Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

GANGGUAN SOMATOFORM

Disusun oleh :
Muhammad Iqbal D’Berto Syahdema
(1102016134)

Pembimbing :
dr. Roswinar, SP.KJ, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 26 JULI – 8 AGUSTUS 2021
Definisi
Gangguan somatoform berdasarkan DSM-IV ciri karakteristik dari gangguan
somatoform adalah preokupasi gejala fisik yang mengarah ke kondisi medis namun tidak dapat
dibuktikan secara jelas sebagai kondisi medis, efek suatu zat, ataupun gangguan kejiwaan
lainnya (Seperti gangguan panik). Berdasarkan (PPDGJ-III) ciri utama gangguan ini adalah
adanya keluhan – keluhan gejala fisik yang berulang – ulang disertai dengan permintaan
pemeriksaan medis, meskipun sudah berkali – kali terbukti hasilnya tidak ada kelainan dan
juga sudah dijelaskan bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya.
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya : nyeri, mual dan pusing) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan medis
yang adekuat.
Gangguan ini merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen
utama dari tanda dan gejalanya adalah tubuh. Gangguan ini mencakup interaksi tubuh – pikiran
(body – mind).
Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan
emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi
di dalam peranan social atau pekerjaan. suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan
penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset,
keparahan, dan durasi gejala.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukan adanya penyakit dengan keluhan
pasien. Gangguan ini meliputi :
- Gangguan somatisasi
- Gangguan konversi
- Hipokondriasis
- Body dysmorfik disorder
- Gangguan nyeri

Epidemiologi
Prevalensi sepanjang hidup 0,2 – 2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Rasio wanita :
pria adalah 5:1. Gangguan ini berbanding terlabalik dengan psoisi social dan terjadi paling
sering pada pasien yang memiliki sedikit edukasi dan tingkat pendapatan yang rendah.
Gangguan ini didefinisikan dimulai sebelum usia 30 tahun dan paling sering dimuali selama
masa remaja.

Klasifikasi
Terdapat beberapa versi penggolongan gangguan somatoform. Menurut (DSM-
IV) terdapat 7 gangguan di dalam kategori gangguan somatisasi, antara lain :
 Gangguan somatisasi (somatization disorder), ditandai oleh banyak keluhan fisik yang
mengenai banyak sistem organ
 Gangguan somatisasi tidak terinci (undifferentiated somatoform disorder)
 Gangguan konversi (conversion disorder), ditandai oleh satu atau dua keluhan
neurologis
 Hipokondriasis, ditandai oleh focus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
 Gangguan dismorfik tubuh (Body Dysmorphic Disorder (BDD))
ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebih – lebihan bahwa suatu
bagian tubuh mengalami cacat
 Gangguan nyeri, ditandai oleh gejala nyeri yang semata – mata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis
 Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (somatoform disorder not otherwise
specified -NOS)

Menurut PPDGJ – III :


 Gangguan somatisasi (F.45.0)
 Gangguan somatoform tidak terinci (F.45.1)
 Gangguan hipokondrik (F.45.2)
 Disfungsi otonomik somatoform (F.45.3)
 Gangguan nyeri somatoform menetap (F.45.4)
 Gangguan somatoform lainnya (F.45.8)
 Gangguan somatoform yang tidak tergolong (F.45.9)

Perbandingan antara DSM-IV-TR dengan PPDGJ III DSM IV-TR memasukan


gangguan konversi dan body dysmorphic disorder dalam gangguan somatoform sedangkan
PPDGJ-III tidak. Dalam PPDGJ III gangguan konversi dimasukkan ke dalam gangguan
disosiatif, dan PPDGJ III juga merincikan yang disebut disfungsi otonomik somatoform dan
gangguan somatoform jenis lainnya yang dalam DSM IV gejala – gejalanya mirip dengan
gangguan cemas dan gangguan depresi
Gangguan somatisasi, ditandai dengan banyak gejala somatik yang tidak dapat
dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Biasanya
gangguan ini mulai muncul sebelum usia 30 tahun. Biasanya keluhan yang diutarakan pasien
sangat banyak dan meliputi berbagai sistem oragan seperti gastrointestinal, seksual, saraf dan
bercampur dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis dan disertai penderitaan
psikologis yang signifikan, hendanya fungus social dan pekerjaan, serta perilaku mencari
bantuan medis yang berlebihan. Dikenal juga sebagai Briquet’s Syndrom.

Etiologi
 Faktor psikososial
Formulasi psikososial melibatkan interpretasi gejala sebagai komunitas social,
akibatnya adalah menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan
suatu perasaan atau keyakinan
 Perspektif perilaku
Pada gangguan perilaku somatisasi menekankan bahwa pengajaran orang tua,
contoh dari orang tua, dan adat istiadat dapat membuat anak lebih melakukan
somatisasi dari pada orang lain
 Faktor Biologis dan Genetik
Sejumlah studi mengemukakan bahwa pasien memiliki perhatian yang khas dan
hendaya kognitif yang mebghasilakn persepsi dan penilaian input somatosensorik yang
salah. Hendaya ini mencakup perhatian yang mudah teralih, ketidakmampuan
menghabitusi stimulus berulang, pengelompokan konstruksi kognitif dengan dasar
impersionitik, hubungan parsial dan sirkumstansial, serta kurangnya selektyivitas. Data
genetic menunjukan bahwa gangguan somatisasi dapat memiliki komponen genetic.
 Sitokin
Penelitian menunjukan bahwa sitokin dapat berhubungan dengan gangguan
somatisasi dan gangguan somatoform lain. Sitokin adalah molekul pembawa pesan
yang digunakan sistem imun untuk berkomunikasi di dalam dirinya dan dengan sistem
saraf, termasuk otak. Beberapa percobaan menunjukan bahwa sitokin dapat berperan
menyebabkan sejumlah gejala non spesifik seperti hypersomnia, anoreksia, lelad dan
depresi. Namun belum ada data yang menyokong hipotesis bahwa sitokin dapat
berperan mengakibatkan sejumlah gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.

Manifestasi
Gambaran klinis pasien yang memiliki gangguan somatisasi, datang dengan keluhan
somatik yang banyak serta riwayat yang rumit. Gejala umum yang dikeluhkan adalah mual,
muntah, sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek, amnesia, komplikasi
kehamilan dan menstruasi. Pasien beranggapan ia sakit sepanjang hidupnya. Sering terdapat
gejala neurologic seperti gangguan keseimbangan, merasa ada gumpalan di tenggorokan,
afonia, retensi urin, hilang modalitas sensorik raba dan nyeri, buta, bangkitan, hilang kesadaran
bukan karena pingsan. Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal menonjol pada
gangguan ini antara lain ansietas dan depresi.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis


 Gangguan Somatisasi
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis biasanya
ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai saat remaja.
Masalah menstruasi biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada wanita.
Keluhan seksual sering kali berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode
keluhan yang ringan berlangsung 9 – 12 bulan, sedangkan gejala yang berat dan
pengembangan dari keluhan – keluhan baru berlangsung selama 6 – 9 bulan. Sebelum
setahun biasanya pasien sudah mencari pertolongan medis. Adanya peningkatan
tekanan kehidupan mengakibatkan eksaserbasi gejala – gejala somatik.
 Gangguan konversi
Hampir semua gejala awal (90 – 100%) dari pasien dengan gangguan konversi
membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan. Sebanyak 75% pasien
tidak pernah mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami tekanan. Prognosis
yang baik berkaitan dengan awitan yang mendadak, adanya stressor yang bermakna,
riwayat premorbid baik, tak terdapat komornid dengan gangguan psikiatrik lain atau
gangguan medik, tak ada proses hokum yang sedang berlangsung. Semakin lama gejala
gangguan konversi berlangsung. Semakin buruk prognosisnya. Dikemudian hari
sebanyak 25 – 50% pasien akan mempunyai gangguan neurologis atau kondisi medik
nonpsikiatrik yang mempengaruhi sistem pernafasan. Oleh karena itu pasien dengan
gangguan konversi harus dilakukan evaluasi medis dan neurologis pada saat diagnosis
ditegakkan.
 Hipokondriasis
Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodic. Setiap episode
berlangsung berbulan – bulan sampai tahunan dan dipisahkan oleh periode tenang yang
sama lamanya. Terdapat asosiasi yang kuat antara kekambuhan hipokondriasi dengan
stressor psikososial. Kira – kira sepertiga sampai setengah dari pasien hipokondriasis
mengalami perbaikan yang bermakna. Prognosis yang baik berkainan dengan status
sosial – ekonomi yang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan deoresi yang responsive,
awitan dari gejala yang mendadak, tidak ada kondisi medik nonpsikiatrik yang terkait.
Pada anak – anak yang menderita hipokondriasus akan membaik saat remaja akhir atau
dewasa awal.
 Body Dysmorphic Disorder
Awitan dari body dysmorphic disorder biasanya bertahap. Orang yang
mengalami gangguan ini, kepeduliannya terhadap bagian tubuh tertentu akan semakin
menjadi – jadi, sehingga akan mencari bantuan media atau operasi untuk mengatasinya.
Derajat kepeduliannya dapat meningkat maupun menyusut, namun gangguan ini
biasanya bersifat kronik bila tidak diobati.
 Gangguan nyeri
Nyeri pada gangguan nyeri umumnya muncul tiba – tiba dan derajat
keparahannya meningkat dalam beberapa minggu atau bulan. Prognosis bervariasi,
namun biasanya menjadi kronik, menimbulkan penderitaan dan ketidakberdayaan yang
parah. Apabila faktor psikologis mendominasi gangguan nyeri, nyerinya akan hilang
bila penguat eksternal diobati atau dikurangi. Pasien dengan prognosis yang buruk,
dengan atau tanpa pengobatan, mempunyai masalah yang menerap terutama menjadi
pasif dan tak berdaya. Biasanya pasien terlibat dalam penyalahgunaan zat, dan memiliki
riwayat Panjang nyeri.

Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi
 Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode beberapa tahun dan memburuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan
bermakna dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi penting lain.
 Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada
sembarang waktu selama perjalanan gangguan :
1. Empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat
tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi,
anggota gerak, dada, rectum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau
selama miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal : riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal
selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan,
diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual : riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif
selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi,
menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
kehamilan)
4. Satu gejala pseudoneurologis : riwayat sekurangnya satu gejala atau deficit yang
mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala
konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau
kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia, retensi
urin, halunisasi, hilangnya sensari nyeri, pandangan ganga, kebutaan, ketulian,
kejang ; gejala disosiatif seperti amnesia ; atau hilangnya kesadaran selain
pingsan)
 Salah satu (1) atau (2) :
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek
langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat atau alcohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
 Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat – buat (seperti gangguan buatan
atau pura – pura)

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi


 Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunteer atau
sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.
 Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena awal
atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stressor lain.
 Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat – buat (Seperti pada
gangguan buatan atau berpura – pura)
 Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan
sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suati zat, atau sebagai
perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural
 Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan
pemeriksaan medis.
 Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi semata
– mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan dengan
lebih baik oleh gangguan atau defisit :
o Dengan gejala atau defisit motorik
o Dengan gejala atau defisit sensorik
o Dengan kejang atau konvulsi
o Dengan gambaran campuran

Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis


 Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita suatu penyakit
serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala – gejala tubuh
 Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan
penentraman
 Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan
delusional, tipe somatik) dan tidak terbatas pada kekhawatiran tentang penampilan
(seperti pada gangguan dismorfik tubuh)
 Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
 Lama gangguan sekurangnya 6 bulan
 Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum,
gangguan obsesif kompulsif, gangguan panik, gangguan depresi berat, cemas
perpisahan, atau ganggua somatoform lain.

Sebutkan jika :
Dengan tilikan buruk : jika untuk sebagian besar waktu selama episode berakhir,
orang tidak menyadari bahwa kekhawatirannya tentang menderita penyakit serius
adalah berlebihan atau tidak berasalan.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh


 Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali
tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata.
 Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
 Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa)

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri


 Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dn
cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis
 Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
 Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan,
eksaserbasi atau bertahannya nyeri
 Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat – buat (Seperti pada
gangguan buatan atau berpura – pura)
 Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau
gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria dyspareunia.

Tuliskan seperti berikut:


 Gangguan nyeri berhubungan dengan faktor psikologis :
Faktor psikologis dianggap memiliki peranan besar dalam onset, keparahan,
eksaserbasi, dan bertahannya nyeri.
Sebutkan jika :
- Akut, durasi kurang dari 6 bulan
- Kronik, durasi 6 bulan atau lebih
 Gangguan nyeri berhubungan baik dengan faktor psikologis maupun
kondisi medis umum
Sebutkan jika :
- Akut, durasi kurang dari 6 bulan
- Kronik, durasi 6 bulan atau lebih
Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang tidak digolongkan
 Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)
 Salah satu (1) atau (2) :
1. Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh
kondisi medis umum yang diketauhi atau oleh efek langsung atau suatu zat
(misalnya efek cedera, medikasi, obat atau alcohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan
sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan
menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
 Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya
 Durasi gangguan sekurangnya enam bulan
 Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya
gangguan somatofom, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan,
gangguan tidur, atau gangguan psikotik)
 Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat – buat (Seperti pada gangguan
buatan atau berpura – pura)

Tatalaksana
 Gangguan Somatisasi
Penanganan sebaiknya dengan satu dokter, sebab apabila dengan beberapa
dokter pasien akan mendapat kesempatan lebih banyak mengungkapkan keluhan
somatiknya. Interval pertemuan sebulan sekali. Meskipun pemeriksaan fisik tetap harus
dilakukan untuk setiap keluhan somatik baru, dokter atau terapis harus mendengarkan
keluhan somatik sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medik.
Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan
pengeluaran dana perawatan kesehatan terutama untuk rawat inap di rumah sakit.
Psikoterapi membantu pasien untuk mengatasi gejala – gejalanya, mengekspresikan
emosi yang mendasari dan mengembangkan strategi alternative untuk mengungkapkan
perasaannya.
Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain (komorbid).
Pengawasan ketat terhadap pemberian dengan gangguan somatisasi cenderung
menggunakan obat – obatan berganti – ganti dan tidak rasional
 Gangguan Konversi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya spontan. Pada pasien dengan
gangguan ini dapat dilakukan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi
perilaku. Bila pasien menolak psikoterapi, maka dokter dapat menyarankan bahwa
psikoterapi yang dilakukan akan difokuskan pada masalah stress dan bagaiman
mengatasinya.
Hypnosis, anticemas dan terapi relaksasi sangat efektif dalam beberapa kasus.
Pemeberian amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh
riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa traumatic.
Pendektan psikodinamik misalnya psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan,
menunjtun pasien memahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala pada gangguan
kenversi. Psikoterapi jangka pendek juga dapat digunakan. Semakin lama pasien
menghayati peran sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga pengobatan akan
semakin sulit.
 Hipokondriasis
Pasien hipokondriasis biasanya menolak terpai psikiatrik. Beberapa bersedia
menerima terapi pskiatri apabila dilakukan pada setting medis dan dengan focus
menurunkan stress dan edukasi untuk menghadapi penyakit kronik. Psikoterapi
kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena memberikan dukungan social
dan interaksi social sehingga menurunkan kecemasan. Bentuk psikoterapi lain yang
dapat bermanfaat adalah psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi perilaku,
terapi kognitif dan hypnosis.
Pemeriksaan fisik terjadwal yang teratur membantu menenangkan pasien,
bahwa dokternya tak meninggalkannya dan keluhannya ditangani secara serius. Namun
prosedur diagnostic dan terapi invasive dilakukan hanya bila ada bukti obyektif untuk
dilakukan tindakan tersebut.
Farmakoterapi diberikan pada pasien hipokondriasis yang berkormobiditas
dengan gangguan lain seperti gangguan cemas dan gangguan depresi. Atau apabila
hipokondriasis merupakan kondisi sekunder terhadap gangguan mental primer harus
diatasi. Apabila hiopokondriasis merupakan reaksi situasional sesaat, maka pasien
harus dibanti untuk mengatasi stress tanpa memperkuat perilaku sakitnya dan
pemanfaatan peran sakitnya sebagai solusi terhadap masalahnya
 Body Dysmorphic Disorder
Pengobatan pasien dengan body dysmorphic disorder dengan prosedur medika
pembedahan, dermatologis, kedokteran gigi dan lainnya, biasanya tidak berhasil
mengatasi keluhannya. Obat – obatan yang bekerja pada serotonin misalnya
klomipramin dan fluoksetin dapat mengurangi gejala yang dikeluhkan pasien minimal
50%. Pemberian antidepresan trisiklik, penghambat monoaminoksidase dan pimozide
bermanfaat pada kasus -kasus individual.
Apabila terdapat gangguan mental lain yang menyertai, seperti gangguan
depresi atau cemas, maka harus diatasi dengan pemberian farmakoterapi dan
psikoterapi yang memadai. Tidak diketauhi sampai kapan pengobatan hatrus tetap
dilanjutkan setelah gejala body dysmorfik disorder hilang.
 Gangguan nyeri
Pendekatan terapi harus menyertakan rehabilitasi, karena tidak mungkin
mengurangi rasa nyerinya. Sejak awal pengobatan terapis sudah harus mendiskusikan
tentang faktor sangat penting sebagai penyebab dan konsekuensi dari nyeri fisik
maupun psikogenik. Jelaskan pula bagaimana berbagai sirkuit di dalam otak yang
terlibat dengan emosi (misalnya sistem limbik) mempengaruhi jaras nyeri sensorik.
Namun terapis harus memahami bahwa nyeri yang dialami pasien adalah sesuatu yang
nyata.
Farmakoterapi, obat – obatan analgetik tidak membanti pasien. Hati – hati
memberikan obat analgetik, sedative dan anticemas karena selain tak bermanfaat,
cenderung menimbulkan ketergantungan dan disalah gunakan. Antidepresan trisiklik
dan penghambat ambilan serotonin spesifik (SSRI) paling efektif untuk gangguan nyeri.
Keberhasilan SSRI mendukung hipotesis bahwa serotonin mempunyai peran penting
dalam patofisiologi terjadinya gangguan ini. Amfetamin yang mempunyai efek
analgesic dapat bermanfaat pada beberapa pasien, khususnya bila digunakan sebagai
tambahan bersama SSRI, namun dosis harus dipantau.
Psikoterapi, sangat bermanfaat bagi pasien. Langkah awal psikoterapi adalah
membangun aliansi terapeutik dengan pasien empati. Jangan melakukan konfrontasi
dengan pasien, karena nyeri yang dialami pasien nyata meskipun menyadari bahwa hal
itu berasal intrapsikik. Terapi kognitif berguna untuk mengubah pikiran negatif dan
mengembangkan sikap positif.
Daftar Pustaka

1. Buku panduan belajar koas ilmu kedokteran jiwa. Universitas udayana. 2017
2. Buku pedoman belajar ilmu kedokteran jiwa. Unissula. Edisi ke 2. Cetakan ke 2. 2018
3. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ketiga. Cetakan ketiga. FKUI. 2017
4. Elvira, S. D., & Hadisukanto, G. (2010). Gangguan Somatoform. Jakarta: FKUI.
5. Goldberg, R. M. (2007). Practical Guide to the Care of the Psychiatric Patient.
Philadelphia: Elsevier Mosby.
6. Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
7. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2009). Kaplan & Sadock's Komperhensive of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 9th Edition. New York:
Lippincott William&Wilkins.
8. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2010). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis,
Ed 2. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai