Disusun oleh :
2016730113
Dokter Pembimbing:
i
2020
ii
BAB I
PENDAHULUAN
3
2006, h.375). Stone, dkk (2010, h.627) dalam artikel psikiatri memberikan penjelasan
mengenai perkembangan gangguan konversi selanjutnya. DSM- IV menggambarkan
konversi sebagai suatu gejala seperti kelemahan, kejang atau gerakan abnormal yang
tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak juga berpura-pura namun dinilai
terkait dengan faktor psikologis. Namun diagnosis gangguan konversi dianggap
memiliki banyak kelemahan sehingga pada akhirnya gangguan konversi dalam DSM-5
disebut sebagai functional neurological disorder dan termasuk dalam salah satu
gangguan disosiatif.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. GANGGUAN SOMATOFORM
1. Gangguan Somatisasi
5
Etiologi
Belum diketahui. Teori yang ada, teori belajar, terjadi karena individu
belajar untuk mensomatiskan dirinya untuk mengekspresikan keinginan dan kebutuhan
akan perhatian dari keluarga dan orang lain.
Epidemiologi
- Wanita : pria = 10 :1, bermula pada masa remaja atau dewasa muda.
- Rasio tertinggi usia 20- 30 tahun.
- Pasien dengan riwayat keluarga pernah menderita gangguan somatoform
(beresiko 10-20x > besar dibanding yang tidak ada riwayat).
- 4 gejala (G) nyeri : sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan
(misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rectum, selama
menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi).
6
- 2 G gastrointestinal : sekurangnya dua gejala selain nyeri (misalnya mual,
kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap
beberapa jenis makanan).
- Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari
riwayat pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium.`
7
2. Gangguan Somatoform Tak Terperinci
Etiologi
Tidak diketahui.
Epidemiologi
8
3. Gangguan Konversi
Adalah suatu tipe gangguan somatoform yang ditandai oleh kehilangan atau
kendala dalam fungsi fisik, namun tidak ada penyebab organis yang jelas.
Gangguan ini dinamakan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa
gangguan tersebut penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang
direpresikan ke simptom fisik. Simtom-simtom itu tidak dibuat secara sengaja atau
yang disebut malingering.
Simtom fisik biasanya muncul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan.
Tangan seorang tentara dapat menjadi “lumpuh” saat pertempuran yang hebat,
misalnya. Dinamakan gangguan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika
bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi dari energi
seksual atau agresif yang direpresikan ke simtom fisik. Gangguan ini sebelumnya
disebut neurosis histerikal atau hysteria dan memainkan peranan penting dalam
perkembangan psikoanalisis Freud. Menurut DSM, simptom konversi menyerupai
kondisi neurologis atau medis umum yang melibatkan masalah dengan fungsi
motorik (gerakan) yang volunter atau fungsi sensoris. Beberapa pola simtom yang
klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsi, masalah dalam koordinasi, kebutaan, dan
tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat di depan mata), kehilangan
indra pendengaran atau penciuman, atau kehilangan rasa pada anggota badan
(anastesi). Simtom-simtom tubuh yang ditemukan dalam gangguan konversi sering
kali tidak sesuai dengan kondisi medis yang mengacu. Misalnya konversi epilepsi,
tidak seperti pasien epilepsi yang sebenarnya, dapat mempertahankan kontrol
pembuangan saat kambuh; konversi kebutaan, orang yang penglihatannya
seharusnya mengalami hendaknya dapat berjalan ke kantor dokter tanpa membentur
mebel; orang yang menjadi “tidak mampu” berdiri atau berjalan di lain pihak dapat
melakukan gerakan kaki lainnya secara normal.
Etiologi
9
Teori behavioral, Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring,2004),
terjadi karena individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan.
Individu berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai
bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan
motorik atau sensorik akanbereaksi.
Epidemiologi
Terjadi pada 11-500 per 100.000 penduduk. Biasanya terjadi pada usia anak-
anak (akhir) hingga dewasa (awal). Jarang terjadi sebelum usia 10 tahun dan setelah 35
tahun.
- Paling tidak terdapat satu simtom atau defisit yang melibatkan fungsi motorik
volunternya atau fungsi sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik.
- Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebutkarena onset atau
kambuhnya simtom fisik terkait dengan munculnya stresor psikososial atau situasi
konflik.
- Orang tersebut tidak dengan sengaja menciptakan simtom fisik tersebut atau
berpura-pura memilikinya dengan tujuan tertentu.
- Simptom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau polarespon, juga
tidak dapat dijtelaskan dengan gangguan fisik apapun melalui landasan pengujian
yang tepat.
- Simptom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaknya dalam satu atau
lebih area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin
perhatian medis.
- Simtom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah pada fungsi seksual, juga
tidak dapat disebabkan oleh gangguan mental lain. Akan tetapi, beberapa orang
dengan gangguan konversi menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutkan
terhadap simtom-simtom yang muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la
belle indifference (“ketidakpedulian yang indah”).
Prognosis
Baik jika, onset awal, ada faktor presipitasi yang jelas, intelegensia masih baik,
segera dilakukan treatment. Prognosis buruk jika terjadi hal sebaliknya.
10
Terapi/Pendekatan Penanganan
- Penanganan Biomedis
- Terapi Kognitif-Behavioral
1. Gangguan Konversi
Tiffany, seorang banker berusia 32 tahun, berfikir bahwa ia telah mengalami
stres daripada yang dapat ditangani oleh satu orang. Ia berpikir jika dirinya
adalah orang yang selalu mengalami hal-hal yang aneh dan ia biasanya
menciptakan situasi tersebut dari yang dapat diterapkan. Pada suatu malam ia
mengendarai mobil dijalanan yang penuh dengan salju, kemudian secara tidak
sengaja ia menabrak seorang pria tua yang sedang berjalan disisi jalan yang
11
mengakibatkan cedera yang fatal. Pada bulan-bulan berikutnya, ia terjebak pada
proses hukum yang memakan waktu, sehingga perhatiannya teralihkan dari
pekerjaannya dan menyebabkan stress emosional yang besar dalam
kehidupannya. Pada suatu senin pagi, ia mendapati dirinya berjalan terguyung-
guyung disekitar kamar tidurnya, tidak dapat melihat apapun selain bayangan
benda-benda yang ada dikamarnya. Pada awalnya ia mengira ia hanya
mengalami kesulitan untuk bangun dari tidurnya. Setelah pagi berjalan, ia
kemudian menyadari jika ia telah kehilangan penglihatannya. Ia menunggu dua
hari sebelum berkonsultasi dengan doctor. Pada saat ia pergi menuju pertemuan
medisnya, ia memiliki keanehan karena kurangnya perhatian terhadap yang
tampaknya seperti kondisi fisik yang serius.
Karakteristik Diagnostik:
1. Diagnosis ini diberikan pada orang dengan satu symptom atau lebih atau
gangguan yang dengan sendirinya mempengaruhi fungsi sensoris dan
motoric yang menandakan individu berada dalam kondisi neurologis atau
kondisi medis umum.
2. Factor psikologis dinilai berhubungan dengan kondisi tersebut yang dimulai
atau diperparah akibat adanya konflik atau stressor.
3. Kondisi tersebut tidak secara sengaja diciptakan atau dipalsukan.
4. Setelah penyelidikan yang memadai, kondisi klien tidak dapat diatribusikan
dengan kondisi medis pada umumnya, akibat penggunaan obat-obatan
terlarang, atau secara kultur memberikan sanksi kepada perilaku atau
pengalaman tersebut.
5. Kondisi tersebut menyebabkan stress dan gangguan yang signifikan atau
membutuhkan evaluasi medis.
6. Kondisi tersebut tidak terbatas pada rasa sakit atau disfungsi seksual atau
tidak dapat dijelaskan dengan gangguan mental lainnya.
7. Tipe-tipe kondisi mencakup:
(1.) Gangguan atau symptom motoric; (2.) Gangguan atau symptom
sensoris; (3.) Kejang atau sawan, dan ; (4.) Symptom atau gangguan
campuran.
2. Gangguan Somatisasi
12
Helen, seorang wanita berusia 29 tahun, sedang mencari treatmen karena dokter
mengatakan bahwa tidak ada lagi yang dapat ia lakukan untuk Helen. Ketika
ditanyakan mengenai permasalahan kesehatannya, Helen menceritakan
serangkaian keluhan, termasuk seringnya ia tidak dapat mengingat peristiwa
yang telah terjadi padanya dan pada waktu yang lain penglihatannya menjadi
kabur, sehingga ia tidak dapat membaca huruf pada halaman cetak. Helen sangat
suka membaca dan melakukan pekerjaan lain disekitar rumahnya, tetapi ia
merasa mudah lelah dan susah bernafas karena alas an yang tidak jelas. Ia sering
kali tidak dapat memakan makanan yang telah ia siapkan karena ia akan merasa
mual dan ingin muntah dengan makanan apapun, bahkan hanya dengan
mencicipi bumbunya. Menurut suami Helen, Helen telah kehilangan minat
untuk melakukan hubungan intim dan mereka hanya melakukan hubungan
seksual sebanyak satu kali dalam waktu beberapa bulan sekali, biasanya atas
desakan suami Helen. Helen mengeluhkan kram yang sangat menyakitkan saat
periode menstruasi dan pada saat yang lain, ia merasa bahwa “dalam dirinya
merasa terbakar”. Karena sakit yang dirasakan dipunggung, kaki dan dadanya,
Helen ingin tetap berada ditempat tidur sepanjang hari. Helen tinggal disebuah
rumah besar bergaya victoria yang jarang sekali ia kelilingi “karena saya harus
berbaring pada saat kaki saya sakit”.
