Anda di halaman 1dari 25

Referat

Gangguan Mental pada HIV/AIDS

Penyusun:

Maria Kelo (NIM 11.2016.228)

Theresia Indriani Prima Chesar (NIM 11.2015.122)

Nur Sabrina binti Mohd Rokis (NIM 11.2016.396)

Fariska (NIM 11.2016.328)

Elizabeth Angelina (NIM 11.2015.393)

Pembimbing:

dr. Carlamia H. Lusikooy, SpKJ

dr. Imelda Indriyani, Sp.KJ

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

RS Ketergantungan Obat Jakarta

Periode 14 Agustus – 16 September 2017

1
2
BAB I

PENDAHULUAN

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah suatu gangguan


yang disebabkan oleh infeksi virus human immunodeficiency virus (HIV).
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 dari analisis spesimen yang
didapatkan pada orang yang meninggal sebelum tahun tersebut. Pada saat itu
mulai dilaporkan adanya Pneumonia Pneumocystic Carinii dan Sarcoma Kaposi
pada seorang pria muda yang menderita homoseksual dan penurunan kekebalan.

Infeksi HIV merupakan penyakit pandemik global, dengan laporan kasus


dari hampir setiap negara. Menurut Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS), pada akhir tahun 2013 diperkirakan sekitar 35 juta
individu yang hidup dengan infeksi HIV. Sekitar 95% orang yang mengidap
HIV/AIDS berada pada negara low income dan middle income; 50% adalah
wanita dan 3,2 juta penderita adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun. Di Asia
dan Pasifik, diperkirakan 4,8 juta orang yang mengidap HIV pada akhir 2013. Di
wilayah ini dunia, prevalensi HIV tertinggi di negara-negara Asia tenggara. Di
antara negara-negara di Asia, hanya Thailand yang memiliki tingkat prevalensi
dewasa diatas 1%. (1)

HIV/AIDS adalah penyebab kematian dan kecacatan yang signifikan,


khususnya di negara yang berpendapatan rendah dan menengah. Kesehatan
mental dan HIV/AIDS sangat berkaitan erat; gangguan mental, termasuk
gangguan akibat penggunaan zat,dapat meningkatkan resiko HIV/AIDS, dan
begitupula dengan gangguan mental yang terjadi merupakan akibat langsung dari
infeksi HIV.

Tingkat prevalensi gangguan jiwa pada orang dengan HIV di rawat inap
dan rawat jalan telah dilaporkan antara 5% dan 23%, dibandingkan dengan
kisaran 0,3% sampai 0,4% pada populasi umum di Amerika Serikat selama
periode waktu tertentu. Beberapa studi telah melaporkan faktor risiko perilaku
untuk penularan HIV berkisar antara 30% dan 60% dari orang-orang dengan
penyakit mental yang berat.(2)
3
HIV/AIDS memberikan beban psikologis yang signifikan. Orang dengan
HIV sering menderita depresi dan anxietas karena mereka menyesuaikan diri
dengan dampak dari diagnosisnya dan menghadapi kesulitan hidup dengan
penyakit kronis yang mengancam jiwa, misalnya tingkat harapan hidup yang
rendah , rejimen terapi yang rumit, stigmatisasi, dan hilangnya dukungan sosial,
keluarga atau teman-teman. Infeksi HIV dapat dikaitkan dengan risiko tinggi
bunuh diri atau mencoba bunuh diri.

Selain dampak psikologis, infeksi HIV memiliki efek langsung pada


sistem saraf pusat dan menyebabkan komplikasi neuropsikiatri termasuk
ensefalopati HIV, depresi, mania, gangguan kognitif, dan demensia. Bayi dan
anak-anak dengan infeksi HIV lebih mungkin untuk mengalami defisit pada motor
dan perkembangan kognitif. (2)

4
BAB II

PEMBAHASAN

I. Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat


menyebabkan terjadinya AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). HIV
mempengaruhi sistem imun, khususnya CD4 atau sel T. HIV ada di dalam darah,
air mani, cairan leher rahim dan vagina, dan, pada tingkat lebih rendah, dalam air
liur, air mata, air susu ibu, dan cairan serebrospinal dari mereka yang terinfeksi.(3)

HIV paling sering ditularkan melalui hubungan seksual atau transfer darah
yang terkontaminasi dari satu orang ke orang lain. Hubungan seks (anal dan
vaginal) yang tidak memakai kondom adalah kegiatan seksual yang paling
mungkin untuk menularkan virus. Adanya penyakit menular seksual seperti
herpes atau sifilis, atau lesi lain yang merusak integritas kulit atau mukosa, dapat
meningkatkan risiko penularan. Penularan juga terjadi melalui paparan jarum
yang terkontaminasi sehingga angka insiden infeksi HIV di kalangan pengguna
narkoba menjadi semakin tinggi.

Setelah seseorang terinfeksi HIV, virus menargetkan T4 (helper) limfosit,


juga disebut CD4 + limfosit, dimana virus tersebut berikatan karena glikoprotein
(gp120) pada permukaan virus memiliki afinitas tinggi untuk reseptor CD4 pada
limfosit T4. Setelah terikat, virus dapat menyuntikkan RNA nya ke dalam limfosit
yang terinfeksi, di mana RNA ditranskripsi menjadi DNA oleh aksi reverse
transcriptase. DNA yang dihasilkan kemudian dapat dimasukkan ke dalam gen
sel inang. Setelah protein virus telah diproduksi oleh limfosit, berbagai komponen
virus menyatu, dan virus matang baru dihasilkan dari sel inang. Meskipun proses
tersebut dapat menyebabkan lisis dari limfosit, mekanisme patofisiologis HIV
lainnya secara bertahap dapat menonaktifkan seluruh complement limfosit T4.(4)

II. Patofisiologi HIV/AIDS

Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4, yang
memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan
5
dengan koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi
penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41.

Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom
RNA oleh enzim reverse transcriptase (RT) yang dibawa oleh virus. Ini
merupakan proses yang sangar berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya
DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom
sel pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi
sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di translasi
menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease
virus menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein
struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel
virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel
pejamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang
belum terinfeksi dan mengulang proses tersebut. Terdapat tiga grup (hampi semua
infeksi adalah grup M) dan subtipe (grup B domina di Eropa) untuk HIV-1.

Karena peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit


dan makrofag, sel T penolong dapat dianggap sebagai “tombol utama” sistem
imun. Virus secara selektif menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau
melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus
ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan
kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia (gangguan
kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS.

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS
pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa
gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
6
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4
yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi
limfosit CD4 sekitar 109. HIV biasanya mencapai otak segera setelah infeksi awal.

Satu teori mengusulkan kemungkinan masuknya virus dengan melibatkan


monosit yang terinfeksi melintasi sawar darah-otak (Blood Brain Barrier) yang
dikenal dengan mekanisme “Trojan Horse”. Setelah monosit yang terinfeksi
menyeberangi endotelium, mereka menetap sebagai makrofag perivaskular yang
terinfeksi. Telah dikemukakan bahwa makrofag menyebarkan virus dengan cara
kontak antar sel dengan sel mikroglia.

Teori lain yang menjelaskan masuknya virus adalah virus bebas yang
melintasi langsung BBB atau masuk melalui CSF. Keberadaan virus produktif
dalam sel endotel dan pleksus koroid mendukung teori ini. Secara keseluruhan,
makrofag di ruang perivaskular dan multi nucleated giant cell (kumpulan
makrofag dan sel mikroglia) adalah jenis sel otak utama yang mendukung
replikasi virus di otak.

Dua pandangan telah dikemukakan mengenai dinamika HIV memasuki


CNS (Central Nervous System). Salah satu pandangan yang masuk akal adalah
bahwa CNS terkena kontak berulang virus yang diangkut melintasi BBB melalui
monosit. (5)

III. Klasifikasi Gangguan Jiwa Pada Pasien HIV/AIDS

A. Gangguan Mental Organik

1. HIV Associated Dementia (HAD)

Dementia adalah sebuah syndrome yang melibatkan kerusakan dalam


berpikir, perilaku dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Dementia dapat terjadi pada orang yang positif terinfeksi HIV. Hal ini dulunya
dikenal dengan nama AIDS Dementia Complex. Kondisi ini terkait dengan

7
masalah kognitif, motorik, dan perilaku yang parah sehingga dapat menghambat
kualitas hidup.

HAD adalah tingkatan yang paling parah dari HIV Associated


Neurocognitive Disorder (HAND). Pada tingkatan HAND yang lebih rendah, ia
mempengaruhi fungsi kognitif (memori, bahasa, perhatian) tetapi tidak ditegakkan
diagnosis untuk Dementia. Pada HAD fungsi kognitif sangat dipengaruhi. (6)

Telah ada cukup bukti yang mengatakan bahwa HIV mempengaruhi


system saraf pusat secara dini, bahkan dapat didiagnosis dalam waktu dua minggu
setelah infeksi. Ia mengikuti model “Trojan Horse” untuk memasuki jaringan.
Awalnya ia menginfeksi monosit yang bersirkulasi dan melewati blood-brain
barrier, membawa protein virus ke otak.

Tidak ada bukti dari infeksi langsung HIV terhadap sel saraf. Oleh karena
itu, mekanisme yang terlibat dalam neuropatogenensis adalah lesi pada sel
penyokong dan sitokin inflamasi (TNF, radikal bebas, Platelet Activating Factor,
Interleukin-1, dan Interferon-y yang dihasilkan oleh sel-sel tersebut). Selain itu,
protein dari HIV seperti gp-120 bersifat toksik terhadap neuron dan sel glia. (7)

HIV telah diidentifikasi terutama pada ganglia basalis dan hippocampus.


Telah dilaporkan bahwa konsentrasi tertinggi berada pada globus pallidus, nucleus
caudatus dan white matter. Bahkan, kerusakan di nucleus caudatus memiliki peran
yang sangat penting dalam perkembangan gangguan neurokognitif.

8
Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Sistem Saraf Pusat pada
HIV(8)

Gejala bervariasi dari orang ke orang dan dapat berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Berbagai macam fungsi kognitif dapat dipengaruhi, termasuk:

● Penurunan kecepatan pemrosesan Informasi

● Memori jangka pendek dan memori jangka panjang

● Penurunan Kemampuan untuk belajar keterampilan baru dan memecahkan


masalah

● Penurunan Perhatian dan konsentrasi

● Penurunan Logika dan Kemampuan Penalaran

● Penurunan Kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan bahasa

● Penurunan keterampilan Tata Ruang dan koordinasi

● Penurunan kemampuan Perencanaan dan pengorganisasian(6,7)

9
Terdapat juga defisit kecepatan psikomotor; ataxia dan kelemahan dapat
ditemukan. Tanda neurologi yang abnormal termasuk paraparesis, spastic
ekstremitas bawah. Gangguan neuropsikologi ini dapat sering dikaitkan dengan
manifestasi di piramida dan ekstrapiramidal (tremor distal, ataksia, inkoordinasi)
sistem motor.(7,9)

Ketika fungsi kognitif yang sedikit terpengaruh dan hanya terdeteksi pada
tes neuropsikologis (orang lain tidak melihat gejala apapun), ini disebut HIV
associated asymptomatic neurocognitive impairment. Ketika fungsi kognitif yang
sedikit terpengaruh dan ini mengganggu pekerjaan, rumah atau kegiatan sosial, ini
disebut HIV associated mild neurocognitive disorder. Ketika fungsi kognitif yang
sangat terpengaruh dan ini secara signifikan mengganggu aktivitas sehari-hari, ini
disebut HIV associated dementia (HAD).(6,7)

2. Delirium

Delirium adalah nama lain untuk keadaan mental yang umum dengan
beberapa kemungkinan penyebab. Tidak seperti demensia, delirium biasanya
terjadi cukup cepat dan pasien dibawa ke rumah sakit karena perubahan jelas
dalam status mental.

Seseorang yang mengalami delirium memiliki hubungan yang


membingungkan dengan lingkungan. Pasien mungkin tampak bingung,
menunjukkan kebingungan tentang waktu dan lokasi (percaya dia berada di rumah
daripada di rumah sakit), salah mengartikan lingkungan fisik (melihat benda-
benda tertentu sebagai hal-hal yang tidak jelas), dan bahkan mengalami halusinasi
dan ilusi. Gangguan perilaku seperti agitasi dan agresi adalah gejala yang umum.

Delirium umumnya berkembang pesat selama periode waktu yang singkat


(biasanya jam sampai hari) dan berfluktuasi sepanjang hari. Delirium, jika tidak
ditangani, dapat menyebabkan pingsan, koma, dan bahkan kematian. Kematian
dapat setinggi 20%. Hal ini dianggap sebagai kegawatdaruratan medis.
Menemukan penyebab dari delirium dapat menyelamatkan nyawa.

10
Sejumlah faktor membuat orang dengan AIDS sangat rentan terhadap
delirium. Delirium umumnya terjadi pada orang yang mengalami sakit fisik, dan
lebih mungkin dengan penyakit parah. Banyak penyakit otak terkait HIV dan
kebanyakan obat HIV juga dapat menyebabkan delirium. Selain itu, dua subtipe
delirium, intoksikasi zat delirium dan substance-withdrawal delirium mungkin
lebih umum pada orang dengan HIV.

Dalam beberapa kasus, komplikasi dari sistem saraf pusat termasuk


sindrom kejiwaan, delirium, kejang dan gangguan kognitif, mungkin mungkin
merupakan hasil dari obat antiretroviral yang menembus SSP. AZT dan efavirenz,
yang keduanya digunakan untuk mengobati komplikasi SSP karena
kemampuannya menembus blood brain barrier, dapat menyebabkan komplikasi
neuropskiatri yang signifikan.

Delirium pada AIDS dapat disebabkan oleh sejumlah faktor dalam


kombinasi termasuk kelainan metabolik, sepsis, hipoksemia, anemia, infeksi SSP
dan keganasan, hampir semua obat terkait HIV, opioid, dan zat terlarang. Infeksi
HIV awal juga dapat menyebabkan delirium.

Delirium ditandai oleh perubahan kewaspadaan atau kognisi dan


ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau memproses rangsangan eksternal.
Delirium dapat menyebabkan pergeseran yang cepat dan tak terduga dari satu
keadaan emosional kepada keadaan yang lain. Seseorang mengalami masalah
dengan siklus tidur, termasuk kantuk di siang hari, malam hari agitasi, dan
gangguan pada kesinambungan tidur harus dievaluasi untuk delirium. Gangguan
emosi, seperti kecemasan, ketakutan, depresi, mudah tersinggung, marah, euforia,
dan apatis juga harus dievaluasi.

Delirium sering membawa serta perubahan di tingkat energi. Subtipe


Delirium yang mempengaruhi aktivitas psikomotor meliputi "hiperaktif" (atau
gelisah, hyperalert), dan "hipoaktif" (lesu, hypoalert) atau mixed delirium.

Pada hari-hari sebelum timbulnya delirium, pasien mungkin mengalami


kegelisahan, kecemasan, mudah tersinggung, distrakbilitas atau gangguan tidur.

11
Tanda-tanda prodromal biasanya berkembang menjadi delirium full-blown dalam
waktu satu sampai tiga hari.

Tantangan utama dalam mendiagnosis delirium adalah untuk membedakan


delirium dari demensia. Hal ini terutama berlaku ketika merawat orang dengan
penyakit HIV lanjut (AIDS) karena HIV Associated Dementia sangat umum
terjadi. Delirium memiliki onset mendadak, dalam hitungan jam, sedangkan
demensia harus memiliki masalah memori dengan penurunan berfungsi untuk
setidaknya satu bulan. Seorang dokter harus membedakan delirium dari demensia
dan juga menentukan apakah pasien memiliki delirium saja, atau keduanya. Hal
ini juga penting untuk membedakan delirium kondisi kejiwaan lainnya, termasuk
depresi, hypomania, dan bahkan psikosis.(10)

B. Gangguan Fungsional
Saat seseorang diberitahu bahwa dia terinfeksi HIV maka responnya
beragam. Pada umumnya dia akan mengalami lima tahap yang digambarkan oleh
Kubler Ross yaitu penolakan, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.(11)
Respon permulaan ini biasanya akan dilanjutkan dengan respons lain sampai pada
akhirnya dapat menerima. Penerimaan seseorang tentang keadaan dirinya yang
terinfeksi HIV belum tentu juga akan diterima dan didukung oleh lingkungannya.
Beban yang diderita ODHA baik karena gejala penyakit yang bersifat organik
maupun beban psikososial dapat menimbulkan rasa cemas. Depresi berat bahkan
sampai keinginan bunuh diri.

1. Depresi
Depresi adalah sindrom kejiwaan yang paling umum dilaporkan dalam
studi antara orang yang terinfeksi HIV. Depresi besar pada populasi HIV-positif
meningkat sekitar dua kali lipat di atas mereka dalam sampel masyarakat yang
sehat. Tingkat depresi telah berkisar dari 5 sampai 25 persen atau bahkan lebih
tinggi(12). Di antara pasien depresi, 20 persen menyatakan keinginan kematian, 12
persen melaporkan ide untuk bunuh diri sesekali, dan 6 persen melaporkan
keinginan bunuh diri terus-menerus sedangkan 8 persen telah membuat upaya
untuk melakukan bunuh diri. Terutama semua orang yang telah mencoba bunuh

12
diri, memiliki sejarah masa lalu dari penyakit jiwa. Semua upaya bunuh diri yang
dilakukan selama minggu pertama setelah diketahuinya status seropositif.

Ada beberapa hambatan diagnosis depresi pada orang yang terinfeksi HIV.
Pertama, pasien sering tidak membahas suasana hati atau emosi dengan
profesional perawatan kesehatan mereka karena takut akan stigma. Kedua,
profesional perawatan kesehatan dapat melihat depresi sebagai reaksi normal
terhadap infeksi daripada memperlakukannya sebagai kondisi yang perlu
penilaian, rujukan dan pengobatan. Akhirnya, kesulitan dalam mendiagnosis
depresi karena gejala somatik seperti kelelahan, kehilangan nafsu makan,
konsentrasi yang buruk dapat mempersulit diagnosis pada orang yang terinfeksi
HIV sakit secara fisik. Untuk mengatasi hal ini, gejala psikologis utama depresi
harus dicari untuk konfirmasi diagnosis. Ini termasuk suasana hati sedih,
kehilangan minat atau kesenangan, merasa tidak berharga, bunuh diri, perasaan
gagal atau dosa. Profesional kesehatan harus mendorong ekspresi emosi di klinik
dan membutuhkan pelatihan dalam penilaian sindrom kejiwaan.

Gejala dari depresi terbagi menjadi 2 kategori yakni gejala afektif dan
gejala somatik. Gejala afektif meliputi afek depresif, perasaan bersalah, putus asa
bahkan terdapat ide untuk bunuh diri. Sedangkan gejala somatik meliputi
penurunan berat badan, gangguan tidur, agitasi, mudah lelah, dan penurunan
konsentrasi.(11,13)

Terdapat beberapa obat HIV yang memiliki efek samping yang dapat
menjadi pemicu terjadinya depresi, dan gejala psikologi yang lain yaitu:

13
Tabel 2. Efek Samping Pengobatan HIV(8)

Oleh karena itu, sangat sulit membedakan gejala klinik depresi yang
disebabkan oleh penerimaan pasien terhadap HIV ataupun efek samping
pengobatan, kecuali kita memperoleh informasi mengenai onset perubahan
perilaku dari pasien.(13)

2. Gangguan Anxietas

Anxietas adalah gejala yang umum terjadi pada pasien HIV. Ketika sebuah
gejala anxietas menjadi berat atau menetap, maka pasien tersebut mengalami
gangguan anxietas. Gangguan ini termasuk gangguan penyesuaian, OCD,
gangguan panik, PTSD, dan cemas menyeluruh. Orang yang memiliki riwayat
gangguan anxietas dan depresi berat adalah mereka yang memiliki keterbatasan
dukungan sosial. Seiring berjalannya waktu, anxietas pada pasien HIV dapat
semakin memburuk.(13)

Gangguan Neurokognitif pada HIV/AIDS

Infeksi HIV dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, bila
otak yang terkena bisa terjadi gangguan neurokognitif yang disebut HIV-
associated neurocognitive disorder (HAND) berupa HIV-associated dementia

14
(HAD) atau AIDS dementia complex, mild neurocognitive disorder (MND), dan
asymptomatic neurocognitive impairment (ANI). Gejala gangguan neurologik
tersebut dapat diprediksi dengan jumlah limfosit T CD4+ pada penderita, jadi
penderita dengan CD4+ masih cukup tinggi atau diatas 200 sel/µL mengalami
gangguan neurokognitif berupa MND atau ANI. HAD terjadi pada penderita yang
sudah dalam fase AIDS.

Sindrom yang terjadi pada HAND berupa gangguan neurokognitif (mudah lupa),
gangguan emosi (menyebabkan agitasi atau apatis), dan disfungsi motorik
(tremor, ataksia, spastisitas). Gejala klinis demensia tersebut berbeda antara satu
individu dengan individu lain, ada yang mengalami perburukan dalam beberapa
minggu atau dalam beberapa bulan. MND terjadi sebelum HAD, yang mana
terkadang sulit diidentifikasi karena penyakit komorbiditas seperti cedera kepala
atau koinfeksi seperti hepatitis C. Diagnosis HAD atau MND menentukan
prognosis dan bergantung pada pemakaian obat anti retroviral.

Gejala klinis dan hasil laboratorium yang menuntun ke arah diagnosis HAD atau
demensia HIV adalah:

1. Serologi HIV positif

2. Terdapat gangguan yang bersifat progresif : kognitif, perilaku, memori dan


perlambatan mental.

3. Pemeriksaan neurologik : gambaran gejala neurologik yang bersifat difus,


perlambatan rapid eye movement dan motorik ekstremitas hiperrefleksia,
hipertonia dan dijumpainya release sign.

4. Pemeriksaan neuropsikologi : impairment pada dua jenis pemeriksaan yaitu :


fungsi lobus frontal, kecepatan motorik dan memori verbal.

5. Cairan otak : tidak dijumpai neurosifilis dan meningitis kriptokokus.

6. Pemeriksaan radiologi : atrofi serebri dan disingkirkan adanya lesi fokal.

7. Tidak dijumpai penyakit psikiatri mayor dan intoksikasi.

15
8. Tidak dijumpai gangguan metabolik, hipoksemia, sepsis dan lain-lain.

9. Tidak dijumpai penyakit oportunistik otak yang aktif.

Berdasarkan American Academy of Neurology kriteria dari gangguan


kognitif/motor minor terkait HIV/MND adalah : Probable (harus ada semua gejala
di bawah ini) :

1. Abnormalitas kognitif/motorik/perilaku yang didapat, dipastikan oleh


anamnesis yang dipercaya dan pemeriksaan neurologik neuropsikologi.

2. Mild impairment dari aktivitas sehari-hari.

3. Tidak masuk kriteria demensia HIV atau myelopati HIV.

4. Tidak disebabkan etiologi lain.

Possible (harus ada salah satu gejala di bawah ini) :

1. (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi ada alternatif etiologi lain dan
penyebab dari (1) tidak pasti.

2. (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi etiologi dari (1) tidak dapat
ditentukan berdasarkan evaluasi yang inkomplit.

Kriteria MND :

1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain


kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0 standar deviasi di
bawah ini, dari usia, pendidikan, norma yang cocok berdasarkan tes
neuropsikologik yang terstandarisasi. Penilaian neuropsikologi harus termasuk
kemampuan: verbal/bahasa, atensi/kecepatan proses abstrak/eksekutif, memori
(pembelajaran, mengingat), perseptual kompleks-performa motorik, kemampuan
motorik.

2. Gangguan kognitif menyebabkan sedikitnya gangguan ringan keterlibatan


fungsional sehari-hari (paling sedikit satu dibawah ini) :

16
a. Berkurangnya ketajaman mental diri sendiri, tidak efisien dalam bekerja,
pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial.
b. Pengamatan dari orang lain yang menyatakan bahwa individu tersebut telah
mengalami kemunduran ringan dari mental, dengan gabungan dari gejala
tidak efisien dalam bekerja, pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial.

3. Gangguan kognitif didapatnya paling sedikit 1 bulan.

4. Gangguan kognitif tidak termasuk kriteria untuk delirium atau demensia HIV.

5. Tidak didapatkan bukti penyebab lain dari MND (infeksi susunan saraf pusat,
neoplasma, penyakit serebrovaskular, penyakit neurologi yang telah ada,
gangguan psikiatri, atau ketergantungan berat substansi tertentu).

Kriteria diagnosis ANI :

1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain


kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0 standar deviasi di
bawah ini, dari usia, pendidikan, norma yang cocok berdasarkan tes
neuropsikologi yang terstandarisasi.

2. Gangguan kognitif tidak menyebabkan gangguan fungsional seharihari.

3. Gangguan kognitif tidak memenuhi kriteria delirium atau demensia.

4. Tidak ada bukti yang menjadi penyebab lain dari ANI.(5)

Gangguan Kepribadian pada HIV/AIDS

Gangguan kepribadian dikelompokkan ke dalam 3 kelompok dalam DSM IV

1. Kelompok A terdiri dari gangguan kepribadian paranoid, skizoid, dan


skizotipal.
2. Kelompok B terdiri dari gangguan kepribadian antisosial, ambang,
histrionik, dan narsistik.
3. Kelompok C terdiri dari gangguan kepribadian menghindar, dependen, dan
obsesif kompulsif.

17
Banyak orang menunjukan sifat yang tidak terbatas pada gangguan kepribadian
tunggal. Pada orang yang menderita HIV/AIDS lebih cemderung pada gangguan
kepribadian menghindar dikarenakan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi.

Gangguan kepribadian menghindar menunjukka kepekaan yang ekstrem terhadap


penolakkan yang dapat menyebabkan penarikan kehidupan dari sosial. Yang kita
ketahui bersama, orang yang didiagnosis HIV/AIDS membutuhkan pendampingan
agar tidak membebani kehidupan sosialnya. Mereka tidak asosial dan
menunjukkan keinginan yang kuat untuk berteman tetapi mereka malu, mereka
memerlukan jaminan yang kuat tanpa kritik yang tidak lazim. Orang tersebut
seringkali disebut sebagai memiliki kompleks inferioritas. Dalam ICD-10
diklasifikasikan menderita gangguan kepribadian cemas.

Gambaran klinis dari gangguan kepribadian menghindar adalah hipersensitivitas


terhadap penolakkan oleh orang lain. Saat berbicara dengan seseorang mereka
mengekspresikan ketidakpastian tidak memiliki kepercayaan diri dan mungkin
berbicara dalam cara yang merendahkan diri sendiri. Banyak pasien gangguan
kepribadian menghindar mampu untuk berfungsi, asalkan mereka dalam
lingkungan yang terlindungi. Tetapi jika sistem pendukung gagal, mereka menjadi
subjek depresi, kecemasan dan kemarahan.(4)

IV. Farmakoterapi

A. Terapi Kausal

Suatu daftar yang terus berkembang berisi agen yang bekerja dengan cara
yang berbeda dengan cara yang berbedadalam replikasi virus untuk pertama
kalinya menumbuhkan harapan bahwa HIV dapat disupresi secara permanen atau
benar-benar dieradikasi oleh tubuh. Rekomendasi terkini menganjurkan bahwa
pengobatan sebaiknya dimulai dengan terapi tripel yaitu kombinasi dua
penghambat transkriptase ditambah satu inhibitor protease. Terapi tripel dapat
digunakan untuk orang yang telah mengalami kontak seksual tak terduga dengan
pasangan yang berpotensi terinfeksi. Agen antiretroviral memiliki banyak efek
samping, yang paling penting bagi psikiater adalah bahwa penghambat protease
dimetabolisme oleh sistem oksidase sitokrom P450 hepatik dan oleh karena itu
18
dapat meningkatkan kadar beberapa obat psikotropik yang dimetabolisme dengan
cara serupa. Obat tersebut mencakup Bupropion (wellbutrin), meperidin
(Demerol), berbagai jenis benzodiazepine dan SSRI. Oleh karena itu harus
berhati-hati meresepkan psikotropik kepada orang yang mengonsumsi
penghambat protease.

B. Terapi Simptomatik

1. Dementia

Pasien HIV dengan gejala Demensia dapat diterapi dengan obat-obatan


psikotropik yang digunakan untuk meringankan gejala-gejala khusus seperti
kelemahan psikomotor, dan agitasi.

Tabel 3. Pengobatan yang digunakan untuk meringankan gejala yang


menyertai Dementia(12)

2. Delirium

Pada pasien delirium, gejala seperti kebingungan atau agitasi dapat


diberikan neuroleptic dengan dosis rendah (haloperidol, dan risperidon).

3. Depresi

Pasien dapat merasakan gejala depresi yang bervariasi, beberapa gejala


dapat diringankan melalui pengobatan anti depresan. Misalnya pada pasien yang
sulit tidur, dapat diberikan anti depresan yang memiliki efek sedative.

19
Tabel 4. Pengobatan yang digunakan untuk pasien HIV yang mengalami
depresi(13)

4. Anxietas

Pasien dengan infeksi HIV lebih sensitif terhadap efek samping obat.
Pasien ini juga dapat merespon anxiolytics dengan dosis yang lebih rendah.
Benzodiazepine, busiprone, SSRI, dan TCA adalah golongan pengobatan yang
digunakan untuk mengobati gangguan cemas.

20
Tabel 5. Pengobatan Gangguan cemas pada pasien HIV

V. Psikoterapi

Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional


seorang pasien yang dilakukan oleh seorang terlatih dalam hubungan professional
secara dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah, atau menghambat
gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan
pertumbuhan kepribadian secara positif.

Tema psikodinamik pasien terinfeksi HIV mencakup menyalahkan diri


sendiri, harga diri, dan masalah tentang kematian. Psikiater dapat membantu
pasien mengatasi perasaan bersalah seputar perilaku yang menyebabkan dirinya
terkena infeksi atau AIDS. Seluruh pendekatan psikoterapetik mungkin sesuai
untuk pasien dengan gangguan terkait HIV. Baik terapi individu maupun
kelompok menjadi lebih efektif. Terapi individu dapat bersifat jangka pendek dan
jangka panjang dan dapat berupa suportif, kognitif, perilaku dan psikodinamika.

Psikoterapi supportif pada pasien HIV bertujuan untuk menguatkan daya


mental yang ada, mengembangkan mekanisme yang baru dan yang lebih baik
untuk mempertahankan kontrol diri, mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat
menyesuaikan diri). Seperti berupa bujukan, sugesti, bimbingan, penyuluhan,
hipnoterapi. Psikoterapi kelompok berguna untuk membebaskan individu dari
stress, membantu para anggota kelompok agar dapat mengerti lebih jelas sebab
21
kesukaran mereka; membantu terbentuknya mekanisme pembelaan yang lebih
baik, yang dapat diterima dan yang lebih memuaskan. Agar proses kelompok
berjalan lancar maka, individu harus diterima sebaik-baiknya sebagaimana adanya
dan pembatasan yang tidak perlu dihindarkan dan diskriminasi.(13)

22
BAB III

KESIMPULAN

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang


didiagnosis AIDS meninggal 3 tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5%
kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.

Kenali bahwa penegakan diagnosis AIDS sangat menimbulkan distress


pada pasien karena dampak sosial yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut dan
prognosis tidak menggembirakan. Pasien dapat kehilangan pekerjaan dan rasa
aman finansial selain itu kehilangan dukungan keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Lakukan tindakan yang terbaik untuk membantu pasien mengatasi perubahan citra
tubuh yang menjadi beban emosional akibat sakit yang serius dan acaman
kematian.

Manifestasi psikiatrik yang sering dijumpai berhubungan dengan infeksi


berupa gangguan fungsional seperti depresi, cemas, gangguan, hingga keinginan
untuk bunuh diri. Dapat juga dijumpai gangguan mental organik seperti demensia
dan delirium. Meskipun begitu, juga dapat dikhawatirkan perubahan suasana
afektif dari pasien ini juga dipengaruhi oleh obat-obatan HIV/AIDS. Sehingga
seorang psikiater harus lebih mampu melihat gangguan ini apakah berasal dari
penolakan pasien terhadap penyakitnya maupun efek samping pengobatannya.

Perlunya pertimbangan psikoterapi pada proses pengobatan pasien


HIV/AIDS sehingga tidak hanya berorientasi pada penyembuhan gejala tetapi
juga dengan melihat aspek psikiatri dari pasien.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Anthony S. Fauci, H Clifford Lane.Human Immunodeficiency Virus Disease:


AIDS and Related Disorders. In: DL Kasper, SL Hauser, JL Jameson, AS
Fauci, DL Longo, J Loscalzo, ed. by.Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 19th ed. New York: Mc Graw Hill Education. 2015. p1215-1227

2. World Health Organization. HIV/AIDS and Mental Health [Internet]. 2008.


Available from: http://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/EB124/B124_6-
en.pdf

3. Cdc.gov. About HIV/AIDS | HIV Basics | HIV/AIDS | CDC [Internet]. 2015


[cited 31 October 2015]. Available from:
http://www.cdc.gov/hiv/basics/whatishiv.html

4. Sadock B. Neuropsychiatric Aspect of HIV Infection and AIDS. In: Sadock B,


Sadock V, ed. by. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry. 10th ed. New
York: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p.278, 372-379.

5. Ances B, Clifford D. HIV Associated Neurocognitive Disorders and The


Impact of Combination of Antiretroviral Therapy. NCBI. November 2008.
Nov; 8(6): p455–461.

6. HIV Associated Dementia. Alzheimer’s Australia 2012 [Internet]. [cited


October 2015]. Available from: https://fightdementia.org.au/

7. Juebin Huang. HIV Associated Dementia. MSD Manual Professional Edition.

8. Horwath E, Nash S. Psychiatric Manifestations of HIV Infection and AIDS.


Psychiatric Times. 2005

9. Kerry Flynn Roy, John-Manuel Andriote. HIV Mental Health Treatment


Issues: HIV and Delirium. American Psychiatric Association. 2012.

10. Watkins C, Treisman G. Cognitive Impairment in patients with AIDS. NCBI.


2015;(7):35-47.

24
11. TA Olasinde. Stages of Grief, Loss and Bereavement. Online Journal of
Medicine and Medical Science Research. October 2012. 1(6): pp. 104-107

12. Prabha S. Chandra, Geetha Desai, Sanjeev Ranjan. HIV and Psychiatric
Disorder. Department of Psychiatry, Indian J Med Res. April 2005. pp 451-
467

13. Birkhead G, Maki G. Mental helath Care for People with HIV Infection. 1st
ed. New York: AIDS Institute New York State Department of Health;. 2015

25

Anda mungkin juga menyukai