Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

GANGGUAN SOMATISASI DAN GANGGUAN KONVERSI

Disusun oleh :

Alvionita Citra Mayrani

2016730113

Dokter Pembimbing:

dr. Rusdi Effendi, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK KESEHATAN JIWA

RUMAH SAKIT JIWA ISLAM KLENDER

PERIODE 20 APRIL - 26 APRIL 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

i
2020

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh
keluhan fisik atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan secara organis atau tidak
ditemukan kerusakan organ (Nevid,dkk, 2005, h. 215). Gangguan somatoform yang
dimaksudkan disini tidak termasuk gangguan factitious. Gangguan somatoform terbagi
menjadi empat tipe yaitu gangguan dismorfik, gangguan hipokondrik, gangguan
somatisasi dan gangguan konversi, dimana pada referat ini difokuskan pada ganguan
somatisasi dan gangguan konversi. Somatisasi adalah gangguan somatoform yang
ditandai oleh gejala somatic yang berulang tanpa diketemukan dasar organic yang
jelas, yang menyebabkan seseorang sering berkonsultasi ke dokter (American
Psychiatric Association, 2000). Menurut teori Psikoanalisa klasik (Van der Kolk dkk.,
1996) gangguan somatisasi ini merupakan manifestasi dari kecemasan yang bersifat
neurotik. Selanjutnya, Gangguan konversi pada mulanya dikenal sebagai gangguan
hysteria. Sejarah gangguan konversi tercatat pada tahun 1500-an SM dalam buku
karangan Hippokrates yang berjudul De Virginibus dikatakan bahwa gangguan
somatoform terbatas pada wanita. Hippokrates dan orang-orang Yunani pada
umumnya beranggapan bahwa gangguan-gangguan tersebut diakibatkan karena rahim
yang tidak terpuaskan secara seksual dan menganjurkan perkawinan sebagai
perawatan untuk mengatasi gangguan tersebut (Semiun, 2006, h.374). Tahun 1905,
Freud dan Breur mempublikasikan buku yang berjudul Studies on Hysteria dengan
kasus fenomenal nya dengan seorang wanita yang bernama Anna’ O. Studi mengenai
gangguan konversi sangat kental dengan tradisi psikoanalisis di mana dikatakan bahwa
gejala fisik yang dirasakan sebagai upaya untuk menyelamatkan, berkomunikasi,
konflik psikis yang tidak disadari dan tak tertahankan kemudian mengkonversi dari
gejala psikis menjadi gejala fisik (Allin, dkk, 2005, h.206). Tahun 1980, dalam
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi III yang direvisi (DSM-III R)
istilah hysteria dihilangkan untuk menghilangkan semua konotasi yang dihubungkan
dengan hysteria, seperti ide bahwa hysteria disebabkan oleh konflik seksual (Semiun,

3
2006, h.375). Stone, dkk (2010, h.627) dalam artikel psikiatri memberikan penjelasan
mengenai perkembangan gangguan konversi selanjutnya. DSM- IV menggambarkan
konversi sebagai suatu gejala seperti kelemahan, kejang atau gerakan abnormal yang
tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak juga berpura-pura namun dinilai
terkait dengan faktor psikologis. Namun diagnosis gangguan konversi dianggap
memiliki banyak kelemahan sehingga pada akhirnya gangguan konversi dalam DSM-5
disebut sebagai functional neurological disorder dan termasuk dalam salah satu
gangguan disosiatif.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. GANGGUAN SOMATOFORM

Dalam psikologi dikenal istilah Somatoform Disorder (gangguan somatoform)


yang di ambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan
somatoform, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik,
namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan penyebabnya. Gangguan
somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis.
Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinis bahwa faktor
psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.
Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau
gangguan buatan.

Gangguan somatoform adalah suatu sistem kelompok gangguan ditandai oleh


keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit
kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005). Gejala dan keluhan somantik adalah cukup serius
untuk menyebabkan penderita emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan
pada kemampuan pasien untuk berfungsi didalam peranan sosial atau pekerjaan.

Macam-macam gangguan Somatoform yaitu:

1. Gangguan Somatisasi

Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik berbagai keluhan


atau gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara akurat (tidak memenuhi
syarat) dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium.
Gangguan ini bersifat kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum
usia 30 tahun) dan berhubungan dengan stres psikologis yang signifikan, hendaknya
dalam kehidupan sosial dan pekerjaan serta upaya mencari pertolongan medis yang
berlebihan.

5
Etiologi

Belum diketahui. Teori yang ada, teori belajar, terjadi karena individu
belajar untuk mensomatiskan dirinya untuk mengekspresikan keinginan dan kebutuhan
akan perhatian dari keluarga dan orang lain.

Epidemiologi

- Wanita : pria = 10 :1, bermula pada masa remaja atau dewasa muda.
- Rasio tertinggi usia 20- 30 tahun.
- Pasien dengan riwayat keluarga pernah menderita gangguan somatoform
(beresiko 10-20x > besar dibanding yang tidak ada riwayat).

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi

Untuk gangguan somatisasi, diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut :

- Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat


dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2
(dua) tahun.
- Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
- Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga,
yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya,
atau:
- Keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun, terjadi selama periode beberapa
tahun.

Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan,

- 4 gejala (G) nyeri : sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan
(misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rectum, selama
menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi).

6
- 2 G gastrointestinal : sekurangnya dua gejala selain nyeri (misalnya mual,
kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap
beberapa jenis makanan).

- 1 G seksual : sekurangnya satu gejala selain dari nyeri (misalnya indiferensi


seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, pendarahan
menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).

- 1 G pseudoneurologis : sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan


pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gangguan koordinasi
atau keseimbangan, paralisis, sulit menelan, retensi urin, halusinasi, hilangnya
sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala
disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).

Salah satu (1) atau (2) :

- Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat


dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek
langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol).

- Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari
riwayat pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium.`

- Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat iseperti gangguan


buatan atau pura-pura)

7
2. Gangguan Somatoform Tak Terperinci

Etiologi

Tidak diketahui.

Epidemiologi

Bervariasi, di USA 10%-12% terjadi pada usia dewasa, dan 20 % menyerang


wanita.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang tidak Digolongkan:

- Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan tetapi


gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak
terpenuhi.
- Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas, akan
tetapi tidak boleh ada penyeba fisik dari keluhan-keluhannya, atau :
- Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan,
keluhan gastrointestinal atau saluran kemih)

Salah satu (1) atau (2),

- Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh


kondisi medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dari suatu zat
(misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
- Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau
gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang
diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium.
- Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. Durasi gangguan
sekurangnya enam bulan.
- Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain
(misalnya gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan
kecemasan, gangguan tidur, atau gangguan psikotik).
- Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura)

8
3. Gangguan Konversi
Adalah suatu tipe gangguan somatoform yang ditandai oleh kehilangan atau
kendala dalam fungsi fisik, namun tidak ada penyebab organis yang jelas.
Gangguan ini dinamakan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa
gangguan tersebut penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang
direpresikan ke simptom fisik. Simtom-simtom itu tidak dibuat secara sengaja atau
yang disebut malingering.
Simtom fisik biasanya muncul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan.
Tangan seorang tentara dapat menjadi “lumpuh” saat pertempuran yang hebat,
misalnya. Dinamakan gangguan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika
bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi dari energi
seksual atau agresif yang direpresikan ke simtom fisik. Gangguan ini sebelumnya
disebut neurosis histerikal  atau hysteria dan memainkan peranan penting dalam
perkembangan psikoanalisis Freud. Menurut DSM, simptom konversi menyerupai
kondisi neurologis atau medis umum yang melibatkan masalah dengan fungsi
motorik (gerakan) yang volunter atau fungsi sensoris. Beberapa pola simtom yang
klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsi, masalah dalam koordinasi, kebutaan, dan
tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat di depan mata), kehilangan
indra pendengaran atau penciuman, atau kehilangan rasa pada anggota badan
(anastesi). Simtom-simtom tubuh yang ditemukan dalam gangguan konversi sering
kali tidak sesuai dengan kondisi medis yang mengacu. Misalnya konversi epilepsi,
tidak seperti pasien epilepsi yang sebenarnya, dapat mempertahankan kontrol
pembuangan saat kambuh; konversi kebutaan, orang yang penglihatannya
seharusnya mengalami hendaknya dapat berjalan ke kantor dokter tanpa membentur
mebel; orang yang menjadi “tidak mampu” berdiri atau berjalan di lain pihak dapat
melakukan gerakan kaki lainnya secara normal.

Etiologi

 Teori psikoanalisis, (1895/1982), Breuer dan freud : disebabkan ketika


seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang
besar, namun afeknya tidak dapatdiekspresikan dan ingatan tentang peristiwa
tersebut dihilangkan dari kesadaran.

9
 Teori behavioral, Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring,2004),
terjadi karena individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan.
Individu berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai
bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan
motorik atau sensorik akanbereaksi.

Epidemiologi

Terjadi pada 11-500 per 100.000 penduduk. Biasanya terjadi pada usia anak-
anak (akhir) hingga dewasa (awal). Jarang terjadi sebelum usia 10 tahun dan setelah 35
tahun.

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi.

- Paling tidak terdapat satu simtom atau defisit yang melibatkan fungsi motorik
volunternya atau fungsi sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik.
- Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebutkarena onset atau
kambuhnya simtom fisik terkait dengan munculnya stresor psikososial atau situasi
konflik.
- Orang tersebut tidak dengan sengaja menciptakan simtom fisik tersebut atau
berpura-pura memilikinya dengan tujuan tertentu.
- Simptom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau polarespon, juga
tidak dapat dijtelaskan dengan gangguan fisik apapun melalui landasan pengujian
yang tepat.
- Simptom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaknya dalam satu atau
lebih area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin
perhatian medis.
- Simtom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah pada fungsi seksual, juga
tidak dapat disebabkan oleh gangguan mental lain. Akan tetapi, beberapa orang
dengan gangguan konversi menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutkan
terhadap simtom-simtom yang muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la
belle indifference (“ketidakpedulian yang indah”).

Prognosis

Baik jika, onset awal, ada faktor presipitasi yang jelas, intelegensia masih baik,
segera dilakukan treatment. Prognosis buruk jika terjadi hal sebaliknya.
10
Terapi/Pendekatan Penanganan

Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menangani gangguan somatoform adalah


sebagai berikut:

- Penanganan Biomedis

Pada penanganan biomedis dapat digunakan antidepresan yang terbatas dalam


menangani hipokondriasis yang biasanya disertai dengan depresi.

- Terapi Kognitif-Behavioral

Terapi ini dapat berfokus pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement


sekunder(memperbaiki perkembangan keterampilan coping untukmengatasi stres, dan
memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau
penampilan seseorang.

Terapi ini berusaha untuk mengintegrasikan teknik-teknik terapeutik yang berfokus


untuk membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak hanya pada perilaku
nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan dan sikap yang mendasarinya. Terapi
kognitif-behavioural, untuk mengurangi pemikiran atau sifat pesimis pada pasien.
Teknik behavioral, terapis bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan
somatoform, membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan
dengan cara yanglebih adaptif. Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang
terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dengan cara meyemangati mereka untuk
mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas.

Contoh-contoh Kasus dan Karakteristik Diagnostiknya:

1. Gangguan Konversi
Tiffany, seorang banker berusia 32 tahun, berfikir bahwa ia telah mengalami
stres daripada yang dapat ditangani oleh satu orang. Ia berpikir jika dirinya
adalah orang yang selalu mengalami hal-hal yang aneh dan ia biasanya
menciptakan situasi tersebut dari yang dapat diterapkan. Pada suatu malam ia
mengendarai mobil dijalanan yang penuh dengan salju, kemudian secara tidak
sengaja ia menabrak seorang pria tua yang sedang berjalan disisi jalan yang

11
mengakibatkan cedera yang fatal. Pada bulan-bulan berikutnya, ia terjebak pada
proses hukum yang memakan waktu, sehingga perhatiannya teralihkan dari
pekerjaannya dan menyebabkan stress emosional yang besar dalam
kehidupannya. Pada suatu senin pagi, ia mendapati dirinya berjalan terguyung-
guyung disekitar kamar tidurnya, tidak dapat melihat apapun selain bayangan
benda-benda yang ada dikamarnya. Pada awalnya ia mengira ia hanya
mengalami kesulitan untuk bangun dari tidurnya. Setelah pagi berjalan, ia
kemudian menyadari jika ia telah kehilangan penglihatannya. Ia menunggu dua
hari sebelum berkonsultasi dengan doctor. Pada saat ia pergi menuju pertemuan
medisnya, ia memiliki keanehan karena kurangnya perhatian terhadap yang
tampaknya seperti kondisi fisik yang serius.