Karakteristik Diagnostik:
1. Diagnosis ini ditujukan kepada orang yang bahkan belum mencapai usia 30
tahun yang telah memiliki banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun,
sehingga mereka mencari treatmen atau mengalami pengalaman yang tidak
menyenangkan dalam kehidupan social, pekerjaan, dan area fungsi penting
lainnya.
2. Individu ini mengalami symptom dari setiap 4 kategori berikut:
(1.) Sakit : memiliki setidaknya 4 simptom riwayat sakit (seperti pada
kepala, perut, punggung, sendi, dada, rectum).
(2.) Gastrointestinal : memiliki riwayat setidaknya 2 simptom
gastrointestinal ( seperti mual, kembung, muntah-muntah, diare)
(3.) Seksual : memiliki riwayat setidaknya 1 simtom seksual atau reproduksi
selain dari rasa sakit (seperti disfungsi ereksi atau ejakulasi, menstruasi
yang tidak teratur, pendarahan saat menstruasi).
13
(4.) Pseudoneurological : memiliki riwayat setidaknya satu simtom atau
gangguan yang menandakan adanya kondisi neurologis yang tidak
terbatas pada rasa sakit (seperti simtom konversi, misalnya gangguan
koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan pada daerah
tertentu, kesulitan menelan, halusinasi, kehilangan indra peraba atau
sensasi terhadap rasa sakit, simtom disosiatif)
3. Salah satu dari (1) simtom tidak dapat diatribusikan seluruhnya dengan
kondisi medis tertentu atau karena penggunaan obat-obatan tertentu atau (2)
jika terdapat kondisi medis tertentu, keluhan, atau gangguan fisik merupakan
hal yang dapat dipergunakan untuk dapat memperkirakan apa yang akan
terjadi.
4. Simtom-simtom tidak ditampilkan dengan sengaja.
Teori Belajar : Berfokus pada halhal yang secara langsung menguatkan simtom
dan peran sekundernya dalam membantu individu menghindari atau melarikan diri dari
situasi tidak nyaman atau situasi yang membangkitkan kecemasan. Orang yang
menerima penguatan semacam ini saat sakit dimasa lalu cenderung belajar untuk
mengadopsi peran sakit bahkan saat ia sedang tidak sakit(kendell,1983)
Gangguan somatoform dapat dijelaskan dengan cara yang lebih baik sebagai
gangguan yang dipengaruhi oleh factor biologis, pengalaman belajar, factor emosional,
dan kesalahan kognitif. Menurut pendekatan integral, peristiwa pada masa kanak-kanak
dapat menentukan perkembangan simtom pada masa yang akan datang. Sebagian besar
pendekatan kontemporer dalam menangani gangguan somatoform adalah dengan
menggali kebutuhan klien dalam memerankan peran sakit, mengevaluasi kontribusi
14
stress dalam kehidupan seseorang, dan menyediakan klien teknik kognitif-perilaku
untuk mengendalikan simtom. Teknik kognitif perilaku memberikan treatmen yang
paling efektif bagi individu dengan gangguan somatoform. Suatu intervensi yang
menarik muncul dari beberapa penelitian terhadap tretmen. Jika klinisi yang sedang
melakukan penanganan berkomunikasi dengan dokter utama yang sedang merawat
klien mengenai menejemen simtom, maka strategi ini dapat membawa keuntungan bagi
klien. Bahkan, surat dari klinisi mental dapat memberikan pengarahan untuk menuntun
dokter dalam membantu menagemen perilaku dari simtom yang dialami klien
(Kroenke, 2007). Dan dimungkinkan obat-obatan akan ikut digunakan dalam rencana
treatmen (antidepresi memberi peran penting dalam treatmen). Tanpa menimbulkan
ketergantungan dengan teknik spesifik yang digunakan oleh terapis, mengembangkan
hubungan yang penuh dengan dukungan dan saling percaya dengan klien yang memiliki
gangguan somatoform sangatlah penting.
15
DAFTAR PUSTAKA
Nevid JS, Rathus SA dan Beverly Greene, 2003, Psikologi Abnormal: Edisi Kelima
Kusua W. Trans, Sypnosis of Psychiatry. By Kaplan HI. Sadock BJ. Grebb JA, Jakarta.
Halgin RP, Whitbourne SK. 2009. Psikologi Abnormal: Perspektif Klinis pada
16