PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik,
dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal
tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut
terkait dengan adanya faktor psikologis atau konflik. Karena gejala tak spesifik
dari beberapa sistem organ dapat terjadi pada penderita anxietas maupun
penderita somatoform disorder, diagnosis anxietas sering disalah diagnosiskan
menjadi somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya somatoform
disorder, tidak menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang. Pada DSM-IV
1
ada 5 kategori penting dari somatoform disorder, yaitu hipokhondriasis, gangguan
somatisasi, gangguan konversi, gangguan dismorfik tubuh dan gangguan nyeri
somatoform.
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Somatoform
Somatoform adalah kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik (misalnya
nyeri, mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara
medis.(Fausiah, Widury, 2005:25). Somatoform adalah individu yang
mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang berlebihan, tetapi pada
dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. (Ardani, 2011:91).
Somatoform berasal dari bahasa Yunani yang memiliki asal kata soma, artinya
tubuh. Somatoform adalah gangguan yang berorientasi pada fisik seperti mual,
nyeri, kembung, kehilangan fungsi tubuh yang sesungguhnya tidak ada
abnormalitas pada fisiologis yang dapat ditemukan penyebabnya melalui
pemeriksaan medik.[2] Pendapat yang lain menyatakan gangguan somatoform
merupakan kekhawatiran adanya ketidak mampuan pada inderawi, kognisi dan
emosi pada seseorang terhadap penampilan atau fungsi tubuhnya yang pada
umumnya tidak diketemukan gejalanya pada pemeriksaan medis. Didalam DSM
IV gangguang somatoform dibagi menjadi enam golongan, yaituHypocodriasis,
somatization disorder, convension disorder, pain disorder, body dismorphic
disorder, dan Somatoform Disorder Not Otherwise Specified.
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani “soma” yang berarti
tubuh. Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan
dimana :
a. Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun tidak
dapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung penyakit fisik
sebagai penyebab gejala
b. Adanya dugaan kuat bahwa gejala- gejala tersebut berkaitan dengan faktor
psikologis
3
a. Manifestasi stres psikologik menjadi gejala somatik
c. Adanya amplifikasi, yaitu dimana sensasi dari gejala fisik mengakibatkan rasa
cemas (anxiety), kemudian rasa cemas dan aktivasi autonomik yang
diasosiasikan dengan rasa cemas tersebut mengakibatkan eksaserbasi gejala
fisik.
B. SEJARAH SOMATOFORM
Gangguan ini memiliki sejarah yang panjang dan gangguan ini biasanya
dihubungkan dengan wanita. Pada awal tahun 1500 S.M. dalam buku
karangan Hippokrates itu adalah penyakit fisik yang terbatas pada wanita.
Karena itu, gangguan-gangguan tersebut dinamakan histeria, dan kata histeria
itu berasal dari kata hystero yang berarti rahim, Hippokrates dan orang-orang
yunani pada umumnya beranggapan bahwa penyakit itu disebabkan oleh
rahim tidak dipuaskan secara seksual, karenanya ia berkelana ke bagian-
bagian tubuh lainnya (wandering uterus) untuk mencari kepuasan. Dan dalam
perjalanan itu, ia meletakan dirinya sedemikian rupa sehingga menyebabkan
gangguan. Misalnya, bila seorang wanita mengalami kelumpuhan lengan,
maka diandalkan bahwa rahim itu tertahan dipundak atau sikunya,
meskipun Hippokrates tidak berbicara secara khusus tentang penyebab
seksual pada gangguan somatoform.
4
dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan kelainan fisik yang menjadi
dasar keluhannya. Seandainya ada gangguan fisik, maka gangguan tersebut
tidak menjelaskan gejala atau distress dan preokupasi yang dikemukakan
pasien.
Meskipun onset dan kelanjutan dari gejala-gejala tadi mempunyai
hubungan yang erat dengan peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan
ataupun konflik-konflik, pasien biasanya menolak upaya-upaya untuk
membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis, bahkan meskipun
ditemukan gejala-gejala anxietas dan depresi yang nyata. (Departemen
Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik,1993:209).
1. Gangguan Somatisasi
Definisi.
Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik berbagai
keluhan atau gejala somatic yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat dengan
menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Perbedaan antara
gangguan somatisasi dengan gangguan somatoform lainnya adalah banyaknya
keluhan dan banyaknya system tubuh yang terpengaruh. Gangguan ini sifatnya
kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun), dan
berhubungan dengan strees psikologis yang signifikan, hendaya dalam
kehidupan social dan pekerjaan, serta perilaku mencari pertolongan medis
5
yang berlebihan. (Fausiah, Widury,2005:33).
Ciri utamanya adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam-
macam, berulang dan sering berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung
beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiatri. Kebanyakan pasien
mempunyai riwayat pengobatan yang panjang dan sangat kompleks, baik ke
pelayanan kesehatan dasar, maupun spesialistik, dengan hasil pemeriksaan
atau bahkan operasi yang negative. Keluhannya dapat mengenai setiap system
atau bagian tubuh manapun, tetapi yang paling lazim adalah yang mengenai
keluhan gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, bertahak, muntah, mual,
dsb) dan keluhan-keluhan perasaan abnormal pada kulit (perasaan gatal, rasa
terbakar, kesemutan, pedih) serta bercak-bercak pada kulit. (Departemen
Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medic,1993:210).
Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari gangguan
somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan berbagai sistem organ tidak
dapat dijelaskan secara medis.
Prevalensi
Prevalensi sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Rasio
wanita : pria adalah 5:1. Onset biasanya dimulai saat remaja
Etiologi
Faktor Psikososial
6
perasaan. Pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan budaya dapat
mengakibatkan pasien terbiasa menggunakan somatisasi.1
Faktor Biologis
Presentasi Klinis
Diagnosis
a. Riwayat gejala fisik yang banyak (atau suatu keyakinan bahwa dirinya sakit)
yang mulai sebelum usia 30 tahun, berlangsung selama beberapa tahun, dan
mengakibatkan perilaku mencari pertolongan medis (”medical seeking
behavior”) atau hendaya yang bermakna.
7
b. Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi kapanpun
selama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus dipenuhi. Gejala-
gejala yang dimaksud antara lain:
Perjalanan Penyakit
8
Tatalaksana
vi. Hindari penjelasan prematur mengenai hubungan antara gejala fisik dan
fenomena psikologis. Lakukan penjelasan secara bertahap yang
membuat pasien mengerti dan menganggapnya serius. Hindari saran-
saran yang menyatakan bahwa segala masalah terletak dalam “kepala”
pasien
9
Ajarkan bahwa adanya relasi erat antara tubuh, otak, dan pikiran
dengan menggunakan contoh-contoh sederhana yang bisa diterima
pasien (muka memerah bila merasa malu, mulut kering bila
berbicara di depan umum, sesak dan jantung berdegup cepat bila
cemas, sakit kepala bila tegang)
Prognosis
2. Gangguan Konversi
Definisi
Gangguan konversi menurut DSM IV (Kaplan, sadock, & Grebb)
adalah gangguan dengan karakteristik munculnya satu atau beberapa simtom
neurologis yang ada. (fausiah, widury,2005: 29). Pada conversion disorder,
gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan
secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya
system saraf, padahal organ tubuh dan system saraf individu tersebut baik-baik
saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukan dengan fakta
bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak
menyenangkan. Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja
atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian
yang tidak menyenangkan dalam hidup. Conversion disorder biasanya
10
berkaitan dengan diagnosis Axis 1 lainnya seperti depresi dan
penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan angguan kepribadian.
Gangguan konversi didefinisikan sebagai kehilangan fungsi tubuh
yang tidak sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat
dan tepi. DSM-IV membatasi gangguan konversi hanya pada gejala
neurologik.
Epidemiologi
Data statistik yang dimiliki saat ini terbatas, dan angka prevalensi
diperkirakan 1-3% dari jumlah kunjungan rawat jalan. Angka berbeda untuk
setiap jenis populasi. 5-15% kasus gangguan konversi pada pasien yang
memerlukan konsultasi di sebuah rumah sakit umum dilaporkan oleh beberapa
peneliti. Di Amerika Serikat, terdapat rumah sakit veteran dimana 25-30%
pasiennya mengalami gangguan konversi. Gangguan konversi jauh lebih
umum pada wanita, populasi pedesaan, penduduk negara berkembang, orang-
orang status sosioekonomi rendah, anggota militer yang pernah terpapar
medan perang, dan pengetahuan medis yang rendah.
Etiologi
Faktor Psikoanalitik
11
Faktor Pembelajaran
Faktor Biologis
Gejala Klinis
Kriteria Diagnosis
Satu atau lebih gejala atau defisit motorik volunter atau sensorik yang
diperkirakan sebagai suatu kondisi neurologis atau kondisi medik umum
lainnya
Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala dan defisit karena permulaan
atau eksaserbasi gejala dan defisit didahului stressor psikologis
Gejala atau defisit setelah cukup penelusuran tidak dapat dijelaskan secara
penuh sebagai kondisi medik umum atau sebagai akibat langsung dari zat, atau
secara kultural sebagai perilaku atau pengalaman penebusan.
12
Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan bukan karena
gangguan mental lainnya.
Perjalanan Penyakit
Tatalaksana
Sugesti yang kuat serta pendidikan yang empatik sangat penting. Mirip
dengan gangguan somatisasi pasien perlu diajarkan hubungan erat antara
pikiran, otak, dan tubuh. Dokter perlu berbicara secara apa adanya tentang
definsi dan pemahaman medis terkini mengenai gangguan konversi serta
berbicara dengan yakin bahwa gejala ini akan sembuh dengan cepat
13
i. Indikasi terapi ini :
Kecanduan barbiturate
Pasien paranoid
Regresi psikotik
c. Psikoterapi Psikodinamik
14
Prognosis
3. Hipokondriasis
Definisi
Kata “hipokondriasis” berasal dari istilah medis lama
”hypochondrium”, yang berarti di bawah tulang rusuk, dan mereflesikan
gangguan pada bagian perut yang sering dikeluhkan pasien
hipokondriasis. Hipokondriasis adalah hasil interpretasi pasien yang tidak
realistis dan tidak akurat terhadap simtom atau sensasi. Sehingga
mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa mereka memiliki
gangguan yang parah, bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang
ditemukan. Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang serius
dan belum dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan
menunjukkan kebalikannya. (Fausiah, Widury,2005:28).
Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan
cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya
merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan,
bahkan terkadang mereka menganggap dokter mereka tidak kompeten dan
tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, kring, 2004).
Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi
fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak
teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit
perut, sebagai bukti dari kepercayaan mereka. Hypochondriasis
seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.
(Ardani, 2010 : 96).
Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang
berpreokupasi dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang
serius dan tidak mau menerima penjelasan medis yang menunjukkan
bahwa dirinya tidak menderita sakit.
15
Epidemiologi
Etiologi
Gambaran Klinik
Pasien terus merasa dirinya menderita penyakit serius yang belum bisa
dideteksi walaupun hasil laboratorium sudah menyatakan negatif dan dokter
sudah meyakinkan bahwa pasien tidak mengidap sakityang serius.
Diagnosis
16
f. Preokupasi bukan disebabkan gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif
kompulsif, gangguan panik
Perjalanan Penyakit
Tatalaksana
b. Psikoterapi
Reassurance
c. Farmakoterapi
17
Prognosis
18
kesengsaraan
• Menyangkal ada sumber lain sbg penyebab emosi disforik
• Gejala depresi menonjol (anergia, anhedonia, menurun libido,
insomnia, iritabel)
• Variasi diurnal, penurunan BB, retardasi psikomotor jarang
Diagosis
Berdasarkan DSM-IV-TR :
Nyeri pada satu tempat anatomis/lebih yang merupakan fokus utama
dari manifestasi klinis dan cukup untuk dijadikan perhatian klinis.
Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya di
bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
Faktor psikologi berperan penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau bertahannya nyeri.
Gejala/defisit tidak dibuat sengan sengaja/berpura-pura
Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan suasan perasaan
(mood), cemas, atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria
unutk diparunia.
Perjalanan penyakit & prognosis
Nyeri muncul tiba-tiba
Derajat keparahan meningkat dalam beberapa minggu/bulan
Prognosis bervariasi
Terapi
• Farmakoterapi
SSRI – paling efektif
Amfetamin – efek analgetik & bermanfaat (dosis harus di pantau)
• Psikoterapi
5. Gangguan Nyeri
Definisi
Pada gangguan ini individu akan mengalami gejala sakit atau nyeri
pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan dengan
pemeriksaan medis (non psikiatri) maupun neurologis. Simtom ini
menimbulkan strees emosional ataupun gangguan fungsional, dan
19
gangguan ini dianggap memiliki hubungan sebab akibat dengan factor
psikologis. Keluhan yang dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan
sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi, dan situasi.
Dengan kata lain, factor psikologis mempengaruhi kemunculan,
bartahannya, dan tingkat keparahan gangguan. (Fausiah, Widury,
2005:26).
Pasien pain disorder kemungkinan tidak mampu untuk bekerja
dan menjadi tergantung dengan obat pada pereda rasa sakit. Rasa nyeri
yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula
terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak
menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang
sebelumnya tidak didapat.(Ardani,2011:95). Nyeri timbul dalam
hubungan dengan adanya konflik emosional atau problem psikososial
yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi
terjadinya gangguan tersebut. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian
dan dukungan, baik personal maupun medis untuk yang bersangkutan.
(Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medic,1993:219).
Menurut DSM-IV gangguan nyeri adalah nyeri yang merupakan
keluhan utama dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor psikologislah
yang berperan dalam pengalaman nyeri pasien dan perilaku mencari
pertolongan medis.
Epidemiologi
Etiologi
a. Faktor Psikodinamik
20
ii. Pasien dengan aleksitimia tidak mampu perasaannya secara verbal
sehingga menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri
iv. Bisa juga sebagai bentuk penebusan terhadap rasa berdosa atau bersalah
b. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat ketika pasien dihargai atau dicemaskan dan dihambat
ketika pasien diabaikan
c. Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati dapat menjadi sarana untuk memanipulasi hubungan
interpersonal, misalnya memastikan kesetiaan pasangan untuk
mempertahankan perkawinan yang rapuh
d. Faktor Biologis
Gambaran klinis
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV
a. Nyeri pada satu tempat atau lebih yang menjadi fokus utama dan cukup berat
untuk menjadi perhatian klinis
21
b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya dalam bidang
sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya
e. Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan mood, cemas, atau
psikotik, dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
Perjalanan Klinis
Tatalaksana
a. Kenali dan tangani semua gangguan medis umum yang mungkin berkontribusi
terhadap gejala nyeri
22
c. Terapis perlu mendiskusikan sejak awal bahwa sumber nyeri pasien adalah
psikogenik, menjelaskan berbagai sirkuit dalam otak yang terlibat dengan
emosi seperti sistem limbik akan mempengaruhi sensorik. Namun terapis
harus memahami bahwa nyeri yang dialami pasien sebagai sesuatu yang nyata
e. Terapi perilaku yang membimbing pasien untuk menerima rasa nyeri dan
mengoptimalisasi fungsi mereka walaupun tetap ada rasa nyeri
Prognosis
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala
fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan
penjelasan medis yang adekuat. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan
oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan. Gambaran yang penting dari
ganguan somatoform adalah adanya gejala fisik, dimana tidak ada kelainan
organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut terdapat bukti positif
atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor
psikologis atau konflik.
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik
yang berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-
kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada
kelainan yang mendasari keluhannya.
24
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, H.I., Saddock, B.J., dan Grebb J.A., 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2. Jakarta: Binanupa Aksara
Mansjoer, A., dkk (editor), 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Penerbit Media
Aesculapicus : Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
Departemen Kesehatan R.I., 1995. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI
Elvira, S. D., dkk (editor), 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Durant, V. Mark dan David H. Barlow. 2006. Intisari Psikologi Abnormal edisi
keempat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGI-III. Jakarta: PT Nuh Jaya.
Nevid, Jefri S., Spencer A. Rathus dan Beverly Greene. 2009. Psikologi Abnormal
edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
25