Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani soma yang artinya tubuh. Gangguan ini

merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen utama dari tanda
gejalanya adalah tubuh. Gangguan ini mencakup interaksi tubuh-pikiran (body-mind).
Pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan adanya kaitan dengan keluhan pasien.
Pada DSM-IV ada 5 kategori penting dari gangguan ini meliputi : (1). Gangguan somatisasi,
(2). Gangguan konversi, (3). Hipokondriasis, (4). Body dysmophic disorder, (5). Gangguan
nyeri.1
Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik,
dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut terdapat
bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor
psikologis atau konflik. Karena gejala tak spesifik dari beberapa sistem organ dapat terjadi
pada penderita anxietas maupun penderita somatoform disorder, diagnosis anxietas sering
disalah diagnosiskan menjadi somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya
somatoform disorder, tidak menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang.2
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima
bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang
lebih lanjut.3

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.

Definisi
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik

(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan medis
yang adekuat.1
Pada gangguan somatoform, orang memiliki simptom fisik yang mengingatkan pada
gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai
penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan
pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan
somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.1
2.2.

Etiologi
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang

mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam transmisi
gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan metabolisme
(hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non dominan.1
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut:1
a. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis (biasanya pada gangguan
somatisasi).
b. Faktor Psikososial
Penyebab gangguan melibatkan interpretasi gejala sebagai suatu tipe komunikasi
sosial, hasilnya adalah menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi atau untuk
mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan (contoh: nyeri pada usus seseorang).
2.3.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang

berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti


hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang
mendasari keluhannya.1,2
Beberapa orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan, atau
ada yang menekan di dalam tenggorokan. Masalah-masalah seperti ini dapat merefleksikan
aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otonomik, yang dapat
2

dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simptom muncul dalam bentuk yang
lebih tidak biasa, seperti kelumpuhan pada tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan
kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga dapat ditemukan manifestasi dimana
seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit yang serius, namun
tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.1,4
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima
bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang
lebih lanjut.3
Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita
penyakit serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.1
2.4.

Klasifikasi dan Diagnosis

Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi:3


F.45.0 gangguan somatisasi
F.45.1 gangguan somatoform tak terperinci
F.45.2 gangguan hipokondriasis
F.45.3 disfungsi otonomik somatoform
F.45.4 gangguan nyeri somatoform menetap
F.45.5 gangguan somatoform lainnya
F.45.6 gangguan somatoform YTT
DSM-IV, ada tujuh kelompok, lima sama dengan klasifikasi awal dari PPDGJ
ditambah dengan gangguan konversi, dan gangguan dismorfik tubuh. Pada bagian psikiatri,
gangguan yang sering ditemukan di klinik adalah gangguan somatisasi dan hipokondriasis.
1. Gangguan Somatisasi
Definisi
Gangguan somatisasi (somatization disorder) dicirikan dengan keluhan somatik yang
beragam dan berulang yang bermula sebelum usia 30 tahun (namun biasanya pada usia
remaja), bertahan paling tidak selama beberapa tahun, dan berakibat antara menuntut
perhatian medis atau mengalami hendaya yang berarti dalam memenuhi peran sosial atau
pekerjaan.1
Keluhan-keluhan yang diutarakan biasanya mencakup sistim-sistim organ yang
berbeda seperti nyeri yang samar dan tidak dapat didefinisikan, problem menstruasi/seksual,
orgasme

terhambat,

penyakit-penyakit

neurologik,

gastrointestinal,

genitourinaria,
3

kardiopulmonar, pergantian status kesadaran yang sulit ditandai dan lain sebagainya. Jarang
dalam setahun berlalu tanpa munculnya beberapa keluhan fisik yang mengawali kunjungan
ke dokter. Orang dengan gangguan somatisasi adalah orang yang sangat sering memanfaatkan
pelayanan medis. Keluhan-keluhannya tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik atau
melebihi apa yang dapat diharapkan dari suatu masalah fisik yang diketahui. Keluhan
tersebut juga tampak meragukan atau dibesar-besarkan, dan orang itu sering kali menerima
perawatan medis dari sejumlah dokter, terkadang pada saat yang sama.3
Etiologi
Belum diketahui. Teori yang ada yaitu teori belajar, terjadi karena individu belajar
untuk mensomatisasikan dirinya untuk mengekspresikan keinginan dan kebutuhan akan
perhatian dari keluarga dan orang lain.4
Epidemiologi
-

Wanita : pria = 10 :1, bermula pada masa remaja atau dewasa muda

Rasio tertinggi usia 20- 30 tahun

Pasien dengan riwayat keluarga pernah menderita gangguan somatoform (berisiko 10-20
kali lebih besar dibanding yang tidak ada riwayat).5

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi menurut DSM-IV


Untuk gangguan somatisasi, diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:1
A. Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan atau hendaya
dalam fungsi soaial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya
B. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan pun
selama perjalanan dari gangguan:
4 gejala nyeri: sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya
kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi,
selama hubungan seksual, atau selama miksi)
2 gejala gastrointestinal: sekurangnya dua gejala selain nyeri (misalnya mual,
kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap
beberapa jenis makanan)

1 gejala seksual: sekurangnya satu gejala selain dari nyeri (misalnya indiferensi
seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan
menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)
1 gejala pseudoneurologis: sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan
pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis, sulit menelan, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau
nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia;
atau hilangnya kesadaran selain pingsan).
C. Salah satu (1) atau (2):
Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dan
suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan
yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
D. Gejala-gejalanya tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan
buatan atau pura-pura).
Gangguan somatisasi didiagnosis sesuai dengan pedoman Diagnostic Statistic
Manual (DSM) IV-Text Revision (TR) dengan kriteria berikut: (1) riwayat keluhan fisik yang
sering terjadi selama beberapa tahun yang dimulai sebelum usia 30 tahun dengan hendaya
yang nyata walaupun pengobatan telah dilakukan, (2) dalam suatu masa sakit harus ada
empat gejala/gangguan yang setidaknya di empat fungsi yang berbeda; setidaknya terdapat
dua gejala sistem gastrointestinal, setidaknya satu keluhan seksual selain nyeri berhubungan
badan misalnya disfungsi ereksi yang terjadi kadang-kadang, setidaknya satu gejala
pseudoneurologi yang tidak terbatas pada nyeri misalnya kelemahan, kebutaan, kejang, dan
amnesia. Untuk semua keluhan tersebut, pemeriksaan medis fisis secara objektif gagal untuk
menemukan penyebab fisis keluhan yang dialami, ataupun jika memang terdapat kondisi
penyakit, keluhan yang dilaporkan oleh pasien melebihi apa yang sebenarnya terjadi pada
penyakit tersebut. Kondisi di atas perlu diingat bukanlah merupakan bagian dari sindrom
Munchaunsen (factitious disorder) atau malingering.5 Menurut literatur dari negara-negara
barat, gangguan somatisasi lebih banyak terjadi pada perempuan, namun pada praktiknya
sering ditemukan sama banyak antara perempuan dan laki-laki. Kepribadian pasien yang
biasanya erat kaitannya dengan gangguan somatisasi adalah kepribadian histrionik. Pasien
5

dengan gangguan tersebut secara dramatis memperlihatkan kebutuhan yang berlebihan untuk
mencari pertolongan, terkadang tanpa berpikir panjang menyetujui semua pertolongan yang
ditawarkan untuk mengatasi penyakitnya. Dalam wawancara yang menanyakan tentang
lamanya keluhan pasien, biasanya mereka menjawab sepanjang hidupnya.6
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis biasanya
ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai saat remaja. Masalah
menstruasi biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada wanita. Keluhan
seksual sering kali berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode keluhan yang
ringan berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang berat dan pengembangan dari keluhankeluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan. Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari
pertolongan medis. Adanya peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan eksaserbasi
gejala-gejala somatik.1
Terapi
Penanganan sebaiknya dengan satu orang dokter, sebab apabila dengan beberapa
dokter pasien akan mendapat kesempatan lebih banyak mengungkapkan keluhan somatiknya.
Interval pertemuan sebulan sekali. Meskipun pemeriksaan fisik tetap harus dilakukan untuk
setiap keluhan somatik yang baru dokter atau terapis harus mendengarkan keluhan somatik
sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medik.1
Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan pengeluaran
dana perawatan kesehatannya terutama untuk rawat inap di rumah sakit. Psikoterapi
membantu pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengekspresikan emosi yang mendasari
dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengungkapkan perasaannnya.
Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain (komorbid).
Pengawasan ketat terhadap pemberian obat harus dilakukan karena pasien dengan gangguan
somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan berganti-ganti dan tidak rasional.
2. Gangguan Konversi
Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan
konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Hal ini secara khas terjadi
dengan adanya stress dan memunculkan disfungsi berat. Kumpulan gejala yang saat ini

disebut dengan gangguan konversi dengan gangguan somatisasi, dikenal dengan sebutan
histeria, reaksi konversi atau reaksi disosiatif.1
Epidemiologi
Beberapa gejala-gejala konversi yang tidak cukup parah untuk dapat di diagnosis
sebagai gangguan konversi dapat terjadi pada 1/3 populasi umum pada suatu hari dalam
hidupnya. Satu komunitas melaporkan insidens tahunan sebesar 22 per 100.000 orang.
Beberapa penelitian melaporkan terdapat 5-15% kasus gangguan konversi pada konsultasi
psikiatrik di rumah sakit umum, dan 25%-30% dari pasien yang dirawat di sebuah rumah
sakit veteran (Amerika). DSM IV-TR memberikan kisaran dari yang paling rendah 11 kasus
sampai yang tertinggi 500 kasus gangguan konversi per 100.000 populasi.1
Rasio wanita dibanding pria 2:1 sampai 10:1. Pada anak-anak, anak perempuan juga
lebih tinggi angka kejadiannya dibandingkan anak laki-laki. Pria dengan gangguan ini sering
mengalami kecelakaan kerja atau kecelakaan militer. Onset gangguan konversi dapat terjadi
kapan pun, dari usia kanak-kanak sampai usia tua, namun yang tersering pada remaja dan
dewasa muda. Gangguan ini juga terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan strata
pendidikan yang rendah, tingkat kecerdasan yang rendah, kelompok sosioekonomi rendah,,
dan anggota militer yang pernah terpapar dengan situasi peperangan. Gangguan ini sering
bberkormobiditas dengan gangguan depresi, gangguan cemas, skizofrenia, dan frekuensinya
meningkat pada keluarga yang anggotanya menderita gangguan konversi.1
Etiologi
Faktor Psikoanalitik
Menurut teori psikoanalitik gangguan konversi disebabkan oleh represi konflikkonflik intrapsikik yang tak disadari dan dari kecemasan ke dalam gejala fisik. Konflik terjadi
antara dorongan insting (agresi atau seksual) melawan larangan untuk mengekspresikan hal
tersebut. Pasien mendapat kesempatan mengekspresikan sebagai dorongan atau hasrat
terlarang tersebut lewat gejala-gejala yang muncul namun tersamar, sehingga secara sadar
pasien dapat menghindar dari konfrontasi terhadap impuls terlarangnya. Jadi, gejala pada
konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tak disadari. Misalnya
vaginismus melindungi pasien untuk tidak mengekspresikan hasrat seksual yang terlarang.
Gejala gangguan konversi juga memberi peluang bagi pasien untuk mengatakan bahwa
mereka membutuhkan perhatian dan penanganan khusus. Gejala semacam itu berfungsi

sebagai pemberitahuan secara nonverbal bahwa pasien memiliki kontrol dan manipulasi
terhadap orang lain.1

Teori Pembelajaran
Menurut conditional learning theory, gejala konversi dapat dilihat sebagai perilaku
yang dipelajari secara klasik conditioning. Gejala-gejala penyakit yang dipelajari sejak masa
kanak akan digunakan sebagai coping dalam situasi yang tak disukainya.1
Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme di daerah
hemisfer dominan dan hipermetabolisme di hemisfer non dominan, yang berdampak pada
terganggunya komunikasi antar hemisfer sehingga menimbulkan gejala konversi. Gejala
dapat disebabkan karena area korbital terangsang berlebihan sehingga menimbulkan umpan
balik negatif antara korteks serebral dan formasi retikuler batang otak. Sebaliknya output
kortikofuga yang meningkat akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi tubuh, yang
menjelaskan mengapa pada pasien konversi terdapat defisit sensorik. Tes neuropsikologis
kadang-kadang menunjukkan gangguan cerebral ringan dalam komunikasi, daya ingat,
kewaspadaan, afek dan atensi pada pasien gangguan konversi.1
Gambaran Klinis
Gejala gangguan konversi yang paling sering muncul adalah paralisis, buta, dan
mutisme. Gangguan konversi seringkali berkaitan dengan gangguan kepribadian pasifagresif, dependen, antisosial, dan histrionik. Gejala depresi dan cemas sering menyertai
gejala gangguan konversi, dan pasien-pasien ini berisiko tinggi mengalami bunuh diri.1
Gejala sensorik
Pada gangguan konversi gejala yang sering timbul adalah anestesi dan parestesi,
terutama pada ekstremitas. Semua modalitas sensorik dapat terkena, dan distribusinya tidak
sesuai dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang khas misalnya anestesi kaus
kaki pada, anestesi sarung tangan atau hemianestesia dari tubuh yang bermula tepat di garis
tengah tubuh.1,2
8

Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ sensorik khusus dan menimbulkan
ketulian, kebutaan, dan penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejalanya dapat unilateral
dan bilateral, namun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intak. Pada
gangguan sensorik dengan kebutaan, pasien bberjalan tanpa menabrak atau mencederai diri,
pupil bereaksi terhadap cahaya, dan bangkitan potensial kortikal juga normal.1
Gejala motorik
Gejala motor terdiri dari gerak abnormal, gangguan gaya berjalan, kelemahan dan
paralisis. Mungkin terdapat tremor ritmik kasar, gerak koreoform, tik dan menghentakhentak. Gerakan ttersebut memburuk ketika pasien mendapat perhatian. Gangguan gaya
berjalan yang tampak pada gangguan konversi adalah astasia-abasia, yaitu gerak batang tubuh
berupa ataksia hebat, terhuyung-huyung, kasar, tak beraturan dengan sentakan-sentakan,
disertai gerak lengan seperti membanting dan melambai. Pasien dengan gejala ini jarang
jatuh, dan kalaupun jatuh tidak terluka.1
Gangguan motor yang sering adalah paralisis dan paresis yang mengenai satu, dua
atau seluruh anggota tubuh,, meskipun demikian distribusi dari otot yang terlibat tidak sesuai
dengan jaras persarafan. Refleks-reflesk tetap normal. Tidak terdapat fasikulasi maupun atrofi
otot, kecuali setelah paralisis konversinya terjadi sudah lama. Elektromiografi normal.1
Gejala Bangkitan
Pseuudo-seizures merupakan gejala yang mungkin didapat pada gangguan konversi.
Dokter yang merawat mmungkin akan menemukan kesulitan membandingkan pseudo-seizure
dari bangkitan yang sebenarnya bila hanya berdasarkan observasi klinis. Namun sekitar 1/3
pasien dengan pseudo-seizure juga disertai dengan gangguan epilepsi. Pada pseudoseizure
pasien dapat tergigit lidahnya, inkontinensia urin dan cedera karena terjatuh, meskipun gejala
ini jarang sekali ditemui. Refleks tercekik dan pupil dapat bertahan setelah pseudo-seizure
dan tak terjadi peningkatan konsentrasi prolaktin pasca-bangkitan.1
Gambaran klinis lainnya
Beberapa gejala psikologis yang berkaitan dengan gangguan konversi:
Keuntungan primer (primary gain)

Pasien memperoleh keuntungan primer dengan mempertahankan konflik internal


diluar kesadarannya. Gejala memiliki nilai simbolik, yang mencerminkan konflik psikologis
dibawah sadar. 1
Keuntungan sekunder (secondary gain)
Pasien akan memperoleh keuntungan nyata dengan menjadi sakit,, misalnya:
dibebaskan dari kewajiban dalam situasi kehidupan yang sulit, mendapat dukungan dan
bimbingan yang dalam situasi normal tak akan didapatkannya,, dapat mengontrol perilaku
orang lain.1
La belle indifference
La belle indifference adalah sikap angkuh yang tidak sesuai dengan gejala serius yang
dialaminya. pasien tampaknya tidak peduli dengan hendaya berat yang dialaminya. pada
beberapa pasien sikap tak acuh mungkin kurang tampak. Sikap seperti ini juga bisa didapat
pada pasien yang menderita penyakit medis yang serius yang menunjukkan sikap tabah.
Adanya atau tak adanya La belle indifference ukan dasar penilaian yang akurat untuk
menegakkan gangguan konversi.1
Identifikasi
Pasien dengan gangguan konversi secara tak disadari meniru gejalanya dari seseorang
yang bermakna bagi dirinya. Misalnya, orangtua atau seseorang yang baru saja meninggal
menjadi model bagi pasien untuk mengembangkan gejala konversi terutama selama reaksi
berkabung yang patologis.1
Diagnosis
Kriteria Diagnosis menurut DSM IV:1
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi sistem motorik volunter atau
fungsi sensorik yang merujuk pada kondisi neurologis atau medis umum lainnya .
B. Faktor psikologis dinilai terkait dengan gejala atau defisit karena konflik atau stres lainnya
mendahului inisiasi atau eksaserbasi dari gejala atau defisit.
C. Pasien tidak pura-pura atau sengaja memproduksi gejala atau defisitnya.

10

D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penyelidikan yang tepat, sepenuhnya
dijelaskan oleh kondisi medis umum, dengan efek langsung dari zat, atau sebagai perilaku
atau pengalaman yang dilarang oleh budaya.
E. Gejala atau defisit menyebabkan distress atau gangguan yang signifikan secara klinis pada
fungsi social atau okupasional, atau area penting lainnya atau yang memerlukan evaluasi
medis.
F. Gejala ini tidak terbatas pada rasa sakit atau adanya gangguan pada fungsi seksual dan
tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
Sebutkan jenis gejala atau defisit:
Dengan gejala atau defisit motorik
Dengan gejala atau defisit sensorik
Dengan angkitan atau kejang
Dengan gejala campuran
Penatalaksanaan
Pada dasarnya, tatalaksana dari gangguan konversi adalah menggunakan penjelasan
dan sugesti. Setelah dilakukan diagnosis, dokter sebaiknya menginformasikan kepada pasien,
secara lembut dan tidak menghakimi, tetapi cukup tegas, bahwa pemeriksaan atau tes
diagnostic tidak menunjukkan adanya kelainan. Lalu dokter dapat menjelaskan bahwa
meskipun ilmu medis tidak dapat menjelaskan penyebab gejala tersebut, biasanya pasien akan
pulih dalam beberapa minggu. Dengan dukungan dan keyakinan tersebut, mayoritas pasien
akan mengalami remisi selama berada di rumah sakit, dan remisi ini lebih mungkin terjadi
jika onset gejala bersifat akut dan durasinya singkat, diikuti oleh pencetus yang jelas.1
Pada berapa kasus, beberapa sesi bersama terapis fisik dapat membantu perbaikan
gejala. Terapis harus menghindari pernyataan seperti Tidak ada yang salah dengan diri
anda, karena dapat merusak hubungan dokter-pasien. Jika langkah-langkah tersebut gagal,
teknik alternatif dapat digunakan. Hipnosis dapat menyebabkan remisi, akan tetapi cenderung
terjadi relaps.3
Dapat juga dilakukan cognitive-behavioral therapy untuk meningkatkan cara adaptif
pasien untuk menghadapi stress dan kecemasan. Dapat juga dilakukan terapi psikodinamik
untuk mendapatkan insight dari konflik unconscious yang mendasari keluhannya.3
3. Hipokondriasis
Definisi
11

Hipokondriasis adalah gangguan mental dimana pasien meyakini bahwa dirinya


sedang mengalami penyakit yang serius, mungkin suatu penyakit yang mengancam jiwanya.
Kriteria diagnosisnya ialah sekurang-kurangnya 6 bulan pasien mengalami preokupasi
pikiran berupa ketakutan akan memiliki penyakit akibat dari interpretasi yang salah terhadap
gejala penyakit yang dialaminya. Istilah hipokondriasis mengacu pada hipokondrium, dimana
kebanyakan pasien mengeluh nyeri pada daerah hipokondrium. 7
Berbeda dengan gangguan somatisasi, gangguan hipokondriasis hanya mengeluhkan
satu penyakit yang dirasakan berat. Keluhan itu terus dikeluhkan walaupun berbagai macam
pemeriksaan telah membuktikan tidak adanya penyebab fisis yang mendasarinya.6
Etiologi
Menurut Klein, perkembangan di masa-masa awal kehidupan diyakini merupakan
salah satu faktor pencetus terjadinya hipokondriasis atau jenis somatoform lain di kemudian
hari. Kegagalan proses splitting atau kemampuan untuk membedakan objek baik dan buruk
menyebabkan ketidakmampuan otak untuk merepresi kecemasan yang dirasakan, sehingga
kelak timbul abnormal splitting mechanism yang membantu anak untuk mengatasi
confusional anxiety.7
Menurut Schilder, terjadi fiksasi hypochondriacal state pada fase narsistik pada
perkembangan anak, dimana pada masa itu terjadi perkembangan awal pemikiran tentang
tubuh. Fase oral, sadistic, dan sadomasokistik juga turut mempengaruhi terjadinya
hipokondriasis di kemudian hari karena seluruh proses ini melibatkan sensasi nyeri dalam
perkembangannya.8
Proteksi yang berlebihan dari orang tua pada masa anak-anak juga menjadi pencetus
hipokondriasis. Di samping itu, penyakit yang pernah diderita juga memunculkan kecemasan
yang berlebihan terhadap kekambuhan sehingga memunculkan gejala hipokondriasis.8
Klasifikasi
DSM-V mengkategorikan hipokondriasis sebagai bagian dari kelainan somatoform.
Hipokondriasis, kelainan somatisasi (somatization disorder), kelainan somatoform tak
terdiferensiasi (undifferentiated somatoform), dan kelainan nyeri (pain disorder) adalah
termasuk ke dalam Somplex Somatic Symptom Disorder/ CSSD. Sedangkan reaksi konversi
diklasifikasikan menjadi kelainan somatoform lain, BDD dklasifikasikan menjadi new
anxiety and obsessive-compulsive spectrum disorders.8
Gejala klinis
12

Pasien hipokondriasis meyakini bahwa mereka memiliki penyakit serius yang masih
belum terdeteksi meskipun telah dilakukan pemeriksaan lab dengan hasil yang negatif. Pada
permulaan mungkin diawali dengan satu penyakit, namun seiring berjalannya waktu,
kayakinan ini dapat ditransfer ke penyakit yang lain. Namun demikian, keyakinan mereka
tidak seperti pada waham. Pada umumnya ditemukan pula gangguan kecemasan dan depresi.7
Meskipun kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sekurangkurangnya 6 bulan, namun hypochondriacal-states juga dapat terjadi setelah terjadi stress
mayor, misalnya kematian orang terdekat pasien akibat penyakit tertentu. Pada umumnya
kondisi ini akan sembuh dengan sendirinya, namun dapat pula menjadi kronis. 8
Diagnosis
Kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sebagai berikut
A. Preokupasi pikiran ketakutan akan memiliki, atau munculnya ide bahwa dirinya
memiliki penyakit yang serius akibat dari kesalahan interpretasi gejala tubuhnya.
B. Keluhan tidak kunjung membaik meskipun sudah mendapatkan pertolongan medis.
C. Keyakinan pada kriteria A adalah bukan merupakan suatu waham seperti yang
ditemukan pada gangguan waham, atau masalah dengan penampilan seperti yang
ditemukan pada BDD/ Body Dysmorphic Disorder.
D. Preokupasi pikiran akan penyakitnya membuat pasien mengalami gangguan dalam
kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan perilaku bermasyarakat.
E. Gangguan berdurasi sekurang-kurangnya selama 6 bulan.
F. Preokupasi pikiran ini tidak ditemukan pada gangguan kecemasan, kelainan obsesifkompulsif, gangguan panic, episode depresif mayor, kecemasan akibat perpisahan,
atau kelainan somatoform yang lain.
Spesifik bila:
Dengan daya tilik buruk: apabila dalam tiap episodenya, pasien tidak menyadari bahwa
penyakit serius yang diyakini dia miliki adalah suatu ketakutan yang tidak beralasan.
(From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric
Association; copyright 2000, with permission.)
Diagnosis banding
1. Penyakit-penyakit non-psikiatri yang menunjukkan gejala yang tidak spesifik
sehingga sulit terdiagnosis (misalnya pada penyakit AIDS, endokrinopathy,
13

myasthenia gravis, sklerosis multiple, penyakit saraf degenerative, SLE, dan lainlain.)
2. Somatization disorder (somatization disorder lebih menekankan pada banyaknya
gejala yang dikeluhkan pasien jika dibandingkan dengan hipokondriasis,
somatization terjadi mayoritas pada wanita sedangkan hipokondriasis seimbang
antara pria dan wanita, onset hipokondriasis umumnya <30 tahun).
3. Reaksi konversi (akut, sementara, lebih menekankan pada gejala daripada
penyakitnya).
4. Pain disorder (gejala terbatas pada keluhan nyeri).
5. Body Dismorphic Disorder/BDD (pasien ingin terlihat normal namun merasa
orang di sekitarnya berpikir buruk).
6. Episode depresi dan gangguan kecemasan (pada depresi dengan gejala
hypochondriacal umumnya tidak dapat diredam perasaannya meskipun sudah
dibantu untuk menenangkan).
7. Skizofrenia (pada waham somatik lebih kacau, idiosinkratik jika dibandingkan
8.

dengan hipokondriasis).
Factitious illness dan malingering (perlu dilakukan tes untuk membedakan pasien
sebenarnya, malingering, dan hipokondriasis, umumnya penawaran untuk
dilakukan intervensi medis dihadapi oleh pasien hipokondriasis dengan
kecemasan, sedangkan pada pasien yang benar-benar sakit akan menghadapinya
dengan perhatian terhadap kondisinya. Malingering umumnya dilakukan untuk
kepentingan financial atau meninggalkan tanggung jawab tertentu).

Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan fisik secara komprehensif
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik berkala untuk mengetahui diagnosis lain yang
menjadi perancu hipokondriasis. Informasi kesehatan yang normal dapat
digunakan untuk konfirmasi diagnosis hipokondriasis.7
2. Pendekatan fungsional:
Bertujuan untuk mengumpulkan data-data tentang penyakit yang menjadi sumber
kecemasan dan untuk mengetahui respon pasien terhadap penyakitnya. Melalui
cara ini, dokter dapat mengetahui apa yang membuat pasien menganggap
penyakitnya sangat serius. Karena belum adanya skala khusus untuk pengukuran
derajat keparahan penyakit yang dirasakan, pasien dapat menggunakan skala 0
(rendah) sampai 10 (ekstrim) untuk menggambarkannya.8
3. Terapi farmakologis :
a. Anti-depresan (trisiklik, SSRI): dapat menstabilkan mood, mengatasi
kecemasan pada hipokondriasis
14

b. Plasebo: beberapa penelitian membandingkan efek placebo dan pemberian


obat-obatan anti-depresan dimana perbedaan respon pasien terhadap kedua
obat tidak signifikan. Hal ini menunjukkan keberhasilan penggunaan placebo.8
4. Psikoterapi:
a. Cognitive-Behavioral Therapy/CBT menggunakan model terapi tertentu
untuk membantu pasien mengenali dan merubah kepercayaan yang salah pada
kesehatan dirinya.
b. Formulation of an Idiosyncratic Model patient-spesific blue-print ialah
suatu bentuk diagram yang dikerjakan bersama-sama dengan pasien berkaitan
dengan mekanisme penyakit dan kecemasan yang timbul. Dengan metode ini,
pasien merasa dokter memahami perasaan sehingga meningkatkan penerimaan
pasien terhadap pengobatan.
c. Psikoedukasimemberikan

pemahaman

pasien

terhadap

mekanisme

fisiologis tubuh manusia yaitu fight or flight dan ansietas. Pasien juga
diberikan pemahaman tentang sensasi tubuh sekaligus dengan mekanisme
fisiologisnya jika memungkinkan.
d. Modifying erroneous belief membantu pasien untuk mengadopsi
kepercayaan yang rasional berdasarkan mekanisme fisiologis tubuh.8
Prognosis
Hipokondriasis cenderung menjadi suatu penyakit kronis yang berlangsung mungkin
sepanjang hidup dengan gejala yang hilang timbul selama berbulan-bulan bahkan bertahuntahun. Pasien mungkin akan mengalami remisi parsial namun demikian masih membuat
pasien mencari bantuan dokter. Remisi total sangat jarang terjadi. Faktor sosial-ekonomi,
tidak adanya kelainan perilaku lain, dan tidak adanya kondisi medis lain yang menyertai
dapat memungkinkan hipokondriasis remisi total.7
4. Gangguan dismorfik tubuh
Body Dysmorphic Disorder (BDD) awalnya dikategorikan sebagai dysmorphophobia.
Istilah tersebut untuk pertama kalinya dimunculkan oleh seorang doktor Italia yang bernama
Morselli pada tahun 1886. Dysmorphophobia berasal dari bahasa Yunani, dysmorph yang
berarti misshapen dalam bahasa Inggris. Kemudian namanya diresmikan oleh American
Psychiatric Classification menjadi Body Dysmorphic Disorder (BDD). Sebenarnya, sejak
Freud praktek sudah disinyalir mengenai gejala ini yang oleh Freud sendiri dinamakan
sebagai wolf man. Karena gejala Body Dysmorphic Disorder (BDD) tersebut terjadi pada
seorang pria bernama Sergei Pankejeff yang mempunyai masalah dengan kecemasan
15

terhadap bentuk hidungnya. Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh memiliki perasaan
subjektif yang pervasif mengenai keburukan beberapa aspek penampilan walaupun
penampilan mereka normal atau hampir normal. Inti gangguan ini adalah keyakinan atau
ketakutan seseorang yang kuat bahwa ia tidak menarik atau bahkan menjijikkan. Rasa takut
ini jarang bisa dikurangi dengan pujian atau penentraman meskipun pasien yang khas dengan
gangguan ini sangat normal penampilannya.1
Epidemiologi
Gangguan dismorfik tubuh adalah keadaan yang sedikit dipelajari sebagian karena
pasien lebih cenderung pegi ke dermatologis, internis, atau ahli bedah plastik daripada pergi
ke psikiater. Satu studi pada satu kelompok mahasiswa perguruan tinggi menemukan bahwa
lebih dari 50% mahasiswa sedikitnya memiliki beberapa preokupasi terhadap aspek tertentu
penampilan mereka dan pada 25% mahasiswa, permasalahan tersebut memiliki sekurangnya
mempengaruhi secara bermakna pada perasaan dan fungsi mereka. Walaupun 25% jelas
merupakan suatu perkiraan yang berlebihan (overestimate), gangguan dismorfik tubuh atau
suatu varian subsindromal mungkin sering ditemukan. Penelitian lain pada pasien yang
datang ke klinik bedah plastik menemukan bahwa hanya 2% pasien tersebut memenuhi
kriteria diagnostik, jadi yang menyatakan bahwa pasien dengan kriteria diagnostik lengkap
mungkin sangat jarang ditemukan.
Data yang ada menyatakan bahwa usia yang paling sering untuk onset terjadinya
gangguan dismorfik tubuh adalah antara 15 dan 30 tahun, dan wanita agak lebih sering
terkena dibandingkan laki-laki. Pasien yang terkena juga kemungkinan tidak menikah.
Gangguan dismorfik tubuh sering kali ditemukan bersama-sama dengan gangguan mental
lainnya. Satu penelitian menemukan bahwa lebih dari 90% pasien dengan gangguan
dismorfik tubuh pernah mengalami depresif berat didalam hidupnya; kira-kira 70% pernah
mengalami suatu gangguan kecemasan dan kira-kira 30% pernah menderita suatu gangguan
psikotik.1
Etiologi
Penyebab gangguan dismorfik tubuh saat ini masih tidak diketahui. Komoriditas yang
tinggi dengan gangguan depresif, riwayat keluarga adanya gangguan mood dan gangguan
obsesif-komplusif yang lebih tinggi daripada yang diharapkan, dan responsivitas gangguan
yang dilaporkan terhadap obat spesifik serotonin menyatakan bahwa, sekurangnya pada
beberapa pasien, patofisiologi gangguan yang terjadi mungkin melibatkan serotonin dan
16

mungkin berhbungan dengan gangguan mental lainnya. Mungkin juga dapat terpengaruh
kultural atau sosial yang bermakna pada pasien dengan gangguan dismorfik tubuh karena
penekanan konsep tentang kecantikan yang sterotipik yang mungkin ditekankan pada
keluarga tertentu dan didalam sebagian besar kultur. Didalam odel psikodinamika, gangguan
dismorfik tubuh dipandang sebagai pengalihan konflik seksual atau emosional ke dalam
bagian tubuh yang tidak berhubungan. Asosiasi tersebut terjai melalui mekanisme pertahanan
represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi dan proyeksi.1
Diagnosis
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan dismorfik tubuh mengharuskan suatu
preokupasi dengan kecacatan dalam penampilan yang tidak nyata (dikhayalkan) atau
penekanan yang berlebihan (overemphasis) terhadap kecacatan ringan. Preokupasi
menyebabkan penderitaan emosional pada pasien atau jelas mengganggu kemampuan pasien
untuk berfungsi dalam bidang yang penting.1
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh
1
2
3

Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit


anomali tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyat.
Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain
(misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia
nervosa).

Gambaran klinis
Bagian tubuh yang menjadi keprihatinan umumnya adalah cacat/kekurangan pada
wajah, khususnya bagian tertentu terutama hidung. Bagian tubuh lain yang sering menjadi
perhatian adalah rambut, buah dada, dan genitalia. Suatu penelitian menyebutkan bahwa
keprihatinan pasien meliputi 4 bagian tubuh selama perjalanan penyakit berlangsung. Varian
lain yang terjadi pada pria adalah hasrat untuk membesarkan otot-otot tubuhnya, yang usaha
tersebut sampai mengganggu kehidupan sehari-hari, pekerjaan atau kesehatannya.1
Gejala-gejala lain yang terkait adalah ide atau waham rujukan tentang orang-orang
yang memperhatikan cacat tubuhnya, sering bercermin ataupun menghindari benda yang
17

dapat memantulkan seperti cermin, dan adanya usaha untuk menyembunyikan bagian tubuh
yang dianggap mempunyai deformitas dengan pakaian atau riasan.1
Pengaruhnya terhadap kehidupan pasien sangat bermakna, seperti penghindaran
kontak sosial dan pekerjaan. Sepertiga pasien dengan gangguan ini tak sanggup keluar rumah
karena khawatir diejek karena kecacatannya, dan seperlimanya berusaha untuk bunuh diri.
Selain komorbid dengan gangguan depresif dan cemas, biasanya pasien-pasien ini juga
memiliki ciri kepribadian obsesif-kompulsif, skioid dan narsissistik.1
Perjalanan penyakit dan prognosis
Onset gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang terkena mungkin
akan mengalami peningkatan permasalahan tentang bagian tubuh tertentu sampai orang
mengetahui bahawa fungsinya terpengaruh oleh permesalahan. Pada saat itu orang mungkin
akan mencari bantuan medis atau bedah plastik untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya. Tingkat keprihatinan tentang masalah mungkin hilang dan timbul dengan
berjalannya waktu, walaupun gangguan dismorfik tubuh biasanya merupakan suatu gangguan
kronis jika dibiarkan tidak diobati.1
Penatalaksanaan
Pengobatan pasien gangguan dismorfik tubuh dengan prosedur bedah, dermatologis,
dental dan prosedur medis lainnya untuk menyelesaikan defek yang dideritanya hampir selalu
tidak mendapatkan hasil. Adapun obat tetrasiklik, inhibitor monoamin oksidase, dan
pimozide telah dilaporkan berguna pada kasus individual, dan semakin banyak data yang
menyatakan bahwa obat spesifik serotonin sebagai contoh : clomipramine (Anafranil) dan
fluoxetine (Prozac) dapat efektif dalam menurunkan gejala sekurang-kurangnya 50% pasien.
Pada tiap pasien dengan gangguan mental penyerta, seperti gangguan depresif atau
ganggauan kecemasan, maka gangguan penyerta harus diobati dengan farmakoterapi dan
psikoterapi yang sesuai. Berapa lamanya pengobatan harus dilanjutkan jika gejala gangguan
dismorfik tubuh telah menghilang masih belum diketahui.1

5. Gangguan Nyeri

18

Definisi dari gangguan nyeri menurut DSM-IV-TR adalah adanya nyeri yang
merupakan keluhan utama dan menjadi fokus perhatian klinis. 1 Pada gangguan nyeri,
penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan,
faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan
tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi
tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan
konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang
tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak
didapat.2
Diagnosis akurat mengenai gangguan nyeri terbilang sulit karena pengalaman
subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis,
dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti
penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan
merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi
dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh
individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri
akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan
lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan
gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa
nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang.2
Epidemiologi
Nyeri mungkin merupakan keluhan tersering didalam praktik medis dan sndrom nyeri
yang sulit dikendalikan lazim ditemukan. Nyeri punggung bawah menyebabkan 7 juta orang
di Amerika serikat mengalami hendaya dan bertanggung jawab untuk lebih dari 8juta
kunjungan ke ruang praktik dokter setiap tahun. Gangguan nyeri didiagnosis dua kali lebih
sering pada perempuan dibandingkan laki-laki. Usia puncak awitan adalah dekade keemapat
dan kelima, mungkin karena toleransi terhadap nyeri berkurang seiring dengan pertambahan
usia. Gangguan nyeri paling lazim ditemukan pada orang dengan pekerjaan industri, mungkin
karena kecenderungan mendapatkan cedera terkait pekerjaan meningkat. Kerabat derajat
pertama pasien dengan gangguan nyeri memiliki gangguan yang sama; oleh sebab itu,
penurunan genetik atau mekanisme perilaku mungkin terlibat didalam transmisinya.

19

Gangguan depresif, gangguan ansietas, dan penyalahgunaan zat juga lebih lazim ditemukan
didalam keluarga pasien dngan gangguan nyeri dibandingkan populasi umum.3
Etiologi
1. Faktor Psikodinamika.
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuhnya tanpa penyebab fisik yang
dapat diidentifikasi secara adekuat mungkin merupakan ekspresi simbolik dari konflik
intrapsikis melalui tubuh. Bbeberapa pasien menderita alekstimia, dimana mereka tidak
mampu mengartikulasikan kata-kata, sehingga tubuh mengekspresikan perasaanny. Pasien
lain mungkin secara tidak disadari memangdang nyeri emosional sebagai kelemahan dan
bagaimanapun tidak ada dalam kekuasaan. Dengan mengalihkan masalah ke tubuh, mereka
merasa bahwa mereka memiliki kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan
mereka. Arti simbolik dari ganggguan tubuh mungkin juga berhubungan dengan penebusan
ata dosa yang dirasakan, penebusan kesalahan, atau agresi yang ditekan. Banyak pasien
mengalami nyeri yang sukar disembuhkan dan tidak responsif karena mereka berkeyakinan
bahwa mereka pantas untuk menderita.1,2
Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk mendapatkan cinta, suatu hukuman karena
kesalahan, dan cara untuk menebus kesalahn dan baertobat akan keburukan. Mekanisme
pertahanan yang digunakan oleh pasien dengan gangguan nyeri adalah pengalihan, substitusi,
dan represi. Identifikasi memainkan peranan jika pasien mengambil peranan objek cinta yang
ambivalen yang juga mengalami nyeri seperti orang tua.1
2. Faktor Perilaku.
Perilaku sakit adalah didorong jika disenangi dan dihambat jika diabaikan atau
dihukum. Sebagai contoh, gejala nyeri sedang mungkin menjadi kuat jika diikuti oleh
perlakuan cemas dan penuh perhatian dari orang lain, oleh tujuan keuangan, atau oleh
kebehasilan dalam menghindari aktivitas yang tidak disenangi.1
3. Faktor Interpersonal
Nyeri yang sukar disembuhkan telah dipandang sebagai cara untuk memanipulasi dan
mendapatkan keuntungan dalam hubungan interpersonal, sebagai contoh, untuk menjadi

20

kesayangan anggota keluarga atau untuk menstabilkan perkawinan yang rapuh,.


Tujuansekunder tersebut adalah paling penting bagi pasien dengan gangguan nyeri.1
4. Faktor biologis
Korteks serebaral dapat menghampat pemicuan serabut nyeri aferen. Serotonin
kemungkinan merupakan suatu neurotransmiter utama didalam jalur inhibitor desenden, dan
endorfin juga berperan dalam modulasi nyeri oleh sistem saraf pusat.. Defisiensi endorfin
tampaknya berhubungan dengan penguatan stimuli sensorik yang datang. Beberapa pasien
mungkin memiliki gangguan nyeri, bukannya gangguan mental lain, karena struktural
sensorik dan limbik atau

kelaian kimiawi yang mepredisposisiskan mereka mengalami

nyeri.1
Gambaran klinis
Pasien dengan gangguan nyeri merupakan sekumpulan orang yang bersifat heterogen
dengan nyeri pinggang bawah, sakit kepala, nyeri fasial atipikal, nyeri pelvik kronik dan
nyeri lainnya. Nyeri mungkin terjadi setelah trauma, neuropatik, neurologik, iatrogenik, atau
muskuloskeletal. Untuk menegakkan diagnosis gangguan nyeri harus terdapat faktor
psikologis bermakna yang terlibat dalam terjadinya keluhan nyeri.1
Pasien dengan gangguan nyeri memiliki riwayat panjang perawatan medis dan
pembedahan. Mereka mengunjungi banyak dokter, meminta banyak obat, bahkan mendesak
untuk dilakukan pembedahan. Mereka berpreokupasi dengan rasa nyerinya dan menyalahkan
hal itu sebagai sumber kesengsaraannya. Seringkali pasien menyangkal sumber lain sebagai
penyebab emosi disforiknya dan meyakini hidupnya penuh kebahagiaan bila tidak didera
nyeri. Gambaran klinis dapat bercampur dengan gangguan akibat penggunaan zat,, apabila
pasien menggunakan alkohol atau zat lainnya sebagai upaya untuk mengurangi rasa nyeri.1
Gangguan depresi berat terjadi pada 25-50% pasien gangguan nyeri, dan 100%
menderita gangguan distimik atau gejala-gejala depresi. Ada pendapat yang meyakini bahwa
nyeri kronik merupakan varian dari gangguan deperesi, depresi terselubung atau depresi
dengan gejala somatisasi. Gejala depresi yang menonjol pada pasien nyeri adalah anergia,
anhedonia, penurunan libido, insomnia, dan iritabel. Sedangkan variasi diurnal, penurunan
berat badan, dan retardasi psikomotor lebih jarang dialami.1

21

Diagnosis
Diagnosis berdasarkan DSM-I-TR:1
a. Nyeri pada satu tempat anatomis atau lebih yang mmerupakan fokus utama dari
manifestasi klinis dan cukup berat untuk dijadikan perhatian klinis.
b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya di bidang sosial atau,
pekerjaan, dan fungsi lainnya.
c. Faktor psikologis berperan pentingdalam awitan, keparahan, eksaserbasi atau
bertahannya nyeri.
d. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-pura (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
e. Nyeri tidak dapat dijelaskan akibat gangguan suasana perasaan (mood), cemas, atau
gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria untuk dipareunia.
Beri kode sebagai berikut:
Gangguan nyeri berasosiasi dengan gangguan faktor psikologis: faktor psikologis
dinilai memmpunyai peran dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau bertahannya nyeri.
Jenis gangguan nyeri ini tidak di diagnosis apabila kriterianya juga memenuhi untuk
gangguan somatisasi.
Golongkan:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronik: durasi 6 bulan atau lebih
Gangguan nyeri berasosiasi baik dengan faktor psikologis maupun kondisi
medik umum: baik faktor psikologik maupun kondisi medik umum dinilai berperan dalam
awitan, keparahan, eksaserbasi, atau bertahannya nyeri. Kondisi medik umum yang terkait
atau letak anatomis dari nyeri dikodekan pada aksis III.
Golongkan:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronik: durasi 6 bulan atau lebih.
Ccatatan: berikut ini tidak dimasukkan sebagai gangguan mental dan dimasukkan disini
untuk memfasilitasi diagnosis differensial.
Gangguan nyeri berasosiasi dengan kondisi medik umum: kondisi medik umum
berperasn besar dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau bertahannya nyeri. Kode
diagnosis nyeri dipilih berdasarkan kondisi medik umum yang terkait bila sudah ditentukan
atau pada lokasi anatommis nyeri, bila kondisi medik umum yang mendasari belum
ditegakkan dengan jelas misalnya pinggang bawah, skiatik, panggul, kepala, wajah, dada,
sendi, tulang, perut, payudara, ginjal, telinga, mata, tenggorok, dan saluran kemih.1
22

Penatalaksanaan
Pendekatan terapi harus menyertakan rehabilitasi, karena tidak mungkin mengurangi
rasa nyerinya. Sejak awal pengobatan terapis sudah harus mendiskusikan tentang faktor
psikologis yang merupakan faktor sangat penting sebagai penyebab dan konsekuensi dari
nyeri fisik maupun psikogenik. Jelaskan pula bagaimana berbagai sirkuit di dalam otak yang
terlibat dengan emosi (misalnya sistem limbik) mempengaruhi jaras nyeri sensorik. Namun
terapis harus memahami bahwa nyeri yang dialami pasien adalah sesuatu yang nyata. 1
Farmakoterapi
Obat-obatan analgetik tidak membantu pasien. Hati-hati memberikan obat analgetik,
sedatif, dan anticemas karena selain tak bermanfaat, cenderung menimbulkan ketergantungan
dan disalah-gunakan. Antidepresan trisiklik dan penghambat ambilan serotonin spesifik
(SSRI) paling efektif untuk gangguan nyeri. Keberhasilan SSRI mendukung hipotesis bahwa
serotonin mempunyai peran penting dalam patofisiologi terjadinya gangguan ini. Amfetamin
yang mempunyai efek analgesik dapat bermanfaat pada beberapa pasien, khususnya bila
digunakan sebagai tambahan bersama SSRI, namun dosis harus dipantau.1
Psikoterapi
Psikoterapi sangat bermanfaat bagi pasien. Langkah awal psikoterapi adalah
membangun aliansi terapeutik dengan pasien lewat empati. Jangan melakukan konfrontasi
dengan pasien, karena nyeri yang dialami pasien nyata meskipun menyadari bahwa hal itu
berasal intrapsikik. Terapi kognitif berguna untuk mengubah pikiran negatif dan
mengembangkan sikap positif.1

BAB 3
KESIMPULAN

23

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang
disadari atau gangguan buatan. Gambaran yang penting dari ganguan somatoform adalah
adanya gejala fisik, dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk
hal tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait
dengan adanya faktor psikologis atau konflik.
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti
hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang
mendasari keluhannya.
Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi: gangguan somatisasi,
gangguan somatoform tak terperinci, gangguan hipokondriasis, disfungsi otonomik
somatoform, gangguan nyeri somatoform menetap, gangguan somatoform lainnya, dan
gangguan somatoform YTT. Sedangkan pada DSM-IV, ada tujuh kelompok, lima sama
dengan klasifikasi awal dari PPDGJ ditambah dengan gangguan konversi, dan gangguan
dismorfik tubuh.

Daftar Pustaka

24

1. Elvira S, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran


UI. 2010. Jakarta.h.265-80.
2. Sadock BJ and Sadock VA. Kaplan & Sadocks Concise Textbook of Clinical
Psychiatry. 2010. New York, Lippincott Williams & Wilkins Inc.
3. Abrahamowitz, J., & Braddock, A. E. Hypochondriasis: Conceptualization,
Treatment, and Relationship due to Obsessive-Compulsive Disorder. Psychiatrics
Clinics of North America .2010.
4. Christogiorgos S, Stzikas D, Widershoven-Zervaki, Dimitripoulou P, Athanassiadou
E, & Giannakoupulou G. Hypochondrial Anxiety in Adolescence. The Open
Mysiology Journal 2013.3(4).
5. Kupfer, D. J. Somatic Symptoms Criteria in DSM-V Improve Diagnosis, Care.
American Psychiatric Association .2013.
6. Andri A. Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik. J Indon Med Assoc,
Volum: 61, Nomor: 9, September 2011.p.375-9.
7. Maqsood et al. Patients with Conversion Disorder; Psychosocial Stressor and Life
Events. Professional Med J Dec 2010;17(4)p. 715-720.
8. Cognitive Behavioral Therapy for Woolfolk, R dan Lesley A. Allen. 2012.

Somatoform Disorders. Standard and Innovative Strategies in Cognitive Behavior


Therapy.

25

Anda mungkin juga menyukai