3,1% vs 0,3%, NNH = 36). 8

2.9.2 Terapi farmakologis yang belum terbukti efektif pada depresi bipolar
a. Lamotrigin

Lamotrigin, obat yang disetujui untuk fase rumatan gangguan bipolar I, tidak
disetujui untuk depresi bipolar akut. Calabrese dkk pertama kali menunjukkan
kemanjuran lamotrigin dalam pengobatan depresi bipolar akut, tetapi penelitian
selanjutnya tidak mendapatkan hasil serupa. Namun, meta-analisis (monoterapi
lamotrigine) dan satu studi terkontrol plasebo (tambahan untuk lithium)
menunjukkan kemungkinan kemanjuran obat ini pada depresi bipolar akut. 8

Meta analisis ini mencakup 5 uji coba terkontrol plasebo (n = 1072) dengan
durasi studi (7-10 minggu) dan dosis variabel (dosis tetap, 50 mg / hari vs 200
mg / hari; dosis fleksibel 100-400 mg / hari hari). NNT untuk respons yang lebih
besar dari yang diamati pada plasebo adalah 13. Analisis subkelompok
menunjukkan efek pengobatan yang lebih signifikan pada pasien dengan
depresi berat (NNT = 7). Tingkat remisi tidak konsisten dengan lamotrigin
relatif terhadap plasebo. Dalam 8 minggu lain, uji coba terkontrol plasebo yang
melibatkan 124 pasien yang dirawat dengan lithium dengan depresi bipolar
akut, terapi tambahan dengan lamotrigin 200 mg / hari menghasilkan tingkat
respons yang lebih tinggi dibandingkan plasebo (51,6% vs 31,7%, NNT = 5).
Lamotrigin berpotensi menyebabkan ruam sebagai efek samping; Namun,
prevalensi ruam berat pada pasien yang diobati dengan lamotrigin rendah (1

15
dalam 1000-2000), dan studi terkontrol plasebo pada lamotrigin untuk depresi
bipolar memberi NNH 44 untuk ruam ringan. 8

b. Antidepresan

Meskipun antidepresan umumnya digunakan untuk depresi bipolar akut,


mereka tidak diteliti secara luas untuk menunjukkan kemanjurannya. Studi awal
meneliti pasien dengan depresi bipolar akut yang diobati dengan lithium sebagai
terapi double-blind adjunctive dengan plasebo (n = 43), paroxetine (n = 35),
atau imipramine (n = 39). Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan
bahwa paroxetine maupun imipramine tidak memiliki keunggulan
dibandingkan plasebo dibandingkan dengan ukuran efikasi apa pun. Studi
terkontrol plasebo terbesar pada depresi bipolar akut dilakukan oleh studi
STEP-BD. Tiga ratus tiga puluh enam pasien diacak untuk menerima
pengobatan dengan mood stabilizer dan terapi antidepresan tambahan
(bupropion atau paroxetine) (n = 179) atau plasebo (n = 187). Tidak ada
perbedaan dalam kemungkinan individu mencapai pemulihan atau ukuran hasil
lainnya. Sebuah meta-analisis dari 6 studi double-blind terkontrol plasebo dari
antidepresan terutama sebagai tambahan dalam depresi bipolar akut termasuk
416 pasien yang menggunakan antidepresan dan 610 mengambil plasebo.
Analisis ini menyimpulkan bahwa antidepresan secara statistik tidak lebih
unggul daripada plasebo atau pengobatan standar lainnya untuk depresi bipolar
akut. NNT versus plasebo untuk respons adalah 29. 8

Efek samping utama yang terkait dengan penggunaan antidepresan bervariasi


menurut kelas antidepresan. Meskipun risiko perubahan mood dengan
antidepresan relatif rendah (NNH vs plasebo untuk perubahan mood adalah
200), perubahan mood ke mania dapat memiliki konsekuensi psikososial negatif
yang berat. 8

2.9.3 Pilihan terapi untuk berbagai tipe depresi bipolar


Secara umum, terapi untuk depresi bipolar dibagi berdasarkan tipe bipolar dan
episodenya:

16
a. Depresi bipolar-I: Episode baru.

Episode depresi menyebabkan disabilitas yang lebih berat dan dampak


fungsional yang merugikan dibandingkan episode manik atau hipomanik.
Namun, hanya sedikit obat yang terbukti efektif untuk mengobati episode
depresi bipolar akut. Monoterapi dengan quetiapine atau lurasidone dan
farmakoterapi kombinasi dengan lithium dan lamotrigine, dan quetiapine atau
lurasidone ditambah mood stabilizer (lithium atau valproate) merupakan pilihan
pengobatan untuk depresi bipolar-I akut. 7

Efektivitas monoterapi lithium untuk depresi bipolar akut masih kurang jelas
dibandingkan untuk mengobati mania akut atau untuk rumatan. Namun,
beberapa penelitian telah menunjukkan efek signifikan lithium untuk
mengurangi upaya bunuh diri dan kematian pada pasien dengan gangguan
bipolar dibandingkan dengan antidepresan atau mood stabilizer lainnya. Oleh
karena itu, lithium dapat dianggap baik sebagai monoterapi atau sebagai
tambahan untuk beberapa pasien dengan depresi bipolar-I akut, terutama
mereka dengan dorongan bunuh diri. 7

Beberapa bukti yang kurang konsisten juga mendukung monoterapi dengan


divalproex, lamotrigine, dan carbamazepine. Kelemahan lamotrigin adalah obat
ini membutuhkan beberapa minggu untuk mencapai dosis target untuk
mengobati depresi bipolar. Kombinasi olanzapine dan fluoxetine disetujui
untuk mengobati depresi bipolar-I, tetapi risiko peningkatan berat badan yang
signifikan secara klinis dan efek samping metabolik yang terkait mungkin
membatasi pengobatan untuk beberapa pasien. Efek samping ini signifikan
terutama untuk pasien yang sudah kelebihan berat badan atau obesitas atau
memiliki profil glikemik atau lipid yang abnormal. Aripiprazole dan
ziprasidone adalah agen antimanik yang efektif, tetapi mereka tidak efektif
untuk depresi bipolar. 7

Terapi elektrokonvulsif harus dipertimbangkan untuk depresi bipolar yang sulit


disembuhkan atau lini pertama untuk mengobati depresi bipolar dengan

17
gambaran psikotik, risiko bunuh diri yang tinggi, atau komplikasi medis / nutrisi
karena asupan oral yang buruk. Ketamin yang diberikan secara intravena atau
intranasal pada dosis subanestetik dapat dicoba untuk depresi bipolar
nonpsikotik refrakter, namun pengobatan ini masih eksperimental dan belum
tersedia data mengenai efektivitas atau keamanan jangka panjangnya.
Monoterapi antidepresan hampir selalu harus dihindari, terutama untuk pasien
dengan bipolar-I.7

b. Depresi bipolar-I: Episode Breakthrough

Episode depresi breakthrough dapat terjadi pada pasien dengan gangguan


bipolar yang awalnya respon terhadap pengobatan mood stabilizer dan tetap
menggunakan farmakoterapi jangka panjang. Untuk pasien dengan episode
depresi breakthrough meskipun sedang menjalani perawatan, penting untuk
mempertimbangkan penyebab berikut ini: 7

 Dosis obat yang tidak adekuat


 Kurang patuh terhadap farmakoterapi dan perawatan psikososial
 Interaksi obat-obat yang dapat membuat pengobatan kurang efektif
 Penggunaan obat bersamaan (antidepresan, psikostimulan, dan lainnya)
yang dapat mengganggu kestabilan mood
 Perubahan fungsi tiroid yang disebabkan oleh terapi lithium
 Konsumsi alkohol atau narkoba
 Meningkatnya stres psikososial atau gangguan besar ritme sosial rutin
dan rutinitas sehari-hari.

Kehilangan kemanjuran pada pasien yang sebelumnya responsif sangat


menantang karena sangat sedikit uji coba acak yang secara khusus membahas
situasi ini. Konsentrasi mood stabilizer dalam serum (misalnya lithium,
valproate) harus diukur untuk mengevaluasi kepatuhan dan kecukupan dosis.
Jika dosis mood stabilizer tidak mencukupi dan pasien memiliki kepatuhan
yang cukup baik, dosis dapat ditingkatkan. Untuk pasien yang sudah
menggunakan lithium, beberapa studi telah merekomendasikan bahwa dosis

18
lithium dapat dioptimalkan untuk menghasilkan konsentrasi serum 0,8 mEq / L
atau lebih besar. Tidak ada bukti untuk mendukung pengukuran konsentrasi
mood stabilizer atau obat antipsikotik atipikal serum. Namun, untuk pasien
yang menggunakan dosis rendah, dianjurkan untuk meningkatkan dosis obat
harian ke dosis minimum yang terbukti efektif untuk episode depresi bipolar
akut. 7

Penggunaan kombinasi mood stabilizer lainnya dan menambah mood stabilizer


dengan obat antipsikotik atipikal dengan sifat antidepresif bipolar (seperti
quetiapine, olanzapine, dan lurasidone) juga dapat dipertimbangkan.

c. Depresi bipolar-II

Saat ini sangat sedikit penelitian yang berfokus pada pengobatan depresi
bipolar-II. Secara umum, pilihan pengobatan untuk depresi bipolar-II sangat
serupa dengan pilihan untuk depresi bipolar-I. Terdapat rekomendasi empiris
untuk monoterapi quetiapine untuk depresi bipolar-II dari uji coba acak.
Rekomendasi yang lebih lemah juga ditemukan untuk penggunaan lithium,
antidepresan tambahan (diminum dengan obat mood stabilizer atau obat
antipsikotik atipikal dengan efek antidepresif bipolar), dan lamotrigin. 7

19
Gambar 4. Dosis terapi depresi bipolar.7

20
BAB III KESIMPULAN

Gangguan bipolar merupakan salah satu gangguan mood kronik yang memerlukan
pengobatan jangka panjang. Agen-agen terapi yang umum digunakan dalam
pegobatan diantaranya litium yang merupakan “gold standard” dalam pengobatan
gangguan bipolar, divalproex atau valproate, lamotrigin, olanzapine, risperidone,
quetiapine dan agen antidepresan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Zannah U, Puspitasari IM, Sinuraya RK, Farmasi F, Padjadjaran U.


REVIEW: FARMAKOTERAPI GANGGUAN BIPOLAR. Farmaka.
2018;16(1):263–77.

2. Leamon MH, Lim RF, Kelly RH, Hales RE. A Review of Bipolar Disorder
in Adults. Psychiatry. 2006;43–55.

3. Anderson IM, Haddad PM. Bipolar disorder. BMJ. 2012;345:1–10.

4. Ayano G. Bipolar Disorder: A Concise Overview of Etiology, Epidemiology


Diagnosis and Management: Review of Literatures. SOJ Psychol.
2016;3(1):1–8.

5. Price A, Virginia E, Marzani-nissen GR. Bipolar Disorders: A Review. Am


Fam Physician. 2012;85(5):483–93.

6. Mccormick U, Specialist PCN, Murray B, Assistant C, Mcnew B,


Practitioner PN. Diagnosis and treatment of patients with bipolar disorder :
A review for advanced practice nurses. J Am Assoc Nurse Pract.
2015;27:530–42.

7. Bobo W V. The Diagnosis and Management of Bipolar I and II Disorders:


Clinical Practice Update. Mayo Clin Proc. 2017;92(10):1532–51.

8. Shen Y. Treatment of acute bipolar depression. Tzu Chi Med J.


2018;30(3):141–7.

22

Anda mungkin juga menyukai