Karakteristik Diagnostik:
1. Diagnosis ini diberikan pada orang dengan satu symptom atau lebih atau
gangguan yang dengan sendirinya mempengaruhi fungsi sensoris dan
motoric yang menandakan individu berada dalam kondisi neurologis atau
kondisi medis umum.
2. Factor psikologis dinilai berhubungan dengan kondisi tersebut yang dimulai
atau diperparah akibat adanya konflik atau stressor.
3. Kondisi tersebut tidak secara sengaja diciptakan atau dipalsukan.
4. Setelah penyelidikan yang memadai, kondisi klien tidak dapat diatribusikan
dengan kondisi medis pada umumnya, akibat penggunaan obat-obatan
terlarang, atau secara kultur memberikan sanksi kepada perilaku atau
pengalaman tersebut.
5. Kondisi tersebut menyebabkan stress dan gangguan yang signifikan atau
membutuhkan evaluasi medis.
6. Kondisi tersebut tidak terbatas pada rasa sakit atau disfungsi seksual atau
tidak dapat dijelaskan dengan gangguan mental lainnya.
7. Tipe-tipe kondisi mencakup:
(1.) Gangguan atau symptom motoric; (2.) Gangguan atau symptom
sensoris; (3.) Kejang atau sawan, dan ; (4.) Symptom atau gangguan
campuran.

2. Gangguan Somatisasi
12
Helen, seorang wanita berusia 29 tahun, sedang mencari treatmen karena dokter
mengatakan bahwa tidak ada lagi yang dapat ia lakukan untuk Helen. Ketika
ditanyakan mengenai permasalahan kesehatannya, Helen menceritakan
serangkaian keluhan, termasuk seringnya ia tidak dapat mengingat peristiwa
yang telah terjadi padanya dan pada waktu yang lain penglihatannya menjadi
kabur, sehingga ia tidak dapat membaca huruf pada halaman cetak. Helen sangat
suka membaca dan melakukan pekerjaan lain disekitar rumahnya, tetapi ia
merasa mudah lelah dan susah bernafas karena alas an yang tidak jelas. Ia sering
kali tidak dapat memakan makanan yang telah ia siapkan karena ia akan merasa
mual dan ingin muntah dengan makanan apapun, bahkan hanya dengan
mencicipi bumbunya. Menurut suami Helen, Helen telah kehilangan minat
untuk melakukan hubungan intim dan mereka hanya melakukan hubungan
seksual sebanyak satu kali dalam waktu beberapa bulan sekali, biasanya atas
desakan suami Helen. Helen mengeluhkan kram yang sangat menyakitkan saat
periode menstruasi dan pada saat yang lain, ia merasa bahwa “dalam dirinya
merasa terbakar”. Karena sakit yang dirasakan dipunggung, kaki dan dadanya,
Helen ingin tetap berada ditempat tidur sepanjang hari. Helen tinggal disebuah
rumah besar bergaya victoria yang jarang sekali ia kelilingi “karena saya harus
berbaring pada saat kaki saya sakit”.
Karakteristik Diagnostik:
1. Diagnosis ini ditujukan kepada orang yang bahkan belum mencapai usia 30
tahun yang telah memiliki banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun,
sehingga mereka mencari treatmen atau mengalami pengalaman yang tidak
menyenangkan dalam kehidupan social, pekerjaan, dan area fungsi penting
lainnya.
2. Individu ini mengalami symptom dari setiap 4 kategori berikut:
(1.) Sakit : memiliki setidaknya 4 simptom riwayat sakit (seperti pada
kepala, perut, punggung, sendi, dada, rectum).
(2.) Gastrointestinal : memiliki riwayat setidaknya 2 simptom
gastrointestinal ( seperti mual, kembung, muntah-muntah, diare)
(3.) Seksual : memiliki riwayat setidaknya 1 simtom seksual atau reproduksi
selain dari rasa sakit (seperti disfungsi ereksi atau ejakulasi, menstruasi
yang tidak teratur, pendarahan saat menstruasi).

13
(4.) Pseudoneurological : memiliki riwayat setidaknya satu simtom atau
gangguan yang menandakan adanya kondisi neurologis yang tidak
terbatas pada rasa sakit (seperti simtom konversi, misalnya gangguan
koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan pada daerah
tertentu, kesulitan menelan, halusinasi, kehilangan indra peraba atau
sensasi terhadap rasa sakit, simtom disosiatif)
3. Salah satu dari (1) simtom tidak dapat diatribusikan seluruhnya dengan
kondisi medis tertentu atau karena penggunaan obat-obatan tertentu atau (2)
jika terdapat kondisi medis tertentu, keluhan, atau gangguan fisik merupakan
hal yang dapat dipergunakan untuk dapat memperkirakan apa yang akan
terjadi.
4. Simtom-simtom tidak ditampilkan dengan sengaja.

Teori dan Treatment Gangguan Somatoform

Teori Psikodinamika : Untuk memahami apa yang menjadi motivasi seseorang


untuk terlihat sakit, akan sangat membantu untuk menyimak apa yang disebut sebagai
keuntungan primer oleh psikolog dan keuntungan sekunder yang berhubungan dengan
perilaku sakit. Keuntungan primer adalah menghindari tanggung jawab yang
membebani individu karena individu merasa “tidak mampu”. Keuntungan sekunder
adalah simpati dan perhatian yang diterima oleh individu yang sakit dari orang lain.

Teori Belajar : Berfokus pada halhal yang secara langsung menguatkan simtom
dan peran sekundernya dalam membantu individu menghindari atau melarikan diri dari
situasi tidak nyaman atau situasi yang membangkitkan kecemasan. Orang yang
menerima penguatan semacam ini saat sakit dimasa lalu cenderung belajar untuk
mengadopsi peran sakit bahkan saat ia sedang tidak sakit(kendell,1983)

Gangguan somatoform dapat dijelaskan dengan cara yang lebih baik sebagai
gangguan yang dipengaruhi oleh factor biologis, pengalaman belajar, factor emosional,
dan kesalahan kognitif. Menurut pendekatan integral, peristiwa pada masa kanak-kanak
dapat menentukan perkembangan simtom pada masa yang akan datang. Sebagian besar
pendekatan kontemporer dalam menangani gangguan somatoform adalah dengan
menggali kebutuhan klien dalam memerankan peran sakit, mengevaluasi kontribusi

14
stress dalam kehidupan seseorang, dan menyediakan klien teknik kognitif-perilaku
untuk mengendalikan simtom. Teknik kognitif perilaku memberikan treatmen yang
paling efektif bagi individu dengan gangguan somatoform. Suatu intervensi yang
menarik muncul dari beberapa penelitian terhadap tretmen. Jika klinisi yang sedang
melakukan penanganan berkomunikasi dengan dokter utama yang sedang merawat
klien mengenai menejemen simtom, maka strategi ini dapat membawa keuntungan bagi
klien. Bahkan, surat dari klinisi mental dapat memberikan pengarahan untuk menuntun
dokter dalam membantu menagemen perilaku dari simtom yang dialami klien
(Kroenke, 2007). Dan dimungkinkan obat-obatan akan ikut digunakan dalam rencana
treatmen (antidepresi memberi peran penting dalam treatmen). Tanpa menimbulkan
ketergantungan dengan teknik spesifik yang digunakan oleh terapis, mengembangkan
hubungan yang penuh dengan dukungan dan saling percaya dengan klien yang memiliki
gangguan somatoform sangatlah penting.

15
DAFTAR PUSTAKA

Nevid JS, Rathus SA dan Beverly Greene, 2003, Psikologi Abnormal: Edisi Kelima

Jilid I, Penerbit: Erlangga.

Kusua W. Trans, Sypnosis of Psychiatry. By Kaplan HI. Sadock BJ. Grebb JA, Jakarta.

Binarupa Aksara. 1997

Halgin RP, Whitbourne SK. 2009. Psikologi Abnormal: Perspektif Klinis pada

Gangguan Psikologis. Penerbit: Salemba Humanika. Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai