Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA LAPORAN KASUS DAN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2018


UNIVERSITAS HASANUDDIN

LAPORAN KASUS GANGGUAN ANXIETAS YTT (F41.9)

REFERAT SKIZOFRENIA DAN TERAPINYA

Oleh:
Anatasia Agatha Yull
CX 065172011

Pembimbing:
dr. A. Fatimah Y.

Supervisor:
dr. Kristian Liaury, Ph.D, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Anatasia Agatha Yull

NIM : XC065172011

Universitas : Universitas Suzhou

Judul Referat : Referat Skizofrenia Dan Terapinya

Judul Lapsus : Gangguan Anxietas YTT (F41.9)

Adalah benar telah menyelesaikan referat berjudul SKIZOFRENIA DAN TERAPINYA


dan laporan kasus yang berjudul “GANGGUAN ANXIETAS YTT (41.9)” dan telah
disetujui serta telah dibacakan dihadapan pembimbing dan supervisor dalam rangka
kepaniteraan klinik pada bagian ILMU KEDOKTERAN JIWA Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

Makassar, 6 Juli 2018

Koas Psikiatri, Residen Pembimbing,

Anatasia Agatha Yull dr. A. Fatimah Y.

Supervisor Pembimbing,

dr. Kristian Liaury, Ph.D, Sp.KJ

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah didiskusikan dan disetujui untuk dipresentasikan Refarat dengan judul


SKIZOFRENIA DAN TERAPINYA dan Laporan Kasus dengan judul “GANGGUAN
ANSIETAS YTT” pada:

Hari : Jum’at

Tanggal : 6 Juli 2018

Jam : 13.00

Tempat : RSKD Dadi

Makassar, 6 Juli 2018

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

dr. Kristian Liaury, Ph.D, Sp.KJ dr. A. Fatimah Y.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PEGESAHAN……………………………………………………………. ii

LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................................ iii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… iv

LAPORAN KASUS GANGGUAN ANSIETAS YTT

I. IDENTITAS PASIEN…………………………………………………………………… 1

II.RIWAYAT PSIKIATRI ………………………………………………………………… ..1

III. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI ...................................................................5

IV. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL ..............................................................................6

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA……………………………………………….8

VI. EVALUASI MULTIAKSIAL………………………………………………………......9

VII. DAFTAR MASALAH. ……………………………………………………………........10

VIII. PROGNOSIS……………………………………………………………………........11

IX. TATA LAKSANA……………………………………………………………………..11

X. FOLLOW UP.......…………………………………………………… .............................11

XI. DISKUSI ..........................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………. .21

LAMPIRAN ……………………………………………………………………………. ...24

iv
REFERAT ..........................................................................................................................26

v
LAPORAN KASUS
GANGGUAN ANXIETAS YTT (F41.9)

6
AUTOANAMNESA I (Tanggal 1 Februari 2018)
Pukul : 13.00 WITA, Pasien berada di poli RS UNHAS
Tampak seorang laki-laki dengan wajah sesuai umur, berkumis, perawakan cukup besar,
memakai baju berwarna biru berlengan pendek, celana jeans biru muda dengan robekan di
bagian bawah sebelah kirinya, warna kulit sawo matang, terdapat bekas luka di lengan kanan
pasien, perawatan diri cukup baik.

7
BAGIAN PSIKIATRI REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2018
UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT:
SKIZOFRENIA DAN FARMAKOLOGIKAL TERAPI

DISUSUN OLEH:
Anatasia Agatha Yull
C111 13 029

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. A. Fatimah Y.

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Kristian Liaury, Ph.D, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

8
LEMBAR PENGESAHAN

Yang tersebut namanya di bawah ini:

Nama : Anatasia Agatha Yull

NIM : XC 065172011

adalah benar menyelesaikan dan mendiskusikan laporan kasus yang berjudul


“Gangguan Anxietas YTT (41.9)” dan tugas Referat yang berjudul “Skizofrenia dan
Terapi Farmakologikal” dan telah disetujui serta dibacakan di hadapan pembimbing.

Makassar, 6 Juli 2018

Residen Pembimbing Supervisor Pembimbing

Dr. Fatimah Y. dr. Kristian Liaury, Ph.D, Sp.KJ

9
BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau pecah dan
phren yang berarti jiwa. Terjadi pecahnya/ ketidakserasian antara afek, kognitif, dan perilaku.
Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir serta
disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi
kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul
inkoherensi, afek dan emosi inadekuat, serta psikomotor yang menunjukkan penarikan diri,
ambivalensi dan perilaku bizar. Kesadaran dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif dapat berkembang dikemudian hari. Skizofrenia
adalah gangguan yang berlangsung selama minimal 6 bulan dan mencakup setidaknya 1
bulan gejala fase aktif.1

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering . Hampir 1% penduduk


di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul
pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Awitan pada laki- laki biasanya antara 15 – 25
tahun pada perempuan antara 25 – 35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki – laki
bila dibandingkan dengan perempuan. Awitan setelah umur 40 tahun jarang terjadi.

Diagnosis skizofrenia, menurut sejarahnya mengalami perubahan – perubahan. Ada


beberapa cara menegakkan diagnosis. Pedoman untuk menegakkan diagnosis adalah DSM –
IV (Diagnostic and Statistical Manual). Dalam DSM-IV terdapat kriteria objektif dan spesifik
untuk mendefinisikan skizofrenia. Belum ada penemuan yang patognomonik untuk
skizofrenia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala atau deskripsi klinis dan merupakan
suatu sindrom.2

Pengobatan pasien skizofrenia saat ini sudah mengalami banyak kemajuan. Hal ini
didukung dengan adanya perkembangan dalam terapi psikofarmaka dan psikososial. Target
terapipun sudah berpindah, dari hanya mengendalikan gejala psikosis menjadi perbaikan
fungsi dan sosial serta pekerjaan. Pemberian terapi psikofarmaka pada skizofrenia biasa
diberikan antipsikotik, baik golongan pertama maupun kedua.3

10
BAB II

PEMBAHASAN

Gangguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut
(kronis dan menahun). Oleh karenanya terapi skizofrenia memerlukan waktu relative lama,
berbulan bahkan bertahun. Hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin
kekambuhan (relapse). Perkembangan didalam metode terapi penderita skizofrenia dan juga
penderita psikosis lainnya sudah maju, sehingga penderita tidak lagi mengalami pemasungan
atau perawatan dirumah sakit jiwa. Terapi yang komprehensif dan holistik atau terpadu
dewasa ini sudah dikembangkan sehingga penderita skizofrenia tidak lagi mengalami
diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang
dimaksud adalah:2,3,5

Terapi Farmakologi

Antipsikotik dikelompokan sebagai golongan pertama dan kedua berdasarkan


mekanisme utamanya sebagai antagonis reseptor dopamin (D2). Efek antipsikotik juga
memiliki efek pada reseptor lain, namun tidak mempengaruhi efek antipsikotik, yaitu reseptor
histamine, reseptor kolinergik dan reseptor alfa . Akibat dari efeknya terhadap reseptor –
reseptor tersebut antipsikotik juga memiliki efek samping, seperti sedasi, mulut kering,
konstipasi dan lainnya.5,6

Pemberian obat antipsikotik, baik generasi I maupun generasi II, menurunkan


timbulnya gejala psikotik seperti halusinasi dan waham melalui penghambatan reseptor
pascsinaps dopamin khususnya D2 dan serotonin di otak. Dalam dosis terapi, sekitar 80%
reseptor D2 dapat dihambat, lebih dari itu akan timbul efek samping berupa gejala
ekstrapiramidal. Sebaliknya, golongan antipsikotik generasi II bekerja pada reseptor D2
sekaligus 5-HT2 (serotonin). Efek blokade pada reseptor D2 tidak sebesar efek antipsikotik
general I sehingga meminimalisasi efek samping ekstrapiramidal.4

Antipsikotik Golongan Pertama

Antipsikotik golongan pertama biasa dibagi berdasarkan struktur kimia menjadi


golongan fenotiazin dan non fenotizine (thioxanthenes, butyrophenones, dibenzoxapines,
dihydroindoles, diphenyl butyl piperidines). Selain itu ada digolongkan menjadi berpotensi
rendah (golongan fenotiazine) dan berpotensi tinggi (golongan nonfetiazine), karena hanya
membutuhkan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan golongan rendah

11
(chlorpromazine 100mg). Penggolongan yang kedua lebih banyak digunakan terutama pada
praktek sehari-hari untuk kepentingan klinis. Antipsikotik golongan pertama bekerja sebagai
antagonis reseptor dopamine di otak, terutama pada sistem nigrostriatal, mesolimbokortikal
dan tuberoinfundibuler.3

Antipsikotik Golongan Kedua

Obat antipsikotik golongan kedua berkerja dengan berikatan pada reseptor serotonin
2A (5-HT 2A) dan dopamine (D2). Mekanisme kerja di jalur dopamine mesolimbic dan
nigrostriatal yang cenderung lemah membuat efek samping pyramidal yang ditimbulkan lebih
rendah dibanding antipsikotik golongan pertama. Namun penelitian yang dilakukan
menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan efektifitas antara antipsikotik golongan pertama
dan kedua, kecuali klozapine sehingga ia dijadikan pilihan pada kasus skizofrenia yang
resisten.3

Penggunaan antipsikotik pada skizofrenia mengikuti perjalanan dari gangguan


skizofrenia, yang terdiri dari :

 Fase Akut

Pada fase ini penggunaan obat antipsikotik perlu ditetapkan tujuannya, seperti untuk
mengurangi gejala positif, negatif, ide atau perilaku bunuh diri, perilaku kekerasan atau
agitasi. Sebelum pemberian antipsikotik sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Obat yang biasa diberikan berupa injeksi, yang tersedia baik dari golongan antipsikotik
pertama atau kedua. Obat injeksi antipsikotik pertama yang sering tersedia yaitu haloperidol
dan chlorpromazine. Pemberian antipsikotik golongan pertama sering digunakan untuk
mengatasi agitasi akut dengan kerja obat yang cepat. Namun penggunaan obat golongan
pertama sering timbul efek samping, misalnya dystonia akut dan pemanjangan QTc. Pada
obat injeksi antipsikotik golongan kedua efek samping akut yang mungkin timbul lebih
ringan dibanding golongan pertama. Obat injeksi antipsikotik kedua yang tersedia adalah
sediaan olanzapine dan aripriprazole. Pemberian injeksi yang dilakukan umumnya diberikan
secara intra muscular. Untuk penggunaan obat antipsikotik oral dapat diberikan baik
golongan pertama maupun kedua. Pemberian dosis dimulai dengan dosis rendah yang
kemudian ditingkatkan untuk mendapat dosis terapetik yang sesuai. Pemantauan efek
samping obat juga perlu diperhatikan, evaluasi sekitar 2-4 minggu, agar tidak menimbulkan
efek tidak nyaman.

12
 Fase Stabilisasi

Pada fase ini bertujuan untuk mempertahankan remisi gejala, meminimalisasi resiko
atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan
(recovery). Pemberian obat antipsikotik, baik golongan pertama atau kedua, diberikan dengan
dosis efektif minimal. Hal ini ditujukan untuk tetap dapat mengendalikan gejala namun tidak
menimbulkan efek samping sehingga kepatuhan pasien untuk minum obat dapat
dipertahankan. Untuk kasus yang pertama konsensus menyatakan obat antipsikotik pada fase
stabilisasi sebaiknya diberikan selama 2 tahun. Sedangkan pada kasus yang berulang
diberikan hingga 5 tahun.

Obat antipsikotik juga terdapat dalam sediaan injeksi jangka panjang (long acting).
Pemberian obat dalam sediaan ini membantu untuk memastikan bahwa kepatuhan untuk
berobat lebih dapat diawasi dibanding dengan sediaan oral. Saat ini tersedia dari golongan
pertama (fluphenazin dan haloperidol) dan golongan kedua (risperidone dan paliperidone).3

13
Panduan Penggunaan Antipsikotik Pada Skizofrenia3

14
Obat Anti-Psikosis7,8

Obat Anti-Psikosis Tipikal

No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran

1 Chlorpromazine Chlorpromazine Tab 25 – 100 mg 300 – 1000 mg/h

Cepezet Tab 100 mg 50 – 100 mg (im)


setiap 4-6 jam
Amp 50 mg/2cc

2 Trifluoperazine Stelazine Tab 1 – 5 mg 15 – 50 mg/h

Stelosis Tab 5 mg

3 Fluphenazine Sikznoate Vial 25 mg/cc 12.5 – 25 mg (im)


decanoate tiap 2-4 minggu

4 Haloperidol Haloperidol Tab 0,5 – 1,5 mg, 5mg 5 – 20 mg/h

Dores Cap 5mg

Tab 1,5mg

Serenace Tab 0,5 – 1,5mg, 5mg 5 – 10 mg (im)


dapat diulang setiap
Liq 2mg/ml
½ jam (max
Amp 5mg/cc 20mg/h)

Lodomer Tab 2 -5 mg

Amp 5g/cc 5 -10mg (im)

Tetes 2mg/ml 5 -20 mg/h

Haldol Decanoas Amp 50mg/cc 50mg (im) tiap 2-4


minggu

Obat Anti-Psikosis Atipikal

1 Sulpiride Dogmatil Forte Amp 100mg/2cc 3 – 6 Amp/h (im)

Tab 200mg 300-600 mg/h

15
2 Clozapine Clozaril Tab 25 – 100mg 150 – 600 mg/h

Clopine Tab 25 – 100mg

Clorilex Tab 25 – 100mg

Clozapine OGB Tab 25 – 100mg


Mersi

Luften Tab 25 – 100mg

3 Olanzapine Zyprexa Tab 5 – 10 mg 10 -30 mg/h dapat


diulang tiap 2 jam
Vial 10mg/ml (im)
(max 30 mg/h)
Tab Zydis 5 – 10mg

Remital Tab 5 – 10 mg

Olandoz Tab 5 – 10 mg

Onzapin Tab 5 – 10 mg

4 Quetiapine Seroquel Tab IR: 25 – 100 – 150 – 600 mg/h


200 – 300mg

Tab XR: 50 – 300 –


400mg

5 Zotepine Lodopin Tab 25 – 50mg 75 – 150 ng

6 Risperidon Risperidone OGB Tab 1-2-3 mg 2 – 8 mg/h


Mersi

Risperidone OGB Tab 2mg


Dexa

Risperdal Tab 1-2-3 mg

Risperdal Consta Vial 25 – 50 mg/cc 25 – 50 mg (im)


tiap 2 minggu

7 Aripiprazole Abilify Tab 5 – 10 – 15 mg 10 – 30 mg/h

16
Vial 9,75mg/1,3ml 7,50mg/ml (im)
dapat diulang tiap 2
jam (max
29,25mg/h)

Profil Efek Samping7

Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:

 Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja


psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
 Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering, kesulitan
miksi & defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi,
gangguan irama jantung).
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson: tremor,
bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice), hematologik
(agranulocytosis), biasanya pada pemakaian panjang.

Efek samping ini ada yang dapat di tolerir pasien, ada yang lambat, ada yang sampai
membutuhkan obat simptomatik untuk meringankan penderitaan pasien.

Efek samping dapat juga irreversible : Tardive dyskinesia (gerakan berulang involunter
pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala
tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang (terapi pemeliharaan)
dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis.

Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, untuk deteksi
dini perubahan akibat efek samping obat.

Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau
untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat yang kurang menguntungkan
sebaiknya dilakukan “lacage lambung” bila obat belum lama dimakan.7

17
Interaksi Obat7

 Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat (hati-hati


pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit jantung).
 Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan
gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat.
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar. Yang paling
minimal menurunkan ambang kejang adalah antipsikosis Haloperidol.
 Antipsikosis + antasida = efektivitas obat antipsikosis menurn disebabkan gangguan
absorpsi.

Pengaturan Dosis7

Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:

 Onset efek primer (efek klinis) : 2-4 minggu


Onset efek sekunder (efek samping) : 2-6 jam
 Waktu paruh : 12-24 jam (Pemberian 1-2x/hari)
 Dosis pagi dan malam dapat berbeda(pagi kecil, malam besar) sehingga tidak
mengganggu kualitas hidup pasien.

Electro Convulsive Therapy (ECT)9

ECT adalah suatu bentuk terapi fisik yang masih sering digunakan oleh psikiater
dengan menggunakan suatu alat yang menghantarkan arus listrik pada elektroda dan dipasang
pada kepala sehingga menyebabkan konvulsi. Semakin banyak ditemukan bukti tentang
efektivitas ECT dalam membantu mengatasi gejala skizofrenia yang tidak respon terhadap
psikoterapi atau antidepresan, namun ECT juga mengundang banyak kontroversi karena efek
samping yang ditimbulkannya.
Efek samping yang sering berhubungan dengan ECT adalah konvulsi, delirium,
gangguan daya ingat, dan aritmia jantung ringan. Kehilangan daya ingat adalah masalahan
utama yang berhubungan dengan ECT. Gangguan daya ingat akibat efek samping ECT pada
pasien skizofrenia.
Daya ingat (memori) adalah proses penyimpanan semua jenis material selama
berbagai periode waktu dan melibatkan bentuk respon yang berlainan. Daya ingat dibagi atas
beberapa jenis antara lain daya ingat segera (immediate memory), daya ingat baru saja (recent

18
memory), dan daya ingat jauh (remote memory). Pasca terapi ECT dapat terjadi gangguan
daya ingat pada kejadian yang baru terjadi, sedangkan ingatan jangka panjang tetap utuh.
Berdasarkan hasil penelitian, ECT dapat menurunkan kemampuan immediate dan recent
memory, dan tidak berpengaruh terhadap remote memory. Kemampuan immediate memory
dapat pulih sebelum 48 jam dan kemampuan recent memory belum dapat pulih setelah 48
jam.

19
BAB III

KESIMPULAN

Dengan pengobatan skizofrenia pasien yang maksimal akan akan didapatkan hasil
yang lebih baik. Sangat penting untuk membawa sedini mungkin anggota keluarga yang
menunjukkan pola pikir, perasaan dan perilaku yang tidak wajar. Dalam pengalaman praktek
sehari-hari masih saja ada salah anggapan (stigma) bahwa orang yang datang berobat ke
psikiater itu pastilah menderita gangguan jiwa, padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Bahkan dengan obat jenis anti skizofrenia generasi kedua khasiatnya dapat mengatasi, tidak
hanya terhadap gejala positif skizofrenia tetapi juga fungsi kognitif yang amat penting bagi
penderita agar kembali menjalankan fungsi kehidupannya sehari-hari.

Terapi untuk penderita skizofrenia dapat berikan secara non-farmakologikal,


farmakologikal, maupun dengan terapi elektrokonvulsif.

Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan


gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama:
antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin. Mengingat belum bisa
diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak bisa dicegah. Lantaran pencegahannya
sulit, maka deteksi dan pengendalian dini penting, terutama bila sudah ditemukan adanya
gejala. Dengan pengobatan dini, bila telah didiagnosis dapat membuat penderita normal
kembali, serta mencegah terjadinya gejala skizofrenia berkelanjutan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Hendarsyah, F. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Skizofrenia Paranoid dengan Gejala-


Gejala Positif dan Negatif. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. J Medula
Unila. Vol 4(3), 57-62.
2. Amir N. Skizofrenia. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku Ajar
Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2010.h.170-94.
3. Pamungkas, R. 2015. Penggunaan Antipsikotik Pada Skizofrenia. Bagian Psikiatri
FKU Syiah Kuala/RSU dr.Zainoel Abidin. Banda Aceh.
4. Kaplan, Harold I, Benjamin J, Shadock dan Jack A. Grebb. 2014.Gangguan Cemas
Menyeluruh dalam Buku Ajar Psikiatri Klinis Ed.2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
5. Maslim R. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III.Jakarta: PT. Nuh Jaya.
6. Patel, K. R., Cherian, J., Gohil, K., & Atkinson, D. (2014). Schizophrenia: Overview
and Treatment Options. Pharmacy and Therapeutics, 39(9), 638–645.
7. Maslim, Rusdi. 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta:
PT. Nuh Jaya.
8. Manjoer, Arif., et.al. 2016. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi IV.Jakarta:
Aesculapius FKUI.
9. Nandinanti I., Yaurin S., Nurhajjah S. 2015. Efek Electro Convulsive Therapy (ECT)
Terhadap Daya Ingat Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang. Bagian
Ilmu Psikiatri FK UNAND/RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.

21

Anda mungkin juga menyukai