Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

Beberapa orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik,
namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan penyebabnya. Gangguan
somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis.
Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinis bahwa faktor
psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.
Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau
gangguan buatan.
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala
fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan
penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk
menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada
kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu
diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor
psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.
Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau
gangguan buatan (Pardamean E, 2007).
Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik,
dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut
terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan
adanya faktor psikologis atau konflik. Karena gejala tak spesifik dari beberapa sistem
organ dapat terjadi pada penderita anxietas maupun penderita somatoform disorder,
diagnosis anxietas sering disalahdiagnosiskan menjadi somatoform disorder, begitu
pula sebaliknya. Adanya somatoform disorder, tidak menyebabkan diagnosis anxietas
menjadi hilang. Pada DSM-IV ada 4 kategori penting dari somatoform disorder, yaitu
hipokhondriasis, gangguan somatisasi, gangguan konversi dan gangguan nyeri
somatoform (Iskandar Y, 2009). Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku
mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil
membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan
bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut. (PPDGJ III, 1993).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
2.1.1. Somatoform
Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok
gangguan, ditandai dengan keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang
tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005). Pada
gangguan somatoform, orang memiliki simptom fisik yang mengingatkan pada
gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan
sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan
emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam
peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh
pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
Dalam psikologi dikenal istilah Somatoform Disorder (gangguan somatoform)
yang di ambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan
somatoform, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik,
namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan penyebabnya. Gangguan
somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis.
Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinis bahwa faktor
psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.
Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau
gangguan buatan.
Gangguan somatoform adalah suatu sistem kelompok gangguan ditandai oleh
keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit
kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005). Gejala dan keluhan somantik adalah cukup serius
untuk menyebabkan penderita emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan
pada kemampuan pasien untuk berfungsi didalam peranan sosial atau pekerjaan.

2.1.2. Sistem Saraf Otonom


Sistem saraf otonom atau sistem saraf tidak sadar merupakan sistem
saraf yang mengendalikan aktivitas tubuh yang tidak disadari, seperti denyut
jantung, gerak saluran percernaan, dan eksresi enzim. Sistem saraf otonom
merupakan saraf motorik dan terdiri dari atas sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis. Kerja saraf otonom dipengaruhi oleh hipotalamus. Bagian
depan dan tengah hipotalamus mengendalikan saraf parasimpatis, sedangkan
bagian belakang dan sampingnya mengendalikana saraf simpatis
Gangguan Sistem Saraf autonom dapat disebabkan oleh beberapa hal,
seperti kelainan genetic, penyakit degeneratif, tumor, lesi mekanik (trauma),
perdarahan, iskemia, gangguan metabolic sistemik (hipoglikemia,
hiperglikemia, uremia, gagal hati, gangguan endokrin) kelainan elektrolit dll.

2.2. Etiologi

Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar


yang mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik
dalam transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya
penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis
dan hemisfer non dominan (Kapita Selekta, 2001). Secara garis besar, faktor-
faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut (Nevid, dkk, 2005):
a. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis
(biasanya pada gangguan somatisasi).
b. Faktor Lingkungan Sosial
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung,
seperti “peran sakit” yang dapat diekspresikan dalam bentuk
gangguan somatoform.
c. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
 Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar
dari situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan
(keuntungan sekunder).
 Adanya perhatian untuk menampilkan “peran sakit”
 Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis
atau gangguan dismorfik tubuh dapat secara sebagian
membebaskan kecemasan yang diasosiasikan dengan
keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatan atau kerusakan
fisik yang dipersepsikan.
d. Faktor Emosi dan Kognitif
Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif,
penyebab ganda yang terlibat adalah sebagai berikut:
 Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simptom fisik sebagai
tanda dari adanya penyakit serius (hipokondriasis).
 Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong
dari impuls-impuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke
dalam symptom fisik (gangguan konversi).
 Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun
mungkin merupakan suatu strategi self-handicaping
(hipokondriasis).

2.3. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala
fisik yang berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah
berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya
bahwa tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya (Kapita Selekta, 2001).
Beberapa orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan,
atau ada yang “menekan di dalam tenggorokan”. Masalah-masalah seperti ini
dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem
saraf otonomik, yang dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala,
sejumlah simptom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti
“kelumpuhan” pada

2.4. Klasifikasi dan Diagnosis


Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi :

F.45.0 gangguan somatisasi


F.45.1 gangguan somatoform tak terperinci
F.45.2 gangguan hipokondriasis
F.45.3 disfungsi otonomik somatoform
F.45.4 gangguan nyeri somatoform menetap
F.45.5 gangguan somatoform lainnya
F.45.6 gangguan somayoform YTT

DSM-IV, ada tujuh kelompok, lima sama dengan klasifikasi awal dari
PPDGJ ditambah dengan gangguan konversi, dan gangguan dismorfik tubuh.
Pada bagian psikiatri, gangguan yang sering ditemukan di klinik adalah
gangguan somatisasi dan hipokondriasis.

2.5. Kriteria diagnostik yang diperlukan :


 Ada gejala bangkitan otonomik seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka
panas, yang sifatnya menetap dan mengganggu
 Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (tidak
khas)
 Preokupasi dengan penderitaan mengenai kemungkinan adanya gangguan
yang serius yang menimpanya, yang tidak terpengaruh oleh hasil
pemeriksaan maupun penjelasan dari dokter
 Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi
dari sistem/organ yang dimaksud
 Kriteria ke 5, ditambahkan :

F.45.30 = Jantung dan Sistem Kardiovaskular


F.45.31 = Saluran Pencernaan Bagian Atas
F.45.32 = Saluran Pencernaan Bagian Bawah
F.45.33 = Sistem Pernapasan
F.45.34 = Sistem Genito-Urinaria
F.45.38 = Sistem atau Organ Lainnya

2.6. Tatalaksana

Tujuan pengobatan
1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan
pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak
untuk kehidupan nyata
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes
diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu
3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid
(memperparah kondisi)

Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial


1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2. Buat jadwal regular ddengan interval waktu kedatangan yang memadai
3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke
masalah sosial

Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik


1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3. Anti anxietas dan antidepressant

2.7. Prognosis
Dubia et malam. Pasien susah sembuh walau sudah mengikuti pedoman
pengobatan. Sering kali pada pasien wanita berakhir pada percobaan bunuh
diri.
DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, H.l dan Saddock B.J. 1993. Comprehensive Textbook of Psychiatry vol.2 6th edition.
USA: Williams and Wilikins Baltimore.

Wiguna, Imade (editor). 1997. Sinopsis Psikiatri jilid 2. Jakrta: BinanupaAksara.

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. 2001. Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran


Universitas Tanjungpura.

Departemen Kesehatan R.I. 1993.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di


Indonesia III cetakan pertama. DirektoratJenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI
: Jakarta

Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga University
Press : Surabaya

Nevid, J.S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid I.Edisi 5. PenerbitErlangga : Jakarta

Pardamean E. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari
Kesehatan Jiwa Sedunia : Gangguan Somatoform. Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta
Barat.

Tomb, D. A. 2004.Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta


Nevid JS, Rathus SA dan Beverly Greene, 2003, Psikologi Abnormal: Edisi Kelima Jilid I,
Penerbit: Erlangga.

Kusua W. Trans, Sypnosis of Psychiatry. By Kaplan HI. Sadock BJ. Grebb JA, Jakarta.
Binarupa Aksara. 1997

Halgin RP, Whitbourne SK. 2009. Psikologi Abnormal: Perspektif Klinis pada Gangguan
Psikologis. Penerbit: Salemba Humanika. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai