REFERAT
GANGGUAN SOMATOFORM
DISUSUN OLEH :
MUH WAHYU DWI PUTRA
N 111 20 027
PEMBIMBING KLINIK
dr. Merry Tjandra, Sp. KJ
i
HALAMAN PENGESAHAN
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Tadulako
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan suatu sindrom atau pola perilaku yang secara
klinis bermakna yang berkaitan langsung dengan distress (penderitaan) dan
menimbulkan hendaya (disabilitas) pada satu atau lebih fungsi kehidupan
manusia. Fungsi jiwa yang terganggu meliputi fungsi biologis, psikologis,
sosial, dan spiritual. Secara umum gangguan fungsi jiwa yang dialami
seseorang individu dapat terlihat dari penampilan, komunikasi, proses
berpikir, interaksi dan aktifitasnya sehari-hari (Wardhani, 2016).
Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang menderita
depresi, 60 juta orang menderita bipolar, 21 juta menderita skizofrenia, serta
47,5 juta menderita demensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis,
psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus
gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban
negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang
(Kemenkes, 2016).
Penelitian menemukan bahwa sekitar 20% pasien yang datang ke klinik
dokter mengeluhkan keluhan fisik yang tidak dapat dibuktikan secara medis,
dan 80% diantaranya merupakan gangguan somatoform. Somatoform, dengan
prevalensi sebesar 16,1% di seluruh dunia, adalah kumpulan gejala fisik yang
mengacu pada kondisi medis tertentu dan tidak dapat diterangkan secara jelas
dalam kondisi medis umum atau dengan gangguan mental yang lain. Menurut
DSM –V, terminologi somatoform dikenal dengan somatic symptom disorder,
di mana terdiri atas berbagai penyakit somatoform yaitu 1) Somatization
1
disorder (gangguan somatisasi), 2) Hipokondriasis, 3) Pain disorder (kelainan
nyeri), dan 4) Somatoform tak terdiferensiasi.
Gangguan somatoform merupakan kumpulan beberapa penyakit yang
terdiri daripada gejala – gejala somatic yang tidak dapat dijelaskan secara
medis. Gangguan somatoform juga ditandai dengan sifat pasien
mempertahankan keluhan fisik menandakan adanya kondisi medis namun
tidak dapat dibuktikan secara klinis (Scheffers, 2018).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Epidemiologi
Gangguan somatoform merupakan gangguan yang sering didapatkan
pada usia lanjut tapi data yang tersedia dari beberapa penelitian menunjukkan
prevalensi gangguan somatoform menurun pada yang berumur 65 tahun ke
atas (Hilderink, 2013). Penelitian dari Shaefert R et al menunjukkan hampir
20% dari pasien pelayanan primer mempunyai gangguan somatoform (Haller,
2015).
Suatu penelitian menunjukkan heterogenitas yang tinggi di mana
prevalensi yang terdiagnosa gangguaan somatoform menurut ICD dan DSM
3
antara 34,8% dan 26.2% masing – masing. Selanjutnya, sehingga 40 hingga
49% pasien di pelayanan kesehatan mempunyai satu keluhan yang tidak dapat
dijelaskan dikesan menggunakan kuestioner. Angka ini menunjukkan bahwa
gangguan somatoform mempunyai prevalensi yang tinggi di dalam pelayanan
kesehatan namun untuk mendiagnosis seseorang mengalami gangguan
somatoform tidak mudah. Menurut penelitian yang lain, hanya 33% hingga
60% pasien yang didiagnosis gangguan somatoform oleh dokter di pelayanan
primer dan kemudian di konsul ke spesialis (Piontek, 2018).
C. Klasifikasi
1. Gangguan Somatisasi
a) Definisi
Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak gejala somatik yang
tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan
fisik dan laoratorium. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum
usia 30 tahun, dapat berlanjut hingga tahunan, dan dikenali
menurut DSM-IV-TR sebagai “kombinasi gejala nyeri,
gastrointestinal, seksual, serta pseudoneurologis”. Gangguan
somatisasi berbeda dengan gangguan somatoform lainnya
karena banyak keluhan dan banyaknya sistem organ yang
terlibat (contohnya gastrointestinal dan neurologis) (Sadock,
2008).
b) Etiologi
Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum
diketahui. Tidak terdapat penyebab tunggal dari gangguan
somatisasi, sebagaimana sebagian besar kasus psikiatri lainnya,
gangguan ini merupakan hasil akhir dari interaksi faktor
genetik dengan berbagai peristiwa di kehidupan individu. Teori
4
terkini mengenai etiologi gangguan somatisasi dibagi 3, yaitu
psikososial, organic, dan genetik (Mai, 2004).
Faktor Psikososial
Gejala somatik merupakan bentuk pertahanan psikologi
terhadap instabilitas mental. Pada somatisasi, serangan
terhadap mental seseorang menghasilkan kecemasan
yang memobilisasi pertahanan somatik, di mana
terdapat perubahan dari “sakit psikologis” menjadi
“sakit fisik” (Hurwitz, 2004). Gejala somatik yang
timbul merupakan komunikasi sosial seseorang untuk
menghindari kewajiban (cnt : melakukan pekerjaan
yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (cnt:
kemarahan terhadap saudara), atau untuk simbolisasi
perasaan atau kepercayaan (cnt : nyeri perut) (Sadock,
2008).
Faktor Organik
Diduga juga bahwa disfungsi atensi dan kognitif yang
berhubungan dengan inhibisi stimulasi aferen terdapat
pada pasien (terutama pada lobus frontalis dan
hemisphere yang tidak dominan), menghasilkan
persepsi yang tidak tepat dan kesalahan penilaian input
somatosensoris (Sadock, 2008). Ditemukan hubungan
antara somatisasi dan peningkatan level kortisol 24 jam
(rangsangan psikologis),sebagaimana juga ditemukan
terdapat asosiasi antara tekanan darah sistolik dengan
somatisasi. (Mai, 2004).
5
Faktor Genetik
Terdapat pola keturunan yaitu sebesar 10-20% insidens
terjadi pada saudara perempuan derajat pertama dari
penderita gangguan somatisasi (DSM-IV). Ditemukan
bahwa saudara lelaki pasien gangguan somatisai
memiliki peningkatan prevalensi alkoholisme dan
kepribadian antisosial (Abramowitz, 2010). Beberapa
penelitian pada populasi kembar menemukan bukti
komponen genetik, namun lainnya menghasilkan
kesimpulan sebaliknya. Mai (2004) menyimpulkan
bahwa terdapat peran faktor genetik dalam gangguan
somatisasi, namun efeknya terbatas.
6
Kriteria DSM-IV mengenai gangguan somatisasi
7
biasanya didahului dengan riwayat gejala lain yang tidak dapat
dijelaskan, seperti anorgasmia, tinnitus telinga, dan nyeri
kronis pada bahu, leher, punggung, dan kaki
d) Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan pasien dengan gangguan
somatisasi meliputi 2 hal, yaitu Cognitive and Behavioral
Therapy (CBT) dan Farmakoterapi.
Langkah pertama terapi adalah untuk memberi feedback
diagnostik pada pasien. Penjelasan dikategorikan menjadi 3
bagian : rejection, conclusion, dan empowerment. Dengan
rejection, dokter menyangkal kenyataan terdapat gejala atau
mengimplikasikan bahwa pasien memiliki sumber rasa sakit
yang imajiner. Pendekatan ini dapat diawali dengan kalimat
“Tenang, tidak ada yang salah dengan Anda.” Conclusion
terjadi ketika dokter secara eksplisit atau implicit menyetujui
penjelasan pasien. Pada akhirnya, dengan empowerment,
dokter memberikan penjelasan yang nyatadan rasional untuk
gejala somatik, bersamaan dengan peluang untuk
memanajemen diri. Dokter mengetahui penderitaan pasien,
tanpa rasa menuduh, dan membuat kesepakatan terapeutik.
Dengan demikian gejala dan emosi dapat dihubungkan dengan
baik.
2. Hipokondriasis
a) Definisi
Hipokondriasis adalah gangguan mental dimana pasien
meyakini bahwa dirinya sedang mengalami penyakit yang
serius, mungkin suatu penyakit yang mengancam jiwanya.
Kriteria diagnosisnya ialah sekurang-kurangnya 6 bulan pasien
8
mengalami preokupasi pikiran berupa ketakutan akan memiliki
penyakit akibat dari interpretasi yang salah terhadap gejala
penyakit yang dialaminya. Istilah hipokondriasis mengacu
pada hipokondrium, dimana kebanyakan pasien mengeluh
nyeri pada daerah hipokondrium.
b) Etiologi
Menurut Klein, perkembangan di masa-masa awal kehidupan
diyakini merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya
hipokondriasis atau jenis somatoform lain di kemudian hari.
Kegagalan proses splitting atau kemampuan untuk
membedakan objek baik dan buruk menyebabkan
ketidakmampuan otak untuk merepresi kecemasan yang
dirasakan, sehingga kelak timbul abnormal splitting
mechanism yang membantu anak untuk mengatasi confusional
anxiety.
Menurut Schilder, terjadi fiksasi hypochondriacal state pada
fase narsistik pada perkembangan anak, dimana pada masa itu
terjadi perkembangan awal pemikiran tentang tubuh. Fase oral,
sadistic, dan sadomasokistik juga turut mempengaruhi
terjadinya hipokondriasis di kemudian hari karena seluruh
proses ini melibatkan sensasi nyeri dalam perkembangannya.10
Proteksi yang berlebihan dari orang tua pada masa anak-anak
juga menjadi pencetus hipokondriasis. Di samping itu,
penyakit yang pernah diderita juga memunculkan kecemasan
yang berlebihan terhadap kekambuhan sehingga memunculkan
gejala hipokondriasis.
9
Kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah
sebagai berikut :
10
Preokupasi pikiran akan penyakitnya membuat pasien
mengalami gangguan dalam kehidupan sehari-hari,
pekerjaan, dan perilaku bermasyarakat.
Gangguan berdurasi sekurang-kurangnya selama 6
bulan.
Preokupasi pikiran ini tidak ditemukan pada gangguan
kecemasan, kelainan obsesif-kompulsif, gangguan
panic, episode depresif mayor, kecemasan akibat
perpisahan, atau kelainan somatoform yang lain.
Spesifik bila:
Dengan daya tilik buruk: apabila dalam tiap episodenya,
pasien tidak menyadari bahwa penyakit serius yang diyakini
dia miliki adalah suatu ketakutan yang tidak beralasan.
d) Penatalaksanaan
Pemeriksaan fisik secara komperhensif
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik berkala untuk
mengetahui diagnosis lain yang menjadi perancu
hipokondriasis. Informasi kesehatan yang normal dapat
digunakan untuk konfirmasi diagnosis hipokondriasis.
Pendekatan fungsional
Bertujuan untuk mengumpulkan data-data tentang
penyakit yang menjadi sumber kecemasan dan untuk
mengetahui respon pasien terhadap penyakitnya.
Melalui cara ini, dokter dapat mengetahui apa yang
membuat pasien menganggap penyakitnya sangat
serius. Karena belum adanya skala khusus untuk
pengukuran derajat keparahan penyakit yang dirasakan,
11
pasien dapat menggunakan skala 0 (rendah) sampai 10
(ekstrim) untuk menggambarkannya.8
Terapi farmakologis
Antidepresan (trisiklik, SSRI) : dapat
menstabilkan mood, mengatasi kecemasan pada
hipokondriasis.
Plasebo : Beberapa penelitian membandingkan
efek plasebo dan pemberian obat-obatan anti
depressan dimana perbedaan respon pasien
terhadap kedua obat tidak signifikan. Hal ini
menunjukkan keberhasilan pengguna placebo.
Psikoterapi
Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)
Formulation of an Idiosyncratic Model
Psikoedukasi
Modifying erroneous belief
3. Reaksi Konversi
a) Definisi
Gangguan konversi ditandai dengan perubahan bermakna atau
hilangnya fungsi fisiologis, meskipun tidak ada temuan secara
medis yang menyebabkan gejala atau defisit.
b) Etiologi
Etologi dari reaksi konversi melibatkan faktor-faktor
psikologis, biologis dan neurologis. Patofisiologi gejala dari
gangguan konversi dimulai dengan adanya gangguan psikiatri
—paling sering diseabkan oleh depresi—yang menyebabkan
ketidak stabilan dari fungsi mental. Pertahanan somatic,
12
kepercayaan menetap bahwa “Saya sakit secara fisik”
terbentuk secara tidak sadar dan muncul sebagai adanya
malfungsi neurologis tertentu. Kepercayaan ini secara sadar
mengatur tingkah laku, mengakibatkan temuan nonorganic
yang aneh dan tidak lazim pada pemeriksaan neurologis.
13
light
14
Gejala ini tidak terbatas pada rasa sakit atau adanya
gangguan pada fungsi seksual dan tidak dapat
dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan mental
lain.
d) Penatalaksanaan
Pada dasarnya, tatalaksana dari gangguan konversi adalah
menggunakan penjelasan dan sugesti. Setelah dilakukan
diagnosis, dokter sebaiknya menginformasikan kepada pasien,
secara lembut dan tidak menghakimi, tetapi cukup tegas,
bahwa pemeriksaan atau tes diagnostic tidak menunjukkan
adanya kelainan. Lalu dokter dapat menjelaskan bahwa
meskipun ilmu medis tidak dapat menjelaskan penyebab gejala
tersebut, biasanya pasien akan pulih dalam beberapa minggu.
Dengan dukungan dan keyakinan tersebut, mayoritas pasien
akan mengalami remisi selama berada di rumah sakit, dan
remisi ini lebih mungkin terjadi jika onset gejala bersifat akut
dan durasinya singkat, diikuti oleh pencetus yang jelas.
Pada berapa kasus, beberapa sesi bersama terapis fisik dapat
membantu perbaikan gejala. Terapis harus menghindari
pernyataan seperti “Tidak ada yang salah dengan diri anda”,
karena dapat merusak hubungan dokter-pasien. Jika langkah-
langkah tersebut gagal, teknik alternatif dapat digunakan.
Hipnosis dapat menyebabkan remisi, akan tetapi cenderung
terjadi relaps.
Dapat juga dilakukan cognitive-behavioral therapy untuk
meningkatkan cara adaptif pasien untuk menghadapi stress dan
kecemasan. Dapat juga dilakukan terapi psikodinamik untuk
15
mendapatkan insight dari konflik unconscious yang mendasari
keluhannya.
b) Etiologi
16
Penyebab gangguan dismorfik tubuh saat ini masih tidak
diketahui. Komoriditas yang tinggi dengan gangguan depresif,
riwayat keluarga adanya gangguan mood dan gangguan
obsesif-komplusif yang lebih tinggi daripada yang diharapkan,
dan responsivitas gangguan yang dilaporkan terhadap obat
spesifik serotonin menyatakan bahwa, sekurangnya pada
beberapa pasien, patofisiologi gangguan yang terjadi mungkin
melibatkan serotonin dan mungkin berhbungan dengan
gangguan mental lainnya. Mungkin juga dapat terpengaruh
kultural atau sosial yang bermakna pada pasien dengan
gangguan dismorfik tubuh karena penekanan konsep tentang
kecantikan yang sterotipik yang mungkin ditekankan pada
keluarga tertentu dan didalam sebagian besar kultur. Didalam
odel psikodinamika, gangguan dismorfik tubuh dipandang
sebagai pengalihan konflik seksual atau emosional ke dalam
bagian tubuh yang tidak berhubungan. Asosiasi tersebut terjai
melalui mekanisme pertahanan represi, disosiasi, distorsi,
simbolisasi dan proyeksi.
17
Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh
gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan
bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).
Adapun bentuk-bentuk perilaku yang mengindikasikan Body
Dysmorphic Disorder (BDD) (menurut Watkins, 2006;
Thompson, 2002; Wikipedia, 2006; Weinshenker, 2001; dan
David Veale) adalah sebagai berikut:
Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari
satu jam per hari atau menghindari sesuatu yang dapat
memperlihatkan penampilan, seperti melalui cermin
atau kamera.
Mengukur atau menyentuh kekurangan yang
dirasakannya secara berulang-ulang
Meminta pendapat yang dapat mengukuhkan
penampilan setiap saat.
Mengkamuflasekan kekurangan fisik yang
dirasakannya.
Menghindari situasi dan hubungan sosial.
Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model
yang mempengaruhi idealitas penampilan fisiknya.
Berpikir untuk melakukan operasi plastik.
Selalu tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau
ahli bedah plastik.
Mengubah-ubah gaya dan model rambut untuk
menutupi kekurangan yang dirasakannya.
Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi
kepuasan pada penampilan.
Berdiet secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir.
18
d) Penatalaksanaan
Pengobatan pasien gangguan dismorfik tubuh dengan prosedur
bedah, dermatologis, dental dan prosedur medis lainnya untuk
menyelesaikan defek yang dideritanya hampir selalu tidak
mendapatkan hasil. Adapun obat tetrasiklik, inhibitor monamin
oksidase, dan pimozide telah dilaporkan berguna pada kasus
individual, dan semakin banyak data yang menyatakan bahwa
obat spesifik serotonin sebagai contoh : clomipramine
(Anafranil) dan fluoxetine (Prozac) dapat efektif dalam
menurunkan gejala sekurang-kurangnya 50% pasien. Pada tiap
pasien dengan gangguan mental penyerta, seperti gangguan
depresif atau ganggauan kecemasan, maka gangguan penyerta
harus diobati dengan farmakoterapi dan psikoterapi yang
sesuai. Berapa lamanya pengobatan harus dilanjutkan jika
gejala gangguan dismorfik tubuh telah menghilang masih
belum diketahui.
5. Gangguan Nyeri
a) Definisi
Pada gangguan nyeri, penderita mengalami rasa sakit yang
mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan, faktor
psikologis diduga memainkan peranan penting pada
kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan.
Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi
tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang
timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau
dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan
yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian
dan simpati yang sebelumnya tidak didapat.
19
b) Etiologi
Faktor Psikodinamika
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuhnya
tanpa penyebab fisik yang dapat diidentifikasi secara
adekuat mungkin merupakan ekspresi simbolik dari
konflik intrapsikis melalui tubuh. Beberapa pasien
menderita alekstimia, dimana mereka tidak mampu
mengartikulasikan kata-kata, sehingga tubuh
mengekspresikan perasaannya. Pasien lain mungkin
secara tidak disadari memandang nyeri emosional
sebagai kelemahan dan bagaimanapun tidak ada dalam
kekuasaan. Dengan mengalihkan masalah ke tubuh,
mereka merasa bahwa mereka memiliki kekuasaan
untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan mereka.
Arti simbolik dari ganggguan tubuh mungkin juga
berhubungan dengan penebusan ata dosa yang
dirasakan, penebusan kesalahan, atau agresi yang
ditekan. Banyak pasien mengalami nyeri yang sukar
disembuhkan dan tidak responsif karena mereka
berkeyakinan bahwa mereka pantas untuk menderita.
Faktor Perilaku
Perilaku sakit adalah didorong jika disenangi dan
dihambat jika diabaikan atau dihukum. Sebagai contoh,
gejala nyeri sedang mungkin menjadi kuat jika diikuti
oleh perlakuan cemas dan penuh perhatian dari orang
lain, oleh tujuan keuangan, atau oleh kebehasilan dalam
menghindari aktivitas yang tidak disenangi.
20
Faktor Interpersonal
Nyeri yang sukar disembuhkan telah dipandang sebagai
cara untuk memanipulasi dan mendapatkan keuntungan
dalam hubungan interpersonal, sebagai contoh, untuk
menjadi kesayangan anggota keluarga atau untuk
menstabilkan perkawinan yang rapuh,. Tujuansekunder
tersebut adalah paling penting bagi pasien dengan
gangguan nyeri.
Faktor Biologis
Korteks serebaral dapat menghampat pemicuan serabut
nyeri aferen. Serotonin kemungkinan merupakan suatu
neurotransmiter utama didalam jalur inhibitor
desenden, dan endorfin juga berperan dalam modulasi
nyeri oleh sistem saraf pusat.. Defisiensi endorfin
tampaknya berhubungan dengan penguatan stimuli
sensorik yang datang. Beberapa pasien mungkin
memiliki gangguan nyeri, bukannya gangguan mental
lain, karena struktural sensorik dan limbik atau kelaian
kimiawi yang mepredisposisiskan mereka mengalami
nyeri.
21
didefinisikan lebih jauh sebagai berhubungan terutama dengan
faktor psikologis atau sebagai hubungandari faktor psikologis
dan suatu kondisi medis umum. DSM-IV lebih lanjut
menyebutkan bahwa gangguan nyeri semata-mata berhubungan
dengan kondisi medis umum didiagnosis sebagai kondisi Aksis
III. DSM-IV juga memungkinkan klinisi menyebutkan apakah
gangguan nyeri adalah akut atau kronis, tergantung pada
apakah gejala telah berlangsung enam bulan atau lebih lama.
d) Penatalaksanaan
Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal
berikut :
Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan
bukan hanya ada dalam pikiran penderita.
Relaxation training
Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak
seperti orang yang mengalami rasa nyeri
Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari
apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri
yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya
menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas
yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari
keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita
rasakan.
D. Patofisiologi
Sebenarnya patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum
diketahui dengan jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform primer
dapat diasosiasikan dengan peningkatan rasa awas terhadap sensasi-sensasi
tubuh yang normal. Peningkatan ini dapat diikuti dengan bias kognitif dalam
22
menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi penyakit medis.
Pada penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-gejala
otonom yang meningkat seperti takikardia dan hipermotilitas gaster.
Peningkatan gejala otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari
komponen – komponen noradrenergic endogen. Sebagai tambahan,
peningkatan gejala otonom dapat pula berujung pada rasa nyeri akibat
hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti pada pasien dengan muscle
tension headache (Sadock, 2017).
E. Diagnosis Banding
1. Malingering
Malingering bukan merupakan gangguan menta, namun ahli psikatri
dan neurologis pasti akan menemukan sekurang – kurangnya satu
pasien yang malingering sepanjang mereka bekerja. Malingering
didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana suatu individu akan
sengaja mengeluhkan suatu gejala fisik, psikis maupun gejala
neurologis untuk mencapai suatu tujuan. Inidividu tersebut sadar
bahwa dia berpura – pura dan tujuannya mengeluhkan gejala tersebut
(Kallivayalil, 2010).
2. Fatitious Disorder (Gangguan buatan)
Gangguan buatan adalah suatu gangguan jiwa dimana pasien secara
sengaja membuat tanda gangguan medis fisik atau psikologis dengan
menunjukkan riwayat serta gejala palsu yang dimotivasi oleh faktor
internal tujuannya murni untuk mengambil peran sebagai pasien tanpa
adanya dorongan dari luar, meskipun terkadang mereka tidak
sepenuhnya memahami motivasi mereka (Sadock, 2018).
F. Prognosis
23
Ada beberapa gangguan somatoform yang akan berlangsung seumur
hidup, Hipokondriasis cenderung menjadi suatu penyakit kronis yang
berlangsung mungkin sepanjang hidup dengan gejala yang hilang timbul
selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Pasien mungkin akan
mengalami remisi parsial namun demikian masih membuat pasien mencari
bantuan dokter. Remisi total sangat jarang terjadi. Faktor sosial-ekonomi,
tidak adanya kelainan perilaku lain, dan tidak adanya kondisi medis lain yang
menyertai dapat memungkinkan hipokondriasis remisi total (Abramowitz,
2010).
BAB III
24
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
25
Abramowitz, J. S., & Braddock, A. E. (2010). Hypochondriasis:
conceptualization, treatment, and relationship to obsessive-compulsive
disorder. Psychiatric Clinics, 29(2), 503-519.
American Psychiatric Association, A. P. (1994). Diagnostic and statistical
manual of mental disorders (DSM-IV).
Haller, H., Cramer, H., Lauche, R., & Dobos, G. (2015). Somatoform
disorders and medically unexplained symptoms in primary care: a
systematic review and meta-analysis of prevalence. Deutsches Ärzteblatt
International, 112(16), 279.
Hilderink, P. H., Collard, R., Rosmalen, J. G. M., & Voshaar, R. O. (2013).
Prevalence of somatoform disorders and medically unexplained
symptoms in old age populations in comparison with younger age
groups: a systematic review. Ageing research reviews, 12(1), 151-156.
Hurwitz, T. A. (2004). Somatization and conversion disorder. The Canadian
Journal of Psychiatry, 49(3), 172-178.
Kallivayalil, R. A., & Punnoose, V. P. (2010). Understanding and managing
somatoform disorders: Making sense of non-sense. Indian journal of
psychiatry, 52(Suppl1), S240.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peran Keluarga Dukung
Kesehatan Jiwa dan Masyarakat. 2016. Diakses di
http://www.depkes.go.id/16100700005/peran-keluarga-dukung-
kesehatanjiwa-masyarakat
Leutgeb, R., Berger, S., Szecsenyi, J., & Laux, G. (2018). Patients with
somatoform disorders: More frequent attendance and higher utilization in
primary Out-of-Hours care?. PloS one, 13(8), e0202546.
Maharaj, R. G., Alexander, C., Bridglal, C. H., Edwards, A., Mohammed, H.,
Rampaul, T. A., ... & Thomas, K. (2013). Somatoform disorders among
patients attending walk-in clinics in Trinidad: prevalence and association
with depression and anxiety. Mental health in family medicine, 10(2), 81.
Mai, F. (2004). Somatization disorder: a practical review. The Canadian
Journal of Psychiatry, 49(10), 652-662.
Piontek, K., Shedden-Mora, M. C., Gladigau, M., Kuby, A., & Löwe, B.
(2018). Diagnosis of somatoform disorders in primary care: diagnostic
26
agreement, predictors, and comaprisons with depression and
anxiety. BMC psychiatry, 18(1), 1-9.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2008). Kaplan & Sadock's concise textbook
of clinical psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins.
Sadock, Benjamin dan Sadock, Virginia. 2017. Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi 2 Bab 14 Gangguan Somatoform dan Gangguan Nyeri. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. p268-280
Scheffers, M., Kalisvaart, H., Van Busschbach, J. T., Bosscher, R. J., Van
Duijn, M. A. J., van Broeckhuysen-Kloth, S. A. M., ... & Geenen, R.
(2018). Body image in patients with somatoform disorder. BMC
psychiatry, 18(1), 1-8.
Smith, J. K., & Józefowicz, R. F. (2012). Diagnosis and treatment of
somatoform disorders. Neurology: Clinical Practice, 2(2), 94-102.
Tominaga, T., Choi, H., Nagoshi, Y., Wada, Y., & Fukui, K. (2014).
Relationship between alexithymia and coping strategies in patients with
somatoform disorder. Neuropsychiatric disease and treatment, 10, 55.
Wardhani, Y. F., & Paramita, A. (2016). Mental Health Services Disability
and Life Style of Indonesian. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 19(1),
99-107.
27