disusun oleh :
Adinda Fatmawati
1307038
Ary Rismawanti
1105560
1303575
1306288
Putri Apridana
1300762
1304668
DEPARTEMEN PSIKOLOGI
lainnya
menekankan
pada
menghilangkan
sumber
dari
hipokondriasis
(e.g.
Bach,
2000;
Feranandez,
B. Somatozation Disorder
Gangguan somatisasi (somatization disorder), sebelumnya dikenal
sebagai sindrom Briquet, dicirikan dengan keluhan somatik yang beragam dan
berulang bermula sebelum usia 30 tahun (namun biasanya pada usia remaja),
bertahan paling tidak selama beberapa tahun, dan berakibat antara menuntut
perhatian medis atau mengalami ketidakberdayaan yang berarti dalam
memenuhi peran sosial atau pekerjaan. Hal ini tidak boleh dikacaukan dengan
adanya sejarah penyakit yang sebelumnya memang pernah dialami. Orang
dengan gangguan somatisasi adalah orang yang sangat sering memanfaatkan
pelayanan medis (G. R. Smith, 1994). Tetapi keluhan atau ketidakberdayaan
ini tidak dibuat secara sengaja atau pura-pura.
Perbedaan gangguan somatisasi dan hypochondria tidak terlalu jelas dalam
DSM III-R karena keduanya berhubungan. Perbedaannya adalah, pada
hypochondria muncul setelah 30 tahun dan keluhan hyponchondria tidak
2) Dua
gejala
gastrointestinal:
riwayat
sekurangnya
dua
gejala
C. Hypochondria
Bagi orang Yunani, hupocondria adalah daerah di bawah tulang iga, dan
organ-organ yang ada di wilayah ini memengaruhi keadaan mental. Pada
hipokondria, kecemasan beratnya difokuskan pada kemungkinan mendapatkan
penyakit serius. Ancaman itu terasa begitu nyata sehingga usaha dokter untuk
meyakinkan pasien tampaknya tidak dapat membantu. Hipokondria adalah
gangguan somatoform yang melibatkan kecemasan berat seseorang karena
adanya keyakinan bahwa dirinya sedang mengalami proses penyakit tanpa
adanya dasar fisik yang jelas.
Ciri pokok hipokondriasis adalah ketakutan bahwa gejala fisik seseorang
mengacu pada penyakit yang serius, seperti kanker atau penyakit jantung.
Ketakutan terus berlanjut meskipun medis memberikan jaminan bahwa
ketakutan tersebut tidak beralasan (lihat Tabel 7.6). Hipokondriasis diyakini
mempengaruhi sekitar 1% sampai 5% dari populasi umum dan sekitar 5% dari
pasien yang mencari perawatan medis (APA, 2000; Barksy & Ahern, 2004).
Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar memalsukan gejala fisik
mereka. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik, sering kali
melibatkan sistem pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan nyeri.
Orang dengan hipokondriasis menjadi sangat sensitif terhadap perubahan
ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit perubahan alam detak jantung dan
sedikit sakit serta nyeri (Barsky, dkk., 2001). Padahal kecemasan akan simtom
fisik dapa menimbulkan sensasi fisik tersendirimisalnya, keringat
kesehatan, dan mengalami trauma masa kecil, seperti pelecehan seksual atau
kekerasan fisik (Barsky et al., 1994). Kebanyakan orang yang memenuhi
kriteria diagnostik untuk hypokondriasis terus menunjukkan bukti gangguan
ketika diwawancarai kembali 5 tahun kemudian (Barsky et al., 1998).
Kebanyakan juga memiliki gangguan psikologis lainnya, terutama depresi dan
gangguan kecemasan yang besar (Barsky, Wyshak, & Klerman, 1992;. Noyes
et al, 1993).
Pengetahuan
tentang faktor
somatoform, termasuk
hipokondria, cukup
dengan
banyak gangguan lainnya. Namun ada dua faktor yang dapat menyebabkan
seseorang menderita gangguan hipokondria diantaranya faktor biologis dan
faktor psikososial.
a. Faktor biologis
Ditemukan adanya faktor genetik dalam transmisi gangguan somatisasi
serta adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di
lobus frontalis dan hemisfer nondominan. Selain itu diduga terdapat regulasi
abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan beberapa gejala yang
ditemukan
pada
gangguan
somatisasi,
yang
bisa
berkaitan
dengan
hipokondria.
b. Faktor Psikososial
Rejected children
untuk mengalami
ini tidak
dapat
D. Dysmorphic Disorder
Orang dengan gangguan dismorfik tubuh (body dismorphic disorder/BDD)
terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam
hal penampilan mereka (APA, 2000). Mereka dapat menghabiskan waktu
berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil
tindakan yang ekstrem untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang
dipersepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan.
Lainnya dapat membuang setiap cermin dari rumah mereka agar tidak
diingatkan akan cacat yang mencolok dari penampilan mereka. Orang dengan
gangguan dismorfik dapat dipercaya bahwa orang lain memandang diri
mereka jelek atau berubah bentuk menjadi rusak dan bahwa penampilan fisik
mereka yang tidak menarik mendorong orang lain untuk berpikir negatif
tentang karakter atau harga diri mereka sebagai seorang manusia (Rosen,
1996).
Wanita cenderung fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki,
sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka
bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu
banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya
dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia
social, gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996
dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Penanganan yang paling terkenal untuk gangguan pada inii adalah dengan
menggunakan restrukturasi kognitif yang terdiri dari terapi kognitif behavioral
(CBT) dan terapi emotif rasional (RET). Terapi kognitif ini lebih mengacu
pada pikiran, asumsi dan kepercayaan dengan tujuan memfasilitasi individu
belajar mengenali dan mengubah kesalahan, mengubah pikiran irasional
muncul
bila
mereka
sungguh-sungguh
mengalaminya.
Simtom yang muncul tidak cocok dengan diagnosis medis
Disfungsi muncul tidak tetap, misalnya penderita buta tidak
ditemukan tersandung orang atau barang. Atau otot yang
lumpuh hanya untuk aktivitas tertentu saja.
DAFTAR PUSTAKA
Barlow, D.H & Durand, V, M. (2006). Intisari Psikologi Abnormal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bennet, Paul. (2006). An Introductory Textbook : Abnormal and Clinical
Psychology 2nd ed. USA : McGrawn-Hill.
Carson, R.C., Butcher, J.N. & Mineka, S. (2001)Fundamental of Abnormal
Psychology and Modern Life. [Online]. Tersedia di:
http://www.csun.edu/~hcpsy002/0135128978_ch07.pdf. Diakses 1 Maret 2015
Greene, B., Rathus, S. A & Nevid, J. S. (2003). Psikologi Abnormal.
Jakarta: Erlangga
Rahma, D. (2009). Gangguan tubuh pada remaja dan pencegahan. Jurnal UMM.
Jurnal UMM Abnormal, 1 (3), hlm. 95-98
T.N.(2014). Psikologi Abnormal dan Psikopatologi. Cimahi: UNJANI