Penyusun:
Pembimbing:
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
Tingkat prevalensi gangguan jiwa pada orang dengan HIV di rawat inap
dan rawat jalan telah dilaporkan antara 5% dan 23%, dibandingkan dengan
kisaran 0,3% sampai 0,4% pada populasi umum di Amerika Serikat selama
periode waktu tertentu. Beberapa studi telah melaporkan faktor risiko perilaku
untuk penularan HIV berkisar antara 30% dan 60% dari orang-orang dengan
penyakit mental yang berat.(2)
3
HIV/AIDS memberikan beban psikologis yang signifikan. Orang dengan
HIV sering menderita depresi dan anxietas karena mereka menyesuaikan diri
dengan dampak dari diagnosisnya dan menghadapi kesulitan hidup dengan
penyakit kronis yang mengancam jiwa, misalnya tingkat harapan hidup yang
rendah , rejimen terapi yang rumit, stigmatisasi, dan hilangnya dukungan sosial,
keluarga atau teman-teman. Infeksi HIV dapat dikaitkan dengan risiko tinggi
bunuh diri atau mencoba bunuh diri.
4
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi
HIV paling sering ditularkan melalui hubungan seksual atau transfer darah
yang terkontaminasi dari satu orang ke orang lain. Hubungan seks (anal dan
vaginal) yang tidak memakai kondom adalah kegiatan seksual yang paling
mungkin untuk menularkan virus. Adanya penyakit menular seksual seperti
herpes atau sifilis, atau lesi lain yang merusak integritas kulit atau mukosa, dapat
meningkatkan risiko penularan. Penularan juga terjadi melalui paparan jarum
yang terkontaminasi sehingga angka insiden infeksi HIV di kalangan pengguna
narkoba menjadi semakin tinggi.
Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4, yang
memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan
5
dengan koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi
penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41.
Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom
RNA oleh enzim reverse transcriptase (RT) yang dibawa oleh virus. Ini
merupakan proses yang sangar berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya
DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom
sel pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi
sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di translasi
menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease
virus menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein
struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel
virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel
pejamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang
belum terinfeksi dan mengulang proses tersebut. Terdapat tiga grup (hampi semua
infeksi adalah grup M) dan subtipe (grup B domina di Eropa) untuk HIV-1.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS
pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa
gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
6
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4
yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi
limfosit CD4 sekitar 109. HIV biasanya mencapai otak segera setelah infeksi awal.
Teori lain yang menjelaskan masuknya virus adalah virus bebas yang
melintasi langsung BBB atau masuk melalui CSF. Keberadaan virus produktif
dalam sel endotel dan pleksus koroid mendukung teori ini. Secara keseluruhan,
makrofag di ruang perivaskular dan multi nucleated giant cell (kumpulan
makrofag dan sel mikroglia) adalah jenis sel otak utama yang mendukung
replikasi virus di otak.
7
masalah kognitif, motorik, dan perilaku yang parah sehingga dapat menghambat
kualitas hidup.
Tidak ada bukti dari infeksi langsung HIV terhadap sel saraf. Oleh karena
itu, mekanisme yang terlibat dalam neuropatogenensis adalah lesi pada sel
penyokong dan sitokin inflamasi (TNF, radikal bebas, Platelet Activating Factor,
Interleukin-1, dan Interferon-y yang dihasilkan oleh sel-sel tersebut). Selain itu,
protein dari HIV seperti gp-120 bersifat toksik terhadap neuron dan sel glia. (7)
8
Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Sistem Saraf Pusat pada
HIV(8)
Gejala bervariasi dari orang ke orang dan dapat berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Berbagai macam fungsi kognitif dapat dipengaruhi, termasuk:
9
Terdapat juga defisit kecepatan psikomotor; ataxia dan kelemahan dapat
ditemukan. Tanda neurologi yang abnormal termasuk paraparesis, spastic
ekstremitas bawah. Gangguan neuropsikologi ini dapat sering dikaitkan dengan
manifestasi di piramida dan ekstrapiramidal (tremor distal, ataksia, inkoordinasi)
sistem motor.(7,9)
Ketika fungsi kognitif yang sedikit terpengaruh dan hanya terdeteksi pada
tes neuropsikologis (orang lain tidak melihat gejala apapun), ini disebut HIV
associated asymptomatic neurocognitive impairment. Ketika fungsi kognitif yang
sedikit terpengaruh dan ini mengganggu pekerjaan, rumah atau kegiatan sosial, ini
disebut HIV associated mild neurocognitive disorder. Ketika fungsi kognitif yang
sangat terpengaruh dan ini secara signifikan mengganggu aktivitas sehari-hari, ini
disebut HIV associated dementia (HAD).(6,7)
2. Delirium
Delirium adalah nama lain untuk keadaan mental yang umum dengan
beberapa kemungkinan penyebab. Tidak seperti demensia, delirium biasanya
terjadi cukup cepat dan pasien dibawa ke rumah sakit karena perubahan jelas
dalam status mental.
10
Sejumlah faktor membuat orang dengan AIDS sangat rentan terhadap
delirium. Delirium umumnya terjadi pada orang yang mengalami sakit fisik, dan
lebih mungkin dengan penyakit parah. Banyak penyakit otak terkait HIV dan
kebanyakan obat HIV juga dapat menyebabkan delirium. Selain itu, dua subtipe
delirium, intoksikasi zat delirium dan substance-withdrawal delirium mungkin
lebih umum pada orang dengan HIV.
11
Tanda-tanda prodromal biasanya berkembang menjadi delirium full-blown dalam
waktu satu sampai tiga hari.
B. Gangguan Fungsional
Saat seseorang diberitahu bahwa dia terinfeksi HIV maka responnya
beragam. Pada umumnya dia akan mengalami lima tahap yang digambarkan oleh
Kubler Ross yaitu penolakan, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.(11)
Respon permulaan ini biasanya akan dilanjutkan dengan respons lain sampai pada
akhirnya dapat menerima. Penerimaan seseorang tentang keadaan dirinya yang
terinfeksi HIV belum tentu juga akan diterima dan didukung oleh lingkungannya.
Beban yang diderita ODHA baik karena gejala penyakit yang bersifat organik
maupun beban psikososial dapat menimbulkan rasa cemas. Depresi berat bahkan
sampai keinginan bunuh diri.
1. Depresi
Depresi adalah sindrom kejiwaan yang paling umum dilaporkan dalam
studi antara orang yang terinfeksi HIV. Depresi besar pada populasi HIV-positif
meningkat sekitar dua kali lipat di atas mereka dalam sampel masyarakat yang
sehat. Tingkat depresi telah berkisar dari 5 sampai 25 persen atau bahkan lebih
tinggi(12). Di antara pasien depresi, 20 persen menyatakan keinginan kematian, 12
persen melaporkan ide untuk bunuh diri sesekali, dan 6 persen melaporkan
keinginan bunuh diri terus-menerus sedangkan 8 persen telah membuat upaya
untuk melakukan bunuh diri. Terutama semua orang yang telah mencoba bunuh
12
diri, memiliki sejarah masa lalu dari penyakit jiwa. Semua upaya bunuh diri yang
dilakukan selama minggu pertama setelah diketahuinya status seropositif.
Ada beberapa hambatan diagnosis depresi pada orang yang terinfeksi HIV.
Pertama, pasien sering tidak membahas suasana hati atau emosi dengan
profesional perawatan kesehatan mereka karena takut akan stigma. Kedua,
profesional perawatan kesehatan dapat melihat depresi sebagai reaksi normal
terhadap infeksi daripada memperlakukannya sebagai kondisi yang perlu
penilaian, rujukan dan pengobatan. Akhirnya, kesulitan dalam mendiagnosis
depresi karena gejala somatik seperti kelelahan, kehilangan nafsu makan,
konsentrasi yang buruk dapat mempersulit diagnosis pada orang yang terinfeksi
HIV sakit secara fisik. Untuk mengatasi hal ini, gejala psikologis utama depresi
harus dicari untuk konfirmasi diagnosis. Ini termasuk suasana hati sedih,
kehilangan minat atau kesenangan, merasa tidak berharga, bunuh diri, perasaan
gagal atau dosa. Profesional kesehatan harus mendorong ekspresi emosi di klinik
dan membutuhkan pelatihan dalam penilaian sindrom kejiwaan.
Gejala dari depresi terbagi menjadi 2 kategori yakni gejala afektif dan
gejala somatik. Gejala afektif meliputi afek depresif, perasaan bersalah, putus asa
bahkan terdapat ide untuk bunuh diri. Sedangkan gejala somatik meliputi
penurunan berat badan, gangguan tidur, agitasi, mudah lelah, dan penurunan
konsentrasi.(11,13)
Terdapat beberapa obat HIV yang memiliki efek samping yang dapat
menjadi pemicu terjadinya depresi, dan gejala psikologi yang lain yaitu:
13
Tabel 2. Efek Samping Pengobatan HIV(8)
Oleh karena itu, sangat sulit membedakan gejala klinik depresi yang
disebabkan oleh penerimaan pasien terhadap HIV ataupun efek samping
pengobatan, kecuali kita memperoleh informasi mengenai onset perubahan
perilaku dari pasien.(13)
2. Gangguan Anxietas
Anxietas adalah gejala yang umum terjadi pada pasien HIV. Ketika sebuah
gejala anxietas menjadi berat atau menetap, maka pasien tersebut mengalami
gangguan anxietas. Gangguan ini termasuk gangguan penyesuaian, OCD,
gangguan panik, PTSD, dan cemas menyeluruh. Orang yang memiliki riwayat
gangguan anxietas dan depresi berat adalah mereka yang memiliki keterbatasan
dukungan sosial. Seiring berjalannya waktu, anxietas pada pasien HIV dapat
semakin memburuk.(13)
Infeksi HIV dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, bila
otak yang terkena bisa terjadi gangguan neurokognitif yang disebut HIV-
associated neurocognitive disorder (HAND) berupa HIV-associated dementia
14
(HAD) atau AIDS dementia complex, mild neurocognitive disorder (MND), dan
asymptomatic neurocognitive impairment (ANI). Gejala gangguan neurologik
tersebut dapat diprediksi dengan jumlah limfosit T CD4+ pada penderita, jadi
penderita dengan CD4+ masih cukup tinggi atau diatas 200 sel/µL mengalami
gangguan neurokognitif berupa MND atau ANI. HAD terjadi pada penderita yang
sudah dalam fase AIDS.
Sindrom yang terjadi pada HAND berupa gangguan neurokognitif (mudah lupa),
gangguan emosi (menyebabkan agitasi atau apatis), dan disfungsi motorik
(tremor, ataksia, spastisitas). Gejala klinis demensia tersebut berbeda antara satu
individu dengan individu lain, ada yang mengalami perburukan dalam beberapa
minggu atau dalam beberapa bulan. MND terjadi sebelum HAD, yang mana
terkadang sulit diidentifikasi karena penyakit komorbiditas seperti cedera kepala
atau koinfeksi seperti hepatitis C. Diagnosis HAD atau MND menentukan
prognosis dan bergantung pada pemakaian obat anti retroviral.
Gejala klinis dan hasil laboratorium yang menuntun ke arah diagnosis HAD atau
demensia HIV adalah:
15
8. Tidak dijumpai gangguan metabolik, hipoksemia, sepsis dan lain-lain.
1. (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi ada alternatif etiologi lain dan
penyebab dari (1) tidak pasti.
2. (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi etiologi dari (1) tidak dapat
ditentukan berdasarkan evaluasi yang inkomplit.
Kriteria MND :
16
a. Berkurangnya ketajaman mental diri sendiri, tidak efisien dalam bekerja,
pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial.
b. Pengamatan dari orang lain yang menyatakan bahwa individu tersebut telah
mengalami kemunduran ringan dari mental, dengan gabungan dari gejala
tidak efisien dalam bekerja, pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial.
4. Gangguan kognitif tidak termasuk kriteria untuk delirium atau demensia HIV.
5. Tidak didapatkan bukti penyebab lain dari MND (infeksi susunan saraf pusat,
neoplasma, penyakit serebrovaskular, penyakit neurologi yang telah ada,
gangguan psikiatri, atau ketergantungan berat substansi tertentu).
17
Banyak orang menunjukan sifat yang tidak terbatas pada gangguan kepribadian
tunggal. Pada orang yang menderita HIV/AIDS lebih cemderung pada gangguan
kepribadian menghindar dikarenakan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi.
IV. Farmakoterapi
A. Terapi Kausal
Suatu daftar yang terus berkembang berisi agen yang bekerja dengan cara
yang berbeda dengan cara yang berbedadalam replikasi virus untuk pertama
kalinya menumbuhkan harapan bahwa HIV dapat disupresi secara permanen atau
benar-benar dieradikasi oleh tubuh. Rekomendasi terkini menganjurkan bahwa
pengobatan sebaiknya dimulai dengan terapi tripel yaitu kombinasi dua
penghambat transkriptase ditambah satu inhibitor protease. Terapi tripel dapat
digunakan untuk orang yang telah mengalami kontak seksual tak terduga dengan
pasangan yang berpotensi terinfeksi. Agen antiretroviral memiliki banyak efek
samping, yang paling penting bagi psikiater adalah bahwa penghambat protease
dimetabolisme oleh sistem oksidase sitokrom P450 hepatik dan oleh karena itu
18
dapat meningkatkan kadar beberapa obat psikotropik yang dimetabolisme dengan
cara serupa. Obat tersebut mencakup Bupropion (wellbutrin), meperidin
(Demerol), berbagai jenis benzodiazepine dan SSRI. Oleh karena itu harus
berhati-hati meresepkan psikotropik kepada orang yang mengonsumsi
penghambat protease.
B. Terapi Simptomatik
1. Dementia
2. Delirium
3. Depresi
19
Tabel 4. Pengobatan yang digunakan untuk pasien HIV yang mengalami
depresi(13)
4. Anxietas
Pasien dengan infeksi HIV lebih sensitif terhadap efek samping obat.
Pasien ini juga dapat merespon anxiolytics dengan dosis yang lebih rendah.
Benzodiazepine, busiprone, SSRI, dan TCA adalah golongan pengobatan yang
digunakan untuk mengobati gangguan cemas.
20
Tabel 5. Pengobatan Gangguan cemas pada pasien HIV
V. Psikoterapi
22
BAB III
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
24
11. TA Olasinde. Stages of Grief, Loss and Bereavement. Online Journal of
Medicine and Medical Science Research. October 2012. 1(6): pp. 104-107
12. Prabha S. Chandra, Geetha Desai, Sanjeev Ranjan. HIV and Psychiatric
Disorder. Department of Psychiatry, Indian J Med Res. April 2005. pp 451-
467
13. Birkhead G, Maki G. Mental helath Care for People with HIV Infection. 1st
ed. New York: AIDS Institute New York State Department of Health;. 2015
25