Anda di halaman 1dari 26

Clinical Science Session

Gangguan Somatoform

Oleh:

Rinaldi Syahputra P. 2406 B

Rahmad Nopriadi P. 1726 B

Pembimbing : dr. Rini, SpKJ

BAGIAN PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP M. DJAMIL
PADANG
Tahun 2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah
tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan1.

Seandainya pun ada gangguan fisik, maka gangguan tersebut tidak menjelaskan gejala
atau distress dan preokupasi yang dikemukakan oleh pasien. Selain itu, walaupun diketahui
bahwa terdapat asosiasi antara gejala-gejala yang dimiliki pasien dengan periwtiwa
kehidupan yang tidak menyenangkan ataupun konflik, pasien biasanya menolak upaya-upaya
untuk membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis. Gangguan somatoform sering
kali berkomorbid dengan gejala-gejala kecemasan (anxietas) dan depresi yang nnyata. Taraf
penegtian, baik fisik maupun psikologis, yang dapat dicapai perihal kemungkinan penyebab
gejala-gejalanya sering kali mengecewakan dan menimbulkan frustasi pada kedua belah
pihak, pasien dan dokter. Sering kali, pasien dengan gangguan ini juga memiliki perilaku
mencari perhatian atau histrionik. Hal ini umumnya terjadi pada pasien yang kesal karena
tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhan yang diutarakannya
adalah benar penyakit fisik2.

1.2. Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum:


Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program studi kepaniteraan klinik
kesehatan jiwa di RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta.

1.2.2. Tujuan Khusus:


Untuk mengetahui dan memahami dengan baik penjelasan mengenai gangguan somatoform
berikut dengan subtipenya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan yang
ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh
penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005). Gangguan somatoform berasal dari kata
“soma” yang berarti tubuh dalam bahasa Yunani. Pada gangguan somatoform, penderita
hadir dengan berbagai gejala yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada
abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebab gangguan tersebut1.

Gejala-gejala fisik pada gangguan somatoform ini cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala3.

Gangguan somatoform berbeda dengan gangguan-gangguan lain yang disebabkan


oleh kepura-puraan yang disadari ataupun gangguan buatan. Sebagai contoh, gangguan
somatoform berbeda dengan malingering, atau kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk
mendapatkan hasil yang jelas. Gangguan ini juga berbeda dengan gangguan factitious yaitu
suatu gangguan yang ditandai oleh pemalsuan simtom psikologis atau fisik yang disengaja
tanpa keuntungan yang jelas. Selain itu gangguan ini juga berbeda dengan sindrom
Muchausen yaitu suatu tipe gangguan factitious yang ditandai oleh kepura-puraan mengenai
keluhan-keluhan medis1.

2.2. Epidemiologi
Epidemiologi dari gangguan somatoform bervariasi menurut jenis gangguannya.
Prevalensi gangguan somatisasi sepanjang hidup adalah 0.2-2% pada perempuan dan 0.2%
pada laki-laki. Perempuan lebih banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan laki-
laki dengan rasio 5 berbanding 1. Onset dari gangguan somatisasi adalah sebelum usia 30
tahun dan berawal mula pada masa remaja. Sementara itu, pada gangguan konversi, rasio
perempuan dibanding laki-laki adalah 2 berbanding 1, dengan onset yang dapat terjadi kapan
pun, baik pada usia kanak-kanak hingga usia tua.

Hingga saat ini, belum banyak terdapat data bagi pasien dengan gangguan dismorfik
tubuh karena minimnya jumlah pasien yang mengunjungi psikiater dalam menangani
gangguan ini. Para pasien umumnya lebih cenderung mengunjungi dermatologis, internis,
ataupun ahli bedah plastik. Walaupun demikian, suatu penelitian menyatakan 90& pasien
dengan gangguan ini pernah mengalami satu episode depresi berat dalam hidupnya, 70%
mengalami gangguan cemas, dan 30% mengalami gangguan psikotik4.

2.3. Etiologi
Etiologi dari gangguan somatoform melibatkan faktor-faktor psikososial berupa
konflik psikis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Faktor genetik juga dapat
ditemukan pada transmisi gangguan ini. Selain itu, gangguan somatoform juga dapat
dihubungkan dengan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di
lobus frontalis dan hemisfer non-dominan dari otak manusia5.

Secara umum, faktor-faktor penyebab gangguan somatoform dapat dikelompokkan


sebagai berikut (Nevid, dkk, 2005):

1. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan adanya pengaruh genetik (biasanya
pada gangguan somatisasi)
2. Faktor Lingkungan Sosial
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti “peran sakit”
yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
3. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
 Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari
situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan
sekunder).
 Adanya perhatian untuk menampilkan “peran sakit”
 Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan
dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang
diasosiasikan dengan keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatanatau
kerusakan fisik yang dipersepsikan.
4. Faktor Emosi dan Kognitif
Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab ganda
yang terlibat adalah sebagai berikut:
 Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau gejala fisik sebagai tanda dari
adanya penyakit serius (hipokondriasis).
 Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impuls-
impuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom fisik
(gangguan konversi).
 Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan
suatu strategi self-handicaping (hipokondriasis).

2.4. Patofisiologi
Sebenarnya, patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum diketahui dengan
jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform primer dapat diasosiasikan dengan
peningkatan rasa awas terhadap sensasi-sensasi tubuh yang normal. Peningkatan ini dapat
diikuti dengan bias kognitif dalam menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi
penyakit medis. Pada penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-gejala
otonom yang meningkat seperti takikardia dan hipermotilitas gaster. Peningkatan gejala
otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari komponen-komponen noradrenergik
endogen. Sebagai tambahan, peningkatan gejala otonom dapat pula berujung pada rasa nyeri
akibat hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti pada pasien dengan muscle tension
headache6.

2.5. Klasifikasi
Dalam membedakan keluhan-keluhan pasien, secara garis besar gangguan
somatoform diklasifikasikan menjadi lima subtipe sebagai berikut:

1) Gangguan somatisasi; ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak
sistem organ.

2) Gangguan konversi; ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.


3) Hipokondriasis; ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.

4) Gangguan dismorfik tubuh; ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang
berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.

5) Gangguan nyeri; ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.

Selain itu, DSM IV juga memiliki dua kategori residual untuk diagnostik gangguan
somatoform, yaitu:

6) Undiferrentiated somatoform; gangguan somatoform yang tidak tidak termasuk


pada salah satu penggolongan diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.

7) Golongan somatoform yang tidak terperinci (NOS : not otherwise specified) adalah
kategori untuk gejala somatoform yang tidak memenuhi diagnosis gangguan
somatoform yang disebutkan salah satu diatas3.
3
2.5.1. Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi atau yang juga dikenal sebagai Briquet’s Syndrome dicirikan
dengan berbagai gejala somatik yang bermacam-macam (multipel), berulang dan sering
berubah-ubah yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik maupun laboratorium.
Gejala-gejala fisik tersebut umumnya telah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien
datang ke psikiater. Keluhan yang diutarakan pasien dapat meliputi berbagai sistem organ
seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri4.

Gangguan ini bersifat kronis dan berkaitan dengan stressor psikologis yang bermakna,
sehingga menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi serta adanya perilaku mencari
pertolongan medis yang berlebihan.

2.5.1.1. Etiologi
 Faktor Psikososial
Secara psikososial, gejala-gejala pada gangguan somatisasi adalah bentuk
komunikasi sosial yang bertujuan menghindarkan diri dari kewajiban,
mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.
 Faktor Biologis
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi
dengan prevalensi 10-20% pada perempuan turunan pertama, sedangkan saudara
laki-lakinya cenderung terlibat pada penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian
antisosial. Prevalensi pada kembar monozigot adalah 29% dan pada kembar dizigot
10%7.

2.5.1.2. Gambaran Klinis


Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya hadir dengan riwayat medik yang panjang
dan rumit. Gejala-gejala somatik yang sering dikeluhkan antara lain4:

 Mual
 Muntah
 Sulit menelan
 Sakit pada lengan dan tungkai
 Nafas pendek (tidak disebabkan oleh olah raga)
 Amnesia
 Komplikasi kehamilan dan menstruasi
 Retensi urin
 Penglihatan kabur, dll.

Pada gangguan ini sering kali terdapat penderitaan psikologik dan masalah
interpersonal yang menonjol, seperti depresi atau cemas, yang memerlukan terapi khusus.
Ancaman akan bunuh diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang terjadi.
Pasien biasanya akan mengungkapkan keluhan dengan emosi yang berlebihan dan dramatis.
Pasien dengan gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus
penghargaan dan pujian, serta manipulatif.

2.5.1.3. Pedoman Diagnostik


Berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan somatisasi terpenuhi apabila gejala
diawali sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus
memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala
pseudoneurologik, serta tidak satu pun yang dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Berikut kriteria gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR4:

A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan
bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada
sembarang waktu selama perjalanan gangguan:

1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya


empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung,
sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan
seksual, atau selama miksi)

2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal


selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan,
diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)

3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif
selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi,
menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit
yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri
(gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau
kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia,
retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda,
kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya
kesadaran selain pingsan).

C. Salah satu (1)atau (2):

1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau
efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau
alkohol)

2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.

D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan
atau pura-pura).

Sedangkan menurut PPDGJ III, diagnosis pasti dari gangguan somatisasi memerlukan
semua hal berikut2:

A. Adanya banyak keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas
adanya dasar kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun.
B. Tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan kelainan-kelainannya.
C. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan keluhan keluhan nya dan dampak dari perilakunya.

2.5.1.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Pada umumnya, perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik dengan
diagnosis ditegakkan sebelum usia 25 tahun. Namun, gejala-gejala awal dari gangguan ini
terlah berlangsung sejak masa remaja seperti masalah menstruasi pada remaja perempuan.
Keluhan-keluhan seksual yang terdapat pada gangguan ini biasanya disebabkan oleh masalah
yang terjadi di dalam hubungan rumah tangga pasangan suami istri.

Periode keluhan yang ringan berlangsung 9 hingga 12 bulan lamanya, sedangkan


gejala yang berat dan pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6 sampai
9 bulan. Kebanyakan pasien akan mulai mencari pertolongan medis sebelum gejala
berlangsung hingga 1 tahun. Eksaserbasi dari gejala-gejala somatik pada gangguan
somatisasi dapat terjadi apabila terdapat peningkatan tekanan kehidupan4.

2.5.1.5. Terapi
Penanganan gangguan somatisasi sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter saja. Hal
ini dipertimbangkan sebagai cara yang terbaik untuk menangani pasien dengan gangguan
somatisasi karena dengan demikian, pasien akan mendapatkan lebih sedikit kesempatan
untuk mengungkapkan keluhan somatiknya. Pertemuan sebaiknya dilaksanakan dengan
reguler yaitu sekali sebulan dan dilakukan secara singkat. Pada saat pertemuan, walaupun
akan selalu ada kemungkinan bagi dokter untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap
keluhan somatik baru pasien, dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan somatik
sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medis. Oleh karena itu, dokter
pemeriksa harus memiliki kemampuan untuk menilai antara keluhan yang harus ditanggapi
secara medis dengan keluhan yang tidak.

Pemeriksaan penunjang dan laboratorium sebaiknya dihindari pada pasien dengan


gangguan somatisasi. Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok adalah jenis terapi
yang disarankan agar pasien dapat mengatasi gejala-gejala yang dialaminya,
mengekspresikan emosi yang mendasari, dan mengembangkan strategi alternative untuk
mengungkapkan perasaannya.

Terapi psikofarmaka dapat diberikan apabila terdapat gangguan lain (komorbid)


seperti gangguan cemas dan depresi. Namun, pemberian psikofarmaka harus disertai dengan
pengawasan ketat terhadap pemberian obat sebab pasien dengan gangguan somatisasi
cenderung menggunakan obat-obatan secara irrasional dan berganti-ganti7.

2.5.2. Gangguan Konversi


Gangguan konversi mencakup gejala-gejala yang menandakan adanya gangguan
ataupun defisit pada fungsi sensorik dan fungsi motorik voluntary yang dinilai telah
diakibatkan oleh faktor-faktor psikologis karena telah didahului dengan konflik ataupun
stressor-stresor kehidupan lainnya. Kumpulan gejala ini dikenal dengan sebutan hysteria,
reaksi konversi atau reaksi disosiatif.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasio perempuan dibandingkan dengan laki-


laki dapat bervariasi dari 2:1 hingga 10:1 pada gangguan konversi. Gangguan ini banyak
terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan pendidikan rendah, kelompok sosioekonomi
rendah, dan anggota militer yang pernah terpapar dengan situasi peperangan. Gangguan ini
juga sering disertai dengan gangguan depresi, cemas, skizofrenia, dan frekuensi gangguannya
meningkat pada seseorang dengan anggota keluarga yang memiliki gangguan konversi juga4.

2.5.2.1. Etiologi
 Faktor Psikoanalitik
Menurut teori ini, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik-konflik
intrapsikik yang tidak disadari dan konversi dari kecemasan ke dalam gejala fisik.
Gejala-gejala pada gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik
yang tidak disadari oleh pasien. Berbagai gejala ini juga memberikan peluang bagi
pasien untuk menunjukkan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan penanganan
yang khusus. Dengan begitu, gejala-gejala tersebut telah berfungsi sebagai
pemberitahuan secara nonverbal bahwa pasien memiliki control dan manipulasi
terhadap orang lain.
 Teori Pembelajaran
Di dalam teori ini, gejala-gejala pada gangguan konversi diyakini berasal dari perilaku
yang dipelajari sejak kecil. Sebagai contoh, gejala fisik dari penyakit yang dialami
pasien sewaktu kecil dapat digunakan sebagai coping mechanism dalam situasi-situasi
sulit yang dihadapinya ketika sudah dewasa.
 Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme pada daerah
hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah hemisfer yang non-
dominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi antara kedua hemisfer otak dan
berujung pada gejala konversi. Rangsangan kortikal yang berlebih dapat
mengakibatkan timbulnya umpan balik negatif antara korteks dan formasi retikuler
batang otak sehingga menimbulkan gejala konversi. Sebaliknya, output kortikofugal
yang meningkat justru akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi-sensasi yang
terjadi di tubuhnya. Tes neuropsikologis terkadang menunjukkan gangguan serebral
ringan pada daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi di pasien dengan gangguan
konversi.

2.5.2.2. Gambaran Klinis


Pada gangguan konversi, gejala yang paling sering terlihat adalah paralisis, buta, dan
mutisme. Gejala-gejala ini juga tidak jarang disertai dengan gejala depresi dan cemas,
dengan resiko tinggi pasien mengalami bunuh diri. Gangguan konversi umumnya berkaitan
dengan gangguan kepribadian pasif-agressif, dependen, antisocial, dan histrionik.

a. Gejala Sensorik
Contoh dari gejala ini adalah anastesi dan parestesi terutama bagian ekstrimitas.
Gejala-gejala ini tidak sesuai dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang
melibatkan organ sensorik khusus dapat menimbulkan ketulian, kebutaan, dan tunnel
vision walaupun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intact ataupun
pupil yang bereaksi terhadap cahaya.
b. Gejala Motorik
Gejala ini terdiri dari gerakan abnormal, gangguan gaya berjalan (cth: astasia abasia),
kelemahan dan paralisis. Dapat juga ditemukan tremor ritmik kasar, gerak koreoform,
tik, dan menghentak-hentak yang memburuk bila pasien mendapat perhatian.
c. Gejala Bangkitan
Pseudo-seizures merupakan gejala yang dapat terlihat pada gangguan konversi.
Namun, hanya sekitar 1/3 pasien dengan gejala tersebut yang disertai dengan
gangguan epilepsy.
d. Gambaran klinis lainnya:
 Keuntungan primer : pasien memperoleh keuntungan primer dengan
mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.
 Keuntungan sekunder: keuntungan nyata yang diperoleh pasien dengan
menjadi sakit misalna dibebaskan dari kewajiban kehidupan yang sulit,
bimbingan yang tak akan didapatkannya dalam situasi normal, dsb.
 La belle indifference: merupakan sikap angkuh yang tak sesuai terhadap gejala
serius yang dialaminya. Pasien tampak tak peduli dengan hendaya berat yang
dialaminya. Walaupun begitu, ada tidaknya la belle indifference bukan dasar
penilaian yang akurat untuk menegakkan gangguan konversi.
 Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang yang
bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang menjadi model
bagi pasien7.

2.5.2.3. Pedoman Diagnosis


Pedoman diagnosis gangguan konversi menurut DSM IV-TR adalah sebagai berikut:

A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau
sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.

B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena


awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor
lain.

C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).

D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan
sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai
perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural.

E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan
pemeriksaan medis.

F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan
dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.

Sebutkan tipe gejala atau defisit:

 Dengan gejata atau defisit motorik

 Dengan gejala atau defisit sensorik

 Dengan kejang atau konvulsi

 Dengan gambaran campuran4


Sementara menurut PPDGJ III, pedoman diagnostik pasti dari gangguan konversi
adalah sebagai berikut:

A. Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada
F44.
B. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut.
C. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan
masalah dan peristiwa yang stressful atau hubungan interpersonal yang terganggu
(meskipun hal tersebut disangkal oleh pasien)2.

2.5.2.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Lebih dari 90% gejala awal pada pasien dengan gangguan konversi membaik dalam
waktu beberapa hari hingga hampir satu bulan. Sebanyak 75% pasien tidak pernah
mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan pada saat
mengalami tekanan. Semakin lama gejala gangguan konversi ini berjalan, maka semakin
buruk juga prognosisnya. Sebanyak 25-50% pasien akan mempunyai gangguan neurologis
ataupun kondisi non-psikiatrik lain yang akan mempengaruhi sistem persarafan di kemudian
harinya. Oleh karena itu, pasien dengan gangguan tersebut harus segera dievaluasi secara
neurologis pada saat diagnosis ditegakkan.

2.5.2.5. Terapi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya berlangsung spontan. Pasien dengan
gangguan ini dapat diberikan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi perilaku.
Terapi hypnosis, anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam beberapa kasus. Pemberian
amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh riwayat penyakit,
terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa yang traumatis.

Pendekatan psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan dapat menuntun pasien


menahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala-gejala yang dimilikinya. Semakin lama
pasien menghayati peran sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga pengobatan akan
semakin sulit7.

2.5.3. Hipokondriasis
Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang ter preokupasi dengan ketakutan
atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien memiliki interpretasi yang tidak
realistis ataupun akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan
penyebab medis. Ketakutan dan keyakinannya menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri
dan menganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidan sosial, interpersonal
dan pekerjaan. Prevalensi pasien dengan hipokondriasis adalah 4-6% dari populasi pasien
medik umum. Gejala-gejala dapat timbul di usia berapapun, namun paling sering di antara
usia 20-30 tahun.

2.5.3.1. Etiologi
Pasien hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah yang menyebabkan mereka
salah menginterpretasikan sensasi fisik. Pasien menambah dan memperbesar sensasi somatik
yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik dan memiliki ambang toleransi yang
rendah.

Selain itu, gejala-gejala hipokondriasis dapat dipandang sebagai permintaan untuk


mendapatkan peran sakit pada seseorang yang mengahadapi masalah berat yang tak dapat
diselesaikannya. Teori lain juga memandang gangguan ini sebagai bentuk varian dari
gangguan mental lainnya seperti depresi dan cemas. Sedangkan menurut teori psikodinamik,
dorongan agresivitas dan permusuhan yang ditujukan kepada orang lain dipindahkan ke
dalam gangguan-gangguan somatik, seperti kemarahan, ketidakpuasan, atau penolakan dan
kehilangan di masa lalu. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa
bersalah, tanda dari kepedulian berlebihan terhadap diri sendiri, ataupun sebagai hukuman di
masa lalu dari perasaaan bahwa dirinya jahat serta berdosa4.

2.5.3.2. Gambaran Klinis


Pasien dengan hipokondriasis yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang
belum dapat terdeteksi dan sangat sulit diyakinkan sebaliknya. Dengan berjalannya waktu,
keyakinannya pun akan beralih ke penyakit lain.

Meskipun DSM IV-TR menyatakan bahwa gangguan ini harus sudah berlangsung
selama 6 bulan, keadaan hipokondriakal sesaat dapat saja terjadi setelah sdanya tekanan yang
berat seperti kematian atau penyakit serius yang diderita oleh orang yang bermakna bagi
pasien. Keadaan ini harus didiagnosisi sebagai gangguan somatoform yang tak
tergolongkan7.

2.5.3.3. Pedoman Diagnostik


Berdasarkan DSM IV-TR kriteria hipokondriasis adalah sbb:
A. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit
serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh.

B. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan
penentraman.

C. Keyakinan dalam criteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan


delusional, tipe somatic) dan tidak terbatas pada kekawatiran tentang penampilan
(seperti pada gangguan dismorfik tubuh).

D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan


dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi penting lain.

E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.

F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum,
gangguan obsesif kompulsif, gangguan panic, gangguan depresi berat, cemas
perpisahan, atau gangguan somatoform lain4.

Sedangkan berdasarkan PPDGJ III, untuk menentukan diagnosis pasti kedua hal
dibawah ini harus ada :

A. Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius
yang melandasi keluhan-keluhan nya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang
tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang
menetap kemungkinan deformitas atau perubahan penampakan fisik nya (tidak
sampai waham);

B. Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhan
nya2.

2.5.3.4. Perjalanan Penyakit


Penyakit hipokondriasis memiliki perjalanan penyakit yang episodik, dimana setiap
episode dapat berlangsung berbulan-bulan hingga tahunan dan dipisahkan oleh periode
tenang yang sama lamanya. Kurang lebih sepertiga hingga setengah dari pasien
hipokondriasis mengalami perbaikan yang bermakna.
2.5.3.5. Terapi
Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Psikoterapi kelompok
bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena menyediakan dukungan sosial dan interaksi
sosial sehingga menurunkan kecemasan. Psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi
perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis juga dapat bermanfaat. Pemeriksaan fisik yang
terjadwal juga akan membuat pasien merasa tenang dan tahu bahwa dokternya tak
meninggalkannya dan menangani keluhannyaa dengan serius. Farmakoterapi diberikan
apabila pasien juga memiliki gangguan cemas atau depresi7.

2.5.4. Gangguan Tubuh Dismorfik


Pasien dengan gangguan ini memiliki perasaan subyektif yang meliputi dirinya bahwa
beberapa aspek dari penampilannya buruk padahal pada kenyataannya normal atau nyaris
baik. Inti dari gangguan ini adalah pasien berkeyakinan kuat atau takt apabila dirinya tidak
menarik atau bahkan menjijikan. Pasien dengan gangguan tubuh dismorfik umumnya tidak
mengunjungi psikiater melainkan dermatologis atau dokter bedah plastik. Pasien biasanya
berumur 15-30 tahun dan tidak menikah.

2.5.4.1. Etiologi
Etiologi dari gangguan ini tidak dikterhui, tapi diyakini berasosiasi dengan gangguan
depresi. Selain itu, konsep stereotipik tentang kecantikan atau keindahan yang dianut dalam
keluarga atau budaya tertentu akan berpengaruh besar pada pasien dengan gangguan tubuh
dismorfik.

2.5.4.2. Gambaran Klinis


Biasanya, bagian tubuh yang menjadi keprihatinan adalah kekurangan pada wajah
khususnya pada bagian-bagian tertentu seperti hidung atau mata. Selain itu, rambut, buah
dada, dan genitalia juga merupakan bagian tubuh lain yang sering diprihatinkan. Pada pria
biasanya yang menjadi pusat pikirannya adalah otot-ototnya. Pasien dengan gangguan ini
sering merasa orang lain memperhatikan bagian cacat/kekurangan di tubuhnya, sering
bercermin, atau bahkan menghindari benda yang dapat memantulkan seperti cermin dan
adanya usaha untuk menyembunikan bagian tubuh yang dianggap mempunayi deformitas
dengan pakaian atau riasan. Gangguan ini berpengaruh apada kehidupan pasien, seperti
penghindaran kontak sosial dan pekerjaan. Pasien juga memiliki cirri kepribadian obsesif-
kompulsif, schizoid, dan narsisistik.
2.5.4.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM IV-TR, adalah sebagai berikut:

A. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit


anomaly tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata.

B. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan


dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

C. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa)7

Sementara, berdasarkan PPDGJ III, untuk diagnostik pasti harus dipenuhi kedua hal
berikut ini:

A. Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang
serius yang melandasi keluhan atau keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang
berulang tidak menujnang adanya alas an fisik yang memadai, ataupun adanya
preokupasi yang menetap terhadap adanya deformitas atau perubahan
bentuk/penampakan.
B. Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan
dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya2.

2.5.4.4. Perjalanan Penyakit


Munculnya gejala dari gangguan ini biasanya bertahap. Kepedulian penderita
gangguan tubuh dismorfik terhadap bagian tubuh tertentu akan semakin menjadi-jadi
sehingga berujung pada permintaan untuk operasi atau bantuan medis lainnya. Gangguan ini
bersifat kronik.

2.5.4.5. Terapi
Pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik, terapi dengan prosedur medic
pembedahan, dermatologis, kedokteran gigi, dan yang lainnya biasanya tidak berhasil
mengatasi keluhannya. Obat-obat SSRI seperti fluoxetine dan klomipramin dapat
mengurangi gejala yang dikeluhkan minimal 50%. Bila terdapat gangguan mental lain yang
menyertai maka pemberian psikoterapi dan farmakoterapi yang adekuat sebaiknya diberikan7.
2.5.5. Gangguan Nyeri
Pada gangguan ini, nyeri merupakan keluhan utama yang menjadi focus perhatian
klinis. Nyeri dapat terjadi pada lebih dari satu tempat dan tidak dapat dimasukkan secara
penuh sebagai kondisi medic nonpsikiatrik maupun neurologic. Gangguan ini berkaitan
dengan penderitaan emosional dan hambatan dalam fungsi kehidupan. Gangguan nyeri
merupakan keluhan tersering dalam praktek kedokteran, lebih banyak pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki4.

2.5.5.1. Etiologi
1. Faktor psikodinamik
Pasien mungkin mengekspresikan konflik intrapsikik secara simbolik lewat tubuh.
Pasien lain secara tak sadar menganggap luka emosional sebagai suatu kelemahan dan
tak diperbolehkan secara sosial sehingga memindahkan masalah pada tubuhnya.
Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta, hukuman terhadap
kesalahan, dan menebus rasa bersalah atau perasaan bahwa dirinya jahat.
2. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan atau diberi
hukuman.
3. Faktor Interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi dan
memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal, misalnya untuk memastikan
kesetiaan anggota keluarga, dsb.
4. Faktor biologis
Defisiensi endorphin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik yang
datang.

2.5.5.2. Gambaran Klinis


Pasien biasanya sekumpulan orang yang bersifat heterogen dengan nyeri pinggang
bawah, sakit kepala, nyeri fasial atipikal, nyeri pelvic kronik, dan nyeri lainnya yang dapat
terjadi setelah trauma,, neuropatik, neurologik, iatrogenic atau muskulaoskeletal. Pasien
biasanya meimiliki riwayat prawatan medis dan pembedahan yang panjang. Gejala depresi
berat terjadi pada 25-50% dari pasien gangguan nyeri.
2.5.5.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM-IV-TR:

A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan
cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis.

B. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

C. Factor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan,


eksaserbasi atau bertahannya nyeri.

D. Gejala atau deficit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).

E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau
gangguan psikotik dan tidak memenuhi criteria dipareunia.

Berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut:

A. Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun gangguan fisik.

B. Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau masalah
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadika alasan dalam mempengaruhi adanya
gangguan tersebut.

C. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik personal maupun


medis untuk yang bersangkutan2.

2.5.5.4. Perjalanan Penyakit


Nyeri umumnya muncul secara tiba-tiba dengan derajat keparahan meningkat dalam
hitungan minggu atau bulan. Prognosis bervariasi, akan tetapi biasanya akan menjadi
gangguan kronik dan menimbulkan penderitaaan dan ketidak-berdayaan yang parah.

2.5.5.5. Terapi
Rehabilitasi harus disertakan ke dalam terapi pasien dengan gangguan ini.
Farmakoterapi yang digunakan antara lain SSRI, antidepresan trisiklik, dan amfetamin.
Sedangkan psikoterapi yang dipilih adalah terapi kognitif untuk mengubah pikiran negative
dan mengembangkan sikap positif.

2.5.6. Gangguan Somatoform yang tidak terdiferensiasi


Gangguan somatoform yang tidak terdiferensiasi diciri-cirikan dengan satu atau lebih
gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan yang berlangsung selama paling sedikit 6 bulan.
Terdapat dua pola gejala yang dapat terlihat pada pasien golongan ini yaitu gangguan yang
terkait dengan sistem saraf otonom dan gangguan yang terkait dengan sensasi rasa fatigue
ataupun kelemahan. Pada Autonomic arousal disorder, pasien terpengaruh dengan gejala-
gejala gangguan somatoform yang terbatas pada gangguan fungsi saraf otonom saja. Gejala-
gejala yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien tersebut antara lain keluhan sistem
kardiovaskular, respiratori, gastrointestinal, urogenital, dan dermatologikal. Beberapa pasien
lainnya mengeluh akan kelemahan dan ketidak berdayaan melakukan pekerjaan sehari-hari
oleh karenanya7.

Keriteria Diagnosis untuk Gangguan Somatoform yang Tidak Digolongkan :

Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)

A. Salah satu (1)atau (2)


a. Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh
kondisi medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dan suatu zat
(misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
b. Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau
gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa
yang diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratonium.
B. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.
D. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya
gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan,
gangguan tidur, atau gangguan psikotik).
E. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau berpura-pura)
2.5.7. Gangguan Somatoform yang tidak terperinci
Diagnosis ini digunakan apabila keluhan fisik bersifat multiple, bervariasi dan
menetap, tetapi tidak disertai dengan gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan
somatisasi. Sebagai contoh, pasien mengemukakan keluhan-keluhan tidak dramatis dan tidak
kuat, keluhan yang diutarakan tidak terlalu banyak, atau tidak ada gangguan pada fungsi
sosial dan keluarga. Pada diagnosa ini, belum dapat diketahui pasti ada tidaknya faktor
psikologis yang mendasari, namun tidak boleh ditemukan adanya faktor fisik yang mendasari
keluhan-keluhan pasien2.

Pedoman diagnosis untuk gangguan somatoform yang tidak terperinci adalah sebagai
berikut:

A. Pseudokiesis : keyakinan palsu sedang hamil, yang disertai dengan tanda objektif
kehamilan, yang dapat berupa pembesaran perut (walaupun umbilicus tidak menjadi
menonjol), penurunan aliran menstruasi, amenorea, sensasi subjektif gerakan janin,
dan nyeri persalinan pada tanggal yang diperkirakan terjadinya persalinan.
Perubahan endokrin mungkin ditemukan tetapi sindroma tidak dapat dijelaskan oleh
suatu kondisi medis umum yang menyebabkan perubahan endokrin (misalnya, tumor
yang mensekresikan hormone).

B. Suatu gangguan yang melibatkan gejala hipokondriasis non psikiatrik dengan lama
kurang dari 6 bulan

C. Suatu gangguan yang melibatkan keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan
(misalnya. Kelelahan atau kelemahan tubuh) dengan lama kurang dari 6 bulan yang
tidak karena gangguan mental lain7.
BAB 3
KESIMPULAN

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan dengan karakteristik gejala


fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) yang tidak dapat ditemukan penjelasannya
secara medis. Gejala dan keluhan somatik diyakini cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah
gangguan psikik yang tidak disebabkan oleh kepura-puraan yang disadari atau gangguan
buatan.

Gangguan ini diklasifikan sebagai berikut:

1) Gangguan somatisasi; ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak
sistem organ.

2) Gangguan konversi; ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.

3) Hipokondriasis; ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.

4) Gangguan dismorfik tubuh; ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang
berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.

5) Gangguan nyeri; ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.

Selain itu, DSM IV juga memiliki dua kategori residual untuk diagnostik gangguan
somatoform, yaitu:

6) Undiferrentiated somatoform; gangguan somatoform yang tidak tidak termasuk


pada salah satu penggolongan diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.
7) Golongan somatoform yang tidak terperinci (NOS : not otherwise specified) adalah
kategori untuk gejala somatoform yang tidak memenuhi diagnosis gangguan
somatoform yang disebutkan salah satu diatas2.

Terapi yang dianjurkan dalam penanganan gangguan somatoform lebih banyak


terfokus kepada psikoterapi suportif dan pembinaan hubungan yang baik antar dokter dan
pasiennya. Akan tetapi, penggunaan psikofarmaka juga dapat dilaksanakan apabila terdapat
gejala-gejala atau gangguan depresi ataupun cemas. Penggunaan psikofarmaka pada
gangguan nyeri juga meliputi penggunaan antidepresan trisiklik dan golongan SSRI.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardi. Gangguan Somatoform dan Disosiatif. Diunduh dari :


http://www.psikologimania.co.cc/2010/04/gangguan-somatoform-dan-disosiatif.html
pada tanggal : 25 Maret 2011
2. Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III. Cetakan pertama. Direktorat Jendral Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI. Jakarta
3. Pardamean Engelberta, Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka
Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Diunduh dari :
http://www.idijakbar.com/prosiding/gangguan_somatoform.htm. Pada tanggal : 25
Maret 2011
4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Cetakan
pertama. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
5. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, Media Aeusculapicus : FAkultas kedokteran UI.
Jakarta. Hal : 216 – 217
6. Yates William R,etc. Somatoform Disorder. Jul 15th 2010. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/294908 . Pada tanggal : 25 Maret 2011
7. Kaplan, B.J., Sadock, V.A. 2007, Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition.

Anda mungkin juga menyukai