Anda di halaman 1dari 17

GANGGUAN SOMATISASI DAN FAKTISIUS

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

NAMA : ISTAULA IZALATUL RAHMA (3022019029)

INTAN (3022019028)

LAILA KHAIRANI (3022019008)

CUT ZUHRAINI (3022019021)

SEMESTER / UNIT :V/3

PRODI : BKI

DOSEN PEBIMBING : SHIVA FITRIA, B.A., S.P.si., M.Sc.

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

IAIN LANGSA

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt, yang telah mempunyai segala kemuliaan dengan
keagungan, yang telah memberikan taufiq dan hidayah- Nya kepada kami yang penuh
dengan rahasia keesaan-Mu ya rabbi. Salawat kepada nabi Muhammad saw, yang
telah membawa kami kepada petunjuk segala ridha-Mu.

Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang Gangguan Somatisasi dan


Faktisius. Dengan metode penjelasan kami sendiri, oleh karena itu makalah ini masih
sangat jauh untuk dikatakan dengan sempurna. Dalam kesempatan ini kami
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah memberikan support – nya
kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Demikianlah harapan kami semoga ada manfaatnya, terutama kepada kami


sendiri dan juga kepada para pembaca.

Langsa, Desember 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................ i

Daftar Isi .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 3

A.Gangguan Somatisasi.......................................................................... 2

B.Gangguan Faktisius ............................................................................ 7

BAB III PENUTUP ................................................................................. 12

A.Kesimpulan ..................................................................................... 12

Daftar Pustaka .......................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Masalah kesehatan jiwa di Indonesia saat ini masih menjadi pekerjaan rumah
bagi kita semua terutama bagi kita yang berkecimpung di bidang kejiwaan seperti
psikiater, psikolog dan juga tenaga kesehatan lainnya. Data Riset Kesehatan Dasar
2013 mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil.
Artinya, 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat.
Hal ini diperburuk dengan minimnya pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa di
berbagai daerah Indonesia sehingga banyak penderita gangguan kesehatan mental
yang belum tertangani dengan baik. Dikatakan oleh dr Eka Viora SpKJ Direktur Bina
Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI “Kesenjangan pengobatan gangguan jiwa
di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Artinya, kurang dari 10 persen penderita
gangguan jiwa yang mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan.
Kebanyakan justru berobat ke tenaga non-medis seperti dukun maupun kyai,”
(Kurniawan, 2015).

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh


keluhan fisik atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan secara organis atau tidak
ditemukan kerusakan organ (Nevid,dkk, 2005, h. 215). Gangguan somatoform yang
dimaksudkan disini tidak termasuk gangguan factitious. Gangguan somatoform
terbagi menjadi empat tipe yaitu gangguan dismorfik, gangguan hipokondrik,
gangguan somatisasi dan gangguan konversi, di mana dalam penelitian ini akan lebih
dibahas mengenai gangguan konversi.

Gangguan konversi pada mulanya dikenal sebagai gangguan hysteria. Sejarah


gangguan konversi tercatat pada tahun 1500-an SM dalam buku karangan
Hippokrates yang berjudul De Virginibus dikatakan bahwa gangguan somatoform
terbatas pada wanita. Hippokrates dan orang-orang Yunani pada umumnya
beranggapan bahwa gangguan-gangguan tersebut diakibatkan karena rahim yang

1
tidak terpuaskan secara seksual dan menganjurkan perkawinan sebagai perawatan
untuk mengatasi gangguan tersebut (Semiun, 2006, h.374) kemudian pada tahun
1600-an dimana gangguan hysteria dihubungkan dengan penyakit rahim dan
penjelasan metafisika seperti sihir dan kerasukan setan (Allin, dkk, 2005, h.206)
individu yang menderita gangguan sering dianggap melakukan dosa dan 4 gangguan
yang dialami adalah efek langsung dari dosa yang mereka lakukan sehingga
pengusiran roh jahat menjadi usaha untuk mengeluarkan roh jahat dari tubuh mereka
(Semiun, 2006, h.375).

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gangguan Somatisasi
1. Pengertian Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi adalah suatu kelompok kelainan psikiatrik yang
bentuknya dapat berupa berbagai gejala fisik yang dirasakan oleh pasien, tapi tidak
ditemukan penyebabnya secara medis. Gangguan somatisasi merupakan salah satu
bentuk gangguan somatoform, yang sumber gangguannya adalah kecemasan yang
dimanifestasikan dalam keluhan fisik, sehingga orang lain tidak akan mengerti jika
individu tidak mengeluh (Davison dan Neale, 1986, 2001). Somatisasi juga
merupakan suatu bentuk gangguan yang ditunjukkan dengan satu atau beberapa
macam keluhan fisik akan tetapi secara medis tidak mempunyai dasar yang jelas.
Gangguan somatisasi ini juga disebut sebagai briquet‟s syndrome, setelah Paul
Briquet mengidentifikasi pasien-pasiennya yang mengeluh gejala medis pada
tubuhnya namun tidak ada bukti medis (Mayou, 1993; Bell, 1994). Kaplan dan
Sadock (1991) menjelaskan lebih lanjut bahwa gangguan somatisasi adalah suatu
gangguan fisik kronis yang tidak dapat diterangkan secara medis dan berhubungan
dengan masalah ketegangan psikologis. Individu yang mengalami gangguan
somatisasi tidak hanya mengeluh adanya gangguan fisik akan tetapi individu
tersebut ingin mendapatkan bantuan dan penanganan secara medis (Barsky, 1995).
Somatisasi juga merupakan bentuk respon psikologis yang berujud pemanfaatan
tubuh atau soma untuk tujuan-tujuan psikologis dan pencapaian tujuan pribadi
(Ford, 1983; 1986).
Gangguan somatoform dapat menyebabkan seseorang mengeluhkan satu atau
lebih gejala penyakit, termasuk rasa nyeri, sakit perut, masalah neurologis,
gangguan pernapasan, masalah seksual, dan lainnya. Gejala gangguan somatoform
bisa saja tidak diketahui penyebab fisiknya atau kondisi medis lainnya secara
umum. Orang dengan gangguan somatisasi tidak memalsukan gejala mereka. Rasa
sakit yang mereka alami adalah nyata, terlepas dari apakah ditemukan penyebab
fisiknya atau tidak. Gejala sakit yang muncul akibat gangguan ini dapat

3
menyebabkan stres emosional berat hingga memengaruhi aktivitasnya sehari-hari.
Jadi, somatoform adalah individu yang mengeluhkan gangguan fisik, seperti sakit
kepala, nyeri, mual, dan gementar berangsur berulang-ulang, dimana secara medis
mengatakan negatif, subjek yang tergolong somatoform ini sering berkunjung ke
rumah sakit untuk memastikan gejalanya.
2. Aetiologi atau Penyebab Gangguan Somatisasi
Etiologi somatic symptom disorder masih belum jelas, namun beberapa studi
telah menginvestigasi beberapa faktor risiko. Misalnya, pengabaian pada masa
kanak-kanak, penyalahgunaan seksual, gaya hidup berantakan, dan riwayat
penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan. Lebih dari itu, somatic symptom
disorder berhubungan dengan gangguan kepribadian aksis II, terutama dengan
adanya karakteristik suka menghindar (avoidant), paranoid (ketakutan), tidak bisa
mencapai tujuan hidup (self-defeating), dan adanya gangguan obsesif-kompulsif.
Timbulnya gangguan somatisasi ini dapat terjadi karena adanya konflik
intrapsikis, masalah hubungan interpersonal atau masalah lingkungan dan sosial,
serta bentuk kecenderungan pada individu untuk mengekspresikan atau
mengkomunikasikan pengalaman psikologis yang tidak mengenakkan ke dalam
gejala-gejala fisik dan untuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya sakit dengan
jalan individu mencari bantuan medis untuk dirinya (Ford, 1986). Hal ini senada
dengan pendapat Edelman (Kendal dan Hammen, 1998) yang menyatakan bahwa
individu yang mengalami gangguan somatisasi cenderung mengalami konflik
psikologis dan distress yang dimanifestasikan dalam bentuk gejala fisik atau
keluhan fisik akan tetapi tidak ada bukti medis.
Beberapa hal yang menjadi penyebab gangguan somatisasi dalam diri
seseorang, antara lain:

a. Faktor genetik dan biologis, seperti meningkatnya sensitivitas terhadap rasa

sakit

b. Pengaruh keluarga, genetik atau lingkungan, atau keduanya

4
c. Sifat negatif, yang dapat memengaruhi cara Anda melihat penyakit dan gejala

tubuh

d. Menurunkan kesadaran emosi pengolah masalah, menyebabkan gejala fisik

menjadi fokus utama dibandingkan dengan isu emosional

e. Perilaku yang dipelajari. Sebagai contoh, “menikmati” perhatian atau manfaat

lain yang didapat karena memiliki penyakit tertentu; atau “perilaku sakit”
sebagai respons terhadap gejala, atau menghindari aktivitas secara berlebih,
yang dapat meningkatkan tingkat ketidakmampuan

3. Gejala ( DSM – V )
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima
(DSM-V), somatic symptom disorder adalah manifestasi satu atau lebih gejala
fisik yang diiringi dengan pikiran, emosi, dan/atau perilaku yang berlebihan terkait
gejala tersebut. Akibatnya, timbul stres dan/atau disfungsi yang signifikan. Gejala-
gejala ini dapat atau tidak dapat dijelaskan oleh kondisi medis.

Somatic symptom disorder dapat ditunjukkan dengan adanya:

a. Riwayat penyakit sekarang yang tidak jelas dan inkonsisten


b. Gejala yang tidak pulih dengan intervensi medis
c. Adanya sensasi seperti penyakit medis
d. Penghindaran diri dari aktivitas fisik
e. Sensitif terhadap efek samping medikasi
4. Diagnosa Banding
a. Gangguan panik : munculnya rasa takut atau gelisah berlebihan secara tiba-
tiba. Kondisi yang juga disebut dengan serangan kegelisahan ini ditandai
dengan detak jantung yang bertambah cepat, napas menjadi pendek, pusing,
otot menjadi tegang, atau gemetar.
b. Gangguan cemas : Gangguan kecemasan merupakan salah
satu gangguan mental yang serius. Kondisi ini dapat disebabkan oleh adanya
masalah pada fungsi otak yang mengatur rasa takut dan emosi

5
c. Gangguan mood : Mood disorder atau gangguan suasana hati adalah
gangguan kesehatan mental yang memengaruhi keadaan emosi seseorang.
Gangguan ini menyebabkan seseorang mengalami kebahagiaan yang
ekstrem, kesedihan yang ekstrem, atau keduanya secara bergantian, dalam
waktu yang lama.
d. Gangguan kecemasan : terlalu sering merasa cemas secara berlebihan dan
tanpa ada alasan yang kuat, Anda mungkin memiliki gangguan kecemasan
atau dikenal juga sebagai anxiety disorders.
e. Gangguan konversi : kondisi ketika penderitanya memiliki gejala yang
menunjukkan adanya penyakit serius pada sistem saraf, namun tidak dapat
ditelusuri penyebab medisnya. Berbagai gejala gangguan konversi di
antaranya kejang, mati rasa, pendengaran terganggu, buta, atau lumpuh.
f. Gangguan delusional : Delusi adalah gangguan mental yang menyebabkan
seseorang meyakini sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi
Kriteria diagnostik somatic symptom disorder menurut DSM-V adalah sebagai
berikut :

1. Terdapat satu atau lebih gejala somatic yang menyebabkan distress atau
menimbulkan gangguan signifikan terhadap kehidupan sehari-hari
2. Pemikiran, perasaan, atau perilaku berlebihan yang berhubungan dengan gejala
somatik atau kekhawatiran tentang kesehatan lainnya, yang terwujud dengan
salah satu kondisi di bawah ini:

a. Pemikiran yang persisten dan tidak sepadan tentang keseriusan gejala


seseorang
b. Kecemasan tinggi yang persisten terhadap kesehatan atau gejala
c. Waktu dan energi yang diberikan secara eksesif untuk gejala atau
kekhawatiran tentang kesehatan ini
5. Penanganan
Tujuan utama penanganan somatic symptom disorder adalah membantu pasien
menghadapi gejala fisik, seperti kecemasan kesehatan dan perilaku maladaptif,

6
bukan untuk mengeliminasi gejalanya. Ada dua cara penanganannya yaitu dengan
tanpa obat (non-farmakologis) dan dengan obat (farmakologis).
1) Non-farmakologis

a. Pasien harus diberi tahu bahwa gejala fisik yang dialami dapat meningkat

dengan adanya kecemasan atau masalah emosional eksesif.


b. Penyedia layanan kesehatan primer harus mengunjungi pasien secara rutin

untuk menegaskan bahwa gejala bukan merupakan pertanda kondisi medis


yang mengancam nyawa.
c. Penanganan psikiatrik awal direkomendasikan, seperti cognitive-behavioural

therapy.

2) Farmakologis

Pendekatan farmakologis harus dibatasi dan diberikan dalam dosis rendah.


Obat yang dapat diberikan adalah:

a. Antidepresan untuk mengatasi komorbiditas psikiatrik (seperti


kecemasan, depresi, dan gangguan obsesif-kompulsif).
b. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dan serotonin-
norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs)

B. Gangguan Faktisius
1. Defenisi Gangguan Faktisius
Gangguan Buatan (Factitious Disorder) adalah kondisi mental di mana
seseorang bertindak sebagai jika dia memiliki baik penyakit fisik (nyeri) maupun
mental (halusinasi) dengan sengaja dan sadar memproduksi, merekayasa, berpura-
pura, atau melebih-lebihkan gejala untuk mengasumsi peran sakit (sick role).
(Istilah Factitious dari nama Latin yang berarti artifisial). Kondisi mental ini
dijelaskan sebagai fungsi kognitif yang abnormal dan pola emosional yang

7
terganggu yang terkait dengan bagaimana cara seseorang berpikir, merasa dan
bertindak terhadap orang lain dan lingkungannya.
Pada dasarnya, individu dengan Gangguan Buatan akan menciptakan atau
melebih-lebihkan gejala dalam berbagai cara. Mereka berbohong atau memalsukan
gejala, melebih-lebihkan, atau bahkan menimbulkan cedera diri dengan sengaja.
Alasan utama mengapa individu mengembangkan gangguan ini adalah untuk
mengasumsikan status "pasien." atau terlihat sakit dan cedera untuk mendapatkan
simpati, kasih sayang dan perhatian dan bukannya untuk mendapatkan kelebihan
financial atau kelonggaran seperti pada Malingering. Mereka melakukannya
dengan mengkontaminasi sampel urin dengan darah, feces atau protein,
mengambil halusinogen, menyuntikkan diri dengan bakteri untuk memproduksi
infeksi, menyuntik diri dengan insulin untuk memproduksi gejala atau hasil tes
yang abnormal, mencederai diri sendiri dengan pisau atau mengambil obat-obatan
yang diketahui akan menimbulkan reaksi alergi.
Salah satu subtype dari Gangguan Buatan adalah Münchausen syndrome yang
merupakan suatu gangguan psikiatri di mana individu merekayasa atau
memalsukan gejala fisik, penyakit ataupun trauma untuk mendapatkan simpati dan
perhatian. Individu biasanya menjalani penyelidikan dan operasi membahayakan
dengan biaya yang tinggi beberapa kali dan sering berpindah dari satu rumah sakit
ke rumah sakit lainnya untuk menghindari dari terdeteksi. Terkadang individu ini
sering diistilahkan sebagai hospital addiction syndrome atau hospital hopper
syndrome. Satu lagi variant yaitu Factitious Disorder by proxy adalah suatu
kondisi di mana seseorang dengan sengaja memproduksi, berpura-pura, atau
melebih-lebihkan gejala pada orang lain untuk mengasumsi peran sakit dan paling
sering dilakukan oleh orang tua dan pengasuh anak-anak.
2. Etiologi Gangguan Faktisius

Penyebab Gangguan faktisius atau biasa disebut dengan gangguan buatan tidak
didefinisikan dengan baik tetapi para penyelidik yakin bahwa terdapat faktor
biologis dan psikologis yang berperan dalam perkembangan gangguan ini.

8
Daripada hasil Magnetic resonance imaging (MRI), terdeteksi terdapat kelainan
struktur anatomi dari otak pasien dengan Gangguan Buatan yang kronis. Ini
mengsugesti bahwa terdapat faktor biologis maupun faktor genetik yang berperan
dalam perkembangannya. Satu penjelasan psikodinamik menegaskan bahwa
pasien dengan Gangguan Buatan/faktisius seringkali memiliki latar belakang masa
anak-anak yang ditinggalkan dan diabaikan oleh keluarga dan orang tua (abuse,
neglect and abandonment), dan sekarang berusaha untuk menghidupkan kembali
isu-isu awal yang belum terselesaikan (unresolved issues) dengan orang tua
dengan cara menagih perhatian melalui Gangguan Buatan. Penjelasan berikut ini
juga berkemungkinan:

a. Terdapat kecenderungan masokis yang mendasari


b. Perlecehan semasa kecil baik fisik amaupun seksual
c. Kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian dan merasa penting
d. Kebutuhan mengasumsikan status dependen atau peran sakit dan menerima
perawatan dari orang lain
e. Untuk mengurangi rasa tidak berharga atau kerentanan
f. Untuk merasa lebih unggul dari figur otoritas (misalnya, dokter) dengan cara
menipu dan mempermainkan dokter
Penyebab lainnya, sebuah riwayat penyakit sebelumnya juga sering
dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan gangguan ini. Mungkin
orang menderita dengan Gangguan Buatan terbiasa dengan kondisi dan peran sakit
sebelumnya yang dianggap normal, memberi kenyamanan dan kepuasan hidup
sehingga dengan demikian mencoba kembali ke keadaan sebelumnya.Selain
itu,terdapat riwayat kontak dekat dengan seseorang (seorang teman atau anggota
keluarga) yang memiliki kondisi parah atau kronis. Para pasien menemukan diri
mereka iri terhadap perhatian yang didapatkan dan merasa bahwa mereka menjadi
tidak penting pada situasi itu.
3. Gejala DSM – IV

9
Kriteria diagnostik untuk gangguan buatan dalam Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV) adalah sebagai berikut :
a. Menimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat tanda atau gejala fisik atau
psikologis
b. Motivasi untuk perilaku adalah untuk mendapatkan peranan sakit (sick role)
c. Tidak terdapat keuntungan eksternal untuk perilaku (seperti tujuan ekonomi,
menghindari tanggung jawab hokum, atau memperbaiki kesejahteraanfisik
seperti pada malingering)
4. Diagnosis Banding
a. Malingering
Malingering adalah kondisi mental di mana pasien bertindak merekayasa
atau melebih-lebihkan gejala fisik atau metal untuk mengasumsi peran sakit
untuk „secondary gain motives‟ atau isentif eksternal. Misalnya,kompensasi
financial, kelonggaran dari pekerjaan, bebas dari narapidana, mendapatkan
obat-obatan,dll.
b. Gangguan Somatisasi
Gangguan Buatan mirip dengan kelompok lain gangguan mental yang
disebut Gangguan somatoform, yang juga melibatkan kehadiran gejala yang
bukan karena penyakit fisik atau mental yang sebenarnya. Perbedaan utama
antara kedua kelompok gangguan adalah bahwa orang dengan gangguan
somatoform tidak dengan sengaja memalsukan atau membuat-buat gejala
palsu untuk tujuan tertentu dan tidak mau untuk menjalani pemeriksaan atau
operasi yang beresiko.
c. Gangguan Keperibadian
Pasien ini seringkali diklasifikasikan memiliki gangguan kepribadian
antisocial; tetapi orang antisosial biasanya tidak secara sukarela menerima
prosedur invasive atau menjalani kehidupan yang ditandai oleh perawatan di
rumah sakit yang berulang dengan jangka panjang. Karena mencari
perhatian dan kadang-kadang bakat untuk hal yang dramatik, pasien dengan
gangguan buatan dapat diklasifikasikan sebagai gangguan kepribadian

10
histrionik. Tetapi tidak semua pasien dengan gangguan buatan memiliki
bakat dramatik, banyak dari mereka adalah menarik diri dan lemah lembut.
5. Penanganan
Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengubah perilaku
pasien dan mengurangi penyalahgunaan dari sumber daya medik. Dalam kasus
Factitious Disorder by Proxy tujuannya adalah untuk menjamin keselamatan dan
perlindungan terhadap anak-anak. Setelah tujuan utama terwujud, pengobatan
diarahkan untuk menyelesaikan isu psikologis yang mendasari dan mungkin
menjadi penyebab kepada gangguan perilaku pasien. Tidak ada obat psikiatrik
yang benar-benar diresepkan untuk gangguan buatan. Namun, Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor (SSRI) dapat membantu mengatasi masalah mendasar seperti
depresi maupun anxietas. Obat-obatan seperti SSRI yang digunakan untuk
mengobati gangguan suasana hati dapat digunakan untuk mengobati Gangguan
Buatan, kerana gangguan mood ini bisa menjadi penyebab yang mendasari.
Beberapa penulis (seperti Prior dan Gordon 1997) juga melaporkan respon yang
baik untuk obat antipsikotik seperti pimozide.

Terapi Keluarga juga bisa menjadi bantuan. Dalam terapi seperti itu, keluarga
dibantu untuk lebih memahami pasien (individu dalam keluarganya dengan
Gangguan Buatan) dan kebutuhan mereka akan perhatian. Dalam pengaturan
terapeutik, keluarga didesak untuk tidak membiarkan atau membenarkan perilaku
individu Gangguan Buatan.Perawatan tidak akan berhasil jika keluarga tidak
mampu bekerja sama atau menampilkan tanda-tanda penolakan dan / atau
gangguan antisosial.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gangguan somatisasi adalah suatu kelompok kelainan psikiatrik yang
bentuknya dapat berupa berbagai gejala fisik yang dirasakan oleh pasien, tapi tidak
ditemukan penyebabnya secara medis. Etiologi somatic symptom disorder masih
belum jelas, namun beberapa studi telah menginvestigasi beberapa faktor risiko.
Misalnya, pengabaian pada masa kanak-kanak, penyalahgunaan seksual, gaya hidup
berantakan, dan riwayat penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan. Menurut DSM-
V, somatic symptom disorder adalah manifestasi satu atau lebih gejala fisik yang
diiringi dengan pikiran, emosi, dan/atau perilaku yang berlebihan terkait gejala
tersebut. Somatic symptom disorder dapat ditunjukkan dengan adanya: riwayat
penyakit sekarang yang tidak jelas dan inkonsisten, gejala yang tidak pulih dengan
intervensi medis, adanya sensasi seperti penyakit medis, penghindaran diri dari
aktivitas fisik, dan sensitif terhadap efek samping medikasi. Diagnosa bandingnya
yaitu : gangguan panic, gangguan cemas, gangguan mood, gangguan kecemasan,
gangguan konversi dan gangguan delusional. Ada dua cara penanganannya yaitu
dengan tanpa obat (non-farmakologis) dan dengan obat (farmakologis).
Gangguan Buatan (Factitious Disorder) adalah kondisi mental di mana
seseorang bertindak sebagai jika dia memiliki baik penyakit fisik (nyeri) maupun
mental (halusinasi) dengan sengaja dan sadar memproduksi, merekayasa, berpura-
pura, atau melebih-lebihkan gejala untuk mengasumsi peran sakit (sick role).
Penyebab Gangguan faktisius atau biasa disebut dengan gangguan buatan tidak
didefinisikan dengan baik tetapi para penyelidik yakin bahwa terdapat faktor biologis
dan psikologis yang berperan dalam perkembangan gangguan ini. Kriteria diagnostik
untuk gangguan buatan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders edisi keempat (DSM-IV) adalah menimbulkan secara sengaja atau dibuat-
buat tanda atau gejala fisik atau psikologis, motivasi untuk perilaku adalah untuk
mendapatkan peranan sakit (sick role) dan tidak terdapat keuntungan eksternal untuk

12
perilaku. Diagnosis bandingnya yaitu malingering, gangguan somatisasi dan
gangguan keperibadian. Tidak ada obat psikiatrik yang benar-benar diresepkan untuk
gangguan buatan. Namun, Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) dapat
membantu mengatasi masalah mendasar seperti depresi maupun anxietas. Obat-
obatan seperti SSRI yang digunakan untuk mengobati gangguan suasana hati dapat
digunakan untuk mengobati Gangguan Buatan, kerana gangguan mood ini bisa
menjadi penyebab yang mendasari.

13
Daftar pustaka
Kaplan Harold M.D, Sadock Benjamin J. M.D. Pocket Handbook of Clinical
Psychiatry. Maryland USA. 1990. p: 107-116
Puri B.K, Laking P.J, Treasaden I.H. Texbook of Psychiatry. New York. 1996. p:
215-230
Guzze Barry M.D, Richelmer Steven M.D, Siegel Daniel J. M.D. Buku Saku
Psikiatri.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. p: 224-234
Factitious Disorder. Available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Factitious_disorder
Mental Health : Factitious Disorder. Available from :http://www.webmd.com/mental-
health/factitious-disorders
An Overview of Factitious Disorder. Available from
http://my.clevelandclinic.org/disorders/actitious_disorders
Factitious Disorder. Available from : www.minddisorders.com/Del-Fi/Factitious-
disorder.htm
https://beranisehat.com/somatic-symptom-disorder-gangguan-
somatoform/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=somatic-
symptom-disorder-gangguan-somatoform#Tanda_dan_Gejala

14

Anda mungkin juga menyukai