Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan somatoform merupakan gangguan yang tidak sepenuhnya


dijelaskan oleh kondisi medis umum atau gangguan mental lain dan untuk
memenuhi kriteria diagnostik harus disebabkan oleh adanya tekanan
(McCarron, 2006; Woolfolk & Allen, 2002). Gangguan Somatisasi mengacu
pada perkembangan gejala somatik yang tidak ditemukan atau disebabkan
oleh penyakit medis (Escalona, Achilles, Waitzkin, & Yager, 2004; North,
Kawasaki , Spitznagel, & Hong, 2004; Allen, Gara, Escobar, Waitzkin, &
Cohen-Silver, 2001). Somatisasi adalah istilah yang awalnya terkait dengan
teori psikodinamik, dimana penyebab penyakit dikarenakan konflik
psikologis atau suatu kondisi kejiwaan yang diubah menjadi penyakit fisik
(Kirmayer, 1984; Lipowski, 1988).

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala


fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat ditemukan
penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius
untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau
gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau
pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi
bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan,
dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura
yang disadari atau gangguan buatan.

Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik,
dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal
tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut
terkait dengan adanya faktor psikologis atau konflik. Karena gejala tak spesifik
dari beberapa sistem organ dapat terjadi pada penderita anxietas maupun
penderita somatoform disorder, diagnosis anxietas sering disalah diagnosiskan
menjadi somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya somatoform
disorder, tidak menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang. Pada DSM-IV

1
ada 5 kategori penting dari somatoform disorder, yaitu hipokhondriasis, gangguan
somatisasi, gangguan konversi, gangguan dismorfik tubuh dan gangguan nyeri
somatoform.
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Somatoform
Somatoform adalah kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik (misalnya
nyeri, mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara
medis.(Fausiah, Widury, 2005:25). Somatoform adalah individu yang
mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang berlebihan, tetapi pada
dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. (Ardani, 2011:91).
Somatoform berasal dari bahasa Yunani yang memiliki asal kata soma, artinya
tubuh. Somatoform adalah gangguan yang berorientasi pada fisik seperti mual,
nyeri, kembung, kehilangan fungsi tubuh yang sesungguhnya tidak ada
abnormalitas pada fisiologis yang dapat ditemukan penyebabnya melalui
pemeriksaan medik.[2] Pendapat yang lain menyatakan gangguan somatoform
merupakan kekhawatiran adanya ketidak mampuan pada inderawi, kognisi dan
emosi pada seseorang terhadap penampilan atau fungsi tubuhnya yang pada
umumnya tidak diketemukan gejalanya pada pemeriksaan medis. Didalam DSM
IV gangguang somatoform dibagi menjadi enam golongan, yaituHypocodriasis,
somatization disorder, convension disorder, pain disorder, body dismorphic
disorder, dan Somatoform Disorder Not Otherwise Specified.
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani “soma” yang berarti
tubuh. Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan
dimana :

a. Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun tidak
dapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung penyakit fisik
sebagai penyebab gejala

b. Adanya dugaan kuat bahwa gejala- gejala tersebut berkaitan dengan faktor
psikologis

Gangguan ini mencakup interaksi antara tubuh dengan pikiran (body-


mind interaction). Gangguan-gangguan yang termasuk di dalam kategori
“gangguan somatoform” memiliki beberapa ciri umum yang sama :

3
a. Manifestasi stres psikologik menjadi gejala somatik

b. Perilaku sakit yang abnormal (abnormal illness behavior) yaitu disebabkan


adanya ketidaksesuaian antara pengertian yang ditangkap pasien tentang
kondisi sakitnya (perceived illness) dengan penyakit yang dialaminya
(documented disease)

c. Adanya amplifikasi, yaitu dimana sensasi dari gejala fisik mengakibatkan rasa
cemas (anxiety), kemudian rasa cemas dan aktivasi autonomik yang
diasosiasikan dengan rasa cemas tersebut mengakibatkan eksaserbasi gejala
fisik.

d. Penderitaan (distress) yang bermakna dan seringnya angka kunjungan untuk


pelayanan medis

B. SEJARAH SOMATOFORM
Gangguan ini memiliki sejarah yang panjang dan gangguan ini biasanya
dihubungkan dengan wanita. Pada awal tahun 1500 S.M. dalam buku
karangan Hippokrates itu adalah penyakit fisik yang terbatas pada wanita.
Karena itu, gangguan-gangguan tersebut dinamakan histeria, dan kata histeria
itu berasal dari kata hystero yang berarti rahim, Hippokrates dan orang-orang
yunani pada umumnya beranggapan bahwa penyakit itu disebabkan oleh
rahim tidak dipuaskan secara seksual, karenanya ia berkelana ke bagian-
bagian tubuh lainnya (wandering uterus) untuk mencari kepuasan. Dan dalam
perjalanan itu, ia meletakan dirinya sedemikian rupa sehingga menyebabkan
gangguan. Misalnya, bila seorang wanita mengalami kelumpuhan lengan,
maka diandalkan bahwa rahim itu tertahan dipundak atau sikunya,
meskipun Hippokrates tidak berbicara secara khusus tentang penyebab
seksual pada gangguan somatoform.

C. Teori-teori Tentang Somatoform


Ciri utama dari gangguan somatoform adalah adanya keluhan gejala fisik
yang berulang yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medis,
meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negative dan juga sudah

4
dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan kelainan fisik yang menjadi
dasar keluhannya. Seandainya ada gangguan fisik, maka gangguan tersebut
tidak menjelaskan gejala atau distress dan preokupasi yang dikemukakan
pasien.
Meskipun onset dan kelanjutan dari gejala-gejala tadi mempunyai
hubungan yang erat dengan peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan
ataupun konflik-konflik, pasien biasanya menolak upaya-upaya untuk
membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis, bahkan meskipun
ditemukan gejala-gejala anxietas dan depresi yang nyata. (Departemen
Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik,1993:209).

D. Klasifikasi Gangguan Somatoform


Terdapat beberapa versi penggolongan gangguan somatoform, menurut ICD-
10/PPDGJ-III

a. Gangguan somatisasi (F.45.0)

b. Gangguan somatoform tidak terinci (F.45.1)

c. Gangguan hipokondrik (F 45.2)

d. Disfungsi otonomik somatoform (F 45.3)

e. Gangguan nyeri somatoform menetap (F 45.4)

f. Gangguan somatoform lainnya (F. 45.8)

1. Gangguan Somatisasi
Definisi.
Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik berbagai
keluhan atau gejala somatic yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat dengan
menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Perbedaan antara
gangguan somatisasi dengan gangguan somatoform lainnya adalah banyaknya
keluhan dan banyaknya system tubuh yang terpengaruh. Gangguan ini sifatnya
kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun), dan
berhubungan dengan strees psikologis yang signifikan, hendaya dalam
kehidupan social dan pekerjaan, serta perilaku mencari pertolongan medis

5
yang berlebihan. (Fausiah, Widury,2005:33).
Ciri utamanya adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam-
macam, berulang dan sering berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung
beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiatri. Kebanyakan pasien
mempunyai riwayat pengobatan yang panjang dan sangat kompleks, baik ke
pelayanan kesehatan dasar, maupun spesialistik, dengan hasil pemeriksaan
atau bahkan operasi yang negative. Keluhannya dapat mengenai setiap system
atau bagian tubuh manapun, tetapi yang paling lazim adalah yang mengenai
keluhan gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, bertahak, muntah, mual,
dsb) dan keluhan-keluhan perasaan abnormal pada kulit (perasaan gatal, rasa
terbakar, kesemutan, pedih) serta bercak-bercak pada kulit. (Departemen
Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medic,1993:210).
Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari gangguan
somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan berbagai sistem organ tidak
dapat dijelaskan secara medis.

Beberapa bentuk kronis dari proses somatisasi tidak dapat memenuhi


kriteria gangguan somatisasi, sehingga dimasukkan dalam kategori gangguan
somatoform tidak terinci (lihat bab selanjutnya).

Prevalensi

 Prevalensi sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Rasio
wanita : pria adalah 5:1. Onset biasanya dimulai saat remaja

 Adanya asosiasi antara sexual abuse dengan gangguan somatisasi. Pada


pasien-pasien semacam ini gejala umumnya berupa nyeri pelvik kronik dan
gangguan gastrointestinal fungsional

Etiologi

 Faktor Psikososial

Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial


gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan
untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimpulkan

6
perasaan. Pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan budaya dapat
mengakibatkan pasien terbiasa menggunakan somatisasi.1

 Faktor Biologis

Transmisi genetik yang berperan dalam gangguan somatisasi terjadi


pada 10-20% wanita turunan pertama sedangkan saudara laki-lakinya
cenderung menjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial.
Pada kembar monozigot transmisi terjadi 29% sedangkan dizigot 10%.1

Presentasi Klinis

Pasien yang memiliki gangguan somatisasi datang dengan keluhan


somatik yang banyak serta riwayat yang rumit. Bahkan terkadang pasien sudah
melakukan pemeriksaan dengan alat-alat canggih. Gejala umum yang dikeluhkan
adalah mual, muntah, sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek,
amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi. Pasien beranggapan ia sakit
sepanjang hidupnya. Sering terdapat gejala neurologik seperti gangguan
keseimbangan, merasa ada gumpalan di tenggorokan, afonia, retensi urin, hilang
modalitas sensorik raba dan nyeri, buta, bangkitan, hilang kesadaran bukan
karena pingsan.

Pasien merasa menderita dan sering mengalami depresi serta kecemasan.


Ancaman bunuh diri sering dilaporkan namun angka bunuh diri aktual sangat
jarang. Pasien gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri, terpusat pada diri,
haus penghargaan, serta manipulatif.

Diagnosis

Menurut DSM-IV-TR, gangguan somatisasi memiliki kriteria diagnosis


sebagai berikut:

a. Riwayat gejala fisik yang banyak (atau suatu keyakinan bahwa dirinya sakit)
yang mulai sebelum usia 30 tahun, berlangsung selama beberapa tahun, dan
mengakibatkan perilaku mencari pertolongan medis (”medical seeking
behavior”) atau hendaya yang bermakna.

7
b. Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi kapanpun
selama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus dipenuhi. Gejala-
gejala yang dimaksud antara lain:

i. 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau fungsi yang berbeda


meliputi kepala dan leher, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada,
rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, dan saat
berkemih)

ii. 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual, kembung, muntah,


diare, dan intoleransi makanan)

iii. Satu gejala seksual (kehilangan keinginan seksual, disfungsi seksual,


mens ireguler, perdarahan mens yang berlebihan, muntah-muntah selama
hamil)

iv. Satu gejala pseudoneurologik yang bukan nyeri (meliputi gangguan


keseimbangan, kelemahan, kesulitan menelan, afonia, retensi urin,
halusinasi, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, disosiasi, dan
kehilangan kesadaran)

c. Gejala-gejala tersebut bukanlah akibat gangguan kondisi medis, ataupun kalau


terdapat gangguan kondisi medis, gejala dan efeknya pada pasien melebihi dari
apa yang biasanya dapat disebabkan gangguan kondisi medis tersebut.

d. Gejala-gejala tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat secara sengaja atau


berpura-pura

Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis


biasanya ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai
saat remaja. Masalah menstruasi merupakan gejala paling dini yang muncul
pada wanita. Keluhan seksual sering berkaitan dengan perselisihan dalam
perkawinan. Periode keluhan yang ringan 6-9 bulan, sedangkan yang berat 9-
12 bulan. Biasanya pasien sudah memulai mencari pertolongan medis sebelum
1 tahun.

8
Tatalaksana

a. Pendekatan untuk tatalaksana gangguan somatisasi harus bersifat realistis dan


berfokus pada care dan bukan cure.

b. Beberapa poin klinis yang bermanfaat, berdasarkan asumsi bahwa adanya


kebutuhan psikologis yang merupakan penyebab mendasar dari gangguan
somatisasi:

i. Pasien tidak selalu mencari kesembuhan tetapi mungkin menginginkan


adanya relasi dengan praktisi

ii. Pasien ingin dokter mengakui bahwa dirinya sakit

iii. Berikan reassurance (dukungan) secara lambat dan berhati-hati. Pasien


seringkali tidak suka dan menolak (resisten) dengan pernyataan-
pernyataan bahwa dirinya tidak sakit, bahwa gejalanya bersumber dari
emosi/psikis.

iv. Hindari dikotomi tubuh-pikiran dalam menginterpretasikan gejala

v. Tunjukkan kepedulian pada distress pasien dan tunjukkan keinginan


untuk menolong

vi. Hindari penjelasan prematur mengenai hubungan antara gejala fisik dan
fenomena psikologis. Lakukan penjelasan secara bertahap yang
membuat pasien mengerti dan menganggapnya serius. Hindari saran-
saran yang menyatakan bahwa segala masalah terletak dalam “kepala”
pasien

vii. Targetkan optimalisasi fungsi

 Usahakan untuk mengerti sumber stres dan sarana coping, serta


tetapkan target untuk perilaku adaptasi yang lebih baik

 Tanamkan agar pola perilaku dan komunikasi pasien jangan seperti


orang sakit terus menerus. Kapan saja bila memungkinkan,
bicarakan hal-hal lain dan diskusikanlah selain daripada gejala
fisik

9
 Ajarkan bahwa adanya relasi erat antara tubuh, otak, dan pikiran
dengan menggunakan contoh-contoh sederhana yang bisa diterima
pasien (muka memerah bila merasa malu, mulut kering bila
berbicara di depan umum, sesak dan jantung berdegup cepat bila
cemas, sakit kepala bila tegang)

c. Buat jadwal pertemuan terencana, misalnya 1 bulan sekali

d. Batasi penggunaan alat diagnostik dan obat-obatan. Beberapa pemeriksaan


fisik yang terfokus dan pemeriksaan lab yang kadang-kadang saja sifatnya.
Tanda (sign) harus lebih diandalkan daripada gejala (symptoms)

e. Terapi kelompok dan terapi kognitif-perilaku dapat bermanfaat

f. Belum terdapat psikofarmaka yang efektif untuk mengatasi gejala gangguan


somatisasi, dan hanya dianjurkam bila terbukti ada komorbid gangguan
psikiatris lainnya.

Prognosis

Gangguan somatisasi cenderung bersifat kronis dan berfluktuasi.


Remisi total jarang tercapai. Dengan tatalaksana yang tepat maka distress
dapat dikurangi namun tidak dapat sama sekali dihilangkan.

2. Gangguan Konversi
Definisi
Gangguan konversi menurut DSM IV (Kaplan, sadock, & Grebb)
adalah gangguan dengan karakteristik munculnya satu atau beberapa simtom
neurologis yang ada. (fausiah, widury,2005: 29). Pada conversion disorder,
gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan
secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya
system saraf, padahal organ tubuh dan system saraf individu tersebut baik-baik
saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukan dengan fakta
bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak
menyenangkan. Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja
atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian
yang tidak menyenangkan dalam hidup. Conversion disorder biasanya

10
berkaitan dengan diagnosis Axis 1 lainnya seperti depresi dan
penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan angguan kepribadian.
Gangguan konversi didefinisikan sebagai kehilangan fungsi tubuh
yang tidak sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat
dan tepi. DSM-IV membatasi gangguan konversi hanya pada gejala
neurologik.

Epidemiologi

Data statistik yang dimiliki saat ini terbatas, dan angka prevalensi
diperkirakan 1-3% dari jumlah kunjungan rawat jalan. Angka berbeda untuk
setiap jenis populasi. 5-15% kasus gangguan konversi pada pasien yang
memerlukan konsultasi di sebuah rumah sakit umum dilaporkan oleh beberapa
peneliti. Di Amerika Serikat, terdapat rumah sakit veteran dimana 25-30%
pasiennya mengalami gangguan konversi. Gangguan konversi jauh lebih
umum pada wanita, populasi pedesaan, penduduk negara berkembang, orang-
orang status sosioekonomi rendah, anggota militer yang pernah terpapar
medan perang, dan pengetahuan medis yang rendah.

Etiologi

 Faktor Psikoanalitik

Sesuai nama gangguan ini yaitu “konversi”, menurut teori


psikoanalitik pasien-pasien tersebut memiliki konflik alam bawah sadar yang
tidak terselesaikan. Konflik terjadi ketika muncul hasrat tetapi oleh alam
bawah sadar dikenali sebagai sesuatu yang terlarang. Konflik ini menimbulkan
suatu kecemasan yang kemudian demi mengurangi rasa cemas itu maka
dikonversikan menjadi gejala fisik yang sebetulnya adalah ekspresi samar dari
hasrat terlarang tersebut. Misalnya pasien gangguan konversi dengan gejala
vaginismus mengeluarkan gejala tersebut untuk melindungi pasien dari konflik
akibat hasrat seksual yang terlarang. Jadi dapat disimpulkan pada gangguan
somatoform gejala-gejalanya bersifat simbolik.

11
 Faktor Pembelajaran

Ada teori yang menyebutkan gejala konversi dapat dilihat sebagai


perilaku yang dapat dipelajari secara classic conditioning.

 Faktor Biologis

Terjadi hipometabolisme pada area hemisfer serebri yang dominan dan


hipermetabolisme pada area yang non-dominan

Gejala Klinis

Dapat terjadi berbagai macam gejala neurologis pada gangguan


konversi. Presentasi klinis yang dianggap paling umum adalah psychogenic
non-epileptic seizure (pseudoseizure). Gejala pseudoneurologik berupa
kelemahan ekstremitas lebih jarang. Gejala konversi yang ringan kadang-
kadang terjadi, misalnya nyeri dada pada saat kehilangan orang yang dicintai.

Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis menurut DSM-IV adalah:

 Satu atau lebih gejala atau defisit motorik volunter atau sensorik yang
diperkirakan sebagai suatu kondisi neurologis atau kondisi medik umum
lainnya

 Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala dan defisit karena permulaan
atau eksaserbasi gejala dan defisit didahului stressor psikologis

 Gejala atau defisit tidak dengan sengaja dibuat atau berpura-pura

 Gejala atau defisit setelah cukup penelusuran tidak dapat dijelaskan secara
penuh sebagai kondisi medik umum atau sebagai akibat langsung dari zat, atau
secara kultural sebagai perilaku atau pengalaman penebusan.

 Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan atau hendaya yang bermakna


secara klinis di bidang sosial, pekerjaan atau fungsi lain atau menuntut
evaluasi medis

12
 Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan bukan karena
gangguan mental lainnya.

Perjalanan Penyakit

Hampir semua gejala awal (90-100%) dari pasien dengan gangguan


konversi membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan.
Sebanyak 75% pasien tidak pernah mengalami gangguan ini lagi, namun 25%
mengalami episode tambahan saat stresor psikis muncul kembali. 1,2

Tatalaksana

Sebelum memulai tatalaksana kita perlu kembali pada pemahaman


teori gangguan konversi bahwa gejala merupakan suatu bentuk perlindungan
pasien terhadap kecemasan akibat konflik intrapsikik. Menghilangkan
mekanisme defense ini (misal melalui hypnosis) akan membuat pasien merasa
rentan dan tak berdaya, sehingga penanganan haruslah memperhatikan stresor
psikologis yang mendasari munculnya gejala konversi.2

a. Terapi non farmakologis

Sugesti yang kuat serta pendidikan yang empatik sangat penting. Mirip
dengan gangguan somatisasi pasien perlu diajarkan hubungan erat antara
pikiran, otak, dan tubuh. Dokter perlu berbicara secara apa adanya tentang
definsi dan pemahaman medis terkini mengenai gangguan konversi serta
berbicara dengan yakin bahwa gejala ini akan sembuh dengan cepat

b. Wawancara pasien dibawah pengaruh amobarbital atau hypnosis2

Ketika sugesti dan edukasi tidak berhasil dilakukan, maka teknik


amobarbital dan hypnosis dapat dicoba. Penggunaan teknik ini membutuhkan
pelatihan dan pengalaman, dapat membantu praktisi untuk memasuki wilayah
konflik intrapsikis yang sebelumnya ditutup oleh pasien. Selama masa
“altered-state” pasien dapat mengalami penurunan gejala karena efek
relaksasi. Amobarbital sendiri perlu diingat adalah obat anti kejang sehingga
ia dapat mengurangi gejala kejang akibat real-seizure.

13
i. Indikasi terapi ini :

 Pemulihan fungsi pseudoneurologik

 Membedakan gangguan konversi dengan malingering

 Abreaksi gangguan strest pasca trauma

 Pemulihan memory akibat fugue psikogenik dan amnesia

ii. Kontraindikasi terapi ini

 Kontraindikasi absolut berupa riwayat alergi dan porfiria

 Infeksi atau sumbatan saluran pernapasan

 Gangguan fungsi jantung, liver dan renal yang berat

 Kecanduan barbiturate

 Hipotensi atau hipertensi yang significant

 Minimal 12 jam sesudah minum alkohol terakhir bila ada


kecurigaan keracunan alkohol

 Pasien paranoid

 Pasien menolak prosedur

iii. Risiko dari terapi ini

 Risiko utama adalah gangguan pernapasan yang dapat mengarah


kepada apneu, khususnya jika pemberian terlalu cepat
(>50mg/min) atau dosis terlalu besar (>500 mg)

 Kolaps vasomotor dan laryngospasma, lebih jarang ditemukan

 Regresi psikotik

c. Psikoterapi Psikodinamik

Dapat membantu pasien memahami konflik intrapsikis dan simbolisasi

14
Prognosis

Faktor-faktor yang membuat prognosis lebih baik antara lain onset


yang akut, stresor yang teridentifikasi, durasi gejala singkat, level kecerdasan
pasien, gejala kelumpuhan, gejala kebutaan. Pasien dengan gejala kejang atau
tremor biasanya memiliki prognosis lebih buruk.

3. Hipokondriasis
Definisi
Kata “hipokondriasis” berasal dari istilah medis lama
”hypochondrium”, yang berarti di bawah tulang rusuk, dan mereflesikan
gangguan pada bagian perut yang sering dikeluhkan pasien
hipokondriasis. Hipokondriasis adalah hasil interpretasi pasien yang tidak
realistis dan tidak akurat terhadap simtom atau sensasi. Sehingga
mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa mereka memiliki
gangguan yang parah, bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang
ditemukan. Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang serius
dan belum dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan
menunjukkan kebalikannya. (Fausiah, Widury,2005:28).
Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan
cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya
merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan,
bahkan terkadang mereka menganggap dokter mereka tidak kompeten dan
tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, kring, 2004).
Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi
fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak
teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit
perut, sebagai bukti dari kepercayaan mereka. Hypochondriasis
seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.
(Ardani, 2010 : 96).
Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang
berpreokupasi dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang
serius dan tidak mau menerima penjelasan medis yang menunjukkan
bahwa dirinya tidak menderita sakit.

15
Epidemiologi

Prevalensi hipokondriasis pada rawat jalan adalah 4-9%

Etiologi

Hipokondriasis disebabkan pasien memiliki skema kognitif yang salah.


Pasien menginterpretasikan sensasi fisik yang mereka rasakan secara
berlebihan. Menurut teori psikodinamik hipokondriasis terjadi karena
permusuhan dan agresi dipindahkan ke dalam bentuk somatik melalui
mekanisme repression dan displacement. Kemarahan yang dimaksud berasal
dari kejadian penolakan dan ketidakpuasan di masa lalu. Selain kemarahan,
dapat juga penyebabnya adlaah rasa bersalah dan gejala timbul karena pasien
ingin menebus kesalahannya melalui penderitaan somatik.

Gambaran Klinik

Pasien terus merasa dirinya menderita penyakit serius yang belum bisa
dideteksi walaupun hasil laboratorium sudah menyatakan negatif dan dokter
sudah meyakinkan bahwa pasien tidak mengidap sakityang serius.

Diagnosis

Diagnosis berdasarkan DSM-IV, kriteria diagnosis hipokondriasis


adalah sebagai berikut :

a. Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai penyakit


serius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejala-gejala tubuh

b. Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medik dan


penentraman

c. Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas seperti waham

d. Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau


hendaya dlaam bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya

e. Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan

16
f. Preokupasi bukan disebabkan gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif
kompulsif, gangguan panik

Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodik, yang durasinya


setiap episode berkisar antara bulan-tahun. Dapat terjadi periode tenang di
antara episode-episode.

Tatalaksana

a. Kesabaran dan reassurance adalah kunci sebab pasien hipokondriasis sering


menggunakan sumber daya medis dan menguras waktu dokter

b. Psikoterapi

i. Psikoterapi psikoanalitik umumnya tidak bermanfaat

ii. Terapi Suportif bermanfaat bila didukung hal-hal berikut :

 Ada informasi akurat mengenai gejala

 Edukasi mengenai mispersepsi dan misinterpretasi gejala dan


sensasi somatik

 Kunjungan dan pemeriksaan fisik secara berkala

 Reassurance

 Penggunaan anxiolytic singkat selama periode stress tinggi

iii. Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) merupakan bentuk psikoterapi pilihan

c. Farmakoterapi

Obat golongan SSRI bermanfaat pada pasien dengan hipokondriasis


terisolasi (tanpa ko-morbid psikiatris seperti gangguan cemas atau panik).
Fluoxetine atau paroxetine dengan dosis max 60 mg/h dan dapat juga
sertraline dosis minimal 150 mg/h.

17
Prognosis

Hipokondriasis cenderung menjadi kronis dengan periode remisi dan


eksaserbasi yang dipicu stres. Prognosis yang baik berkaitan dengan status
sosial ekonomi yang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan depresi yang
responsif, onset gejala mendadak, tidak ada gangguan kepribadian, dan tidak
ada gangguan medis non-psikiatrik yang terkait. Bila yang menderita
hipokondriasis adalah anak-anak maka akan membaik saat remaja atau dewasa
awal.

4. Body Dysmorphic Disorder


Definisi
Definisi gangguan ini adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh
yang tidak nyata (misalnya hidung yang dirasakannya kurang mancung),
atau keluhan yang berlebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal
atau kecil. Perempuan lebih cenderung untuk memfokuskan pada bagian
kulit, dada, paha, dan kaki. Sedangkan pria lebih terfokus pada tinggi
badan, ukuran alat vital, atau rambut tubuh. (Fausiah, Widury,2005:27).
Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan
mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian
wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan,
atau bentuk dan ukuran hidung. Beberapa individu yang mengalami
gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam
setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan
berkaca di cermin. Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk
menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Factor
social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang
merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.
(Ardani,2011:96).
Manifestasi klinis
• Merupakan sekumpulan orang yg bersifat heterogen dengan nyeri
pinggang bawah, sakit kepala, dan nyeri lain-lainya.
• Memiliki riw. Panjang perawatan medis dan pembedan
• Kunjungi banyak dokter, minta banyak obat
• Berpreokupasi dgn rasa nyeri & menyalahkan hal itu sbg sumber

18
kesengsaraan
• Menyangkal ada sumber lain sbg penyebab emosi disforik
• Gejala depresi menonjol (anergia, anhedonia, menurun libido,
insomnia, iritabel)
• Variasi diurnal, penurunan BB, retardasi psikomotor jarang
Diagosis
Berdasarkan DSM-IV-TR :
 Nyeri pada satu tempat anatomis/lebih yang merupakan fokus utama
dari manifestasi klinis dan cukup untuk dijadikan perhatian klinis.
 Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya di
bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
 Faktor psikologi berperan penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau bertahannya nyeri.
 Gejala/defisit tidak dibuat sengan sengaja/berpura-pura
 Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan suasan perasaan
(mood), cemas, atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria
unutk diparunia.
Perjalanan penyakit & prognosis
 Nyeri muncul tiba-tiba
 Derajat keparahan meningkat dalam beberapa minggu/bulan
 Prognosis bervariasi
Terapi
• Farmakoterapi
 SSRI – paling efektif
 Amfetamin – efek analgetik & bermanfaat (dosis harus di pantau)
• Psikoterapi

5. Gangguan Nyeri
Definisi
Pada gangguan ini individu akan mengalami gejala sakit atau nyeri
pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan dengan
pemeriksaan medis (non psikiatri) maupun neurologis. Simtom ini
menimbulkan strees emosional ataupun gangguan fungsional, dan

19
gangguan ini dianggap memiliki hubungan sebab akibat dengan factor
psikologis. Keluhan yang dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan
sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi, dan situasi.
Dengan kata lain, factor psikologis mempengaruhi kemunculan,
bartahannya, dan tingkat keparahan gangguan. (Fausiah, Widury,
2005:26).
Pasien pain disorder kemungkinan tidak mampu untuk bekerja
dan menjadi tergantung dengan obat pada pereda rasa sakit. Rasa nyeri
yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula
terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak
menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang
sebelumnya tidak didapat.(Ardani,2011:95). Nyeri timbul dalam
hubungan dengan adanya konflik emosional atau problem psikososial
yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi
terjadinya gangguan tersebut. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian
dan dukungan, baik personal maupun medis untuk yang bersangkutan.
(Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medic,1993:219).
Menurut DSM-IV gangguan nyeri adalah nyeri yang merupakan
keluhan utama dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor psikologislah
yang berperan dalam pengalaman nyeri pasien dan perilaku mencari
pertolongan medis.
Epidemiologi

Sekitar 7 juta orang di Amerika mengeluhkan hendaya akibat nyeri


pinggang bawah. Gejala nyeri sendiri merupakan gejala paling umum yang
akan dijumpai dalam praktek kedokteran. Waspadai keluhan nyeri akibat
ketergantungan opioid dan benzodiazepine iatrogenik. Nyeri kronik biasanya
dikaitkan dengan gejala depresi berat (25-50%), atau dystimia (60-100%) .

Etiologi

a. Faktor Psikodinamik

i. Bentuk ekspresi konflik intrapsikis secara simbolik melalui tubuh.

20
ii. Pasien dengan aleksitimia tidak mampu perasaannya secara verbal
sehingga menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri

iii. Beberapa orang menganggap luka emosional sebagai kelemahan


sehingga memindahkan (displacing) masalah pada tubuh

iv. Bisa juga sebagai bentuk penebusan terhadap rasa berdosa atau bersalah

v. Cara untuk mencari cinta

b. Faktor perilaku

Perilaku nyeri diperkuat ketika pasien dihargai atau dicemaskan dan dihambat
ketika pasien diabaikan

c. Faktor interpersonal

Nyeri yang sulit diobati dapat menjadi sarana untuk memanipulasi hubungan
interpersonal, misalnya memastikan kesetiaan pasangan untuk
mempertahankan perkawinan yang rapuh

d. Faktor Biologis

Defisiensi endorfin dapat menjadi penyebab. Demikian juga pada pasien


dengan kelainan struktur limbik dan sensorik, abnormalitas tersebut dapat
menjadi faktor predisposisi.

Gambaran klinis

Pasien dengan gangguan nyeri akan datang dengan keluhan utama


nyeri di berbagai lokasi biasanya nyeri pinggang bawah, nyeri kepala, nyeri
fasial atipikial. Pasien umumnya punya riwayat panjang perawatan medis dan
pembedahan. Banyak yang mengunjungi beberapa dokter, meminta obat
dalam jumlah besar, bahkan mendesak pembedahan.

Kriteria Diagnosis

Berdasarkan DSM-IV

a. Nyeri pada satu tempat atau lebih yang menjadi fokus utama dan cukup berat
untuk menjadi perhatian klinis

21
b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya dalam bidang
sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya

c. Faktor psikologis berperan penting dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau


bertahannya nyeri

d. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-pura

e. Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan mood, cemas, atau
psikotik, dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.

Beri kode sebagai berikut :

- Gangguan nyeri berasosisasi dengan faktor psikologis : dimana faktor


psikologis dinilai mempunya peranan dalam awitan, keparahan, eksaserbasi,
atau bertahannya nyeri. Bilamana ada gangguan medis umum hal tersebut
dinilai tidak berperan dalam gejala nyeri yang ditimbulkan

- Gangguan nyeri berasosiasi baik dengan faktor psikologis maupun kondisi


medik umum. Gangguan medis umum yang dimaksud perlu dicantumkan pada
Axis III pada bagan diagnosis multiaksial

Selanjutnya juga perlu digolongkan apakah berdasarkan perjalanannya


gangguan nyeri ini bersifat akut atau kronik, dengan kriteria akut < 6 bulan
dan kronik 6 bulan atau lebih.

Perjalanan Klinis

Nyeri muncul secara tiba-tiba dan derajat keparahan meningkat dalam


beberapa minggu atau bulan

Tatalaksana

a. Kenali dan tangani semua gangguan medis umum yang mungkin berkontribusi
terhadap gejala nyeri

b. Seperti pada gangguan somatisasi dan hipokondriasis, target tatalaksana


bukanlah kesembuhan melainkan perawatan, sebab tidak mungkin
menghilangkan nyeri

22
c. Terapis perlu mendiskusikan sejak awal bahwa sumber nyeri pasien adalah
psikogenik, menjelaskan berbagai sirkuit dalam otak yang terlibat dengan
emosi seperti sistem limbik akan mempengaruhi sensorik. Namun terapis
harus memahami bahwa nyeri yang dialami pasien sebagai sesuatu yang nyata

d. Klinik nyeri (pain clinic) dengan pendekatan multidisipliner sering


bermanfaat, sekaligus menunjukkan pada pasien bahwa penderitaan mereka
ditangani secara serius

e. Terapi perilaku yang membimbing pasien untuk menerima rasa nyeri dan
mengoptimalisasi fungsi mereka walaupun tetap ada rasa nyeri

f. Farmakoterapi yang dapat menolong adalah golongan antidepresan trisiklik


dan SSRI. Golongan analgetik, sedatif, dan anticemas tidak bermanfaat bahkan
dapat menimbulkan ketergantungan dan memperparah gejala.

Prognosis

Prognosis umumnya kronik dan pada akhirnya menimbulkan


penderitaan dan ketidakberdayaan.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala
fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan
penjelasan medis yang adekuat. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan
oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan. Gambaran yang penting dari
ganguan somatoform adalah adanya gejala fisik, dimana tidak ada kelainan
organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut terdapat bukti positif
atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor
psikologis atau konflik.
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik
yang berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-
kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada
kelainan yang mendasari keluhannya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, H.I., Saddock, B.J., dan Grebb J.A., 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2. Jakarta: Binanupa Aksara

Mansjoer, A., dkk (editor), 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Penerbit Media
Aesculapicus : Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura

Departemen Kesehatan R.I., 1995. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI

Elvira, S. D., dkk (editor), 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Setio, M. (editor), 1994. Buku Saku Psikiatri. Jakarta: EGC

Diagnostic and Statiscal Manual of Mental Disorder, Fourth Edition DSM-IV TM ,


copyright 2000. The American Psychiatric Associstion Washingthon DC.

Durant, V. Mark dan David H. Barlow. 2006. Intisari Psikologi Abnormal edisi
keempat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGI-III. Jakarta: PT Nuh Jaya.

Nevid, Jefri S., Spencer A. Rathus dan Beverly Greene. 2009. Psikologi Abnormal
edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

25

Anda mungkin juga menyukai