GANGGUAN SOMATOFORM
Disusun oleh :
Muhammad Iqbal D’Berto Syahdema
(1102016134)
Pembimbing :
dr. Roswinar, SP.KJ, M.Kes
Epidemiologi
Prevalensi sepanjang hidup 0,2 – 2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Rasio wanita :
pria adalah 5:1. Gangguan ini berbanding terlabalik dengan psoisi social dan terjadi paling
sering pada pasien yang memiliki sedikit edukasi dan tingkat pendapatan yang rendah.
Gangguan ini didefinisikan dimulai sebelum usia 30 tahun dan paling sering dimuali selama
masa remaja.
Klasifikasi
Terdapat beberapa versi penggolongan gangguan somatoform. Menurut (DSM-
IV) terdapat 7 gangguan di dalam kategori gangguan somatisasi, antara lain :
Gangguan somatisasi (somatization disorder), ditandai oleh banyak keluhan fisik yang
mengenai banyak sistem organ
Gangguan somatisasi tidak terinci (undifferentiated somatoform disorder)
Gangguan konversi (conversion disorder), ditandai oleh satu atau dua keluhan
neurologis
Hipokondriasis, ditandai oleh focus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
Gangguan dismorfik tubuh (Body Dysmorphic Disorder (BDD))
ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebih – lebihan bahwa suatu
bagian tubuh mengalami cacat
Gangguan nyeri, ditandai oleh gejala nyeri yang semata – mata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis
Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (somatoform disorder not otherwise
specified -NOS)
Etiologi
Faktor psikososial
Formulasi psikososial melibatkan interpretasi gejala sebagai komunitas social,
akibatnya adalah menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan
suatu perasaan atau keyakinan
Perspektif perilaku
Pada gangguan perilaku somatisasi menekankan bahwa pengajaran orang tua,
contoh dari orang tua, dan adat istiadat dapat membuat anak lebih melakukan
somatisasi dari pada orang lain
Faktor Biologis dan Genetik
Sejumlah studi mengemukakan bahwa pasien memiliki perhatian yang khas dan
hendaya kognitif yang mebghasilakn persepsi dan penilaian input somatosensorik yang
salah. Hendaya ini mencakup perhatian yang mudah teralih, ketidakmampuan
menghabitusi stimulus berulang, pengelompokan konstruksi kognitif dengan dasar
impersionitik, hubungan parsial dan sirkumstansial, serta kurangnya selektyivitas. Data
genetic menunjukan bahwa gangguan somatisasi dapat memiliki komponen genetic.
Sitokin
Penelitian menunjukan bahwa sitokin dapat berhubungan dengan gangguan
somatisasi dan gangguan somatoform lain. Sitokin adalah molekul pembawa pesan
yang digunakan sistem imun untuk berkomunikasi di dalam dirinya dan dengan sistem
saraf, termasuk otak. Beberapa percobaan menunjukan bahwa sitokin dapat berperan
menyebabkan sejumlah gejala non spesifik seperti hypersomnia, anoreksia, lelad dan
depresi. Namun belum ada data yang menyokong hipotesis bahwa sitokin dapat
berperan mengakibatkan sejumlah gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.
Manifestasi
Gambaran klinis pasien yang memiliki gangguan somatisasi, datang dengan keluhan
somatik yang banyak serta riwayat yang rumit. Gejala umum yang dikeluhkan adalah mual,
muntah, sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek, amnesia, komplikasi
kehamilan dan menstruasi. Pasien beranggapan ia sakit sepanjang hidupnya. Sering terdapat
gejala neurologic seperti gangguan keseimbangan, merasa ada gumpalan di tenggorokan,
afonia, retensi urin, hilang modalitas sensorik raba dan nyeri, buta, bangkitan, hilang kesadaran
bukan karena pingsan. Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal menonjol pada
gangguan ini antara lain ansietas dan depresi.
Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi
Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode beberapa tahun dan memburuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan
bermakna dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada
sembarang waktu selama perjalanan gangguan :
1. Empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat
tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi,
anggota gerak, dada, rectum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau
selama miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal : riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal
selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan,
diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual : riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif
selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi,
menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
kehamilan)
4. Satu gejala pseudoneurologis : riwayat sekurangnya satu gejala atau deficit yang
mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala
konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau
kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia, retensi
urin, halunisasi, hilangnya sensari nyeri, pandangan ganga, kebutaan, ketulian,
kejang ; gejala disosiatif seperti amnesia ; atau hilangnya kesadaran selain
pingsan)
Salah satu (1) atau (2) :
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek
langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat atau alcohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat – buat (seperti gangguan buatan
atau pura – pura)
Sebutkan jika :
Dengan tilikan buruk : jika untuk sebagian besar waktu selama episode berakhir,
orang tidak menyadari bahwa kekhawatirannya tentang menderita penyakit serius
adalah berlebihan atau tidak berasalan.
Tatalaksana
Gangguan Somatisasi
Penanganan sebaiknya dengan satu dokter, sebab apabila dengan beberapa
dokter pasien akan mendapat kesempatan lebih banyak mengungkapkan keluhan
somatiknya. Interval pertemuan sebulan sekali. Meskipun pemeriksaan fisik tetap harus
dilakukan untuk setiap keluhan somatik baru, dokter atau terapis harus mendengarkan
keluhan somatik sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medik.
Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan
pengeluaran dana perawatan kesehatan terutama untuk rawat inap di rumah sakit.
Psikoterapi membantu pasien untuk mengatasi gejala – gejalanya, mengekspresikan
emosi yang mendasari dan mengembangkan strategi alternative untuk mengungkapkan
perasaannya.
Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain (komorbid).
Pengawasan ketat terhadap pemberian dengan gangguan somatisasi cenderung
menggunakan obat – obatan berganti – ganti dan tidak rasional
Gangguan Konversi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya spontan. Pada pasien dengan
gangguan ini dapat dilakukan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi
perilaku. Bila pasien menolak psikoterapi, maka dokter dapat menyarankan bahwa
psikoterapi yang dilakukan akan difokuskan pada masalah stress dan bagaiman
mengatasinya.
Hypnosis, anticemas dan terapi relaksasi sangat efektif dalam beberapa kasus.
Pemeberian amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh
riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa traumatic.
Pendektan psikodinamik misalnya psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan,
menunjtun pasien memahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala pada gangguan
kenversi. Psikoterapi jangka pendek juga dapat digunakan. Semakin lama pasien
menghayati peran sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga pengobatan akan
semakin sulit.
Hipokondriasis
Pasien hipokondriasis biasanya menolak terpai psikiatrik. Beberapa bersedia
menerima terapi pskiatri apabila dilakukan pada setting medis dan dengan focus
menurunkan stress dan edukasi untuk menghadapi penyakit kronik. Psikoterapi
kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena memberikan dukungan social
dan interaksi social sehingga menurunkan kecemasan. Bentuk psikoterapi lain yang
dapat bermanfaat adalah psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi perilaku,
terapi kognitif dan hypnosis.
Pemeriksaan fisik terjadwal yang teratur membantu menenangkan pasien,
bahwa dokternya tak meninggalkannya dan keluhannya ditangani secara serius. Namun
prosedur diagnostic dan terapi invasive dilakukan hanya bila ada bukti obyektif untuk
dilakukan tindakan tersebut.
Farmakoterapi diberikan pada pasien hipokondriasis yang berkormobiditas
dengan gangguan lain seperti gangguan cemas dan gangguan depresi. Atau apabila
hipokondriasis merupakan kondisi sekunder terhadap gangguan mental primer harus
diatasi. Apabila hiopokondriasis merupakan reaksi situasional sesaat, maka pasien
harus dibanti untuk mengatasi stress tanpa memperkuat perilaku sakitnya dan
pemanfaatan peran sakitnya sebagai solusi terhadap masalahnya
Body Dysmorphic Disorder
Pengobatan pasien dengan body dysmorphic disorder dengan prosedur medika
pembedahan, dermatologis, kedokteran gigi dan lainnya, biasanya tidak berhasil
mengatasi keluhannya. Obat – obatan yang bekerja pada serotonin misalnya
klomipramin dan fluoksetin dapat mengurangi gejala yang dikeluhkan pasien minimal
50%. Pemberian antidepresan trisiklik, penghambat monoaminoksidase dan pimozide
bermanfaat pada kasus -kasus individual.
Apabila terdapat gangguan mental lain yang menyertai, seperti gangguan
depresi atau cemas, maka harus diatasi dengan pemberian farmakoterapi dan
psikoterapi yang memadai. Tidak diketauhi sampai kapan pengobatan hatrus tetap
dilanjutkan setelah gejala body dysmorfik disorder hilang.
Gangguan nyeri
Pendekatan terapi harus menyertakan rehabilitasi, karena tidak mungkin
mengurangi rasa nyerinya. Sejak awal pengobatan terapis sudah harus mendiskusikan
tentang faktor sangat penting sebagai penyebab dan konsekuensi dari nyeri fisik
maupun psikogenik. Jelaskan pula bagaimana berbagai sirkuit di dalam otak yang
terlibat dengan emosi (misalnya sistem limbik) mempengaruhi jaras nyeri sensorik.
Namun terapis harus memahami bahwa nyeri yang dialami pasien adalah sesuatu yang
nyata.
Farmakoterapi, obat – obatan analgetik tidak membanti pasien. Hati – hati
memberikan obat analgetik, sedative dan anticemas karena selain tak bermanfaat,
cenderung menimbulkan ketergantungan dan disalah gunakan. Antidepresan trisiklik
dan penghambat ambilan serotonin spesifik (SSRI) paling efektif untuk gangguan nyeri.
Keberhasilan SSRI mendukung hipotesis bahwa serotonin mempunyai peran penting
dalam patofisiologi terjadinya gangguan ini. Amfetamin yang mempunyai efek
analgesic dapat bermanfaat pada beberapa pasien, khususnya bila digunakan sebagai
tambahan bersama SSRI, namun dosis harus dipantau.
Psikoterapi, sangat bermanfaat bagi pasien. Langkah awal psikoterapi adalah
membangun aliansi terapeutik dengan pasien empati. Jangan melakukan konfrontasi
dengan pasien, karena nyeri yang dialami pasien nyata meskipun menyadari bahwa hal
itu berasal intrapsikik. Terapi kognitif berguna untuk mengubah pikiran negatif dan
mengembangkan sikap positif.
Daftar Pustaka
1. Buku panduan belajar koas ilmu kedokteran jiwa. Universitas udayana. 2017
2. Buku pedoman belajar ilmu kedokteran jiwa. Unissula. Edisi ke 2. Cetakan ke 2. 2018
3. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ketiga. Cetakan ketiga. FKUI. 2017
4. Elvira, S. D., & Hadisukanto, G. (2010). Gangguan Somatoform. Jakarta: FKUI.
5. Goldberg, R. M. (2007). Practical Guide to the Care of the Psychiatric Patient.
Philadelphia: Elsevier Mosby.
6. Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
7. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2009). Kaplan & Sadock's Komperhensive of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 9th Edition. New York:
Lippincott William&Wilkins.
8. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2010). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis,
Ed 2. Jakarta: EGC